Anda di halaman 1dari 140

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Di dunia Internasional, perkembangan konvensi pengaturan masalah narkotika

secara Internasional telah dimulai dari The Haque Convention atau yang lebih dikenal

dengan sebutan Konvensi Candu 1912. Selanjutnya, telah muncul berbagai konvensi

yang mengatur masalah narkotika seperti Konvensi Jenewa tahun 1925 atau

The International Opium Convention of 1925, The 1936 Convention of the Suppression of

the Illicit Traffic in Dangerous Drugs, The Single Convention on Narcotic Drugs 1961,

the Psychotropic Substances Convention 1971, Convention Againts Illict Traffic in

Narcotic Drugs an Psycotropic Substances 1988. Perkembangan konvensi-konvensi

Internasional tentang narkotika tersebut, apabila dilihat lebih jauh membawa implikasi

adanya perubahan, baik yang mengatur masalah tujuan, maupun lingkup masalah obat-

obatan berbahaya. Aturan-aturan ini patutnya disepakati menjadi kebiasaan Internasional

sehingga dipatuhi oleh semua negara untuk kepentingan bangsa-bangsa yang beradab.

Sebagai suatu perangkat hukum Internasional, konvensi tersebut mengatur kerjasama

Internasional dalam pengendalian dan pengawasan produksi, peredaran dan penggunaan

narkotika, serta pemberantasan penyalahgunaannya yang dibatasi penggunaanya bagi

kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan.

Salah satu Konvensi Internasional yaitu Convention Againts Illict Traffic in

Narcotic Drugs an Psycotropic Substances 1988 menyatakan “Deeply concerned by the

magnitude of and rising trend in the illicit production of, demand for and traffic in

1
narcotic drugs and psychotropic substances, which pose a serious threat to the health

and welfare of human beings and adversely affect the economic, cultural and political

foundations of society”.

Terjemahan bebas penulis, bahwa Sangat memperihatinkan dengan besar dan tren

kenaikan dalam produksi gelap, permintaan dan lalu lintas narkotika dan psikotropika,

yang menimbulkan ancaman serius bagi kesehatan dan kesejahteraan manusia dan

mempengaruhi dasar-dasar ekonomi, budaya dan politik masyarakat.

Perkembangan penting dari konvensi-konvensi tersebut adalah adanya paradigma

dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang sebelumnya hanya sebagai pengatur

ataupun dalam pengawasan masalah narkotika, menjadi suatu langkah konkrit dan

hendak menunjukkan serta mempertegas perlunya tindakan konkrit dalam masalah

penanganan narkotika. Tindakan-tindakan PBB antara lain ditunjukan dengan melakukan

perubahan-perubahan badan internasional yang menangani masalah narkotika.

Perkembangan kualitas tindak pidana atau kejahatan, menunjukkan bahwa batas –

batas territorial antara salah satu Negara dengan Negara lain di dunia, baik dalam satu

kawasan maupun berbeda kawasan sudah semakin menghilang, beberapa tindak pidana

yang mengancam dan merugikan serta merusak tatanan kehidupan masyarakat

internasional, adapun beberapa diantaranya adalah agresi (aggression), kejahatan perang

(war crime), pembasmian etnis tertentu (genocide), pembajakan (piracy), penculikan

(kidnapping) dan narkotika (narcotic crime).1

1
Anonim, Aspek Sosiologis dan Yuridis tentang Narkotika, Kanwil dep.Hukum dan HAM,
Jakarta, hal. 1

2
Perkembangan modernisasi sosial ekonomi dan peradaban terbukti dapat membawa

kepada kondisi yang kurang menentu seperti adanya persaingan hidup yang lebih ketat,

hilangnya norma-norma ikatan keluarga, menipisnya kepercayaan agama, adanya

benturan-benturan sosial merupakan kesulitan zaman yang memberikan peluang

tumbuhnya kecondongan penyalahgunaan obat (narkotika, psikotropika dan alkohol),

Masalah penyalahgunaan narkoba merupakan masalah yang menjadi keprihatinan secara

nasional dan internasional di samping masalah HIV/AIDS, kekerasan(violence),

kemiskinan, pencemaran lingkungan, pemanasan global dan kelangkaan pangan, yang

dianggap sebagai penyakit-penyakit yang menjadi beban dunia.2

Generasi muda merupakan generasi penerus bangsa Indonesia yang diharapkan dapat

mewujudkan cita-cita bangsa. Cita-cita bangsa Indonesia telah tertuang dalam

Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alenia ke–4

yaitu “… melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,

memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan

ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan

sosial…”. Sehingga kemerdekaan bangsa Indonesia diharapkan dapat diisi dengan

melakukan pembangunan guna mencapai masyarakat adil dan makmur.

Untuk mewujudkan cita–cita yang diinginkan oleh bangsa melalui tangan generasi

mudanya pastilah banyak tantangan yang mesti dilalui. Tantangan–tantangan tersebut

timbul dikarenakan banyaknya pengaruh budaya luar yang mulai masuk ke Negara

Indonesia. Hal ini disebabkan oleh era globalisasi yang sepatutnya generasi muda dapat

menyaring budaya–budaya yang masuk tersebut. Pada kenyataannya terdapat beberapa

2
Badan Narkotika Nasional, 2010,Himpunan Hasil Penelitian Penyalahgunaan dan Peredaran
Gelap Narkotika Tahun 2009, Jakarta, hal. 111

3
budaya luar yang sekarang mulai merusak generasi muda seperti seks bebas, budaya

minuman beralkohol dan penggunaan obat–obatan terlarang seperti narkotika.

Salah satu penyebab rusaknya generasi muda adalah dengan adanya

penyalahgunaan terhadap narkotika. Narkotika berdasarkan Americana Ensyclopedia No.

19, halaman 705 : “narcotic = a drug that dulls the senses, relieves pains, induces sleep

and can produse addiction in varying degree (suatu obat, bahan zat yang merupakan

merusak pikiran, menghilangkan rasa sakit, menyebabkan tertidur dan dapat

menimbulkan kecanduan dalam berbagai tingkat)”3.

Pada awalnya narkotika digunakan untuk kepentingan manusia, khususnya untuk

pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman,

narkotika digunakan untuk hal – hal yang negatif. Di dunia kedokteran, narkotika banyak

digunakan khususnya dalam proses pembiusan sebelum pasien dioperasi, mengingat

kandungan di dalam narkotika terdapat zat yang mempengaruhi perasaan, pikiran serta

kesadaran pasien. Oleh karena itu, agar penggunaan narkotika dapat memberikan manfaat

bagi kehidupan manusia, dengan dosis yang tepat, narkotika dapat sebagai obat penenang

karena menimbulkan pengaruh pada susunan sentral syaraf yang membuat perasaan lebih

tenang. Selain itu narkotika juga dapat menghalau kegelisahan dan kecemasan. Sehingga

narkotika memiliki manfaat sebagai pengobatan, penelitian ilmu pengetahuan, terapi,

serta pengobatan medis. Akan tetapi pemakaian narkotika secara tidak wajar dan berlebih

dapat merusak hidup seseorang karena dapat menimbulkan lemah baik jasmani maupun

rohani, merusak mental dan moral, menimbulkan efek ketergantungan dan bila tidak

3
Algin Moenthe, tanpa tahun, Narkotika Alkohol Dan Masalahnya, CV. Taringan Bukit Mulya
Jakarta, hal.57

4
diobati dapat membahayakan jiwa orang tersebut karena dapat menyebabkan kematian.

Serta dalam lingkungan masyarakat dapat menimbulkan gangguan keamanan dan

ketertiban umum, gangguan dalam pembinaan masa depan bangsa yang baik, merusak

dan merugikan dalam bidang sosial dan budaya perekonomian, serta merongrong

ketahanan nasional.

Narkotika bersifat adiktif, yakni menimbulkan ketagihan serta ketergantungan.

Penggunanya cenderung akan menambahkan dosis pemakaian secara terus menerus yang

berakhirnya dengan kematian akibat over dosis. Menurut sifatnya narkotika dibedakan

menjadi berikut:

a. Depresan, yaitu menekan sistem sistem syaraf pusat dan mengurangi aktifitas
fungsional tubuh sehingga pemakai merasa tenang, bahkan bisa membuat
pemakai tidur dan tak sadarkan diri. Bila kelebihan dosis bisa mengakibatkan
kematian. Jenis narkotika depresan antara lain opioda, dan berbagai turunannya
seperti morphin dan heroin. Contoh yang populer sekarang adalah Putaw.
b. Stimulan, merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan kegairahan serta
kesadaran. Jenis stimulan: Kafein, Kokain, Amphetamin. Contoh yang sekarang
sering dipakai adalah Shabu-shabu dan Ekstasi.
c. Halusinogen, efek utamanya adalah mengubah daya persepsi atau
mengakibatkan halusinasi. Halusinogen kebanyakan berasal dari tanaman seperti
mescaline dari kaktus dan psilocybin dari jamur-jamuran. Selain itu ada juga
yang diramu di laboratorium seperti LSD. Yang paling banyak dipakai adalah
marijuana atau ganja. 4

Peredaran dan penyalahgunaan narkotika di Indonesia mulai muncul sejak tahun

1969 dengan jenis yang pertama kali banyak disalahgunakan adalah morphine dan ganja.

Dari tahun ke tahun jenis narkotika yang disalahgunakan semakin banyak, hal ini terlihat

4
Hari Sasangka, 2003, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, C.V. Mandar Maju,
Bandung, hal. 28

5
pada data perkembangan peredaran narkotika dan jenis zat atau obat yang banyak beredar

di pasaran :

1. Tahun 1969 – 1973 : Jenis yang banyak disalahgunakan adalah morphine dan
ganja.
2. Tahun 1973 – 1976 : Jenis yang banyak disalahgunakan adalah morphine, ganja,
barbitut, dan beberapa jenis obat tidur lainnya (sedativa/ hipnotika).
3. Tahun 1976 – 1979 : Jenis yang paling banyak disalahgunakan adalah ganja,
barbitut, dan jenis sedativa/ hipnotika. Sedangkan pemakaian morphine
menurun.
4. Tahun 1979 – 1985 : Jenis yang banyak disalahgunakan adalah ganja, barbitut,
jenis hipnotika lainnya, dan minuman keras (alcohol). Pemakaian morphine
mulai meningkat dan heroin (putaw) mulai masuk ke pasaran gelap narkotika.
5. Tahun 1985 – 1990 : Jenis yang banyak disalahgunakan adalah ganja, barbitut,
jenis hipnotika lainnya, minuman keras (alcohol), pethidin, morphine dan heroin
(putaw).
6. Tahun 1990 – 1995 : Jenis yang banyak disalahgunakan adalah ganja, barbitut,
jenis hipnotika lainnya, minuman keras (alcohol), pethidin, morphine dan heroin
(putaw). Kokain, amphetamine, serta turunannya (ecstacy, shabu- shabu) mulai
masuk kepasaran gelap narkotika.
7. Tahun 1995 – 2000 : Jenis yang banyak disalahgunakan adalah ganja, barbitut,
jenis hipnotika golongan psikotropika, minuman keras (alcohol), pethidin,
morphine, heroin (putaw), kokain, amphetamine, serta turunannya (ecstacy,
shabu-shabu).5

Indonesia merupakan salah satu negara peserta penandatanganan Konvensi Tunggal

Narkotika 1961 dan Konvensi 1988. Keikutsertaannya dalam pengaturan narkotika secara

Internasional ini merupakan perwujudan suatu kehendak sebagai negara merdeka, serta

ikut menjaga ketertiban dunia. Disamping itu, langkah yang dilakukan Indonesia

merupakan “political will” pemerintah, khususnya dalam masalah penanggulangan

5
Revolusi Cinta, 2008, “Perkembangan Penyalahgunaan Narkotika di Indonesia”, available from :
URL : http://revolusicinta.wordpress.com/2008/02/18/perkembangan-penyalahgunaan-narkotika-di-
indonesia/.htm, diakses tanggal 31 Januari 2011.

6
narkotika baik di dalam negeri maupun dalam percaturan internasional. Langkah

Pemerintah Indonesia tersebut apabila dihubungkan dengan posisi Indonesia sebagai

daerah yang rawan dijadikan tempat transit narkotika sangatlah beralasan.

Dalam usaha untuk menanggulangi masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap

narkoba pemerintah telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang

Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika Tahun 1988 Convention

Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Subtances 1988 dan Konvensi

Psikotropika Tahun 1971 (Covention on Psychotropic Subtances 1971) dengan

mengeluarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1997 Tentang Pengesahan Konvensi

Perserikatan Bangsa Bangsa Tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan

Psikotropika dan Undang-undang No. 8 Tahun 1996 Tentang Pengesahan Konvensi

Psikotropika. Kedua konvensi tersebut membuka kesempatan bagi negara-negara yang

mengakui dan meratifikasinya untuk melakukan kerja sama penanggulangan

penyalahgunaan dan pemberantasan peredaran gelap narkoba baik secara bilateral

maupun multilateral. Kasus penyalahgunaan narkoba meningkat dengan cepat di

Indonesia, meskipun pemerintah dan masyarakat telah melakukan berbagai upaya,

penyalahgunaan narkoba terlihat begitu sulit diberantas. Kemudian tahun 1997

Pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika dan

Undang-undang No.22 tahun 1997 tentang Narkotika sebagai pengganti Undang-undang

yang lama yaitu Undang-undang No. 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika, dan pada tahun

2009 Pemerintah kembali mengeluarkan Undang–undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan rakyat, peningkatan di bidang

pengobatan dan pelayanan kesehatan, serta melakukan pencegahan dan pemberantasan

7
bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika,

Sehingga diharapkan Undang-undang tersebut dapat berjalan lebih efektif guna

mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba dan

psikotropika, termasuk untuk menghindarkan wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia dijadikan sebagai ajang transito maupun sasaran peredaran gelap narkoba dan

psikotropika. Peredarannya harus diawasi secara ketat sebagaimana diatur dalam Pasal 4

Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan :


a. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan
dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
b. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan Bangsa Indonesia dari
penyalahgunaan narkotika;
c. Memberantas peredaran gelap narkotika dan Prekusor narkotika;dan
d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi
penyalahguna dan pecandu narkotika.

Pengawasan terhadap peredaran narkotika dilakukan secara ketat karena saat ini

pemanfaatannya banyak untuk hal-hal yang bersifat negatif. Disamping itu, melalui

perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, daerah yang sebelumnya tidak

tersentuh oleh peredaran narkotika lambat laun akan berubah menjadi sentral peredaran

narkotika. Begitu pula anak-anak yang pada mulanya awam terhadap barang haram ini

dapat berubah menjadi sosok pecandu yang sukar dilepas ketergantungannya. 6 Sehingga

diharapkan undang-undang tersebut dapat berjalan lebih efektif guna mencegah dan

memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba dan psikotropika, termasuk

6
Dikdik M.Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan,,PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 100

8
untuk menghindarkan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dijadikan sebagai

tempat transit maupun sasaran peredaran gelap narkoba dan psikotropika.

