Genap/2018
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Ikan Patin
Ikan yang bernama ilmiah Pangasius di Indonesia terdiri dari Pangasius pangasius
atau P. djambal, P. humeralis, P. lithostoma, P. macronema, P. micronemus, P. nasutus,
P. niewenhuisii, dan P. polyuranodon (Kottelat, dkk.,1993). Jenis-jenis tersebut
merupakan ikan atau spesies asli (indigenous species) yang berada di perairan umum
Indonesia. Secara taksonomi, ikan patin diklasifikasikan ke dalam (Isnani, 2013) :
Filum : Chordata
Klas : Pisces
Ordo : Silusiformes
Famili : Pangasidae
Genus : Pangasius
Spesies : Pangasius djambal
Saat ini, spesies patin yang paling banyak dibudidayakan di Indonesia adalah patin
jambal (Pangasius djambal) dan patin siam atau jambal siam (P. hypophthalmus). Dari
segi ukuran, patin siam berukuran lebih besar daripada patin jambal. Patin siam dapat
mencapai ukuran 150 cm, sedangkan patin jambal hanya mencapai 120 cm. Patin
mempunyai bentuk tubuh memanjang, agak pipih, dan tidak bersisik. Warna tubuh patin
pada bagian punggung keabu-abuan atau kebiru-biruan dan bagian perut putih keperak-
perakan. Kepala patin relatif kecil dengan mulut terletak di ujung agak ke bawah.
Gambaran mengenai ikan patin dapat dilihat pada Gambar 2.1 dan ikan patin ini
merupakan ciri golongan ikan lele. Pada sudut mulutnya terapat dua pasang sungut
(kumis) pendek yang berfungsi sebagai peraba. Sirip punggung mempunyai satu jari-jari
keras yang berubah menjadi patil yang besar dan bergerigi di belakangnya, sedangkan
jari-jari lunak pada sirip ini ada 6-7 buah. Pada permukaan punggung terdapat sirip lemak
yang ukurannya sangat kecil. Sirip dubur agak panjang dan mempunyai 30-33 jari-jari
lunak. Sirip perut terdapat 6 jari-jari lunak. Sirip dada terdapat 1 jari-jari keras yang
berubah menjadi patil dan 12-13 jari-jari lunak. Sirip ekor bercagak dan bentuknya
simetris (Isnani,2013).
Patin adalah ikan sungai, muara-muara sungai, dan danau. Larva patin dapat hidup
pada perairan sampai salinitas 5 ppt. Patin dikenal sebagai hewan nokturnal, yakni hewan
yang aktif pada malam hari dan sebagai hewan dasar tampak dari bentuk mulutnya yang
agak ke bawah. Ikan ini juga bersembunyi di liang-liang di tepi ungai (Ghufran, 2010).
2.2.1 Rendering
Rendering merupakan suatu cara ekstraksi minyak atau lemak dari bahan yang
diduga mengandung minyak atau lemak dengan kadar air yang tinggi. Pada semua cara
rendering, penggunaan panas adalah suatu hal yang spesifik, yang bertujuan untuk
mengumpulkan protein pada dinding sel bahan dan untuk memecahkan dinding sel
tersebut sehingga mudah ditembus oleh minyak atau lemak yang terkandung di dalamnya
(Ketaren, 1986).
a. Wet Rendering
Wet rendering adalah proses rendering dengan penambahan sejumlah air selama
berlangsungnya proses tersebut. Cara ini dikerjakan pada ketel yang terbuka atau tertutup
dengan menggunakan temperatur yang tinggi serta tekanan 40 sampai 60 pound tekanan
uap (40-60 psi). Peralatan yang digunakan adalah autoclave atau digester. Air dan bahan
yang akan diesktraksi dimasukkan ke dalam digester dengan tekanan uap air sekitar 40
sampai 60 pound selama 4-6 jam (Ketaren, 1986).
b. Dry Rendering
Dry rendering adalah cara rendering tanpa penambahan air selama proses
berlangsung. Dry rendering dilakukan dalam ketel yang terbuka dan diperlengkapi
dengan steam jacket serta alat pengaduk (agitator) (Ketaren, 1986).
b. Perkolasi
Pada metode perkolasi, serbuk sampel dibasahi secara perlahan dalam sebuah
perkolator (wadah silinder yang dilengkapi dengan kran pada bagian bawahnya). Pela-rut
ditambahkan pada bagian atas serbuk sampel dan dibiarkan menetes perlahan pada bagian
bawah. Kelebihan dari metode ini adalah sampel senantiasa dialiri oleh pelarut baru.
