Anda di halaman 1dari 52

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Nyeri merupakan keluhan tersering pada pasien post operasi batu ginjal.

Prevelensi nyeri post operasi pada pasien batu ginjal meliputi nyeri ringan

15,92%, nyeri sedang 26,38% dan nyeri berat 57,70% (Istiqomah, 2010). Pasien

post operasi sering mengalami nyeri hebat meskipun diberikan obat analgesik

pasien tetep mengalami nyeri sehingga dapat menggangu kenyamanan pasien

(Saputra, 2013).

Hasil studi penelitian di RSUD dr. Soegiri Lamongan menunjukan hasil

pasien post operasi batu ginjal di ruang rawat inap sebanyak 23 pasien selama 2

bulan Oktober sampai November 2019. Peneliti melakukan pengkajian insidenital

pada tanggal 13-14 Desember 2019 di ruang Bougenvil RSUD dr. Soegiri

Lamongan didapatkan 8 pasien post operasi batu ginjal, semuanya menyatakan

nyeri, 6 orang (60%) mengalami nyeri berat meskipun sudah diberikan obat

analgesik dan narkotik (morfin) sedangkan 2 orang (40%) mengalami nyeri

meskipun sudah diberikan analgesik ibuproven.

Selama ini manajemen nyeri yang digunakan di ruang tersebut hanya

menggunakan terapi farmakologis. Manajemen nyeri pasca operasi yang kurang

baik sangat merugikan penderita karena dapat memperpanjang lama perawatan,

menambah beban biaya pengobatan juga meningkatkan morbiditas dan mortalitas,

sedangkan prosedur terbaik untuk manajemen nyeri pasca operasi dalam kasus

trauma bedah masih kontroversial (Machino et al, 2010).

1
2

Bila nyeri tidak ditangani secara baik maka dapat menyebabkan kerusakan

jaringan lebih lanjut, karena terjadi perubahan ekspresi dari saraf saraf, yang

merupakan permasalahan besar sulit untuk ditangani (Morgan, 2013). Upaya-

upaya yang dilakukan untuk menangani nyeri pasien post operasi yaitu secara

farmakologi dan non farmakologi. Terapi farmakologi meliputi obat analgesik

seperti golongan NSAID, narkotik. Terapi non farmakologi meliputi terapi

meditasi, terapi musik, terapi dzikir, terapi nafas dalam, terapi relaksasi. Salah

satu terapi relaksasi dan distraksi yang dapat dilakukan untuk menurunkan nyeri

adalah terapi benson dan murottal (Novisari & Aryana, 2013).

Teknik relaksasi yang dapat dilakukan untuk mengintervensi nyeri post

operasi batu ginjal dapat menggunakan teknik terapi benson. Terapi benson

merupakan sebuah teknik relaksasi yang dapat mengurangi nyeri dan

meningkatkan perasaan rileks serta merupakan obat penenang untuk situasi pada

saat nyeri (Harista A, 2012). Hasil penelitian Warsono, dkk (2019) menunjukkan

terapi benson efektif untuk menurunkan skala nyeri berat menjadi sedang 95%

pada pasien post operasi SC.

Salah satu teknik distraksi yang dapat dilakukan untuk penurunan nyeri

post operasi batu ginjal dapat menggunakan terapi musik jenis murottal. Terapi

murottal merupakan teknik relaksasi yang mempunyai pengaruh positif yang

bertujuan untuk memberikan ketenangan jiwa yang tenang dan mengurangi rasa

nyeri (Widayati, 2011). Hasil penelitian Khasinah & Anita (2015) menunjukkan

bahwa terapi murottal dapat menurunkan skala nyeri dari berat menjadi ringan

100% dengan pasien post operasi Open Reduction Internal Fixation (ORIF).
3

Untuk memaksimalkan penggunaan terapi nonfarmakologi dalam

menurunkan skala nyeri pada pasien post operasi batu ginjal, peneliti ingin

mengabungkan dua teknik sekaligus yaitu terapi benson dan murottal sebagai

pendamping teknik farmakologi. Karena tingkat nyeri pada pasien post operasi

batu ginjal sebagian besar nyeri berat yang tidak hilang dengan analgetik dan

narkotik. Pengabungan kedua terapi nonfarmakologis tersebut diharapkan dapat

menurunkan nyeri secara signifikan, lebih cepat dan efektif dari skala nyeri berat

menjadi ringan. Oleh karena itu, peneliti ingin melakukan penelitian tersebut

untuk mengetahui “pengaruh terapi benson dan murottal terhadap penurunan nyeri

pada pasien post operasi batu ginjal di RSUD dr. Soegiri Lamongan’’.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah ada pengaruh pemberian terapi benson dan murottal terhadap nyeri

post operasi batu ginjal di RSUD dr. Soegiri Lamongan.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh pemberian terapi benson dan murottal terhadap

penurunan skala nyeri post operasi batu ginjal di RSUD dr. Soegiri Lamongan.

1.3.2 Tujuan Khusus

1) Mengidentifikasi skala nyeri sebelum pemberian terapi benson dan murottal.

2) Mengidentifikasi skala nyeri sesudah pemberian terapi benson dan murottal.

3) Menganalisis perbedaan intensitas nyeri sebelum dan sesudah pemberian

terapi benson dan murottal.

4) Menganalisis perbedaan intensitas nyeri sesudah pada kedua kelompok.


4

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Akademik

Sebagai tambahan ilmu pengetahuan serta gambaran mengenai pengaruh

pemberian terapi benson dan murottal terhadap nyeri post operasi batu ginjal.

1.4.2 Praktis

1) Bagi Responden

(1) Mengidentifikasi pengetahuan tentang nyeri post operasi

(2) Menambah dan meningkatkan pengetahuan nyeri pos operasi

(3) Mendapatkan pengalaman baru tentang penurunan skala nyeri dengan metode

benson dan murottal

1.4.3 Bagi Rumah Sakit

1) Memberikan masukan bagi profesi keperawatan terhadap penatalaksanaan

nyeri pada pasien post operasi batu ginjal dengan pengembangan terapi non

farmakologi asuhan keperawatan pada pasien pots operasi batu ginjal dengan

pendekatan terapi non farmakologis dan perencanaan keperawantan pada

batu ginjal.

2) Memberikan tambahan informasi dalam rangka untuk meningkatkan mutu

pelayanan pada pasien post operasi batu ginjal.

1.4.4 Bagi Penulis

Dapat menjadi masukan dalam ilmu pengetahuan yang didapat saat kuliah

dan dijadikan perbaikan untuk penerapan penanganan nyeri post operasi batu

ginjal dengan menggunakan metode non farmakologis.


5

1.4.5 Bagi Peneliti Selanjutnya

Dapat dijadikan sebagai bahan referensi atau acuan dalam penelitian

selanjutnya tentang penanganan nyeri dengan metode non farmakologis.


BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Batu Ginjal

2.1.1 Definisi Batu Ginjal

Batu ginjal merupakan penyakit yang terbentuk karena terjadinya

pengkristalan kalsium dalam tubuh (ginjal) cairan mineral memompa dan

membentuk kristal yang mengakibatkan terjadinya batu ginjal. Batu ginjal

biasanya terdapat dalam ginjal tubuh seseorang, dimana tempat bernaugannya urin

sebelum dialirkan melalui ureter ke kandung kemih (Nurqoriyah dkk, 2012).

Lokasi batu ginjal dijumpai di kaliks atau pelvis dan bila akan dikeluarkan

berhenti di ureter atau kandung kemih. Batu ginjal sebagian besar mengandung

kalsium, batu oksalat, kalsium oksalat, kalsium fosfat, secara bersama dapat

dijumpai sampai 65-85% dari jumlah keseluruhan batu ginjal. Batu ginjal

merupakan kelainan terbanyak diseluruh kemih (Sja’bani, 2010).

Batu ginjal terbentuk bila konsentrasi mineral dalam urin mencapai nilai

yang memungkinkan terbentuknya kristal yang akan mengendap pada ureter.

Meningkatnya konsentrasi garam garam disebabkan adanya kelainan metabolisme

atau pengaruh lingkungan (Nurqoriyah dkk, 2012).

2.1.2 Etiologi

Batu ginjal disebabkan oleh beberapa faktor menurut Nurqoriyah dkk,

(2012) antara lain:

6
7

1) Genetik (bawaan)

Ada orang orang tertentu memiliki kelainan atau gangguan organ ginjal

sejak lahir, meskipun kasusnya relatif sedikit anak yang sejak kecil mengalami

gangguan metabolisme khususnya di bagian ginjal yaitu air kencing nya memiliki

kecendrungan mudah mengendapkan garam garam membuat mudah terbentuknya

batu karena fungsi ginjal tidak bekerja normal maka kelancaran proses

mengeluarkan air kemih mengalami gangguan. Misalnya banyak zat kapur di air

kemih sehingga mudah mengendapkan batu (Nurqoriyah dkk, 2012).

