Anda di halaman 1dari 29

KESIAPSIAGAAN BENCANA KEBAKARAN

kesiapsiagaan diartikan sebagai bentuk


latihan koordinasi, komunikasi dan
evakuasi dengan melibatkan seluruh
pemangku kepentingan (pemerintah dan
masyarakat umum). Seluruh pihak yang
terlibat mensimulasikan situasi bencana
sesungguhnya menggunakan skenario
bencana yang dibuat mendekati atau
sesuai

A.Kebakaran Hutan ,Lahan dan rumah

Masalah Kebakaran merupakan salah satu jenis


bencana yang cukup potensial dengan meninggalkan kerugian
yang besar jika tidak mendapatkan perhatian dan penanganan
yang cukup dalam upaya mitigasi bencana. Menurut Undang-

1
Undang Nomor 24Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, kebakaran termasuk kepada jenis bencana alam
sekaligus bencana nonalam berdasarkan penyebab terjadinya.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa bencana kebakaran,
selain dipengaruhi oleh kondisi fisik atau yang bersifat
alamiah juga dapat terjadi akibat kelalaian manusia sebagai
penyebabnya. Dalam mitigasi bencana, selain aspek fisik
(alamiah) ternyata aspek manusia (sosial) pun harus
mendapatkan perhatian khusus.
Kajian Risiko Data risiko bahaya kebakaran terdiri dari:
tingkat kemudahan bahan bakaran menyala, kecepatan
penjalaran api, tingkat kesulitan mengendalikan kebakaran,
dan dampak kebakaran (misal: kabut asap).
Tahapan Manajemen Bencana Berdasarkan Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana,
Manajemen bencana dibagi menjadi 3 tahapan yaitu sebagai
berikut:
a. Pra Bencana
- Kesiapsiagaan
- Peringatan Dini
- Mitigasi
b. Saat Bencana
- Tanggap Darurat

2
c.Pasca Bencana
- Rehabilitasi
- Rekonstruksi
Sembilan provinsi di Indonesia yang memiliki risiko tinggi
(high risk) terhadap terjadinya bencana kebakaran lahan dan
hutan akibat perubahan iklim adalah:
1. Nanggroe Aceh Darussalam
2. Riau
3. Jambi
4. Sumatera Selatan
5. Lampung
6. Kalimantan Selatan
7. Kalimantan Barat
8. Kalimantan Tengah
9. Kalimantan Timur
Peta risiko kebakaran hutan dan lahan dapat dilihat pada
gambar berikut (berdasarkan Risk Assesment BNPB, tanggal
21 September 2019):

3
Belum ada pedoman standar nasional pemetaan area rawan
kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang disepakati semua
pihak. Meskipun, sudah ada berbagai dokumen pemetaan
rawan karhutla yang dibuat. Itulah yang melatarbelakangi
kerja sama Badan Informasi Geospasial (BIG) dan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)
untuk menyiapkan peta dalam mengidentifikasi potensi suatu
wilayah yang rawan karhutla, sebagai rujukan bersama.
Penyediaan peta akan diprioritaskan untuk daerah-daerah
yang sering mengalami kebakaran hutan dan lahan dalam
areal yang luas seperti daerah Sumatera, Kalimantan dan
Nusa Tenggara.
Analisa Identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi
kerentanan bencana kebakaran dilakukan dengan cara
pembobotan skala likert. Dari hasil uji validitas dan
reliabilitas, setelah itu dilakukan pembobotan dengan
responden 100 penduduk yang terdapat di wilayah penelitian.
4
Berikut ini merupakan nilai hasil dari pembobotan skala
likert. Berdasarkan hasil analisis dengan scala likert terdapat 8
faktor yang memiliki nilai diatas indeks rata-rata yaitu 72.29.
Faktor-faktor tersebut antara lain ialah faktor iklim dengan
nilai indeks tertinggi sebesar 85, kemudian kegiatan penduduk
dengan nilai 82.5, kepadatan bangunan dengan nilai 78.5,
selanjutnya ialah faktor pengadaan prasarana pemadam
kebakaran, ketersediaan pasokan air, vegetasi gambut,
vegetasi kayu, jaringan jala. Sedangkan faktor-faktor yang
memiliki nilai yang kurang dari indeks rata-rata ialah faktor
hidrologi, mata pencaharian, peningkatan jumlah penduduk,
hasil hutan dan hasil pertanian. Berdasarkan hasil pembobotan
faktor kerentanan, faktor yang memiliki nilai indeks ≥ nilai
rata- rata maka faktor tersebut ialah faktor yang pengaruhnya
signifikan terhadap kerentanan. Sedangkan, faktor yang nilai
indeksnya ≤ ratarata ialah faktor yang kurang signifikan
pengaruhnya terhadap kerantanan
Tingkat Pengaruh Faktor Kerentanan Berdasarkan Hasil
Analisa Skala Likert.
NO Faktor Tingkat Pengaruh
1. Iklim Signifikan
2. Kegiatan penduduk Signifikan
3. Kepadatan pangunan Signifikan
4. Pengadaan prasarana Signifikan
pemadam Signifikan