Sedangkan kerugiannya ada-lah jika sampel dalam perkolator tidak homogen maka
pelarut akan sulit menjangkau seluruh area. Selain itu, metode ini juga membutuhkan
banyak pelarut dan me-makan banyak waktu (Mukhriani, 2014).
Perkolasi merupakan proses melewatkan pelarut organik pada sampel sehingga
pelarut akan membawa senyawa organik bersama-sama pelarut. Efektivitas dari proses ini
hanya akan lebih besar untuk senyawa organik yang sangat mudah larut dalam pelarut
yang digunakan. Keuntungan dari metode ini adalah tidak diperlukannya proses
pemisahan ekstrak sampel, sedangkan kerugiannya adalah selama proses tersebut, pelarut
menjadi dingin sehingga tidak melarutkan senyawa dari sampel secara efisien. (Prapdita,
2011).
c. Sokletasi
Metode ini dilakukan dengan menempatkan serbuk sampel dalam sarung selulosa
(dapat digunakan kertas saring) dalam selongsong yang ditempatkan di atas labu dan di
bawah kondensor. Pelarut yang sesuai dimasukkan ke dalam labu dan suhu penangas
diatur di bawah suhu reflux. Keuntungan dari metode ini adalah proses ektraksi yang
kontinyu, sampel terekstraksi oleh pelarut murni hasil kondensasi sehingga tidak
membutuhkan banyak pelarut dan tidak memakan banyak waktu. Kerugiannya adalah
senyawa yang bersifat termolabil dapat terdegradasi karena ekstrak yang diperoleh terus-
menerus berada pada titik didih (Mukhriani, 2014).
Sokletasi merupakan proses ekstraksi yang menggunakan penyarian berulang dan
pemanasan. Penggunaan metode sokletasi adalah dengan cara memanaskan pelarut
hingga membentuk uap dan membasahi sampel. Pelarut yang sudah membasahi sampel
kemudian akan turun menuju labu pemanasan dan kembali menjadi uap untuk membasahi
sampel, sehingga penggunaan pelarut dapat dihemat karena terjadi sirkulasi pelarut yang
selalu membasahi sampel. Proses ini sangat baik untuk senyawa yang tidak terpengaruh
oleh panas. (Prapdita, 2011).
diperlukan perlakuan pendahuluan sebelum minyak atau lemak dipisahkan dari bijinya.
Perlakuan pendahuluan tersebut mencakup pembuatan serpih, perajangan dan
penggilingan serta tempering atau pemasakan (Ketaren, 1986).
Minyak kasar
Gambar 2.2 Skema Cara Memperoleh Minyak Dengan Pengepresan (Ketaren, 1986)
Lemak dan minyak adalah salah satu kelompok yang termasuk pada golongan
lipid, yaitu senyawa organik yang terdapat di alam serta tidak larut dalam air, tetapi larut
dalam pelarut organik non-polar, misalnya dietil eter (C2H5OC2H5), Kloroform (CHCl3),
benzena dan hidrokarbon lainnya, lemak dan minyak dapat larut dalam pelarut yang
disebutkan di atas karena lemak dan minyak mempunyai polaritas yang sama dengan
pelarut tersebut (Herlina, 2002).
Bahan-bahan dan senyawa kimia akan mudah larut dalam pelarut yang sama
polaritasnya dengan zat terlarut . Tetapi polaritas bahan dapat berubah karena adanya
proses kimiawi. Misalnya asam lemak dalam larutan KOH berada dalam keadaan
terionisasi dan menjadi lebih polar dari aslinya sehingga mudah larut serta dapat
diekstraksi dengan air. Ekstraksi asam lemak yang terionisasi ini dapat dinetralkan
kembali dengan menambahkan asam sulfat encer (10 N) sehingga kembali menjadi tidak
terionisasi dan kembali mudah diekstraksi dengan pelarut non-polar (Herlina, 2002).
O
CH2OH R1COOH CH2OCR1
O
CHOH + R2COOH CHOCR2 + 3H2O
O
CH2OH R3COOH CH2OCR3
Asam lemak jenuh merupakan asam lemak yang mengandung ikatan tunggal pada
rantai hidrokarbonnya. Asam lemak jenuh mempunyai rantai zig-zig yang dapat cocok
satu sama lain, sehingga gaya tarik vanderwalls tinggi, sehingga biasanya berwujud
padat. Sedangkan asam lemak tak jenuh merupakan asam lemak yang mengandung satu
ikatan rangkap pada rantai hidrokarbonnya . asam lemak dengan lebih dari satu ikatan
dua tidak lazim,terutama terdapat pada minyak nabati,minyak ini disebut poliunsaturat.
Trigliserida tak jenuh ganda (poliunsaturat) cenderung berbentuk minyak (Herlina,2002).
