Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

ASPEK MEDIKOLEGAL
PENANGGULANGAN COVID 19

Disusun Oleh :

Kasandra Harahap ( H1AP13014 )

Lail Chodriyah (H1AP2047 )

Uci Femilia Sri ( )

Panji Harry ()

M. Ridho Dwi Saputra (H1AP13020)

Indah Djaja ()

Fitri Walida (H1AP14052)

Trizna Meliza (H1AP14016)

Dosen Pembimbing :

Dr. Marlis Tarmizi Sp.F

BAGIAN KEDOKTERAN FORENSIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BENGKULU
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia
Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul ”Aspek Medikolegal Penanggulangan
COVID 19”. Penulis menyusun referat ini untuk memahami lebih dalam tentang Aspek
Medikolegal Penanggulangan COVID 19 dan sebagai salah satu syarat dalam menempuh
ujian Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik Bengkulu. Dalam kesempatan ini
penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada dokter pembimbing, anatar lain :
1. Dr. Marlis Tarmizi Sp. F, sebagai dosen pembimbing yang telah bersedia
meluangkan waktu.
2. Kedua orang tua kami, atas bantuan dan doanya.
3.Teman-teman yang telah memberikan dukungan kepada penulis dalam menyusun
referat ini.
Penulis sadar pembuatan referat ini masih jauh dari sempurna. Saran dan kritik yang
membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata, kami mengharapkan semoga referat ini
dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.

Bengkulu, 05 Juli 2020

Penulis
BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

WHO China Country Offce melaporkan kasus pneumonia yang tidak diketahui
etiologinya di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China. Pada tanggal 7 Januari 2020, China
mengidentifkasi pneumonia yang tidak diketahui etiologinya tersebut sebagai jenis baru
coronavirus (novel coronavirus). Pada awal tahun 2020 NCP mulai menjadi pendemi global
dan menjadi masalah kesehatan di beberapa negara di luar RRC. Berdasarkan World Health
Organization (WHO) kasus kluster pneumonia dengan etiologi yang tidak jelas di Kota
Wuhan telah menjadi permasalahan kesehatan di seluruh dunia. Penyebaran epidemi ini terus
berkembang hingga akhirnya diketahui bahwa penyebab kluster pneumonia ini adalah Novel
Coronavirus. Pandemi ini terus berkembang hingga adanya laporan kematian dan kasus-kasus
baru di luar China. Pada tanggal 30 Januari 2020, WHO menetapkan COVID-19 sebagai
Public Health Emergency of International Concern (PHEIC)/ Kedaruratan Kesehatan
Masyarakat Yang Meresahkan Dunia (KKMMD)1. Pada tanggal 12 Februari 2020, WHO
resmi menetapkan penyakit novel coronavirus pada manusia ini dengan sebutan Coronavirus
Disease (COVID-19). COVID-19 disebabkan oleh SARS-COV2 yang termasuk dalam
keluarga besar coronavirus yang sama dengan penyebab SARS pada tahun 2003, hanya
berbeda jenis virusnya. Gejalanya mirip dengan SARS, namun angka kematian SARS (9,6%)
lebih tinggi dibanding COVID-19 (saat ini kurang dari 5%), walaupun jumlah kasus COVID-
19 jauh lebih banyak dibanding SARS. COVID-19 juga memiliki penyebaran yang lebih luas
dan cepat ke beberapa negara dibanding SARS.1
Coronavirus merupakan keluarga besar virus yang menyebabkan penyakit pada
manusia dan hewan. Pada manusia biasanya menyebabkan penyakit infeksi saluran
pernapasan, mulai flu biasa hingga penyakit yang serius seperti Middle East Respiratory
Syndrome (MERS) dan Sindrom Pernapasan Akut Berat/ Severe Acute Respiratory Syndrome
(SARS). Penyakit ini terutama menyebar di antara orang- orang melalui tetesan pernapasan
dari batuk dan bersin3. Virus ini dapat tetap bertahan hingga tiga hari dengan plastik dan
stainless steel SARS CoV-2 dapat bertahan hingga tiga hari, atau dalam aerosol selama tiga
jam4. Virus ini juga telah ditemukan di feses, tetapi hingga Maret 2020 tidak diketahui
apakah penularan melalui feses mungkin, dan risikonya diperkirakan rendah. 5 Corona virus
jenis baru yang ditemukan pada manusia sejak kejadian luar biasa muncul di Wuhan China,
pada Desember 2019, kemudian diberi nama Severe Acute Respiratory Syndrome
Coronavirus 2 (SARS- COV2), dan menyebabkan penyakit Coronavirus Disease-2019
(COVID-19). COVID-19 termasuk dalam genus dengan for elliptic dan sering berbentuk
pleomorfk, dan berdiameter 60- 140 nm. Virus ini secara genetik sangat berbeda dari virus
SARS-CoV dan MERS-CoV. Penelitian saat ini menunjukkan bahwa homologi antara
COVID-19 dan memiliki karakteristik DNA coronavirus pada kelelawar-SARS yaitu dengan
kemiripan lebih dari 85%. Ketika dikultur pada vitro, COVID-19 dapat ditemukan dalam sel
epitel pernapasan manusia setelah 96 jam7.
Bencana Pandemi dan wabah penyakit COVID-19 memiliki potensi risiko yang cukup
besar jika tidak dilakukan pengendalian secara cepat dan komprehensif, sehingga
diberlakukan pencegahan sepeti Social distancing. Jaga jarak aman yang diupayakan sebisa
mungkin dapat menekan jumlah orang yang terinfeksi. Dengan sifat virus yang sangat
mudah menular, social distancing tidak bisa lagi ditempatkan sebagai imbauan, melainkan
kewajiban bagi siapa pun, selain itu ada beberapa hal lagi yang harus diterapakan dengan
ketat melalui undang-undang seperti masyarakat yang tidak melakukan tindakan
pencegahan COVID 19, menyebarkan identitas pasien yang menderita COVID 19, dan hal
yang baru-baru ini menghebohkan di kawasan masyarakat yakni mengambil paksa jenazah
pasien positif COVID 19. Hal tersebut harus ditindak lanjutin dengan tegas
Konsekuensinya adalah perlu segera dikeluarkan kebijakan-kebijakan setingkat peraturan
pemerintah untuk memastikan bahwa hal ini dapat ditaati semua warga negara. Ini adalah
persoalan hukum kewajiban masyarakat yang dimuat dalam peraturan, yang jika diabaikan
akan menimbulkan konsekuensi berupa sanksi. Persoalan ini memang akan berkaitan
dengan pembatasan hak individual. Maka, berdasarkan konstitusi, pembatasan hak harus
didasari undang-undang. Seiring dengan itu pula, mekanisme hukum untuk menjerat pelaku
telah disediakan. Akan tetapi, tindakan ini tidak cukup. Kenapa demikian kondisinya?
Jawabannya kembali kepada kultur atau mind set masyarakat Indonesia yang masih
menganggap permasalahan COVID 19 ini bisadiatasi dengan mudah dan sangat sedikit
mereka yang mengerti peraturan tentang COVID 19.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah definisi COVID 19?