Dampak sosial dan ekonomi perdagangan dan penyalahgunaan narkotika sangat

mengkhawatirkan dunia. Menurut penelitian Badan Narkotika Nasional bersama

Puslitkes UI, mencatat:

Kerugian biaya ekonomi dan sosial akibat narkotika di Amerika Serikat mencapai
$181 milyar (UNDCP, 2004), sedangkan di Canada $8,2 milyar pada tahun 2002
(Rehm, 2006). Di Australia kerugian mencapai sekitar $8,190 juta pada tahun
2004/2005 (Collins, 2008). Perbandingan kerugian biaya narkotika terhadap gross
domestic product (GDP) di Amerika Serikat sebesar 1,7%, Canada 0,98%,
Australia 0,88% dan Perancis 0,16% (UNDCP, 2004). Di Indonesia, kerugian
diperkirakan Rp.23,6 trilyun atau $2,6 milyar pada tahun 2004 (BNN & Puslitkes
UI, 2005). Di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir penyalahgunaan narkotika
meningkat pesat, baik dari jumlah sitaan barang bukti maupun jumlah tersangka.
Hasil sitaan barang bukti, misalkan ekstasi meningkat dari 90.523 butir (2001)
menjadi 1,3 juta butir (2006), Sabu dari 48,8 kg (2001) menjadi 1.241,2 kg (2006).
Jumlah tersangka meningkat dari 4.924 orang tahun 2001 menjadi 31.635 orang
tahun 2006 (Mabes Polri, 2007). Angka-angka yang dilaporkan ini hanya puncak
gunung es dari masalah narkotika yang jauh lebih besar7.

Fenomena penyalahgunaan obat merupakan masalah yang cukup kompleks dan rumit

seperti benang kusut, dari bagian mana yang akan ditarik untuk dapat diluruskan, walau

dunia telah bersatu padu mengatasi persoalan yang belum terpecahkan dan bahkan

meluas itu.

Angka kejadian atau jumlah kasus tindak pidana narkotika meningkat secara

cepat menjadi 6 kali lipat untuk wilayah Jakarta dalam kurun waktu 1993 sampai 1999.

Kasus narkoba memang seperti fenomena gunung es yang mencuat diatas permukaan laut

7
Sumarmo Ma‟sum, 1987, Penanggulangan Bahaya Narkotika dan Ketergantungan Obat, CV.
Haji Masagung, Jakarta, hal. 2.

9
sehingga yang terlihat hanya bagian puncaknya sedangkan bagian terbesar dibawahnya

tidak tampak. Angka kekambuhan dari pecandu yang pernah dirawat pada berbagai pusat

terapi dan rehabilitasi di Jakarta mencapai 60-80%2. Angka kematian yang disebabkan

oleh narkoba pun semakin meningkat. Data Badan Narkotika Nasional (BNN)

menunjukkan setiap harinya di Jakarta 2-3 orang meninggal per hari karena

penyalahgunaan narkoba. Bahaya penyakit menular Hepatitis B/C dan HIV/AIDS juga

meningkat. 80% pengguna narkoba dengan jarum suntik dipastikan menderita penyakit

Hepatitis B/C dan 40-50% tertular HIV/AIDS. Penyebabnya adalah jarum suntik yang

tidak steril dan digunakan secara bergantian. Penyalahgunaan narkoba di Indonesia telah

sampai pada titik yang menghawatirkan. Berdasarkan data yang dihimpun Badan

Narkotika Nasional, jumlah kasus narkoba meningkat dari sebanyak 3. 478 kasus pada

tahun 2000 menjadi 8.401 pada tahun 2004, atau meningkat 28,9% pertahun. Jumlah

angka tindak tindak pidana narkoba pun meningkat dari 4.955 pada tahun 2000 menjadi

11.315 kasus pada tahun 2004. Data terbaru sampai juni 2005 saja menunjukkan kasus itu

meningkat tajam.3 Sekarang ini terdapat sekitar 3,2 juta pengguna narkoba di Indonesia,

secara nasional dari total 111.000 tahanan, 30% karena kasus narkoba, perkara narkoba

telah menembus batas gender, kelas ekonomi bahkan usia.4 Dari gambaran di atas

penyalahgunaan dan tindak pidana narkoba telah berada pada tingkat yang

membahayakan, karena di samping merusak fisik dan mental juga mempengaruhi

kehidupan sosial masyarakat yang pada gilirannya dapat mengganggu sendi-sendi

keamanan nasional dalam rangka pembangunan nasional menuju masyarakat yang adil

dan makmur seperti yang dicita-citakan dalam tujuan negara yang tercantum pada

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat.

10
Dengan demikian narkoba dapat menjadi penghambat pembangunan nasional

yang beraspek materiel-spiritual. Bahaya pemakaian narkoba sangat besar pengaruhnya

terhadap negara, jika sampai terjadi pemakaian narkoba secara besar-besaran di

masyarakat, maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang sakit, sehingga negara

akan rapuh dari dalam karena ketahanan nasional merosot. Sangat beralasan jika

kemudian peredaran narkoba harus segera dicarikan solusi yang rasional untuk suatu

pemecahannya, karena sudah jelas tindak pidana narkoba merupakan problema sosial

yang dapat mengganggu fungsi sosial dari masyarakat. Selain itu, tindak pidana narkoba

pada umumnya tidak dilakukan oleh perorangan secara berdiri sendiri, melainkan

dilakukan secara bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang terorganisasi secara

mantap, rapi dan sangat rahasia. Terhadap para pelaku peredaran gelap narkoba dan

penyalah guna narkoba sudah banyak yang dimejahijaukan. Bagi para pelaku yang

terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan penuntut umum,

hakim/pengadilan sudah menjatuhkan pidana. Strafmaat yang sudah dijatuhkan

pengadilan berada dalam kisaran pidana penjara di bawah 1 (satu) tahun hingga pidana

mati.

Meski kebijakan kriminal - melalui jalur penalnya sudah dijalankan, facta notoir

menunjukkan, bahwa penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba masih juga ada,

bahkan kurvanya meningkat. Tak pelak, beberapa komentar sumbang disasarkan ke

lembaga pengadilan. Antara lain, pengadilan dianggap tidak mendukung dan tidak

memberi kontribusi yang signifikan untuk program pemberantasan kejahatan narkoba. 8

8
Andi. BNN-Hukuman Mati Penting untuk Selamatkan Generasi Muda, available from : URL:
http//www.Suara Islam Online.com,diakses tanggal 16 Desember 2009.

11
Penyalahgunaan Narkotika Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan

perkembangan meningkat, bahkan sudah sampai pada tingkat yang memprihatinkan.

Indonesia bukan hanya menjadi adresat peredaran narkoba, tetapi sudah menjadi tempat

produksi narkoba. Dikatakan, Indonesia sebagai “pasar narkoba”, karena eksisnya

kegiatan “supply & demand”. Penggunanya pun melebar, bukan hanya dari kalangan

keluarga broken home -sebagai sarana untuk “eksodus” dari masalah keluarganya, tetapi

sudah merambah pada keluarga yang harmonis dan berstatus sosial - sebagai bagian suatu

“hiburan”.Tindak pidana narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan

menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih dan didukung dengan

jaringan organisasi yang luas yang mengancam Indonesia terutama pada kota–kota besar

dan metropolitan yang sangat keras terkena imbas globalisasi. Terlebih lagi pemberitaan

akhir-akhir ini, terkait dengan penyalahgunaan narkotika secara beruntun membuat

masyarakat prihatin, kejadian tabrakan maut xenia yang mengakibatkan Sembilan orang

meninggal, tertangkapnya pilot yang menkomsumsi shabu-shabu, serta aparat kepolisian

yang juga sebagai pengguna narkoba ditambah lagi dengan publikasi penangkapan-

penangkapan terhadap pengguna/pengedar narkotika. 9 Ada beberapa alasan mengapa

bangsa Indonesia harus serius dalam melakukan pemberantasan tindak pidana narkotika

yang semakin memprihatinkan, adapun alasannya sebagai berikut :

1. Pemerintah Indonesia belum optimal dalam menanggulangi kasus – kasus

penyalagunaan dan peredaran gelap narkotika. Hal ini mengisyaratkan kepada kita untuk

lebih peduli dan memperhatikan secara lebih khusus untuk menanggulanginya.

9
Indonesia dalam Bahaya Narkoba,Kompas,Jumat 24 Februari 2012,hal.1

12
Salah satu Provinsi di Indonesia yang rentan dengan peredaran narkotika adalah

Provinsi Bali. Bali yang terkenal dengan sebutan the last paradise in the world dan the

morning of the world itu dalam perkembangannya, menjadi daerah yang sangat terbuka

bagi transaksi dan peredaran berbagai jenis benda haram10. Pada awal tahun 1960 di

Indonesia terutama di Bali dan Jakarta telah ditemukan penggunaan narkotika di

masyarakat dalam jumlah yang kecil, namun seiring dengan perkembangannya, pada

awal tahun 1970 penggunaan narkotika kian menyebar ke seluruh pelosok negeri. 11

Beberapa daerah yang terdapat di Bali yang sangat rentan dengan peredaran

narkotika adalah Kotamadya Denpasar dan Kabupaten Badung yang berada di wilayah

hukum Pengadilan Negeri Denpasar.

Kotamadya Denpasar dan Kabupaten Badung merupakan daerah yang rentan

dengan peredaran narkotika karena merupakan tempat berkumpulnya komunitas turis-

turis, untuk tinggal menetap, mencari pekerjaan atau sebagai tujuan obyek wisata baik

bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Sehingga banyak terdapat turis–turis

yang saling berinteraksi dengan penduduk lokal yang dapat menumbuhkan pertukaran

kebudayaan secara besar–besaran. Dengan semakin banyaknya wisatawan yang datang ke

Kotamadya Denpasar dan Kabupaten Badung turut menimbulkan perkembangan

infrastruktur penunjang lainnya yaitu, hotel dan tempat-tempat hiburan malam seperti

diskotik, club, cafe, dan bar. Hal ini terlihat dari jumlah peningkatan hotel dan tempat-

tempat hiburan malam dimana terdapat peningkatan pertumbuhan hotel sebesar 11,53%

10
O.C Kaligis, dan Soedjono Dirdjosisworo, 2006, Narkotika Dan Peradilannya di Indonesia, O.
C. Kaligis & Assosiatr, Jakarta, hal282

11
ibid

13
(sebelas koma lima puluh tiga persen) dari tahun sebelumnya (2009),dengan perhitungan

telah terdapat 147 hotel berbintang di Bali. Sebagian besar hotel berbintang dan sarana

akomodasi itu tersebar di Kabupaten Badung, Kota Denpasar dan Kabupaten Gianyar.

Selama tahun 2010 sebanyak 2.066.715 wisatawan baik wisatawan asing maupun

domestik yang menginap di hotel-hotel tersebut12.

Menjamurnya tempat-tempat hiburan malam memiliki suatu paradigma antagonis

yaitu selain memiliki dampak positif yaitu memberikan lapangan pekerjaan, sebagai

sumber pendapatan daerah dan menunjang pengembangan daerah metropolitan, juga

memiliki dampak negatif yaitu sebagai tempat untuk mengadakan transaksi narkotika

yang dikarenakan menurut para pengelola tempat hiburan, narkotika justru merupakan

faktor yang mendatangkan keuntungan usahanya dengan mengesampingkan tanggung

jawab menyelamatkan generasi muda, komitmen para pengelola hiburan malam hanya

pada hal-hal yang bersifat simbolik belaka 13.

Dengan adanya tempat hiburan malam yang menjamur, memungkinkan tingkat

transaksi narkotika menjadi semakin tinggi. Karena pada umumnya disebabkan oleh dua

hal yaitu :

1. Bagi para pengedar menjanjikan keuntungan yang besar sedangkan bagi

pemakai menjanjikan ketentraman dan ketenangan hidup, sehingga beban

psikis yang dialami dapat dihilangkan.

12
Soegeng Sarjadi, 2010 “Map of Local Economy Potency” available from : URL :
http://www.cps-sss.org/web/home/propinsi/prop/Bali diakses tanggal 7 Februari 2011

13
Siswanto Sunarso, 2005, Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal12.

14
2. Janji yang diberikan oleh penggunaan narkotika tersebut menyebabkan rasa

takut terhadap resiko tertangkap menjadi berkurang, dan sebaliknya akan

menimbulkan keberanian.14

Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah saat ini belumlah dapat

membawa perubahan yang signifikan, karena kasus-kasus tindak pidana narkotika


15
semakin meningkat, menurut data Badan Narkotika Nasional diterbitkan pada tahun

2009, bahwa:

Pada tahun 2005 terdapat 16.252 kasus (Narkotika 8.171, Psikotropika 6.733,
dan Zat adiktif 1.348), pada tahun 2006 terdapat 17.355 kasus (Narkotika
9.422, Psikotropika 5.658, dan Zat Adiktif 2.275), pada tahun 2007 terjadi
peningkatan hingga 22.630 kasus (Narkotika 11.380, Psikotropika 9.289, dan
Zat adiktif 1.961), pada tahun 2008 juga terdapat peningkatan menjadi 29.364
kasus (Narkotika 10.008, Psikotropika 9.783, Zat adiktif 9.573) dan pada tahun
2009 masih terjadi peningkatan hingga 30.668 kasus (Narkotika 11.132,
Psikotropika 8.732, dan Zat adiktif 10.804).

Tindak pidana yang berhubungan dengan narkotika dikualifikasikan menjadi

beberapa bentuk tindak pidana, namun yang sering terjadi di masyarakat adalah

berhubungan dengan pemakai dan pengedar narkotika. Jika berbicara tentang pengedar

narkotika, sudah jelas kiranya telah terjadi interaksi antara pengedar dan pembeli

narkotika, keduanya merupakan pelaku tindak pidana narkotika. Akan tetapi, jika kita

berbicara tentang pemakai narkotika, sejauh ini masih terdapat perbedaan sudut pandang

mengenai pemakai narkotika. Hukum positif menyatakan, pemakai narkotika adalah

14
Moh.Taufik Makaro,dkk, 2005, Tindak Pidana Narkotika, Galia Indonesia, Jakarta hal.6

15
Ibid. hal. 27-28.

15
pelaku tindak pidana karena telah memenuhi kualifikasi dalam undang-undang

narkotika.16

Tindak pidana narkotika seperti penyalahgunaan narkotika dalam kajian

kriminologi dapat digolongkan sebagai kejahatan tanpa korban atau victimless crime.

Penggolongan ini merujuk kepada sifat kejahatan tersebut yaitu adanya dua pihak yang

melakukan transaksi atau hubungan (yang dilarang) namun keduanya merasa tidak

menderita kerugian atas pihak lain 17. Pengguna narkotika sesungguhnya merupakan

korban dari tindak pidana narkotika, namun pengguna tersebut tidak merasa sebagai

korban, karena dia secara sengaja dengan kehendaknya sendiri untuk menggunakan

narkotika tersebut, baik itu karena anjuran teman, maupun rasa ingin coba-coba.

Narkoba memang menjadi sesuatu yang “menjanjikan”. Kepada produsen dan

pengedarnya, ia berhasil menjanjikan keutungan yang besar dalam waktu yang relatif

singkat, sedangkan kepada penggunanya, ia juga mampu menjanjikan “kenikmatan”.

Pengguna narkotika dapat dimasukkan sebagai korban dari penyalahgunaan narkotika.

Hal ini dikarenakan mereka akan mengalami ketergantungan terhadap barang haram

(narkotika) tersebut. Penyalahgunaan narkotika selain berbahaya terhadap diri si pemakai

itu sendiri juga berbahaya terhadap lingkungan masyarakat, dimana agar dapat memenuhi

hasratnya mendapatkan narkotika, maka si pemakai narkotika tentu saja menghalalkan

segala cara untuk mendapatkannya. Bagi orang–orang yang tidak berpenghasilan cukup

maka dia akan berupaya untuk mencuri, merampok serta melakukan berbagai tindakan

16
Tommy, Korban TIndak Pidana Narkotika,2011 available from : URL :
http://www.facebook.com/topic.php?uid=341355375076&topic=11176 diakses tanggal 26 Januari 2011

17
Moh. Taufik Makaro,dkk, Op.cit hal.5

16
kriminal lainnya18. Berkaitan dengan masalah penyalahgunaan narkotika tersebut,

diperlukan suatu kebijakan hukum pidana yang memposisikan pecandu narkotika sebagai

korban, bukan pelaku kejahahatan.