5
5. kebakaran Ketersediaan Signifikan
pasokan air Signifikan
6. Vegetasi gambut Signifikan
7. Vegetasi jalan Signifikan
8. Jaringan jalan Signifikan
9. Hidrologi Kurang Signifikan
10. Mata pencaharian Kurang Signifikan
11. Tingkat peningkatan Kurang Signifikan
penduduk Kurang Signifikan
12. Hasil hutan Kurang Signifikan
13. Hasil Pertanian Kurang Signifikan

Berdasarkan hasil pembobotan faktor-faktor yang


mempengaruhi kerentanan maka, faktor yang memiliki
pengaruh signifikan dalam penelitian ini adalah 8 faktor yaitu
faktor iklim, kegiatan penduduk, kepadatan bangunan,
Pengadaan prasarana pemadam kebakaran, ketersediaan
pasokan air, vegetasi gambut, vegetasi kayu, dan jaringan
jalan. Sedangkan untuk 5 faktor yang lainnya seperti faktor
hidrologi, mata pencaharian, peningkatan jumlah penduduk,
hasil hutan dan hasil pertanian tidak memberikan pengaruh
yang signifikan terhadap kerentanan bencana kebakaran.
Faktor sosial budaya masyarakat mempunyai andil yang
paling besar terhadap adanya kebakaran hutan. Beberapa
faktor penyebab kebakaran hutan antara lain :
 Penggunaan api dalam kegiatan persiapan lahan
Masyarakat di sekitar kawasan hutan seringkali

6
menggunakan api untuk persiapan lahan, baik untuk
membuat lahan pertanian maupun perkebunan seperti kopi
dan coklat. Perbedaan biaya produksi yang tinggi menjadi
satu faktor pendorong penggunaan api dalam kegiatan
persiapan lahan. Metode penggunaan api dalam kegiatan
persiapan lahan dilakukan karena murah dari segi biaya
dan efektif dari segi waktu dan hasil yang dicapai cukup
memuaskan.
 Adanya kekecewaan terhadap sistem pengelolaan hutan
Berbagai konflik sosial sering kali muncul di tengah-
tengah masyarakat sekitar kawasan hutan. Konflik yang
dialami terutama masalah konflik atas sistem pengelolaan
hutan yang tidak memberikan manfaat ekonomi pada
masyarakat. Adanya rasa tidak puas sebagian masyarakat
atas pengelolaan hutan bisa memicu masyarakat untuk
bertindak anarkis tanpa memperhitungkan kaidah
konservasi maupun hukum yang ada. Terbatasnya
pendidikan masyarakat dan minimnya pengetahuan
masyarakat akan fungsi dan manfaat hutan sangat
berpengaruh terhadap tindakan mereka dalam mengelola
hutan yang cenderung desdruktif.
 Pembalakan liar atau illegal logging. Kegiatan
pembalakan liar atau illegal logging lebih banyak

7
menghasilkan lahan-lahan kritis dengan tingkat
kerawanan kebakaran yang tinggi. Seringkali, api yang
tidak terkendali secara mudah merambat ke areal hutan-
hutan kritis tersebut. Kegiatan pembalakan liar atau illegal
logging seringkali meninggalkan bahan bakar (daun,
cabang, dan ranting) yang semakin lama semakin
bertambah dan menumpuk dalam kawasan hutan yang
dalam musim kemarau akan mengering dan sangat
bepotensi sebagai penyebab kebakaran hutan.
 Kebutuhan akan Hijauan Makanan Ternak (HMT)
Kehidupan masyarakat sekitar kawasan hutan tidak lepas
dari ternak dan penggembalaan. Ternak (terutama sapi)
menjadisalah satu bentuk usaha sampingan untuk
memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Kebutuhan akan
HMT dan areal penggembalaan merupakan salah satu hal
yang harus dipenuhi. Untuk mendapatkan rumput dengan
kualitas yang bagus dan mempunyai tingkat palatabilitas
yang tinggi biasanya masyarakat membakar kawasan
padang rumput yang sudah tidak produktif. Setelah areal
padang rumput terbakar akan tumbuh rumput baru yang
kualitasnya lebih bagus dan kandungan gizinya tinggi.
 Perambahan hutan Faktor lain yang tidak kalah
pentingnya sebagai agen penyebab kebakaran hutan