2. Apa saja penyebab terjadinya penyebaran wabah COVID 19 yang semakin meningkat?
3. Bagaimanakah tindakan penanganan wabah COVID 19 dipandang dari aspek hukum?

1.3. Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum :
Agar masyarakat secara umum dapat memahami yang termasuk tindak pidana bila tidak
mematuhi peraturan terkait wabah COVID 19 dan mengetahui sanksi pidana dari tindakan
Kekerasan Dalam Rumah

1.3.2 Tujuan Khusus :


1. Mahasiswa mengetahui definisi COVID 19
2. Mahasiswa mengetahui penyebab terjadinya penyebaran wabah COVID 19 yang semakin
meningkat.
3. Mahasiswa mengetahui penanganan wabah COVID 19 dipandang dari aspek hukum
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 COVID 19
2.1.1 DEFINISI COVID 19
Covid-19 merupakan nama penyakit yang disebabkan oleh virus corona. Nama ini
diberikan oleh WHO (World Health Organzation) sebagi nama resmi penyakit ini. Covid
sendiri merupakan singkatan dari Corona Virus Disease-2019. Covid-19 yaitu penyakit yang
disebabkan oleh virus corona yang menyerang saluran pernafasan sehingga menyebabkan
demam tinggi, batuk, flu, sesak nafas serta nyeri tenggorokan. Coronavirus pada manusia
biasanya menyebabkan penyakit infeksi saluran pernapasan, mulai fu biasa hingga penyakit
yang serius seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Sindrom Pernapasan
Akut Berat/ Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Penyakit ini terutama menyebar di
antara orang- orang melalui tetesan pernapasan dari batuk dan bersin3.5

2.1.2 EPIDEMIOLOGI COVID 19


Sejak kasus pertama di Wuhan, terjadi peningkatan kasus COVID-19 di China setiap
hari dan memuncak diantara akhir Januari hingga awal Februari 2020. Awalnya kebanyakan
laporan datang dari Hubei dan provinsi di sekitar, kemudian bertambah hingga ke provinsi-
provinsi lain dan seluruh China.11 Tanggal 30 Januari 2020, telah terdapat 7.736 kasus
terkonfirmasi COVID-19 di China, dan 86 kasus lain dilaporkan dari berbagai negara seperti
Taiwan, Thailand, Vietnam, Malaysia, Nepal, Sri Lanka, Kamboja, Jepang, Singapura, Arab
Saudi, Korea Selatan, Filipina, India, Australia, Kanada, Finlandia, Prancis, dan Jerman.8
COVID-19 pertama dilaporkan di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020 sejumlah dua kasus.9
Data 31 Maret 2020 menunjukkan kasus yang terkonfirmasi berjumlah 1.528 kasus dan 136
kasus kematian.12 Tingkat mortalitas COVID-19 di Indonesia sebesar 8,9%, angka ini
merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara. 10,13 Per 30 Maret 2020, terdapat 693.224 kasus
dan 33.106 kematian di seluruh dunia. Eropa dan Amerika Utara telah menjadi pusat pandemi
COVID-19, dengan kasus dan kematian sudah melampaui China. Amerika Serikat
menduduki peringkat pertama dengan kasus COVID-19 terbanyak dengan penambahan kasus
baru sebanyak 19.332 kasus pada tanggal 30 Maret 2020 disusul oleh Spanyol dengan 6.549
kasus baru. Italia memiliki tingkat mortalitas paling tinggi di dunia, yaitu 11,3%.10
2.1.3 MEKANISME PENULARAN
Penyebaran SARS-CoV-2 dari manusia ke manusia menjadi sumber transmisi utama
sehingga penyebaran menjadi lebih agresif. Transmisi SARS-CoV-2 dari pasien simptomatik
terjadi melalui droplet yang keluar saat batuk atau bersin.16 Selain itu, telah diteliti bahwa
SARS-CoV-2 dapat viabel pada aerosol (dihasilkan melalui nebulizer) selama setidaknya 3
jam.17 WHO memperkirakan reproductive number (R0 ) COVID-19 sebesar 1,4 hingga 2,5.
Namun, studi lain memperkirakan R0 sebesar 3,28.24 Beberapa laporan kasus menunjukkan
dugaan penularan dari karier asimtomatis, namun mekanisme pastinya belum diketahui.
Kasus-kasus terkait transmisi dari karier asimtomatis umumnya memiliki riwayat kontak erat
dengan pasien COVID-19.16,18 Beberapa peneliti melaporan infeksi SARS-CoV-2 pada
neonatus. Namun, transmisi secara vertikal dari ibu hamil kepada janin belum terbukti pasti
dapat terjadi. Bila memang dapat terjadi, data menunjukkan peluang transmisi vertikal
tergolong kecil.16,19
Pemeriksaan virologi cairan amnion, darah tali pusat, dan air susu ibu pada ibu yang
positif COVID-19 ditemukan negatif.26 SARS-CoV-2 telah terbukti menginfeksi saluran
cerna berdasarkan hasil biopsi pada sel epitel gaster, duodenum, dan rektum. Virus dapat
terdeteksi di feses, bahkan ada 23% pasien yang dilaporkan virusnya tetap terdeteksi dalam
feses walaupun sudah tak terdeteksi pada sampel saluran napas. Kedua fakta ini menguatkan
dugaan kemungkinan transmisi secara fekal-oral.20 Stabilitas SARS-CoV-2 pada benda mati
tidak berbeda jauh dibandingkan SARS-CoV. Eksperimen yang dilakukan van Doremalen
menunjukkan SARSCoV-2 lebih stabil pada bahan plastik dan stainless steel (>72 jam)
dibandingkan tembaga (4 jam) dan kardus (24 jam). Studi lain di Singapura menemukan
pencemaran lingkungan yang ekstensif pada kamar dan toilet pasien COVID-19 dengan
gejala ringan. Virus dapat dideteksi di gagang pintu, dudukan toilet, tombol lampu, jendela,
lemari, hingga kipas ventilasi, namun tidak pada sampel udara.21