2) Makanan

Sebagian besar batu ginjal disebabkan oleh faktor makanan dan minuman.

Makanan makanan tertentu mengandung bahan kimia yang berefek pada

pengendapan air kemih, misalnya makanan makanan yang mengandung kalsium

tinggi, seperti oksalat dan fosfat (Nurqoriyah dkk, 2012).

3) Aktifitas

Faktor pekerjaan dan olah raga dapat mempengaruhi penyakit batu ginjal.

orang yang pekerjaannya banyak duduk lebih besar dibanding pada orang yang

banyak berdiri atau bergerak dan orang yang kurang olahraga atau kurang

bergerak menyebabkan peredaran darah maupun aliran air kencing menjadikan

lancar (Nurqoriyah dkk, 2012).

2.1.3 Patofisiologi

Menurut Potter & Perry (2009) Batu ginjal terjadi akibat perubahan

kelarutan sebagai zat di urine sehingga terjadi nukleus (pembentukan inti batu)
8

dan pengendapan garam. Sejumlah faktor dapat menggangu keseimbangan yang

mudah terbentuknya batu.

Meningkatkan asupan cairan dapat mempermudah peningkatan volume urin

sebanyak 2 liter perhari atau lebih sebagai salah satu bentuk pencegahan

( protektif). Berbagai hipotesis diajukan termasuk pengenceran zat, jenis zat yang

mempermudah terbentuknya batu dan berkurangnya waktu transit kalsium melalui

nefron serta yang mampu memperkecil kemungkinan pengendapan belum

diketahui (Potter & Perry, 2009).

Individu yang rentang mengalami batu ginjal, diit tinggi protein semakin

mempermudah terbentuknya batu. Kadar protein yang tinggi dalam makanan

menyebabkan asidosis metabolik transien dan meningkatkan LPG. Meskipun

peningkatan kadar kalsium serum tidak terdeteksi, mungkin terjadi peningkatan

transien resopsi kalium dari tulang. Efek ini sering muncul pada individu dengan

pembentukan batu ginjal (Potter & Perry, 2009).

Diet tinggi natrium mempermudah ekskresi kalsium dan pembentukan batu

kalsium oksalat, sementara asupan natrium dalam makanan yang rendah

menimbulkan efek yang berlawanan. Selain itu ekskresi natrium urine

meningkatkan saturasi mononatrium urat, yang dapat berfungsi sebagai nidus

untuk kristalisasi kalsium (Potter & Perry, 2009).

Meskipun kenyataannya, sebagian besar batu berupa batu kalsium oksalat,

konsentrasi oksalat dalam diet umumnya terlalu rendah untuk mendukung anjuran

menghindari oksalat agar pembentukan batu dapat dicegah. Demikian juga,

pembatasan kalsium dalam diet, yang dahulu di anjurkan bagi para”pembentuk


9

batu” kalsium, hanya bermanfaat untuk sebagian pasien dengan hiperkalsiuria

yang disebabkan oleh diet (Potter & Perry, 2009).

Salah satu hipotesis menyatakan bahwa terdapat suatu efek genetik umum

yang menyebabkan gangguan keseimbangan kalsium dan natrium, yang memicu

proses patofisiologi terpisah dan menyebabakan terbentuknya batu ginjal.

Pembentukan batu ini sendiri di dalam pelvis ginjal tidak menimbulkan

nyeri sampai batu tersebut pecah dan terbawa menyusuri ureter, yang

menyebabkan kolik ureter. Hematuria dan kerusakan ginjal dapat terjadi tanpa

menimbulkan nyeri (Potter & Perry, 2009).

2.1.4 Komplikasi

Menurut Potter & Perry (2009) komplikasi pada batu ginjal sebagai berikut :

1) Sumbatan atau obstruksi akibat adanya pecahan batu.

2) Infeksi akibat diseminasi partikel pada batu ginjal atau bakteri akibat

obstruksi.

3) Kerusakan fungsi ginjal akibat sumbatan yang lama sebelum pengobatan atau

pengangkatan batu ginjal.

4) Obstrusi urine dapat terjadi dibagian mana saja disaluran kemih. Obstruksi

diatas kandung kemih dapat menyebabkan hidroureter, yaitu ureter

membengkak. Hidroureter yang tidak diatasi dapat menyebabkan

hidronefrosis yaitu pembengkakan pada pelvis ginjal. Hidronefosis dapat

menyebabkan ginjal tidak dapat memekatkan urin sehingga terjadi

ketidakseimbangan elektrolit dan cairan.


10

5) Obstruksi menyebabkan peningkatan tekanan hidrotastil intersium dan dapat

menyebabkan penurunan GFR. Obstruksi yang tidak diatasi dapat

menyebabkan kolapsnya nefron dan kapiler sehingga terjadi iskemia nefron

karena suplai darah terganggu. Akhirnya dapat terjadi gagal ginjal jika kedua

ginjal terserang.

6) Setiap kali terjadi obstruksi aliran urin (stasis), kemungkinan infeksi bakteri

meningkat

7) Dapat terbentuk kanker ginjal akibat peradangan dan cedera berulang

2.1.5 Pemerikasaan Penunjang

1) Radiologi

Secara radiologi, batu dapat radiopak atau radiolusen. Sifat radiopak ini

berbeda untuk berbagai jenis batu sehingga dari sifat ini dapat diduga batu dari

jenis apa yang ditemukan. Radiolusen umumnya adalah jenis batu asam urat

murni (Potter &Perry, 2009).

Pada yang radiopak pemeriksaan dengan foto polos sudah cukup untuk

menduga adanya batu ginjal bila diambil foto dua arah. Pada keadaan tertentu

terkadang batu terletak didepan banyangan tulang, sehingga dapat luput dari

penglihatan. Oleh karena itu, foto polos sering perlu ditambahi foto pielografi

intravena (PIV/IVP). Pada batu radiolusen, foto dengan bantuan kontraks akan

menyebabkan defek pengisian ditempat batu berada. Yang menyulitkan adalah

bila ginjal yang mengandung batu tidak berfungsi lagi sehingga kontraks ini tidak

muncul (Potter & Perry, 2009).


11

Ultrasonografi (USG) dilakukan bila pasien tidak mungkin menjalani

pemeriksaan IVP, yaitu pada keadaan : elergi terhadap bahan kontras, faal ginjal

yang menurun dan pada wanita hamil. Pemeriksaan USG dapat untuk melihat

jenis batu, selain itu dapat ditentukan ruang/lumen saluran kemih. Pemeriksaan ini

juga dipakai untuk menentukan batu selama tindakan pembedahan untuk

mencegah tertinggalnya batu (Potter & Perry, 2009).

2) Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk mencari kelainan kemih dapat

menunjang adanya batu di saluran kemih, menentukan fungsi ginjal dan

menentukan penyebab batu (Potter & Perry, 2009).

2.1.6 Manifestasi Klinis

Menurut Potter & Perry (2009) Nyeri yang berkaitan dengan batu ginjal di

sebabkan oleh peradangan ureter, pelvis atau ginjal. Keparahan nyeri berkaitan

dengan derajat peregangan yang terjadi, karena sangat parah pada obstruksi akut,

anuria dan azotemia mengisyaratkan obstruksi bilateral atau obstruksi unilateral di

satu ginjal yang fungsional. Nyeri hematuria bahkan obstruksi ureter akibat batu

ginjal. Keluarnya batu hanya membutuhkan cairan, tirah baring, analgesik.

Penyulit utama adalah :

1) Hidronefrosis dan kerusakan ginjal permanen akibat obstruksi total ureter

yang mengakibatkan terbendungnya urine dan peningkatan tekanan.

2) Infeksi atau pembentukan abses, yang cepat merusak ginjal.

3) Kerusakan ginjal akibat pembentukan batu ginjal berulang.

4) Hipertensi akibat peningkatan renin oleh ginjal yang mengalami obstrusi.


12

2.1.7 Klasifikasi

Batu ginjal pada umumnya mengandung unsur kalsium oksalat, asam urat,

Magnesium-Amonium-Fosfat (MAP) xanthin dan sistin, silikat dan senyawa

lainnya (Potter & Perry, 2009). Menurut USDHHS (2012) jenis batu ginjal dibagi

menjadi empat yaitu:

1) Batu Kalsium

Batu jenis ini paling banyak dijumpai yaitu kurang lebih 70 - 80% dari

seluruh batu saluran kemih. Kandungan batu jenis ini terdiri atas kalsium oksalat,

kalsium fosfat, atau campuran kedua unsur itu. Proses terjadinya batu kalsium

sebagai berikut:

(1) Hiperkalsiuri : kadar kalsium di dalam urin lebih besar dari 300 mg/ 24 jam.

