Anda di halaman 1dari 25

ARTIKEL TEMA KEISLAMAN:

1. TAUHID: KEISTIMEWAAN DAN KEBENARAN KONSEP KETUHANAN


DALAM ISLAM
2. SAINS&TEKNOLOGI DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADITS
3. 3 GENERASI TERBAIK MENURUT AL-HADITS
4. PENGERTIAN DAN JEJAK SALAFUSSOLEH (REFERENSI AL-HADITS)
5. AJARAN DAN TUNTUNAN TENTANG BERBAGI, KEADILAN SERTA
PENEGAKAN HUKUM DALAM ISLAM.

Disusun sebagai tugas terstruktur Mata Kuliah: Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampuh:

Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun Oleh:

Nama : Hafiyatul Hayani


NIM : G1C020022
Fakultas&Prodi : Mipa&Kimia
Semester : I ( Ganjil ) 2020

PROGRAM STUDI KIMIA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS MATARAM
T.A. 2020/2021

Catatan:
Tema di atas bukan untuk dipilih salah satunya, dari nomor 1 s.d 5 harus dimuat di
dalam 1 artikel besar dengan BAB-BAB tersendiri.

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada ALLAH SWT atas selesainya
tugas ini mengenai artikel dengan tema keislaman diantaranya, Tauhid : Keistimewaan
dan Kebenaran Konsep Ketuhanan dalam Islam, Sains dan Teknologi dalam Al-Qur’an
dan Al-Hadits, 3 Generasi Terbaik Menurut Al-Hadits, Pengertian dan Jejak
Salafussoleh ( Referensi Al-Hadits ), Ajaran dan Tuntunan Tentang Berbagi, Keadilan
serta Penegakan Hukum.

Sholawat dan Salam semoga ALLAH limpahkan kepada Rasulullah Muhammad


SAW atas kedatangan beliaulah sehingga manusia bisa mengenal membaca dan
menulis, semoga kita mendapatkan syafa’at beliau di akhirat kelak.

Terima kasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I.,
M.Sos sebagai dosen pengampuh mata Kuliah Pendidkan Agama Islam. Penulis
menyadari bahwa artikel ini masih jauh dari sempurna, sehingga kritik dan saran
sangat diperlukan dari berbagai pihak.

Besar harapan saya tugas ini akan memberi manfaat khususnya bagi penulis dan
umumnya bagi semua pihak yang berkepentingan.

Penyusun, Mataram 23 Oktober 2020

Nama : Hafiyatul Hayani


NIM : G1C020022

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER............................................................................................ i
KATA PENGANTAR........................................................................................... ii
DAFTAR ISI....................................................................................................... iii
BAB I. Tauhid: Keistimewaan&Kebenaran Konsep Ketuhanan dalam Islam.... 1
BAB II. Sains dan Teknologi dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits..................... 6
BAB III. 3 Generasi Terbaik Menurut Al-Hadits............................................... 10
BAB IV. Pengertian dan Jejak Salafussoleh (Referesnsi Al-Hadits).......... 14
BAB V. Ajaran dan Tuntunan tentang Berbagi, Penegakan serta
Keadilan Hukum dalam Islam........................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 21
LAMPIRAN

Ketentuan Penulisan:

Kertas A4
Margin: 3x3x3x3 cm
Spasi 1,5
Font: Arial 11
Jumlah halaman: Minimal 15
Jumlah Referensi Buku/Kitab/Web, situs, blog, dll: Minimal 10
Nomor Halaman Ketik di Sebelah pojok bawah sebelah kanan.

PERHATIAN:

Saat upload di scribd muncul form:

a. Form untuk diisi judul, maka ketik judul: Tauhid, Al-Qur'an&Hadits, Generasi
Terbaik dan Salafussalih, Berbagi, Keadilan dan Penegakan Hukum dalam
Islam, Dosen: Dr.Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos.
b. Form untuk diisi Diskripsi Dokumen/Informasi Dokumen maka ketik: Islam, Dr.
Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos, Universitas Mataram, Nama Fakultas, Nama
Prodi, Nama Kalian Sendiri.

iii
BAB I TAUHID : KEISTIMEWAAN DAN KEBENARAN KONSEP KETUHANAN
DALAM ISLAM

A. Siapakah Tuhan Itu ?

Jauh sebelum agama Islam datang manusia sudah mempercayai adanya Tuhan
yang menciptakan alam raya ini. Meskipun diakui banyak Tuhan, tetapi ketika bangsa
Arab ditanya siapa penguasa dan pencipta alam semesta mereka menjawab Allah,
padahal pada saat itu mereka mnyembah berhala. Sehingga mereka bukan disebut
kaum tidak beriman tetapi kaum yang mempersekutukan Allah.

Kemudian Islam datang untuk meluruskan keyakinan itu dengan membawa ajaran
tauhid yang menjadi penyibak ajaran yang total dan meyeluruh tentang Tuhan pada
bangsa Arab yang disebut Allah. Islam mencoba menampilkan dan menggambarkan
kepada manusia tentang ajaran keseluruhan watak Tuhan dengan menggunakan
bahasa manusia yang mudah dimengerti dan dipahami. Islam adalah agama
penghambaan kepada Allah swt, realitas tinggi asal muasal, seluruh realitas, dan
kepada siapa semua kembali, karena Allah swt, adalah asal, pencipta, pengatur,
pemelihara dan akhir alam semesta.

Secara eksistensial menyatakan bahwa manusia menyadari adanya Tuhan, tapi


secara substansial manusia tidak mungkin mengetahui sosok Tuhan. Sejalan dengan
ini, pencarian Tuhan yang dilakukan Nabi Ibrahim as, terekam dalam surah Al
An’am/6:75 79, yang artinya, “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim
tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan (Kami
memperlihatkan) agar dia termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah
menjadi gelap dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku‟. Tetapi
tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam.
Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku‟. Tetapi setelah
bulan itu terbenam dia berkata: Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk
kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian tatkala dia
melihat matahari terbit, dia berkat: “Inikah Tuhanku, ini yang lebih besar‟, maka tatkala
matahari itu tenggelam, dia berkata: Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas dari apa
yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan
yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan
aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan“.

1
B. Kajian Teoretis Dan Kerangka Pikir

1. Kajian Teoritis

Kajian ini terfokus dalam makna al-Rubbiyah pada Al-Qur’an, berikut beberapa
pendapat tentang pembahasan tersebut :

a. Muhammad Rasyid Ridha dalam bukunya Tafsir Al-Fatihah wa Sittu Suwar min
Khawatim al-Qur‟an menyebutkan bahwa makna al- rububiyah adalah pengaturan dan
pemeliharaan. Menurutnya, pemeliharaan Allah swt. terhadap manusia dengan dua
cara, yaitu pertama, tarbiyah khalqiyah (pemeliharaan fisikal), yaitu menumbuhkan dan
menyempurnakan bentuk tubuh, serta memberikan daya jiwa dan akal. Kedua,
tarbiyah syar’iyah (pemeliharaan syariat), yaitu menurunkan wahyu kepada nabi-nabi
untuk menyempurnakan fitrah manusia dengan ilmu dan amal.

b. Maulana Abu Kalam Azad dalam bukunya The Opening Chapter of The Al-Qur’an
juga menyebutkan bahwa kata Rabb bermakna pemelihara, dan Penopang. Dalam
buku ini pula dijelaskan bagaimana sifat rububiyat Allah swt. terhadap segala ciptaan-
Nya.