2.1.4 MANIFESTASI KLINIS


Manifestasi klinis pasien COVID-19 memiliki spektrum yang luas, mulai dari tanpa
gejala (asimtomatik), gejala ringan, pneumonia, pneumonia berat, ARDS, sepsis, hingga syok
sepsis. Sekitar 80% kasus tergolong ringan atau sedang, 13,8% mengalami sakit berat, dan
sebanyak 6,1% pasien jatuh ke dalam keadaan kritis. Berapa besar proporsi infeksi
asimtomatik belum diketahui.15 Viremia dan viral load yang tinggi dari swab nasofaring pada
pasien yang asimptomatik telah dilaporkan. 22 Gejala ringan didefinisikan sebagai pasien
dengan infeksi akut saluran napas atas tanpa komplikasi, bisa disertai dengan demam, fatigue,
batuk (dengan atau tanpa sputum), anoreksia, malaise, nyeri tenggorokan, kongesti nasal, atau
sakit kepala. Pasien tidak membutuhkan suplementasi oksigen. Pada beberapa kasus pasien
juga mengeluhkan diare dan muntah26 Pasien COVID-19 dengan pneumonia berat ditandai
dengan demam, ditambah salah satu dari gejala: (1) frekuensi pernapasan >30x/menit (2)
distres pernapasan berat, atau (3) saturasi oksigen 93% tanpa bantuan oksigen. Pada pasien
geriatri dapat muncul gejala-gejala yang atipikal.23 Sebagian besar pasien yang terinfeksi
SARS-CoV-2 menunjukkan gejala-gejala pada sistem pernapasan seperti demam, batuk,
bersin, dan sesak napas.8 Berdasarkan data 55.924 kasus, gejala tersering adalah demam,
batuk kering, dan fatigue. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah batuk produktif, sesak
napas, sakit tenggorokan, nyeri kepala, mialgia/artralgia, menggigil, mual/muntah, kongesti
nasal, diare, nyeri abdomen, hemoptisis, dan kongesti konjungtiva. 15 Lebih dari 40% demam
pada pasien COVID-19 memiliki suhu puncak antara 38,1-39°C, sementara 34% mengalami
demam suhu lebih dari 39°C.10 Perjalanan penyakit dimulai dengan masa inkubasi yang
lamanya sekitar 3-14 hari (median 5 hari). Pada masa ini leukosit dan limfosit masih normal
atau sedikit menurun dan pasien tidak bergejala. Pada fase berikutnya (gejala awal), virus
menyebar melalui aliran darah, diduga terutama pada jaringan yang mengekspresi ACE2
seperti paru-paru, saluran cerna dan jantung. Gejala pada fase ini umumnya ringan. Serangan
kedua terjadi empat hingga tujuh hari setelah timbul gejala awal. Pada saat ini pasien masih
demam dan mulai sesak, lesi di paru memburuk, limfosit menurun. Penanda inflamasi mulai
meningkat dan mulai terjadi hiperkoagulasi. Jika tidak teratasi, fase selanjutnya inflamasi
makin tak terkontrol.10