Berdasarkan tipologi korban yang diidentifikasikan menurut keadaan dan status

korban, maka dapat dibedakan menjadi 6 (enam),yaitu :

a. Unrelated victims, yaitu korban yang sama sekali tidak ada hubungannya
dengan pelaku.
b. Provocative victims, yaitu seorang yang secara aktif mendorong dirinya
menjadi korban.
c. Participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat, akan tetapi
dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban.
d. Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki
kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban.
e. Socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang
lemah yang menyebabkan ia menjadi korban.
f. Self victizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan
yang dilakukannya sendiri. 19

Pecandu narkotika merupakan Self victizing victims karena pecandu narkotika

menderita sindroma ketergantungan narkotika akibat dari penyalagunaan narkotika yang

dilakukannya sendiri.

Bahaya akibat penyalahgunaan narkotika tersebut terhadap diri si pemakai secara

umum menimbulkan pengaruh dan efek–efek terhadap tubuh sipemakai dengan gejala–

gejala sebagai berikut :

18
Joko Suyono, 1980, Masalah Narkotika dan Bahan Sejenisnya, Yayasan Kanisius, Yogyakarta,
hal. 14

19
Moh Taufik Makarao,Suhasril, dan Moh Zakky A.S., 2003 Tindak Pidana Narkotika, Galia
Indonesia, Jakarta, hal.49

17
a. Europhoria, yaitu suatu keadaan rangsangan kegembiraan yang tidak sesuai
dengan kondisi si pemakai.
b. Dellirium, yaitu suatu keadaaan dimana pemakai narkotika mengalami
penurunan kesadaran dan timbulnya kegelisahan yang mengganggu daya
gerak anggota tubuh si pemakai.
c. Halusinasi, yaitu keadaan dimana si pemakai narkotika mengalami
“khayalan” seperti melihat atau mendengar sesuatu yang sebenarnya tidak
ada.
d. Weakness, yaitu keadaan dimana tubuh si pemakai narkotika baik secara
psikis maupun fisik mengalami kelelahan.
e. Drowsines, yaitu keadaan seperti orang mabuk dimana terjadinya penurunan
daya ingat dan timbulnya kantuk yang berlebih pada pemakai narkotika
tersebut.
f. Coma, yaitu suatu keadaan dimana si pemakai narkotika sampai pada
puncak penurunan kondisi baik fisik maupun psikis yang pada akhirnya
dapat menimbulkan kematian.20

Cara yang dianggap tepat untuk menyembuhkan ketergantungan tersebut adalah

dengan melakukan rehabilitasi terhadap para korban penyalahgunaan narkotika. Karena

rehabilitasi dapat melepaskan ketergantungan narkotika sampai dapat menikmati

kehidupan bebas tanpa narkotika21.

Rehabilitasi merupakan salah satu cara untuk menyelamatkan korban pengguna

narkotika dari ketergantungan. Karena pengertian dari rehabilitasi adalah usaha untuk

memulihkan untuk menjadikan pecandu ketergantungan nakotika dan hidup normal sehat

jasmani dan rohani sehingga dapat menyesuaikan dan meningkatkan kembali

keterampilannya, pengetahuannya, kepandaiannya, pergaulannya dalam lingkungan

20
Putri Handani Duarsa, 2005, Kebijakan Kriminalisasi dan Penalisasi dalam UU No.22 Tahun
1997 Tentang Tindak Pidana Narkotika (thesis), Universitas Udayana, Denpasar

21
Martono, Lydia Harina dan Satya Joewana, 2006, Peran Orang Tua dalam Mencegah dan
menanggulangi Penyalahgunaan Narkotika, Balai Pustaka, Jakarta, hal.87.

18
hidup atau dengan keluarganya yang disebut juga resosialisasi 22. Rehabilitasi terhadap

pengguna narkotika tersebut adalah merupakan serangkaian upaya yang terkoordinasi dan

terpadu, terdiri atas upaya-upaya medik, bimbingan mental, psikososial, keagamaan,

pendidikan dan latihan vokasional untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian diri,

kemandirian dan menolong diri sendiri serta mencapai kemampuan fungsional sesuai

dengan potensi yang dimiliki, baik fisik, mental, sosial dan ekonomi. Pada akhirnya

mereka diharapkan dapat mengatasi masalah penyalahgunaan narkotika dan kembali

berinteraksi dengan masyarakat secara wajar 23.

Fungsi sanksi pidana dalam hukum pidana tidaklah semata-mata menakut-nakuti

atau mengancam para pelanggar, akan tetapi keberadaan sanksi tersebut harus juga

mendidik dan memperbaiki pelaku 24. Pidana itu pada hakekatnya merupakan nestapa,

namun pemidanan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan

merendahkan martabat manusia 25. Landasan pemikiran pembaharuan bukan hanya

menitikberatkan terhadap kepentingan masyarakat, tetapi juga perlindungan individu dari

pelaku tindak pidana.

Gendering perang dengan peredaran dan penyalahgunaan narkoba telah dilakukan

dengan berbagai cara, baik yang berupa preemtif sampai represif, dengan menggunakan

22
Algin Moenthe, Op.cit, hal.66

23
M. Tavip, 2010, “Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi
Narapidana Narkotika Dan Psikotropika Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan Dihubungkan Dengan
Tujuan Sistem Pemasyarakatan”, available from : URL : http://www.ma-ri.go.id/info/lapas/rehabilitasi,
diakses tanggal 2 Februari 2011

24
M.Solehuddin, 2007, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System dan
Implementasinya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 1 (selanjutnya disebut Solehuddin I)

25
Niniek Suparni, 1996, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Sinar
Grafika, Jakarta, hal. 3

19
seluruh elemen masyarakat, dan dengan revisi regulasi. UU narkotika yang disahkan pada

14 September 2009 merupakan revisi dari UU No. 22/1997 tentang narkotika. Pemerintah

menilai UU No. 22/1997 tidak lagi dapat mencegah secara efektif tindak pidana narkotika

yang semakin lama semakin meningkat secara kuantitatif maupun kualitatif, serta bentuk

kejahatannya yang terorganisir. Secara substansial, perubahan yang signifikan pada UU

N0.35 tahun 2009 dibandingkan dengan UU terdahulu, adalah pada penekanan pada

ketentuan kewajiban rehabilitasi, penggunaan pidana yang berlebihan, dan kewenangan

BNN yang sangat besar.

Undang–undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dirancang untuk

menekan jumlah peredaran narkotika di Indonesia yang telah bersifat transnasional dan

untuk mengurangi jumlah korban penyalahgunaan narkotika terutama di kalangan remaja

yang membahayakan kehidupan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam konsideran

Undang–undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dengan tujuan untuk

mengurangi jumlah korban penyalahgunaan narkotika tersebut maka dalam Undang–

undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dibuatkan bab khusus yaitu dalam Bab

IX yang mencantumkan mengenai hukuman rehabilitasi bagi pecandu dan korban

penyalahgunaan narkotika. Pencantuman bab ini dimaksudkan agar korban

penyalahgunaan narkotika dapat dikenakan hukuman rehabilitasi dan bukannya hukuman

pidana penjara maupun pidana kurungan.

Kepala Badan Narkotika Nasional, Gories Mere menyatakan, bahwa :

Pada Undang-undang Narkotika yang baru ini, antara lain menerapkan pidana
yang berat bahkan pidana mati bagi pengedar, pengimpor, dan produsen
narkotika, dibentuknya BNN sebagai Lembaga Pemerintahan Non
Kementerian yang merupakan organisasi vertikal dari pusat sampai provinsi
dan kabupaten/kota, adanya pengaturan putusan/penetapan hakim

20
memberikan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalahguna dan
pecandu narkotika, Undang-Undang ini telah memperkuat bidang
pemberantasan/penegakan hukum dengan memberikan kewenangan
penyelidikan dan penyidikan kepada BNN disamping penyidik POLRI,
berwenang melakukan perampasan barang bukti yang digunakan untuk
kepentingan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkotika,
perluasan teknik penyidikan penyadapan (wiretapping), teknik pembelian
terselubung (under cover buy), dan teknik penyerahan yang diawasi
(controlled delivery), serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan
mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika 26.
Pada tahun 2009 Mahkamah Agung mengeluarkan sebuah surat edaran (SEMA RI

no 7/2009) yang ditujukan kepada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi diseluruh

Indonesia untuk menempatkan pecandu narkotika di panti rehabilitasi dan yang terbaru

adalah dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010

tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke

dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial yang merupakan revisi dari

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 2009.

Untuk mencapai penyembuhan para korban penyalahgunaan narkotika dari

ketergantungan tersebut, maka hukuman yang sepatutnya diberikan kepada mereka

adalah pembinaan dan rehabilitasi. Hukuman pembinaan dan rehabilitasi ini telah diatur

dalam Pasal 54, dan Pasal 103 Undang–undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika, serta diatur juga dalam SEMA Nomor 7 Tahun 2009 tentang Menempatkan

Pemakai Narkotika ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi, serta SEMA Nomor 4 Tahun

2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu

Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. Pasal 54 dan

Pasal 103 menyatakan bahwa :

26
Jurnal BNN Aware and Care, edisi 08 tahun 2009. hal. 1

21
Pasal 54
Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Pasal 103
(1) Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat :
a. Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu
Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana
Narkotika; atau
b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu
Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana
Narkotika.
(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitunngkan sebagai masa
menjalani hukuman.

Rehabilitasi berdasarkan Pasal 54 Undang–undang Nomor 35 Tahun 2009 dapat

dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Pengertian dari rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial tertuang dalam Pasal 1 angka 16

dan angka 17 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dimana

disebutkan rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu

untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika dan Rehabilitasi Sosial

adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial,

agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam

kehidupan masyarakat. Baik rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial dapat dilakukan

oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat

Kemudian di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010

menghimbau bagi para hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika untuk

menerapkan ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

22
Narkotika yang berisikan mengenai tindakan rehabilitasi yang diperintahkan untuk

dijalani oleh pecandu narkotika. Hal tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa sebagian

besar narapidana dan tahanan kasus narkoba termasuk kategori pemakai atau bahkan

sebagai korban yang jika dilihat dari aspek kesehatan mereka sesungguhnya orang-orang

yang menderita sakit, oleh karena itu memenjarakan yang bersangkutan bukanlah

langkah yang tepat karena telah mengabaikan kepentingan perawatan dan pengobatan.

Penggunaan rehabilitasi dianggap lebih dapat membantu para korban

penyalahgunaan narkotika daripada penjatuhan pidana penjara atau pidana kurungan.

Penjatuhan rehabilitasi ini sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04

Tahun 2010 tentang Menempatkan Pemakai Narkotika kedalam Panti Terapi dan

Rehabilitasi yang menyatakan bahwa mereka sebagai tahanan kasus narkotika

sesungguhnya orang yang sakit sehingga tindakan rehabilitasi hendaknya lebih tepat

dijatuhkan dan kondisi LAPAS (Lembaga Pemasyarakatan) yang tidak mendukung

dikhawatirkan malah mengakibatkan efek yang tidak baik terhadap mereka karena dapat

semakin memperburuk kesehatan serta kondisi kejiwaan para penyalah guna narkotika

tersebut.

Penyalahgunaan narkotika adalah penggunaan yang dilakukan tidak untuk

maksud pengobatan, tetapi karena ingin menikmati pengaruhnya, dalam jumlah berlebih,

kurang teratur, dan berlangsung cukup lama, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan

fisik, mental dan kehidupan sosial. 27

27
Badan Narkotika Nasional, 2009, Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Sejak Dini. Jakarta,
hal. 36.

23
Denis L. Thom, melihat adiksi/kecanduan narkoba sebagai penyakit yang harus

disembuhkan. Untuk itu pendekatan aspek hukum bila pecandu harus divonis di

pengadilan mereka harus dirawat di panti rehabilitasi secara memadai 28

Badan Narkotika Nasional hanya mencatat sebanyak 16 pecandu yang telah

divonis hakim berdasarkan rujukan SEMA untuk menjalani rehabilitasi, Pecandu

sebanyak 16 orang tersebut merupakan 2% dari 674 residen total residen yang menjalani

rehabilitasi di Lido. Sebagian lainnya yakni 398 orang(59%) atas rujukan keluarga, 248

orang(37%) atas rujukan BNP, dan 12 orang(2%) atas rujukan Kepolisian29

Kasus penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika bahkan menjadi bahan

berita yang hampir setiap hari muncul di media massa. Kasus penyalahgunaan narkotika

dan peredaran gelap kini sudah terjadi diseluruh pelosok negeri ini. Bahkan Lembaga

Pemasyarakatan yang ada diseluruh Indonesia, sebagian besar dipenuhi oleh pelaku

tindak pidana narkotika. Menurut data Direktur Bina Khusus Narkotika-Ditjenpas,

November 2009:

Banyak Lapas atau Rutan yang over kapasitas, yang menyebabkan kerawanan
keamanan dan kertertiban dan kerawanan kesehatan. Kelebihan daya
tampung di seluruh Lapas/Rutan di Indonesia mencapai 56%. Awalnya,
Lapas/Rutan di Indonesia mampu menampung 89.549 orang, namun daya
tampung membengkak menjadi 140.423 orang hingga September 2009. Dari
jumlah itu, 37.295 orang diantaranya adalah kasus narkoba. Jumlah orang
dengan kasus narkoba tersebut tersebar di 413 Lapas/Rutan yang ada di
Indonesia”. BNN sendiri sebenarnya sudah mengakomodir hak rehabilitasi
korban Napza melalui UNITRA (Unit Terapi Rehabilitasi) di Lido Jabar.
Namun tempat rehabilitasi tersebut hanya mampu menampung 500 orang.

28
A. Kadarmanta, “Penegakan Hukum Bagi Pecandu Naroba Paradigma UU.35/2009”, available
from : URL : http://www.A.Kadarmanta.blogspot, diakses tanggal 7 Januari 2011.

29
Data Residen 2010, Unit Terapi dan Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional, hal. 3.

24
Daya tampung tersebut tentu tidak sebanding dengan perkiraan jumlah
korban Napza yang mencapai 3,6 juta orang30

Dengan kondisi yang semakin meningkatnya penyalahguna narkotika, maka

Pemerintah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 diharapkan gencar

mengupayakan perehabilitasian bagi para penyalahguna dan pecandu narkotika. Benny J.

Mamoto, Direktur Narkotika Alami BNN berpendapat mengenai perubahan yang ada

pada Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 ini, ia mengatakan, “program-program BNN

mengacu pada UU No. 35 Tahun 2009. Jika sebelumnya para penyalahguna diperlakukan

sebagai kriminal, hanya tangkap-tahan-proses-masuk Lembaga Pemasyarakatan (LP).

Namun, UU No. 35 ini justru lebih manusia dan empati terhadap penyalahguna narkoba.

Penyalahguna diperlakukan sebagai korban” 31

Penjatuhan rehabilitasi masih jarang dijatuhkan kepada para korban penyalah guna

narkotika padahal telah diatur secara tegas dalam Undang–undang No. 35 Tahun 2009

tentang Narkotika dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 tentang

Menempatkan Pemakai Narkotika kedalam Panti Terapi dan Rehabilitasi.

atas dasar pertimbangan sebagaimana latar belakang diatas, maka penulis

mengangkat hal tersebut sebagai karya ilmiah dengan judul

“KEBIJAKAN REHABILITASI TERHADAP PENYALAH GUNA NARKOTIKA

PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG

NARKOTIKA.”

