TINJAUAN KASUS
6
7
2. Pengertian Spiritual
Spiritual merupakan konsep kompleks yang unik pada tiap
individu, dan tergantung pada budaya, perkembangan, pengalaman
hidup, kepercayaan, dan ide-ide tentang kehidupan seseorang (Mauk
dan Schmidt, 2004 dalam Potter and Perry, 2010).
Spiritual memberikan individu energi yang dibutuhkan untuk
menemukan diri mereka, untuk beradaptasi dengan situasi yang sulit,
dan untuk memelihara kesehatan. Energi yang berasal dari spiritual
membantu klien merasa sehat dan membantu membuat pilihan
sepanjang kehidupan (Chiu et al., 2004 dalam Potter and Perry, 2010).
3. Karakteristik Spiritual
Adapun karakteristik spiritual menurut Hamid (2009) meliputi :
a. Hubungan dengan diri sendiri (kekuatan dalam atau self-reliance)
meliputi: pengetahuan diri (siapa dirinya, apa yang dapat
dilakukannya) dan sikap (percaya pada diri sendiri, percaya pada
kehidupan/masa depan, ketenangan pikiran, harmoni atau
keselarasan dengan diri sendiri.
b. Hubungan dengan alam (harmoni) meliputi: mengetahui tentang
tanaman, pohon, margasatwa, iklim dan berkomunikasi dengan
alam (bertanam, berjalan kaki), mengabadikan dan melindungi
alam.
c. Hubungan dengan orang lain (harmonis atau suportif) meliputi:
berbagi waktu, pengetahuan dan sumber secara timbal balik,
mengasuh anak, orang tua dan orang sakit, serta menyakini
kehidupan dan kematian (mengunjungi, melayat dll), dikatakan
tidak harmonis apabila: konflik dengan orang lain, resolusi yang
menimbulkan ketidakharmonisan dan friksi.
d. Hubungan dengan ketuhanan (agamais atau tidak agamais)
meliputi: sembahyang atau berdoa atau meditasi, perlengkapan
keagamaan dan bersatu dengan alam (Hamid, 2009).
6. Kesehatan Spiritual
Kesehatan spiritual adalah kondisi yang dalam pandangan sufistik
disebut sebagai terbebasnya jiwa dari berbagai penyakit ruhaniah,
seperti syirik (polytheist), kufur (atheist), nifaq atau munafik
(hypocrite), dan fusuq (melanggar hukum). Kondisi spiritual yang
sehat terlihat dari hadirnya ikhlas (ridha dan senang menerima
pengaturan Illahi), tauhid (meng-Esa-kan Allah), tawakal (berserah
diri sepenuhnya kepada Allah). Spiritualitas adalah pandangan
pribadi dan perilaku yang mengekspresikan rasa keterkaitan ke
dimensi transcendental atau untuk sesuatu yang lebih besar dari diri
(Asy’arie, 2012). Dubos memandang sehat sebagai suatu proses
kreatif dan menjelaskannya sebagai kualitas hidup, termasuk
kesehatan sosial, emosional,mental,spiritual,dan biologis dari
individu, yang disebabkan oleha daptasi terhadap lingkungan.
Kontinum sehat dan kesehatan mencakup enam dimensi sehat yang
mempengaruhi gerakan di sepanjang kontinum. Dimensi ini
diuraikan sebagai berikut :
a. Sehat fisik adalah ukuran tubuh, ketajaman sensorik, kerentanan
terhadap penyakit, fungsi tubuh, kebugaran fisik, dan
kemampuan sembuh.
b. Sehat intelektual adalah kemampuan untuk berfikir dengan
jernih dan menganalisis secara kritis untuk memenuhi
tantanganhidup.
c. Sehat sosial adalah kemampuan untuk memiliki hubungan
interpersonal dan interaksi dengan orang lain yang memuaskan.
d. Sehat emosional adalah ekspresi yang sesuai dan control emosi;
harga diri, rasa percaya dan cinta.
e. Sehat lingkungan adalah penghargaan terhadap lingkungan
eksternal dan peran yang dimainkan seseorang dalam
mempertahankan, melindungi, dan memperbaiki kondisi
lingkungan.
f. Sehat spiritual adalah keyakinan terhadap Tuhan atau cara hidup
yang ditentukan oleh agama; rasa terbimbing akan makna atau
nilai kehidupan.
