PENDAHULUAN
secara Internasional telah dimulai dari The Haque Convention atau yang lebih dikenal
dengan sebutan Konvensi Candu 1912. Selanjutnya, telah muncul berbagai konvensi
yang mengatur masalah narkotika seperti Konvensi Jenewa tahun 1925 atau
The International Opium Convention of 1925, The 1936 Convention of the Suppression of
the Illicit Traffic in Dangerous Drugs, The Single Convention on Narcotic Drugs 1961,
Internasional tentang narkotika tersebut, apabila dilihat lebih jauh membawa implikasi
adanya perubahan, baik yang mengatur masalah tujuan, maupun lingkup masalah obat-
sehingga dipatuhi oleh semua negara untuk kepentingan bangsa-bangsa yang beradab.
magnitude of and rising trend in the illicit production of, demand for and traffic in
1
narcotic drugs and psychotropic substances, which pose a serious threat to the health
and welfare of human beings and adversely affect the economic, cultural and political
foundations of society”.
Terjemahan bebas penulis, bahwa Sangat memperihatinkan dengan besar dan tren
kenaikan dalam produksi gelap, permintaan dan lalu lintas narkotika dan psikotropika,
yang menimbulkan ancaman serius bagi kesehatan dan kesejahteraan manusia dan
dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang sebelumnya hanya sebagai pengatur
ataupun dalam pengawasan masalah narkotika, menjadi suatu langkah konkrit dan
batas territorial antara salah satu Negara dengan Negara lain di dunia, baik dalam satu
kawasan maupun berbeda kawasan sudah semakin menghilang, beberapa tindak pidana
1
Anonim, Aspek Sosiologis dan Yuridis tentang Narkotika, Kanwil dep.Hukum dan HAM,
Jakarta, hal. 1
2
Perkembangan modernisasi sosial ekonomi dan peradaban terbukti dapat membawa
kepada kondisi yang kurang menentu seperti adanya persaingan hidup yang lebih ketat,
Generasi muda merupakan generasi penerus bangsa Indonesia yang diharapkan dapat
Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alenia ke–4
yaitu “… melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
Untuk mewujudkan cita–cita yang diinginkan oleh bangsa melalui tangan generasi
timbul dikarenakan banyaknya pengaruh budaya luar yang mulai masuk ke Negara
Indonesia. Hal ini disebabkan oleh era globalisasi yang sepatutnya generasi muda dapat
2
Badan Narkotika Nasional, 2010,Himpunan Hasil Penelitian Penyalahgunaan dan Peredaran
Gelap Narkotika Tahun 2009, Jakarta, hal. 111
3
budaya luar yang sekarang mulai merusak generasi muda seperti seks bebas, budaya
19, halaman 705 : “narcotic = a drug that dulls the senses, relieves pains, induces sleep
and can produse addiction in varying degree (suatu obat, bahan zat yang merupakan
narkotika digunakan untuk hal – hal yang negatif. Di dunia kedokteran, narkotika banyak
kandungan di dalam narkotika terdapat zat yang mempengaruhi perasaan, pikiran serta
kesadaran pasien. Oleh karena itu, agar penggunaan narkotika dapat memberikan manfaat
bagi kehidupan manusia, dengan dosis yang tepat, narkotika dapat sebagai obat penenang
karena menimbulkan pengaruh pada susunan sentral syaraf yang membuat perasaan lebih
tenang. Selain itu narkotika juga dapat menghalau kegelisahan dan kecemasan. Sehingga
serta pengobatan medis. Akan tetapi pemakaian narkotika secara tidak wajar dan berlebih
dapat merusak hidup seseorang karena dapat menimbulkan lemah baik jasmani maupun
rohani, merusak mental dan moral, menimbulkan efek ketergantungan dan bila tidak
3
Algin Moenthe, tanpa tahun, Narkotika Alkohol Dan Masalahnya, CV. Taringan Bukit Mulya
Jakarta, hal.57
4
diobati dapat membahayakan jiwa orang tersebut karena dapat menyebabkan kematian.
ketertiban umum, gangguan dalam pembinaan masa depan bangsa yang baik, merusak
dan merugikan dalam bidang sosial dan budaya perekonomian, serta merongrong
ketahanan nasional.
Penggunanya cenderung akan menambahkan dosis pemakaian secara terus menerus yang
berakhirnya dengan kematian akibat over dosis. Menurut sifatnya narkotika dibedakan
menjadi berikut:
a. Depresan, yaitu menekan sistem sistem syaraf pusat dan mengurangi aktifitas
fungsional tubuh sehingga pemakai merasa tenang, bahkan bisa membuat
pemakai tidur dan tak sadarkan diri. Bila kelebihan dosis bisa mengakibatkan
kematian. Jenis narkotika depresan antara lain opioda, dan berbagai turunannya
seperti morphin dan heroin. Contoh yang populer sekarang adalah Putaw.
b. Stimulan, merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan kegairahan serta
kesadaran. Jenis stimulan: Kafein, Kokain, Amphetamin. Contoh yang sekarang
sering dipakai adalah Shabu-shabu dan Ekstasi.
c. Halusinogen, efek utamanya adalah mengubah daya persepsi atau
mengakibatkan halusinasi. Halusinogen kebanyakan berasal dari tanaman seperti
mescaline dari kaktus dan psilocybin dari jamur-jamuran. Selain itu ada juga
yang diramu di laboratorium seperti LSD. Yang paling banyak dipakai adalah
marijuana atau ganja. 4
1969 dengan jenis yang pertama kali banyak disalahgunakan adalah morphine dan ganja.
Dari tahun ke tahun jenis narkotika yang disalahgunakan semakin banyak, hal ini terlihat
4
Hari Sasangka, 2003, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, C.V. Mandar Maju,
Bandung, hal. 28
5
pada data perkembangan peredaran narkotika dan jenis zat atau obat yang banyak beredar
di pasaran :
1. Tahun 1969 – 1973 : Jenis yang banyak disalahgunakan adalah morphine dan
ganja.
2. Tahun 1973 – 1976 : Jenis yang banyak disalahgunakan adalah morphine, ganja,
barbitut, dan beberapa jenis obat tidur lainnya (sedativa/ hipnotika).
3. Tahun 1976 – 1979 : Jenis yang paling banyak disalahgunakan adalah ganja,
barbitut, dan jenis sedativa/ hipnotika. Sedangkan pemakaian morphine
menurun.
4. Tahun 1979 – 1985 : Jenis yang banyak disalahgunakan adalah ganja, barbitut,
jenis hipnotika lainnya, dan minuman keras (alcohol). Pemakaian morphine
mulai meningkat dan heroin (putaw) mulai masuk ke pasaran gelap narkotika.
5. Tahun 1985 – 1990 : Jenis yang banyak disalahgunakan adalah ganja, barbitut,
jenis hipnotika lainnya, minuman keras (alcohol), pethidin, morphine dan heroin
(putaw).
6. Tahun 1990 – 1995 : Jenis yang banyak disalahgunakan adalah ganja, barbitut,
jenis hipnotika lainnya, minuman keras (alcohol), pethidin, morphine dan heroin
(putaw). Kokain, amphetamine, serta turunannya (ecstacy, shabu- shabu) mulai
masuk kepasaran gelap narkotika.
7. Tahun 1995 – 2000 : Jenis yang banyak disalahgunakan adalah ganja, barbitut,
jenis hipnotika golongan psikotropika, minuman keras (alcohol), pethidin,
morphine, heroin (putaw), kokain, amphetamine, serta turunannya (ecstacy,
shabu-shabu).5
Narkotika 1961 dan Konvensi 1988. Keikutsertaannya dalam pengaturan narkotika secara
Internasional ini merupakan perwujudan suatu kehendak sebagai negara merdeka, serta
ikut menjaga ketertiban dunia. Disamping itu, langkah yang dilakukan Indonesia
5
Revolusi Cinta, 2008, “Perkembangan Penyalahgunaan Narkotika di Indonesia”, available from :
URL : http://revolusicinta.wordpress.com/2008/02/18/perkembangan-penyalahgunaan-narkotika-di-
indonesia/.htm, diakses tanggal 31 Januari 2011.
6
narkotika baik di dalam negeri maupun dalam percaturan internasional. Langkah
Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Subtances 1988 dan Konvensi
yang lama yaitu Undang-undang No. 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika, dan pada tahun
7
bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika,
Indonesia dijadikan sebagai ajang transito maupun sasaran peredaran gelap narkoba dan
psikotropika. Peredarannya harus diawasi secara ketat sebagaimana diatur dalam Pasal 4
Pengawasan terhadap peredaran narkotika dilakukan secara ketat karena saat ini
pemanfaatannya banyak untuk hal-hal yang bersifat negatif. Disamping itu, melalui
tersentuh oleh peredaran narkotika lambat laun akan berubah menjadi sentral peredaran
narkotika. Begitu pula anak-anak yang pada mulanya awam terhadap barang haram ini
dapat berubah menjadi sosok pecandu yang sukar dilepas ketergantungannya. 6 Sehingga
diharapkan undang-undang tersebut dapat berjalan lebih efektif guna mencegah dan
6
Dikdik M.Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan,,PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 100
8
untuk menghindarkan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dijadikan sebagai
Kerugian biaya ekonomi dan sosial akibat narkotika di Amerika Serikat mencapai
$181 milyar (UNDCP, 2004), sedangkan di Canada $8,2 milyar pada tahun 2002
(Rehm, 2006). Di Australia kerugian mencapai sekitar $8,190 juta pada tahun
2004/2005 (Collins, 2008). Perbandingan kerugian biaya narkotika terhadap gross
domestic product (GDP) di Amerika Serikat sebesar 1,7%, Canada 0,98%,
Australia 0,88% dan Perancis 0,16% (UNDCP, 2004). Di Indonesia, kerugian
diperkirakan Rp.23,6 trilyun atau $2,6 milyar pada tahun 2004 (BNN & Puslitkes
UI, 2005). Di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir penyalahgunaan narkotika
meningkat pesat, baik dari jumlah sitaan barang bukti maupun jumlah tersangka.
Hasil sitaan barang bukti, misalkan ekstasi meningkat dari 90.523 butir (2001)
menjadi 1,3 juta butir (2006), Sabu dari 48,8 kg (2001) menjadi 1.241,2 kg (2006).
Jumlah tersangka meningkat dari 4.924 orang tahun 2001 menjadi 31.635 orang
tahun 2006 (Mabes Polri, 2007). Angka-angka yang dilaporkan ini hanya puncak
gunung es dari masalah narkotika yang jauh lebih besar7.
Fenomena penyalahgunaan obat merupakan masalah yang cukup kompleks dan rumit
seperti benang kusut, dari bagian mana yang akan ditarik untuk dapat diluruskan, walau
dunia telah bersatu padu mengatasi persoalan yang belum terpecahkan dan bahkan
meluas itu.
Angka kejadian atau jumlah kasus tindak pidana narkotika meningkat secara
cepat menjadi 6 kali lipat untuk wilayah Jakarta dalam kurun waktu 1993 sampai 1999.
Kasus narkoba memang seperti fenomena gunung es yang mencuat diatas permukaan laut
7
Sumarmo Ma‟sum, 1987, Penanggulangan Bahaya Narkotika dan Ketergantungan Obat, CV.
Haji Masagung, Jakarta, hal. 2.
9
sehingga yang terlihat hanya bagian puncaknya sedangkan bagian terbesar dibawahnya
tidak tampak. Angka kekambuhan dari pecandu yang pernah dirawat pada berbagai pusat
terapi dan rehabilitasi di Jakarta mencapai 60-80%2. Angka kematian yang disebabkan
oleh narkoba pun semakin meningkat. Data Badan Narkotika Nasional (BNN)
menunjukkan setiap harinya di Jakarta 2-3 orang meninggal per hari karena
penyalahgunaan narkoba. Bahaya penyakit menular Hepatitis B/C dan HIV/AIDS juga
meningkat. 80% pengguna narkoba dengan jarum suntik dipastikan menderita penyakit
Hepatitis B/C dan 40-50% tertular HIV/AIDS. Penyebabnya adalah jarum suntik yang
tidak steril dan digunakan secara bergantian. Penyalahgunaan narkoba di Indonesia telah
sampai pada titik yang menghawatirkan. Berdasarkan data yang dihimpun Badan
Narkotika Nasional, jumlah kasus narkoba meningkat dari sebanyak 3. 478 kasus pada
tahun 2000 menjadi 8.401 pada tahun 2004, atau meningkat 28,9% pertahun. Jumlah
angka tindak tindak pidana narkoba pun meningkat dari 4.955 pada tahun 2000 menjadi
11.315 kasus pada tahun 2004. Data terbaru sampai juni 2005 saja menunjukkan kasus itu
meningkat tajam.3 Sekarang ini terdapat sekitar 3,2 juta pengguna narkoba di Indonesia,
secara nasional dari total 111.000 tahanan, 30% karena kasus narkoba, perkara narkoba
telah menembus batas gender, kelas ekonomi bahkan usia.4 Dari gambaran di atas
penyalahgunaan dan tindak pidana narkoba telah berada pada tingkat yang
keamanan nasional dalam rangka pembangunan nasional menuju masyarakat yang adil
dan makmur seperti yang dicita-citakan dalam tujuan negara yang tercantum pada
10
Dengan demikian narkoba dapat menjadi penghambat pembangunan nasional
masyarakat, maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang sakit, sehingga negara
akan rapuh dari dalam karena ketahanan nasional merosot. Sangat beralasan jika
kemudian peredaran narkoba harus segera dicarikan solusi yang rasional untuk suatu
pemecahannya, karena sudah jelas tindak pidana narkoba merupakan problema sosial
yang dapat mengganggu fungsi sosial dari masyarakat. Selain itu, tindak pidana narkoba
pada umumnya tidak dilakukan oleh perorangan secara berdiri sendiri, melainkan
dilakukan secara bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang terorganisasi secara
mantap, rapi dan sangat rahasia. Terhadap para pelaku peredaran gelap narkoba dan
penyalah guna narkoba sudah banyak yang dimejahijaukan. Bagi para pelaku yang
pengadilan berada dalam kisaran pidana penjara di bawah 1 (satu) tahun hingga pidana
mati.
Meski kebijakan kriminal - melalui jalur penalnya sudah dijalankan, facta notoir
menunjukkan, bahwa penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba masih juga ada,
lembaga pengadilan. Antara lain, pengadilan dianggap tidak mendukung dan tidak
8
Andi. BNN-Hukuman Mati Penting untuk Selamatkan Generasi Muda, available from : URL:
http//www.Suara Islam Online.com,diakses tanggal 16 Desember 2009.
11
Penyalahgunaan Narkotika Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan
Indonesia bukan hanya menjadi adresat peredaran narkoba, tetapi sudah menjadi tempat
kegiatan “supply & demand”. Penggunanya pun melebar, bukan hanya dari kalangan
keluarga broken home -sebagai sarana untuk “eksodus” dari masalah keluarganya, tetapi
sudah merambah pada keluarga yang harmonis dan berstatus sosial - sebagai bagian suatu
menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih dan didukung dengan
jaringan organisasi yang luas yang mengancam Indonesia terutama pada kota–kota besar
dan metropolitan yang sangat keras terkena imbas globalisasi. Terlebih lagi pemberitaan
masyarakat prihatin, kejadian tabrakan maut xenia yang mengakibatkan Sembilan orang
yang juga sebagai pengguna narkoba ditambah lagi dengan publikasi penangkapan-
bangsa Indonesia harus serius dalam melakukan pemberantasan tindak pidana narkotika
penyalagunaan dan peredaran gelap narkotika. Hal ini mengisyaratkan kepada kita untuk
9
Indonesia dalam Bahaya Narkoba,Kompas,Jumat 24 Februari 2012,hal.1
12
Salah satu Provinsi di Indonesia yang rentan dengan peredaran narkotika adalah
Provinsi Bali. Bali yang terkenal dengan sebutan the last paradise in the world dan the
morning of the world itu dalam perkembangannya, menjadi daerah yang sangat terbuka
bagi transaksi dan peredaran berbagai jenis benda haram10. Pada awal tahun 1960 di
masyarakat dalam jumlah yang kecil, namun seiring dengan perkembangannya, pada
awal tahun 1970 penggunaan narkotika kian menyebar ke seluruh pelosok negeri. 11
Beberapa daerah yang terdapat di Bali yang sangat rentan dengan peredaran
narkotika adalah Kotamadya Denpasar dan Kabupaten Badung yang berada di wilayah
turis, untuk tinggal menetap, mencari pekerjaan atau sebagai tujuan obyek wisata baik
yang saling berinteraksi dengan penduduk lokal yang dapat menumbuhkan pertukaran
infrastruktur penunjang lainnya yaitu, hotel dan tempat-tempat hiburan malam seperti
diskotik, club, cafe, dan bar. Hal ini terlihat dari jumlah peningkatan hotel dan tempat-
tempat hiburan malam dimana terdapat peningkatan pertumbuhan hotel sebesar 11,53%
10
O.C Kaligis, dan Soedjono Dirdjosisworo, 2006, Narkotika Dan Peradilannya di Indonesia, O.