30
Ray, “Pasal Karet UU Narkotika Mengebiri Hak-hak Korban Napza”, available from : URL :
http://www.satuportal.com, diakses tanggal 26 Oktober 2010.

31
Majalah SINAR Badan Narkotika Nasional, edisi khusus 2010 hal. 54.

25
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat dikemukakan rumusan

masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana perumusan kebijakan rehabilitasi dalam Undang–undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika ?

2. Apakah rehabilitasi terhadap korban penyalahgunaan narkotika adalah suatu

tindakan wajib?

1.3 Tujuan Penelitian

a. Tujuan Umum

Untuk mendeskripsi dan melakukan analisis mendalam terhadap kebijakan

rehabilitasi terhadap penyalah guna narkotika dalam praktek di Pengadilan Negeri

Denpasar.

b. Tujuan Khusus

a) Untuk mendeskripsi dan melakukan analisis mendalam perumusan kebijakan

rehabilitasi dalam Undang–undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

b) Untuk mendeskripsi dan melakukan analisis mendalam terhadap pelaksanaan

rehabilitasi kepada korban tindak pidana narkotika.

1.4 Manfaat Hasil Penelitian

Adapun manfaat hasil penelitian ini ada yang bersifat teoritis dan ada yang bersifat

praktis.

26
a. Manfaat yang bersifat teoritis yaitu untuk memperkaya khasanah ilmu

pengetahuan tentang kebijakan rehabilitasi kepada korban tindak pidana

narkotika.

b. Manfaat praktis dari penulisan tesis ini adalah sebagai bahan acuan bagi

penegak hukum khususnya di tingkat peradilan dalam memeriksa dan

mengadili pelaku sebagai pengguna narkotika .

1.5 Orisinalitas Thesis

Penelitian dalam bentuk tesis yag berkaitan dengan kebijakan pidana terhadap

penyalahguna narkotika sudah pernah dilakukan antara lain :

1. Penelitian yang dilakukan Victor Keenan Berus,32 tentang “Fungsionalisasi Badan

Narkotika Propinsi dalam Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika di

Propinsi Sumatera Utara”. Penelitian tersebut mengkaji peranan dan fungsi Badan

Narkotika Provinsi Sumatera Utara dalam upaya mengkoordinasi upaya

pencegahan penyalahgunaan narkotika serta penanggulangan tindak pidana

narkotika baik secara prefentif maupun represif.

2. Penelitian yang dilakukan Agustina Wati Nainggolan, 33 tentang “Analisis

Terhadap Putusan Hakim dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika (Studi

32
Victor Keenan Berus, 2009, “Fungsionalisasi Badan Narkotika Propinsi dalam Upaya
Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika di Propinsi Sumatera Utara”,Tesis, Universitas Sumatera
Utara, Medan. available from URL: repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/5216/1/09E01897.pdf,
diakses tanggal 18 Juli 2011

33
Agustina Wati Nainggolan,2009, “Analisis Terhadap Putusan Hakim dalam Tindak Pidana
Penyalahgunaan Narkotika (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Medan)”, Tesis, Universitas Sumatera
Utara,Medan available from URL: www.bacaanonline.com/pdf/tesis-narkotika.html diakses tanggal 18 Juli
2011

27
Kasus di Pengadilan Negeri Medan)”. Penelitian dalam tesis ini mengangkat

permasalahan mengenai dampak positif dan negatif dari disparitas penjatuhan

sanksi pidana terhadap penyalahgunaan narkotika oleh hakim khususnya pada

Pengadilan Negeri Medan.

3. Penelitian yang dilakukan Bambang Hariono,34 tentang “Kebijakan Formulasi

Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika di Indonesia”.

Penelitian dalam tesis ini menyoroti tentang kebijakan pemidanaan khususnya

pidana mati dalam Undang-undang Narkotika di Indonesia yang belum

mengedepankan gagasan monodualistik sebagai nilai dasar masyarakat Indonesia.

Penelitian yang berkaitan dengan penerapan kebijakan pemidanaan khususnya dalam

rehabilitasi pada Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika belum ada,

sehingga masih relevan untuk dilakukan penelitian,

1.6 Landasan Teori

Definisi tentang teori diberikan oleh Snellbecker yang mengartikan teori sebagai

perangkat proposisi yang terintegrasi secara simbolis dan berfungsi sebagai wahana untuk

meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati, sedangkan Kerlinger

mendefinisikan teori sebagai “A theory is a set of interrelated connstructs (concepts),

definitions, and propositions that present a systematic view of phenomena by specifying

34
Bambang Hariono,2010, “Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Narkotika di Indonesia” Tesis, Universitas Diponogoro, Semarang available from URL:
eprints.undip.ac.id/16698/1/BAMBANG_HARIYONO.pdf diakses tanggal 18 Juli 2011

28
relations among variables, with the purpose of explaining and predicting the

phenomena”.35

Sebuah Undang-undang dapat dikaji dari aspek normatif maupun aspek Empiris,

secara garis besar ilmu hukum dapat dikaji melalui studi law in books dan study law in

action. 36

Bertolak dari hal tersebut, untuk mengkaji suatu permasalahan hukum secara lebih

mendalam, diperlukan teori yang berupa serangkaian asumsi, konsep, definisi dan

proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara

merumuskan hubungan antar konsep .37

Sebelum seorang peneliti sampai pada usaha penemuan hukum in concreto atau

sampai pada usaha menemukan asas dan doktrinnya, atau sampai pula pada usaha

menemukan teori-teori tentang law in proses dan law in action, maka mereka harus
38
mengetahui terlebih dahulu apa saja yang termasuk hukum positif yang tengah berlaku.

Suatu teori pada hakekatnya merupakan hubungan antara dua fakta atau lebih,

atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan suatu yang

dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris, oleh sebab itu dalam

35
Nasution Bahder Johan, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung,
hal140

36
Amiruddin dan Zaenal Asikin, 2006. Pengantar Metode Penelitian Hukum ,PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hal.196

37
Burhan Ashshofa, 2004, Metoda Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hal.19

38
Bambang Sunggono, 2007, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
hal 81

29
bentuknya yang paling sederhana, suatu teori merupakan hubungan antara dua variabel

atau lebih yang telah diuji kebenarannya. 39

Menurut Sudarto, perkataan Narkotika berasal dari kata Yunani “narke” yang

berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa.40

Sedangkan menurut Soedjono Dirjosisworo, dalam bukunya yang berjudul Hukum

Narkotika Indonesia memberikan pengertian Narkotika yaitu zat yang bisa menimbulkan

pengaruh – pengaruh tertentu mereka yang menggunakan dengan memasukan kedalam

tubuh, pengaruh tersebut berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat

dan halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan. 41

Pengertian narkotika di atas memberikan arti bahwa narkotika dapat menimbulkan

beberapa efek samping. Akan tetapi walaupun narkotika menimbulkan banyak efek

samping bahkan sampai menimbulkan kematian, masih banyak masyarakat yang

terjerumus kedalamnya. Para pengguna narkotika yang merupakan korban dari

penyalahgunaan terhadap narkotika harus dipidana guna mempertanggungjawabkan

perbuatannya tersebut. Penulisan tesis ini akan mengkaji mengenai teori-teori yang

relevan dengan permasalahan yang akan dibahas di sini terutama hal-hal yang terkait

dengan rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika, dengan melihat hal tersebut untuk

menentukan kebijakan pidana yang akan diterapkan di masa yang akan datang.

39
Soerjono Soekanto, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.30
(selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I)

40
Sudarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hal.44 (Selanjutnya disebut
Sudarto I)

41
Soedjono, D., 1997, Hukum Narkotika Indonesia, Alumni, Bandung, hal.3 (selanjutnya disebut

Soedjono I)

30
Berdasarkan konsep umum tersebut maka perlu dikaji terlebih dahulu pengertian tentang

kebijakan pidana sebagai berikut:

1. Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy)

Secara umum pegertian kebijakan sebagai pengganti dari istilah “policy” atau

“beleid” khususnya dimaksud dalam arti “wijsbeleid”, menurut Robert R.Mayer dan

Ernest Greenwood, dapat dirumuskan sebagai suatu keputusan yang menggariskan cara

yang paling efektif dan paling efisien untuk mencapai tujuan yang ditetapkan secara

kolektif42. David L.Sills menyatakan bahwa pengertian Kebijakan (policy) adalah suatu

perencanaan atau program mengenai apa yag akan dilakukan dalam menghadapi

problematika tertentu dan bagaimana cara melakukan atau melaksanakan sesuatu yang

telah direncanakan atau diprogramkan. 43

Dalam beberapa tulisan, ada pula yang menterjemahkan “policy” dengan

kebijaksanaan, seperti Muhadjir Darwin menterjemahkan “Publik Policy Analiysis”

karya William N.Dunn dengan “Analisa Kebijaksanaan Publik”44. Solichin Abdul Wahab

juga menggunakan istilah kebijaksanaan untuk menterjemahkan istilah “policy”. Akan

tetapi dalam bukunya yang berjudul “Analisa Kebijaksanaan” beliau juga menggunakan

istilah kebijaksanaan untuk menterjemahkan istilah “policy”.45

42
Sultan Zanti Arbi, dan Wayan Ardana, 1997, Rancangan Penelitian Kebijakan Sosial,Jakarta,
CV.Rajawali, Jakarta, hal.63

43
Barda Nawawi Arief, 1994, Kebijakan Legeislatif dalam Penanggulanagan Kejahatan dengan
Pidana Penjara, Disertasi Bandan Penerbit Universitas Diponogoro, Semarang, hal.63 (selanjutnya
disingkat Barda Nawawi Arief I)

44
William N.Dunn, 2000, Analisa Kebijakan Publik,Penyadur Muhadjur Darwin, PT.Hadindita
Graha Widia, Yogyakarta, hal.37

31
Menurut Mark Ancel, pengertian penal policy (kebijakan hukum pidana) adalah

suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk

memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk

memberikan pedoman tidak hanya kepada pembuat undang–undang, tetapi juga kepada

pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada penyelenggara atau

pelaksana putusan pengadilan.46

Selanjutnya Barda Nawawi Arif menyatakan bahwa pada hakikatnya masalah

kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata pekerjaan teknik perundang-undangan

yang dapat dilakukan secara yuridis normatif dan sistematik dogmatik, di samping

pendekatan yuridis faktual juga dapat pula pendekatan sosiologis, historis dan

komperatif, bahkan memerlukan pula pendekatan komprehensip dan berbagai disiplin

ilmu sosial lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan

nasional pada umumnya.47

G.Peter Hoefnagels mengemukakan definisi dari kebijakan kriminal sebagai

berikut:

a. Criminal policy is the science of responses;

b. Criminal policy is the sciences of crime prevention;

c. Criminal policy is a policy if designating human behavior as a crime;

d. Criminal policy us a rational total of responses to crime.

45
Solichin Abdul Wahab, 1997, Kebijakan Sosial, Analisis Kebijaksanaan, PT.Bumi Aksara,
Jakarta, hal.24

46
Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT.Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal.23 (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief II)

47
Ibid, hal.24

32
Sudarto mengemukakan tiga arti dari kebijakan kriminal yaitu:

1. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dan
reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;
2. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum,
termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi, keseluruhan
kebijakan yang dilaukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi
yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral pada masyarakat. 48

Penal Policy dikatakan sebagai suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk

memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik, dan untuk

memberikan pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada

pengadilan yang menerapkan undang-undang, dan juga kepada penyelenggara atau

pelaksana putusan pengadilan.49

Objek dari hukum pidana bukan hanya meliputi perbuatan dari suatu masyarakat

dalam konteks secara umum tetapi hukum pidana juga memeliki sasaran kepada para

penguasa. Menurut Peters, pernah menyatakan pembatasan dan

pengawasan/pengendalian kekuasaan negara merupakan dimensi yuridis yang

sesungguhnya dari hukum pidana, tugas yuridis dari hukum pidana bukanlah “mengatur

masyarakat” , tetapi “mengatur penguasa” ("the limitation of, and control over, the

powers of the State constitute the real yuridical dimension of criminal law :The Juridical

task of criminal law is not policing society but policing the police"). 50 Kebijakan

48
Ibid, hal.24

49
Marc Ancel, 1965, Social Defence A Modern Aproach to Criminal Problems, Routlegde &
Kegan Paul, London, hal.209

50
G.P. Hoefnagels, 1973, The Other Side of Criminology, KIuwer-Deventer, Holland, hal.139

33
penegakan hukum pidana merupakan serangkaian proses yang terdiri dari tiga tahap

kebijakan yaitu :

1. Tahap kebijakan legislatif (formulatif) yaitu menetapkan atau


merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat
dikenakan oleh badan pembuat undang-undang.
2. Tahap kebijakan yudikatif/aplikatif yaitu menerapkan hukum pidana oleh
aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
3. Tahap kebijakan eksekutif/administratif yaitu melaksanakan hukum
pidana secara konkrit, oleh aparat pelaksana pidana.51

Pada tahap kebijakan legislatif merupakan muara dari kebijakan hukum pidana itu

sendiri dimana dalam hal ini akan berorientasi kepada pelaksanaan hukum pidana itu

sendiri dimana dalam hal ini akan sangat terkait dengan ditetapkan sistem pemidanaan,

maka pada hakekatnya sistem pemidanaan itu merupakan sistem kewenangan/kekuasaan

menjatuhkan pidana. Pidana tidak hanya dapat dilihat dalam arti sempit/formal, tetapi

juga dapat dilihat dalam arti luas/material.

Bertolak dari hal tersebut dalam konteks arti sempit atau formal, penjatuhan pidana

ini berarti kewenangan untuk menjatuhkan sanksi pidana sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang,

sedangkan dalam arti luas atau material, penjatuhan pidana merupakan mata rantai proses

tindakan hukum dari pejabat yang berwenang, mulai dari proses penyidikan, penuntutan,

sampai pada putusan pidana dijatuhkan oleh pengadilan dan dilaksanakan oleh aparat

pelaksana pidana, jadi dalam hal ini merupakan keseluruhan proses dari sistem peradilan

pidana itu sendiri, hal ini merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang

51
Barda Nawawi Arief, 1998 Beberapa Aspek Kebiiakan Penegakan dan Pengembangan Hukum
Pidana, PL Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.30 (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief III)

34
integral, dimana keseluruhan proses penegakan hukum itupun harus terwujud dalam satu

kesatuan kebijakan legislatif yang integral.

Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan

bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai

kesejahteraan masyarakat. Perumusan tujuan politik kriminal yang demikian itu pernah

pula dinyatakan dalam salah satu laporan Kursus Latihan ke-34 yang diselenggarakan

oleh UNAFEI di Tokyo tahun 1973 sebagai berikut:

Most of group members agreed some dicussion that "protection of the


society" could be accepted as the final goal of criminal policy, Although
not the ultimate aim of society, which might perhaps be described by
terms like "happiness of citizens", "a wholesome and cultural living",
"social welfare" or equality".52

Terkait dengan hal tersebut dapatlah dikatakan bahwa politik kriminal pada

hakekatnya juga merupakan bagian integral dari politik sosial yaitu kebijakan dalam

konteks upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial.

Pelaksanaan dalam orientasi politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan

untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti

memenuhi syarat keadilan dan daya guna.