2.1.5 PENCEGAHAN COVID-19


Penyakit yang baru ditemukan oleh karena itu pengetahuan terkait pencegahannya
masih terbatas. Kunci pencegahan meliputi pemutusan rantai penularan dengan isolasi,
deteksi dini, dan melakukan proteksi dasar.24,26
Vaksin Salah satu upaya yang sedang dikembangkan adalah pembuatan vaksin guna
membuat imunitas dan mencegah transmisi. Saat ini, sedang berlangsung 2 uji klinis fase I
vaksin COVID-19. Studi pertama dari National Institute of Health (NIH) menggunakan
mRNA-1273 dengan dosis 25, 100, dan 250 µg. Studi kedua berasal dari China menggunakan
adenovirus type 5 vector dengan dosis ringan, sedang dan tinggi.22
Deteksi dini dan Isolasi Seluruh individu yang memenuhi kriteria suspek atau pernah
berkontak dengan pasien yang positif COVID-19 harus segera berobat ke fasilitas
kesehatan.25 WHO juga sudah membuat instrumen penilaian risiko bagi petugas kesehatan
yang menangani pasien COVID-19 sebagai panduan rekomendasi tindakan lanjutan. Bagi
kelompok risiko tinggi, direkomendasikan pemberhentian seluruh aktivitas yang
berhubungan dengan pasien selama 14 hari, pemeriksaan infeksi SARS-CoV-2 dan isolasi.
Pada kelompok risiko rendah, dihimbau melaksanakan pemantuan mandiri setiap harinya
terhadap suhu dan gejala pernapasan selama 14 hari dan mencari bantuan jika keluhan
memberat.126 Pada tingkat masyarakat, usaha mitigasi meliputi pembatasan berpergian dan
kumpul massa pada acara besar (social distancing).29
Higiene, Cuci Tangan, dan Disinfeksi Rekomendasi WHO dalam menghadapi wabah
COVID-19 adalah melakukan proteksi dasar, yang terdiri dari cuci tangan secara rutin
dengan alkohol atau sabun dan air, menjaga jarak dengan seseorang yang memiliki gejala
batuk atau bersin, melakukan etika batuk atau bersin, dan berobat ketika memiliki keluhan
yang sesuai kategori suspek. Rekomendasi jarak yang harus dijaga adalah satu meter. 26 Pasien
rawat inap dengan kecurigaan COVID-19 juga harus diberi jarak minimal satu meter dari
pasien lainnya, diberikan masker bedah, diajarkan etika batuk/bersin, dan diajarkan cuci
tangan.23 Perilaku cuci tangan harus diterapkan oleh seluruh petugas kesehatan pada lima
waktu, yaitu sebelum menyentuh pasien, sebelum melakukan prosedur, setelah terpajan
cairan tubuh, setelah menyentuh pasien dan setelah menyentuh lingkungan pasien. Air sering
disebut sebagai pelarut universal, namun mencuci tangan dengan air saja tidak cukup untuk
menghilangkan coronavirus karena virus tersebut merupakan virus RNA dengan selubung
lipid bilayer.14 Sabun mampu mengangkat dan mengurai senyawa hidrofobik seperti lemak
atau minyak.14 Selain menggunakan air dan sabun, etanol 62-71% dapat mengurangi
infektivitas virus.21 Oleh karena itu, membersihkan tangan dapat dilakukan dengan hand rub
berbasis alkohol atau sabun dan air. Berbasis alkohol lebih dipilih ketika secara kasat mata
tangan tidak kotor sedangkan sabun dipilih ketika tangan tampak kotor. 28 Hindari menyentuh
wajah terutama bagian wajah, hidung atau mulut dengan permukaan tangan. Ketika tangan
terkontaminasi dengan virus, menyentuh wajah dapat menjadi portal masuk. Terakhir,
pastikan menggunakan tisu satu kali pakai ketika bersin atau batuk untuk menghindari
penyebaran droplet.26
Alat Pelindung Diri SARS-CoV-2 menular terutama melalui droplet. Alat pelindung
diri (APD) merupakan salah satu metode efektif pencegahan penularan selama penggunannya
rasional. Komponen APD terdiri atas sarung tangan, masker wajah, kacamata pelindung atau
face shield, dan gaun nonsteril lengan panjang. Alat pelindung diri akan efektif jika didukung
dengan kontrol administratif dan kontrol lingkungan dan teknik. 30 Penggunaan APD secara
rasional dinilai berdasarkan risiko pajanan dan dinamika transmisi dari patogen. Pada kondisi
berinteraksi dengan pasien tanpa gejala pernapasan, tidak diperlukan APD. Jika pasien
memiliki gejala pernapasan, jaga jarak minimal satu meter dan pasien dipakaikan masker.
Tenaga medis disarankan menggunakan APD lengkap.28 Alat seperti stetoskop, thermometer,
dan spigmomanometer sebaiknya disediakan khusus untuk satu pasien. Bila akan digunakan
untuk pasien lain, bersihkan dan desinfeksi dengan alcohol 70%. World Health Organization
tidak merekomendasikan penggunaan APD pada masyarakat umum yang tidak ada gejala
demam, batuk, atau sesak.31

2.1.6 PENATALAKSANAAN JENAZAH COVID 19


Pemindahan dan Penjemputan Jenazah
1. Tindakan swab nasofaring atau pengambilan sampel lainnya dilakukan oleh petugas
yang ditunjuk di ruang perawatan sebelum jenazah dijemput oleh petugas kamar
jenazah
2. Jenazah ditutup/disumpal lubang hidung dan mulut menggunakan kapas, hingga
dipastikan tidak ada cairan yang keluar
3. Bila ada Iuka akibat tindakan rnedis, maka dilakukan penutupan dengan plester kedap
air
4. Petugas kamar jenazah yang akan menjemput jenazah, membawa:
• Alat pelindung diri (APD) berupa: masker surgikal, goggle/kaca mata
pelindung, apron plastik, dan sarung tangan/hand schoen non steril.
• Kantong jenazah. Bila tidak tersedia kantong jenazah, disiapkan plastik
pembungkus.
• Brankar jenazah dengan tutup yang dapat dikunci.
5. Sebelum petugas memindahkan jenazah dari tempat tidur perawatan ke brankar
jenazah, dipastikan bahwa lubang hidung dan mulut sudah tertutup serta Iuka-Iuka
akibat tindakan medis sudah tertutup plester kedap air, lalu dimasukkan ke dalam
kantong jenazah atau dibungkus dengan plastik pernbungkus. Kantong jenazah harus
tertutup sempuma
6. Setelah itu jenazah dapat dipindahkan ke brankar jenazah, lalu brankar ditutup dan
dikunci rapat
7. Semua APD yang digunakan selama proses pemindahan jenazah dibuka dan dibuang di
ruang perawatan
8. Jenazah dipindahkan ke kamar jenazah Selama perjalanan, petugas tetap menggunakan
masker surgikal
9. Surat Keterangan Kematian atau Sertifkat Medis Penyebab Kematian dibuat oleh
dokter yang merawat dengan melingkari jenis penyakit penyebab kematian sebagai
penyakit menular
10. Jenazah hanya dipindahkan dari brankar jenazah ke rneja pemulasaraan jenazah di
kamar jenazah oleh petugas yang menggunakan APD lengkap Desinfeksi Jenazah
Di Kamar Jenazah
a Petugas kamar jenazah harus memberikan penjelasan kepada keluarga mengenai tata
laksana pada jenazah yang meninggal dengan penyakit menular, terutama pada
kondisi pandemi COVID-19
b Pemulasaraan jenazah dengan penyakit menular atau sepatutnya dicurigai meninggal
karena penyakit menular harus dilakukan desinfeksi terlebih dahulu.
c Desinfeksi jenazah dtlakukan oleh tenaga yang memiliki kompetensi untuk itu. yaitu,
dokter spesialis forensik dan medikolegal dan teknisi forensik dengan menggunakan
Alat Pelindung Diri (APD) lengkap
d Bahan desinfeksi jenazah dengan penyakit menular menggunakan larutan
formaldehyde 10% atau lebih dengan paparan minimal 30 menit dengan Teknik
intraarterial (bila memungkinkan), intrakavitas dan permukaan saluran pernapasan.
Setelah dilakukan tindakan desinfeksi, dipastikan tidak ada cairan yang menetes atau
keluar dan lubang- lubang tubuh. Bila terdapat penolakan penggunaan formaldehyde,
maka dapat dipertimbangkan penggunaan k l o r i n dengan pengenceran 1:9 atau 1:10
untuk teknik intrakavitas dan permukaan saluran napas.
e Semua lubang hidung dan mulut ditutup/disumpal dengan kapas hingga dipastikan
tidak ada cairan yang keluar
f Pada jenazah yang masuk dalam kriteria mati tidak wajar, maka desinfeksi jenazah
dilakukan setelah prosedur forensik selesai dilaksanakan Pemeriksaan Mayat
Dan/Atau Bedah Mayat:

TINDAKAN PELULASARAN JENAZAH


A. PEMANDIAN JENAZAH
1. Jenazah yang masuk dalam lingkup pedoman ini dianjurkan dengan sangat untuk
dipulasara di kamar jenazah.
2. Tindakan pemandianjenazah hanya dilakukan setelah tindakan desinfeksi.
3. Petugas pemandi jenazah menggunakan APD lengkap.
4. Petugas pemandi jenazah dibatasi hanya sebanyak dua orang.Keluarga yang hendak
membantu memandikan jenazah hendaknya juga dibatasi serta menggunakan APD
sebagaimana petugas pemandi jenazah.
5. Jenazah dimandikan sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya.
6. Setelah jenazah dimandikan dan dikafankan/diberi pakaian, jenazah dimasukkan ke
dalam kantong jenazah atau dibungkus dengan.plastik dan diikat rapat.
7. Bila diperlukan pemetian, maka dilakukan cara berikut: jenazah dimasukkan ke dalam
peti jenazah dan ditutup rapat; pinggiran peti disegel dengan sealantlsilikon; dan
dipaku/disekrup sebanyak 4-6 titik dengan jarak masing-masing 20 cm. Peti jenazah
yang terbuat dari kayu harus kuat, rapat, dan ketebalan peti minimal 3 cm.

B. TRANSPORTASI JENAZAH
1. Jenazah dapat ditransportasikan keluar daerah dengan menggunakan jalur darat
maupun udara.
2. Jenazah yang akan ditransportasikan dengan jalur darat harus menggunakan mobil
jenazah.
3. Jenazah yang akan ditransportasikan sudah menjalani prosedur desinfeksi dan telah
dimasukkan ke dalam kantong jenazah atau dibungkus dengan plastik yang diikat
rapat, serta ditutup semua lubang-lubang tubuhnya.
4. Persyaratan transportasi menggunakan jalur udara mengikuti peraturan kargo udara
yang telah ditetapkan

2.2 ASPEK HUKUM COVID 19


2.2.1 Hukum Yang Mengatur Wabah Penyakit Menular

Diatur dalam UU 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, mendefiniskan


bahwa wabah adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang
jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari pada keadaan yang lazim pada
waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka. UU 4 tahun 1984 tentang
Wabah Penyakit Menular menyebutkan tentang sumber penyakit. Sumber penyakit adalah
manusia, hewan, tumbuhan, dan benda-benda yang mengandung dan/ atau tercemar bibit
penyakit, serta yang dapat menimbulkan wabah.
UU 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular memiliki niat untuk terwujudnya
tingkat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi rakyat Indonesia yang merupakan salah satu
bagian dari tujuan pembangunan nasional. Perkembangan teknologi, ilmu pengetahuan, dan
lalu lintas internasional, serta perubahan lingkungan hidup dapat mempengaruhi perubahan
pola penyakit termasuk pola penyakit yang dapat menimbulkan wabah dan membahayakan
kesehatan masyarakat serta dapat menghambat pelaksanaan pembangunan nasional.
Berdasarkan hal-hal tersebut, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1962 tentang Wabah yang
diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1968 tentang Perubahan Pasal 3 Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1962 tentang Wabah, tidak sesuai lagi dengan kebutuhan, dan oleh
karenanya perlu ditetapkan kembali ketentuan-ketentuan mengenai wabah dalam suatu
Undang-Undang.
Penjelasan Pasal 5 Ayat (1) UU 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular menjelaskan
apa itu tujuan penanggulangan wabah. Upaya penanggulangan wabah mempunyai 2 (dua)
tujuan pokok yaitu :

1. Berusaha memperkecil angka kematian akibat wabah dengan pengobatan.


2. Membatasi penularan dan penyebaran penyakit agar penderita tidak bertambah
banyak, dan wabah tidak meluas kedaerah lain.
Upaya penanggulangan wabah di suatu daerah wabah haruslah dilakukan dengan
mempertimbangkan keadaan masyarakat setempatant aralain : agama, adat, kebiasaan, tingkat
pendidikan, sosial ekonomi, serta perkembangan masyarakat. Sehingga diharapkan upaya
penanggulangan wabah tidak mengalami hambatan dari masyarakat, malah melalui
penyuluhan yang intensif dan pendekatan persuasif edukatif, diharapkan masyarakat akan
memberikan bantuannya, dan ikut serta secara aktif.
UU 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular mengatur tentang Jenis Penyakit yang
dapat Menimbulkan Wabah; Daerah Wabah; Upaya Penanggulangan; Hak dan Kewajiban;
dan Ketentuan Pidana.