2. Kerangka Teori

Dalam bahasa arab “Rabb“ memiliki tiga makna, yaitu yang menciptakan, yang
memiliki, dan yang mengatur, artinya Rabb yang menciptakan, yang memiliki dan
mengatur alam semesta ini. Rabb itu satu, yaitu Allah, berbeda dengan illahi yang
atinya disembah dan sesuatu yang disembah. Sesuatu yang disembah dapat benda
apa saja, baik Rabb yang sebenarnya, yaitu Allah, ataupun makhluk yang diciptakan
oleh Allah yang berupa batu, pohon, matahari, dan lain-lain. Dalam bahasa Indonesia
kalimat La ilaha illallah yang mempunyai arti “ Tiada Tuhan yang berhak disembah
selain Allah “. Kata Rabb selain di tunjukka untuk menyebut Tuhan ( Allah ), tapi Rabb
juga dapat dipakai untuk menunjukkan sesuatu yang disembah selain (Rabb ).
Sedangkan kata illahi dalam kalimat La ilaha illallah mengartikan sebuah penolakan
yang dilakukan secara tegas, sekaligus menetapkan bahwa hanya Allah lah yang patut
disembah.

C. Metodologi Penelitian

2
1.Sumber Penelitian

Ketika melakukan sebuah penelitian terdapat dua buah sumber yaitu, sumber
primer yang berasal dari Al-Qur’an dan juga sumber sekunder ini dibagi menjadi tiga
diantaranya:
1. Buku-buku tafsir yang akan diklasifikasi berdasarkan metode penulisannya.13
Pandangan dan pendapat para ulama dalam kitab tafsirnya dijadikan sebagai informasi
awal untuk melaksanakan analisis dan interpretasi lebih mendalam.
2. Kamus-kamus yang memuat daftar susunan kata-kata Alquran yang berisi petunjuk
praktis dalam menemukan ayat-ayat, misalnya al-Mufradat fi Gharib al-Qur‟an,
karangan Abu al-Qasim al-Husaya ibn Muhammad al-Raghib alAsfahani (w.502 M),
dan al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur‟an, susunan Muhammad Fuad Abd al-Baqi.
Di samping itu, digunakan pula kamuskamus lain yang relevan, seperti Maqayis al-
Lughah dan Lisan al-Arab, karya Ibnu Manzur al-Anshari.

2. Metode Dan Pendekatang Yang Digunakan

Dalam melakukan sebuah eksperimen atau percobaan kita menggunakan sebuah


metode yang bertujuan untuk menganalisi atau mencari tahu tentang apa yang kita
bahas. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:

a. Setelah terkumpilnya ayat-ayat yang dijadikan obyek kajian, dipisahkan dengan


ayat-ayat yang turun di Mekah dengan ayat-ayat yang turun di Madinah. ini digunakan
untuk membantu menemukan ayat Al-Qur’an.

b. Pengatahuan terhadap sebab, latar belakang turunnya ayat diperlukan juga


untuk membantu memahami arti ayat tersebut.

c. Memahami korelasi (munasabat) ayat-ayat tersebut dalam surah masing-


masing.

d. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan yang pokok


bahasan. Dengan pertimbangan bahwa hadis dapat membantu mendapatkan atau
menjelaskan pengertian al-qur’an dengan memperhatikan kata-kata yang dipakai pada
masa Nabi saw. jika hal itu memang dibutuhkan untuk memahami makna lebih jauh.

e. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun


ayat-ayat yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan anatara
yang umum dengan yang khusus atau mendamaikan yang pada lahirnya

3
bertentangansehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau
paksaan.

D. Tauhid Dalam Konsep Ketuhanan Islam

Allah swt, adalah nama Tuhan yang paling Agung dan menunjukkan kepada
kemuliaan dan keagungan Tuhan. Kata Allah merupakan ekspresi ketuhanan yang
paling tinggi dalam Islam, selain bermakna kemuliaan dan keagungan. Dalam
tafsirnya, Razi berpendapat, bahwa kedua kata tersebut ketika digabungkan maka
akan melahirkan dua bentuk makna yang simetris satu sama lain. Kata Allah
melahirkan makna positif, yaitu penetapan sifat kesempurnaan, keagungan, dan
kebesaran kepada zat Tuhan. Dengan menggunakan kata Allah, berarti
mengisyaratkan bahwa zat Tuhan merupakan zat yang paling agung, paling sempurna
dan paling berkuasa. Namun keagungan, kesempurnaan dan kebesarannya belum
mampu memberikan makna yang signifikan jika, dalam benak manusia belum jelas,
apakah keagungan, kesempurnaan dan kebesaran itu hanya dimiliki-Nya sendiri, atau
ada zat lain yang berkongsi dengan-Nya dalam kepemilikan terhadap sifat-sifat
tersebut. Dengan menambahkan kata ahad, maka segala kemungkinan tersebut
ditepis, dan bahkan sifat ini justru semakin menambah kesempurnaan dan kemuliaan
Tuhan. Dia sendiri dalam keagungan yang tak butuh kepada apa pun. Dia tunggal
dalam kesempurnaan dan tak bergantung terhadap apapun. Dia Esa dalam
kebesaran-Nya yang tak satupun mampu menandingi-Nya. Sehingga kesempurnaan,
kemuliaan dan kebesaran-Nya merupakan sesuatu yang mutlak menegasikan segala
bentuk keagunagn, kata Allah juga merupakan nama bagi zat yang wajib wujud yang
berhak untuk mendapatkan segala bentuk pujian. Sedangkan kata ahad merupakan
sifat bagi ketunggulan yang senantiasa abadi dalam keesaannya. Dengan adanya sifat
Ahad ini, akan menambah kemutlakan terhadap otoritas Tuhan. Dia adalah satu-
satunya yang berhak mendapatkan atribut ketuhanan di semesta raya ini.