(2) Hiperoksaluri : ekskresi oksalat urin yang melebihi 45 gram per hari.

Keadaan dijumpai pada pasien yang habis pembedahan usus dan banyak

mengkomsumsi oksalat.

(3) Hiperurikosuria : asam urat yang berlebihan dalam urine bertindak sebagai

inti batu/nidus untuk terbentuknya batu kalsium oksalat.

(4) Hipositraturia : di dalam urin, sitrat bereaksi dengan kalsium membentuk

kalsium sitrat, sehingga menghalangi ikatan kalsium dengan oksalat / fosfat.

(5) Hipomagnesuria : seperti halnya pada sitrat, magnesium bertindak sebagai

penghambat timbulnya batu kalsium dan bereaksi dengan oksalat.

2) Batu Struvit

Batu struvit disebut juga sebagai batu infeksi, karena terbentuknya batu ini

disebabkan oleh adanya infeksi saluran kemih. Kuman penyebab infeksi ini adalah

kuman pemecah golongan urea yang dapat menghasilkan enzim urease dan
13

merubah urine menjadi bersuasana basa. Suasana basa yang memudahkan garam

magnesium, amonium, fosfat dan karbonat membentuk batu magnesium fosfat.

3) Batu Asam Urat

Batu asam urat merupakan 5-10 % dari seluruh batu saluran kemih.

Diantara 75-80% batu asam urat terdiri atas asam urat murni dan sisanya

merupakan campuran kalsium oksalat. Sumber asam urat berasal dari diet yang

mengandung purin dan metabolisme endogen di dalam tubuh. Tidak seperti batu

jenis umum yang bergerigi, batu asam urat bentuknya halus dan bulat sehingga

seringkali keluar spontan.

4) Batu Jenis Lain

Batu sistin, batu xanthin dan batu silikat sangat jarang dijumpai. Batu sistin

didapat karena kelainan metabolisme sistin. Batu xanthin terbentuk karena

penyakit bawaan. Pemakaian antasida yang mengandung silikat yang berlebihan

dan dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan timbunya batu silikat.

2.1.8 Penalaksanaan

1) Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih secepatnya harus

dikelurkan agar tidak menimbulkan penyulit yang lebih berat.

2) Indikasi untuk melakukan tindakan atau terapi pada batu saluran kemih

adalah batu yang telah menimbulkan obstruksi, infeksi atau indikasi sosial.

3) Batu dapat dikeluarkan dengan cara medikamentosa, dipecahkan dengan

ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy) melalui tindakan endourlogi,

bedah laparoskopi atau pebedahan terbukan (Potter & Perry, 2009).


14

2.2 Konsep Nyeri

2.2.1 Pengertian Nyeri

Nyeri merupakan perasaan sensori dan emosional yang tidak menyenangkan

yang disebabkan oleh kerusakan jaringan tubuh atau berpotensi terjadi kerusakan

jaringan yang meliputi komponen objektif, subjektif, proses fisiologi nyeri, emosi

dan psikologi. Respon nyeri sangat bervariasi antar individu maupun individu

yang sama dalam waktu yang berbeda (Andarmoyo, 2013; Morgan, 2013).

Nyeri adalah sebagai sebuah gejala, tanda atau sebuah sindrom dan

merupakan sebuah pengalaman persepsi yang sangat kompleks. Respon nyeri

sangat bervariasi antar individu maupun individu yang sama pada waktu yang

berbeda (Dissanayake, 2014).

2.2.2 Fisiologi

Menurut Bahrudin (2017) Mekanisme timbulnya nyeri didasari oleh proses

multipel yaitu sensitisasi, perifer, perubahan fenotif, sensitisasi sentral,

ekstabilitas ektopik dan penurunan inhalasi. Antara cedera jaringan dan

pengalaman subjektif nyeri psoses tersebut ada 4 fase, yaitu

1) Transduksi adalah proses dimana akhiran saraf aferen menerjemahkan

stimulus (misalnya tusukan jarum) ke dalam impuls nosiseptif.

2) Transmisi adalah suatu proses dimana impuls disalurkan menuju kornu

dorsalis medula spinalis, kemudian sepanjang traktus sensori menuju otak.

Neuron eferen merupakan pengiriman dan penerima aktif dari sinyal elektrik

dan kimiawi.
15

3) Modulasi adalah proses amplikasi sinyal neural terkait nyeri. Proses ini

terutama terjadi di kornu dorsalis medula spinalis, dan yang mungkin terjadi di

level lainnya. Serangkaian reseptor opioid, dapat ditemukan di kornu dorsalis.

Sistem nosiseptif juga mempunyai jalur desending berasal dari korteks

frontalis, hipotalamus, dan area otak lainya ke otak tengah dan medula

oblongata, selanjutnya menuju medula spinalis.

4) Persepsi nyeri adalah kesadaran akan pengalaman nyeri. Persepsi merupakan

hasil dari interaksi proses tranduksi, transmisi, mudulasi, aspek psikologis,

dan karakteristik individu lainya.

2.2.3 Macam -Macam Nyeri

Menurut American Sociaty of Snethesiologist (2008) dalam Qur’ani (2015)

macam macam tipe nyeri sebagai berikut :

1) Nyeri Akut

Nyeri akut terjadi setelah terjadinya cedera akut, penyakit atau intervensi

bedah dan memiliki permulaan yang cepat dengan intensitas yang ringan sampai

berat dan biasanya berlangsung dalam waktu yang singkat.

2) Nyeri Kronik

Nyeri kronik berlangsung lebih lama dari pada nyeri akut, dengan intensitas

ringan sampai berat dan biasanya berlangsung selama enam bulan.

3) Nyeri Somatis Dalam

Nyeri somatis dalam merupakan banyaknya kejadian nyeri yang kompleks.

Bagian pada tubuh seperti otot otot atau tulang (struktur somatis), struktur somatis
16

yang dalam tubuh intensitas nyerinya berbeda beda. Tulang dan kartiligo biasanya

sensitif terhadap tekanan yang ekstrim misalnya Artritis rheumatoid, osteomielitis.

4) Nyeri Psikogenetik

Nyeri psikogenetik adalah nyeri yang tidak diketahui secara fisik, biasanya

dipengaruhi oleh psikologis, mental, emosional atau faktor prilaku.

2.2.4 Skala Nyeri

Untuk menentukan intensitas atau tingkatan nyeri klien, dapat menggunakan

skala nyeri menutut Potter & Perry (2009) dalam Qur’ani (2015) sebagai berikut:

1) Skala Intensitas Nyeri Deskriptif

Gambar 2.1 Skala Nyeri Deskriptif

2) Skala Intensitas Nyeri Numerik

Gambar 2.2 Intensitas Nyeri Numerik

Petunjuk pengunaan untuk kedua skala tersebut adalah: “Pada skala nol

sampai dengan sepuluh, angka nol menunjukkan tidak ada nyeri yang dirasakan,

angka sepuluh menunjukan nyeri yang berat, seberapa nyeri yang klien rasakan

saat ini?”. Klien biasanya dapat berespon tanpa kesulitan.


17

3) Skala Analog Visual

Gambar 2.3 Skala Analog Visual

Penggunaan skala analog visual ini dengan meminta klien untuk

menunjukkan titik pada garis yang menunjukan letak nyeri tersebut di sepanjang

garis tersebut, ujung garis kiri (tidak ada nyeri), kanan biasanya menimbulkan

(nyeri paling berat), nilai hasil diletakkan di sepanjang garis dan jarak yang

dibuat klien pada garis dari tidak nyeri di ukur dan ditulis dalam sentimeter.

4) Skala Nyeri Bourbanis

Gambar 2.4 Skala Nyeri Bourbanis

Keterangan :

0 : Tidak nyeri

1-3 : Nyeri ringan,secara objektif klien dapat berkomunikasi dengan baik

4-6 : Nyeri sedang, dapat mengikuti perintah dengan baik

7-9 : Nyeri berat, klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih

merespon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri.

10 : Nyeri sangat berat, klien sudah tidak mampu berkomunikasi


18

5) Skala Nyeri Wajah

Gambar 2.5 Skala Nyeri Wajah

Keterangan :

0 : tidak nyeri

1 : sedikit nyeri

2 : sedikit lebih nyeri

3 : lebih nyeri lagi.

4 : sangat nyeri

5 : nyeri hebat

2.2.5 Pengkajian Nyeri

Pengkajian nyeri menurut Potter & Perry (2009) yang dilakukan dengan

menggunakan metode PQRST meliputi :

1) Provokes/pillates : apa yang menyebabkan nyeri? Apa yang membuat nyeri

lebih baik? Apa yang menyebabkan nyeri lebih buruk? Apa yang dilakukan

saat nyeri? Dan apakah radsa nyeri tersebut dapat mambangun anda saat

tidur?