2.2.2 Hukum Yang Mengatur Penyebaran Wabah COVID 19

Dalam upaya penanggulangan wabah COVID-19, pemerintah telah menerbitkan beberapa


regulasi yaitu :
1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 yang menetapkan wabah penyakit sebagai
salah satu bencana non-alam yang perlu dikelola potensi ancamannya.
2. Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2020 tentang refocussing kegiatan, realokasi
anggaran serta pengadaan barang dan jasa dalam rangka percepatan penanganan
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
3. Keputusan Presiden Nomor 11 tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan
Masyarakat COVID-19
4. Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang  penetapan bencana non alam
penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai Bencana Nasional.
5. Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Gugus Tugas Percepatan
Penanganan Corona Virus  Disease 2019.
Penerbitan regulasi dalam rangka penanganan penyebaran Covid 19 merupakan  upaya
untuk mendukung keberadaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 yang menetapkan
wabah penyakit sebagai salah satu bencana non-alam yang perlu dikelola potensi
ancamannya. Lalu lembaga terkait seperti Menteri Kesehatan telah menerbitkan Permenkes
Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam
rangka Percepatan Penanganan Covid-19 pada 3 April 2020. Atas regulasi-regulasi
tersebut maka upaya-upaya yang saat ini dilakukan adalah:

a. Kebijakan SocialDistancing/PhysicalDistancing
Adanya Social Distancing sejauh ini sangat efektif dalam menghambat penyebaran
virus/penyakit, yakni dengan mencegah orang sakit melakukan kontak dekat dengan
orang-orang untuk mencegah penularan. Hal ini dirasa perlu untuk melakukan pembatasan
hak individual dalam melakukan social distancing karena kondisi yang terjadi adalah
kegentingan yang mengancam kesehatan publik. Istilah social distancing kemudian
mengalami perubahan menjadi physical distancing sesuai dengan istilah yang digunakan
WHO. Dari hal inilah kemudian berbagai aktivitas yang pada awalnya dilakukan dengan
jarak fisik yang dekat kemudian diubah menjadi aktivitas yang menciptakan jarak secara
fisik antara lain, pembelajaran online (metode daring), penggunaan mekanisme WFH
(work from home), penutupan tempat-tempat perbelanjaan (mall) dan upaya lain yang
dapat mencegah penyebaran Covid 19.
b. Perlindungan bagi Tenaga Kesehatan sebagai Garda Depan
Tenaga kesehatan berdiri di garda depan dalam mencegah bertambahnya jumlah infeksi
sehingga pemerintah perlu menjamin perlindungan dan keselamatan kerja bagi tenaga
medis dalam upaya penanganan Covid-19. Kepastian hukum merupakan instrumen
penting dalam menjamin keselamatan tenaga kesehatan sehingga pemerintah tidak dapat
melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap penugasan tenaga kesehatan.
c. PembatasanSosialBerskalaBesar  
Kewenangan Pembatasan Sosial Bersklala besar berdasarkan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan merupakan wewenang absolut Pemerintah
Pusat. Dalam Pasal 1 Angka 1 dinyatakan bahwa  “kekarantinaan kesehatan dilakukan
untuk mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko
kesehatan masyrakat  yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan
masyarakat.” Maka dari itu jika ada pemerintah daerah yang merasa daerahnya memiliki
situasi kedaruratan dan hendak melakukan lockdown, tentunya hal ini inkonstitusional dan
perlu adanya konsul dari kepala daerah dengan pemerintah pusat sebelum mengambil
kebijakan terkait.
Selain regulasi tersebut yang telah diterbitkan oleh pemerintah untuk menangani
penyebaran COVID 19 di Indonesia, Pemerintah juga menerbitkan berbagai regulasi terkait
penanganan wabah coronavirus disease (Covid-19), diantaranya Perppu No.1 Tahun
2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk
Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Kemudian atas kondisi darurat penyebaran Covid 19, pemerintah kemudian menetapkan
Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar
dalam rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19). Pertimbangan PP
21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan
Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19) adalah:
1. bahwa penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dengan jumlah kasus
dan/atau jumlah kematian telah meningkat dan meluas lintas wilayah dan lintas
negara dan berdampak pada aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan
keamanan, serta kesejahteraan masyarakat di Indonesia
2. bahwa dampak penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah
mengakibatkan terjadi keadaan tertentu sehingga perlu dilakukan upaya
penanggulangan, salah satunya dengan tindakan pembatasan sosial berskala besar.

2,2.3 Hukum Tentang Kekarantina Kesehatan

Dasar hukum Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan adalah
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28 H ayat (1), Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pembangunan dan pelindungan kesehatan bagi seluruh masyarakat Indonesia
diarahkan untuk mencapai derajat kesehatan setinggi-tingginya bagi pembangunan dan
peningkatan sumber daya manusia Indonesia. Hal ini menjadi modal dasar bagi pelaksanaan
pembangunan nasional yang pada hakekatnya adalah pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya.

Pasal 2

Kekarantinaan Kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan:

a. perikemanusiaan;
b. manfaat;
c. pelindungan;
d. keadilan;
e. nondiskriminatif;
f. kepentingan umum;
g. keterpaduan;
h. kesadaran hukum; dan
i. kedaulatan negara.

Pasal 3

Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan bertujuan untuk:

a. melindungi masyarakat dari penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat


yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat;
b. mencegah dan menangkal penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat
yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat;
c. meningkatkan ketahanan nasional di bidang kesehatan masyarakat; dan
d. memberikan pelindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dan petugas
kesehatan.

2.2.4 Hukum tentang perlindungan data pribadi pasien COVID 19

Kerahasiaan Identitas pasien, pada dasarnya, setiap pasien mempunyai hak


mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya.
Ini diatur dalam Pasal 32 ayat (1)Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit (“UU 44/2009”).
Hak serupa juga diatur dalam “Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 Kesehatan (“UU Kesehatan”) dan Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (“UU KIP”) yang pada pokoknya mengatur
bahwa setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan
kepada penyelenggara pelayanan kesehatan dan setiap badan publik wajib membuka akses
bagi setiap pemohon informasi publik untuk mendapatkan informasi publik, kecuali, salah
satunya, mengenai riwayat, kondisi dan perawatan, pengobatan kesehatan fisik, dan
psikis seseorang, karena bila dibuka dan diberikan kepada pemohon informasi publik dapat
mengungkapkan rahasia pribadi.
Masih menyangkut hak pasien dan kewajiban rumah sakit, setiap rumah sakit harus
menyimpan rahasia kedokteran, yang hanya dapat dibuka untuk kepentingan kesehatan
pasien, untuk pemenuhan permintaan aparat penegak hukum dalam rangka penegakan
hukum, atas persetujuan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Rahasia kedokteran adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan hal yang