C. Kaligis & Assosiatr, Jakarta, hal282
11
ibid
13
(sebelas koma lima puluh tiga persen) dari tahun sebelumnya (2009),dengan perhitungan
telah terdapat 147 hotel berbintang di Bali. Sebagian besar hotel berbintang dan sarana
akomodasi itu tersebar di Kabupaten Badung, Kota Denpasar dan Kabupaten Gianyar.
Selama tahun 2010 sebanyak 2.066.715 wisatawan baik wisatawan asing maupun
yaitu selain memiliki dampak positif yaitu memberikan lapangan pekerjaan, sebagai
memiliki dampak negatif yaitu sebagai tempat untuk mengadakan transaksi narkotika
yang dikarenakan menurut para pengelola tempat hiburan, narkotika justru merupakan
jawab menyelamatkan generasi muda, komitmen para pengelola hiburan malam hanya
transaksi narkotika menjadi semakin tinggi. Karena pada umumnya disebabkan oleh dua
hal yaitu :
12
Soegeng Sarjadi, 2010 “Map of Local Economy Potency” available from : URL :
http://www.cps-sss.org/web/home/propinsi/prop/Bali diakses tanggal 7 Februari 2011
13
Siswanto Sunarso, 2005, Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal12.
14
2. Janji yang diberikan oleh penggunaan narkotika tersebut menyebabkan rasa
menimbulkan keberanian.14
2009, bahwa:
Pada tahun 2005 terdapat 16.252 kasus (Narkotika 8.171, Psikotropika 6.733,
dan Zat adiktif 1.348), pada tahun 2006 terdapat 17.355 kasus (Narkotika
9.422, Psikotropika 5.658, dan Zat Adiktif 2.275), pada tahun 2007 terjadi
peningkatan hingga 22.630 kasus (Narkotika 11.380, Psikotropika 9.289, dan
Zat adiktif 1.961), pada tahun 2008 juga terdapat peningkatan menjadi 29.364
kasus (Narkotika 10.008, Psikotropika 9.783, Zat adiktif 9.573) dan pada tahun
2009 masih terjadi peningkatan hingga 30.668 kasus (Narkotika 11.132,
Psikotropika 8.732, dan Zat adiktif 10.804).
beberapa bentuk tindak pidana, namun yang sering terjadi di masyarakat adalah
berhubungan dengan pemakai dan pengedar narkotika. Jika berbicara tentang pengedar
narkotika, sudah jelas kiranya telah terjadi interaksi antara pengedar dan pembeli
narkotika, keduanya merupakan pelaku tindak pidana narkotika. Akan tetapi, jika kita
berbicara tentang pemakai narkotika, sejauh ini masih terdapat perbedaan sudut pandang
14
Moh.Taufik Makaro,dkk, 2005, Tindak Pidana Narkotika, Galia Indonesia, Jakarta hal.6
15
Ibid. hal. 27-28.
15
pelaku tindak pidana karena telah memenuhi kualifikasi dalam undang-undang
narkotika.16
kriminologi dapat digolongkan sebagai kejahatan tanpa korban atau victimless crime.
Penggolongan ini merujuk kepada sifat kejahatan tersebut yaitu adanya dua pihak yang
melakukan transaksi atau hubungan (yang dilarang) namun keduanya merasa tidak
menderita kerugian atas pihak lain 17. Pengguna narkotika sesungguhnya merupakan
korban dari tindak pidana narkotika, namun pengguna tersebut tidak merasa sebagai
korban, karena dia secara sengaja dengan kehendaknya sendiri untuk menggunakan
narkotika tersebut, baik itu karena anjuran teman, maupun rasa ingin coba-coba.
pengedarnya, ia berhasil menjanjikan keutungan yang besar dalam waktu yang relatif
Hal ini dikarenakan mereka akan mengalami ketergantungan terhadap barang haram
itu sendiri juga berbahaya terhadap lingkungan masyarakat, dimana agar dapat memenuhi
segala cara untuk mendapatkannya. Bagi orang–orang yang tidak berpenghasilan cukup
maka dia akan berupaya untuk mencuri, merampok serta melakukan berbagai tindakan
16
Tommy, Korban TIndak Pidana Narkotika,2011 available from : URL :
http://www.facebook.com/topic.php?uid=341355375076&topic=11176 diakses tanggal 26 Januari 2011
17
Moh. Taufik Makaro,dkk, Op.cit hal.5
16
kriminal lainnya18. Berkaitan dengan masalah penyalahgunaan narkotika tersebut,
diperlukan suatu kebijakan hukum pidana yang memposisikan pecandu narkotika sebagai
a. Unrelated victims, yaitu korban yang sama sekali tidak ada hubungannya
dengan pelaku.
b. Provocative victims, yaitu seorang yang secara aktif mendorong dirinya
menjadi korban.
c. Participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat, akan tetapi
dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban.
d. Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki
kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban.
e. Socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang
lemah yang menyebabkan ia menjadi korban.
f. Self victizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan
yang dilakukannya sendiri. 19
dilakukannya sendiri.
umum menimbulkan pengaruh dan efek–efek terhadap tubuh sipemakai dengan gejala–
18
Joko Suyono, 1980, Masalah Narkotika dan Bahan Sejenisnya, Yayasan Kanisius, Yogyakarta,
hal. 14
19
Moh Taufik Makarao,Suhasril, dan Moh Zakky A.S., 2003 Tindak Pidana Narkotika, Galia
Indonesia, Jakarta, hal.49
17
a. Europhoria, yaitu suatu keadaan rangsangan kegembiraan yang tidak sesuai
dengan kondisi si pemakai.
b. Dellirium, yaitu suatu keadaaan dimana pemakai narkotika mengalami
penurunan kesadaran dan timbulnya kegelisahan yang mengganggu daya
gerak anggota tubuh si pemakai.
c. Halusinasi, yaitu keadaan dimana si pemakai narkotika mengalami
“khayalan” seperti melihat atau mendengar sesuatu yang sebenarnya tidak
ada.
d. Weakness, yaitu keadaan dimana tubuh si pemakai narkotika baik secara
psikis maupun fisik mengalami kelelahan.
e. Drowsines, yaitu keadaan seperti orang mabuk dimana terjadinya penurunan
daya ingat dan timbulnya kantuk yang berlebih pada pemakai narkotika
tersebut.
f. Coma, yaitu suatu keadaan dimana si pemakai narkotika sampai pada
puncak penurunan kondisi baik fisik maupun psikis yang pada akhirnya
dapat menimbulkan kematian.20
narkotika dari ketergantungan. Karena pengertian dari rehabilitasi adalah usaha untuk
memulihkan untuk menjadikan pecandu ketergantungan nakotika dan hidup normal sehat
20
Putri Handani Duarsa, 2005, Kebijakan Kriminalisasi dan Penalisasi dalam UU No.22 Tahun
1997 Tentang Tindak Pidana Narkotika (thesis), Universitas Udayana, Denpasar
21
Martono, Lydia Harina dan Satya Joewana, 2006, Peran Orang Tua dalam Mencegah dan
menanggulangi Penyalahgunaan Narkotika, Balai Pustaka, Jakarta, hal.87.
18
hidup atau dengan keluarganya yang disebut juga resosialisasi 22. Rehabilitasi terhadap
pengguna narkotika tersebut adalah merupakan serangkaian upaya yang terkoordinasi dan
kemandirian dan menolong diri sendiri serta mencapai kemampuan fungsional sesuai
dengan potensi yang dimiliki, baik fisik, mental, sosial dan ekonomi. Pada akhirnya
atau mengancam para pelanggar, akan tetapi keberadaan sanksi tersebut harus juga
mendidik dan memperbaiki pelaku 24. Pidana itu pada hakekatnya merupakan nestapa,
dengan berbagai cara, baik yang berupa preemtif sampai represif, dengan menggunakan
22
Algin Moenthe, Op.cit, hal.66
23
M. Tavip, 2010, “Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi
Narapidana Narkotika Dan Psikotropika Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan Dihubungkan Dengan
Tujuan Sistem Pemasyarakatan”, available from : URL : http://www.ma-ri.go.id/info/lapas/rehabilitasi,
diakses tanggal 2 Februari 2011
24
M.Solehuddin, 2007, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System dan
Implementasinya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 1 (selanjutnya disebut Solehuddin I)
25
Niniek Suparni, 1996, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Sinar
Grafika, Jakarta, hal. 3
19
seluruh elemen masyarakat, dan dengan revisi regulasi. UU narkotika yang disahkan pada
14 September 2009 merupakan revisi dari UU No. 22/1997 tentang narkotika. Pemerintah
menilai UU No. 22/1997 tidak lagi dapat mencegah secara efektif tindak pidana narkotika
yang semakin lama semakin meningkat secara kuantitatif maupun kualitatif, serta bentuk
N0.35 tahun 2009 dibandingkan dengan UU terdahulu, adalah pada penekanan pada
menekan jumlah peredaran narkotika di Indonesia yang telah bersifat transnasional dan
yang membahayakan kehidupan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam konsideran
undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dibuatkan bab khusus yaitu dalam Bab
Pada Undang-undang Narkotika yang baru ini, antara lain menerapkan pidana
yang berat bahkan pidana mati bagi pengedar, pengimpor, dan produsen
narkotika, dibentuknya BNN sebagai Lembaga Pemerintahan Non
Kementerian yang merupakan organisasi vertikal dari pusat sampai provinsi
dan kabupaten/kota, adanya pengaturan putusan/penetapan hakim
20
memberikan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalahguna dan
pecandu narkotika, Undang-Undang ini telah memperkuat bidang
pemberantasan/penegakan hukum dengan memberikan kewenangan
penyelidikan dan penyidikan kepada BNN disamping penyidik POLRI,
berwenang melakukan perampasan barang bukti yang digunakan untuk
kepentingan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkotika,
perluasan teknik penyidikan penyadapan (wiretapping), teknik pembelian
terselubung (under cover buy), dan teknik penyerahan yang diawasi
(controlled delivery), serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan
mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika 26.
Pada tahun 2009 Mahkamah Agung mengeluarkan sebuah surat edaran (SEMA RI
no 7/2009) yang ditujukan kepada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi diseluruh
Indonesia untuk menempatkan pecandu narkotika di panti rehabilitasi dan yang terbaru
adalah dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010
dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial yang merupakan revisi dari
adalah pembinaan dan rehabilitasi. Hukuman pembinaan dan rehabilitasi ini telah diatur
dalam Pasal 54, dan Pasal 103 Undang–undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, serta diatur juga dalam SEMA Nomor 7 Tahun 2009 tentang Menempatkan
Pemakai Narkotika ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi, serta SEMA Nomor 4 Tahun
Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. Pasal 54 dan
26
Jurnal BNN Aware and Care, edisi 08 tahun 2009. hal. 1
21
Pasal 54
Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Pasal 103
(1) Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat :
a. Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu
Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana
Narkotika; atau
b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu
Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana
Narkotika.
(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitunngkan sebagai masa
menjalani hukuman.
dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Pengertian dari rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial tertuang dalam Pasal 1 angka 16
disebutkan rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu
adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial,
agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam
kehidupan masyarakat. Baik rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial dapat dilakukan
menghimbau bagi para hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika untuk
22
Narkotika yang berisikan mengenai tindakan rehabilitasi yang diperintahkan untuk
dijalani oleh pecandu narkotika. Hal tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa sebagian
besar narapidana dan tahanan kasus narkoba termasuk kategori pemakai atau bahkan
sebagai korban yang jika dilihat dari aspek kesehatan mereka sesungguhnya orang-orang
yang menderita sakit, oleh karena itu memenjarakan yang bersangkutan bukanlah
langkah yang tepat karena telah mengabaikan kepentingan perawatan dan pengobatan.
Penjatuhan rehabilitasi ini sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04
Tahun 2010 tentang Menempatkan Pemakai Narkotika kedalam Panti Terapi dan
sesungguhnya orang yang sakit sehingga tindakan rehabilitasi hendaknya lebih tepat
dikhawatirkan malah mengakibatkan efek yang tidak baik terhadap mereka karena dapat
semakin memperburuk kesehatan serta kondisi kejiwaan para penyalah guna narkotika
tersebut.
maksud pengobatan, tetapi karena ingin menikmati pengaruhnya, dalam jumlah berlebih,
kurang teratur, dan berlangsung cukup lama, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan
27
Badan Narkotika Nasional, 2009, Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Sejak Dini. Jakarta,
hal. 36.
23
Denis L. Thom, melihat adiksi/kecanduan narkoba sebagai penyakit yang harus
disembuhkan. Untuk itu pendekatan aspek hukum bila pecandu harus divonis di
sebanyak 16 orang tersebut merupakan 2% dari 674 residen total residen yang menjalani
rehabilitasi di Lido. Sebagian lainnya yakni 398 orang(59%) atas rujukan keluarga, 248
berita yang hampir setiap hari muncul di media massa. Kasus penyalahgunaan narkotika
dan peredaran gelap kini sudah terjadi diseluruh pelosok negeri ini. Bahkan Lembaga
Pemasyarakatan yang ada diseluruh Indonesia, sebagian besar dipenuhi oleh pelaku
November 2009:
Banyak Lapas atau Rutan yang over kapasitas, yang menyebabkan kerawanan
keamanan dan kertertiban dan kerawanan kesehatan. Kelebihan daya
tampung di seluruh Lapas/Rutan di Indonesia mencapai 56%. Awalnya,
Lapas/Rutan di Indonesia mampu menampung 89.549 orang, namun daya
tampung membengkak menjadi 140.423 orang hingga September 2009. Dari
jumlah itu, 37.295 orang diantaranya adalah kasus narkoba. Jumlah orang
dengan kasus narkoba tersebut tersebar di 413 Lapas/Rutan yang ada di
Indonesia”. BNN sendiri sebenarnya sudah mengakomodir hak rehabilitasi
korban Napza melalui UNITRA (Unit Terapi Rehabilitasi) di Lido Jabar.
Namun tempat rehabilitasi tersebut hanya mampu menampung 500 orang.
28
A. Kadarmanta, “Penegakan Hukum Bagi Pecandu Naroba Paradigma UU.35/2009”, available
from : URL : http://www.A.Kadarmanta.blogspot, diakses tanggal 7 Januari 2011.
29
Data Residen 2010, Unit Terapi dan Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional, hal. 3.
24
Daya tampung tersebut tentu tidak sebanding dengan perkiraan jumlah
korban Napza yang mencapai 3,6 juta orang30
Mamoto, Direktur Narkotika Alami BNN berpendapat mengenai perubahan yang ada
mengacu pada UU No. 35 Tahun 2009. Jika sebelumnya para penyalahguna diperlakukan
Namun, UU No. 35 ini justru lebih manusia dan empati terhadap penyalahguna narkoba.
Penjatuhan rehabilitasi masih jarang dijatuhkan kepada para korban penyalah guna
narkotika padahal telah diatur secara tegas dalam Undang–undang No. 35 Tahun 2009
tentang Narkotika dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 tentang
NARKOTIKA.”
30
Ray, “Pasal Karet UU Narkotika Mengebiri Hak-hak Korban Napza”, available from : URL :
http://www.satuportal.com, diakses tanggal 26 Oktober 2010.
31
Majalah SINAR Badan Narkotika Nasional, edisi khusus 2010 hal. 54.
25
1.2 Rumusan Masalah
tindakan wajib?
a. Tujuan Umum
Denpasar.
b. Tujuan Khusus
Adapun manfaat hasil penelitian ini ada yang bersifat teoritis dan ada yang bersifat
praktis.
26
a. Manfaat yang bersifat teoritis yaitu untuk memperkaya khasanah ilmu
narkotika.
b. Manfaat praktis dari penulisan tesis ini adalah sebagai bahan acuan bagi
Penelitian dalam bentuk tesis yag berkaitan dengan kebijakan pidana terhadap
Propinsi Sumatera Utara”. Penelitian tersebut mengkaji peranan dan fungsi Badan
32
Victor Keenan Berus, 2009, “Fungsionalisasi Badan Narkotika Propinsi dalam Upaya
Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika di Propinsi Sumatera Utara”,Tesis, Universitas Sumatera
Utara, Medan. available from URL: repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/5216/1/09E01897.pdf,
diakses tanggal 18 Juli 2011
33
Agustina Wati Nainggolan,2009, “Analisis Terhadap Putusan Hakim dalam Tindak Pidana
Penyalahgunaan Narkotika (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Medan)”, Tesis, Universitas Sumatera
Utara,Medan available from URL: www.bacaanonline.com/pdf/tesis-narkotika.html diakses tanggal 18 Juli
2011
27
Kasus di Pengadilan Negeri Medan)”. Penelitian dalam tesis ini mengangkat
rehabilitasi pada Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika belum ada,
Definisi tentang teori diberikan oleh Snellbecker yang mengartikan teori sebagai
perangkat proposisi yang terintegrasi secara simbolis dan berfungsi sebagai wahana untuk
34
Bambang Hariono,2010, “Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Narkotika di Indonesia” Tesis, Universitas Diponogoro, Semarang available from URL:
eprints.undip.ac.id/16698/1/BAMBANG_HARIYONO.pdf diakses tanggal 18 Juli 2011
28
relations among variables, with the purpose of explaining and predicting the
phenomena”.35
Sebuah Undang-undang dapat dikaji dari aspek normatif maupun aspek Empiris,
secara garis besar ilmu hukum dapat dikaji melalui studi law in books dan study law in
action. 36
Bertolak dari hal tersebut, untuk mengkaji suatu permasalahan hukum secara lebih
mendalam, diperlukan teori yang berupa serangkaian asumsi, konsep, definisi dan
proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara
Sebelum seorang peneliti sampai pada usaha penemuan hukum in concreto atau
sampai pada usaha menemukan asas dan doktrinnya, atau sampai pula pada usaha
menemukan teori-teori tentang law in proses dan law in action, maka mereka harus
38
mengetahui terlebih dahulu apa saja yang termasuk hukum positif yang tengah berlaku.