Jika ditelusuri secara filosofis makna kalimat sebagaimana yang disebutkan oleh
Ibnu Sina bahwa (Allah Ahad), bermakna bahwa Tuhan Esa dalam segala aspek, dan
tidak pernah sekalipun mengandung pluralitas. Baik itu pluralitas maknawi,
sebagaimana yang ada dalam genus dan karakter, ataupun pluralitas yang real,
sebagaimana yang nampak dalam dunia materi. Keesaan ini juga menegasikan dan
mensucikan Tuhan dari hal-hal yang mengindikasikan bahwa Tuhan memiliki bentuk,
kualitas, kuantitas, warna dan segala jenis gambaran akal yang mampu merusak
kebersahajaan yang satu. Demikian juga, ‘Ahad’ mengindikasikan bahwa tak ada

4
sesuatupun yang menyamai-Nya. Seluruh keyakinan dan kepercayaan ini merupakan
landasan yang paling fundamental dalam pembentukan dan konstruksi akidah tauhid
yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Bahkan seluruh ajaran risalah kenabian
berporos pada konsep tauhid ini. M. Quraisy Shihab didalam bukunya yang berjudul
“Wawasan Al-Qur’an” memamparkan bahwa ayat-ayat tauhidiyah yang tergambar
dalam lintasan sejarah para Nabi dan Rasul yang bersumber dari Al-Qur’an yang
didalamnya dapat ditemukan bahwa para Nabi dan Rasul selalu membawa ajaran
tauhid.

BAB II SAINS DAN TEKNOLOGI DALAM AL-QUR’AN DAN HADITS

A. Dimensi Sains dan Teknologi dalam Al-Qur’an

5
Sains dan teknolgi merupakan dua buah sisi yang ibaratkan sebagai mata uang
yang tidak dapat dipisahkan antara satu dan yg lainnya. Sains menurut Baiquni adalah
himpunan pengetahuan manusia tentang alam yang diperoleh sebagai konsensus para
pakar, melalui penyimpulan secara rasional mengenai hasil-hasil analisis yang kritis
terhadap data pengukuran yang diperoleh dari observasi pada gejala-gejala alam.
Sedangkan teknologi adalah himpunan pengetahuan manusia tentang proses-proses
pemanfaatan alam yang diperoleh dari penerapan sains, dalam kerangka kegiatan
yang produktif ekonomis (Baiquni, 1995: 58-60).

Pandangan Al-Qur’an terhadap sains dan teknologi dapat kita lihat dari wahyu
pertama yang diturunkan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw. Wahyu tersebut
terdapat dalam surah Al-A’laq ayat 1-5 yang artinya, “Bacalah dengan (menyebut)
nama Tuhanmu yang menciptakan. Yang menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) melalui
perantaraan kalam (tulis baca). Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya
“. (QS. Al-A’laq : 1-5).

Menurut Quraish Shihab iqra’ berasal dari kata yang artinya menghimpun. Dan kata
menghimpun tersebut mempunyai banyak makna diantaranya, menyampaikan,
menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu dan membaca yang tertulis
ataupun tidak tertulis. Sedangkan dari segi obyeknya kata iqra’ itu mencakup segala
sesuatu yang dapat dijangkau oleh manusia (Shihab, 1996:443).

Atas dasar itu, sebenarnya tidak ada alasan untuk membuat dikotomi ilmu agama
dan ilmu non agama. Sebab, sebagai agama yang memandang dirinya paling lengkap
tidak mungkin memisahkan diri dari persoalan-persoalan yang bereperan penting
dalam meningkatkan kesejahteraan umatnya. Berkaitan dengan hal ini, Ghulsyani
mengajukan beberapa alasan untuk menolak dikotomi ilmu agama dan ilmu non
agama sebagai berikut:

1. Dalam sebagian besar ayat al-Qur’an, konsep ilmu secara mutlak muncul dalam
maknanya yang umum, seperti pada ayat 9 surat al-Zumar: “Katakanlah: adakah sama
orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui.” Beberapa
ayat lain yang senada di antaranya QS 2:31; QS 12:76; QS 16:70.
2. Beberapa ayat al-Qur’an secara eksplisit menunjukkan bahwa ilmu itu tidak hanya
berupa prinsip-prinsip dan hukum-hukum agama saja. Misalnya, firman Allah pada
surat Fathir ayat 27-28: “Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan

6
dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka ragam
jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang
beraneka ragam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di
antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang
bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada
Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah “ulama”. Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Pengampun “.

3. Di dalam al-Qur’an terdapat rujukan pada kisah Qarun. “Qarun berkata:


Sesungguhnya aku diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku.” (QS al-Qashash: 78)
(Ghulsyani, 1993: 44- 45).

Untuk dapat memahami sunnatullah yang beraturan di alam semesta ini, manusia
telah dibekali oleh Allah SWT dua potensi penting, yaitu potensi fitriyah (di dalam diri
manusia) dan potensi sumber daya alam (di luar diri manusia). Di samping itu, al-
Qur’an juga memberikan tuntunan praktis bagi manusia berupa langkah-langkah
penting bagaimana memahami alam agar dicapai manfaat yang maksimal. Suatu cara
penghampiran yang sederhana dalam mempelajari ilmu pengetahuan ditunjukkan
dalam al-Qur’an surat al-Mulk ayat 3-4 yang intinya mencakup proses kagum,
mengamati, dan memahami.

Memahami tanda-tanda kekuasaan Pencipta hanya mungkin dilakukan oleh orang-


orang yang terdidik dan bijak yang berusaha menggali rahasia-rahasia alam serta
memiliki ilmu (keahlian) dalam bidang tertentu. Ilmu-ilmu kealaman seperti matematika,
fisika, kimia, astronomi, biologi, geologi dan lainnya merupakan perangkat yang dapat
digunakan untuk memahami fenomena alam semesta secara tepat. Dengan bantuan
ilmu-ilmu serta didorong oleh semangat dan sikap rasional, maka sunnatullah dalam
wujud keteraturan tatanan (order) di alam ini tersingkap.

1. Prinsip-Prinsip Dasar Kegiatan Ilmiah Dalam Al-Qu’an

Menurut pandangan Al-Qur’an menegenai ilmu pengetahuan (sains dan teknologi)


ada beberapa prinsip dasar yang dapat menopang dan memantapkan kegiatan ilmiah
manusia sebagai berikut :

a. Prinsip Istikhlaf

7
Prinsip istikhlaf merupakan salah satu prinsip dasar yang digariskan oleh al-Qur’an
dalam mendukung dan memantapkan kegiatan imiah. Konsep istikhlaf ini berkaitan
fungsi kekhalifahan manusia yang bersifat multi dimensional.

2. Prinsip Keseimbangan

Prinsip keseimbangan merupakan kebutuhan dasar manusia seperti spiritual dan


material. Prinsip ini dibahas secara luas dan mendalam di dalam al-Qur’an dengan
mengambil berbagai bentuk ungkapan. Manusia disusun oleh Allah dengan susunan
dan ukuran tertentu, lalu diperuntukkan bumi ini dengan kehendak-Nya untuk
memenuhi kebutuhan susunan yang membentuk manusia itu. Dengan demikian atas
terwujudnya dua sisi (spiritual dan material) akan membuat kehidupan manusia
menjadi seimbang.

3. Prinsip Taskhir

Prinsip taskhir merupakan prinsip dasar mengenai alam semesta (kosmos). Prinsip
taskhir ini ditopang oleh penguasaan ilmu pengetahuan dan metodologinya merupakan
faktor kondusif bagi manusia dalam membangun bentuk-bentuk peradaban yang
sesuai dengan cita-cita manusia dan kemanusiaan.