ditemukan oleh dokter dan dokter gigi dalam rangka pengobatan dan dicatat dalam rekam
medis yang dimiliki pasien  dan  bersifat rahasia. Rumah sakit dapat
menolak mengungkapkan segala informasi kepada publik yang berkaitan dengan rahasia
kedokteran. Kemudian, dalam Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran (“UU 29/2004”) disebutkan setiap dokter atau dokter gigi dalam
melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran. Selain itu, dokter
atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban
merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu
meninggal dunia.
Sedangkan rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen
tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain yang telah
diberikan kepada pasien. Dokumen rekam medis harus disimpan dan dijaga
kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan.
Sehingga bisa disimpulkan, rekam medis merupakan rahasia kedokteran yang memuat
identitas pasien positif COVID-19 yang harus disimpan dan dijaga kerahasiannya oleh rumah
sakit atau dokter yang bertugas.
Jerat Hukum bagi Penyebar Identitas Pasien
Patut dipahami bahwa salah satu kewajiban rumah sakit adalah menghormati dan
melindungi hak-hak pasien. Pelanggaran atas kewajiban rumah sakit akan dikenakan sanksi
admisnistratif berupa teguran, teguran tertulis, atau denda dan pencabutan izin rumah sakit.
Sehingga, jika rumah sakit tidak melindungi identitas pasiennya yang positif COVID-19,
maka rumah sakit dapat dikenai sanksi administratif tersebut.
 Dalam hal pelaku penyebaran identitas pasien di atas adalah dokter atau dokter gigi yang
dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban dalam Pasal 46 ayat (1) dan Pasal 51 (c) UU 29
tahun 2004, maka dapat dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp50 juta berdasarkan 

Di samping itu, bagi badan publik yang melanggar berlaku Pasal 54 ayat (1) UU KIP:
 “Setiap Orang yang  dengan sengaja dan tanpa hak mengakses dan/atau memperoleh
dan/atau memberikan informasi yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam Pasal
17  huruf a, huruf b, huruf d, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, dan huruf j  dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling banyak Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)”.

2.2.5 Hukum Tentang Penatalaksaanaan Jenazah COVID 19

Kondisi pandemi mengakibatkan banyaknya korban meninggal dan tidak dapat


ditentukan dengan pasti apakah jenazah atau kematian itu meninggal karena covid-19. Hal ini
membutuhkan langkah-langkah tatalaksana secara spesifik untuk mencegah terjadinya
penyebaran kepada tenaga medis maupun tenaga pemulasaran jenazah, serta keluarga dan
masyarakat secara umum. Oleh karena itu perlu disusun pedoman penanganan jenazah yang
meninggal baik di lingkungan masyarakat maupun di fasilitas pelayanan kesehatan
Mempertimbangkan bahwa jenazah penderita covid adalah jenazah yang terinfeksi penyakit
menular atau diduga terinfeksi penyakit menular dan harus ditangani secara khusus, maka
pedoman ini harus memenuhi ketentuan peraturan yang landasi dengan hukum yang berlaku.
Dasar Aturan Penatalaksanna Jenazah Covid 19 tertuang di::
• UU Nomor 4 tahun 1984 tentang wabah penyakit menular
• UU Nomor 6 tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan
• Surat Edaran Dirjen P2P Nomor 483 tahun 2020 tentang revisi ke-2 pedoman kesiapsiagaan
menghadapi infeksi novel corona virus (COVID-19)
Sedangkan menurut pandanga agama Islam di Indonesia tertuang pada peraturan berikut:
 Fatwa MUI no 18 tahun 2020 tentang “pedoman pengurusan jenazah (tajhiz al-
jana’iz) muslim yang meninggal karena covid-19”
Bila keluarga pasien yang terkena COVID 19 menolak Protokol Pemakaman Jenazah Umum
yang sudah disediakan, maka dapat dijerat dengan paasal KUHP dan UU No.4 tahun 1984
tentang penanggulangan wabah dan dipidana dengan pasal 212 dan 214.
Pasal 212 KUHP menyebutkan : “Barangsiapa dengan kekerasan atau dengan ancaman
kekerasan melawan serang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah, atau orang
yang waktu itu menurut kewajiban undang-undang atau atas permintaan pejabat yang
bersangkutan membantunya, diancam karena melwan pejabat dengan pidana penjara paling
lama satu tahun empat bulan”
Sementara pasal 214 KUHP menyatakan: “paksaan dan perlawanan tersebut dalam pasal
212, bila dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama, diancama dengan
pidana penjara paling lama tujuh tahun”.