Manusia terdiri dari dimensi fisik, emosi, intelektual, sosial dan
spiritual dimana setiap dimensi harus dipenui kebutuhannya.
Seringkali permasalahan yang muncul pada klien ketika mengalami
suatu kondisi dengan penyakit tertentu (misalnya penyakit
fisik)mengakibatkan terjadinya masalah psikososial dan spiritual.
Ketika klien mengalami penyakit, kehilangan dan stress, kekuatan
spiritual dapat membantu individu tersebut menuju penyembuhan
dan terpenuhinya tujuan dengan atau melalui pemenuhan kebutuhan
spiritual (Yusuf. dkk, 2016).
8. Masalah Spiritual
Ketika sakit, kehilangan, duka cita, atau perubahan hidup yang
besar, individu menggunakan sumber daya spiritual untuk membantu
mereka beradaptasi atau menimbulkan kebutuhan dan masalah
spiritual.
Tekanan spiritual. Tekanan spiritual sering menyebabkan seseorang
merasa sendiri atau bahkan merasa diabaikan. Individu sering
mempertanyakan nilai-nilai spiritual mereka, menimbulkan pertanyaan
pertanyaan tentang jalan hidup mereka, tujuan kehidupan, dan sumber
pemahaman. Tekanan spiritual juga timbul saat ada konflik antara
kepercayaan seseorang dan regimen kesehatan yang diresepkan atau
ketidakmampuan untuk mempraktikan ritual seperti biasanya.
Penyakit Akut. Tiba-tiba, penyakit yang tidak diharapkan (baik
jangka pendek atau panjang) yang mengancam kehidupan klien,
kesehatan, dan/atau kesejahteraan terus-menerus menyebabkan
tekanan spiritual yang signifikan. Kekuatan spiritualitas klien
mempengaruhi bagaimana klien beradaptasi dengan penyakit yang
tiba-tiba dan seberapa cepat klien beralih ke masa pemulihan.
Penyakit Kronis. Banyak penyakit kronis yang mengancam
kebebasan seseorang menyebabkan ketakutan, kecemasan, dan tekanan
spiritual. Ketidakberdayaan dan kehilangan pemahaman tujuan hidup
mengganggu kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan pada
fungsi tubuh. Spiritualitas secara signifikan membantu klien dan
pemberi layanan untuk beradaptasi terhadap perubahan yang
diakibatkan oleh penyakit kronis. Klien yang memiliki pemahaman
kesejahteraan spiritual, merasakan hubungan dengan kekuatan tertinggi
dan orang lain, dan dapat menemukan arti dan tujuan hidup, akan dapat
beradaptasi lebih baik dengan penyakit kronis yang dimilikinya, di
mana membantu mereka mencapai potensi dan peningkatan kualitas
hidup mereka (Adegbola, 2006 dalam Potter & Perry, 2010).
Penyakit Terminal. Penyakit terminal biasanya menyebabkan
ketakutan terhadap nyeri fisik, isolasi, hal yang tak terduga, dan
kematian. Penyakit terminal menciptakan ketidakpastian tentang apa
arti kematian dan membuat klien rentan terhadap tekanan spiritual.
Pengalaman Mendekati Kematian. Beberapa perawat akan merawat
klien yang memiliki pengalaman mendekati kematian (Near-Death
Experience [NDE]). Setelah klien selamat dari NDE, penting untuk
tetap terbuka dan memberikan klien kesempatan untuk menggali apa
yang telah terjadi. Berikan dukungan jika klien memutuskan untuk
berbagi pengalaman dengan orang-orang terdekat (James, 2004 dalam
Potter & Perry, 2010).
9. Kepercayaan Keagamaan Tentang Kesehatan
Setiap agama mempunyai beberapa kepercayaan mengenai
kesehatan baik secara pelayanan kesehatan, respon penyakit dan
penerapan kesehatan dalam keperawatan.
g. Pemeriksaan penunjang
1) Faktor reumatoid : positif pada 80 – 95% kasus.
2) Fiksasi lateks : positif pada 75% dari kasus-kasus khas.
3) Reaksi-reaksi aglutinasi : positif pada lebih dari 50% kasus-
kasus khas.
4) LED : umumnya meningkat pesat (80-100 mm/h) mungkin
kembali normal sewaktu gejala-gejala meningkat.
5) Protein C-reaktif : positif selama masa eksaserbasi.
6) SDP : meningkat pada waktu timbul proses inflamasi.