(Sumber:Herlina,2002)
lemak yang lebih kompleks yang terdiri atas asam lemak jenuh dari C-14 sampai C-22
dan asam lemak tak jenuh dari satu hingga enam ikatan rangkap. Minyak ikan merupakan
hasil ekstraksi lipid yang dikandung dalam ikan dan bersifat tidak larut dalam air
(Winarno, 1992).
Komposisi minyak ikan berbeda dengan minyak nabati dan lemak hewan darat.
Minyak ikan pada umumnya mempunyai komposisi asam lemak dengan rantai karbon
panjang dan ikatan rangkap banyak. Asam lemak omega-3 mempunyai ikatan rangkap
pertama terletak pada atom karbon ketiga dari gugus metil. Ikatan rangkap berikutnya
terletak pada atom karbon ketiga dari ikatan rangkap sebelumnya. Gugus metil adalah
gugus terakhir dari rantai asam lemak. Contoh asam lemak omega-3 adalah asam
eikosapentaenoat (EPA), dan asam dekosaheksaenoat (DHA) (Estiasih,2009). Adapun
fungsi utama dari DHA, ARA dan EPA yaitu dapat membantu proses tumbuh-kembang
otak (kecerdasan), perkembangan janin, perkembangan indra penglihatan, perkembangan
saraf, sistem kekebalan tubuh balita dan fungsi kardiovaskular (Julaikha, 2014).
Uji ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kerusakan struktur dari suatu lemak dan
minyak. Asam lemak tak jenuh dapat mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga
membentuk peroksida. Semakin kecil angka peroksida berarti kualitas minyak semakin
baik. Kerusakan pada lemak atau minyak dapat terjadi karena proses oksidasi oleh
oksigen dari udara terhadap asam lemak tidak jenuh dalam lemak atau minyak yang
terjadi selama proses pengolahan atau penyimpanan (Harold, 1983).
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
3.1 Alat-alat
1. Oven
2. Timbangan
3. Alat pengepres (kain)
4. Timbangan analitik
5. Corong pisah
6. Botol air mineral 800 ml
7. Buret
8. Pipet tetes
9. Erlenmeyer
10. Gelas Piala
11. Piknometer
12. Viskometer
13. Statif
14. Kaleng
15. Penangas air (waterbatch)
16. Alumunium foil
3.2 Bahan-bahan
1. Limbah ikan
2. KOH yang telah distandarisasi
3. Phenoptalein
4. Alkohol (Etanol)
5. Vaseline
6. Natrium sulfat anhidrat
5. Limbah ikan pati yang telah dioven ini, dipress untuk diambil minyaknya
6. Minyak yang telah diperoleh kemudian dimasukkan kedalam corong pisah dan
ditambahkan natrium sulfat anhidrat dengan tujuan mengikat air yang terdapat
pada minyak
7. Minyak yang diperoleh ditimbang
3.3.2 Penentuan Kadar Asam Lemak Bebas
1. Larutan NaOH dimasukkan kedalam buret
2. 20 ml minyak limbah ikan dimasukkan kedalam erlenmeyer
3. 20 ml alkohol dimasukkan kedalam erlenmeyer tersebut sebagai pelarut
4. Kemudian campuran minyak dan alkohol dipanaskan didalam waterbatch
selama ±5 menit sambil diaduk
5. 3 tetes phenolptalein ditambahkan kedalam erlenmeyer tersebut setelah
dikeluarkan dari waterbatch
6. Sampel dititrasi dengan KOH yang telah disiapkan didalam buret hingga
warna pink dipermukaan disampel hilang
7. Titik akhir titrasi dicatat dan ditentukan persen asam lemak bebas yang ada
didalam sampel
N KOH x V KOH x Mr Minyak
%ALB =
berat minyak limbah ikan patin x 1000
3.3.3 Uji Densitas Minyak
2. Piknometer kosong ditimbang
3. Piknometer diisi sampel minyak hingga penuh
4. Kemudian piknometer yang telah diisi minyak tersebut ditimbang
Berat piknometer berisi−berat piknometer kosong
ρ= x 100%
volume sampel
3.3.4 Uji Viskositas Minyak
1. Masukkan 10 ml minyak kedalam viskometer
2. Minyak disedot hingga batas yang ditentukan
3. Setelah sampai dibatas yang ditentukan, cepat tutup dengan jari tangan
4. Buka jari dan hitung waktu yang dibutuhkan minyak untuk sampai ke batas
garis viskometer
3.3.5 Perhitungan Laju Pembentukan ALB
1. Minyak yang didapat dari percobaan ditimbang
2. Minyak didiamkan dan hitung rentang waktu pengamatan
3. Tentukan laju pembentukan asam lemak bebas
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Dry Rendering
Tabel 4.1 Pengamatan saat proses dry rendering
Sampe Perlakuan Massa Massa Na2SO4 Rendeme
l lemak minyak yang yang n
ikan dihasilkan digunakan
A Lemak ikan 600 gram 464,28 gram 23,21 gram 77,39 %
dioven selama
3 jam
B Lemak ikan 600 gram 455,71 gram 22,78 gram 75,95 %
dioven selama
5 jam
4.2 Pembahasan
Dari percobaan rendemen pada sampel A yang dioven selama 3 jam didapat
sebesar 77,39 %. Sedangkan rendemen pada sampel B yang dioven selama 5 jam didapat
sebesar 75,95 %. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Kamini (2016), didapatkan
nilai rendemen tertinggi pada pengovenan dengan waktu yang lebih lama, namun dalam
percobaan ini rendemen untuk sampel dengan waktu pengovenan 3 jam lebih besar
dibanding 5 jam diduga karena proses pengepresan minyak pada sampel B tidak
sempurna dan saat memasukkan minyak kedalam corong pemisah tidak hati-hati sehingga
sebagian minyak terbuang.