4. Prinsip Kedekatan Antara Makhluk Dan Khalik

Prinsip penting lainnya adalah keterkaitan antara makhluk yang diciptakan dan sang
pencipta yang Maha Agung. Ilmu pengetahuan adalah alat yang mutlak untuk
menjelaskan dan mengungkapkan keterkaitan tersebut.

B. Dimensi Sains Dan Teknologi Dalam Hadis

Definisi sains menurut tradisi islam adalah sains yang bersumberkan daripada
tradisi sains tamadun awal terutamanya Tamadun dan akedah empirikal dan
matematikal atapun logical merupakan sebagian sahaja kaedah yang digunakan
(Harun, 1992:7). Metodologi sains Islam juga mengakui kaedah yang bukan empiris
seperti ilham dan kaedah gnostic atau kashf sebagai tergolong dalam metodologi
saintifik. Kaedah ini pernah diamalkan oleh tokoh sains Islam yang terkenal.

Islam amat menyeru kepada penganutnya yang mementingkan budaya ilmu dan
melakukan sesuatu proses pencarian ilmu pengetahuan dengan bersungguh-sungguh.
Islam amat menegaskan tentang kepentingan menimba ilmu dan dipraktikkan dalam
pengenalan ilmu sains dan teknologi. Perkara ini dapat dibuktikan secara fakta bahawa

8
wahyu yang pertama diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW amat menekankan
kepada pembacaan sebagai perkara penting dalam menimba ilmu (Jasmi, 2016b;
Muslim, 2003; Ujang, 2009; Yusuf, 2011; Samrin, 2013; Ina Fauzia, 2015).

Ilmu adalah satu perkara wajib yang perlu dituntut oleh setiap umat
manusia terutamanya umat Islam baik laki-laki maupun perempuan (Ujang, 2009;
Jasmi, 2016b). Perkara ini dapat diterjemahkan menurut sebuah hadis Rasulullah SAW
yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik RA (Ibn Majah, 2009: 224), yang artinya
“menuntut ilmu adalah satu kewajipan ke atas setiap orang Islam ” (Ibn Majah).

Peningkatan teknologi amat memberi galakkan dan dorongan umat Islam untuk
menceburi dan mendalami tentang keindahan sains dan teknologi agar tidak
ketinggalan jauh daripada peredaran zaman. Umat Islam yang sejati akan menjadikan
al-Quran dan hadis sebagai panduan untuk memacu teknologi ke arah yang
komprehensif dan lebih teratur demi mewujudkan masyarakat Islam majmuk yang lebih
berkualiti dan berinnovasi berteraskan keilmuan Islam. Allah SWT berfirman, yang
artinya “Dan kami mengajar Nabi Dawud membuat baju besi unntuk kamu menjaga
keselamatan kamu dalam mana-mana peperangan kamu, maka adakah kamu sentiasa
bersyukur? “ (Surah al-Anbiya’, 21: 80).

9
BAB III 3 GENERASI TERBAIK MENURUT AL HADITS

Generasi terbaik adalah para sahabat Nabi Muhammad saw, karena mereka adalah
sebaik-baiknya manusia. Setelah para sahabat Nabi Muhammad saw, generasi terbaik
adalah generasi berikutnya, lalu generasi berikutnya lagi. Tiga kurun inilah yang
mrupakan generasi terbaik. Dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhuma, bahwa dia
mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda artinya, “Sebaik-baik
umatku adalah pada masaku. Kemudian orang-orang setelah mereka (generasi
berikutnya), lalu orang-orang setelah mereka.” ( Shahih Al-Bukhori:no.3650).

Mereka inilah orang-orang paling baik, paling selamat, dan paling mengetahui dan
memahami tentang islam. Dan mereka inilah para pendahulu yang memiliki keshalihan
yang tinggi (as-salafu ash-shalih). Meraka inilah yang telah mendapat keridhaan Allah
swt, dan mereka pula telah ridha kepada Allah swt. Allah swt berfiman dalam surah At-
Tubah ayat 100, yang artinya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama
(masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha
kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-
sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan
yang besar.” (At-Taubah: 100).

Selain itu, Allah swt berfirman dalam surah lain, yaitu surah Al-Luqman ayat 15,
artinya “Dan ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku.” (Luqman: 15).
Menurut Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam I’lam Al-Muwaqqi’in, ayat diatas
menjelaskan tentang sahabat yang tetap kembali kepada Allah swt. Maka, kita wajib
mengikuti jalannya, perkataan-perkataanya dan keyakinan-keyakinan (I’tiqad) mereka.

Rasulullah saw, bersabda berdasar hadits dari Al-Mughirah bin Syu’bah


radhiyallahu ‘anhu, bersabda artinya, “Akan selalu ada sekelompok orang dari umatku
yang unggul/menang hingga tiba pada mereka keputusan Allah, sedang mereka
adalah orang-orang yang unggul/menang.” (Shahih Al-Bukhari, no. 7311).

Menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu, bahwa yang


dimaksud hadits tersebut adalah adanya sekelompok orang yang berpegang teguh
dengan apa yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat berada di
atasnya. Mereka adalah orang-orang yang unggul atau menang, tak akan
termudaratkan oleh orang-orang yang menelantarkannya dan orang-orang yang
menyelisihinya. (Syarhu Ash-Shahih Al-Bukhari, 10/104).

Jika dilihat pada masa lampau di setiap kurun, waktu, senantiasa didapati para
pembela al-haq. Mereka adalah bintang gemilang yang memberi petunjuk arah dalam
kehidupan umat. Mereka memancarkan berkas cahaya yang memandu umat di tengah
gelap gulita. Pada saat munculnya bid’ah Khawarij dan Syi’ah, Allah Subhanahu wa
Ta’ala merobohkan makar mereka dengan memunculkan Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu dan Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Begitupun saat Al-

10
Qadariyah hadir, maka Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, dan Jabir bin ‘Abdillah
radhiallahu ‘anhum dari kalangan sahabat yang utama melawan pemahaman sesat
tersebut. Washil bin ‘Atha’ dengan paham Mu’tazilahnya dipatahkan Al-Hasan Al-
Bashri, Ibnu Sirin, dan lain-lainnya dari kalangan utama tabi’in. Merebak Syi’ah
Rafidhah, maka Al-Imam Asy-Sya’bi, Al-Imam Syafi’i, dan para imam Ahlus Sunnah
lainnya menghadapi dan menangkal kesesatan Syi’ah Rafidhah. Jahm bin Shafwan
yang mengusung Jahmiyah juga diruntuhkan Al-Imam Malik, Abdullah bin Mubarak,
dan lainnya. Demikian pula tatkala menyebar pemahaman dan keyakinan bahwa Al-
Qur’an adalah makhluk bukan Kalamullah. Maka, Al-Imam Ahmad bin Hanbal tampil
memerangi pemahaman dan keyakinan sesat tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala
senantiasa memunculkan para pembela risalah-Nya. Mereka terus berupaya menjaga
as-sunnah, agar tidak redup dan dirampas para ahli bid’ah. Bermunculan para imam,
seperti Al-Imam Al-Barbahari, Al-Imam Ibnu Khuzaimah, Al-Imam Ibnu Baththah, Al-
Imam Al-Lalika’i, Al-Imam Ibnu Mandah, dan lainnya dari kalangan imam Ahlus
Sunnah. Dan pada kurun berikutnya, ketika muncul bid’ah sufiyah, ahlu kalam dan
filsafat, hadir di tengah umat para imam, seperti Al-Imam Asy-Syathibi, Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah beserta murid-muridnya, yaitu Ibnul Qayyim, Ibnu Abdilhadi, Ibnu Katsir,
Adz-Dzahabi, dan lainnya rahimahumullah.