2) Quality : bisakan si penderitanya mengambarkan rasa nyerinya? Apakah

seperti diiris iris, tajam, ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram atau

diremas remas? (biarkan si penderitaan menggunakan kata katanya sendiri)


19

3) Radiates : apakah nyerinya menyebar? Kemana menyebarnya? Apakah nyeri

terlokarisir disatu tempat atau bergerak?

4) Severity : seberapa parah nyernya? Dari rentan 0-10 menggunakan skala nyeri

0-10

5) Time : kapan nyeri itu timbul? Apakah terus menerus atau hilang timbul?

Berapa lama nyeri timbulnya? Apakah terus menerus atau hilang timbul?

Apakah pernah merasakan nyerinya sama sebelum ini? Apakah nyerinya

sama dengan nyeri sebelumnya?

2.2.6 Faktor-Faktor yang Dapat Mempengaruhi Nyeri

Menurut Tamsuri (2015) Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi nyeri

antara lain :

1) Etnik dan Nilai Budaya

Latar belakang etnik dan budaya merupakan faktor yang mempengaruhi

reaksi terhadap nyeri dan ekpresi nyeri, contohnya individu dari budaya tentu

cenderung ekspresif dalam mengungkapkan nyeri, sedangkan individu dari

budaya lain justru lebih memilih menahan perasaan mereka dan tidak ingin

merepotkan orang lain.

2) Tahap Perkembangan

Usia dan tahap perkembangan seseorang merupakan variabel penting yang

akan mempengaruhi reaksi dan ekspresi terhadap nyeri. Dalam hal ini anak- anak

cenderung kurang mampu mengungkapkan rasa nyeri dibandingkan orang

dewasa, dan kondisi ini dapat menghambat penanganan nyeri untuk mereka.

Disisi lain prevalensi nyeri pada individu lansia lebih tinggi karena penyakit
20

akut ataupun kronis yang mereka derita. Walaupun ambang batas nyeri tidak

berubah karena penuaan, tetapi efek analgesik yang diberikan menurun karena

perubahan fisiologis yang terjadi.

3) Lingkungan dan Individu Pendukung

Lingkungan yang asing, tingkat kebisingan yang tinggi, pencahayaan,

dan aktivitas yang tinggi di lingkungan tersebut dapat memperberat nyeri. Selain

itu dukungan dari keluarga dan orang terdekat menjadi salah satu faktor penting

yang mempengaruhi persepsi nyeri individu.

4) Pengalaman Nyeri Sebelumnnya

Pengalaman masa lalu juga berpengaruh terhadap persepsi nyeri individu

dan kepekaannya terhadap nyeri. Selain itu keberhasilan atau kegagalan metode

penanganan nyeri sebelumnya juga berpengaruh terhadap harapan individu pada

penanganan nyeri saat ini.

5) Ansietas dan Stress

Ansietas sering kali menyertai peristiwa nyeri yang terjadi. Ancaman yang

tidak jelas asalnya dan ketidakmampuan mengontrol nyeri atau peristiwa

disekelilingnya dapat memperberat persepsi nyeri. Sebaliknya, individu yang

percaya bahwa mereka mampu mengontrol nyeri yang mereka rasakan akan

mengalami penurunan rasa takut dan kecemasan yang akan menurunkan persepsi

nyeri mereka.

2.2.7 Penatalaksanaan Nyeri

Metode yang digunakan untuk menurunkan nyeri pada post operasi yakni

terapi farmakologi dan non farmakologi.


21

1. Penatalaksanaan Farmakologi

Analgesik yang dapat diberikan sebagai terapi simpomatik meliputi obat

analgesik seperti NSAID dan narkotik. Mekanisme obat-obatan NSAID tersebut

adalah menghambat enzim sikloogsigenesa dalam pembentukan protaglandin

yang dikaitkan dengan kerja analgesiknya dan efek sampingnya. Efek

analgesiknya telah kelihatan dalam waktu dalam satu jam setelah pemberian per

oral, sedangkan efek NSAID telah tampak daam waktu satu dua minggu, efek

maksimalnya timbul bervariasi 1-4 minggu, setelah pemberian per –oral kadar

puncaknya NSAID dalam darah mencapai dalam waktu 1-3 jam setelah

pemberian, menyerapnya umumnya tidak dipengaruhi oleh oleh adanya makanan.

Sedangkan mekanisme analgesik narkotik adalah digunakan untuk meredakan

nyeri post operasi dan kanker, menyebabkan peningkatan peptida opioid enderfin

efek samping depresi pernafasan mual dan muntah, obat tersebut yang sering

diberikan pada pasien pasca operasi (Michael, 2005 dalam Resti, 2015)

2. Penatalaksanaan non farmakologi

Menurut Tamsuri (2015) penurunan nyeri secara non farmakologi dapat

dilakukan antara lain:

1) Teknik distraksi merupakan teknik menurunkan nyeri dengan cara

mengalihkan perhatian ke hal yang lain, sehingga menurunkan kewaspadaan

terhadap nyeri bahkan meningkatkan toleransi nyeri. Bentuk-bentuk teknik

distraksi meliputi musik, doa, dzikir dan salah satunya yakni murottal.

2) Teknik relaksasi adalah kebebasan mental dan fisik dari ketegangan dan

stress yang memberikan individu dapat mengontrol diri ketika merasa tidak
22

nyaman dan nyeri, emosi dan stress fisik pada nyeri. Bentuk- bentuk teknik

relaksasi meliputi kompres hangat dan dingin, nafas dalam, hipnosis,

relaksasi otot, relaksasi kesadaran indra, dan salah satunya yakni benson.

3) Teknik meditasi merupakan praktik relaksasi yang melibatkan pelepasan

pikiran dari semua hal yang menarik, membebani, maupun mencemaskan

dalam kehidupan sehari hari, atau kegiatan membolak balik pikiran dalam

memikirkan, merenungkan. Dilakukan selama jangka waktu tertentu, untuk

menganalisis, menarik kesimpulan dan mengambil langkah-langkah lebih

lanjut untuk menyikapi, menentukan tindakan atau menyelesaikan masalah

pribadi, hidup dan prilaku. Bentuk relaksasi meditasi yakni meditasi zen

(duduk), vipassana, perhatian, cinta kasih, mantra, dan yoga.

2.3 Konsep Mendengarkan Bacaan Al Qu’ran (Murottal)

2.3.1 Pengertian Mendengarkan

Mendengarkan adalah memperhatikan secara serius apa yang dikatakan

lawan bicara, disertai dengan keseriusan penuh anggota tubuh dan jauh dari sikap

sikap pura pura. Mendengarkan bisa diartikan sebuah pembicaraan oleh telinga,

baik disengaja maupun tidak disengaja. Mendengarkan juga bisa diartikan

”menyerap informasi dari lawan bicara” (Muhammad Ibrahim Al Nughaimsh,

2011).

Mendengarkan adalah proses dimana gelombang suara yang memasuki

telinga bagian luar dipancarkan ke gendang telinga, di ubah menjadi getaran

mekanis di telinga bagian dalam menjadi sinyal yang bergerak menuju ke otak

(Smaldino, 2011).
23

Mendengar berarti penangkapan bunyi secara tidak sengaja sedangkan

mendengarkan proses menangkap bunyi bahasa dengan sengaja tetapi belum

memahami (Mulyana, 2009).

2.3.2 Mendengarkan Ayat Ayat Al Qu’ran

Menurut Widayati (2011) murotal merupakan salah satu musik yang

mempunyai pengaruh positif bagi yang mendengarkan. Mendengarkan ayat ayat

Alquran yang dibacakan secara tartil dan benar akan mendatangkan jiwa yang

tenang. Lantunan ayat ayat alquran secra fisik mangandung unsur unsur manusia

yang merupakan instrumen penyembuhan dan alat yang mudah dijangkau.

Sedangkan menurut Siswantinah (2011) & Wahyuni (2013) murotal adalah

rekaman suara yang dilagukan oleh seorang qori’(pembaca Al Qu’ran) dengan

irama sedang, tidak lambat dan tidak cepat (tartil).

Penggunaan EEG untuk mengidentifikasi emosi pada saat seseorang

mendengarkan bacaan Al Qur’an, menunjukkan hasil bahwa setelah

diperdengarkan bacaan Al Qur’an memberikan perasaan lega dan rileks serta

membawa ketenangan dalam hati dengan nilai alpha band 8 ~ 13 Hz (Alhouseini

dkk, 2014). Besar gelombang alpha saat mendengarkan pembacaan Al Qur’an

lebih tinggi dibanding dengan gelombang beta. Ini membuktikan manusia dapat

rileks dan tenang saat bacaan Al Qur’an dalam kondisi rileks dibandingkan suara

musik keras dan dalam keadaan istrahat (Abdullah & Omar, 2012).