7) Ig (Ig M dan Ig G) : peningkatan besar menunjukkan proses
autoimun sebagai penyebab AR.
8) Sinar X dari sendi yang sakit : menunjukkan pembekakan pada
jaringan lunak, erosi sendi dan osteoporosis dari tulang yang
berdekatan (perubahan awal) berkembang menjadi formasi kista
tulang, memperkecil jarak sendi dan subluksasio. Perubahan
osteoartistik yang terjadi secara bersamaan.
9) Scan radionuklida : identifikasi peradangan sinovium.
10) Artoskopi Langsung : visualisasi dari area yang menunjukkan
irregularitas / degenerasi tulang pada sendi.
11) Aspirasi cairan sinovial : mungkin menunjukkan volume yang
lebih besar dari normal : buram, berkabut, munculnya warna
kuning (respon inflamasi, produk-produk pembuangan
degeneratif); elevasi SDP dan lekosit, penurunan viskositas dan
komplemen (C3 dan C4).
12) Biopsi membran sinovial : menunjukkan perubahan inflamasi
dan perkembangan panas.
3. Diagnosis Keperawatan
Dalam mendiagnosis kesehatan spiritual, perawat dapat
menemukan bahwa masalah spiritual dapat dijadikan judul diagnostic,
atau bahwa distress spiritual adalah etiologi masalah. Standar
Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI, 2016) mengakui satu
diagnosis yang berhubungan dengan spiritual: Distress Spiritual.
4. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan yang diberikan pada klien dengan gangguan
kebutuhan spiritual menurut SIKI dilakukan dengan menggunakan intervensi
utama dan intervensi pendukung.
j) Menyatakan Edukasi
telah diabaikan a. Anjurkan berinteraksi
dengan keluarga,
Objektif teman, dan/atau
1. Menolak berinteraksi orang lain
dengan orang b. Anjurkan berpartisipasi
terdekat/pemimpin dalam kelompok
spiritual pendukung
2. Tidak mampu c. Ajarkan metode
berkreativitas (mis. relaksasi, meditasi, dan
Menyanyi, imajinasi terbimbing
mendengarkan
musik, menulis) Kolaborasi
a. Atur kunjungan
dengan rohaniawan
(mis. Ustadz,
3. Koping tidak efektif pendeta, romo, biksu)
4. Tidak berminat
pada alam/literatur 2. Promosi
spiritual. Koping
Observasi
a. Identifikasi kegiatan
jangka pendek dan
panjang sesuai tujuan
b. Identifikasi
kemampuan yang
dimiliki
c. Identifikasi sumber
daya yang tersedia
untuk memenuhi
tujuan
d. Identifikasi
pemahaman proses
penyakit
e. Identifikasi dampak
situasi terhadap peran
dan hubungan
f. Identifikasi
metode
penyelesaian
masalah
g. Identifikasi kebutuhan
dan keinginan terhadap
dukungan sosial
Terapeutik
a. Diskusikan perubahan
peran yang dialami
b. Gunakan pendekatan
yang tenang dan
menyakinkan
c. Diskusikan alasan
mengkritik diri
sendiri
d. Diskusikan untuk
mengklarifikasi
kesalahpahaman
dan mengevaluasi
perilaku sendiri
e. Diskusikan konsekuensi
tidak menggunakan
rasa bersalah dan rasa
malu
f. Diskusikan risiko yang
menimbulkan bahaya
pada diri sendiri
g. Fasilitasi dalam
memperoleh informasi
yang dibutuhkan
h. Berikan pilihan
realitas mengenai
aspek-aspek tertentu
dalam perawatan
i. Motivasi untuk
menentukan harapan
yang realistis
j. Tinjau kembali
kemampuan dalam
pengambilan keputusan
k. Hindari mengambil
keputusan saat pasien
berada di bawah tekanan
l. Motivasi terlibat
dalam kegiatan
sosial
m. Motivasi
mengidentifikasi
sistem pendukung yang
tersedia
n. Dampingi saat berduka
(mis. penyakit kronis,
kecacatan)
o. Perkenalkan dengan
orang atau kelompok
yang berhasil mengalami
pengalaman sama
p. Dukung penggunaan
mekanisme pertahanan
yang tepat
q. Kurangi
rangsangan
lingkungan yang
mengancam
Edukasi
a. Anjurkan menjalin
hubungan yang
memiliki kepentingan
dan tujuan
sama
b. Anjurkan penggunaan
sumber spiritual, jika
perlu
c. Anjurkan
mengungkapkan
perasaan dan persepsi
d. Anjurkan keluarga terlibat
e. Anjurkan membuat
tujuan yang lebih
spesifik
f. Ajarkan cara
memecahkan
masalahsecara
konstruktif
g. Latih penggunaan
teknik relaksasi
h. Latih keterampilan sosial,
sesuai kebutuhan
i. Latih
mengembangkan
penilaian obyektif
4. Implementasi
Implementasi merupakan kategori dari perilaku keperawatan dimana
tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang
diperkirakan dari asuhan keperawatan dilakukan dan diselesaikan (Potter
& Perry, 2009). Implementasi merupakan pelaksanaan perencanaan
keperawatan oleh perawat. Hal-hal yang perlu di perhatikan ketika
melakukan implementasi adalah intervensi dilakukan sesuai rencana
setelah dilakukan validasi, penguasaan keterampilan interpersonal,
intelektual dan teknikal, intervensi harus dilakukan dengan cermat dan
efisien pada situasi yang tepat, keamanan fisik dan psikologi dilindungi
dan didokumentasi keperawatan berupa pencataan dan pelaporan (Rohman
dan Walid, 2016).