Sosok Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sendiri bagi sebagian umat Islam bukan lagi
sosok yang asing. Kiprah dakwahnya begitu agung. Pengaruhnya sangat luas. Kokoh
dalam memegang sunnah. Sebab, menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
sesungguhnya tidak ada kebahagiaan bagi para hamba, tidak ada pula keselamatan di
hari kembali nanti (hari kiamat) kecuali dengan ittiba’ (mengikuti) Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Yang artinya “(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-
ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah
memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang
mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya
Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya
siksa yang menghinakan.” (An-Nisa’: 13-14).

Allah swt, menciptakan sesuatu karena ada tujuan dan alsannya, sebagiman firman
Allah swt, yang artinya” Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembah-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56). Rasulullah saw, bersabda dalam hadits
Al-Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan Ahlu Sunan dan
dishahihkan At-Tirmidzi rahimahullahu yang artinya “Sesungguhnya kalian akan hidup
setelahku, kalian akan mendapati banyak perselisihan. Maka, pegang teguh sunnahku
dan sunnah khulafa ar-rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Pegang teguh
sunnah dan gigit dengan gerahammu. Dan hati-hatilah dari perkara yang diadakan,
karena setiap bid’ah itu sesat.” (HR. At-Tirmidzi no. 2676) (Lihat Majmu’ah Al-
Fatawa,1/4).

Inilah pandangan dari seorang Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu dalam
menetapi Islam. Cara pandang inilah yang hilang dari kaum muslimin sehingga dapat
terjatuh kedalam perkara-perkara yang diadakan, yaitu perkara yang tidak pernah
dicontohkan oleh Rasulullah saw. Mereka sering membuat perkara yang

11
mengatasnamakan Islam, padahal Islam sendiri tidak pernah membuatnya, mereka
terbelenggu oleh bid’ah. Kekokohan yang memegang teguh prinsip beragama oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu digambarkan oleh Al-Hafizh Al-Mizzi
rahimahullahu. Kata Al-Hafizh Al-Mizzi rahimahullahu, “Aku tak pernah melihat orang
yang seperti beliau. Tidak pula dia melihat orang yang seperti dirinya. Aku melihat,
tidak ada seorangpun yang lebih mengetahui dan sangat kuat mengikuti Al-Kitab dan
sunnah Rasul-Nya dibanding beliau. Pantaslah bila sosok Syaikhul Islam senantiasa
membuat susah para ahlu bid’ah. Disebutkan Al-Hafizh Ibnu Abdilhadi rahimahullahu,
bahwa beliau rahimahullahu adalah pedang terhunus bagi orang-orang yang
menyelisihi (Al-Kitab dan As-Sunnah). Menyusahkan orang-orang yang mengikuti
hawa nafsu, yang suka mengada-adakan ajaran (baru) dalam agama. (Al-Ushul Al-
Fikriyah Lil-Manahij As-Salafiyah ‘inda Syaikhil Islam, Asy-Syaikh Khalid bin
Abdirrahman Al-‘Ik).

Kecemburuan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu terhadap harkat


martabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu besar. Itu bisa tergambar
melalui tulisan beliau rahimahullahu yang berjudul Ash-Sharimu Al-Maslul ‘ala Syatimi
Ar-Rasul (Pedang Terhunus terhadap Orang yang Mencaci Rasul Shallallahu ‘alaihi wa
sallam). Tulisan ini merupakan sikap ilmiah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullahu dalam menyikapi orang yang mencaci-maki Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Mencaci Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bukan
perkara ringan, ini menyangkut nyawa manusia. Sikap tegas, ilmiah, dan selaras akal
sehat ini merupakan bentuk penjagaan beliau rahimahullahu terhadap Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan risalah yang dibawanya.

Bahkan disaat beliau dipenjara pun, senantiasa menyebarkan kebaikan kepada


sesama penghuni penjara. Beliau rahimahullahu memberi bimbingan, melakukan amar
ma’ruf, dan mencegah kemungkaran. Dikisahkan Al-Hafizh Ibnu Abdilhadi
rahimahullahu, tatkala beliau masuk tahanan, didapati para penghuni tahanan sibuk
dengan beragam permainan yang sia-sia. Di antara mereka sibuk dengan main catur,
dadu, dan lainnya. Mereka sibuk dengan permainan tersebut hingga melalaikan shalat.
Lantas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu mencegah hal itu secara tegas.
Beliau memerintahkan mereka untuk melaksanakan shalat. Mengarahkan kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam setiap amal shalih. Bertasbih, beristighfar, dan
berdoa. Mengajari mereka tentang sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sesuai yang mereka butuhkan. Beliau rahimahullahu mendorong mereka untuk suka
melakukan amal-amal kebaikan. Sehingga jadilah tempat tahanan tersebut senantiasa
dipenuhi kesibukan dengan ilmu dan agama. Bilamana tiba waktu pembebasan, para
narapidana tersebut lebih memilih hidup bersama beliau. Banyak dari mereka yang
lantas kembali ke tahanan. Akibatnya, ruang tahanan itu pun penuh. (Al-Ushul Al-
Fikriyah hal. 51).

Inilah kisah kehidupan orang alim. Keberadaannya senantiasa memberi manfaat


kepada umat. Dia menebar ilmu, menebar cahaya di tengah keterpurukan manusia.
Dia laksana rembulan purnama di tengah bertaburnya bintang gemilang. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi perumpamaan keutamaan antara seorang alim
dengan seorang abid (ahli ibadah). Dari Abud Darda’ radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah

12
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya “Dan keutamaan seorang alim
dibanding seorang ahli ibadah, bagai rembulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya
ulama itu pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar dan
dirham, (tetapi) mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa mampu mengambilnya, berarti
dia telah mengambil keberuntungan yang banyak.” (Sunan At-Tirmidzi, no. 2682,
Sunan Abi Dawud no. 3641, Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
rahimahullahu menshahihkan hadits ini).