Menurut Barda Nawawi Arif, usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan

hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan

penanggulangan kejahatan, jadi kebijakan hukum pidana merupakan tindakan

52
Summary Report, 1974, Resource Material Series No.7, UNAFEI, hal.95

35
penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pidana (penal). Usaha penanggulangan

kejahatan dengan hukum pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari usaha

penegakan hukum, khususnya penegakan hukum pidana, karena itu sering pula dikatakan

bahwa kebijakan hukum pidana juga merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum

(law enforcement policy).53

Usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum)

pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan

masyarakat. Dengan demikian seandainya kebijakan penanggulangan kejahatan

dilakukan dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal) maka kebijakan hukum

pidana (penal policy), khususnya pada tahap formulasi kebijakan legislasi yang

merupakan tugas dari aparat pembuat undang-undang (legislative) harus memperhatikan

dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial berupa “social-welfare” dan

“social-defence”.54 Dapat disimpulkan bahwa kebijakan sosial mengintegrasi kebijakan

kriminal di dalamnya, atau dengan kata lain kebijakan kriminal merupakan bagian dari

kebijakan sosial secara keseluruhan. Oleh karena itu setiap usaha untuk melindungi

masyarakat harus dipandang secara utuh, antara kebijkan tidak saling bertabrakan dan

bertentangan, hal ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dan kesejahteraan tersebut

dapat tercapai.

Kebijakan sosial ini dapat dibuat dalam bentuk suatu skema guna memudahkan

pemahamannya.

53
Ibid, hal. 30

54
Muhari Agus Santoso, 2002, Paradigma Baru Hukum Pidana, Averroes Press, Malang, hal.20

36
Social Welfare
Policy

Social Policy
TUJUAN
Social Defence
Policy
Penal Sosial
Skema Kebijakan
Criminal Policy
Non Penal

Dari skema diatas, dapat dilihat bahwa criminal policy berhubungan dengan penal

policy, Marc Ancel pernah menyatakan bahwa “Modern Criminal Science” terdiri dari 3

komponen yaitu kriminologi (criminology), hukum pidana (Criminal Law), dan kebijakan

hukum pidana (Penal Policy). Lebih jauh Marc Ancel menyatakan bahwa kebijakan

hukum pidana adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan

praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan

untuk memberikan pedoman tidak hanya menerapkan undang-undang (hukum positif)

dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. 55 Dengan demikian

penerapan hukum pidana dapat diukur, dan keadilan bagi masyarakat lebih dapat

dirasakan sebab penyelenggaraan dan pelaksanaan peradilan akan berpegangan pada

pedoman yang lebih baik.

55
Marc Ancel, Op.cit, hal.4

37
2 Teori Relatif (tujuan)

Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika menganut teori social defence

sebab merupakan suatu bentuk perlindungan sosial yang mengintegrasikan

pecandu narkotika ke dalam tertib sosial agar dia tidak lagi melakukan

penyalahgunaan narkotika

Dalam teori relatif ini, memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan

absolut dari keadilan. Sehingga menurut J. Andenaes, teori ini dapat disebut

sebagai ”teori perlindungan masyarakat” (the theory of socal defence)56.

Menurut Nigel Walker teori ini disebut sebagai teori atau aliran reduktif

karena dasar pembenaran pidana menurut teori ini ialah untuk mengurangi

frekuensi kejahatan57.

Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan

kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana. Tetapi mempunyai

tujuan–tujuan tertentu yang bermanfaat. Jadi dasar pembenaran adanya pidana

menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan quia

peccatum est (karena orang membuat jahat) melainkan ne peccetur (supaya

orang jangan melakukan kejahatan) 58.

56
Muladi, Barda Nawawi Arif, 1984, Teori – teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung,
hal.16. (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief IV)

57
Ibid

58
Ibid

38
teori Social defence berkembang setelah Perang Dunia ke-2. Tokoh

terkenal dari teori ini adalah Filippo Gramatica. Dalam teori ini, terbagi dua

konsepsi yaitu:59

1. Konsepsi radikal (ekstrim), dan

2. Konsepsi yang moderat (reformist)

Konsepsi radikal dipelopori dan dipertahankan oleh Filippo Gramatica.

Menurut Gramatica, “hukum perlindungan sosial” harus menggantikan hukum

pidana yang ada sekarang. Tujuan utama dari hukum perlindungan sosial

adalah mengintegrasikan individu kedalam tertib sosial dan bukan pemidanaan

terhadap perbuatannya.

Konsepsi moderat dipertahankan oleh Marc Ancel. Menurut Marc

Ancel, tiap masyarakat memasyarakatkan adanya tertib sosial, yaitu

seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan

untuk kehidupan bersama, tetapi sesuai dengan aspirasi-aspirasi warga

masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, peranan yang besar dari hukum

pidana merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan bagi suatu sistem

hukum. Beberapa konsep pandangan moderat 60 :

1. Pandangan moderat bertujuan mengintegrasikan ide-ide atau

konsepsi-konsepsi perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi-

59
Ibid, hal. 35-38

60
Marc Ancel, Op.cit, hal. 35

39
konsepsi perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi baru hukum

pidana.

2. Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan

yang tepat mengenai hukum pidana, dan ini tidak kurang

pentingnya dari kehidupan masyarakat itu sendiri;

3. Dalam menggunakan sistem hukum pidana, aliran ini menolak

penggunaan fiksi-fiksi dan teknis-teknis yuridis yang terlepas dari

kenyataan sosial. Ini merupakan reaksi terhadap legisme dari aliran

klasik.

Tujuan pidana untuk pencegahan kejahatan biasa dibedakan antara

prevensi spesial dan prevensi general. Prevensi spesial dimaksudkan pengaruh

pidana terhadap terpidana. Sehingga bertujuan agar terpidana dapat berubah

menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi masyarakat.61

Sedangkan prevensi general dimaksudkan pengaruh pidana terhadap

masyarakat pada umumnya, sehingga dapat mencegah masyarakat untuk tidak

melakukan tindak pidana62.

Selain itu, terdapat beberapa tujuan pemidanaan menurut teori relatif,

yaitu:

a. Mencegah terjadinya kejahatan,

b. Menakut – nakuti, sehingga orang lain tidak melakukan kejahatan,

61
Ibid, hal18.

62
Ibid.

40
c. Memperbaiki orang yang melakukan tindak pidana,

d. Memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap kejahatan.

Teori ini disebut juga teori tujuan, karena menitik beratkan pada tujuan

hukuman. Ancaman hukuman perlu supaya manusia tidak melanggar. 63

Berdasarkan tujuan pemidanaan dari teori relatif tersebut, penjatuhan

rehabilitasi terhadap pengguna narkotika memiliki tujuan untuk memperbaiki

orang yang telah melakukan tindak pidana. Hal ini dikarenakan para pengguna

narkotika melakukan suatu tindak kejahatan merusak dirinya sendiri dengan

memasukkan zat–zat adiktif yang pada akhirnya menimbulkan efek

ketergantungan dan bila tidak diobati dapat membahayakan jiwa si pemakai.

3. Teori Rehabilitasi

Menurut teori rehabilitasi yang dikemukakan oleh E. Rotman

Rehabilitation, according to modern standards, can be defined

tentatively and broadly as a right to an apportunity to return to (or

remain in) society with an improved chance of being a useful citizen

and staying out of prison;the term may also be used to denote the

actions or the state or private institutions in extending this

opportunity64.

63
Yulies Tiena Masriani, loc.cit.

64
Duff, Antony & David Garland, tanpa tahun, A Reader on Punisment, Oxford University Press,
hal286.

41
Terjemahan bebas penulis, rehabilitasi berdasarkan standar modern dapat

didefinisikan secara tentative dan luas, yaitu sebagai hak terhadap suatu

kesempatan untuk kembali ke masyarakat dengan kemungkinan yang lebih

baik sehingga dapat menjadi warga Negara yang berguna sehingga dapat

menjauhi penjara. Istilah tersebut juga dapat digunakan untuk menunjuk

tindakan–tindakan dari pemerintah atau institusi – institusi dalam memperluas

kesempatan ini.

Teori rehabilitasi dalam pembinaan narapidana yang masih banyak

diterapkan dewasa ini berawal dari pemikiran klasik (abad 17-18) dalam

hukum pidana yang dilandasi oleh pemikiran rasionalisme dan

humanitarianisme harus ditujukan menghasilkan dampak jera dan bukan

pembalasan dendam. Tokoh-tokoh terkemuka aliran klasik tersebut adalah

Beccaria (1764) dan Bentham. Dengan demikian apabila pada masa ini orang

masih memikirkan bahwa kita perlu melakukan pembalasan dendam terhadap

pelaku kejahatan, maka artinya pemikiran tersebut telah mundur ke alam

pemikiran abad 16, masa kegelapan di kawasan Eropa. Ciri dari penerapan

teori rehabilitasi adalah adanya usaha untuk membatasi penerapan hukuman

penjara dengan pemberian hukuman percobaan, mempercepat masa

penghukuman dengan pemberian remisi, pembebasan bersyarat, dan amnesti,

serta penghapusan hukuman mati.65

Sehingga berdasarkan teori tersebut, penjatuhan rehabilitasi dimaksudkan

agar nantinya seorang yang telah melakukan suatu tindak penyalahgunaan

65
Muhammad Mustofa, 2009 “Dari Retribusi dan Rehabilitasi ke Restorasi” available from : URL
: http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/artikel.php?aid=32186, diakses tanggal 7 Februari 2011

42
narkotika dapat menjadi seorang yang berguna bagi bangsa dan negara dan

tidak mengulangi perbuatan yang sama untuk yang kedua kalinya.

Dengan demikian penjatuhan suatu pidana harus memberikan rasa

kepuasan, baik bagi hakim maupun kepada penjahat itu sendiri di samping

kepada masyarakat.66

Berdasarkan teori–teori pemidanaan yang timbul dari tujuan adanya

pemidanaan, maka penjatuhan rehabilitasi merupakan suatu penjatuhan pidana

yang sesuai dengan maksud dan tujuan dari teori relatif (tujuan). Karena tujuan

dari rehabilitasi dan tujuan pemidanaan menurut teori relatif memiliki

kesamaan yaitu bertujuan untuk mengembalikan atau memperbaiki orang yang

telah melakukan suatu tindak pidana seperti pengguna narkotika yang pada

mulanya memiliki rasa ketergantungan menjadi orang yang terbebas dari rasa

ketergantungan narkotika tersebut,

4. Teori Double Track system (Pemidanaan Dua Jalur).

Hukum pidana modern menyatakan bahwa pemidanaan yang diterima oleh

seorang penyalahguna narkotika yang melakukan perbuatan itu tidak hanya

berupa pidana, akan tetapi juga tindakan yang bertujuan untuk melindungi

masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang merugikannya yang sering disebut

dengan double track system, namun dilihat dari latar belakang kemunculan

dapat disimpulkan bahwa ide dasar sistem tersebut adalah kesetaraan antara

66
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, 1982, Asas – asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan
Penerapannya, Alumni, Jakarta, hal.62

43
sanksi pidana dan tindakan.67 Sehubungan dengan perbedaan antara sanksi

pidana dan tindakan, serta batasan antara keduanya yang dinilai kabur, maka

perlu dipaparkan pendapat para sarjana mengenai dua jenis sanksi tersebut:

1. Sudarto:

Pendapatnya menekankan bahwa sanksi pidana adalah penderitaan yang

sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi

syarat-syarat tertentu. Sanksi dalam hukum pidana modern, juga meliputi apa

yang disebut tindakan tata tertib. Selanjutnya Sudarto juga menjelaskan bahwa

sanksi pidana adalah pembalasan (pengimbalan) terhadap kesalahan si

pembuat, sedangkan tindakan adalah untuk perlindungan masyarakat dan untuk

pembinaan atau perawatan si pembuat.68

2. Andi Hamzah:

Meskipun perbedaan sanksi pidana dan tindakan menurut Andi Hamzah

agak samar, tapi dia memberi penjelasan singkat bahwa sanksi pidana bertitik

berat pada pengenaan sanksi pada pelaku suatu perbuatan, sedangkan tindakan

bertujuan melindungi masyarakat.69

3. Utrecht:

67
M. Solehuddin, 2007, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, PT.Raja Grafindo, Jakarta, hal.24
(selanjutnya disebut Solehuddin II)

68
Sudarto, 1973, Hukum Pidana Jilid I A, Badan Penyediaan Kuliah FHAL UNDIP, Semarang,
hal.7 (Selanjutnya disebut Sudarto II)

69
Andi Hamzah, 1986, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Dari Retribusi ke Reformasi,
PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal.53.

44
Secara teoritis, Utrecht melihat perbedaan sanksi pidana dan tindakan dari

sudut tujuannya. Sanksi pidana bertujuan memberi penderitaan istimewa

(Bijzonder leed) kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya.

Sedangkan tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik. Dengan mengutip

pendapat Pompe, Utrecht menjelaskan lebih lanjut bahwa tindakan itu bila

ditinjau dari teori-teori pemidanaan merupakan sanksi yang tidak membalas,

melainkan semata-mata ditujukan pada prevensi khusus. Tindakan itu

bertujuan melindungi masyarakat terhadap orang-orang berbahaya yang

mungkin akan melakukan delik-delik yang dapat merugikan masyarakat.70

4. J.E. Jonkers:

Pakar hukum pidana dari Belanda ini juga membedakan jenis sanksi

pidana dan tindakan. Dikatakannya, sanksi pidana dititikberatkan pada pidana

yang diterapkan untuk kejahatan yang dilakukan, sedangkan tindakan

mempunyai tujuan yang bersifat sosial. 71

Dari penjelasan-penjelasan di atas, maka sanksi pidana sesungguhnya

bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan tindakan lebih bersifat

antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut. Fokus sanksi pidana ditujukan

pada perbuatan salah yang telah dilakukan seseorang melalui pengenaan

70
Utrecht,1987, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, hal.360

71
J.E. Jonnkers,1987, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, PT. Bina Aksara, Jakarta,
hal. 350

45
penderitaan agar yang bersangkutan menjadi jera. Fokus tindakan lebih terarah

pada upaya memberi pertolongan pada pelaku agar ia berubah. 72

Jelaslah, bahwa sanksi pidana lebih menekankan unsur pembalasan

(pengimbalan). Ia merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada

seorang pelanggar yang menitikberatkan pada pidana yang diterapkan untuk

kejahatan yang dilakukan. Sedangkan tindakan bersumber dari ide dasar

perlindungan masyarakat dan pembinaan atau perawatan si pembuat yang

bersifat sosial

Berdasarkan tujuannya, sanksi pidana dan tindakan juga bertolak dari

ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bertujuan memberi penderitaan

istimewa (Bijzonder leed) kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat

perbuatannya. Selain ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap pelaku,

sanksi pidana juga merupakan bentuk pernyataan pencelaan terhadap perbuatan

si pelaku. Dengan demikian, perbedaan prinsip dengan tindakan terletak pada

ada tidaknya unsur pencelaan, bukan pada ada tidaknya unsur penderitaan,

sedangkan tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik.73

Jika ditinjau dari teori-teori pemidanaan, maka tindakan merupakan sanksi

yang tidak membalas. Ia semata-mata ditujukan pada prevensi khusus, yakni

melindungi masyarakat dari ancaman yang dapat merugikan kepentingan

masyarakat itu., singkatnya, sanksi pidana berorientasi pada ide pengenaan

72
Barda Nawawi Arief,1992, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, hal. 4
(selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief V)

73
J.E. Jonnkers, Loc.cit

46
sanksi terhadap pelaku suatu perbuatan, sementara tindakan berorientasi pada

ide perlindungan masyarakat.74

5. Teori Pencegahan (Deterrence Teory)

Teori deterrence ini tidak berbeda dengan teori retributif, deterrence

merupakan suatu bentuk teori pemidanaan yang didominasi oleh pandangan

konsekwensialis. Berbeda dengan pandanga retributif yang memandang

penjatuhan sanksi pidana hanya sebagai pembalasan semata, maka dalam teori

deterrece memandang adanya tujuan lain yang lebih bermanfaat dari pada sekedar

pembalasan. Pandangan Betham menyatakan bahwa pidana yang berat diterima

karena pengaruh yang bersifat memperbaiki (reforming effect).75 Akan tetapi ia

mengakui bahwa pidana yang berat harus diterima oleh rakyat sebelum

diberlakukan atau diefektifkan. Dari pandangan tersebut maka hukum pidana

jangan hanya digunakan sebagai sarana pembalasan terhadap penjahat, tetapi

hanya untuk tujuan mencegah terjadinya kejahatan. Jadi dari pandangan tersebut

jelas bahwa fungsi pidana adalah sebagai sarana pencegahan. Namun meskipun

secara umum teori deterrence dianggap sebagai teori tujuan pemidanaan yang baik

dalam perspektif pencegahan dan penanggulangan kejahatan, tetapi ide utama dari

teori ini sangat berbeda dengan konsep rehabilitatif dan incapacitation yang akan

dibahas secara lanjut dalam teori berikutnya.