Menurut Al Kaheel (2013), mendengarkan bacaan Al Fathihah, surat Al

Baqoroh: 255 (ayat kursi) surat Al Ikhlas, surat Al Falaq, Ar Rahman dan Annas

semuanya berdurasi 12 menit 17 detik. Menurut maryani (2013) lama dan jumlah
24

sesi yang digunakan pada penelitian sebelumnya bermacam macam misalnya

setiap hari, tiga kali per minggu surat Ar Rahman dengan durasi 17 menit 12 detik

dengan volume sedang dilantunkan oleh Syaikh Saad Al- Ghamdi Hafs dari asim.

2.3.3 Alur Mendengarkan Al qur’an sampai bisa Menurunkan Nyeri

Lantunan Al qur’an secara fisik mengandung unsur suara manusia,

sedangkan suara manusia merupakan intrumen penyembuhan yang menakjubkan

dan alat yang paling mudah dijangkau. Suara dapat menurunkan hormon-hormon

endorfin alami, meningkatkan perasaan rileks, mengalihkan perhatian, rasa takut,

cemas, tegang dan memperbaiki sistem kimia tubuh sehingga menurunkan nyeri

serta memperlambat pernafasan, detak jantung, denyut nadi, dan aktifitas

gelombang otak (Assegaf, 2013).

Mendengarkan bacaan Al qur’an impuls atau rangsangan suara yang akan

diterima oleh daun telinga pendenganrnya, Kemudian telinga melalui proses

pendengaran. Setiap bunyi yang dihasilkan oleh sumber bunyi atau getaran udara

akan diterima oleh telinga. Getaran tersebut diubah menjadi impuls mekanik di

telinga tengah dan diubah menjadi impuls elektrik ditelinga dalam dan diteruskan

melalui saraf pendengaran menuju korteks pendengaran di otak (Assegaf, 2013).

Getaran suara bacaan Al qur’an akan ditangkap oleh daun telinga yang akan

dialihkan ke lubang telinga dan mengenai membran timpani, sehingga membuat

bergetar. Getaran ini akan diteruskan ke tulang –tulang pendengaran yag bertautan

antara satu dengan yang lainnya. Rangsangan fisik tadi diubah oleh adanya

perbedaan ion kalium dan ion natrium menjadi aliran listrik melalui saraf

vestibule cokhlearis menuju otak tepatnya diarea pendengaran. Kemudian sinyal


25

bacaan Al Qur’an akan diteruskan kebagian posterotemporalis lobus temporalis

otak yang dikenal dengan area wernicke, diarea inilah sinyal dari area asosiasi

somatik, visual, auditorik bertemu satu sama lain. Sinyal-sinyal diarea wernicke

dikirim ke area prefrontal. Sementara itu di samping diantarkan ke korteks

auditorik primer dari thalamus, juga diantarkan ke amigdala (tempat penyimpanan

memory emosi), di samping itu menerima sinyal dari talamus. Sinyal tersebut

kemudian dihantarkan menuju limbik yang akan memberikan respon yang tepat

kepada tubuh. Sinyal dari organ sensori juga dapat dihantarkan menuju amigdala

menuju saraf kecil yang menghubungkan thalamus dan amigdala sehingga dapat

memberikan respon yang lebih cepat. Amigdala akan mengirimkan sinyal pada

tubuh melalui otak dan memicu respon emosional. Sehingga dapat mendorong

pikiran-pikiran yang menyenangkan dan menjadikan pikiran rileks dan tenang

(Assegaf, 2013 ; Dossey & Keegan, 2015).

Daun telinga Telinga tengah Kokhlea

Hipotalamus Amigdala Thalamus

Hipokampus Area auditorik

Area prefontal Area wernicke

Gambar 2.6 Pathway Alur Pendengaran


26

2.3.4 Manfaat Mendengarkan Al Quran

Berikut ini adalah manfaat dari murottal (mendengarkan bacaan ayat ayat

suci Al-Qur’an) menurut Siswantinah (2011) antara lain :

1) Mendengarkan bacaan ayat-ayat Al-Qur’an dengan tartil akan mendapatkan

ketenangan jiwa.

Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al-A’raf :203-204 yang

َّ َ‫َوإِ َذا لَ ْم تَأْتِ ِه ْم بِآيَ ٍة قَالُوا لَوْ اَل اجْ تَبَ ْيتَهَا ۚ قُلْ إِنَّ َما أَتَّبِ ُع َم\\ا يُ\\و َح ٰى إِل‬
َ َ‫ي ِم ْن َربِّي ۚ ٰهَ\ َذا ب‬
berbunyi ‫ص\ائِ ُر ِم ْن َربِّ ُك ْم‬

ِ ‫ئ ْالقُرْ آنُ فَا ْستَ ِمعُوا لَهُ َوأَ ْن‬


٢٠٤ ﴿ َ‫صتُوا لَ َعلَّ ُك ْم تُرْ َح ُمون‬ َ ‫﴾ َوإِ َذا قُ ِر‬٢٠٣ ﴿ َ‫َوهُدًى َو َرحْ َمةٌ لِقَوْ ٍم ي ُْؤ ِمنُون‬

Terjemahan : “dan apabila kamu tidak membawa suatu ayat Al-Qur’an kepada

mereka, mereka berkata:

“Mengapa tidak kamu buat sendiri ayat itu?” Katakanlah: “Sesungguhnya aku

hanya mengikut apa yang diwahyukan dari Tuhanku kepadaku. Al-Qur’an ini

adalah bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu, petunjuk dan rahmat bagi orang-

orang yang beriman. “dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-

baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat”.

Ayat tersebut di atas memerintahkan untuk mendengarkan dan

memperhatikan bacaan Al-Qur’an dan berdzikir mengingat Allah SWT terus

menerus, Selanjutnya Allah SWT menyuruh Nabi Muhammad SAW

2) Lantunan Al-Qur’an secara fisik mengandung unsur suara manusia, suara

manusia merupakan instrumen penyembuhan yang menakjubkan dan alat

yang paling mudah dijangkau.

Dengan tempo yang lambat serta harmonis lantunan Al-Qur’an dapat

menurunkan hormon-hormon stress, mengaktifkan hormon endorfin alami,


27

meningkatkan perasaan rileks, dan mengalihkan perhatian dari rasa takut, cemas

dan tegang, memperbaiki sistem kimia tubuh sehingga menurunkan tekanan darah

serta memperlambat pernafasan, detak jantung, denyut nadi, dan aktifitas

gelombang otak. Laju pernafasan yang lebih dalam atau lebih lambat tersebut

sangat baik menimbulkan ketenangan, kendali emosi, pemikiran yang lebih dalam

dan metabolisme yang lebih baik.

3) Terapi murottal dapat meningkatkan kualitas kesadaran seseorang terhadap

Tuhan, baik orang tersebut tahu arti al-Qur’an atau tidak. Kesadaran ini akan

menyebabkan totalitas kepasrahan kepada Allah SWT, dalam keadaan ini

otak pada gelombang alpha, merupakan gelombang otak pada frekuensi 7-14

Hz. merupakan keadaan energi otak yang optimal dan dapat menyingkirkan

stress dan menurunkan kecemasan.

2.4 Konsep Dasar Benson

2.4.1 Pengertian Teknik Relaksasi Benson

Relaksasi adalah suatu tindakan pengurangan tekanan mental, fisik dan

emosi melalui suatu aktifitas dengan tujuan tertentu yang dapat menenangkan

pikiran dan fisik seseorang. Relaksasi merupakan salah satu dari bagian non

farmakologi, yaitu Complementer dan Alternativ Therapies (CATs) yang

dikelompokan ke dalam mine body and spiritual therapies (Solehati & Cecep,

2015).

Relaksasi adalah sebuah keadaan dimana seseorang terbebas dari tekanan

dari kecemasan atau kembalinya keseimbangan setelah terjadi gangguan (Candra,

2013).
28

Relaksasi benson adalah pengembangan metode respon relaksasi, dimana

relaksasi ini merupakan gabungan antara relaksasi dan keyakinannya pasien.

Respon relaksasi ini yang melibatkan keyakinan yang dipercayai akan

mempercepat tercapainya keadaan rileks, dengan kata lain kombinasi respon

relaksasi dengan melibatkan keyakinan akan melipat gandakan manfaat yang

terdapat dari respon relaksasi (Purwanto, 2014).

Relaksasi benson adalah pengembangan metode respon relaksasi pernafasan

dengan melibatkan faktor keyakinan pasien, yang dapat menciptakan lingkungan

internal sehingga dapat membantu pasien kondisi yang sehat dan sejahtera yang

lebih tinggi (Purwanto, 2014).