13
BAB IV. PENGERTIAN DAN JEJAK SALAFUSSOLEH (REFERENSI AL-HADITS)

A. Pengertian Salafussoleh

Secara bahasa (etimologi) Ibnul Faris berkata, “Huruf sin, lam, dan fa’ adalah pokok
yang menunjukkan ‘makna terdahulu’. Termasuk salaf dalam hal ini adalah ‘orang-
orang yang telah lampau atau terdahulu’, dan arti dari ‘al-qoumu as-salaafu’ artinya
mereka yang telah terdahulu.” (Mu’jam Maqayisil Lughah: 3/95). Sedangkan secara
istilah (terminologi), ada beberapa pendapat menurut para ulama tentang pengertian
salaf dan ini terbagi menjadi empat :

1. Di antara para ulama ada yang membatasi makna Salaf yaitu hanya para
Sahabat Nabi saja.

2. Di antara mereka ada juga yang berpendapat bahwa Salaf adalah para


Sahabat Nabi dan Tabi’in (orang yang berguru kepada Sahabat).

3. Dan di antara mereka ada juga yang berkata bahwa Salaf adalah mereka
adalah para Sahabat Nabi, Tabi’in, dan Tabi’ut Tabi’in. (Luzumul Jama’ah (hal:
276-277)). Dan pendapat yang benar dan masyhur, yang mana sebagian besar
ulama ahlussunnah berpendapat adalah pendapat ketiga ini.

4. Yang dimaksud Salaf dari sisi waktu adalah masa utama selama tiga kurun
waktu/periode yang telah diberi persaksian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam dalam hadits beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka itulah yang
berada di tiga kurun/periode, yaitu para sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in.

Rasulullah saw, bersabda artinya,: “Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada
masaku, kemudian manusia yang hidup pada masa berikutnya, kemudian manusia
yang hidup pada masa berikutnya.” (HR. Bukhari (2652), Muslim (2533)).

B. Dalil-Dalil Yang Menunjukkan Harus Mengikuti Salafus Shalih

1. Dalil Al-Qur’anul Karim

Dalam Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 115 artinya, “Dan barangsiapa yang
menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan
jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa : 115).

Selain ayat diatas, Allah swt, berfirman dalam surah At-Taubah ayat 100 artinya ,
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-
orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik,
Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan
bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah : 100).
Allah swt, mengancam orang-orang yang tidak mengikuti jalan salafus shalih dengan

14
neraka jahannam, dan Allah swt, akan memberikan surga bagi orang-orang yang
mengikuti jalan salafus shalih.

2. Dalil As Sunnah

a. Hadits Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi


wasallam telah bersabda artinya, “Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada
masaku, kemudian manusia yang hidup pada masa berikutnya, kemudian manusia
yang hidup pada masa berikutnya, kemudian akan datang suatu kaum persaksian
salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya, dan sumpahnya mendahului
persaksiannya.” (HR Bukhari (3650), Muslim (2533)).

b. Kemudian dalam hadits yang lain, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi


wasallam menyebutkan tentang hadits iftiraq (akan terpecahnya umat ini menjadi 73
golongan), beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda artinya, “Ketahuilah,
sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari Ahlul Kitab telah berpecah belah
menjadi tujuh puluh dua golongan. Sesungguhnya (ummat) agama ini (Islam) akan
berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua golongan
tempatnya di dalam Neraka dan hanya satu golongan di dalam Surga, yaitu al-
Jama’ah.” [Shahih, HR. Abu Dawud (no. 4597), Ahmad (IV/102), al-Hakim (I/128), ad-
Darimi (II/241), al-Ajurri dalam asy-Syarii’ah, al-Lalikai dalam as-Sunnah (I/113 no.
150). Dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi dari Mu’a-
wiyah bin Abi Sufyan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan hadits ini shahih
masyhur. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-
Shahiihah (no. 203-204)].

Dalam riwayat lain disebutkan artinya, “Semua golongan tersebut tempatnya di


Neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para Sahabatku berjalan di atasnya.”
[Hasan, HR. At-Tirmidzi (no. 2641) dan al-Hakim (I/129) dari Sahabat ‘Abdullah bin
‘Amr, dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami’ (no. 5343)].

Hadits iftiraq tersebut juga menunjukkan bahwa umat Islam akan terpecah menjadi
73 golongan, semua binasa kecuali satu golongan, yaitu yang mengikuti apa yang
telah dilaksanakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
Sahabatnya Radhiyallahu anhum. Jadi, jalan selamat itu hanya satu, yaitu mengikuti
Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih (para Sahabat).

c. Hadits panjang dari Irbad bin Sariyah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu


Alaihi Wasallam bersabda artinya “Barang siapa di antara kalian yang hidup
sepeninggalku maka ia akan melihat perselisihan yang banyak, oleh sebab itu wajib
bagi kalian berpegang dengan sunnahku dan Sunnah Khulafaaur Rasyidin (para
khalifah) yang mendapat petunjuk sepeninggalku, pegang teguh Sunnah itu, dan
gigitlah dia dengan geraham-geraham, dan hendaklah kalian hati-hati dari perkara-
perkara baru (dalam agama) karena sesungguhnya setiap perkara baru adalah bid’ah
dan setiap bid’ah adalah sesat” [Shahih, HR. Abu Daud (4607), Tirmidzi (2676),
dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ (1184, 2549)].

15
3. Dari perkataan Salafush Shalih

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu, ia berkata artinya, “Ikutilah dan


janganlah berbuat bid’ah, sungguh kalian telah dicukupi.” (Al-Bida’ Wan Nahyu Anha
(hal. 13)).

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu, juga pernah berkata, Artinya, “Barang siapa


di antara kalian ingin mncontoh, maka hendaklah mencontoh orang yang telah wafat,
yaitu para Shahabat Rasulullah, karena orang yang masih hidup tidak akan aman dari
fitnah, Adapun mereka yang telah wafat, merekalah para Sahabat Rasulullah, mereka
adalah ummat yang terbaik saat itu, mereka paling baik hatinya, paling dalam ilmunya,
paling baik keadaannya. Mereka adalah kaum yang dipilih Allah untuk menemani
NabiNya, dan menegakkan agamaNya, maka kenalilah keutamaan mereka, dan
ikutilah jejak mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas jalan yang
lurus.” (Jami’ul Bayan Al-ilmi Wa Fadhlihi (2/97)).

Imam Al Auza’i rahimahullah berkata artinya, “Sebarkan dirimu di atas sunnah, dan


berhentilah engkau dimana kaum itu berhenti (yaitu para Shahabat Nabi), dan
katakanlah dengan apa yang dikatakan mereka, dan tahanlah (dirimu) dari apa yang
mereka menahan diri darinya, dan tempuhlah jalan Salafush Shalihmu (para
pendahulumu yang shalih), karena sesungguhnya apa yang engkau leluasa
(melakukannya) leluasa pula bagi mereka.” (Jami’ul Bayan Al-ilmi Wa Fadhlihi (2/29)).