74
Barda Nawawi Arief (I), Op.cit hal. 5

75
Barda Nawawi Arief (V), Op.cit. hal. 30

47
Nigel Walker menamakan ini sebagai paham reduktif (reduktivism) karena

dasar pembenaran dijatuhkannya pidana dalam pandangan akiran ini adalah untuk

mengurangi frekuensi kejahatan (the justification for penalizing offences is that

this reduces their frequency). Penganut reductivism meyakini bahwa pemidanaan

dapat mengurangi pelanggaran melalui satu atau beberapa cara berikut ini : 76

1. Pencegahan terhadap pelaku kejahatan (detering the offender), yaitu


membujuk si pelaku untuk menahan diri atau tidak melakukan
pelanggaran hukum kembali melalui ingatan mereka terhadap pidana
yang dijatuhkan.
2. Pencegahan terhadap pelaku yang potensial (detrring potential imitstors),
dalam hal ini memberikan rasa takut kepada orang lain yang potensial
untuk melakukan kejahatan dengan melihat contoh pidana yang telah
dijatuhkan kepada si pelaku sehingga mendatangkan rasa takut akan
kemungkinan dijatuhkan pidana kepadanya.
3. Perbaikan si pelaku (reforming the offender), yaitu memperbaiki tingkah
laku si pelaku sehingga muncul kesadaran si pelaku untuk cenderung
tidak melakukan kejahatan lagi walaupun tanpa adanya rasa ketakutan
dan ancaman pidana.
4. Mendidik masyarakat supaya lebih serius memikirkan terjadinya
kejahatan, sehingga dengan cara ini secara tidak langsung dapat
mengurangi frekuensi kejahatan.
5. Melindungi masyarakat (protecting the public), melalui pidana penjara
cukup lama.

Secara teori deterrence dapat dibedakan dalam dua bentuk sebagai berikut :

1). General Deterrence

Berangkat dari argumentasi yang dikemukakan betham diatas, maka ia

memandang bahwa penjatuhan suatu sanksi pidana adalah suatu proses

pemberian derita dan karenanya harus dihindari. Penjatuhan suatu sanksi

76
Marlina, 2011, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung. Hal. 41

48
pidana dapat dibenarkan manakala memberikan keuntungan. Keuntungan

yang dimaksud disini ialah keuntungan yang hanya dapat dicapai melalui

mekanisme penjatuhan sanksi pidana kepada pelaku dan benar-benar tidak

dapat dicapai dengsn cara lain. Atas dasar argumentasi bahwa sebagian

besar jenis kejahatan merupakan hasil dari perhitungan rasional, maka

sanksi pidana sebagai sarana pencegah kejahatan secara umum, dalam

perumusan dan penjatuhannya hal ini harus memperhitungkan tujuan akhir

yang akan dicapai.

2). Special Deterrence

Berbeda dengan pandangan tujuan pencegahan umum yang dijelaskan di

atas, maka spesial deterrence merupakan suatu sarana pencegahan pasca

proses pemidanaan. Penjatuhan hukuman merupakan mekanisme yang harus

di buat agar pelaku berpikir dua kali untuk melakukan tindak pidana lagi

dikemudian hari. Meskipun dalam pandangan lain suatu penjatuhan

hukuman juga merupakan sarana pencegahan begi mereka yang berpotensi

sebagai calon pelaku untuk berpikir sebelum melakukan suatu tindak

pidana, dalam pandangan ini, sanksi pidana memberikan efek penjeraan dan

penangkalan sekaligus. Penjeraan bertujuan untuk menjauhkan seseorang

yang telah dijatuhi hukuman dari kemungkinan mengulangi kejahatan yang

sama. Sementara tujuan penangkalan merupakan sarana menakut-nakuti

bsgi penjahat-penjahat potensial dalam masyarakat.

49
1.7 Metode Penelitian

1.7.1 Jenis Penelitian

Dalam suatu penelitian, pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh

secara langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. Yang diperoleh

langsung dari masyarakat disebut data primer (data dasar), sedangkan yang

diperoleh dari bahan-bahan pustaka lazimnya dinamakan data sekunder.

Dengan demikian maka dalam penelitian hukum dapat dibedakan antara :

a. Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal, yaitu

penelitian hukum yang mempergunakan sumber data sekunder.

b. Penelitian hukum empiris atau penelitian hukum sosiologis, yaitu

penelitian hukum yang memperoleh data dari data primer.

Untuk penulisan tesis ini penulis mempergunakan penelitian hukum normatif

dengan salah satu cirinya adalah mengunakan data sekunder,dimana data ini terdiri

dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Dan

landasan teoritis yang digunakan merupakan undang–undang, norma–norma

maupun teori–teori yang sesuai dengan permasalahan yang penulis angkat.77

1.7.2 Metode Pendekatan

Adapun metode pendekatan yang dipakai terhadap masalah ini adalah

beberapa metode yang dikenal dalam penelitian hukum normatif, yaitu pendekatan

analisis konsep hukum (analytical and conceptual approach), pendekatan

perundang-undangan (statue approach), pendekatan kasus (case Approach),

77
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, 1985,Peneiitian Hukum Normatif Suatu Tiniauan Singkat, PT.
Raja Grafindo Persada Jakarta, hal. 13

50
pendekatan perbandingan. Keempatnya ini akan digabungkan dengan pendekatan

yang biasa dipergunakan dalam hukum pidana, yang disebut dengan pendekatan

kebijakan. Pendekatan kebijakan mencakup pengertian yang saling terkait antara

pendekatan yang berorientasi pada tujuan, pendekatan yang rasional, pendekatan

ekonomis dan fragmatis, serta pendekatan yang berorientasi pada nilai. 78

1.7.3 Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum dalam penelitian ini adalah bahan / sumber sekunder,

yaitu bahan pustaka yang berisikan informasi tentang bahan primer, diperoleh dari

sumber yang mengikat (authoritative source), dalam bentuk perundang-undangan.

Sumber bahan hukum sekunder diperoleh dari hasil-hasil penelitian, buku-buku

(literatur) maupun artikel-artikel yang berkaitan erat dengan permasalahan yang

diteliti, dan dalam hal ini berkenaan dengan penerapan rehabilitasi dalam Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009.

1.7.4 Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Karena penelitian ini lebih bersifat penelitian hukum normatif, maka lebih

menitik beratkan penelitian pada bahan hukum primer, sedangkan bahan hukum

sekunder lebih bersifat menunjang. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam

penelitian ini dikumpulkan dari sumber primer berupa perundang penelitian ini

dikumpulkan dari sumber primer berupa perundang-undangan dan yurisprudensi,

dan dari sumber sekunder berupa dokumen atau risalah perundang-undangan,

78
Barda Nawawi Arief, 1994, Kebiiakan Legislatif Dalam Penangqulangan Keiahatan Pengan
Pidana Peniara, Universitas Diponegoro Semarang, hal. 61 (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief VI)

51
konsep rancangan undang-undang, sumber-sumber hukum lainnya, hasil-hasil

penelitian dan kegiatan ilmiah, serta pendapat para ahli hukum dan ensiklopedi.

1.7.5 Analisis Bahan Hukum

Pengolahan data adalah “kegiatan mengumpulkan data sehingga siap untuk

dianalisis”79. Dalam penelitian ini, pengolahan data dilakukan dengan melakukan

deskriptif-analitis evaluatif argumentatif dan interpretatif. Bahan hukum yang

berhasil dikumpulkan akan disajikan secara utuh, kemudian dianalisis. Adapun

analisis yang dikemukakan bersifat evaluatif, yakni melakukan evaluasi terhadap

norma hukum dalam peraturan hukum pidana positif”80.

79
Bambang Waluyo, 1996, Penelitian Dalam Praktek, cet. II, Sinar Grafika, Jakarta, hal.72

80
Bambang Sunggono, Op.cit, hal.134.

52
BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI KEBIJAKAN, NARKOTIKA, REHABILITASI

DAN PENYALAHGUNA NARKOTIKA

2.1 Pengertian Kebijakan

Istilah “kebijakan” dalam tulisan ini diambil dari istilah “policy” (inggris) atau

“politiek” (Belanda). Dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum Pidana” ini sering

dikenal dengan berbagai istilah antara lain “Penal Policy,Criminal Law Policy, atau

Strafrechtpolitiek”.81

Upaya melakukan segala bentuk pencegahan dan penanggulangan kejahatan

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba adalah termasuk bidang kebijakan kriminal

(criminal policy) - yang oleh G. Peter Hoefnagels diartikan sebagai: ... the rational

organization of the social reaction to crime. Dan kebijakan kriminal ini juga merupakan

bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan sosial (social policy), yang terdiri dari

upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya-upaya untuk

kesejahteraan sosial (social welfare).

James E. Anderson memberikan pengertian kebijakan sebagai serangkaian

tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang

pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu.82

81
Ibid hal. 24

82
James E. Anderson, 1984, Public Policy Making, Holt, Rinehart and Winston, cet. ke-3, New
York, hal.3

53
Pengertian serupa juga dikemukakan oleh Thomas R. Dye. Ia menyatakan bahwa

“kebijakan merupakan apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak

dilakukan.”83

Pengertian kebijakan menurut kamus besar Bahasa Indonesia diartikan

“rangkaian konsep pokok dan asas yang menjadi garis dalam menjalankan suatu

pekerjaan”, diartikan juga sebagai pedoman dasar yang dijadikan acuan dalam

menjalankan kepemimpinan, Kebijakan atau kajian kebijakan dapat pula merujuk pada

proses pembuatan keputusan-keputusan penting organisasi, termasuk identifikasi

berbagai alternatif seperti prioritas program atau pengeluaran, dan pemilihannya

berdasarkan dampaknya. Kebijakan juga dapat diartikan sebagai mekanisme politis,

manajemen, finansial, atau administratif untuk mencapai suatu tujuan eksplisit.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan merupakan

serangkaian tindakan yang menjadi keputusan pemerintah untuk melakukan atau tidak

melakukan sesuatu yang bertujuan untuk memecahkan masalah demi kepentingan

masyarakat.

Menurut A. Mulder84, “straafrecht politiek” mempunyai garis tuntunan sebagai

berikut:

a) seberapa jauh kebijakan hukum pidana yang berlaku perlu diubah/diperbaharui;

b) apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;

83
Thomas R. Dye, 2005, Understanding Public Policy, Pearson Education Inc., New Jersey, hal.1
84
Ibid,hal.26

54
c) cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana harus

dilaksanakan.

Pengertian Mulder di atas berdasarkan pada pendapat “sistem hukum pidana dari Marc

Ancel yang menyatakan bahwa setiap masyarakat yang terorganisir memiliki sistem

hukum pidana” yang terdiri dari: 85

a) peraturan hukum pidana dan sanksinya;

b) suatu tata cara hukum pidana;

c) suatu mekanisme pelaksanaan pidana.

Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya

tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi, kebijakan pidana juga

merupakan bagian dari ”criminal policy” dengan pengertian sebagai kebijakan

penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana. Usaha penanggulangan kejahatan

dengan hukum pidana pada hakekatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan

hukum. Oleh karena itu sering pula dikatakan bahwa kebijakan hukum

pidana juga merupakan bagian dari bagian kebijakan penegakan hukum (Law

Enforcement Policy). Dengan demikian, dilihat dalam arti luas, kebijakan hukum pidana

dapat mencakup ruang lingkup kebijakan di bidang hukum pidana materil, di bidang

hukum pidana resmi dan di bidang hukum pelaksanaan pidana. Sebagaimana telah

diuraikan di atas, kebijakan pidana adalah sebagai suatu bagian dari upaya

menanggulangi kejahatan dalam rangka mensejahterakan masyarakat, tindakan untuk

mengatur masyarakat dengan sarana hukum pidana sangat erat kaitannya dengan berbagai

bentuk kebijakan dalam suatu proses kebijakan sosial yang mengacu pada suatu tujuan

yang luas. Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa:


85
ibid

55
”apabila perwujudan suatu sanksi pidana hendak dilihat sebagai suatu kesatuan proses

dari perwujudan kebijakan melalui tahap-tahap yang direncanakan sebelumnya, maka

tahap-tahapnya yaitu tahap formulasi oleh pembuat undang-undang, tahap aplikasi oleh

pengadilan dan tahap eksekusi oleh aparat pelaksana pidana”, Apabila dilihat dari suatu

kesatuan proses, maka tahap kebijakan legislatif merupakan tahap yang paling strategis.

Dari tahap inilah diharapkan adanya suatu garis pedoman untuk tahap-tahap berikutnya. 86

Politik hukum berkaitan dengan hukum positif, hal ini karena menyangkut

diberlakukannya suatu hukum di suatu negara. Dengan demikian, politik hukum ialah

kebijakan hukum untuk mencapai tujuan. Perspektif Politik Hukum Nasional yang

dikemukakan oleh Sunaryati Hartono, bahwa hukum itu bukan merupakan tujuan, akan

tetapi hanya merupakan jembatan yang harus akan membawa kita kepada ide yang

dicita-citakan. 87

Pemikiran politik kriminal menurut Sudarto dapat diartikan dalam 3 (tiga)

pengertian yaitu (Sudarto, 1986:113-114):

1. Dalam pengertian yang sempit ialah politik kriminal itu digambarkan


sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi
terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana.
2. Dalam arti yang lebih Iuas ialah politik kriminal itu merupakan
keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, : termasuk di dalamnya
cara kerja dari pengadilan dan polisi.
3. Dalam arti yang paling Iuas ialah politik kriminal itu v merupakan
keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui peraturan perundang-
undangan dan badan-badan, resmi, yang bertujuan untuk menegakkan
norma-norma sentral dari masyarakat .

86
ibid

87
Sunaryati Hartono. 1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional. Alumni,
Bandung, hal.1.

56
Sedangkan dalam pengertian yang praktis, politik kriminal itu adalah segala usaha

yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Usaha ini meliputi

aktivitas dari pembentukan undang-undang, kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan aparat

eksekusi pemidanaan. Aktivitas badan-badan tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi

berkaitan satu sama lain sesuai dengan fungsinya masing-masing. Oleh karena itu, wajar

pulalah apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari

kebijakan atau politik sosial (social policy). Kebijakan sosial (social policy) dapat

diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat

dan sekaligus mencakup per-lindungan masyarakat.