Suatu teori pada hakekatnya merupakan hubungan antara dua fakta atau lebih,
atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan suatu yang
dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris, oleh sebab itu dalam
35
Nasution Bahder Johan, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung,
hal140
36
Amiruddin dan Zaenal Asikin, 2006. Pengantar Metode Penelitian Hukum ,PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hal.196
37
Burhan Ashshofa, 2004, Metoda Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hal.19
38
Bambang Sunggono, 2007, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
hal 81
29
bentuknya yang paling sederhana, suatu teori merupakan hubungan antara dua variabel
Menurut Sudarto, perkataan Narkotika berasal dari kata Yunani “narke” yang
Narkotika Indonesia memberikan pengertian Narkotika yaitu zat yang bisa menimbulkan
tubuh, pengaruh tersebut berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat
beberapa efek samping. Akan tetapi walaupun narkotika menimbulkan banyak efek
perbuatannya tersebut. Penulisan tesis ini akan mengkaji mengenai teori-teori yang
relevan dengan permasalahan yang akan dibahas di sini terutama hal-hal yang terkait
dengan rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika, dengan melihat hal tersebut untuk
menentukan kebijakan pidana yang akan diterapkan di masa yang akan datang.
39
Soerjono Soekanto, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.30
(selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I)
40
Sudarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hal.44 (Selanjutnya disebut
Sudarto I)
41
Soedjono, D., 1997, Hukum Narkotika Indonesia, Alumni, Bandung, hal.3 (selanjutnya disebut
Soedjono I)
30
Berdasarkan konsep umum tersebut maka perlu dikaji terlebih dahulu pengertian tentang
Secara umum pegertian kebijakan sebagai pengganti dari istilah “policy” atau
“beleid” khususnya dimaksud dalam arti “wijsbeleid”, menurut Robert R.Mayer dan
Ernest Greenwood, dapat dirumuskan sebagai suatu keputusan yang menggariskan cara
yang paling efektif dan paling efisien untuk mencapai tujuan yang ditetapkan secara
kolektif42. David L.Sills menyatakan bahwa pengertian Kebijakan (policy) adalah suatu
perencanaan atau program mengenai apa yag akan dilakukan dalam menghadapi
problematika tertentu dan bagaimana cara melakukan atau melaksanakan sesuatu yang
karya William N.Dunn dengan “Analisa Kebijaksanaan Publik”44. Solichin Abdul Wahab
tetapi dalam bukunya yang berjudul “Analisa Kebijaksanaan” beliau juga menggunakan
42
Sultan Zanti Arbi, dan Wayan Ardana, 1997, Rancangan Penelitian Kebijakan Sosial,Jakarta,
CV.Rajawali, Jakarta, hal.63
43
Barda Nawawi Arief, 1994, Kebijakan Legeislatif dalam Penanggulanagan Kejahatan dengan
Pidana Penjara, Disertasi Bandan Penerbit Universitas Diponogoro, Semarang, hal.63 (selanjutnya
disingkat Barda Nawawi Arief I)
44
William N.Dunn, 2000, Analisa Kebijakan Publik,Penyadur Muhadjur Darwin, PT.Hadindita
Graha Widia, Yogyakarta, hal.37
31
Menurut Mark Ancel, pengertian penal policy (kebijakan hukum pidana) adalah
suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk
memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk
memberikan pedoman tidak hanya kepada pembuat undang–undang, tetapi juga kepada
yang dapat dilakukan secara yuridis normatif dan sistematik dogmatik, di samping
pendekatan yuridis faktual juga dapat pula pendekatan sosiologis, historis dan
ilmu sosial lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan
berikut:
45
Solichin Abdul Wahab, 1997, Kebijakan Sosial, Analisis Kebijaksanaan, PT.Bumi Aksara,
Jakarta, hal.24
46
Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT.Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal.23 (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief II)
47
Ibid, hal.24
32
Sudarto mengemukakan tiga arti dari kebijakan kriminal yaitu:
1. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dan
reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;
2. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum,
termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi, keseluruhan
kebijakan yang dilaukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi
yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral pada masyarakat. 48
Penal Policy dikatakan sebagai suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk
memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik, dan untuk
memberikan pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada
Objek dari hukum pidana bukan hanya meliputi perbuatan dari suatu masyarakat
dalam konteks secara umum tetapi hukum pidana juga memeliki sasaran kepada para
sesungguhnya dari hukum pidana, tugas yuridis dari hukum pidana bukanlah “mengatur
masyarakat” , tetapi “mengatur penguasa” ("the limitation of, and control over, the
powers of the State constitute the real yuridical dimension of criminal law :The Juridical
task of criminal law is not policing society but policing the police"). 50 Kebijakan
48
Ibid, hal.24
49
Marc Ancel, 1965, Social Defence A Modern Aproach to Criminal Problems, Routlegde &
Kegan Paul, London, hal.209
50
G.P. Hoefnagels, 1973, The Other Side of Criminology, KIuwer-Deventer, Holland, hal.139
33
penegakan hukum pidana merupakan serangkaian proses yang terdiri dari tiga tahap
kebijakan yaitu :
Pada tahap kebijakan legislatif merupakan muara dari kebijakan hukum pidana itu
sendiri dimana dalam hal ini akan berorientasi kepada pelaksanaan hukum pidana itu
sendiri dimana dalam hal ini akan sangat terkait dengan ditetapkan sistem pemidanaan,
menjatuhkan pidana. Pidana tidak hanya dapat dilihat dalam arti sempit/formal, tetapi
Bertolak dari hal tersebut dalam konteks arti sempit atau formal, penjatuhan pidana
ini berarti kewenangan untuk menjatuhkan sanksi pidana sesuai dengan peraturan
sedangkan dalam arti luas atau material, penjatuhan pidana merupakan mata rantai proses
tindakan hukum dari pejabat yang berwenang, mulai dari proses penyidikan, penuntutan,
sampai pada putusan pidana dijatuhkan oleh pengadilan dan dilaksanakan oleh aparat
pelaksana pidana, jadi dalam hal ini merupakan keseluruhan proses dari sistem peradilan
pidana itu sendiri, hal ini merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang
51
Barda Nawawi Arief, 1998 Beberapa Aspek Kebiiakan Penegakan dan Pengembangan Hukum
Pidana, PL Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.30 (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief III)
34
integral, dimana keseluruhan proses penegakan hukum itupun harus terwujud dalam satu
bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai
kesejahteraan masyarakat. Perumusan tujuan politik kriminal yang demikian itu pernah
pula dinyatakan dalam salah satu laporan Kursus Latihan ke-34 yang diselenggarakan
Terkait dengan hal tersebut dapatlah dikatakan bahwa politik kriminal pada
hakekatnya juga merupakan bagian integral dari politik sosial yaitu kebijakan dalam
untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti
Menurut Barda Nawawi Arif, usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan
hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan
52
Summary Report, 1974, Resource Material Series No.7, UNAFEI, hal.95
35
penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pidana (penal). Usaha penanggulangan
kejahatan dengan hukum pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari usaha
penegakan hukum, khususnya penegakan hukum pidana, karena itu sering pula dikatakan
bahwa kebijakan hukum pidana juga merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum
pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan
dilakukan dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal) maka kebijakan hukum
pidana (penal policy), khususnya pada tahap formulasi kebijakan legislasi yang
dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial berupa “social-welfare” dan
kriminal di dalamnya, atau dengan kata lain kebijakan kriminal merupakan bagian dari
kebijakan sosial secara keseluruhan. Oleh karena itu setiap usaha untuk melindungi
masyarakat harus dipandang secara utuh, antara kebijkan tidak saling bertabrakan dan
bertentangan, hal ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dan kesejahteraan tersebut
dapat tercapai.
Kebijakan sosial ini dapat dibuat dalam bentuk suatu skema guna memudahkan
pemahamannya.
53
Ibid, hal. 30
54
Muhari Agus Santoso, 2002, Paradigma Baru Hukum Pidana, Averroes Press, Malang, hal.20
36
Social Welfare
Policy
Social Policy
TUJUAN
Social Defence
Policy
Penal Sosial
Skema Kebijakan
Criminal Policy
Non Penal
Dari skema diatas, dapat dilihat bahwa criminal policy berhubungan dengan penal
policy, Marc Ancel pernah menyatakan bahwa “Modern Criminal Science” terdiri dari 3
komponen yaitu kriminologi (criminology), hukum pidana (Criminal Law), dan kebijakan
hukum pidana (Penal Policy). Lebih jauh Marc Ancel menyatakan bahwa kebijakan
hukum pidana adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan
praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan
dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. 55 Dengan demikian
penerapan hukum pidana dapat diukur, dan keadilan bagi masyarakat lebih dapat
55
Marc Ancel, Op.cit, hal.4
37
2 Teori Relatif (tujuan)
pecandu narkotika ke dalam tertib sosial agar dia tidak lagi melakukan
penyalahgunaan narkotika
absolut dari keadilan. Sehingga menurut J. Andenaes, teori ini dapat disebut
Menurut Nigel Walker teori ini disebut sebagai teori atau aliran reduktif
karena dasar pembenaran pidana menurut teori ini ialah untuk mengurangi
frekuensi kejahatan57.
kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana. Tetapi mempunyai
menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan quia
56
Muladi, Barda Nawawi Arif, 1984, Teori – teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung,
hal.16. (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief IV)
57
Ibid
58
Ibid
38
teori Social defence berkembang setelah Perang Dunia ke-2. Tokoh
terkenal dari teori ini adalah Filippo Gramatica. Dalam teori ini, terbagi dua
konsepsi yaitu:59
pidana yang ada sekarang. Tujuan utama dari hukum perlindungan sosial
terhadap perbuatannya.
masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, peranan yang besar dari hukum
pidana merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan bagi suatu sistem
59
Ibid, hal. 35-38
60
Marc Ancel, Op.cit, hal. 35
39
konsepsi perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi baru hukum
pidana.
klasik.
yaitu:
61
Ibid, hal18.
62
Ibid.
40
c. Memperbaiki orang yang melakukan tindak pidana,
Teori ini disebut juga teori tujuan, karena menitik beratkan pada tujuan
orang yang telah melakukan tindak pidana. Hal ini dikarenakan para pengguna
3. Teori Rehabilitasi
and staying out of prison;the term may also be used to denote the
opportunity64.
63
Yulies Tiena Masriani, loc.cit.
64
Duff, Antony & David Garland, tanpa tahun, A Reader on Punisment, Oxford University Press,
hal286.
41
Terjemahan bebas penulis, rehabilitasi berdasarkan standar modern dapat
didefinisikan secara tentative dan luas, yaitu sebagai hak terhadap suatu
baik sehingga dapat menjadi warga Negara yang berguna sehingga dapat
kesempatan ini.
diterapkan dewasa ini berawal dari pemikiran klasik (abad 17-18) dalam
Beccaria (1764) dan Bentham. Dengan demikian apabila pada masa ini orang
pemikiran abad 16, masa kegelapan di kawasan Eropa. Ciri dari penerapan
65
Muhammad Mustofa, 2009 “Dari Retribusi dan Rehabilitasi ke Restorasi” available from : URL
: http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/artikel.php?aid=32186, diakses tanggal 7 Februari 2011
42
narkotika dapat menjadi seorang yang berguna bagi bangsa dan negara dan
kepuasan, baik bagi hakim maupun kepada penjahat itu sendiri di samping
kepada masyarakat.66
yang sesuai dengan maksud dan tujuan dari teori relatif (tujuan). Karena tujuan
telah melakukan suatu tindak pidana seperti pengguna narkotika yang pada
mulanya memiliki rasa ketergantungan menjadi orang yang terbebas dari rasa
berupa pidana, akan tetapi juga tindakan yang bertujuan untuk melindungi
dengan double track system, namun dilihat dari latar belakang kemunculan
dapat disimpulkan bahwa ide dasar sistem tersebut adalah kesetaraan antara
66
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, 1982, Asas – asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan
Penerapannya, Alumni, Jakarta, hal.62
43
sanksi pidana dan tindakan.67 Sehubungan dengan perbedaan antara sanksi
pidana dan tindakan, serta batasan antara keduanya yang dinilai kabur, maka
perlu dipaparkan pendapat para sarjana mengenai dua jenis sanksi tersebut:
1. Sudarto:
syarat-syarat tertentu. Sanksi dalam hukum pidana modern, juga meliputi apa
yang disebut tindakan tata tertib. Selanjutnya Sudarto juga menjelaskan bahwa
2. Andi Hamzah:
agak samar, tapi dia memberi penjelasan singkat bahwa sanksi pidana bertitik
berat pada pengenaan sanksi pada pelaku suatu perbuatan, sedangkan tindakan
3. Utrecht:
67
M. Solehuddin, 2007, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, PT.Raja Grafindo, Jakarta, hal.24
(selanjutnya disebut Solehuddin II)
68
Sudarto, 1973, Hukum Pidana Jilid I A, Badan Penyediaan Kuliah FHAL UNDIP, Semarang,
hal.7 (Selanjutnya disebut Sudarto II)
69
Andi Hamzah, 1986, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Dari Retribusi ke Reformasi,
PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal.53.
44
Secara teoritis, Utrecht melihat perbedaan sanksi pidana dan tindakan dari
pendapat Pompe, Utrecht menjelaskan lebih lanjut bahwa tindakan itu bila
4. J.E. Jonkers:
Pakar hukum pidana dari Belanda ini juga membedakan jenis sanksi
70
Utrecht,1987, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, hal.360
71
J.E. Jonnkers,1987, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, PT. Bina Aksara, Jakarta,
hal. 350
45
penderitaan agar yang bersangkutan menjadi jera. Fokus tindakan lebih terarah
bersifat sosial
ada tidaknya unsur pencelaan, bukan pada ada tidaknya unsur penderitaan,
72
Barda Nawawi Arief,1992, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, hal. 4
(selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief V)
73
J.E. Jonnkers, Loc.cit
46
sanksi terhadap pelaku suatu perbuatan, sementara tindakan berorientasi pada
penjatuhan sanksi pidana hanya sebagai pembalasan semata, maka dalam teori
deterrece memandang adanya tujuan lain yang lebih bermanfaat dari pada sekedar
mengakui bahwa pidana yang berat harus diterima oleh rakyat sebelum
hanya untuk tujuan mencegah terjadinya kejahatan. Jadi dari pandangan tersebut
jelas bahwa fungsi pidana adalah sebagai sarana pencegahan. Namun meskipun
secara umum teori deterrence dianggap sebagai teori tujuan pemidanaan yang baik
dalam perspektif pencegahan dan penanggulangan kejahatan, tetapi ide utama dari
teori ini sangat berbeda dengan konsep rehabilitatif dan incapacitation yang akan
74
Barda Nawawi Arief (I), Op.cit hal. 5
75
Barda Nawawi Arief (V), Op.cit. hal. 30
47
Nigel Walker menamakan ini sebagai paham reduktif (reduktivism) karena
dasar pembenaran dijatuhkannya pidana dalam pandangan akiran ini adalah untuk
dapat mengurangi pelanggaran melalui satu atau beberapa cara berikut ini : 76
Secara teori deterrence dapat dibedakan dalam dua bentuk sebagai berikut :
76
Marlina, 2011, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung. Hal. 41
48
pidana dapat dibenarkan manakala memberikan keuntungan. Keuntungan
yang dimaksud disini ialah keuntungan yang hanya dapat dicapai melalui
dapat dicapai dengsn cara lain. Atas dasar argumentasi bahwa sebagian
di buat agar pelaku berpikir dua kali untuk melakukan tindak pidana lagi
pidana, dalam pandangan ini, sanksi pidana memberikan efek penjeraan dan
49
1.7 Metode Penelitian
Dalam suatu penelitian, pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh
secara langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. Yang diperoleh
langsung dari masyarakat disebut data primer (data dasar), sedangkan yang
dengan salah satu cirinya adalah mengunakan data sekunder,dimana data ini terdiri
dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Dan
beberapa metode yang dikenal dalam penelitian hukum normatif, yaitu pendekatan
77
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, 1985,Peneiitian Hukum Normatif Suatu Tiniauan Singkat, PT.