8
adalah migrasi penduduk dalam kawasan hutan (perambah
hutan). Disadari atau tidak bahwa semakin lama,
kebutuhan hidup masyarakat akan semakin meningkat
seiring semakin bertambahnya jumlah keluarga dan
semakin kompleknya kebutuhan hidup. Hal tersebut
menuntut penduduk untuk menambah luasan lahan
garapan mereka agar hasil pertanian mereka dapat
mencukupi kebutuhan hidupnya.
 Sebab lain Sebab lain yang bisa menjadi pemicu terjainya
kebakaran adalah faktor kurangnya kesadaran masyarakat
terhadap bahaya api. Biasanya bentuk kegiatan yang
menjadi penyebab adalah ketidaksengajaan dari pelaku.
Misalnya masyarakat mempunyai interaksi yang tinggi
dengan hutan. Salah satu bentuk interaksi tersebut adalah
kebiasaan penduduk mengambil rotan yang biasanya
sambil bekerja mereka menyalakan rokok. Dengan tidak
sadar mereka membuang puntung rokok dalam kawasan
hutan yang mempunyai potensi bahan bakar melimpah
sehingga memungkinkan terjadi kebakaran.

9
Langkah-langkah yang
dilakukan dalam analisis risiko bahaya kebakaran hutan dan
lahan adalah :
1.Melakukan kajian iklim kebakaran guna meneliti iklim di
Indonesia khususnya pada awal musim kebakaran, tingkat
kerusakan, dan lamanya kebakaran. Kajian iklim ini juga
menyangkut penelitian sejarah hubungan antara iklim
kebakaran regional, episode El Nino/Southern Oscillation
dan nilai-nilai komponen Fire Weather Index (FWI)
2.Melakukan studi karakterisasi bahan bakar yang akan
memperkirakan kedalaman gambut yang terbakar, bahan
bakar yang terbakar dan potensi emisi asap,
3.Melakukan studi emisi asap dan penyebarannya
menggunakan dengan data meteorologi dan model-model
dispersi atmosfer untuk prakiraan konsentrasi asap dan
pergerakan lintas batasnya.
Salah satu alat bantu dalam analisis risiko kebakaran hutan
dan lahan adalah Fire DangerRating System / FDRS (Sistem
Peringkat Bahaya Kebakaran Hutan), yang dikembangkan

10
oleh BPPT bersama-sama dengan Lembaga Penerbangan
dan Antariksa Nasional (LAPAN). FDRS terdiri dari 2 (dua)
sub sistem utama,yaitu :
1.Fire Weather Index (FWI)
2.Fire Behavior Prediction (FBP).
FWI memberikan tingkat potensi kebakaran relatif untuk tipe
bahan bakar standar berdasarkan pada observasi cuaca saja.
FBP memperhitungkan variabilitas perilaku kebakaran antara
tipe-tipe bahan bakar berdasarkan masukan dari
komponenkomponen FWI, bahan bakar dan data lapangan.
Banyaknya asap akibat kebakaran vegetasi di Indonesia
menjadikan FDRS semakin perlu dikembangkan agar dapat
menilai bahaya kebakaran pada tipe-tipe umum bahan bakar
dan karakterisitik potensi produksi asapnya.
B.Pemantauan dan Layanan Peringatan Peringatan Bahaya
Kebakaran Hutan dan Lahan .
Deteksi ancaman dan perluasan kebakaran hutan dan lahan
dilakukan melalui pantauan lewat titik api(hot spot) di
beberapa titik. Dari pantauan hotspot tadi, kemudian
dilakukan groundcheck oleh petugas di lapangan, lalu diinput
dan dikirim ke kantor Kementerian Kehutanan (untuk
kebakaran hutan) atau Kementerian Pertanian (untuk