5. Evaluasi
Dengan menggunakan hasil yang diharapkan dan dapat diukur, yang
ditetapkan pada tahap perencanaan, perawat mengumpulkan data yang
diperlukan untuk memutuskan apakah tujuan dan hasil klien tercapai
(Kozier, 2010). Menurut Diniarti, Aryani, Nurheni, Chairani & Tutiany
(2013), evaluasi asuhan keperawatan didokumentasikan dalam bentuk
SOAP (subjektif, objektif, assesment, planning). Komponen SOAP yaitu S
(subjektif) dimana perawat menemukan keluhan klien yang masih
dirasakan setelah dilakukan tindakan. O (objektif) adalah data yang
berdasarkan hasil pengukuran atau observasi klien secara langsung dan
dirasakan setelah selesai tindakan keperawatan. A (assesment) adalah
kesimpulan dari data subjektif dan objektif (biasanya ditulis dalam bentuk
masalah keperawatan). P (planning) adalah perencanaan keperawatan yang
akan dilanjutkan dihentikan, dimodifikasi atau ditambah dengan rencana
kegiatan yang sudah ditentukan sebelumnya.
C. Tinjauan Konsep Penyakit
1. Definisi lansia
a. Definisi lansia
Lansia atau menua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam
kehidupan manusia. Menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak
hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak
permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah, yang
berarti seseorang telah melalui 3 tahap kehidupannya, yaitu anak,
dewasa dan tua. 3 tahap ini berbeda baik secara biologis, maupun
psikologis. Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran,
misalnya kemunduran fisk, yang ditandai dengan kulit yang
mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran
kurang jelas, penglihatan semakin memburuk, gerakan lambat dan
figur tubuh yang tidak proporsional.
b. Batas-batasan lanjut usia
Menurut WHO lanjut usia meliputi
1) Usia pertengahan (middle age), adalah kelompok usia (45-59
tahun);
2) Lanjut usia (eldery) antara (60-74 tahun);
3) Lanjut usia (old) antara (75 dan 90 tahun); dan
4) Usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.
Menurut Prof DR. Ny.Sumiati Ahmad Muhammad (Alm), Guru
Besar Universitas Gajah Mada Fakultas Kedokteran, periodesasi
biologis perkembangan manusia dibagi sebagai berikut
1) Usia 0-1 tahun (masa bayi);
2) Usia 1-6 tahun (masa prasekolah);
3) Usia 6-10 tahun (masa sekolah);
4) Usia 10-20 tahun (masa pubertas);
5) Usia 40-65 tahun (masa setegah umur, prasenium); dan
6) Usia 65 tahun keatas (masa lanjut usia, senium).
Menurut Dra. Ny. Jos Masdani (pisikolog dari Universitas
Indonesia), lanjut usia merupakan kelanjutan usia dewasa.
Kedewasaan dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu
1) Fase iuventus, antara usia 25-40 tahun;
2) Fase verilitas, antara usia 40-50 tahun;
3) Fase praesenium, antara usia 55-65 tahun; dan
4) Fase senium, antara usia 65 tahun hingga tutup usia.