Dilihat dalam arti Iuas, kebijakan hukum pidana dapat mencakup ruang lingkup

kebijakan di bidang hukum pidana materiil, di bidang hukum pidana formal dan di bidang

hukum pelaksanaan pidana. Sedangkan dengan menggunakan upaya nonpenal ini dapat

meliputi bidang yang sangat Iuas sekali di seluruh sektor kebijakan sosial. Tujuan utama

dari usaha-usaha nonpenal ini ialah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun

secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan.

Usaha-usaha nonpenal ini misalnya penyantunan dan pendidikan sosial dalam

rangka mengembangkan tanggung jawab sosial warga masyarakat. Penggarapan

kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama, dan sebagainya;

peningkatan usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja; kegiatan Karang Taruna,

Pramuka, kegiatan-kegiatan patroli dan pengawasan lainnya secara kontinu oleh polisi

dan aparat keamanan lainnya, dan sebagainya.

Sebagai contoh keterpaduan ini ialah, dalam menanggulangi masalah preman

yang dilakukan aparat terkait selama ini. Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal

57
dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan: 88 (a)

perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana itu, dan (b) sanksi apa yang

sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.

Penganalisisan terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari

konsepsi integral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial atau kebijakan

pembangunan nasional. Ini berarti pemecahan masalah-masalah di atas harus pula

diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial politik yang telah

ditetapkan.

Dengan demikian, kebijakan hukum pidana termasuk pula kebijakan dalam

menangani kedua masalah sentral di atas, harus pula dilakukan dengan pendekatan yang

berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach). Sudah barang tentu pendekatan

kebijakan yang integral ini tidak hanya dalam bidang hukum pidana, tapi juga pada

pembangunan hukum pada umumnya Berdasarkan pendekatan yang berorientasi pada

kebijakan sosial itulah kiranya, Sudarto berpendapat bahvva dalam menghadapi masalah

sentral yang pertama di atas, yang sering disebut masalah kriminalisasi.

Politik hukum itu tidak terlepas dari realita sosial dan tradisional yang terdapat di

negara kita dan di lain pihak, sebagai salah satu anggota masyarakat dunia, politik hukum

Indonesia tidak terlepas pula dari realita politik hukum internasional. Dengan demikian,

faktor-faktor yang akan , menentukan politik hukum nasional itu tidaklah semata-mata

ditentukan oleh apa yang kita cita-citakan atau tergantung pada kehendak pembentuk

hukum, praktisi atau para teoretisi belaka, akan tetapi ikut ditentukan oleh perkembangan

88
Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1984. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni, Bandung,
hal. 160

58
hukum di lam-lain negara, serta perkembangan hukum internasional. Dengan lain

perkataan, ada faktor-faktor di luar jangkauan bangsa kita yang ikut menentukan politik

hukum masa kini, dan di masa yang akan datang. Sunaryati Hartono, selanjutnya dalam

melihat perspektif hukum nasional, bahwa proses pembentukan Hukum Nasional

bukanlah merupakan proses yang mudah. Perspektif Hukum Nasional, dikatakan bahwa:

1. Hukum Nasional Indonesia akan lebih berupa hukum kebiasaan yang bersumber

pada perjanjian-perjanjian (kontrak-kontrak) dan hukum tertulis (perundang-

undangan, termasuk keputusan-keputusan pemerintah, sedang hukum adatjadi

pelengkap).

2. Hukum Internasional akan secara lebih langsung mempengaruhi hukum nasional

daripada di masa-masa yang lampau, sehingga timbul bidang hukum

internasional89.

Hubungan politik dan hukum menurut Teguh Prasatyo, yang mengambil pendapat

Mahfud MD, menjelaskan bahwa hukum merupakan produk politik. Hukum dipandang

sebagai dependent variable dan politik sebagai independent variable. Dengan asumsi

demikian itu, Mahfud MD merumuskan politik hukum sebagai kebijakan hukum yang

akan atau telah dilaksanakan secara nasioaal olch pemerintah, mencakup pula pengertian

tcntang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi

kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Di sini hukum tidak

dapat hanya dipandang sebagai Pasal-Pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-

keharusan, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan bukan

tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan Pasal-

89
Ibid, hal. 22.

59
Pasalnya maupun dalam implementasi dan penegakannya.Berdasarkan pandangan

terhadap politik hukum, Mahfud MD melihat dari sudut pembuatan undang-undang di

badan Legislatif bahwa hukum merupakan proses dari politik. Hal ini, sesuai dengan

pandangan HC Bredemeir bahwa hukum dipengaruhi oleh politik, sosial, dan ekonomi.

Menurut Solly Lubis 90 politik hukum ialah kebijakan politik yang menentukan

peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku untuk mengatur berbagai hal kehidupan

bermasyarakat dan bernegara. Dengan dasar itu, Sudarto menyatakan: 91. politik hukum

merupakan kebijakan negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menerapkan

peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan dapat digunakan untuk

mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat untuk mencapai apa yang

dicita-citakan. Selanjutnya menurut Sudarto, politik hukum pidana (dalam tataran mikro)

sebagai bagian dari politik hukum (dalam tataran makro), dalam pembentukan undang-

undang harus mengetahui sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat, yang berhubungan

dengan keadaan itu dengan cara-cara yang diusulkan dan dengan tujuan-tujuan yang

hendak dicapai agar hal-hal tersebut dapat diperhitungkan dan dapat dihormati. 92

Jika demikian halnya, maka menurut Sudarto,93 melaksanakan politik hukum

pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai

dengan keadaan dan situasi pada suatu vvaktu dan untuk masa-masa yang akan datang.

90
Solly Lubis. 1989. Serba Serbi Politik dan Hukum. Mandar Maju, Bandung, hal. 49.

91
Sudarto. 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat; Kajian terhadap Pembaharuan
Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung, hal. 1 (selanjutnya disebut Sudarto III)

92
Ibid, hal. 23.

93
Ibid, hal. 93-94.

60
Lebih lanjut, Sudarto menyatakan bahwa pembentukan undang-undang merupakan

proses sosial dan proses politik yang sangat penting artinya dan mempunyai pengaruh

luas, karena ia akan memberi bentuk dan mengatur atau mengendalikan masyarakat.

Undang-undang ini digunakan olehpenguasa untuk mencapai dan mevvujudkan tujuan-

tujuan tertentu. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa undang-undang itu

mempunyai dua fungsi untuk meng-ekspresikan nilai-nilai dan fungsi instrumental.

Menurut Sahetapy, 94 peranan hukum dengan pendekatan fungsional tidak sama

dengan hukum yang berperan sebagai suatu alat (instrumen) belaka. Pendekatan secara

fungsional, hukum dalam penerapannya harus diarahkan untuk mencapai tujuan dari

mana hukum itu berasal. Jika hukum di Indonesia bersumber pada Pancasila maka setiap

produk perundang-undangan tidak mungkin terlepas dari sumbernya, yakni dari mana

hukum dijiwai, dipersepsikan, dan dalam penjabarannya atau diwujudkan dalam bentuk

manifestasinya harus selalu bernafaskan Pancasila. Jika tidak, hukum itu tidak lagi

berfungsi dalam arti sebenarnya sehingga lebih tepat disebut sebagai instrumen. Hukum

dalam pengertian ini, hanya denii kepentingan tertentu yang sama sekali tidak dijiwai

oleh semangat dan idealisme Pancasila.

Dalam sistem politik para pengambil keputusan selalu mempertimbangkan

masukan berupa tuntutan dari kelompok-kelompok kepentingan dan dukungan

masyarakat yang percaya pada legitimasinya. Setelah melewati proses konversi, mereka

merumuskan keluaran berupa keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan antara lain

dalam bentuknya yang utama yaitu berupa pelbagai produk hukum dan kebijakan umum.

Apalagi ingin berkembang maka sebuah sistem politik harus memiliki mekanisme untuk

94
Sahetapy. 1993. Hukum dalam Konteks Politik dan Budaya, dalam Kebijakan Pembangunan
Sistem Hukum. Analisis (CSIS (Januari-Pebruari, XXII) No. 1, hal. 55-56.

61
menyerap umpan balik. Ditegaskan bahwa hukum dan politik hukum pada dasarnya

merupakan produk dari sistem hukum. Dengan demikian tampak bahwa warna dan

kualitas hukum yang berlaku dalam masyarakat akan tergantung pada warna dan kualitas

sistem politik yang berlaku.

Politisasi hukum terjadi di semua lini aktivitas hukum, baik proses pembuatan

hukum, proses penegakan hukum, dan proses penciptaan kesadaran hukum. 95 Hukum

sebagai kebijakan merupakan pilihan dari sekian alternatif yang mungkin terjadi, setelah

melalui proses interaksi dalam sistem perjuangan politik. Langkah-langkah untuk

menghasilkan kebijakan merupakan perjuangan politik yang berat, betapa kuatnya aroma

politik dalam kehidupan hukum terlihat dalam proses pembuatan undang-undang dan

pelembagaan sistem checks and balances dalam pemerintahan yang demokratis serta

praktik penerapan kekuasaan birokrasi. Politik hukum (legal policy) dalam arti kebijakan

negara (public policy) di bidang hukum harus dipahami sebagai bagian kebijakan sosial,

yaitu usaha setiap masyarakat/pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan warganya di

segala aspek kehidupan. Hal ini bisa mengandung dua dimensi yang terkait satu sama

lain, yaitu kebijakan kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan

perlindungan sosial (social defence policy).96

Dengan demikian tidak mungkin merumuskan politik hukum yang tepat tanpa

mengkaji secara akurat kebijakan sosial, sebab justru akar permasalahan yang akan

diatasi dengan politik hukum terdapat dalam masyarakat, berupa kebutuhan-kebutuhan

95
Muladi. 2002. Demokratisasi, Hak A.tasi Manusia. dan Reformasi Hukum di Indonesia. The
Habibie Center, hal. 258-260.

96
Ibid., hal. 269.

62
strategis masyarakat yang memerlukan perlindungan dan pengaturan hukum dalam

kerangka menciptakan keselamatan masyarakat.

Kebijaksanaan atau kebijakan (policy) dapat diartikan, baik secara teoritik

maupun praktikal. Secara teoritikal kebijakan (policy) dapat diartikan secara luas (board)

maupun secara sempit (narrow). Dari kepustakaan kita dapat mengetaui bahwa policy

dalam arti luas (board) merupakan, “…a general pattern of decision and action by

governmental authorities that are tied together by a common and general goal to which

all of the decisions and action are directed”. Sedangkan “policy“ dalam arti sempit

“narrow” merupakan, “…is a body of principles to guide action. It consists of decisions

about the future. It is an authoritative declarations of prescription consisting of: Statutes,

An appropriation, A set of rule, An executive order, or A judicial decision reacted by

political process”. Di samping itu, kebijaksanaan atau kebijakan (policy) secara praktikal

erat kaitannya dengan hukum positif, yaitu teori hukum positif yang mempunyai objek

berupa gejala-gejala dari hukum yang berlaku dalam masyarakat (pada waktu tertentu,

mengenai masalah tertentu, dan dalam lingkungan masyarakat (Negara) tertentu yang

memberikan dasar pemikiran tentang jiwa dalam hukum tersebut.97

Hukum dan kebijakan publik mengendalikan dan membentuk pola sampai

seberapa jauh masyarakat diatur dan diarahkan. Dengan demikian sangat penting untuk

menyadarkan para perancang hukum dan kebijakan publik bahkan para pendidik bahwa

hukum dan kebijakan publik yang diterbitkan akan mempunyai implikasi yang luas di

97
Hermien Hadiati Koeswadji, 2002. Hukum Untuk Perumahsakitan, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal. 107-108

63
bidang sosial, ekonomi, dan politik. Politik hukum harus dirumuskan secara mendasar

dalam kerangka sistem hukum yang mencakup elemen-elemen sebagai berikut:98

 Pertama, elemen struktur hukum yang terdiri atas misalnya jenis-jenis peradilan,

yurisdiksinya, proses banding, kasasi, peninjauan kembali, pengorganisasiannya

mekanisme hubungan polisi dan kejaksaan, dan sebagainya.

 Kedua, elemen substansi hukum yang dapat diartikan sebagai pelbagai peraturan,

norma, dan perilaku orang-orang di dalam sistem. Pada intinya merupakan hukum

yang mengatur berbagai norma, nilai, dan sanksi dalam bentuk peraturan-

peraturan hukum. Termasuk di sini living law yang terjadi dalam praktik hukum

yang penuh dengan diskresi.

 Ketiga, elemen kultur hukum merupakan bagian dari general culture yang

berkaitan dengan sistem hukum. Setiap masyarakat, setiap negara, setiap

komunitas mempunyai suatu budaya hukum. Hal ini selalu berupa sikap dan

pandangan terhadap hukum. Salah satu subkultur yang penting untuk diperhatikan

ialah kultur yang dihayati oleh hakim dan penasihat hukum yang bekerja di dalam

sistem hukum itu sendiri. Hal ini akan banyak berarti bagi efektivitas sistem

hukum tersebut.

Secara operasional, ketiga elemen sistem hukum tersebut sebagai proses pembuatan

undang-undang (substansi hukum), proses penegakan hukum (struktur hukum) dan proses

penciptaan kesadaran hukum (budaya hukum), baik dalam bidang hukum pidana, hukum

perdata, maupun hukum administrasi.

98
Ibid, hal. 270-271

64
Hal senada dinyatakan oleh Barda Nawawi Arief, bahwa kebijakan

penanggulangan kejahatan yang dituangkan ke dalam peraturan perundangundangan

secara garis besar meliputi:

a. Perencanaan atau kebijakan tentang perbuatan-perbuatan

terlarang apa yang ditanggulangi karena dipandang

membahayakan atau merugikan;

b. Perencanaan atau kebijakan tentang sanksi apa yang dapat

dikenakan terhadap pelaku perbuatan terlarang itu (baik pidana

atau tindakan) dan sistem penerapannya;

c. Perencanaan atau kebijakan tentang peraturan dan tata cara

sistem peradilan pidana dalam rangka proses penegakan hukum

pidana. 99

Dengan demikian, kebijakan hukum pidana tidak dapat dipisahkan dari sistem hukum

pidana. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Marc Ancel bahwa ”tiap-tiap

masyarakat yang terorganisir memiliki system hukum pidana yang terdiri dari peraturan-

peraturan hukum pidana dan sanksinya, suatu aturan hukum pidana dan suatu tata cara

pelaksanaan pidana”. 100

Di sini berarti suatu usaha penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum

pidana, yang pada hakekatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum

(khususnya hukum pidana).

Dengan demikian, tujuan utama kebijakan kriminal terhadap kejahatan narkoba

adalah berkontribusi dalam mewujudkan tujuan dan kebijakan sosial tersebut, yaitu

99
ibid
100
ibid

65
memberikan perlindungan masyarakat dari bahaya narkoba untuk mencapai kesejahteraan

masyarakat. Istilah kebijaksanaan atau kebijakan yang diterjemahkan dari kata policy

memang biasanya dikaitkan dengan keputusan pemerintah, karena pemerintahlah yang

mempunyai wewenang atau kekuasaan untuk mengarahkan masyarakat, dan bertanggung

jawab melayani kepentingan umum. Ini sejalan dengan pengertian publik itu sendiri

dalam bahasa Indonesia yang berarti pemerintah, masyarakat atau umum. 101

2.2. Narkotika

2.1.1 Pengertian Narkotika

Narkotika secara etimologis berasal dari bahasa Inggris narcose atau narcois yang

berarti menidurkan dan pembiusan. Kata narkotika berasal dari Bahasa Yunani yaitu

narke yang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa–apa102.