11
kebakaran lahan). Untuk kawasan hutan, yang harus dipantau
adalah:
1.Hutan konservasi menjadi kewenangan Kementerian
Kehutanan.
2.Hutan lindung dan produksi menjadi kewenangan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
C. Pengamatan Bahaya Asap Pengamatan bahaya asap dilakukan
dengan menggunakan peralatan yang terdiri dari:
 Aerosol Lidar System (ALS 450) untuk mengukur
aerosol, Planetary Boundary Layer (PBL), dan
karakteristik awan (tipe, jenis, tinggi dan dasar awan).
Environment Particulate Air Monitor (EPAM 5000)
mengukur partikulat debu PM10.
 Portable Weather Station (PWS Vaisala WXT-520)
untuk mengukur parameter cuaca.
Output dari peringatan dini bahaya asap diinterpretasikan
dalam potensi kekeringan dan asap atau drought code (DC).
DC adalah peringkat numerik dari kandungan kadar air di
lapisan organik yang berada di bawah permukaan tanah. DC
digunakan sebagai indikator kekeringan dan potensi
terjadinya kabut asap. Peringkat DC yang tinggi biasanya
terjadi pada kebakaran lahan gambut.

12
( Gambar :Asap Kebakaran Lahan / Hutan )
Bahaya asap akan berdampak pada pencemaran udara yang
memiliki standar yang disebut dengan ISPU (Indeks Standar
Pencemar Udara). Di Indonesia, ISPU diatur berdasarkan
Keputusan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
(Bapedal) Nomor KEP-107/ Kabapedal/11/1997.
Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) (English: Air Pollution
Index/API) adalah laporan kualitas udara kepada masyarakat
untuk menerangkan seberapa bersih atau tercemarnya kualitas
udara kita dan bagaimana dampaknya terhadap kesehatan kita
setelah menghirup udara tersebut selama beberapa jam atau
hari.
Penetapan ISPU ini mempertimbangkan tingkat mutu udara
terhadap kesehatan manusia, hewan, tumbuhan, bangunan, dan
nilai estetika.

13
ISPU ditetapkan berdasarkan 5 pencemar utama, yaitu: karbon
monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida
(NO2), Ozon permukaan (O3), dan partikel debu (PM10).
Berikut klasifkasi yang terdapat pada ISPU beserta dampak
kesehatan yang ditimbulkan oleh adanya pencemaran udara
yang antara lain berasal dari asap kebakaran hutan.

Kebakaran pada tanaman yang masih hijau akan mengeluarkan


asap lebih besar dibandingkan dengan tanaman yang sudah
meranggas, termasuk pelepah atau daun kering. Lebih jauh lagi,
kebakaran pada lahan gambut bisa terjadi secara tidak terduga
karena lahan tersebut dapat menyimpan panas bahkan api yang
menjalar dan menyebar secara luas pada kedalaman tertentu di
bagian permukaan lahan.
Kebakaran hutan pada musim kemarau mulai terjadi sekitar
bulan Juni di beberapa tempat di Provinsi Kalimantan Barat

14
hingga puncaknya pada akhir bulan Agustus dan awal
September (menjelang mulai turun hujan). Penyebaran titik api
terus merambat sejalan dengan semakin meningkatnya panas
bumi yang membuat tanaman dan semak belukar semakin
kering, meranggas dan mudah terbakar. Lokasi sebagian
wilayah di Provinsi Kalimantan Barat yang dilalui garis
katulistiwa membuat daerah ini menjadi lebih panas
dibandingkan dengan wilayah lain di Pulau Kalimantan. Lahan
gambut yang tidak dapat menahan air ternyata menyimpan
panas yang sangat besar dan selalu turut terbakar ketika
kebakaran terjadi. Data yang dikumpulkan di Kecamatan Rasau
Jaya (Tabel 3) menunjukkan bahwa luas areal lahan pertanian
yang terbakar hingga akhir Agustus 2006 cukup signifikan (364
ha di enam desa dengan jumlah petani penggarap 259 kepala
keluarga). Menurut observasi, meski dinyatakan bahwa
kebakaran ini dapat dikendalikan karena dikawal secara
langsung oleh petani, bukan berarti bahwa tidak terjadi
penyebaran kebakaran sebab angin yang bertiup kencang dapat
menerbangkan percikan api ke lokasi di sekitarnya yang
mengakibatkan titik api baru. Karena lokasi pertanian ini
berada di wilayah permukiman penduduk, maka seseorang
yang membuang puntung rokok secara sembarangan dan tidak
disengaja telah menimbulkan kebakaran diluar kendali para