Raja Grafindo Persada Jakarta, hal. 13
50
pendekatan perbandingan. Keempatnya ini akan digabungkan dengan pendekatan
yang biasa dipergunakan dalam hukum pidana, yang disebut dengan pendekatan
Sumber bahan hukum dalam penelitian ini adalah bahan / sumber sekunder,
yaitu bahan pustaka yang berisikan informasi tentang bahan primer, diperoleh dari
diteliti, dan dalam hal ini berkenaan dengan penerapan rehabilitasi dalam Undang-
Karena penelitian ini lebih bersifat penelitian hukum normatif, maka lebih
menitik beratkan penelitian pada bahan hukum primer, sedangkan bahan hukum
sekunder lebih bersifat menunjang. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam
penelitian ini dikumpulkan dari sumber primer berupa perundang penelitian ini
78
Barda Nawawi Arief, 1994, Kebiiakan Legislatif Dalam Penangqulangan Keiahatan Pengan
Pidana Peniara, Universitas Diponegoro Semarang, hal. 61 (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief VI)
51
konsep rancangan undang-undang, sumber-sumber hukum lainnya, hasil-hasil
penelitian dan kegiatan ilmiah, serta pendapat para ahli hukum dan ensiklopedi.
79
Bambang Waluyo, 1996, Penelitian Dalam Praktek, cet. II, Sinar Grafika, Jakarta, hal.72
80
Bambang Sunggono, Op.cit, hal.134.
52
BAB II
Istilah “kebijakan” dalam tulisan ini diambil dari istilah “policy” (inggris) atau
“politiek” (Belanda). Dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum Pidana” ini sering
dikenal dengan berbagai istilah antara lain “Penal Policy,Criminal Law Policy, atau
Strafrechtpolitiek”.81
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba adalah termasuk bidang kebijakan kriminal
(criminal policy) - yang oleh G. Peter Hoefnagels diartikan sebagai: ... the rational
organization of the social reaction to crime. Dan kebijakan kriminal ini juga merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan sosial (social policy), yang terdiri dari
tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang
81
Ibid hal. 24
82
James E. Anderson, 1984, Public Policy Making, Holt, Rinehart and Winston, cet. ke-3, New
York, hal.3
53
Pengertian serupa juga dikemukakan oleh Thomas R. Dye. Ia menyatakan bahwa
“kebijakan merupakan apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak
dilakukan.”83
“rangkaian konsep pokok dan asas yang menjadi garis dalam menjalankan suatu
pekerjaan”, diartikan juga sebagai pedoman dasar yang dijadikan acuan dalam
menjalankan kepemimpinan, Kebijakan atau kajian kebijakan dapat pula merujuk pada
serangkaian tindakan yang menjadi keputusan pemerintah untuk melakukan atau tidak
masyarakat.
berikut:
83
Thomas R. Dye, 2005, Understanding Public Policy, Pearson Education Inc., New Jersey, hal.1
84
Ibid,hal.26
54
c) cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana harus
dilaksanakan.
Pengertian Mulder di atas berdasarkan pada pendapat “sistem hukum pidana dari Marc
Ancel yang menyatakan bahwa setiap masyarakat yang terorganisir memiliki sistem
Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya
tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi, kebijakan pidana juga
dengan hukum pidana pada hakekatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan
hukum. Oleh karena itu sering pula dikatakan bahwa kebijakan hukum
pidana juga merupakan bagian dari bagian kebijakan penegakan hukum (Law
Enforcement Policy). Dengan demikian, dilihat dalam arti luas, kebijakan hukum pidana
dapat mencakup ruang lingkup kebijakan di bidang hukum pidana materil, di bidang
hukum pidana resmi dan di bidang hukum pelaksanaan pidana. Sebagaimana telah
diuraikan di atas, kebijakan pidana adalah sebagai suatu bagian dari upaya
mengatur masyarakat dengan sarana hukum pidana sangat erat kaitannya dengan berbagai
bentuk kebijakan dalam suatu proses kebijakan sosial yang mengacu pada suatu tujuan
55
”apabila perwujudan suatu sanksi pidana hendak dilihat sebagai suatu kesatuan proses
tahap-tahapnya yaitu tahap formulasi oleh pembuat undang-undang, tahap aplikasi oleh
pengadilan dan tahap eksekusi oleh aparat pelaksana pidana”, Apabila dilihat dari suatu
kesatuan proses, maka tahap kebijakan legislatif merupakan tahap yang paling strategis.
Dari tahap inilah diharapkan adanya suatu garis pedoman untuk tahap-tahap berikutnya. 86
Politik hukum berkaitan dengan hukum positif, hal ini karena menyangkut
diberlakukannya suatu hukum di suatu negara. Dengan demikian, politik hukum ialah
kebijakan hukum untuk mencapai tujuan. Perspektif Politik Hukum Nasional yang
dikemukakan oleh Sunaryati Hartono, bahwa hukum itu bukan merupakan tujuan, akan
tetapi hanya merupakan jembatan yang harus akan membawa kita kepada ide yang
dicita-citakan. 87
86
ibid
87
Sunaryati Hartono. 1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional. Alumni,
Bandung, hal.1.
56
Sedangkan dalam pengertian yang praktis, politik kriminal itu adalah segala usaha
yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Usaha ini meliputi
berkaitan satu sama lain sesuai dengan fungsinya masing-masing. Oleh karena itu, wajar
pulalah apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari
kebijakan atau politik sosial (social policy). Kebijakan sosial (social policy) dapat
diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat
Dilihat dalam arti Iuas, kebijakan hukum pidana dapat mencakup ruang lingkup
kebijakan di bidang hukum pidana materiil, di bidang hukum pidana formal dan di bidang
hukum pelaksanaan pidana. Sedangkan dengan menggunakan upaya nonpenal ini dapat
meliputi bidang yang sangat Iuas sekali di seluruh sektor kebijakan sosial. Tujuan utama
dari usaha-usaha nonpenal ini ialah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun
Pramuka, kegiatan-kegiatan patroli dan pengawasan lainnya secara kontinu oleh polisi
yang dilakukan aparat terkait selama ini. Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal
57
dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan: 88 (a)
perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana itu, dan (b) sanksi apa yang
Penganalisisan terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari
konsepsi integral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial atau kebijakan
diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial politik yang telah
ditetapkan.
menangani kedua masalah sentral di atas, harus pula dilakukan dengan pendekatan yang
berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach). Sudah barang tentu pendekatan
kebijakan yang integral ini tidak hanya dalam bidang hukum pidana, tapi juga pada
kebijakan sosial itulah kiranya, Sudarto berpendapat bahvva dalam menghadapi masalah
Politik hukum itu tidak terlepas dari realita sosial dan tradisional yang terdapat di
negara kita dan di lain pihak, sebagai salah satu anggota masyarakat dunia, politik hukum
Indonesia tidak terlepas pula dari realita politik hukum internasional. Dengan demikian,
faktor-faktor yang akan , menentukan politik hukum nasional itu tidaklah semata-mata
ditentukan oleh apa yang kita cita-citakan atau tergantung pada kehendak pembentuk
hukum, praktisi atau para teoretisi belaka, akan tetapi ikut ditentukan oleh perkembangan
88
Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1984. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni, Bandung,
hal. 160
58
hukum di lam-lain negara, serta perkembangan hukum internasional. Dengan lain
perkataan, ada faktor-faktor di luar jangkauan bangsa kita yang ikut menentukan politik
hukum masa kini, dan di masa yang akan datang. Sunaryati Hartono, selanjutnya dalam
bukanlah merupakan proses yang mudah. Perspektif Hukum Nasional, dikatakan bahwa:
1. Hukum Nasional Indonesia akan lebih berupa hukum kebiasaan yang bersumber
pelengkap).
internasional89.
Hubungan politik dan hukum menurut Teguh Prasatyo, yang mengambil pendapat
Mahfud MD, menjelaskan bahwa hukum merupakan produk politik. Hukum dipandang
sebagai dependent variable dan politik sebagai independent variable. Dengan asumsi
demikian itu, Mahfud MD merumuskan politik hukum sebagai kebijakan hukum yang
akan atau telah dilaksanakan secara nasioaal olch pemerintah, mencakup pula pengertian
kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Di sini hukum tidak
dapat hanya dipandang sebagai Pasal-Pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-
keharusan, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan bukan
tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan Pasal-
89
Ibid, hal. 22.
59
Pasalnya maupun dalam implementasi dan penegakannya.Berdasarkan pandangan
badan Legislatif bahwa hukum merupakan proses dari politik. Hal ini, sesuai dengan
pandangan HC Bredemeir bahwa hukum dipengaruhi oleh politik, sosial, dan ekonomi.
Menurut Solly Lubis 90 politik hukum ialah kebijakan politik yang menentukan
peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku untuk mengatur berbagai hal kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Dengan dasar itu, Sudarto menyatakan: 91. politik hukum
mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat untuk mencapai apa yang
dicita-citakan. Selanjutnya menurut Sudarto, politik hukum pidana (dalam tataran mikro)
sebagai bagian dari politik hukum (dalam tataran makro), dalam pembentukan undang-
undang harus mengetahui sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat, yang berhubungan
dengan keadaan itu dengan cara-cara yang diusulkan dan dengan tujuan-tujuan yang
hendak dicapai agar hal-hal tersebut dapat diperhitungkan dan dapat dihormati. 92
dengan keadaan dan situasi pada suatu vvaktu dan untuk masa-masa yang akan datang.
90
Solly Lubis. 1989. Serba Serbi Politik dan Hukum. Mandar Maju, Bandung, hal. 49.
91
Sudarto. 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat; Kajian terhadap Pembaharuan
Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung, hal. 1 (selanjutnya disebut Sudarto III)
92
Ibid, hal. 23.
93
Ibid, hal. 93-94.
60
Lebih lanjut, Sudarto menyatakan bahwa pembentukan undang-undang merupakan
proses sosial dan proses politik yang sangat penting artinya dan mempunyai pengaruh
luas, karena ia akan memberi bentuk dan mengatur atau mengendalikan masyarakat.
tujuan tertentu. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa undang-undang itu
dengan hukum yang berperan sebagai suatu alat (instrumen) belaka. Pendekatan secara
fungsional, hukum dalam penerapannya harus diarahkan untuk mencapai tujuan dari
mana hukum itu berasal. Jika hukum di Indonesia bersumber pada Pancasila maka setiap
produk perundang-undangan tidak mungkin terlepas dari sumbernya, yakni dari mana
hukum dijiwai, dipersepsikan, dan dalam penjabarannya atau diwujudkan dalam bentuk
manifestasinya harus selalu bernafaskan Pancasila. Jika tidak, hukum itu tidak lagi
berfungsi dalam arti sebenarnya sehingga lebih tepat disebut sebagai instrumen. Hukum
dalam pengertian ini, hanya denii kepentingan tertentu yang sama sekali tidak dijiwai
masyarakat yang percaya pada legitimasinya. Setelah melewati proses konversi, mereka
dalam bentuknya yang utama yaitu berupa pelbagai produk hukum dan kebijakan umum.
Apalagi ingin berkembang maka sebuah sistem politik harus memiliki mekanisme untuk
94
Sahetapy. 1993. Hukum dalam Konteks Politik dan Budaya, dalam Kebijakan Pembangunan
Sistem Hukum. Analisis (CSIS (Januari-Pebruari, XXII) No. 1, hal. 55-56.
61
menyerap umpan balik. Ditegaskan bahwa hukum dan politik hukum pada dasarnya
merupakan produk dari sistem hukum. Dengan demikian tampak bahwa warna dan
kualitas hukum yang berlaku dalam masyarakat akan tergantung pada warna dan kualitas
Politisasi hukum terjadi di semua lini aktivitas hukum, baik proses pembuatan
hukum, proses penegakan hukum, dan proses penciptaan kesadaran hukum. 95 Hukum
sebagai kebijakan merupakan pilihan dari sekian alternatif yang mungkin terjadi, setelah
menghasilkan kebijakan merupakan perjuangan politik yang berat, betapa kuatnya aroma
politik dalam kehidupan hukum terlihat dalam proses pembuatan undang-undang dan
pelembagaan sistem checks and balances dalam pemerintahan yang demokratis serta
praktik penerapan kekuasaan birokrasi. Politik hukum (legal policy) dalam arti kebijakan
negara (public policy) di bidang hukum harus dipahami sebagai bagian kebijakan sosial,
segala aspek kehidupan. Hal ini bisa mengandung dua dimensi yang terkait satu sama
lain, yaitu kebijakan kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan
Dengan demikian tidak mungkin merumuskan politik hukum yang tepat tanpa
mengkaji secara akurat kebijakan sosial, sebab justru akar permasalahan yang akan
95
Muladi. 2002. Demokratisasi, Hak A.tasi Manusia. dan Reformasi Hukum di Indonesia. The
Habibie Center, hal. 258-260.
96
Ibid., hal. 269.
62
strategis masyarakat yang memerlukan perlindungan dan pengaturan hukum dalam
maupun praktikal. Secara teoritikal kebijakan (policy) dapat diartikan secara luas (board)
maupun secara sempit (narrow). Dari kepustakaan kita dapat mengetaui bahwa policy
dalam arti luas (board) merupakan, “…a general pattern of decision and action by
governmental authorities that are tied together by a common and general goal to which
all of the decisions and action are directed”. Sedangkan “policy“ dalam arti sempit
political process”. Di samping itu, kebijaksanaan atau kebijakan (policy) secara praktikal
erat kaitannya dengan hukum positif, yaitu teori hukum positif yang mempunyai objek
berupa gejala-gejala dari hukum yang berlaku dalam masyarakat (pada waktu tertentu,
mengenai masalah tertentu, dan dalam lingkungan masyarakat (Negara) tertentu yang
seberapa jauh masyarakat diatur dan diarahkan. Dengan demikian sangat penting untuk
menyadarkan para perancang hukum dan kebijakan publik bahkan para pendidik bahwa
hukum dan kebijakan publik yang diterbitkan akan mempunyai implikasi yang luas di
97
Hermien Hadiati Koeswadji, 2002. Hukum Untuk Perumahsakitan, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal. 107-108
63
bidang sosial, ekonomi, dan politik. Politik hukum harus dirumuskan secara mendasar
Pertama, elemen struktur hukum yang terdiri atas misalnya jenis-jenis peradilan,
Kedua, elemen substansi hukum yang dapat diartikan sebagai pelbagai peraturan,
norma, dan perilaku orang-orang di dalam sistem. Pada intinya merupakan hukum
yang mengatur berbagai norma, nilai, dan sanksi dalam bentuk peraturan-
peraturan hukum. Termasuk di sini living law yang terjadi dalam praktik hukum
Ketiga, elemen kultur hukum merupakan bagian dari general culture yang
komunitas mempunyai suatu budaya hukum. Hal ini selalu berupa sikap dan
pandangan terhadap hukum. Salah satu subkultur yang penting untuk diperhatikan
ialah kultur yang dihayati oleh hakim dan penasihat hukum yang bekerja di dalam
sistem hukum itu sendiri. Hal ini akan banyak berarti bagi efektivitas sistem
hukum tersebut.
Secara operasional, ketiga elemen sistem hukum tersebut sebagai proses pembuatan
undang-undang (substansi hukum), proses penegakan hukum (struktur hukum) dan proses
penciptaan kesadaran hukum (budaya hukum), baik dalam bidang hukum pidana, hukum
98
Ibid, hal. 270-271
64
Hal senada dinyatakan oleh Barda Nawawi Arief, bahwa kebijakan
pidana. 99
Dengan demikian, kebijakan hukum pidana tidak dapat dipisahkan dari sistem hukum
pidana. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Marc Ancel bahwa ”tiap-tiap
masyarakat yang terorganisir memiliki system hukum pidana yang terdiri dari peraturan-
peraturan hukum pidana dan sanksinya, suatu aturan hukum pidana dan suatu tata cara
pidana, yang pada hakekatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum
adalah berkontribusi dalam mewujudkan tujuan dan kebijakan sosial tersebut, yaitu
99
ibid
100
ibid
65
memberikan perlindungan masyarakat dari bahaya narkoba untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat. Istilah kebijaksanaan atau kebijakan yang diterjemahkan dari kata policy
jawab melayani kepentingan umum. Ini sejalan dengan pengertian publik itu sendiri
dalam bahasa Indonesia yang berarti pemerintah, masyarakat atau umum. 101
2.2. Narkotika
Narkotika secara etimologis berasal dari bahasa Inggris narcose atau narcois yang
berarti menidurkan dan pembiusan. Kata narkotika berasal dari Bahasa Yunani yaitu
Dari istilah farmakologis, yang digunakan adalah kata „drug‟ yaitu sejenis zat yang
bila dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh–pengaruh tertentu pada tubuh si
menimbulkan halusinasi103.
101
Wibowo Edi, 2004. Hukum dan Kebijakan Publik, Yayasan Pembaruan Administrasi Publik
Indonesia, Yogyakarta, hal. 18.
102
Hari Sasangka, Op.cit, hal.35.
103
Soedjono, D, 1977, Narkotika Dan Remaja, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Soedjono
D (II), hal.3.
66
Secara terminologis, narkoba atau narkotika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah obat yang dapat menenangkan syaraf, menghilangkan rasa sakit, menimbulkan
Menurut beberapa sarjana maupun ahli hukum, pengertian narkotika adalah sebagai
berikut :
halusinasi105.
2. B. W. Bawengan,
3. Edy Karsono, narkotika adalah zat/bahan aktif yang bekerja pada system saraf
dan rasa sakit (nyeri) serta dapat menimbulkan ketergantungan (ketagihan) 107.