2.4.2 Tujuan dan Manfaat Teknik Relaksasi Benson

Tujuan relaksasi untuk mengatasi kecemasan, menurunkan keregangan otot

dan tulang secara tidak langsung dapat mengurangi nyeri dan menurunkan

ketegangan yang berhubungan dengan fisiologis tubuh (Solehati & Cecep, 2015).

Menurut Potter & Perry (2009) dalam Inayati (2012) relaksasi memiliki

beberapa manfaat, antara lain:

1) Menurunkan nadi, tekanan darah, dan pernafasan.

2) Menurunan konsumsi oksigen

3) Menurunan ketegangan otot

4) Menurunan kecepatan metabolisme

5) Meningkatan kesadaran

6) Menurunkan perhatian terhadap stimulus lingkungan

7) Perasaan damai dan sejahtera

8) Periode kewaspadaan yang rileks, terjaga, dan dalam


29

2.4.3 Prosedur Teknik Relaksasi Benson

Langkah langkah relaksasi benson menurut Datak (2008) dalam inayati

(2012) yaitu:

1) Ciptakan lingkungan tenang dan nyaman

Sumber : Https://pixabay.com

2) Anjurkan klien memilih tempat yang disenangi

3) Anjurkan klien mengambil posisi tidur terlentang atau duduk yang dirasakan

paling nyaman

Sumber : Https://www.academia.edu

4) Anjurkan klien untuk memejamkan mata dengan pelan tidak perlu dipaksakan

sehingga tidak ada ketegangan otat sekitar mata


30

Sumber : Https://www.academia.edu

5) Anjurkan klien merelaksasikan tubuhnya untuk mengurangi ketegangan otot,

mulai dari kaki sampai wajah

6) Lemaskan kepala, leher, dan pundak memutar kepala dan mengangkat pundak

berlahan lahan

7) Anjurkan klien mulai bernafas dengan lambat dan wajar lalu tarik nafas mulai

hidung, beri waktu 3 detik untuk tahan nafas kemudian hembuskan nafas

melalui mulut, sambil mengucap astagfirullah, tenangkan pikiran kemudian

nafas dalam hembuskan, alhamdulillah. Nafas dalam hembuskan, allahu

akbar dan teruskan selama 15 menit.

8) Kata kata atau kalimat Allah yang di ucapkan adalah asmaul husna, kalimat

kalimat dzikir seperti alhamdulillah, subhanaallah, Allahu akbar.

9) Lalu klien diperbolehkan membuka mata. Bila sudah selesai tetep berbaring

dengan tenang beberapa menit, mula mula mata terpejam dan sesudah itu

mata dibuka.
31

2.5 Kerangka Konsep

Manajemen Nyeri

Farmakologi Non Farmakologi

Teknik Relaksasi Teknik Distraksi

Benson Murottal

Menghambat Amigdala, hipotalamus


aktifitas saraf dan lobus frontal

Penurunan terhadap Kognator


oksigen Pembentukan persepsi (+)
Keyakinan kepada tuhan
lebih dengan tuhan
Otot-otot tubuh ikhlas pada tuhan
menjadi rileks berserah diri pada tuhan

Mekanisme koping (+)


Perasaan yang Relaksasi dan suasana
nyaman hati positif

Pelepasan endorphin,
serotinin dan melatonin

Endorfin menutup
Nyeri menurun
Keterangan : gerbang nyeri

: diteliti

: tidak diteliti

Gambar 2.7 Kerangka Konsep Pengaruh Pemberian Terapi Benson Dan Murottal
Terhadap Penurun Skala Nyeri Post Operasi Batu Ginjal di RSUD
dr. Soegiri Lamongan.
32

Keterangan :

Manajemen nyeri yang dapat dilakukan pasien pasca bedah batu ginjal yakni

dengan menggunakan teknik farmakologi dan non farmakologi. Terapi non

farmakologi dapat diberikan dengan cara teknik distraksi dan teknik relaksasi.

Terknik distraksi yang digunakan yakni mendengarkan murottal Al quran.

Mendengarkan murottal dapat merangsang amigdala hipotalamus dan lobus

frontal, kemudian membentuk persepsi positif dan mekanisme koping positif,

sehingga akan melepaskan endorfin, serotinin dan melatonin. Endorfin akan

menutup gerbang nyeri sehingga nyeri menurun. Teknik relaksasi yakni benson

adalah dapat menghambat aktifitas saraf simpatik yang mengakibatkan penurunan

terhadap konsumsi oksigen oleh tubuh dan selanjutnya otot-otot tubuh menjadi

rileks sehingga menimbulkan perasaan tenang dan nyaman sehingga menutup

gerbang endorfin dan menurunkan nyeri.

2.6 Hipotesis

H1 : hipotesis penelitian ini adalah ada pengaruh pemberian teknik relaksasi

benson dan murottal terhadap penurunan nyeri batu ginjal di RSUD dr. Soegiri

Lamongan.
BAB 3

METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah cara untuk memperoleh kebenaran atau

pemecahan masalah yang pada dasarnya menggunakan metode ilmiyah

(Notoadmojo, 2012). Dalam bab ini kan membahas tentang: (1) Desain penelitian,

(2) Waktu dan tempat penelitian, (3) Kerangka kerja, (4) Identifikasi variabel, (5)

Definisi operasional variabel, (6) Populasi, sampel, sampling penelitian, (7)

Pengumpulan data dan analisis data, dan (8) Etika penelitian.

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian merupakan hasil akhir dari seluruh proses penelitian atau

suatu keputusan yang dibuat oleh peneliti dengan kata lain peneliti tersebut bisa

diterapkan (Nursalam, 2014).

Peneliti ini meenggunakan desain quasy-experiment pre-post test with

control grup. Desain ini digunakan untuk membandingkan pengaruh intervensi

yang diberikan pada kelompak perlakuan dengan kelompok kontol sebelum dan

setelah pemberian intervensi.

Tabel 3.1 Rancangan penelitian quasy-experiment pre-post test with control grup.

Subjek Pre Perlakuan Post Tes

K-A O 1 01-A
K-B O - 01-B
Waktu 1 Waktu 2 Waktu 3

(Sumber : Nursalam , 2013)

Keterangan :

K-A : Subjek (pasien post operasi batu ginjal) yang diberi perlakuan

33
34

K-B : Subjek (pasien post operasi batu ginjal) yang tidak diberi perlakuan

O : Observasi penurunan nyeri sebelum intervensi kombinasi benson dan

murottal pada kelompok kontrol dan perlakuan

I : Intervensi kombinasi benson dan murottal

Waktu 1 : Pengukuran penurunan skala nyeri (pre-test) pada hari ke 1

Waktu 2 : Pelaksanaan intervensi kombinasi benson dan murottal

Waktu 3 : Pengukuran skala penurunan nyeri (post-test) pada hari ke 2

O1-A : Observasi skala nyeri kelompok intervensi

O1-B : Observasi skala nyeri kelompok kontrol

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Februari –Maret 2020 di ruang

Boengenvil 1 dan Boengenvil 11 di RSUD dr. Soegiri Lamongan.

3.3 Kerangka Kerja

Kerangka kerja adalah langkah langkah dalam aktifitas ilmiah mulai dari

penetapan populasi, sampel dan seterusnya, yaitu kegiatan sejak awal penelitian

akan dilakukan (Nursalam, 2013).


35

Populasi : Pasien post operasi batu ginjal di ruang Buengenvil 1 Buengenvil


II di RSUD dr. Soegiri Lamongan
45555

Purposive sampling

Sampel : pasien post operasi batu ginjal di ruang Buengenvil 1 dan


Boengenvil II di RSUD dr. Soegiri Lamongan yang memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi, kelompok perlakuan (n=10) dan kelompok kontrol (n=10)

Pre test (hari ke 1)

Kelompok perlakuan
(n=10) kombinasi Kelompok kontrol
murottal dan benson (n=10) selama 2 hari
durasi : 17 menit
3x/hari selama 2 hari

Post tes (hari ke 2)

Uji Paired t test dan Independent t test jika distribusi data normal, uji
Wilcoxon dan uji Mann Whitney jika distribusi data tidak normal α<0,05

Penyajian hasil penelitian & kesimpulan

Gambar 3.1 Kerangka Kerja Penelitian Pemberian Terapi Benson Dan Murottal
Terhadap Penurunan Nyeri Post Operasi Batu Ginjal RSUD dr.
Suegiri Lamongan
36

3.4 Identifikasi Variabel

Variabel adalah suatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, atau ukuran yang

memiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang suatu konsep pengertian

tertentu (Notoadmojo, 2012). Variabel dalam penelitian ini adalah:

1) Variabel independen (bebas) adalah variabel yang nilainya menentukan

variabel lain, suatu kesehatan stimulus yang dimanipulasi oleh peneliti

menciptakan dampak pada variabel independen, variabel independen

biasanaya dimanipulasi, diamati dan diukur diketahui hubungan atau

pengaruhnya terhadap variabel (Notoadmojo, 2012). Variabel independen ini

dalam penelitian ini adalah kombinasi terapi benson dan murottal.