15
petani. Puntung rokok yang tertiup angin mampu menyebarkan
percikan api pada radius tertentu. Terkendali atau tidak, yang
pasti adalah bahwa asap yang ditimbulkan kebakaran ini telah
ikut menyumbang pencemaran lingkungan dan udara serta
mengakibatkan terganggunya kesehatan, geliat ekonomi, dan
hubungan bilateral dengan negara tetangga.
D.Peralatan Pemadaman Kebakaran
Upaya untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran perlu
disediakan peralatan pemadam kebakaran yang sesuai dan
cocok untuk bahan yang mungkin terbakar ditempat yang
bersangkutan.
1) Perlengkapan dan alat pemadam kebakaran

(a)
( Mobil pemadam kebakaran )

(b)
(ABD ( Baju pemadam kebakaran )

16
(c)

(d) Air,ahan alam yang


melimpah, murah dan tidak ada akibat ikutan (side
effect), sehingga air paling banyak dipakai untuk
memadamkan kebakaran. Persedian air dilakukan
dengan cadangan bak-bak iar dekat daerah bahaya, alat
yang diperlukan berupa ember atau slang/pipa
karet/plastik.
(e) Pasir, bahan yang dapat menutup benda terbakar
sehingga udara tidak masuk sehingga api padam.
Caranya dengan menimbunkan pada benda yang
terbakar menggunakan sekop atau ember
(f) Karung goni, kain katun, atau selimut basah sangat
efektif untuk menutup kebakaran dini pada api kompor
atau kebakaran di rumah tangga, luasnya minimal 2 kali
luas potensi api.

17
(g) Pohon pisang. Caranya dengan menutup api dengan
pohon pisang.
 Penanggulangan Bencana Kebakaran
1) Sebelum terjadi kebakaran Hal-hal yang perlu
dilakukan sebelum terjadinya bencana antara lain:
(a) Tempatkan alat penerangan dan obat nyamuk di
tempat yang aman
(b) Tempatkan barang-barang yang mudah terbakar
ditempat yang aman dan jauh dari api
(c) Rawat dan gunakan kompor dengan cermat
(d) Sediakan alat pemadam kebakaran di sekitar rumah
(karung basah, handuk/selimut/kain tebal basah dan
pasir yang disimpan dalam ember atau kantong)
(e) Buang putung roko di asbak dan matikan apinya
(f) Pemeriksaan secara berkala instansi listrik dirumah.
Apabila ada kabel rapuh, sambungan atau stop
kontak yang aus atau tidak rapat, segera ganti dengan
yang baru
(g) Kenali/tandai tempat yang bisa dijadikan tempat
evakuasi yang aman (pekarangan, lapangan dan
sebagainya).
2) Ketika terjadi Kebakaran Hal-hal yang perlu
dilakukan sebelum terjadinya bencana antara lain:

18
(a) Jangan panik
(b) Matikan semua aliran listrik 25
(c) Tutup ruangan yang terjadi kebakaran agar tidak
menjalar keruang lain tetapi jangan dikunci, untuk
memeudahkan jika akan memadamkan kobaran api
(d) Menggunakan masker atau handuk/kain basah di
sekitar mulut/hidung
(e) Apabila terjebak di dalam ruangan, segera cari jalan
keluar dengan merangkak di bawah asap dan
bernapas pendekpendek
(f) Segera hubungi pemadam kebakaran jika tidak bisa
dipadamkan sendiri
3.Setelah terjadikebakaran Hal-hal yang perlu dilakukan
sebelum terjadinya bencana antara lain:
(a) Lakukan pertolongan pertama untuk diri sendiri
(b) Cari sanak saudara untuk tempat tionggal sementara
(c) Bersihkan puing-puing dan kumpulkan barang yang
masih berguna