2.3 KASUS
DAFTAR PUSTAKA

1. Coronavirus Disease 2019 (COVID-19)”. Centers for Disease Control and Prevention
(CDC). 15 February 2020. Archived from the original on 26 February 2020. Retrieved 20
February 2020
2. World Health Organization. “Report of the WHO-China Joint Mission on Coronavirus
Disease 2019 (COVID-19)” (PDF): 11–12. Retrieved 5 March 2020.
3 “2019 Novel Coronavirus (2019-nCoV)”. Centers for Disease Control and Prevention. 11
February 2020. Archived from the original on 7 March 2020. Retrieved 18 February 2020.
The virus is thought to spread mainly from person-to-person ... through respiratory
droplets produced when an infected person coughs or sneezes.
4 Gorbalenya AE (11 February 2020). “Severe acute respiratory syndrome-related
coronavirus – The species and its viruses, a statement of the Coronavirus Study Group”.
bioRxiv (preprint). doi:10.1101/2020.02.07.937862
5 van Doremalen N, Bushmaker T, Morris DH, Holbrook MG, Gamble A, Williamson BN, et
al. (March 2020). “Aerosol and Surface Stability of SARS-CoV-2 as Compared with
SARS-CoV-1”. The New England Journal of Medicine. Massachusetts Medical Society.
doi:10.1056/nejmc2004973. PMID 32182409
6 Letko M, Marzi A, Munster V (2020). “Functional assessment of cell entry and receptor
usage for SARS-CoV-2 and other lineage B betacoronaviruses”. Nature Microbiology: 1–
8. doi:10.1038/s41564-020-0688-y
7 Xu H, Zhong L, Deng J, Peng J, Dan H, Zeng X, et al. (February 2020). “High expression
of ACE2 receptor of 2019-nCoV on the epithelial cells of oral mucosa”. International
Journal of Oral Science. 12 (1): 8. doi:10.1038/s41368-020-0074
8. Rothan HA, Byrareddy SN. The epidemiology and pathogenesis of coronavirus disease
(COVID-19) outbreak. J Autoimmun. 2020; published online March 3. DOI:
10.1016/j.jaut.2020.102433.
9. Huang C, Wang Y, Li X, Ren L, Zhao J, Hu Y, et al. Clinical features of patients infected
with 2019 novel coronavirus in Wuhan, China. Lancet. 2020;395(10223):497-506.
10. World Health Organization. Coronavirus disease 2019 (COVID-19) Situation Report – 70
[Internet]. WHO; 2020 [updated 2020 March 30; cited 2020 March 31]. Available from:
https://www.who.int/ docs/default-source/coronaviruse/situation-reports/20200330- sitrep-
70-covid-19.pdf?sfvrsn=7e0fe3f8_2
11. Wu Z, McGoogan JM. Characteristics of and Important Lessons From the Coronavirus
Disease 2019 (COVID-19) Outbreak in China: Summary of a Report of 72314 Cases
From the Chinese Center for Disease Control and Prevention. JAMA. 2020; published
online February 24. DOI: 10.1001/jama.2020.2648.
12. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Info Infeksi Emerging Kementerian
Kesehatan RI [Internet]. 2020 [updated 2020 March 30; cited 2020 March 31]. Available
from: https:// infeksiemerging.kemkes.go.id/.
13. World Health Organization. Novel Coronavirus (2019-nCoV) Situation Report - 54
[Internet]. WHO; 2020 [updated 2020 March 15; cited 2020 March 30.
14. Riedel S, Morse S, Mietzner T, Miller S. Jawetz, Melnick, & Adelberg’s Medical
Microbiology. 28th ed. New York: McGrawHill Education/Medical; 2019. p.617-22.
15. World Health Organization. Report of the WHO-China Joint Mission on Coronavirus
Disease 2019 (COVID-19). Geneva: World Health Organization; 2020.
16. Han Y, Yang H. The transmission and diagnosis of 2019 novel coronavirus infection
disease (COVID-19): A Chinese perspective. J Med Virol. 2020; published online March
6. DOI: 10.1002/ jmv.25749
17. van Doremalen N, Bushmaker T, Morris DH, Holbrook MG, Gamble A, Williamson BN,
et al. Aerosol and Surface Stability of SARS-CoV-2 as Compared with SARS-CoV-1. N
Engl J Med. 2020; published online March 17. DOI: 10.1056/NEJMc2004973
18. Bai Y, Yao L, Wei T, Tian F, Jin D-Y, Chen L, et al. Presumed Asymptomatic Carrier
Transmission of COVID-19. JAMA. 2020; published online February 21. DOI:
10.1001/jama.2020.2565
19. Chen H, Guo J, Wang C, Luo F, Yu X, Zhang W, et al. Clinical characteristics and
intrauterine vertical transmission potential of COVID-19 infection in nine pregnant
women: a retrospective review of medical records. Lancet. 2020;395(10226):809-15.
20. Xiao F, Tang M, Zheng X, Liu Y, Li X, Shan H. Evidence for gastrointestinal infection of
SARS-CoV-2. Gastroenterology. 2020; published online March 3. DOI:
10.1053/j.gastro.2020.02.055
21. Ong SWX, Tan YK, Chia PY, Lee TH, Ng OT, Wong MSY, et al. Air, Surface
Environmental, and Personal Protective Equipment Contamination by Severe Acute
Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) From a Symptomatic Patient.
JAMA. 2020; published online March 4. DOI: 10.1001/jama.2020.3227
22. Kam KQ, Yung CF, Cui L, Lin Tzer Pin R, Mak TM, Maiwald M, et al. A Well Infant
with Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) with High Viral Load. Clin Infect Dis. 2020;
published online February 28. DOI: 10.1093/cid/ciaa201.
23. World Health Organization. Clinical management of severe acute respiratory infection
when novel coronavirus (nCoV) infection is suspected. Geneva: World Health
Organization; 2020
24. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. Pedoman Kesiapsiagaan
Menghadapi Coronavirus Disease (COVID-19) Maret 2020. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia; 2020.
25. Dong L, Hu S, Gao J. Discovering drugs to treat coronavirus disease 2019 (COVID-19).
Drug Discov Ther. 2020;14(1):58-60
26. World Health Organization. Coronavirus disease (COVID-19) advice for the public
[Internet]. 2020 [cited 2020 March 15]. Available from:
https://www.who.int/emergencies/diseases/ novel-coronavirus-2019/advice-for-public
27. U.S. National Library of Medicine. A Phase I Clinical Trial in 18-60 Adults (APICTH)
[Internet]. 2020 [updated 2020 March 24; cited 2020 March 24]. Available from:
https://clinicaltrials.gov/ct2/ show/NCT04313127.
28. World Health Organization. Infection prevention and control during health care when
novel coronavirus (nCoV) infection is suspected. Geneva: World Health Organization;
2020.
29. World Health Organization. Critical preparedness, readiness and response actions for
COVID-19. Geneva: World Health Organization; 2020.
30. World Health Organization. Rational use of personal protective equipment for
coronavirus disease (COVID-19). Geneva: World Health Organization; 2020.
31. World Health Organization. Advice on the use of masks in the community, during home
care, and in health care settings in the context of COVID-19. Geneva: World Health
Organization; 2020.

Anda mungkin juga menyukai