2) Variabel dependen (terikat) merupakan variabel yang nilainya ditentukan oleh

variabel lain, faktor yang diamati dan diukur menentukan ada tidaknya

pengaruh dari variabel bebas (Notoadmojo, 2012). Variabel terikat penelitian

ini adalah nyeri.

3.5 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah definisi yang berdasarkan karakteristik yang

diamati dari yang didefinisikan tersebut, karakteristik yang diamati

memungkinkan peneliti untuk melakukan pengukuran secara cermat terhadap

suatu objek atau fenomena dengan menggunakan parameter yang jelas (Nursalam,

2014).
37

Tabel 3.2 Definisi Operasioanal Penelitian Memberikan Terapi Benson Dan


Murottal Terhadap Penurunan Nyeri Pos Operasi Batu Ginjal RSUD
dr. Soegiri Lamongan.

Definisi
Variabel Indikator Alat ukur Skala Skor
Operasioanal
Variabel Melafalkan SPO Ceklist - -
independen dzikir
kombinasi Subhanaallah,
terapi walhamdulillah,
benson dan Allahu Akbar
murottal secara berulang-
ulang sambil
mendengarkan
murottal surah
Ar Rohman
selama 17 menit
sehari.

Variabel Tingkat nyeri Skala nyeri : Skala Rasio


dependen: yang dirasakan 0 : tidak nyeri, nyeri
Nyeri pasien sebelum 1-3 : nyeri ringan bourbanis
dan sesudah 4-6 : nyeri sedang
perlakuan yang 7-9 : nyeri berat
diukur secara 10 : nyeri sangat
subjektif dan di berat.
klarifikasi oleh
objektif dengan
menggunakan
alat ukur dan
skala nyeri

3.6 Populasi, Sampel dan Sampling

3.6.1 Populasi

Populasi adalah setiap subjek yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan

oleh peneliti untuk dipelajari kemudian ditarik kesimpulan (Nursalam, 2014).

Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien post operasi batu ginjal di ruang

Buengenvil 1 dan Buengenvil II di RSUD dr. Soegiri Lamongan pada bulan

Februari-Maret 2020.
38

3.6.2 Sampel

Sampel adalah bagian populasi terjangkau yang dapat digunakan sebagai

subjek penelitian melalui samplin (Nursalam, 2013). Sampel penelitian ini adalah

sebagian pasien post operasi batu ginjal yang mengalami nyeri di ruang

Buengenvil 1 dan Buengenvil II di RSUD dr. Soegiri lamongan pada bulan

Februari-Maret 2020, yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah post operasi batu ginjal yang

memiliki keluhan nyeri skala sedang dan berat.

Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah pasien post operasi batu ginjal

yang mengalami nyeri ringan, gelisah, terdapat komplikasi, sesak.

Kriteria dropout dalam penelitian ini adalah pasien yang meninggalkan

waktu penelitian berlangsung, pasien mengundurkan diri selama penatalaksanaan

intervensi, pasien yang kondisinya menurun atau lemah pada waktu intervensi

berlangsung.

3.6.3 Sampling

Sampling adalah proses penyeleksi porsi dari populasi untuk dapat mewakili

populasi. Teknik sampling merupakan cara cara yang ditempuh dalam

pengambilan sampel, agar memperoleh sampel yang bener bener sesuai dengan

keseluruhan subjek peneliti (Nursalam, 2014). Teknik pengambilan sampel pada

penelitian ini adalah purposive sampling yaitu dengan memilih pasien post operasi

batu ginjal yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi yang sudah diterapkan

oleh penelitian untuk diberi intervensi secara berlangsung sampai jumlah

terpenuhi.
39

Besar sampel pada penelitian ini ditentukan dengan menggunakan rumus

sebagai berikut (Dahlan, 2013).

Penentuan besar sampel :


2
ƶα + ƶβ
n1 =n2=
[( X 1− X 2
S
)]
Keterangan :

n1 =n2 : besar sampel minimal

Ƶα : deviat baku alfa (1,64)

Ƶβ : deviat baku beta (1,28)

X 1 −X 2 : selisih minimal dari rerata yang dianggap bermakna (X1=6,33

X2=4,20 dalam penelitian Lestari, 2019)

S : simpang baku dari selisih nilai antar kelompok (SD= 2,67 dalam

penelitian Lestari, 2019)


2
( ƶα + ƶβ )
n1 =n2=
[( X 1− X 2 )]S

2
( 1.64+1.28 ) 2,67
= ( 2,13 )
= 7,32= 8

= 8x20% =1.6=2

= 8+2=10 orang/kelompok

Dari hasil perhitungan besar sampel didapatkan hasil jumlah semua sampel

yakni 8 pasien per krlompok. Untuk mengantisipasi sampel yang drop out maka

peneliti menambahkan 20% dari jumlah sampel yakni menjadi 10 pesien/


40

kelompok, terbagi dalam 2 kelompok yakni 10 pasien pada kelompok intervensi

dan 10 pasien kelompok kontrol.

3.7 Pengumpulan dan Analisis Data

3.7.1 Pengumpulan Data

1) Tahap Persiapan

(1) Melakukan konsultasi dengan dosen pembimbing dengan topik masalah yang

akan diteliti setelah mendapatkan persetujuan tentang topik penelitian

Mengajukan surat permohonan ijin melakukan survay awal kepada LPPM

(lembaga penelitian pangabdian masyarakat) Universitas Muhammadiyah

Lamongan kepada RSUD dr. Soegiri Lamongan.

(2) Peneliti datang ke RSUD dengan mendapatkan izin dan dapat dilanjutkan

terhadap berikutnya dengan melakukan studi pendahuluan.

2) Tahap Pelaksanaan

(1) Melakukan permohonan izin penelitian kepada instansi dengan surat

pengantar penelitian dari pengabdian dan peneliti masyarakat (LPPM).

Universitas Muhammadiyah Lamongan setelah dinyatakan laik etik oleh

komite etik fakultas ilmu kesehatan

(2) Peneliti mengidentifikasi pasien yang sesuai kriteria inklusi dan eksklusi.

Pengambilan sampel dilakukan secara bertahap karena jumlah sampel tidak

tersedia semua dalam satu waktu yaitu tahap pertama peneliti mengambil

kelompok perlakuan sampai jumlahnya terpenuhi, kemudian mengambil

kelompok kontrol sampai jumlahnya terpenuhi.


41

(3) Memberikan penjelasan tentang prosedur, manfaat, tujuan dan informed

consent tindakan kapada calon responden, apabila pasien yang akan

dijadikan responden setuju maka peneliti memberikan lembar informed

consent untuk di tanda tangani oleh pasien atau keluarga, namun apabila

pasien tidak setuju maka peneliti tidak akan memaksa dan mengambil sampel

yang lain.

(4) Setelah pasien setuju peneliti melakukan pre test yaitu mengukur tekanan

darah, nadi, pernafasan, suhu dan skala nyeri. Setelah itu peneliti akan

melanjutkan prosedur tindakan, tindakan ini akan dilakukan selama 17 menit

tiap sesi 3x per hari selama 2 hari. Setelah perlakuan selesai pada hari ke dua

peneliti akan mengukur post test meliputi tekanan darah, suhu, nadi,

pernafasan dan skala nyeri.

(5) Kelompok perlakuan diberikan terapi kombinasi murottal dan benson secara

bersama-sama selama 17 menit setiap sesi 3x sehari selama 2 hari (SPO di

lampiran 9).

3.7.2 Instrumen Pengumpulan Data

Instumen penelitian adalah alat yang digunakan peneliti untuk

mengobservasi, mengukur atau menilai suatu fenomena. Data yang diperoleh dari

suatu pengukuran kemudian dianalisis dan dijadikan sebagai bukti dari suatu

penelitian (Dharma, 2011). Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data

peneliti ini adalah Standar Prosedur Operasional (SPO), terapi benson dan

murottal, lembar kuesioner, data umum dan lembar observasi. Pengukuran skala

nyeri dilakukan adalah peneliti sendiri.


42

3.7.3 Analisis Data

Teknik pengumpulan dan pengelolaan data adalah :

1) Editing

Peneliti kembali catatan atau data untuk mnegetahui apakah data itu cukup

baik dan dapat segera disiapkan untuk keperluan proses selanjutnya. Pada peneliti

ini data yang diperoleh akan diteliti kembali dengan maksud untuk mengetahui

kelengkapan data yang diperoleh dari responden.