19
Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan
Terhadap Produksi Pertanian: Sebagaimana hutan dan lahan
yang terbakar ternyata cukup luas dengan kemungkinan
kebakaran yang diduga sangat berpotensi menghasilkan
gumpalan asap yang tebal, mencemari lingkungan dan
mengganggu kesehatan makhluk hidup. Dampak kebakaran
hutan terhadap produksi tanaman pangan mungkin tidak terlalu
besar, tetapi akan sangat signifikan pada lahan perkebunan
apabila kebakaran terjadi pada areal kebun yang telah ditanami
komoditas perkebunan. Bagi lahan tanaman pangan,
pembakaran dilakukan untuk menyiapkan lahan dan dilakukan
pada musim kemarau. Umumnya tidak terdapat tanaman
pangan pada waktu pembakaran dilakukan dan oleh karena itu,
sangat kecil kemungkinan pengaruhnya terhadap produksi
tanaman pangan. Sebaliknya bagi lahan tanaman perkebunan
yang diatasnya telah ditumbuhi tegakan atau komoditas
perkebunan tertentu, apabila terjadi kebakaran di wilayah
sekitar kebun, sangat besar kemungkinan nyala atau percikan
api menjalar/meluas dan membakar komoditas yang
bersangkutan dan lahan yang bersangkutan. Jika demikian yang
terjadi, maka kerugian yang signifikan bukan saja karena

20
kehilangan komoditas, tetapi juga karena pencemaran
lingkungan (karena membakar tanaman/pohon hidup/dedaunan
hijau). Untuk pengembangan luas lahan komoditas perkebunan,
Provinsi Kalimantan Barat sebenarnya telah mengeluarkan
arahan pemanfaatan ruang wilayah sesuai dengan Perda No. 5
tahun 2004. Luas perkebunan lahan kering (PLK) di setiap
kabupaten telah didata dan mencapai luas sekitar 6 juta hektar
lebih (di 12 kabupaten dan kota) ditambah dengan kira-kira
523.000 ha potensi pemanfaatan PLK pada lima kabupaten di
daerah perbatasan. Khusus untuk wilayah perbatasan, alokasi
luas lahan yang tersedia diarahkan untuk perusahaan
perkebunan besar swasta. Memperhatikan informasi ini, sangat
beralasan untuk mengatakan bahwa perusahaan perkebunan
yang diberi ijin berusaha pada lokasi ini dapat dipantau dan
dibina untuk berpartisipasi mencegah kebakaran hutan dan
lahan. Teknik pembukaan/penyiapan harus diubah dari cara
tradisional dengan membakar ke cara modern yang
menggunakan herbisida untuk semak belukar dan pembabatan
kayu-kayu kecil di areal yang bersangkutan. Sistem borongan
untuk penebasan/pembersihan yang pada akhirnya melakukan
pembakaran sebagai cara paling cepat dan murah harus
dihindari.

21
Sistem Proteksi Kebakaran Menurut Kemenkes RI, sistem
proteksi kebakaran aktif adalah salah satu faktor keandalan
bangunan gedung terhadap bahaya kebakaran. Sistem proteksi
aktif wajib diadakan untuk bangunan rumah sakit dimana
sebagian besar penghuninya adalah pasien dalam kondisi lemah
sehingga tidak dapat menyelamatkan dirinya dari bahaya
kebakaran.

Pusat Pengaduan dan Pelaporan Bencana


Informasi dalam strategi organisasi dan even menempati
posisi penting karena keberadaannya sebagai dasar dalam
mengambil keputusan strategis. Pada kasus penanganan
bencana akibat asap dan kebakaran hutan, banyak keputusan
yang harus segera diambil dengan cepat dan tepat karena
berada pada posisi genting dan serba darurat. Oleh karena itu
peran informasi yang cepat dan tepat menjadi kebutuhan utama.
Penyebaran asap dapat terjadi diwilayah-wilayah yang jauh dari
titik api kebakaran hutan sehingga kemungkinan terjadinya
suatu wilayah yang terlambat penanganan menjadi besar, hal
ini terjadi di berbagai daerah terutama penyakit ISPA yang
menyerang anak-anak dan ibu hamil. Informasi seluas-luasnya
dibutuhkan dari berbagai titik terjadinya penyebaran asap.