104
Anton M. Moelyono, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, hal.609
105
B. Bosu, 1982, Sendi – sendi Kriminologi, Usaha Nasional, Surabaya, ha.l68
106
BW. Bawaengan, 1997, Masalah Kejahatan Dengan Sebab Akibat, Pradnya Paramita, Jakarta,
hal.72.
107
Edy Karsono, 2004, Mengenal Kecanduan Narkotika dan Minuman Keras, Yrama Widya,
Bandung, hal.11
67
4. Menurut Soedjono Dirjosisworo dalam bukunya yang berjudul Hukum
Narkotika Indonesia,
narkotika adalah
zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis
maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke
dalam golongan–golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang
ini.
kesimpulan bahwa narkotika adalah zat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman
Narkotika yang merupakan zat atau obat yang pemakaiannya banyak digunakan oleh
tenaga medis untuk digunakan dalam pengobatan dan penelitian memiliki beberapa
108
Soedjono (I), Op.cit, hal.3
68
penggolongan. Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang–undang Nomor 35 Tahun 2009
digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau
ketergantungan”.
Sedangkan berdasarkan efek yang ditimbulkan oleh narkotika itu sendiri dapat
a) Memberikan efek depresan, yaitu menekan sistem sistem syaraf pusat dan
mengurangi aktifitas fungsional tubuh sehingga pemakai merasa tenang,
bahkan bisa membuat pemakai tidur dan tak sadarkan diri. Bila dosis
yang diberikan berlebihan dapat mengakibatkan kematian. Jenis narkoba
depresan antara lain opioda, dan berbagai turunannya seperti morphin dan
heroin. Contohnya putaw.
69
b) Memberi efek stimulan, yaitu merangsang fungsi tubuh dan
meningkatkan kegairahan serta kesadaran. Jenis stimulant antara lain
kafein, kokain, amphetamin. Contohnya shabu–shabu dan ekstasi.
c) Memberi efek halusinogen, efek utamanya adalah mengubah daya
persepsi atau mengakibatkan halusinasi. Halusinogen kebanyakan berasal
dari tanaman seperti mescaline dari kaktus dan psilocybin dari jamur-
jamuran. Selain itu ada juga yang diramu di laboratorium seperti LSD.
Yang paling banyak dipakai adalah marijuana atau ganja.109
2.3 Rehabilitasi
dapat kembali sehat, yang meliputi sehat jasmani atau fisik (biologik), jiwa
sebagai berikut :
109
Romeal Abdalla, 2008, “Narkoba dan Bahaya Pemakaiannya di Kalangan Remaja” available
from : URL : http://www.wikimu.com/News/DisplayNewsRemaja.aspx?id=5691/htm, diakses tanggal 26
Juli 2010.
110
Hartato Anugrah, 2009, “Rehabilitasi Untuk Pengguna Narkotika”, available from : URL :
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2009/10/rehabilitasi-untuk-pengguna-narkoba/htm, diakses tanggal 5
Juni 2010.
70
Rehabilitasi juga merupakan program untuk membantu memulihkan orang
yang memiliki penyakit kronis baik dari fisiknya maupun psikologisnya, Program
Rehabilitasi adalah ”Upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu
melalui pendekatan non-medis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna NAPZA
suatu upaya yang dilakukan baik secara medis, non–medis, sosial dan realigi agar
menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”. Menurut Pasal 1 angka 16,
“rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk
111
Soebandrio, 1995 hal.120
71
Pasal 1 angka 17, “rehabilitasi sosial adalah proses kegiatan pemulihan secara
terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat
Hak Rehabilitasi atas pecandu narkotika telah diatur dalam beberapa peraturan
Pada dasarnya Rehabilitasi medis yang diatur dalam kedua regulasi tersebut
ada 2 (dua) yakni Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. Menurut Undang –
Rehabilitasi Medis adalah “Suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tersebut, mereka yang wajib menjalani
72
2.3.2 Tujuan Rehabilitasi
tujuan pemidanaan sangat pantas diarahkan pada pelaku kejahatan, bukan pada
perbuatannya. Pemidanaan yang dimaksudkan pada aliran ini adalah untuk memberi
kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Pelaku kejahatan adalah orang yang
(rehabilitation).112
Perbuatan seseorang tidak bisa hanya dilihat dari aspek yuridis semata terlepas
dari orang yang melakukannya. Perbuatan seseorang itu harus dilihat secara konkrit
kriminologi. 113
oleh aliran positif, menjadikan pendekatan secara medis menjadi model yang
112
C. Ray Jeffery dalam Mahmud Mulyadi, 2008,Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal
Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanganan Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan,
hal.79
113
Ibid, hal. 81
73
digemari dalam kriminologi. Pengamatan mengenai bahaya sosial yang potensial dan
karena dalam menjatuhkan sanksi harus berorientasi kepada diri individu pelaku,
pada umumnya yang berdasarkan pada teori pemidanaan yaitu teori relatif atau
dimaksudkan agar dapat memperbaiki orang yang melakukan tindak pidana. Karena
hukum, aspek medis, aspek sosial, aspek spiritual, serta pengembangan pendidikan
dan pelatihan dalam bidang Narkotika secara terpadu sedangkan tujuan khususnya
adalah:
114
Muladi dan Barda Nawawi Arief, op. cit., hal. 35-38
74
4) terwujudnya penanganan hukum yang selaras dengan pelayanan rehabilitasi
medis/sosial;
terwujudnya proses pengembangan penanganan korban Narkotika dan aspek ilmiah, serta
keilmuan yang dinamis, sesuai dengan perkembangan zaman sebagai pusat jaringan
pengedar ini adalah pihak yang telibat dalam proses ditribusi narkotika. Pecandu
Penyalahguna Narkotika adalah orang yang memakai Narkotika yang tidak ada
alasan hak atau melawan hukum. Sedangkan Pecandu adalah orang yang
115
Suardana, ”Urgensi Vonis Rehabilitasi Terhadap Korban Napza di Indonesia”,
available from : URL :
http://gendo.multiply.com/journal/item/7/Urgensi_Vonis_Rehabiliotasi_Terhadap_Korban_Napsa_di_Indo
nesia/htm, diakses tanggal 26 Juli 2010.
116
Wasis Priyanto,”Penyalahgunaan Narkotika” available from url
http://waktuterindahalblogspot.com/2012/05/penyalahgunaan-atau-kepemilikan.html diakses
tanggal 14 September 2012
75
Penyalahguna Narkotika adalah seseorang yang menggunakan obat-obatan atau
zat-zat berbahaya dengan tujuan bukan untuk pengobatan dan penelitian serta
digunakan tanpa mengikuti aturan atau dosis yang benar. Dalam kondisi yang cukup
menggunakan narkotika.118
sepengetahuan dan pengawasan dokter dan dalam Pasal 1 ayat (15) UU Nomor 35
Tahun 2009 menyatakan bahwa penyalah guna adalah orang yang menggunakan
pidana narkotika, namun ikut juga sebagai pihak yang ikut dalam distribusi yaitu
sekaligus pengedar. Hal ini terjadi karena dalam bisnis haram tersebut seorang
tersebut, dan jika tidak mampu membeli maka dia akan ikut terjun dalam bisnis
117
Anonim “Pemicu/Penyebab Terjadinya Penyalahgunaan Narkoba”available from url
http://kampungbenar.wordpress.com/pemicu-terjadinya-penyalahgunaan-narkoba/ diakses tanggal 14
September 2012
118
Gordon “Narkotika” available from url http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/122646-S-
5240-Hubungan%20antara-%20Literatur.pdf diaskes tanggal 14 september 2012
76
barang haram tersebut untuk mencari uang yang bisa digunakan untuk konsumsi
barang haram.
seseorang yang menggunakan narkotika tanpa mengikuti aturan atau dosis yang serta
Pasal 127 ayat (3) menentukan: Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban
terminologi “tidak sengaja” tidak ditemukan yang ada adalah “culpa” atau “lalai”.
Culpa atau lalai tentulah berbeda dengan tidak sengaja, karena culpa adalah kurang
“kesalahan pada umumnya”, tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti
teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat
seperti kesengajaan. Untuk itu tidak sengaja bukan berarti lawan dari sengaja.
Karena tidak tinggi bukan berarti tinggi, karena ada antara tinggi dan tidak tinggi
atau sedang. Namun demikian, kalau yang dimaksudkan tidak sengaja merupakan
kebalikan dari sengaja, hal ini berarti tidak sengaja haruslah diartikan tidak sengaja
77
sebagai maksud atau tujuan, tidak sengaja sebagai keinsyafan kepastian dan tidak
Berkaitan dengan ketiga rumusan di atas, maka yang paling relevan dari tidak
sengaja dalam penjelasan Pasal 54 ini adalah tidak sengaja dalam arti maksud atau
dan/atau diancam.
Dibujuk tentulah mengacu pada pengertian dalam Pasal 55 KUHP ayat (1) ke-
kekuasaan atau martabat, dengan paksaan, ancaman, atau penipuan, atau dengan
digunakan, sehingga berhasil dibujuk juga sama. Dalam KUHP baik yang membujuk
maupun dibujuk dapat dipidana, tetapi ternyata dalam ketentuan ini apabila dapat
maka tidak dipidana namun demikian tetap wajib menjalani rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial.
78
kesatuan yang saling berkaitan antara kebohongan yang satu dengan
kebohongaan lainnya.
psikis, demikian juga ancaman dapat berupa ancaman fisik maupun ancaman
psikis. Paksaan fisik dapat berupa dipegang dengan kuat serta disuruh untuk
Wirjono Prodjodikoro sebagai sifat memaksa yang tidak mutlak dimana “sifat
memaksa yang tidak mutlak adalah bahwa dari seseorang manusia tidak dapat
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, untuk itu dapat disimpulkan yang wajib
a. Pecandu narkotika baik terbukti maupun tidak terbukti melakukan tindak pidana
narkotika.
terdiri dari berbagai macam faktor, seperti faktor individu, faktor lingkungan dan
79
faktor lainnya seperti misalnya masyarakat.119 Adapun penjelasan faktor tersebut
sebagai berikut:
119
Edy Karsono, Op.cit, hal. 63
80
tidak langsung dapat menjerumuskan seorang individu kedalam
penyalahgunaan narkotika.
2. Lingkungan sekolah merupakan tempat bergaul dan memperoleh
ilmu pengetahuan, namun dapat memunculkan persaingan antar
sesama, dimana siswa yang malas, pendiam dan jarang beraktifitas
akan mengalami stres dan berpotensi terjerumus dalam
penyalahgunaan narkotika.
3. Lingkungan masyarakat, dimana lingkungan sosial yang buruk
sudah tentunya dapat berpotensi mempengaruhi individu tersebut
untuk melakukan penyalahgunaan narkotika.
3) Faktor Lain, adalah faktor diluar faktor individu dan lingkungan yang juga
dapat mempengaruhi penyalahgunaan narkotika, adapun beberapa
faktornya adalah sebagai berikut:
Sedangkan menurut pendapat Dr. Graham Blaine seperti yang dikutip oleh
antara lain:
120
A. Rozak,W. Sayuti,, Remaja dan Bahaya narkoba, Prenada Media, Jakarta, hal. 22
81
3. Untuk menghilangkan kekecewaan dan melepaskan diri dari
kesepian
4. Sebagai rasa setia kawan
5. Ingin untuk mencoba-coba
6. Serta alasan lain seperti menghilangkan penderitaan akibat sakit
keras dan menahun seperti asma, TBC dan lain-lain.121
dengan berbagai macam faktor. Hal tersebut dapat dilihat dari problem
penyalahgunaan narkotika itu sendiri, yang tidak hanya diakibatkan oleh individu itu
sendiri melainkan juga dapat dipengaruhi oleh faktor dari luar seperti faktor
penyalahgunaan narkotika secara garis besar dapat dibagi menjadi dua faktor, yaitu
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang timbul dari
dalam diri pribadi pemakai narkotika tersebut seperti rasa rendah diri, keinginan
untuk memperoleh kenikmatan dari pemakaian narkotika tersebut, adanya niat untuk
mencoba narkotika tersebut serta alasan lain seperti ditolak oleh pacar maupun
adanya suatu keinginan yang ditolak oleh orang tua. Sedangkan faktor eksternal
tersebut adalah faktor yang berasal dari luar pribadi pengguna tersebut,yaitu:
a. Keluarga seperti keadaan rumah tangga yang tidak harmonis, keluarga yang
bercerai atau kurangnya perhatian dari orang tua dapat sebagai pemicu
121
Soedjono D (II), Op.cit, hal. 118
82
c. Masyarakat, seperti pembuktian agar diterima di lingkungan masyarakat tempat
tinggal dan ajakan dari teman-teman untuk memakai narotika serta lingkungan
yang memang telah dipenuhi oleh pemakai narkotika sehingga mau tidak mau
tentunya dapat menimbulkan bahaya serta efek samping yang dapat mergikan baik
bahaya dari penggunaan narkotika yang tidak sesuai dengan dosis dan kegunaannya
83
f. Koma, yaitu suatu keadaan dimana si pemakai narkotika sampai pada
puncak penurunan kondisi baik fisik maupun psikis yang pada akhirnya
dapat menimbulkan kematian. 122
narkotika adalah kecanduan dan hidup yang diperbudak oleh narkotika akibat
pemakaian yang secara terus menerus yang lambat laun apabila tidak mendapat
penyembuhan yang layak, maka si pemakai narkotika akan sampai pada titik koma.
berbagai macam dampak negatif yang dapat merusak diri si pemakai terutama
terhadap kondisi fisik, mental dan kehidupan sosial para pengguna narkotika. 123
a. Kondisi fisik
1. Timbulnya gangguan kesehatan seperti hipertensi, gangguan fungsi
hati dan ginjal, lever, serta pendarahan otak.
2. Akibat pemakaian alat yang tidak steril dapat menimbulkan berbagai
infeksi seperti hepatitis, HIV serta AIDS.
3. Akibat tidak langsung yang ditimbulkan seperti malnutrisi, kerusakan
gigi, penyakit kelamin, serta stroke.
b. Kondisi Mental
1. Timbulnya perilaku yang tidak wajar
2. timbulnya perasaan depresi dan rasa ingin bunuh diri.
122
Lambertus Somar, 2001, Rehabilitasi Pecandu Narkoba, Grasindo, Jakarta, h.31.
123
Edy Karsono, op.cit, h.67.
84
3. serta timbulnya gangguan perspektif dan daya pikir.
c. Kehidupan Sosial
1. gangguan terhadap prestasi sekolah, kuliah dan dalam bekerja.
2. gangguan terhadap hubungan dengan keluarga, suami, istri maupun
teman.
3. gangguan terhadap perilaku yang tidak normal seperti timbulnya niat
untuk mencuri, bercerai dengan suami atau istri, serta melukai orang
lain.
4. gangguan terhadap keinginan yang lebih besar dalam penggunaan
narkotika. 124
menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya, bagi orang – orang yang tidak
berpenghasilan cukup maka dia akan berupaya untuk mencuri, merampok serta
Sedangkan menurut Lydia Harlina Martono dan Satya Joewarni, akibat dari
penyalahgunaan narkotika dapat dibagi menjadi empat yaitu akibat bagi diri sendiri,
akibat terhadap keluarga, akibat bagi sekolah serta bagi masyarakat bangsa dan
negara. Adapun penjelasan dari keempat dampak tersebut adalah sebagai berikut:
1) Bagi Diri Sendiri, dampak pemakaian narkotika adalah sangat buruk seperti:
124
Edy Karsono, op.cit, h.67.
125
Joko Suyono, 1980, Masalah Narkotika dan Bahan Sejenisnya, Yayasan Kanisius,
Yogyakarta, h.14.
85
a. Terganggunya fungsi otak dan perkembangan normal yaitu daya ingat
narkotika yang tidak sesua dengan dosis atau takaran yang dianjurkan
acuh tak acuh, sulit mengendalikan diri, menarik diri dari pergaulan,
86
perubahan mental dalam pemusatan perhaian, motivasi belajar/bekerja
atau orang lain, akibat lain dalah ditangkap polisi, ditahan dan
2) Bagi Keluarga, dimana dampak yang ditimbulkan adalah suasana nyaman dan
tenteram yang terganggu, orang tua yang menjadi malu karena anggota
3) Bagi Sekolah, narkotika dapat merusak disiplin dan motivasi yang penting
dalam proses belajar serta prestasi yang merosot dan menciptakan iklim acuh
tak acuh baik antara sesama murid maupun guru serta pihak lainnya.
126
Martono, Lydian Harina dan Satya Joewarna, 2006,Peran Orang Tua dalam Mencegah dan
Menanggulangi Penyalahgunaan Narkoba, Balai Pustaka, Jakarta, h.15.