4. Etiologi
Penyebab artritis reumatoid belum diketahui secara pasti walaupun
banyak hal mengenai patogenesisnya telah terungkap. Factor genetik dan
beberapa faktor lingkungan telah lama diduga berperan dalam timbulnya
penyakit ini. Kecenderungan wanita untuk menderita arthritis rheumatoid
dan sering dijumpainya remisi pada wanita yang sedang hamil
menimbulkan dugaan terdapatnya faktor keseimbangan hormonal sebagai
salah satu faktor yang berpengaruh terhadap penyakit ini. Walaupun
demikian karena pembenaran hormon esterogen eksternal tidak pernah
menghasilkan perbaikan sebagaimana yang diharapkan, sehingga kini
belum dipastikan bahwa factor hormonal memang merupakan penyebab
penyakit ini.
Sejak tahun 1930, infeksi telah diduga merupakan penyebab
arthritis rheumatoid. Dugaan factor infeksi timbul karena umumnya
omset penyakit ini terjadi secara mendadak dan timbul dengan disertai
oleh gambaran inflamasi yang mencolok. Walaupun hingga kini belum
berhasil dilakukan isolasi suatu organisme dari jaringan synovial, hal ini
tidak menyingkirkan kemungkinan bahwa terdapat suatu komponen
peptidoglikan atau endotoksin mikroorganisme yang dapat mencetuskan
terjadinya arthritis rheumatoid. Agen infeksius yang diduga merupakan
penyebab arthritis rheumatoid antara lain bakteri, mikroplasma atau
virus.
Hipotesis terbaru tentang penyebab penyakit ini adalah adanya
faktor genetik yang akan menjurus pada penyakit setelah terjangkit
beberapa penyakit virus, seperti infeksi virus Epstein-Barr. Heat Shock
Protein (HSP) adalah sekelompok protein berukuran sedang (60-90 kDa)
yang dibentuk oleh sel seluruh spesies sebagai respon terhadap stress.
Walaupun telah dikeatahui terdapat hubungan antara Heat Shock Protein
dan sel T pada pasien Arthritis Reumatoid namun mekanisme hubungan
ini belum diketahui secara jelas (Aspiani, 2014).
5. Patofisiologi
Pada rheumatoid arthritis, reaksi autoimun (yang dijelaskan
sebelumnya) terutama terjadi dalam jaringan synovial. Proses fagositosis
menghasilkan enzim-enzim dalam sendi. Enzim-enzim akan memcah
kolagen sehingga terjadi edema, poliferasi membrane synovial dan
akhirnya pembentukan pannus. Pannus akan menghancurkan tulang
rawan dan menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya
permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. otot akan turut
terkena serabut otot akan mengalami perubahan degenerative dengan
menghilangnya elastisitas otot dan kekakuan konstraksi otot.
Lamanya rheumatoid arthritis berbeda pada setiap orang ditandai
dengan adanya masa serangan dan tidak adanya serangan. Sementara ada
orang yang sembuh dari serangan dan selanjutnya tidak diserang lagi.
Namun pada sebagian kecil individu terjadi progresif yang cepat ditandai
dengan kerusakan sendi yang terus menerus dan terjadi vaskulitis yang
difus (Smeltzer dan Bare, 2002 dalam Ernawati, 2012).
6. Pathway
Gambar 2.1 Pathway Artritis Reumatoid
Deformitas sendi
Hambatan nutrisi Ankilosis fibrosa
Hilangnya kekuatan otot pada
kartilago artikularis Kartilago nekrosis
Resiko cidera
Keterbatasan gerakan sendi Kekuatan sendi Ankilosis tulang
8. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat:
a. Tes faktor rheumatoid biasanya positif pada lebih dari 75% pasien
artritis rheumatoid terutama bila masih aktif. Sisanya dapat
dijumpai pada pasien leprae, tuberculosis paru, sirosis hepatis, hepatitis
infeksiosa, endocarditis bakterialis, penyakit kolagen dan sarkoidosis.
b. Protein C reaktif biasanya meningkat.
c. LED meningkat.
d. Leukosit normal atau meningkat sedikit.
e. Anemia normositik hipokrom akibat adanya inflamasi yang kronik.
f. Trombosit meningkat.
g. Kadar albumin serum turun dan globulin naik.
h. Pada pemeriksaan rontgen, semua sendi dapat terkena, tetapi yang
tersering adalah metatarsofalang dan biasanya simetris. Sendi
sakroiliaka juga sering terkena. Pada awalnya terjadi pembekakan
jaringan lunak dan dimeneralisasi jukstra artikular kemudian terjadi
penyempitan ruang sendi dan erosi.