22
BNPB untuk pertama kali telah merilis aplikasi yang diberi
nama InAWARE pada tahun 2013 untuk berkomonikasi dan
koordinasi dengan berbagai institusi penanganan bencana dan
akibatnya seperti TNI/POLRI, kementerian kesehatan, sosial,
dan pemerintah daerah . Pada aplikasi tersebut salah satu
fungsinya adalah pengelolaan data kejadian, akibat kejadian,
dan pengawasan pasca bencana. Aplikasi ini bersifat inklusif
(tertutup) khusus bagi institusi yang terlibat sehingga tidak bisa
diakses oleh masyarakat secara luas. Keterbukaan informasi
dan lahirnya berbagai relawan dimasyarakat yang perduli
terhadap akibat bencana memerlukan keterbukaan informasi
baik dalam pengumpulan data, pelaporan, dan pengaduan
secara luas. Untuk itu belum ada release InAWARE terbaru
dari perkembangan kebutuhan tersebut agar penangan akibat
bencana dapat lebih luas, cepat, dan tepat bagi siapa saja yang
terlibat didalamnya.
Kejadian penting ( nyata ) bencana kebakaran di
Indonesia.
Provinsi Riau menjadi salah satu daerah di Indonesia yang
paling sering mengalami kebakaran hutan dan lahan.
Kebakaran hutan dan lahan ini menjadi penyebab utama
bencana kabut asap. Pada tahun 2019 bencana kabut asap
kembali terjadi di Provinsi Riau, sepanjang bulan Januari

23
hingga Juni luas lahan yang terbakar mencapai 584.72 hektar.
Hal ini sesuai dengan keterangan kepala BPBD (Badan
Penanggulangan Bencana Daerah) Provinsi Riau, Edwar
Sanger total luas lahan yang terbakar tersebar di Kabupaten
Rokan Hilir, Kampar, Bengkalis, Dumai, Meranti, Rokan Hulu,
Pelalawan, Siak dan Indra Giri Hilir. Datangnya musim
kemarau serta pembukaan lahan pertanian baru dengan cara
dibakar yang marak terjadi di Provinsi Riau juga menjadi
penyebab kebakaran hutan dan lahan terus terjadi setiap tahun.
Pencegahaan terjadinya bencana kebakaran hutan dan lahan di
Provinsi Riau, diperlukan suatu upaya komunikasi yang efektif
untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya menjaga alam
khususnya hutan. Selain itu, kondisi geografis Provinisi Riau
yang mayoritas lahan gambut sehingga menyulitkan
pemadaman api dikarenakan kebakaran terjadi berada di bawah
tanah. Komunikasi bencana memegang peranan penting dalam
mengkomunikasikan berbagai hal yang berkaitan dengan
penganggulangan bencana, baik itu oleh pihak pemerintah
seperti BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana),
BPBD, pihak perusahaan ataupun masyarakat. Masyarakat juga
harus mengetahui hal-hal apa saja yang harus dilakukan
sebelum dan sesudah terjadinya bencana.

24
Masyarakat yang sudah pernah mengalami bencana pola
komunikasinya akan berubah karena mereka sadar mengapa
komunikasi penting untuk dilakukan. Seperti yang dikatakan
Damayanti (2010), masyarakat yang pernah terkena bencana
akan sangat responsif terhadap informasi yang diberikan.
Sebagai korban, masyarakat akan sangat menanti setiap
informasi sebagai tolak ukur perbuatan yang akan mereka
lakukan.
Upaya pencegahan terjadinya kebakaran hutan dan lahan di
Provinsi Riau oleh BPBD Provinsi Riau salah satunya melalui
proses komunikasi. Fungsi komunikasi bencana dalam upaya
mengurangi kebakaran hutan dan lahan yaitu komunikasi
bencana harus bisa menjadi alat penyebaran informasi dari
pemerintah kepada masyarakat umum. Proses komunikasi yang
dilakukan oleh BPBD Provinsi Riau harus mengacu pada empat
landasan fungsi komunikasi dalam penanggulangan bencana
yaitu: Pertama, Costumer Focus yaitu memahami informasi apa
yang dibutuhkan oleh pelanggan dalam hal ini masyarakat.
Fungsi komunikasi bencana salah satunya yaitu menyampaikan
pesan-pesan terkait bencana yang terjadi kepada masyarakat.
Tujuannya agar masyarakat memahami perihal bencana yang
sedang terjadi. Apa saja dampak dan bahaya yang diakibatkan
oleh bencana, bagaimana cara menanggulanginya, siapa yang