87
BAB III
gelap narkotika. Berdasarkan tujuan hukum ini, maka diperlukan strategi untuk
a. General Prevention
kebutuhan. Oleh sebab itu program demand reduction and supply reduction
diperlukan analisis secara cermat dan diperlukan kebijakan secara nasional dan
88
terhadap peredaran gelap narkotika dan psikotropika tersebut, maka diperlukan
b. Criminal Policy
Kebijakan kriminal ini dapat dilakukan dengan dua cara, yakni melalui sarana
penal atau penegakan hukum pidana, dan dengan sarana nonpenal, antara lain
penetapan strategi demand reduction and supply reduction, sebagai suatu kebijakan
prevensi umum. Hal ini sesuai dengan asas-asas dari UU Nomor 35 Tahun 2009 bahwa
Selanjutnya strategi kedua ialah dengan penetapan strategi criminal policy melalui
yang harus diutamakan. Oleh sebab itu, strategi ketiga dilakukan dengan strategi
89
Strategi ini dengan menggunakan dua pendekatan yakni pendekatan pertama,
yakni program pembinaan terhadap para bekas narapidana narkotika atau para residivis
narkotika, untuk dilakukan pemantauan secara terus-menerus agar tidak melibatkan diri
kesehatan dan ilmu pengetahuan serta teknologi, adalah masalah pemenuhan ketersediaan
narkotika dan dimensi arus lalu lintas peredaran narkotika secara internasional. Tujuan
daripada koordinasi internasional ialah membuka kerja sama dengan negara-negara baik
nasional dalam upaya pengawasan terhadap pencegahan peredaran gelap narkotika pada
tingkat international.
Penegakan hukum yang ideal harus disertai dengan kesadaran bahwa penegakan
hukum sebagai bagian subsistem hukum, juga merupakan subsistem sosial, sehingga
adalah kontrol sosial dari pemerintah. Budaya hukum, sebagai bagian dan kebudayaan
adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, yang meliputi: kepercayaan,
90
nilai, pemikiran, serta harapannya. Pemikiran dan pendapat manusia (penegak hukum)
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba adalah termasuk bidang kebijakan kriminal
(criminal policy) - yang oleh G. Peter Hoefnagels diartikan sebagai: ... the rational
organization of the social reaction to crime. 127 Dan kebijakan kriminal ini juga
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan sosial (social policy), yang
terdiri dari upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya-
upaya untuk kesejahteraan sosial (social welfare).128 Dengan demikian, tujuan utama
tujuan dan kebijakan sosial tersebut, yaitu memberikan perlindungan masyarakat dari
dalam The United Nation's Single Convention on Narcotic Drugs 1961. Konvensi ini
127
Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan
Penyusuran Konsep KUHP Baru, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 2 (selanjutnya disebut Barda
Nawawi Arief VII)
128
Ibid
91
terhadap penyalahgunaan narkotika yang terpisah-pisah di 8 bentuk perjanjian
internasional.
pengetahuan; dan
Indonesia adalah salah satu negara yang turut menandatangani konvensi tersebut,
narkotika di dalam negeri adalah UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. UU No. 9
Tahun 1976 menjadi pengganti dari undang-undang tentang obat bius warisan pemerintah
kolonial Belanda, yaitu Verdoovende Middelen Ordonantie 1927 (Stbl. 1927 No. 278 yo
No. 536) yang mengatur peredaran, perdagangan, dan penggunaan obat bius.
Dealam sidang khusus ke-17 pada bulan Pebruari 1990 Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) mencanangkan tahun 1991-2000 sebagai The United Nations Decade
Againts Drug Abuse dengan membentuk The United Nations Drug Control Programme
(UNDCP). Badan ini secara khusus bertugas untuk melakukan koordinasi atas semua
anggota PBB. Dalam rangka penanggulangan tindak pidana narkotika yang bersifat
transnasional, PBB menyelenggarakan Kongres VIII tentang Prevention of Crime and the
92
ketiga-belas dari kongres ini menyatakan bahwa untuk menanggulangi kejahatan
(b) program pembinaan pelaku tindak pidana narkotika dengan memilah antara
Tenggara disepakati dalam ESEAN Drugs Experts Meeting on the Prevention and
Control of Drug Abuse yang diselenggarakan pada tanggal 23-26 Oktober 1972 di
Manila. Tindak lanjut dari pertemuan di atas adalah ASEAN Declaration of Principles to
Combat the Abuse of Narcotic Drugs, yang ditanda tangani oleh para Menteri Luar
Negeri negara-negara onggota ASEAN pada tahun 1976. Isi dari deklarasi regional
narkotika.
internasional.
93
Dalam rangka ini kemudian dibentuk The ASEAN Senior Officials on Drugs
dan satu Forum Kerja Sama Kepolisian antar negara-negara ASEAN (ASEANAPOL)
yang antara lain bertugas untuk menangani tindak pidana narkotika transnasional di
wilayah ASEAN. Selain iru, di tingkat negara-negara ASEAN juga dibentuk Narcotic
pembinaan, edukasi preventif dan informasi, dan kelompok kerja di bidang penelitian.
Pada tahun 1992 dicetuskan Deklarasi Singapura dalam ASEAN Summit IV yang
kejahatan narkotika dan lalu-lintas perdagangan narkotika ilegal pada tingkatan nasional,
Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dan yang terbaru adalah dengan
dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 yang merupakan
Pasal 45
Pasal 47
(1) Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat :
a. Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan
dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut
terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau
94
b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu
Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana
Narkotika
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, diperhitungkan sebagai masa menjalani
hukuman.
menghimbau bagi para hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika untuk
tahanan kasus narkoba adalah termasuk kategori pemakai atau bahkan sebagai korban
yang jika dilihat dari aspek kesehatan mereka sesungguhnya orang-orang yang menderita
sakit, oleh karena itu memenjarakan yang bersangkutan bukanlah langkah yang tepat
Dilihat dari segi kondisi Lembaga Pemasyarakatan pada saat ini tidak
mendukung, karena dampak negatif keterpengaruhan oleh perilaku kriminal lainnya dapat
narkotikaiakan semakin berat.130 Surat Edatan Mahkamah Agung (SEMA) yaitu suatu
129
Lihat butir 1 SEMA No. 07 Tahun 2009
130
Lihat butir 2 SEMA No. 07 Tahun 2009
95
bentuk edaran dari Mahkamah Agung yang berupa himbauan Mahkamah Agung
Nomor 22 Tahun 1997 hanya dapat dijatuhkan pada klasifikasi tindak pidana seperti:
tangan;
2. Pada saat tertangkap tangan sesuai butir di atas, ditemukan barang bukti
hakim;
131
Henry, Pandapotan Panggabean, 2005, Fungsi Mahkamah Agung Bersifat Pengaturan,
Liberty, Yogyakarta, hal. 2.
96
a. Bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan
makmur, yang merata materiil dan spiritual, berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kualitas
sumber daya manusia Indonesia sebagai salah satu modal pembangunan
nasional perlu dipelihara dan ditingkatkan secara terus-menerus, termasuk
derajat kesehatannya;
b. Bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia
Indonesia, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan
upaya peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara
lain dengan mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang
sangat dibutuhkan sebagai obat serta melakukan pencegahan dan peredaran
gelap narkotika dan prekusor narkotika;
c. Bahwa narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat
di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan di satu sisi lain, dapat pula menimbulkan ketergantungan
yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa
pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama;
d. Bahwa mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan,
mengedarkan, dan/atau menggunakan narkotika, tanpa pengendalian dan
pengawasan yang ketat dan saksama, serta bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan merupakan tindak pidana narkotika karena sangat
merugikan dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan
manusia, masyarakat, bangsa, dan negara serta ketahanan nasional
Indonesia;
e. Bahwa tindak pidana narkotika telah bersifat trans-nasional yang dilakukan
dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih,
didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak
menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang
sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara,
sehingga Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang
berkembang untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana
tersebut;
ketentuan, yang membahas tentang etimologi dan terminologi sekitar pengertian dan
97
Dasar, Asas, dan Tujuan pengaturan narkotika, yang berdasarkan Pancasila dan UUD
ilmiah dan kepastian hukum. Sedangkan tujuan undang-undang narkotika ini, adalah:
penyalahgunaan narkitika;
Dalam Undang–undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah diatur secara
suatu kewajiban yang harus diberikan kepada tidak hanya mereka yang sebagai pecandu
narkotika tetapi juga kepada mereka yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika.
pengobatan dan rehabilitasi bagian kedua. Dengan adanya pengkhususan bab yang
mengatur tentang rehabilitasi ini kita dapat melihat bahwa pemerintah telah menekankan
98
Dalam Undang–undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika pengaturan yang
menekankan kepada hakim untuk menjatuhkan rehabilitasi terdapat dalam Pasal 103
Dalam Pasal 103 ayat (1) ini, kata „dapat‟ menyatakan untuk menempatkan para
pengguna narkotika baik yang bersalah maupun yang tidak bersalah untuk menjalani
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi. Dan hakim juga diberikan wewenang
untuk menetapkan seorang pecandu yang tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana
Selain itu, penjatuhan rehabilitasi ini juga diatur dalam BAB XV Ketentuan Pidana Pasal
132
Kurniawan, 2010, “Mengkritisi dan Memperbandingan UU No.35 / 2009 tentang Narkotika
dengan Undang – undang Terdahulu”, available from : URL :
http://my.opera.com/Kurniawanwp97/blog/2010/07/12/mengkritisi-dan-memperbandingan-uu-no-35-2009-
tentang-narkotika-dengan-undang.htm, diakses tanggal 7 Agustus 2010
99
b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan
c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim
wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54,
Pasal 55 dan Pasal 103.
(3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika,
Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial.
Melihat ketentuan pidana Pasal 127 ayat (2) dan (3), dapat disimpulkan bahwa
hakim dalam memutus perkara yang disebutkan dalam Pasal 127 ayat (1) diwajibkan
nantinya para pecandu dan korban penyalah guna narkotika dapat di rehabilitasi baik
rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial dan tidak lagi dipidana penjara maupun
pidana kurungan karena rehabilitasi tersebut dihitung sebagai masa menjalani hukuman.
masih sangat jarang dilakukan. Masih jarang atau sedikitnya penjatuhan rehabilitasi
untuk mereka yang menjadi pecandu maupun korban penyalahgunaan narkotika ini
dikarenakan masih terdapat beberapa hambatan yaitu hambatan dari pemerintah dan
hambatan dari segi hukum. Hambatan–hambatan yang berasal dari pemerintah ini oleh
1. Belum ada ditetapkannya tempat khusus bagi para pecandu maupun korban–
100
2. Masalah biaya rehabilitasi bagi terpidana kasus penyalahgunaan narkotika.
Dari paparan diatas, dapat dijelaskan bahwa hambatan tentang belum adanya
tempat khusus untuk para pecandu maupun korban penyalah guna narkotika di Denpasar
karena dalam hal penanganan rehabilitasi ini masih meminjam tempat–tempat medis
seperti Rumah Sakit Sanglah yaitu Klinik Rumatan Methadon Sandat dan Rumah Sakit
Jiwa Bangli. Ke dua tempat ini bukanlah tempat khusus untuk menangani masalah
itu sendiri, hakim memandang bahwa anggaran yang dimiliki oleh negara untuk
membiayai pengobatan rehabilitasi bagi para terpidana masih sangat minim. Pandangan
hakim ini diperkuat dengan pidato Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri pada seminar
yang diadakan dalam rangka Hari Anti Narkotika Internasional 2010 yang mengatakan
bahwa anggaran yang dibutuhkan untuk merehabilitasi lebih dari tiga juta penderita
kecanduan narkoba di Indonesia sekitar Rp100-Rp150 miliar, akan tetapi jumlah dana
yang ada hanya sekitar Rp30-an miliar 133. Dan pernyataan tersebut juga dibenarkan oleh
dr. I Made Oka Semadi,Sp.K.J. (dalam wawancara tanggal 4 September 2012 di Rumah
Sakit Bayangkara Tingkat 3 Trijata Polda Bali), yang mengatakan ”Untuk seorang
pecandu ringan dan tanpa adanya komplikasi medis saja, dalam waktu 1 (satu) minggu
perawatan akan menghabiskan biaya sekitar Rp 4,5 juta dan akan jauh lebih mahal lagi
apabila seorang pecandu sudah mengalami komplikasi medis seperti sakit jantung, TBC,
133
Yoyoh Yusroh, 2010, “Rehabilitasi Penderita Narkoba Butuh Rp 150 Miliar”, available from :
URL : http://facebook.com/yoyoh_yusroh/rehabilitasi-penderita-narkoba-butuhalhtm, diakses tanggal 7
September 2010,
101
HIV / AIDS, karena pengobatan rehabilitasi ini akan membutuhkan lebih banyak macam
Untuk masalah belum adanya panti rehabilitasi yang ditunjuk oleh pemerintah ini
rehabilitasi secara jelas oleh pemerintah, dapat menimbulkan kebingungan pada para
terpidana tersebut apabila diputus untuk melakukan rehabilitasi. Karena hakim tidak
mengetahui secara pasti panti–panti rehabilitasi mana saja yang dapat ditunjuk untuk
laboratorium kriminalistik.
laboratorium kriminalistik ini juga dapat membuat hakim semakin berfikir untuk
suatu keadaan dimana seorang terdakwa yang mengaku sebagai korban dari penyalah
guna narkotika dan dibenarkan juga dengan keterangan dari saksi, akan tetapi
berdasarkan hasil tes laboratorium kriminalistik, menyatakan bahwa terdakwa ini baik
102
Dalam hal eksekusi, hakim juga harus memikirkan apakah nantinya terdakwa
rehabilitasi yang mahal dan dengan anggaran dari pemerintah yang sangat minim,
menimbulkan putusan agar terdakwa wajib menjalani rehabilitasi dengan biaya sendiri,
padahal ada kemungkinan si terdakwa berasal dari golongan dengan status sosial yang
rendah sehingga tidak dapat menjalankan pidana tersebut. Sehingga, apabila putusan
hakim pada akhirnya tidak dapat terlaksana, maka akan menimbulkan kepastian hukum
dialami oleh para hakim dalam menjatuhkan pidana rehabilitasi masih sangat banyak.
Dari kelima hambatan yang ada, hambatan yang paling utama adalah masalah biaya
pemerintah harus memiliki dana ekstra untuk membiayai semua putusan rehabilitasi bagi
rehabilitasi di tanggung oleh terpidana, hal tersebut dapat memberatkan terpidana karena
para terpidana berasal dari status sosial yang berbeda–beda. Sehingga menyebabkan tidak
ditunjuknya suatu tempat rehabilitasi oleh pemerintah tersebut, hakim untuk saat ini dapat
menitipkan terpidana ke Rumah Sakit milik pemerintah yang memiliki tempat rehabilitasi
seperti Rumah Sakit Jiwa Bangli dan Rumah Sakit Sanglah untuk melaksanakan
103
dengan segera membangun suatu panti rehabilitasi khusus untuk para terpidana kasus
melakukan rehabilitasi atas kesadaran sendiri dan mereka yang melaksanakan rehabilitasi
berdasarkan putusan hakim. Karena putusan pengadilan yang menyatakan bahwa mereka
menjalani rehabilitasi ini bukan berarti mereka bebas dari jerat hukum, melainkan mereka
tidak lagi menjadi seorang pengguna sehingga nantinya mereka dapat menjadi orang
Untuk permasalahan yang timbul dari segi hukum, dapat diperbaiki dengan cara
hakim lebih bersikap proaktif dalam menemukan bukti–bukti yang dapat menyatakan
bahwa seorang terdakwa benar sebagai korban dari penyalahgunaan narkotika, sehingga
pidana rehabilitasi ini tidak dijadikan suatu celah untuk menghindari pidana penjara.
104
BAB IV
Sanksi dalam hukum pidana terdiri atas pidana (straf) dan tindakan (maatregel).
sedangkan pidana bertitik berat pada pengertian sanksi kepada pelaku suatu perbuatan.
Akan tetapi secara teori sukar dibedakan dengan cara demikian karena pidana pun sering
sanksi yang berada di luar Pasal 10 KUHP bukanlah pidana. Hukuman administratif
misalnya bukanlah pidana dalam arti hukum pidana. Begitu pula tindakan bukanlah
pidana walaupun berada di dalam hukum pidana. Perbedaan tindakan dengan pidana agak
samar karena tindakan pun bersifat merampas kemerdekaan, misalnya memasukkan anak
di bawah umur ke pendidikan paksa, memasukkan orang tidak waras ke rumah sakit jiwa.
Jenis tindakan yang lain ialah mengembalikan terdakwa kepada orang tuanya.
Tindakan di dalam KUHP terhadap anak di bawah umur ada dua kemungkinan :
Di Nederland dikenal suatu jenis tindakan baru yang disebut ontrekking aan het
verkeer (penarikan dari peredaran) yang disebut dalam Pasal 35b WvS Netherland.
105
Yang menyatakan bahwa dengan putusan hakim, suatu denda yang telah disita dapat
hukum pidana modern pada gilirannya berorientasi pada pelaku dan perbuatan (daad-
dader strafrecht). Jenis sanksi yang diterapkan tidak hanya meliputi sanksi pidana, tetapi
134
Barda Nawawi Arief. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti. .
Bandung, Hal. 43. (Selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief VIII )
106
juga tindakan. Pengakuan tentang kesetaraan antara sanksi pidana dan tindakan inilah
merupakan hakikat asasi atau ide dasar dari konsep double track system.135
Double track system adalah kedua-duanya yakni sanksi pidana dan tindakan.
Double track system tidak sepenuhnya memakai satu di antara dua jenis sanksi itu. Sistem
dua jalur ini menempatkan dua jenis sanksi tersebut dalam kedudukan yang setara.