2) Coding

Adalah kegitan pemberian kode numerik terhadap data yang terdiri atas

beberapa kategori. Jawaban dari responden dikategorikan dengan cara memberi

tanda atau kode berbentuk angka pada masing masing jawaban. Langkah ini

dilakukan dengan memberi kode pada variabel untuk memudahkan analisa data,

pada variabel”penurunan nyeri”, tidak nyeri (kode nol), nyeri hampir tidak terasa

(kode 1), tidak menyenangkan (kode 2), bisa toleransi (kode 3), menyedihkan

(kode 4), sangat menyedihkan (kode 4), sangat menyedihkan (koe 5), instens

(kode 6), sangat instens (kode 7), bener bener mengerikan (kode 8), menyiksa

tidak bertahan (kode 9), sakir tidak terbayang dan tidak dapat diungkapkan (kode).

3) Scoring

Adalah penetuan skor atau nilai terhadap hasil pengamatan yang diperoleh.

Pada penelitian teknik ini pemberian skor variabel dependen yaitu instensitas

nyeri pada pasien:

Keterangan :
43

0 : Tidak nyeri

1-3 : Nyeri ringan, secara objektif klien dapat berkomunikasi dengan baik

4-6 : Nyeri sedang, dapat mengikuti perintah dengan baik

7-9 : Nyeri berat, klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih

merespon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri.

10 : Nyeri sangat berat, klien sudah tidah mampu berkomunikasi

Kemudian kita interprestasikan dengan modifikasi penarikan kesimpulan

menurut Arikunta (2006) dalam Qur’ani (2015) adalah :

100% : Seluruh atau semua

76-99 : Hampir semua

51-75% : Lebih dari sebagian

50 % : Sebagian

26 -49% : Hampir sebagian

1-25% : Sebagian kecil

0 : Tidak satupun

4) Tabulasi

Adalah pengelompokan data kedalam suatu model tertentu menurut sifat

sifat yang dimilikinya.

5) Uji Statistik

Uji Independent t test digunakan untuk membandingkan skala nyeri setelah

perlakuan (post test) antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan, bila

distribusi data normal. Bila data distribusi data tidak normal maka dilakukan uji

Mann Whitney. Uji paired t test digunakan untuk membandingkan skala nyeri
44

sebelum dan sesudah perlakuan pada setiap kelompok bila distribusi data normal.

Bila distribusi data tidak normal, maka menggunakan uji Wilcoxon.

Tingkat signifikansi yang ditetapkan 95% atau 𝛼 < 0,05. Jika 𝛼 < 0,05, maka

terdapat pengaruh terapi benson dan murottal terhadap penurunan nyeri post

operasi batu ginjal.

3.8 Etika Penelitian

3.8.1 Informed Consent (Lembar Persetujuan).

Peneliti meminta ijin kepada responden yang akan diteliti. Jika subjek

bersedia diteliti maka harus menandatangani lembar persetujuan. Jika subjek

menolak untuk diteliti maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati

hak subjeknya (Notoatmodjo, 2010).

3.8.2 Anonimity (Tanpa Nama)

Untuk menjaga kerahasiaan subjek, peneliti tidak mencantumkan nama

subjek pada lembar pengumpulan data, cukup diberi kode atau nomer tertentu

pada lembar tersebut. Pada peneliti ini peneliti merahasiakan nama peserta terkait

dengan partisipasi mereka dalam suatu penelitian (Notoatmodjo, 2010).

3.8.3 Confidentiality (Kerahasiaan)

Peneliti menjamin kerahasiaan dari hasil penelitian baik informasi maupun

masalah masalah lainya. Semuanya informasi yang telah dikumpulkan dijamin

kerahasiaan oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu akan dilaporkan pada

hasil riset (Notoatmodjo, 2010).

3.8.4 Beneficence (Manfaat)


45

Peneliti ini memberikan manfaat kepada pasien terhadap penurunan nyeri

sesuai dengan prosedur peneliti untuk mendapatkan hasil yang bermanfaat dengan

metode non farmakologi, tanpa dipungut biaya, dengan menetapkan standar

prosedur pengukuran skala nyeri (Notoatmodjo, 2010).

3.8.5 Non maleficience (tidak membahayakan) peneliti ini tidak merugikan pasien

maupun membahayakan kondisi pasien (Notoatmodjo, 2010).

3.8.6 Justice (keadilan) peneliti memperlakukan kedua kelompok dengan adil

yaitu kelompok perlakuan diberikan intervensi sesuai rencana, sedangkan

kelompok kontrol diberikan intervensi setelah post test (Notoatmodjo,

2010).
46

LEMBAR INTRUMEN

Cara pengukuran intensitas nyeri

Dalam penelitian ini intensitas nyeri yang digunakan skala nyeri bourbanis

yaitu teknik penelitian nyeri dengan menggunakan garis yang diawali dengan

tidak nyeri (0) dan diakhiri dengan nyeri berat atau tidak terkontrol (10)

Alat yang digunakkan

Cara : subjek mengkwantifikasi rasa nyeri dengan menandai angka pada skala

nyeri yang tertera. Kwantifikasi berdasarkan nyeri yang dirasakan subjek, yaitu :

Skala 0 : tidak nyeri

Skala 1-3 : nyeri ringan

Skala 4-6 : nyeri sedang

Skala 7-9 : nyeri berat terkontrol

Skala 10 : nyeri berat tidak terkontrol

Keterangan :

0 : tidak nyeri

1-3 : nyeri ringan, secara objektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.
47

4-6 : nyeri sedang, secara objektif klien mendesis, mengeringai, dapat

menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikan, dapat mengikuti

perintah dengan baik.

7-9 : nyeri berat, secara objektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah

tetapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri,

tidak dapat mendeskripsikannya.

10 : nyeri sangan berat, pasieen sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,

memukul.
48

Lampiran 6
LEMBAR KUISIONER
PENGARUH PEMBERIAN TERAPI BENSON DAN MUROTTAL
TERHADAP PENURUNAN NYERI POST OPERASI BATU GINJAL
DI RSUD DR. SOEGIRI LAMONGAN

Tanggal Pengisian : …………………….


No. Responden : …………………….

PETUNJUK PENGISIAN
1. Pilihlah salah satu jawaban yang anda anggap benar
2. Berikan tanda chek list (√) pada kolom yang disediakan
3. Lembar kuesioner tidak perlu ditulis identitas anda
4. Setelah diisi dikumpulkan pada peneliti

Data Demografi
a. Nama pasien : ……………….
b. Jenis Kelamin : ( ) Laki-laki ( ) Perempuan
c. Umur : tahun
d. Pendidikan terakhir
SD/Sederajat
SMP/Sederajat
SMA/Sederajat
Akademik/perguruan tinggi
e. Pekerjaan
Tidak bekerja
Ibu rumah tangga
Petani
Wiraswasta
Swasta
PNS
TNI/
Tanggal operasi :
49

LEMBAR OBSERVASI

Kelompok Kontrol

Tanggal :

Post
Pre Post
Tg op
No Inisial TD RR S N Skala TD RR S N Skala
l hari
nyeri nyeri
ke
50

LEMBAR OBSERVASI

Kelompok perlakuan
Tanggal :
Post
Tg Inisia
no operasi Pre Post
l l
hari ke
Skala Skala
TD RR N S TD RR N S
nyeri nyeri
51

STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL


RELAKSASI BENSON DAN MUROTTAL

No Prosedur Ket
I Tahap persiapan
a. Persiapan Orientasi
- Memberi salam terapeutik
- Pasien dengan posisi semi fowler
- Pikiran rileks
- Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
b. Tahap persiapan tempat
- Ruangan atau lingkungan yang tenang dan nyaman
c. Persiapan Alat
- Handphone
II Pelaksanaan
1. Anjurkan klien mengambil posisi semi fowler
2. Pilih surat murrotal yang akan diputar, surat Ar rahman
3. Dekatkan handphone 50 cm dari pasien
4. Anjurkan klien untuk memejamkan mata dengan pelan
tidak perlu untuk dipaksakan sehingga tidak ada
ketegangan otot disekitar mata
5. Nyalakan murottal
6. Pastikan volume 40% sesuai dan tidak terlalu keras
7. Mulai nafas lambat dan wajar, dan melafalkan
subkhanaallah, walhamdulillah, walailahaillallah allahu
akbar secara berulang ulang selama 17 menit, setelah
selesai klien diperbolehkan membuka mata, tetap
berbaring dengan tenang beberapa menit.
III Evaluasi
1. Mendokumentasi tindakan yang dilakukan
52

2. Merapikan pasien
3. Akhiri dengan salam

Anda mungkin juga menyukai