25
bertanggung jawab, apa yang harus dilakukan, dan segala hal
yang terkait harus dipahami oleh semua masyarakat. Tujuannya
agar masyarakat bisa mengambil sikap yang sesuai dengan
posisi mereka sehingga tidak membuat kondisi semakin rumit.
BPBD Provinsi Riau yaitu dengan melakukan sosialisasi
terhadap masyarakat umum yang dalam hal ini diwakili oleh
tokoh-tokoh masyarakat. Melalui kegiatan sosialisasi ini tokoh-
tokoh masyarakat dapat memahami bahaya dan dampak dari
kebakaran hutan dan lahan yang terus terjadi sehingga dapat
menghimbau dan memberi penyadaran kepada masyarakat.
disekelilingnya agar tidak melakukan tindakan-tindakan yang
berpotensi menjadi penyebab terjadinya bencana akibat kebakaran
hutan dan lahan yang mereka lakukan.
Badan Penanggulangan BPBD Provinsi Riau mengharapkan
masyarakat mau memperhatikan kondisi lingkungan yang ada
disekitarnya. Wilayah Riau sebanyak 56,1 % merupakan wilayah
gambut sehingga harus diperhatikan secara seksama. Apalagi
dimusim kemarau yang rentan terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
Wilayah gambut yang begitu luas tentu membutuhkan pengawasan
ekstra sehingga semua pihak harus saling bekerjasama untuk
menjaganya. Menurut Edwar Sangar kondisi bencana asap yang
kerap terjadi di provinsi Riau diakibatkan oleh masyarakat yang
kerap melakukan pembakaran hutan dan lahan. Tentunya kondisi ini
tidak terjadi jika masyarakat sudah memahami tugas dan tanggung
jawabnya terhadap lingkungan disekitarnya. Disinilah fungsi
26
komunikasi bencana berlaku dengan cara memberikan informasi
kepada masyarakat luas. Masyarakat harus menjadi penjaga dan
pengawas dilingkungannya karena mereka setiap hari berada
ditempat tersebut. Mereka harus memahami bahaya yang mereka
timbulkan akibat dari tindakan yang mereka lakukan. Badan BPBD
Provinsi Riau mengatakan bahwa saat ini kepedulian masyarakat
terhadap lingkungannya telah meningkat ditandai dengan telah
berkurangnya titik hotspot di Provinsi Riau. BPBD Provinsi Riau
menyatakan bahwa masyarakat mulai paham terhadap bahaya
kebakaran hutan dan lahan. Masyarakat juga mulai menyadari
perannya sebagai penjaga kelestarian.
Badan Penanggulangan BPBD Provinsi Riau juga bekerjasama
dengan komunitas-komunitas yang bisa bekerja sama dalam
proses penyampaian komunikasi bencana seperti Pramuka
Siaga Bencana, Pemuda Tangguh Bencana, Mapala Peduli
Bencana, Baznaz Bencana, dan berbagai komunitas yang
lainnya (Kamaruzzaman:2018).
BPBD Provinsi Riau selaku pemerintah harus aktif menjalin
kerja sama dengan semua lini (pemerintah, swasta, dan
masyarakat) yang ada supaya fungsi komunikasi bencana bisa
sampai dan dapat dipahami oleh semua orang dari semua
kalangan. Tidak ada unsur tebang pilih dalam memberikan
informasi kepada masyarakat, semuanya memiliki hak dan
kesempatan yang sama. Masyarakat juga diharapkan mampu

27
memahami bahaya dari dampak kebakaran hutan dan lahan
yang terjadi sehingga mau menjaga lingkungan disekitarnya.
BPBD Provinsi Riau memberikan sosialisasi dan pelatihan
kepada masyarakat ketika bencana kebakaran telah dan belum
terjadi.

28
DAFTAR PUSTAKA

R. Novitra, “54 Ribu Warga Riau Terpapar Penyakit Akibat


Asap,” Tempo Online, 2015. [Online]. Available:
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/10/03/078706106/54-
ribuwarga-riau-terpapar-penyakit-akibat-asap.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofsika. Pedoman
Pelayanan Peringatan Dini Tsunami InaTEWS – Versi
Ringkasan, 2013
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Risiko Bencana
Indonesia. Jakarta: BNPB: 2016
Wetlands International-Indonesia Programme (2004). Seri
Pengelolaaan Hutan dan Lahan Gambut : Strategi Pencehanan
Kebakaran Hutan dan lahan Gambut.
Firman, (2016), Pola Komunikasi Badan Penanggulangan
Bencana Daerah Provinsi Riau Dalam Mencegah Dan
Menanggulangi Bencana Asap Di Riau, JOM FISIP 3 (2), 1-15.

29

Anda mungkin juga menyukai