Kadar asam lemak bebas (ALB) pada sampel A yang dioven selama 3 jam didapat
sebesar 0,305 %, sedangkan kadar asam lemak bebas (ALB) pada sampel B yng dioven
selama 5 jam didapat sebesar 0,365 %. Jika dibandingkan dengan kadar asam lemak
bebas (ALB) secara teoritis yang berkisar antara 0,1 %- 13 %, kadar asam lemak bebas
(ALB) pada percobaan ini sudah memenuhi standar secara teoritis. Terjadinya asam
lemak bebas pada minyak ikan kasar disebabkan oleh adanya pemanasan pada saat
ektraksi. Rantai karbon yang memiliki ikatan rangkap pada asam lemak tak jenuh akan
bereaksi dengan panas sehingga terbentuklah asam lemak bebas yang bisa mempengaruhi
kualitas minyak ikan. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Gunawan et al. (2003),
asam lemak tak jenuh akan terurai karena akibat permukaan minyak yang panas dan
kontak langsung dengan udara, sehingga asam lemak bebas bertambah. Menurut Swern
(1994), semakin tinggi kadar asam lemak bebas maka semakin rendah kualitas minyak
tersebut. Maka dari kedua sampel tersebut yang memiliki kualitas cukup baik adalah
sampel A yang dioven selama 3 jam yaitu sebesar 0,305 %.
Pengujian densitas minyak dengan menggunakan piknometer. Densitas minyak
sampel A yang dioven selama 3 jam yaitu 0,947 gr/ ml sedangkan densitas minyak
sampel B yang dioven selama 5 jam yaitu 0,793 gr/ ml. Jika dibandingkan dengan
densitas minyak secara teoritis yaitu 0,92 gr/ ml sampel yang memiliki densitas
mendekati standar secara teoritis adalah sampel A. Menurut Ketaren (1986) perbedaan
densitas minyak antara sampel pertama yang dioven selama 3 jam dan sampel kedua yang
dioven selama 5 jam, karena perbedaan suhu minyak saat dilakukan pengujian.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Rendemen lemak patin yang dioven selama 3 jam dan 5 jam sebesar 77,38 % dan
75, 95% dari perbandingan diatas semakin lama waktu pengovenan maka semakin
sedikit rendemen lemak patin yang dihasilkan.
2. Kadar asam lemak bebas (ALB) lemak patin yang dioven selama 3 jam dan 5 jam
sebesar 0,305% dan 0,365 % dari perbandingan diatas diatas semakin lama waktu
pengovenan maka semakin besar kadar asam lemak bebas (ALB) lemak patin yang
dihasilkan.
3. Densitas minyak lemak patin yang dioven 3 jam dan 5 jam sebesar 0,947 gr/ml dan
0,793 gr/ml dari perbandingan diatas diatas semakin lama waktu pengovenan maka
semakin besar densitas minyak lemak patin yang dihasilkan.
4. Viskositas minyak lemak patin yang dioven 3 jam dan 5 jam sebesar 0,0317 cp dan
0,035 cp dari perbandingan diatas diatas semakin lama waktu pengovenan maka
semakin besar viskositas minyak lemak patin yang dihasilkan.
5.2 Saran
Saat pengovenan jaga suhu tetap konstan agar tidak mempengaruhi hasil minyak
ikan. Setelah pengovenan sebaiknya jangan tunggu sampai dingin karena minyak akan
membeku serta menggunakan sarung tangan dan masker pada saat melaksanakan
praktikum, karena bau yang menyengat dari limbah ikan tersebut.