9. Penatalaksanan
Setelah diagnosis AR ditegakkan, pendekatan pertama yang harus
dilakukan adalah segera berusaha untuk membina hubungan yang baik
antara pasien dengan keluarganya dengan dokter atau tim pengobatan yang
merawatnya.
a. Pendidikan pada pasein mengenai penyakitnya dan penatalaksanaan
yang akan dilakukan dilakukan sehingga terjalin hubungan baik dan
terjamin ketaatan pasien untuk berobat dalam jangka waktu yang lama.
b. OAINS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid) diberikan sejak dini untuk
mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang sering dijumpai. OAINS
yang diberikan:
1) Aspirin, pasien dibawah umur 65 tahun dapat dimulai dengan dosis
3 – 4 x 1 g/hr, kemudian dinaikkan 0,3 – 0,6 perminggu sampai
terjadi perbaikan atau gejala toksik. Dosis terapi 20 – 30 mg/dl.
2) Ibuprofen, naproksen, piroksikam, diklofenak, dan sebagainya.
c. DMARD (Disease Modifying Antirheumatoid Drugs) digunakan untuk
melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi akibat arthritis
rheumatoid. Keputusan penggunaannya bergantung pada pertimbangan
risiko manfaat oleh dokter. Umumnya segera diberikan setelah
diagnosis artritis rheumatoid ditegakkan, atau bila respon OAINS tidak
ada, meski masih dalam status tersangka.
1) Klorokuin fosfat 250 mg/hr atau hidroksiklorokuin 400 mg/hr.
2) Sulfasalazin dalam bentuk tablet bersalut enteric digunakan dalam
dosis 1 x 500 mg/hari, ditinggikan 500 mg/minggu, sampai
mencapai dosis 4 x 500 mg.
3) D – penisilamin, kurang disukai karena bekerja sangat lambat.
Digunakan dalam dosis 250-300 mg/hari, kemudian dosis
ditingkatkan setiap 2-4 minggu sebesar 250-300 mg/hari untuk
mencapai dosis total 4 x 250-300 mg/hari.
4) Garam emas adalah gold standart bagi DMARD.
5) Obat imunosupresif atau imunoregulator; metotreksat dosis
dimulai 5-7,5 mg setiap minggu. Bila dalam 4 bulan tidak
menunjukkan perbaikan, dosis harus ditingkatkan.
6) Kortikosteroid, hanya dipakai untuk pengobatan arthritis
rheumatoid dengan komplikasi berat dan mengancam jiwa seperti
vaskulitis, karena obat ini memiliki efek samping yang sangat
berat.
d. Rehabilitasi
Bertujuan meningkatkan kualitas harapan hidup pasien. Caranya
antara lain dengan mengistirahakan sendi yang terlibat, latihan,
pemanasan dan sebagainya. Fisioterapi dimulai segera setelah rasa sakit
pada sendi berkurang atau minimal. Bila tidak juga berhasil, mungkin
diperlukan pertimbangan untuk tindakan operatif. Sering pula
diperlukan alat-alat, karena itu pengertian tentang rehabilitasi:
1) Pemakaian alat bidai, tongkat penyangga, kursi roda, sepatu dan
alat.
2) Alat ortotik protetik lainnya.
3) Terapi mekanik.
4) Pemanasan: baik hidroterapi maupun eletroterapi.
5) Occupational therapy.
e. Pembedahan
Jika berbagai cara pengobatan telah dilakukan dan tidak berhasil
serta terdapat alas an yang cukup kuat, dapat dilakukan pengobatan
pembedahan. Jenis pengobatan ini pada pasien atritis rheumatoid
umumnya bersifat orthopedic, misalnya sinovektomi, artodesis,
memperbaiki deviasi ulnar.
Untuk melihat kemajuan pengobatan dipakai parameter:
1) Lamanya morning stiffness.
2) Banyaknya sendi yang nyeri bila digerakkan atau berjalan.
3) Kekuatan menggenggam (dinilai dengan tensimetera).
4) Waktu yang diperlukan untuk berjalan 10 -15 meter.
5) Peningkatan LED.
6) Jumlah obat-obatan yang digunakan.