Penekanan pada kesetaraan sanksi pidana dan tindakan dalam kerangka double track
meski cara ini memiliki keistimewaan dari segi proses resosialisasi pelaku, sehingga
diharapkan mampu memulihkan kualitas sosial dan moral seseorang agar dapat
berintegrasi lagi dalam masyarakat, 137 namun terbukti kurang efektif memperbaiki
seorang penjahat karena dianggap terlalu memanjakannya. Atas kesadaran itulah maka
pembinaan sama-sama diakomodasi dalam sistem hukum pidana. Inilah ide dasar double
track system dituntut adanya kesetaraan antara sanksi pidana dan saksi tindakan.
memaksimalkan penggunaan kedua jenis sanksi tersebut secara tepat dan proporsional.
135
Sholehuddin, M. 2004. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System
& Implementasinya. Raja Grafindo Persada, hal. 28
136
Ibid.
137
Yong Ohoitimur. 1997. Teori Etika Tentang Hukuman Legal. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta, hal. 41
107
Perbedaan sanksi pidana dengan tindakan sering agak sama, namun di tingkat ide
dasar keduanya memiliki perbedaan fundamental. Keduanya bersumber dari ide dasar
berbeda. Sanksi pidana bersumber pada ide dasar “mengapa diadakan pemidanaan?”,
sedangkan tindakan bertolak dari ide dasar “untuk apa diadakan pemidanaan itu?” 138
Dengan kata lain, sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu
tersebut. Jika fokus sanksi pidana tertuju pada perbuatan salah seorang lewat pengenaan
penderitaan (agar yang bersangkutan menjadi jera) maka fokus tindakan terarah pada
upaya memberi pertolongan agar dia berubah. 139 Jelaslah bahwa sanksi pidana lebih
Berdasarkan tujuannya sanksi pidana dan tindakan juga bertolak dari ide dasar
yang berbeda. Sanksi pidana bertujuan memberi penderitaan istimewa (bijzonder leed)
pengenaan penderitaan terhadap pelaku, sanksi pidana juga merupakan bentuk pernyataan
sanksi pidana dengan tindakan terletak pada ada tidaknya unsur pencelaan, bukan pada
ada tidaknya unsur penderitaan. 141 Tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik. 142
138
Sholehuddin, M., Op. Cit, hal. 32
139
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit. hal. 4
140
Sudarto (II), Op.cit,, hal. 7
141
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hal. 5
142
Utrecht, 1987, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, hal. 360.
108
Istilah Rehabilitasi sebagai bentuk pemulihan terhadap korban penyalahgunaan
terutama yang menyangkut dengan hak pemulihan korban, maka penulis berpendapat
untuk tetap mempergunakan istilah Rehabilitasi. Dengan prinsip utama bahwa rehabilitasi
tersebut adalah dalam upaya melakukan pemulihan terhadap korban secara komprehensif
3. bahwa istilah rehabilitasi adalah istilah yang sudah umum digunakan bila
4. Bahwa istilah rehabilitasi yang digunakan sebagai salah satu hak pemulihan
dari definisi yang ada, penulis tidak menemukan indikasi pelemahan hak-hak
korban ataupun penurunan derajat korban sebagai manusia. Justru sebaliknya pengertian
Rehabilitasi yang ada secara substansi adalah dalam upaya menjunjung harkat dan
Pasal 127 ayat (3) menentukan: Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan
narkotika, Penyalah guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi
109
sosial. Sedangkan yang dimaksud dengan korban penyalahgunaan narkotika adalah
54). Pengertian „tidak sengaja” ini memang membingungkan dalam KUHP sendiri
terminologi “tidak sengaja” tidak ditemukan yang ada adalah “culpa” atau “lalai”.
Culpa atau lalai tentulah berbeda dengan tidak sengaja, karena culpa adalah kurang
“kesalahan pada umumnya”, tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti
teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat
seperti kesengajaan. Untuk itu tidak sengaja bukan berarti lawan dari sengaja. Karena
tidak tinggi bukan berarti tinggi, karena ada antara tinggi dan tidak tinggi atau
kebalikan dari sengaja, hal ini berarti tidak sengaja haruslah diartikan:
keinsyafan kemungkinan.
Berkaitan dengan ketiga rumusan di atas, maka yang paling relevan anti tidak
sengaja dalam penjelasan Pasal 54 ini adalah tidak sengaja dalam arti maksud atau
dan/atau diancam.
Dibujuk tentulah mengacu pada pengertian dalam Pasal 55 KUHP ayat (1) ke-2.
110
ayat (1) ke-2 KUHP, yaitu adanya pemberian, kesanggupan, penyalahgunaan
kekuasaan atau martabat, dengan paksaan, ancaman, atau penipuan, atau dengan
digunakan, sehingga berhasil dibujuk juga sama. Dalam KUHP baik yang membujuk
maupun dibujuk dapat dipidana, tetapi ternyata dalam ketentuan ini apabila dapat
maka tidak dipidana namun demikian tetap wajib menjalani rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial.
penipuan di sini adalah adanya rangkaian kebohongan dengan tujuan yang jelas.
yang saling berkaitan antara kebohongan yang satu dengan kebohongaan lainnya.
* “dipaksa, dan/atau diancam” paksaan dapat berupa paksaan fisik maupun psikis,
demikian juga ancaman dapat berupa ancaman fisik maupun ancaman psikis.
Paksaan fisik dapat berupa dipegang dengan kuat serta disuruh untuk melakukan
Prodjodikoro sebagai sifat memaksa yang tidak mutlak dimana “sifat memaksa
yang tidak mutlak adalah bahwa dari seseorang manusia tidak dapat diharapkan,
111
kepentingannya atau kepentingan orang lain atau kepentingan umum akan
dirugikan”.
Mengingat tugas Jaksa Penuntut Umum adalah melakukan penuntutan dan dirasa
sangat aneh apabila disatu sisi melakukan penuntutan di sisi lain melakukan tugas
sebaliknya, untuk itu kalimat. Dalam hal penyalah guna sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, maka
sebagai korban penyalahgunaan narkotika, hal ini sangat logis karena dalam rangka
membela kepentingannya.
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, untuk itu dapat disimpulkan yang dapat
a. Pecandu narkotika baik terbukti maupun tidak terbukti melakukan tindak pidana
narkotika.
112
4.3 Double Track System dalam Perumusan Sanksi terhadap Tindak Pidana
Penyalahgunaan Narkotika
Berbicara tentang ide dasar double track system, bermakna berbicara tentang
gagasan dasar mengenai sistem sanksi yang menjadi dasar kebijakan dan penggunaan
sanksi dalam hukum pidana. Dalam hal ini, sistem dua jalur mengenai sanksi dalam
hukum pidana. Literatur yang ada tidak pernah memberikan penegasan eksplisit soal
gagasan double track system, namun dilihat dari latar belakang kemunculannya dapat
disimpulkan ide dasar double track system tersebut adalah kesetaraan antara sanksi
Sehubungan dengan perbedaan antara sanksi pidana dan tindakan, serta batasan
antara keduanya yang dinilai kabur, maka perlu dipaparkan pendapat para sarjana
1. Sudarto:
syarat-syarat tertentu. Sanksi dalam hukum pidana modern, juga meliputi apa
2. Andi Hamzah:
143
Sudarto, 1973, Hukum Pidana Jilid I A, Badan Penyediaan Kuliah FHAL UNDIP, Semarang,
hal.7 (Selanjutnya disebut Sudarto II)
113
Meskipun perbedaan sanksi pidana dan tindakan menurut Andi Hamzah agak
samar, tapi dia memberi penjelasan singkat bahwa sanksi pidana bertitik berat
3. Utrecht:
Secara teoritis, Utrecht melihat perbedaan sanksi pidana dan tindakan dari
pendapat Pompe, Utrecht menjelaskan lebih lanjut bahwa tindakan itu bila
Ide kesetaraan ini dapat ditelusuri lewat perkembangan yang terjadi dalam sistem
sanksi hukum pidana dari aliran klasik ke aliran moderen neo klasik 146
ide individualisasi pidana, sebagai konsekuensi dari ide individualisasi pidana, maka
sistem pemidanaan dalam hukum pidana modern juga berorientasi pada pelaku dan
144
Andi Hamzah, 1986, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Dari Retribusi ke Reformasi,
PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal.53.
145
Utrecht,1987, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, hal.360
146
M. Sholehuddin, Op. cit, hal. 24.
114
perbuatan (daad-dader straafrecht) sehingga jenis sanksi yang ditetapkan tidak hanya
meliputi sanksi pidana, tetapi juga tindakan yang relative lebih bermuatan pendidikan
daripada penderitaan.
Aliran klasik pada prinsipnya hanya mengatur single track system, yakni sanksi
tunggal berupa jenis sanksi pidana (punishment). Berkaitan dengan hal tersebut, Sudarto
menyatakan bahwa aliran klasik tentang pidana bersifat retributif dan represif terhadap
tindak pidana. Aliran ini muncul pada abad XVIII yang berpaham indeterminisme
dan pemidanaan aliran klasik ini sangat menekankan terhadap perbuatan, bukan pada
pelakunya. 147
Pada bad XIX lahirlah aliran modern yang mencari sebab kejahatan dengan
menggunakan metode ilmu alam dan bermaksud untuk langsung mendekati atau
mempengaruhi penjahat secara positif sejauh dia masih dapat diperbaiki. Bertolak
belakang dengan paham aliran klasik, aliran modern memandang kebebasan kehendak
manusia banyak dipengaruhi oleh watak dan lingkungannya sehingga tidak dapat
dipersalahkan dan dipidana. Andaipun digunakan istilah pidana, menurut aliran modern
ini harus tetap diorientasikan pada sifat-sifat si pelaku. Karenanya, aliran ini bertitik tolak
147
Ibid. hal 25.
148
Ibid
115
Dalam perkembangannya kemudian, aliran neo klasik yang juga menitikberatkan
konsepsinya kepada kebebasan kehendak manusia telah berkembang selama abad XIX
tindak pidana (treatment). Aliran neo klasik menyatakan dengan tegas bahwa konsep
keadilan sosial berdasarkan hukum, tidak realistis dan bahkan tidak adil. Aliran ini
berpangkal dari aliran klasik yang dalam perkembangannya kemudian dipengaruhi aliran
modern. Ciri dari aliran neo klasik yang relevan dengan prinsip individualisasi pidana
yang dapat mempengaruhi pengetahuan dan niat seseorang pada waktu terjadinya
bagi pecandu narkotika yang dilakukan melalui fasilitas rehabilitasi merupakan salah satu
realisasi dari bentuk “treatment” bagi pelaku kejahatan yang merupakan pemikiran dari
aliran neo klasik149 Bermuara dari konsepsi kedua aliran hukum tersebut, lahirlah ide
149
Ibid
150
Ibid hal.26
116
c. Pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku; ini
pidana (jenis maupun berat ringannya sanksi) dan harus ada kemungkinan
Double track system adalah kedua-duanya, yakni sanksi pidana dan tindakan.
Double track system tidak sepenuhnya memakai satu diantara dua jenis sanksi itu. Sistem
dua jalur ini menetapkan dua jenis sanksi tersebut dalam kedudukan yang setara.
Penekanan pada kesetaraan sanksi pidana dan tindakan dalam kerangka double track
sanksi pidana) dan unsur pembinaan (lewat tindakan) sama-sama penting. Dari sudut
double track system, kesetaraan kedudukan sanksi pidana dan tindakan sangat bermanfaat
untuk memaksimalkan penggunaan kedua jenis sanksi tersebut secara tepat dan
proporsional.
Double track system merupakan system dua jalur mengenai sanksi dalam hukum
pidana, yakni jenis sanksi pidana dari satu pihak dan jenis tindakan di pihak lain.
151
Barda Nawawi Arief VIII, Op. cit., hal. 46
117
Keduanya bersumber dari ide yang berbeda. Sanksi pidana bersumber pada ide dasar:
“mengapa diadakan pemidanaan”. Sedangkan tindakan bertolak dari ide dasar: “untuk
apa diadakan pemidanaan itu”. Dengan kata lain, sanksi pidana sesungguhnya bersifat
reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap
pelaku perbuatan tersebut. Fokus sanksi pidana ditujukan pada perbuatan salah yang telah
jera. Fokus tindakan lebih terarah pada upaya memberi pertolongan pada pelaku agar ia
tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat dan pembinaan atau
perawatan si pelaku. Seperti dikatakan J.E. Jonkers, sanksi pidana dititikberatkan pada
pidana yang diterapkan untuk kejahatan yang dilakukan, sedangkan tindakan mempunyai
Berdasarkan hal tersebut diataslah double track system dalam perumusan sanksi
terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika adalah paling tepat, karena berdasarkan
tinjauan victimologi bahwa pecandu narkotika adalah sebagai self victimizing victims
sendiri. oleh karena itu, maka pecandu narkotika yang juga sebagai korban patut untuk
mendapat perlindungan. Namun, karena pecandu narkotika juga sebagai pelaku suatu
tindak pidana/kejahatan maka ia juga harus tetap dihukum, oleh karena hal inilah maka
152
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barakatullah, 2005, Politik Hukum Pidana, Kajian Kebijakan
Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 88
118
dikatakan bahwa double track system dalam perumusan sanksi terhadap tindak pidana
Jika ditinjau dari teori-teori pemidanaan, maka tindakan merupakan sanksi yang
masyarakat dari ancaman yang dapat merugikan kepentingan masyarakat itu., singkatnya,
sanksi pidana berorientasi pada ide pengenaan sanksi terhadap pelaku suatu perbuatan,
Sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pecandu narkotika sebagai self victimizing
victims adalah dalam bentuk menjalani masa hukuman dalam penjara, sedangkan
tindakan yang diberikan kepada pecandu narkotika sebagai korban adalah berupa
dan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah menganut double track
meskipun masih bersifat kebebasan bagi hakim dalam menjatuhkan vonis dalam
dalam hal memberikan tindakan. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat dan juga
memahami ketentuan pidana terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri
153
Barda Nawawi Arief (I), Op.cit hal. 5
119
Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum:
a. Menggunakan narkotika golongan I bagi diri sendiri, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
b. Menggunakan narkotika golongan II bagi diri sendiri, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.
c. Menggunakan narkotika golongan III bagi diri sendiri, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
Pasal 45
“Pecandu narkotika wajib menjalani pengobatan dan/atau perawatan”.
Pasal 47
(1) Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat:
a. Memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani
pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut
terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika; atau
b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani
pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut tidak
terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, diperhitungkan sebagai masa
menjalani hukuman.
Undang No. 35 Tahun 2009, ketentuan mengenai penyalahgunaan narkotika bagi diri
Pasal 127
(1) Setiap Penyalah Guna:
a. Narkotika golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun;
120
b. Narkotika golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun; dan
c. Narkotika golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun .
(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55,
dan Pasal 103.
(3) Dalam hal penyalah guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika,
penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial.
Pasal 103
(1) Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat:
a. memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu
Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana
Narkotika; atau
b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu
Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana
Narkotika.
(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa
menjalani hukuman.
yakni berupa sanksi pidana dan tindakan mengingat pelaku penyalahgunaan narkotika
memiliki posisi yang sedikit berbeda dengan pelaku tindak pidana lainnya. Di satu sisi ia
121
merupakan pelaku tindak pidana yang harus dihukum, namun di sisi lain merupakan
korban dari tindak pidana yang dilakukannya itu sendiri, sehingga perlu dilakukan suatu
pecandu narkotika tersebut, untuk menentukan apakah dalam menangani perkara pecandu
narkotika, hakim akan menerapkan ketentuan Pasal 127 (mengatur mengenai sanksi
“rehabilitasi”) adalah pada akhirnya bermuara kepada keyakinan hakim apakah pelaku
penyalahgunaan narkotika tersebut tepat untuk dikatakan sebagai pecandu yang harus
direhabilitasi atau lebih tepat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana penyalahgunaan
narkotika yang harus dipidana penjara adalah dengan berdasarkan hasil keterangan
dilakukan melalui fasilitas rehabilitasi dan yang tentunya berdasarkan ketentuan undang-
undang.
Rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika saat ini kian marak terdengar, hal
ini merupakan salah satu perjuangan yang dilakukan oleh LSM yaitu ikatan korban
122
NAPZA yang gencar menyuarakan hak para pecandu narkotika untuk dapat mendapatkan
dalam Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, namun hingga saat
ini implementasi penerapannya dirasakan masi sangat minim, dan bahkan hukum pidana
Masalah pidana dianggap merupakan suatu bidang yang tidak banyak diketahui,
sehingga pembahasan tentang ilmu hukum pidana yang menyoroti pidana pada umumnya
dan pidana penajra pada khususnya kurang mendapat perhatian. Selama ini yang banyak
dipersoalkan dalam ilmu hukum pidana terletak pada asas-asas hukum pidana yang
penggunaan sarana hukum pidana adalah upaya terakhir, mengenai hukum pidana
sebagai upaya terakhir dimaksudkan karena hukum pidana mempunya sanksi negatif
”... Yang membedakan hukum pidana dari hukum yang lain ialah sangki
berupa pidana yang diancamkan kepada pelanggaran normanya. Sanksinya
dalam hukum pidana ini adalah sanksi negatif, oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa hukum pidana merupukan sistem sanksi negatif. Disamping
itu mengngat sifat dari pidana itu, yang hendaknya baru diterapkan apabila
saran (upaya) lainnya tidak memadai maka dapt dikatakan pula bahwa
hukum pidana mempunyai sanksi subsidair”. 154
dalam hukum pidana itu adalah sanksinya yang berupa pidana, dengan adanya sanksi
154
Sudarto,1977,Hukum dan Hukum Pidana,Alumni, Bandung, hal.30 (Selanjutnya disebut
Sudarto IV)
123
tersebut, hukum pidana sebagai ultimum remidium, dimaksudkan untuk memperbaiki
tingkah laku manusia terutama penjahat, dalam hal ini Andi Zainal Abidin berpendapat :
”Bahwa yang membedakan antara hukuman pidana dan bidang hukum lain
adalah sanksi pidana yang merupakan pemberian ancaman penderitaan
dengan sengaja dan sering juga pengenaan penderitaan. Hal ini dilakukan
juga sekalipun tidak ada korban kejahatan. Perbedaan demikian menjadi
alasan untuk menganggap hukum pidana itu sebagai ultimum remidium,
yaitu upaya terakhir untuk memperbaiki tingkah laku manusia terutama
penjahat serta memberikan tekanan psikologis agar orang-orang tidak
melakukan kejahatan”.155
Dengan dikatakannya hukum pidana sebagai ultimum remidium atau upaya
terakhir untuk menanggulangi kejahatan maka sudah semestinya ada suatu tindakan lain
merupakan korabn dari peredaran gelap narkotika, dimana salah satu upaya yang dapat
Hukum pidana sebagai bagian hukum yang lain secara tegas tertulis oleh
Hukum pidana adalah bagian dari pada hukum yang berlaku di suatu negara yang
mengadakan dasar – dasar dan aturan – aturan untuk:
1. Menentukan perbuatan – perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang
siapa yang melanggar larangan tersebut;
2. Menentukan kapan dan dalam hal – hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan tersebut itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan;
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan
apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.156
155
Ibid
156
Moejatno, 2005, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta hal.4
124
Penerapan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika dapat dijadikan salah satu
Tujuan pidana menutut teori relatif adalah untuk mencaegah agar ketertiban di
dalam masyarakat tidak terganggu, dengan kata lain pidana yang dijatuhkan kepada si
ketertiban umum, pidana dijatuhkan bukan karena orang membuat kejahatan melainkan
Barda Nawawi Arif menyatakan bahwa hubungan antara penetapan sanksi pidana
dan tujuan pemidanaan adalah titik penting dalam menentukan strategi perencanaan
menentukan cara, sarana, atau tindakan yang akan digunakan. Kebijakan menetapkan
sanksi pidana apa yang dianggap paling baik untuk mencapai tujuan, setidak-tidaknya
157
Anonim, “Tujuan Pemidanaan”, available from URL:
http/www/hukumonline.com/tujuanpemidanaan, diakses tanggal 17 Agustus 2012
125
mendekati tujuan, tidak dapat dilepaskan dari persoalan pemilihan berbagai alternatif
sanksi. Masalah pemilihan berbagai alternatif untuk memperoleh pidana mana yang
dianggap paling baik, paling tepat, paling patut, atau efektif merupakan masalah yang
tidak mudah, dilihat dari sudut pandang politik kriminal, maka tidak terkendalikannya
perkembangan kriminalitas yang semakin meningkat justru dapat disebabkan oleh tidak
tepatnya jenis sanksi pidana yang dipilih dan diterapkan,dengan demikian kebijakan
Walaupun hukum pidana tetap banyak diterapkan dalam perkara narkotika namun
kejahatan akan penyalahgunaan narkotika tidak serta merta menurun, arti pentingnya
Untuk mencapai penegakan hukum dan mencapai tujuand ari pemidnaan itu
sendiri, maka rehabiltiasi terhadap pencandu narkotika harus diterapkan, karena pecandu
sebagai korban akan mendapat penanganan yang layak sehingga dirinya dapat sembuh
Barda Nawawi Arif menyatakan bahwa hubungan antara penetapan sanksi pidana
dan tujuan pemidanaan adalah titik penting dalam menentukan strategi perencanaan
menentukan cara, sarana atau tindakan yang akan digunakan, kebijakan menetapkan
sanksi pidana apa yang dianggap paling baik untuk mencapai tujuan, setidak-tidaknya
mendekati tujuan tidak lepas dari persoalan pemilihan alternatif sanksi, masalah
158
Barda Nawawi Arif II, Op.Cit, hal.27
126
pemilihan berbagai alternatif untuk memperoleh pidana mana yang paling tepat, paling
baik, paling patut, paling berhasil, atau paling efektif merupakan masalah yang tidak
mudah, dilihat dari sudut pandang kebijakan pidana maka untuk terkendalinya
perkembangan kriminalitas yang semakin meningkat justru dapt disebabkan oleh tidak
tepatnya jenis sanksi pidana yang dipilih atau ditetapkan, dengan demikian kebijakan
narkotika namun kejahatan akan penyalahgunaan narkotika tidak serta merta menurun.
Untuk mencapai penegakan hukum dan mencapai tujuan dari pemidanaan itu
penanganan yang layak sehingga dirinya dapat sembuh dan terbebas dari ketergantungan
terhadap narkotika.
narkotika sangatlah tepat untuk dipergunakan daripada pendekatan retributif pada sistem
penjatuhan rehabilitasi ini didasarkan pada korban adalah orang yang sakit sehingga
159
Barda Nawawi Arif III Op.Cit,hal.27
127
4.4 Ketentuan Rehabilitasi dalam Undang – Undang No.35 Tahun 2009
ayat (1) undang – undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika, yang menyatakan :
Pasal 127
(1) Setiap Penyalah Guna:
a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun;
b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun; dan
c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun
Undang-undang tersebut adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak dan
melawan hukum, penyalahguna disini diawali dengan kata ”setiap”, maka semua orang
tanpa terkecuali sebagai pengguna narkotika termasuk pecandu narkotika dan korban
128
penyalahgunaan narkotika dapat diancam dengan ketentuan Pasal 127, hal ini karena
pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan
dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun secara psikis
(Pasal 1 angka 13), sedangkan korban penyalahgunaan narkotika adalah seseorang yang
dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika (penjelasan Pasal 54). Dalam hal ini
ketentuan dimaksud tidak hanya untuk orang yang sedang menggunakan narkotika dalam
arti tertangkap tangan namun dapat juga dijatuhkan terhadap orang yang menggunakan
Bagi penyalahguna narkotika yang tertangkap tangan tentunya akan lebih mudah
dan tidak terdapat persoalan karena dengan tertangkap tangannya seseorang yang sedang
sehingga meskipun tidak ditemukan barang bukti berupa narkotika, namun adanya tes
waktu yang lampau,hal ini tentu lebih sulit karena dalam hal dilakukan uji laboratorium
tentunya tidak terbukti positif, namun dapat melalu kesaksian yang membenarkan bahwa
Mengingat untuk dapat menentukan suatu jenis barang atau zat narkotika berikut
golongannya memerlukan keahlian yang khusus, tentunya akan sangat sulit tanpa adanya
barang bukti untuk dapat menentukan barang/zat yang dikonsumsi merupakan narkotika
atau bukan, sehingga praktis hampir dapat dipastikan tidak mungkin seseorang dapat
diancam dengan pidana sebagaimana bunyi Pasal 127 meskipun banyak saksi yang
129
mengetahui orang tersebut menggunakan narkotika untuk dirinya sendiri pada masa
lampau.
penyalahguna narkotika yang dapat dikenakan Pasal 127, untuk menjawab pertanyaan
tersebut harus ditentukan terlebih dahulu bahwa orang tersebut kedapatan ”membeli,
menerima, menyimpan, menguasai dan membawa,” adalah benar untuk tujuan digunakan
bagi dirinya sendiri, proses ini sangat penting untuk dapat menentukan ketentuan pidana
yang tepat akan dijatuhkan kepada orang tersebut, selanjutnya untuk dapat digolongkan
sebagai penyalahguna atau tidak (terlibat peredaran narkotika) adalah melalui jumlah
barang bukti yang ditemukan, berdasarkan isi Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4
tahun 2010 tanggal 7 April 2010 setidak-tidaknya dapat dijadikan acuan untuk
apabila :
a. Pada saat ditangkap ditemukan barng bukti pemakaian 1 (satu) hari dengan
perincian antara lain sebagai berikut:
1. Kelompok metamphetamine (shabu) : 1 gram
2. Kelompok MDMA (ekstasy) : 2,4 gram = 8 butir
3. Kelompok heroin : 1,8 gram
4. Kelompok kokain : 1,8 gram
5. Kelompok ganja : 5 gram
6. Daun koka : 5 gram
7. Meskalin : 5 gram
8. Kelompok psilosbybin : 3 gram
9. Kelompok LSD : 2 gram
10. Kelompok PCP : 3 gram
11. Kelompok Fetanil : 1 gram
12. Kelompok Metadon : 1,5 gram
13. Kelompok Morfin : 1,8 gram
14. Kelompok Petidin : 0,98 gram
15. Kelompok Kodein : 72 gram
16. Kelompok Bufrenofin : 32 gram
130
b. Tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan terlibat dalam peredaran gelap
narkotika.
Oleh karena itu jika ketentuan-ketentuan diatas terpenuhi maka dapat dikenakan
Pasal 127, mengenai ancaman pidana setiap penyalahguna bagi dirinya sendiri ditentukan
apabila terhadap narkotika golongan I dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun, terhadap narkotika golongan II dipidana dengan penjara paling lama 2
(dua) tahun dan terhadap narkotika golongan III dipidana dengan pidana penjara paling
Jika uraian diatas berkaitan dengan penyalahguna narkotika bagi dirinya sendiri,
narkotika dan koraban penyalahgunaan narkotika perlu diperhatikan ketentuan apsal 127
ayat (2) yang berisi pedoman bagi hakim dalam menjatuhkan putusan wajib untuk
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55 dan Pasal
103.
Pasal 54
Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Pasal 55
(1) Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib
melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau
lembaga rehabilitasimedis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk
olehPemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atauperawatan melalui
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
131
(2) Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajibmelaporkan diri atau
dilaporkan oleh keluarganya kepadapusat kesehatan masyarakat, rumah sakit,
dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh
Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Pasal 103
(1) Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat:
a. memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan
dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut
terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau
b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu
Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana
Narkotika.
(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa
menjalani hukuman.
Bedasarkan ketentuan Pasal 54, Pasal 55 dan Pasal 103 dapat diketahui 3 (tiga)
kriteria yang wajib diperhatikan hakim dalam hal menjatuhkan putusan yang didasarkan
ketentuan Pasal 127 tersebut, yaitu apakah sebagai : a. Penyalahguna narkotika (dalam
narkotika.
ketentuan apabila narkotika tersebut narkotika golongan I dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun, terhadap narkotika golongan II dipidana dengan penjara
paling lama 2 (dua) tahun dan terhadap narkotika golongan III dipidana dengan pidana
132
penjara paling lama III (tiga) tahun sesuai dengan ketentuan diatas, sementara untuk
Kata ”dapat” dalam Pasal 103 seolah-olah putusan yang diambil diserahkan
kepada hakim apakah pecandu narkotika yang terbukti melakukan tindak pidana oleh
hakim akan dijatuhkan pidana atau akan memerintahkan yang bersangkutan untuk
menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi. Dari pada itu selain
dengan memperhatikan ketentuan dalam SEMA 4 tahun 2010 tersebut juga mewajibkan
hakim untuk :
a. Terdakwa pada saat ditangkap oleh penyidik polri tau penyidik BNN dalam
kondisi tertangkap tangan
b. Surat uji labolatorium positif menggunakan narkotika bedasarkan permintaan
penyidik
c. Perlu surat keterangan dari dokter jiwa atau psikiater pemerintah yang
ditunjuk oleh hakim.
Ditegaskan dalam SEMA No. 4 Tahun 2010 tersebut bahwa hakim dalam
terdakwa, majelis hakim harus menunjuk secara tegas dan jelas tempat rehabiltiasi yang
melalui rehabiltiasi, namun demikian mengingat kembali ketentuan Pasal 54, menyatakan
medis dan rehabiltiasi sosial , maka konsekuensinya harus dapat dibuktikan terlebih
dahulu terdakwa tersebut merupakan pecandu narkotika atau tidak, serta pada saat
133
ditangkap apakah memenuhi ketentuan Pasal 127 serta SEMA no.4 tahun 2010, karena
pengedar.
kondisi pelaku penyalahgunaan narkotika “pecandu” yang lebih tepat dijatuhi vonis untuk
Agung Nomor 07 Tahun 2009 dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 adalah berdasarkan Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang lebih fokus ataupun condong menganggap pecandu
Sebagai bagian dari kebijakan hukum pidana, maka pembaharuan hukum pidana
pada hakikatnya bertujuan untuk menjadikan hukum pidana lebih baik sesuai dengan
134
nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Dalam hukum Indonesia, pembaharuan hukum
pidana dilakukan agar hukum pidana yang berlaku sesuai dengan nilai-nilai masyarakat
di Indonesia.
dikemukakan pandangan seorang pakar hukum pidana yaitu Prof. Barda Nawawi Arief
makna suatu upaya melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai
dengan nilai-nilai sentral sosio politik, sosio fllosofik, dan cultural masyarakat Indonesia
Indonesia”.160
Lebih lanjut dikatakan, bahwa pembaharuan hukum pidana (penal reform) harus
hukum pidana merupakan bagian dari suatu kebijakan atau “policy” (yaitu bagian dari
politik hukum/penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal, dan politik
sosial).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa makna dan hakikat
160
Barda Nawawi Arief II, Op.cit, hal.30
161
Ibid., hal. 31-32
135
b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada
hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat
(khususnya upaya penanggulangan kejahatan);
c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum
pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui
substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan
penegakan hukum.
2. Dilihat dari Pendekatan Nilai:
Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan
peninjauan dan penilaian kembali (reorientasi dan reevaluasi) nilai-nilai sosio
politik, sosio fllosofik dan sosio cultural yang melandasi dan memberi isi
terhdap: muatan normatif dan substantif hukum pidana yang.dicita-citakan.
menggali nilai-nilai dalam masyarakat untuk diterapkan dalam hukum pidana. Dengan
kata lain, pembaharuan hukum pidana pada dasarnya mempakan upaya untuk
menserasikan hukum pidana yang sedang berlaku dengan nilai-nilai yang ada di dalam
dapat menjelmakan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat, sehingga efektif di dalam
penerapannya.
perubahan kuat dalam memandang para penvalahguna narkotika yang tidak lagi dilihat
sebagai pelaku kriminal, namun sebagai korban atau pasien yang harus diberi empati. 162
Apabila seorang pecandu narkotika telah divonis bersalah oleh hakim atas tindak pidana
162
Dani Krisnawaty dan Eddy O.S. Hiariejj, 2006, Bunga Ramgai Hukum Pidana Khusus Pena
Pundi Aksara,. Jakarta, hal. 99
136
agas terbebas dari kecanduannya, hakim dapat memutuskan untuk memerintahkan yang
narkotika tidak terbukti bersalah atas tuduhan metakukan tindak pidana narkotika, hakim
dan/atau perawatan.
Rancangan KUHP tahun 2008, dalam Pasal 110 juga telah mengatur mengenai
RUU KUHP tahun 2008 dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 adalah di dalam
RUU KUHP tahun 2008 mengatur mengenai tindakan dapat dikenakan kepada pembuat
RUU KUHP mendasarkan diri pada pemikiran Aliran Neo-Klasik yang menjaga
(orang/batiniah/sikap batin). Aliran ini berkembang pada abad ke-19 yang memusatkan
perhatiannya tidak hanya pada perbuatan atau tindak pidana yang terjadi, tetapi juga
137
Pemikiran mendasar lain yang mempengaruhi penyusunan RUU KUHP adalah
berkembang setelah perang dunia II, yang:menaruh perhatian besar pada perlakuan yang
dari kejahatan yang dilakukannya sendiri. oleh sebab itu, yang paling tepat dalam hakim
menjatuhkan vonis dalam perkara pecandu narkotika adalah dengan menjatuhkan vonis
rehabilitasi. Sebab pecandu narkotika pada hakikatnya merupakan korban dari suatu
kejahatan yang perlu mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan, dan oleh karena ia
merupakan pihak yang juga mengalami kerugian dari suatu kejahatan yakni kejahatan
penyalahgunaan narkotika.
138
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Dari uraian pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
Undang – Undang Nomor 35 tahun 2009 telah diatur dengan baik, hal ini dapat
dalam pasal 54, pasal 103 dan ketentuan pidana terdapat pada pasal 127.
SEMA no.4 Tahun 2010 yang merupakan acuan daripada hakim dalam
serta saksi di persidangan sesuai dengan acuan yang terdapat dalam SEMA no.
139
pecandu narkotika mengacu pada pasal 103dan pasal 127 Undang – Undang
5.2 Saran
Adapun saran umum yang dapat dikemukakan dalam penulisan tesis ini adalah
sebagai berikut :
2. Aparat penegak hukum, dalam hal ini penyidik, jaksa maupun hakim harus
dapat dengan tegas merumuskan status seorang pelaku tindak pidana narkotika
140