C. Jejak Salafussoleh

Abdullah bin Mas’ud menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang mengharuskan kita
mengikuti jejak salafussoleh atau para sahabat diantaranya,

1. Para sahabat adalah orang yang paling baik hatinya dan Allah ridha dengan para
sahabat. Allah yang Maha Tahu tentang hatinya para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum
Ajma’in.

2. Para sahabat adalah orang yang dalam ilmunya. Allah menyebutkan bahwa para
sahabat adalah orang yang berilmu.

3. Para sahabat adalah orang yang paling sedikit bebannya. Artinya mereka kalau
ditanya suatu masalah agama, jika bisa dijawab, mereka menjawab. Adapun yang
tidak, mereka tidak menjawabnya, sehingga beban mereka sedikit.

4. Para sahabat adalah yang paling lurus petunjuknya. Ini jelas, sebab mereka dibina,
dibimbing, ditarbiyah oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Lurus dalam
beragama, tidak bengkok, maka nanti diakhirnya disebutkan bahwa mereka diatas
jalan yang lurus.

5. Para sahabat adalah orang yang paling baik keadaannya. Jika dilihat kehidupan
mereka baik dalam ibadah mereka paling baik, dalam rumah tangga mereka paling
baik, dan dalam berjihad pula mereka yang paling baik, maka merekalah yang terbaik.

16
6. Para sahabat adalah satu kaum yang Allah swt, pilih untuk menemani Nabi-Nya.
Artinya ini pilihan Allah swt. Allah swt, memilih para sahabat menemani Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk membela agama-Nya,  untuk menegakkan agama-
Nya, untuk berjihad, untuk mendakwahkan dakwah tauhid untuk melaksanakan sunnah
dan membela sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

17
BAB V AJARAN DAN TUNTUNAN BERBAGI, PENEGAKAN SERTA KEADILAN
HUKUM DALAM ISLAM

A. Ajaran Dan Tuntunan Berbagi

Islam tentu mengajarkan dan menuntut kita untuk saling berbagi antara sesame
manusia. Allah swt, berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 177,yang artinya,
“Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi
kebajikan itu ialah (kebajikan)orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-
malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan
(musafir), peminta-peminta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang
melaksanakan sholat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila
berjanji, dan orang yang bersabar dalam kemelaratan, penderitaan, dam pada masa
peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang
yang bertakwa.” (QS.Al-Baqarah/2:177).

Berbagi bukanlah mendatangkan keburukan melainkan berbagi mendatangkan


sebuah kebaikan. Adapun hikmah yang bisa kita ambil adalah sebagi berikut:

1. Berbagi itu mulia, artinya kita mendapatkan kemulian dari Allah swt, selain
itu kita juga mulia dihadapan sesama manusia. Berbagi bukan hanya soal
materi, tetapi berbagi itu bisa menggunakan makanan dan lain-lain.
2. Bebagi adalah besyukur, artinya ketika kita punya suatu potensi kemudian
kita menyalurkan potensi yang kita punya kepada orang lain. Hal ini
menunjukkan bahwa kita bersyukur atas potensi yang diberikan Allah swt.
3. Berbagi itu amanah, artinya harta yang kita punya sekarang ini adalah titipan
dari Allah swt, dan didalam harta itu terdapat hak orang lain yang harus kita
berikan.
4. Berbagi itu prestasi, artinya apapun yang kita korbankan untuk kepentingan
berbagi itu adalah prestasi kita dihadapan Allah swt.
5. Berbagi itu investasi, artinya ketika kita berbagi itu adalah bentuk investasi
sebagai amal jariyah untuk kita terima di akhirat kelak.

B. Penegakan Serta Keadilan Hukum Dalam Islam

1. Penegakan Hukum Dalam Islam

Terdapat beberapa faktor yang dapat mendukung tegaknya hukum di suatu Negara
antara lain: Kaidah hukum, Penegak hukum, Fasilitas dan Kesadaran hukum warga
Negara. Dalam pelaksanaannya masih tergantung pada sistem politik Negara yang
bersangkutan. Jika sistem politik Negara itu otoriter maka sangat tergantung penguasa
bagaimana kaidah hukum, penegak hukum dan fasilitas yang ada. Adapun warga
Negara ikut saja kehendak penguasa (lihat synopsis). Pada sistem politik demokratis
juga tidak semulus yang kita bayangkan. Meski warga Negara berdaulat, jika system
pemerintahannya masih berat pada eksekutif (Executive heavy) dan birokrasi
pemerintahan belum direformasi, birokratnya masih “kegemukan” dan bermental
mumpung, maka penegakan hukum masih mengalami kepincangan dan kelambanan

18
(kasus “hotel bintang” di Lapas). Belum lagi kaidah hukum dalam hal perundang-
undangan yang simpang siur penerapannya (kasus Prita). Agar suatu kaidah hokum
berfungsi maka bila kaidah itu berlaku secara yuridis, maka kemungkinan besar kaidah
tersebut merupakan kaidah mati (dode regel), kalau secara sosiologis (teori
kekuasaan), maka kaidah tersebut menjadi aturan pemaksa (dwang maat regel). Jika
berlaku secara filosofi, maka kemungkinannya hanya hukum yang dicita-citakan yaitu
ius constituendum. Kaidah hukum atau peraturan itu sendiri, apakah cukup sistematis,
cukup sinkron, secara kualitatif dan kuantitatif apakah sudah cukup mengatur bidang
kehidupan tertentu. Dalam hal penegakan hukum mungkin sekali para petugas itu
menghadapi masalah seperti sejauh mana dia terikat oleh peraturan yang ada, sebatas
mana petugas diperkenankan memberi kebijaksanaan. Kemudian teladan macam apa
yang diberikan petugas kepada masyarakat. Selain selalu timbul masalah jika
peraturannya baik tetapi petugasnya malah kurang baik. Demikian pula jika
peraturannya tetapi petugasnya malah kurang baik. Demikian pula jika peraturannya
buruk, maka kualitas petugas baik.

Fasilitas merupakan sarana dalam proses penegakan hukum. Jika sarana tidak
cukup memadai, maka penegakan hukum pun jauh dari optimal. Mengenai warga
negara atau warga masyarakat dalam hal ini tentang derajat kepatuhan kepada
peraturan. Indikator berfungsinya hukum adalah kepatuhan warga. Jika derajat
kepatuhan rendah, hal itu lebih disebabkan oleh keteladanan dari petugas hukum.

2. Keadilan Hukum Dalam Islam

Pengertian keadilan dapat ditinjau dari dua segi yakni keadilan hukum dan keadilan
sosial. Adapun keadilan mengandung asas kesamaan hukum artinya setiap orang
harus diperlakukan sama di hadapan hukum. Dengan kata lain hukum harus
diterapkan secara adil. Keadilan hokum ternyata sangat erat kaitannya dengan
implementasi hukum di tengah masyarakat. Untuk mencapai penerapan dan
pelaksanaan hukum secara adil diperlukan kesadaran hukum bagi para penegak
hukum. Dengan demikian guna mencapai keadilan hukum itu, maka factor manusia
sangat penting. Keadilan hukum sangat didambakan oleh siapa saja termasuk
penjahat (pembunuh, pemerkosa, dan koruptor). Jika dalam suatu negara ada yang
cenderung bertindak tidak adil secara hukum, termasuk hakim, maka pemerintah harus
bertindak mencegahnya. Pemerintah harus menegakkan keadilan hukum, bukan
malah berlaku zalim terhadap rakyatnya. Keadilan sosial terdapat dalam kehidupan
masyarakat, terdapat saling tolong-menolong sesamanya dalam berbuat kebaikan.
Terdapat naluri saling ketergantungan satu dengan yang lain dalam kehidupan social
(interdependensi). Keadilan sosial itu diwujudkan dalam bentuk upah yang seimbang,
untuk mencegah diskriminasi ekonomi. Keadilan sosial adalah persamaan
kemanusiaan, suatu penyesuaian semua nilai, nilai-nilai yang termasuk dalam
pengertian keadilan. Kepemilikan atas harta seharusnya tidak bersifat mutlak. Perlu
dilakukan pemerataan, distribusi kekayaan anggota masyarakat. Bagaimana pemilik
harta seharusnya menggunakan hartanya. Penimbunan atau konsentrasi kekayaan,
sehingga tidak dimanfaatkan dalam sirkulasi dan distribusi akan merugikan
kepentingan umum. Sebaiknya harta kekayaan itu digunakan sebaik mungkin dan
memberikan manfaat bagi pemiliknya maupun bagi masyarakat.

19
Menurut M. Natsir (demokrasi dibawah hukum cet.III, 2002) adalah suatu
penegasan, ada undang-undang yang disebut Sunnatullah yang nyatanyata berlaku
dalam kehidupan manusia pada umumnya. Perikehidupan manusia hanya dapat
berkembang maju dalam berjama’ah (Society). Man is born as a social being. Hidup
perorangan dan hidup bermasyarakat berjalin, yang satu bergantung pada yang lain.
Kita mahluk sosial harus berhadapan dengan berbagai macam persoalan hidup, dari
persoalan rumah tangga, hidup bermasyarakat, berbangsa, bernegara, berantara
negara, berantar agama dan sebagainya, semuanya problematika hidup duniawi yang
bidangnya amat luas. Maka risalah Muhammad Saw, meletakkan beberapa kaidah
yang memberi ketentuan-ketentuan pokok guna memecahkan persoalan-persoalan.
Kestabilan Hidup bermasyarakat memerlukan tegaknya keadilan lanjut M. Natsir. Tiap
tiap sesuatu yang melukai rasa keadilan terhadap sebagian masyarakat, maka bisa
merusak kestabilan secara keseluruhan. Menegakkan keadilan di tengah-tengah
masyarakat dan bangsa diawali dengan kedaulatan hukum yang ditegakkan. Semua
anggota masyarakat berkedudukan sama di hadapan hukum. Jadi di hadapan hukum
semuanya sama, mulai dari masyarakat yang paling lemah sampai pimpinan tertinggi
dalam Negara. “Dan janganlah rasa benci kamu kepada suatu golongan menyebabkan
kamu tidak berlaku adil. Berlaku adilah, karena itu lebih dekat kepada taqwa. Dan
bertaqwalah kepada Allah karena sesungguhnya Allah amat mengetahui apa yang
kamu kerjakan”(QS.5:8). “Dengarlah dan taatilah sekalipun andaikata yang
menjalankan hokum atasmu seseorang budak Habsyi yang kepalanya seperti kismis
selama dijalankannya hukum Allah Swt”. (H.R.Buchori dari Anas).

Tidak mungkin hukum dan keadilan dapat tegak berdiri keadilan dapat tegak berdiri
kokoh apabila konsep persamaan itu diabaikan. Implementasi keadilan hukum di
masyarakat dewasa ini banyak ditemui sandungan yang menyolok atas pandangan
lebih terhadap orang yang punya kedudukan tinggi, yang punya kekayaan melimpah,
sehingga rakyat banyak telah menyimpan imej bertahun-tahun bahwa di negeri ini
keadilan itu dapat dibeli. Lebih jauh kesamaan itu dijabarkan Rachman di bukunya
Political Science and Government dalam Ramly Hutabarat di bukunya Hukum dan
Demokrasi (1999)yaitu, yakni :

a. Manusia secara alamiah dilahirkan sama (Natural Equality)

b. Setiap masyarakat memiliki kesamaan hak sipil

c. Semua warga negara memiliki hak yang sama mendapatkan lapangan


pekerjaan

d. Semua warga Negara sama kedudukannya dalam politik.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Abduh, Syekh Muhammad, Risalat al-Tauhid. Diterjemahkan oleh K.H. Firdaus


A.N. dengan judul Risalah Tuhid (Jakarta-Idonesia: Bulan Bintang, 1992),
2. Armstrong, Karen , A History of God: The 4.000-Year Quest of Judaism,
Christianity and Islam. Diterjemahkan oleh Zaimul Am dengan judul Sejarah
Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang dilakukan oleh Orang-orang Yahudi,
Kristen dan Islam Selama 4.000 Tahun (Bandung: Mizan, 2004).
3. Nasr, Seyyed Hossein , A Young Muslim‟s Guide to the Modern World.
Diterjemahkan oleh Hasti Tarekat dengan judul Menjelajah Dunia Modern
Bimbingan untuk Kaum Muda Muslim, ((Bandung: Mizan, 1994).
4. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya,Bandung: Jumanatul Ali-
ART, 2005
5. Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990
6. Encyclopædia Britannica. 2007. Encyclopædia Britannica Online
7. Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam (Ringkas), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1999
8. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya,Bandung: Jumanatul Ali-
ART, 2005
9. Abdullah, Amin. 2006. Islamc Studies di Pergurauan Tinggi: Pendekatan
IntegratifInterkonektif. Yokyakarta: : Pustaka Pelajar.
10. Ahmad, Zawawi. 1996. Sains Dalam Pendidikan Islam. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka.
11. http://www.Asysyariah.com, Penulis : Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin,
judul: Rembulan di Langit Zaman
12. https://muslim.or.id/18935-siapakah-salafus-shalih.html
13. Abd al-Baqi, Muhammad Fu'ad, 1987, alMu'jam al-Mufahras li Al-Fadh
AlQur`an al-Karim, Bairut: Dar al-Fikr
14. Depdikbud, 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka
15. Hamzah, Andi Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, 2005.
16. Natsir,M Demokrasi dibawah Hukum, Media Dakwah, Jakarta Cet.III 2002.
17. 17. Hutabarat, Ramly Hukum dan Demokrasi menurut M.Natsir, Biro Riset
DDII Jakarta, 1999
18. Soekamto, Soeryono, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
Radja Gravindo Persada, Jakarta 1993
19. _________, penegakan Hukum, BPHN DEPKES, 1983
20. Natsir, Chaidar, Republika Minggu, 7 Maret 2010

21
22

Anda mungkin juga menyukai