Dari istilah farmakologis, yang digunakan adalah kata „drug‟ yaitu sejenis zat yang

bila dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh–pengaruh tertentu pada tubuh si

pemakai seperti mempengaruhi kesadaran dan memberikan ketenangan, merangsang dan

menimbulkan halusinasi103.

101
Wibowo Edi, 2004. Hukum dan Kebijakan Publik, Yayasan Pembaruan Administrasi Publik
Indonesia, Yogyakarta, hal. 18.

102
Hari Sasangka, Op.cit, hal.35.

103
Soedjono, D, 1977, Narkotika Dan Remaja, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Soedjono
D (II), hal.3.

66
Secara terminologis, narkoba atau narkotika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

adalah obat yang dapat menenangkan syaraf, menghilangkan rasa sakit, menimbulkan

rasa mengantuk dan merangsang 104.

Menurut beberapa sarjana maupun ahli hukum, pengertian narkotika adalah sebagai

berikut :

1. B. Bosu, narkotika adalah sejenis zat yang apabila dipergunakan atau

dimasukan ke dalam tubuh si pemakai akan menimbulkan pengaruh–pengaruh

seperi berupa menenangkan, merangsang, dan menimbulkan khayalan atau

halusinasi105.

2. B. W. Bawengan,

narkotika adalah narkotika dalam bentuk aslinya sebenarnya berasal dari


tanaman papaver somniverum, yaitu berupa getah putih seperti susu,
setelah dijemur dan kering menjadi serbuk yang berwarna coklat, maka
dsebut candu yang khasiatnya membuat orang tertidur dan
menghilangkan rasa nyeri106.

3. Edy Karsono, narkotika adalah zat/bahan aktif yang bekerja pada system saraf

pusat (otak), yang dapat menyebabkan penurunan sampai hilangnya kesadaran

dan rasa sakit (nyeri) serta dapat menimbulkan ketergantungan (ketagihan) 107.

104
Anton M. Moelyono, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, hal.609

105
B. Bosu, 1982, Sendi – sendi Kriminologi, Usaha Nasional, Surabaya, ha.l68

106
BW. Bawaengan, 1997, Masalah Kejahatan Dengan Sebab Akibat, Pradnya Paramita, Jakarta,
hal.72.

107
Edy Karsono, 2004, Mengenal Kecanduan Narkotika dan Minuman Keras, Yrama Widya,
Bandung, hal.11

67
4. Menurut Soedjono Dirjosisworo dalam bukunya yang berjudul Hukum

Narkotika Indonesia,

narkotika yaitu zat yang bisa menimbulkan pengaruh – pengaruh tertentu


mereka yang menggunakan dengan memasukan kedalam tubuh, pengaruh
tersebut berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat
dan halusinasi atau timbulnya khayalan – khayalan108.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang–undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,

narkotika adalah

zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis
maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke
dalam golongan–golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang
ini.

Sehingga berdasarkan pengertian–pengertian narkotika di atas, dapat ditarik

kesimpulan bahwa narkotika adalah zat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman

yang dapat menyebabkan penurunan, perubahan kesadaran, hilangnya rasa, menimbulkan

khayalan atau halusinasi dan dapat menimbulkan efek ketergantungan.

2.1.2 Golongan Narkotika

Narkotika yang merupakan zat atau obat yang pemakaiannya banyak digunakan oleh

tenaga medis untuk digunakan dalam pengobatan dan penelitian memiliki beberapa

108
Soedjono (I), Op.cit, hal.3

68
penggolongan. Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang–undang Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika, narkotika digolongkan dalam 3 (tiga) golongan, yaitu :

 Narkotika Golongan I adalah “narkotika yang hanya dapat digunakan untuk

tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi,

serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan”.

Contoh: heroin, kokain, ganja

 Narkotika Golongan II adalah “narkotika yang berkhasiat pengobatan

digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau

untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi

tinggi mengakibatkan ketergantungan”.

Contoh: morfin, petidin, turuna /garam dalam golongan tersebut

 Narkotika Golongan III adalah “narkotika yang berkhasiat pengobatan dan

banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu

pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan

ketergantungan”.

Contoh: kodein, garam-garam narkotika dalam golongan tersebut

Sedangkan berdasarkan efek yang ditimbulkan oleh narkotika itu sendiri dapat

dibedakan menjadi 3, yaitu :

a) Memberikan efek depresan, yaitu menekan sistem sistem syaraf pusat dan
mengurangi aktifitas fungsional tubuh sehingga pemakai merasa tenang,
bahkan bisa membuat pemakai tidur dan tak sadarkan diri. Bila dosis
yang diberikan berlebihan dapat mengakibatkan kematian. Jenis narkoba
depresan antara lain opioda, dan berbagai turunannya seperti morphin dan
heroin. Contohnya putaw.

69
b) Memberi efek stimulan, yaitu merangsang fungsi tubuh dan
meningkatkan kegairahan serta kesadaran. Jenis stimulant antara lain
kafein, kokain, amphetamin. Contohnya shabu–shabu dan ekstasi.
c) Memberi efek halusinogen, efek utamanya adalah mengubah daya
persepsi atau mengakibatkan halusinasi. Halusinogen kebanyakan berasal
dari tanaman seperti mescaline dari kaktus dan psilocybin dari jamur-
jamuran. Selain itu ada juga yang diramu di laboratorium seperti LSD.
Yang paling banyak dipakai adalah marijuana atau ganja.109

2.3 Rehabilitasi

2.3.1. Pengertian Rehabilitasi

Rehabilitasi adalah “pemondokan yang dilakukan agar pengguna obat terlarang

dapat kembali sehat, yang meliputi sehat jasmani atau fisik (biologik), jiwa

(psikologik), sosial (adaptasi), dan rohani atau keimanan (spiritual)” 110.

Rehabiltitasi dapat diartikan sebagai “proses pemulihan” yang dapat diartikan

sebagai berikut :

1. Rehabilitasi adalah pemulihan kepada kedudukan (keadaan, nama baik)


yang dahulu (semula).
2. Rehabilitasi adalah perbaikan yang mengarah pada normalitas pemulihan
ditujukan untuk status yang paling memuaskan terhadap individu yang
pernah menderita suatu penyakit mental.
3. Rehabilitasi adalah cara dengan semua tindakan medis, operatif untuk
meninggikan kekuatan orang yang sebesar – besarnya, biar
bagaimanapun besar cacatnya.111

109
Romeal Abdalla, 2008, “Narkoba dan Bahaya Pemakaiannya di Kalangan Remaja” available
from : URL : http://www.wikimu.com/News/DisplayNewsRemaja.aspx?id=5691/htm, diakses tanggal 26
Juli 2010.

110
Hartato Anugrah, 2009, “Rehabilitasi Untuk Pengguna Narkotika”, available from : URL :
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2009/10/rehabilitasi-untuk-pengguna-narkoba/htm, diakses tanggal 5
Juni 2010.

70
Rehabilitasi juga merupakan program untuk membantu memulihkan orang

yang memiliki penyakit kronis baik dari fisiknya maupun psikologisnya, Program

rehabilitasi individu adalah program yang mencakup penilaian awal, pendidikan

pasien, pelatihan, bantuan psikologis, dan pencegahan penyakit. Rehabilitasi juga

merupakan tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk memulihkan dan

mengembangkan kemampuan fisik, mental dan sosial penderita yang bersangkutan.

Menurut KEPMENKES 996/MENKES/SK/VIII/2002 tentang Pedoman

Penyelenggaraan Sarana Pelayanan Rehabilitasi Penyalahgunaan dan

Ketergantungan NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya) .

Rehabilitasi adalah ”Upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu

melalui pendekatan non-medis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna NAPZA

yang menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional

seoptimal mungkin”.Sehingga dapat disimpulkan bahwa rehabilitasi merupakan

suatu upaya yang dilakukan baik secara medis, non–medis, sosial dan realigi agar

seseorang yang mengalami suatu ketergantungan terhadap narkotika dapat kembali

sembuh dari rasa ketergantungan tersebut.

Berdasarkan Pasal 54 Undang–undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika, “pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib

menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”. Menurut Pasal 1 angka 16,

“rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk

membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika”. Sedangkan berdasarkan

111
Soebandrio, 1995 hal.120

71
Pasal 1 angka 17, “rehabilitasi sosial adalah proses kegiatan pemulihan secara

terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat

kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat”.

Hak Rehabilitasi atas pecandu narkotika telah diatur dalam beberapa peraturan

perundangan nasional yang terkait dengan pecandu narkotika adalah :

1. Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

2. KEPMENKES No. 999/MENKES/SK/VIII/2002 tentang Pedoman

Penyelenggaraan Sarana Pelayanan Rehabilitasi dan Ketergantungan Narkotika.

Pada dasarnya Rehabilitasi medis yang diatur dalam kedua regulasi tersebut

ada 2 (dua) yakni Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. Menurut Undang –

Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika pada Pasal 54 menyebutkan

Rehabilitasi Medis adalah “Suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk

membebaskan pecandu dari ketergantungan”. Dan Rehabilitasi Sosial adalah “Suatu

proses kegiatan pemulihan Sesuai dengan ketentuan Pasal 54 Undang–undang

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tersebut, mereka yang wajib menjalani

rehabilitasi adalah pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika.

72
2.3.2 Tujuan Rehabilitasi

Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika menganut teori treatment sebab

rehabilitasi terhadap pecandu narkotika merupakan suatu proses kegiatan pengobatan

secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan. Treatment sebagai

tujuan pemidanaan sangat pantas diarahkan pada pelaku kejahatan, bukan pada

perbuatannya. Pemidanaan yang dimaksudkan pada aliran ini adalah untuk memberi

tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku

kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Pelaku kejahatan adalah orang yang

sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan

(rehabilitation).112

Perbuatan seseorang tidak bisa hanya dilihat dari aspek yuridis semata terlepas

dari orang yang melakukannya. Perbuatan seseorang itu harus dilihat secara konkrit

bahwa dalam kenyataannya perbuatan seseorang itu dipengaruhi oleh watak

pribadinya, faktor-faktor biologis, maupun faktor-faktor lingkungan. Bentuk

pertanggungjawaban si pembuat lebih bersifat tindakan (treatment) untuk melindungi

kepentingan masyarakat. Metode treatment sebagai pengganti pemidanaan,

menjadikan pendekatan secara medis menjadi model yang digemari dalam

kriminologi. 113

Metode treatment sebagai pengganti pemidanaan sebagaimana yang dipelopori

oleh aliran positif, menjadikan pendekatan secara medis menjadi model yang

112
C. Ray Jeffery dalam Mahmud Mulyadi, 2008,Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal
Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanganan Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan,
hal.79

113
Ibid, hal. 81

73
digemari dalam kriminologi. Pengamatan mengenai bahaya sosial yang potensial dan

perlindungan sosial menjadi suatu standar dalam menjustifikasi suatu perbuatan,

daripada pertanggungjawaban moral dan keadilan.

Menurut Herbert L. Packer, rehabilitasi dilakukan terhadap pelaku kejahatan

karena dalam menjatuhkan sanksi harus berorientasi kepada diri individu pelaku,

bukan kepada perbuatannya. Bagaimana menjadikan individu pelaku kejahatan

tersebut untuk menjadi lebih baik. 114

Tujuan penjatuhan pidana rehabilitasi tidak terlepas dari tujuan pemidanaan

pada umumnya yang berdasarkan pada teori pemidanaan yaitu teori relatif atau

tujuan, yaitu pidana rehabilitasi merupakan suatu penjatuhan pidana yang

dimaksudkan agar dapat memperbaiki orang yang melakukan tindak pidana. Karena

tujuan dari penjatuhan pidana rehabilitasi adalah untuk memberikan jaminan

penanganan paripurna kepada korban penyalahgunaan Narkotika melalui aspek

hukum, aspek medis, aspek sosial, aspek spiritual, serta pengembangan pendidikan

dan pelatihan dalam bidang Narkotika secara terpadu sedangkan tujuan khususnya

adalah:

1) terhindarnya korban dan institusi dan penetrasi pengedar;

2) terhindarnya kerusakan mental dan masa depan para penyalahguna Narkotika

yang akan membunuh potensi pengembangan mereka;

3) terhindarnya korban-korban baru akibat penularan penyakit seperti Hepatitis,

HIV/AIDS, dan penyakit menular lainnya;

114
Muladi dan Barda Nawawi Arief, op. cit., hal. 35-38

74
4) terwujudnya penanganan hukum yang selaras dengan pelayanan rehabilitasi

medis/sosial;

terwujudnya proses pengembangan penanganan korban Narkotika dan aspek ilmiah, serta

keilmuan yang dinamis, sesuai dengan perkembangan zaman sebagai pusat jaringan

informasi terpadu dan mewujudkan teknis penanganan penyalagunaan narkotika dan

obat-obatan terlarang bagi daerah sekitarnya maupun nasional 115

2.4 Penyalahguna Narkotika

2.4.1 Pengertian Penyalahguna Narkotika

Pelaku dalam tindak pidana Narkotika bisa dikategorikan Produsen, Pengedar,

Pengedar sekaligus Pecandu/penyalahguna dan pecandu/penyalahguna. Produsen ini

adalah pihak berkaitan dengan proses produksi Narkotika tersebut, sedangkan

pengedar ini adalah pihak yang telibat dalam proses ditribusi narkotika. Pecandu

adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam

keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.

Penyalahguna Narkotika adalah orang yang memakai Narkotika yang tidak ada

alasan hak atau melawan hukum. Sedangkan Pecandu adalah orang yang

menyalahgunakan tetapi sudah dalam taraf ketergantungan. 116

115
Suardana, ”Urgensi Vonis Rehabilitasi Terhadap Korban Napza di Indonesia”,
available from : URL :
http://gendo.multiply.com/journal/item/7/Urgensi_Vonis_Rehabiliotasi_Terhadap_Korban_Napsa_di_Indo
nesia/htm, diakses tanggal 26 Juli 2010.

116
Wasis Priyanto,”Penyalahgunaan Narkotika” available from url
http://waktuterindahalblogspot.com/2012/05/penyalahgunaan-atau-kepemilikan.html diakses
tanggal 14 September 2012

75
Penyalahguna Narkotika adalah seseorang yang menggunakan obat-obatan atau

zat-zat berbahaya dengan tujuan bukan untuk pengobatan dan penelitian serta

digunakan tanpa mengikuti aturan atau dosis yang benar. Dalam kondisi yang cukup

wajar/sesuai dosis yang dianjurkan dalam dunia kedokteran secara terus-menerus

yang mengakibatkan ketergantungan, depedensi, adiksi atau kecanduan. 117

Menurut Gordon, Penyalahguna narkotika adalah seseorang yang

menggunakan anrkotika dan tidak mampu mengendalikan jumlah narkotika yang

mereka pakai dan ketidaksanggupan mereka untuk mengendalikan diri saat

menggunakan narkotika.118

Dalam Pasal 1 ayat (14) UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang narkotika

menyatakan Penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa

sepengetahuan dan pengawasan dokter dan dalam Pasal 1 ayat (15) UU Nomor 35

Tahun 2009 menyatakan bahwa penyalah guna adalah orang yang menggunakan

Narkotika tanpa hak atau melawan hukum.

Pecandu/penyalahguna selain sebagai pihak yang berperan sendiri dalam tidak

pidana narkotika, namun ikut juga sebagai pihak yang ikut dalam distribusi yaitu

sekaligus pengedar. Hal ini terjadi karena dalam bisnis haram tersebut seorang

pecandu/Penyalahguna akan membutuhkan uang untuk memperoleh barang haram

tersebut, dan jika tidak mampu membeli maka dia akan ikut terjun dalam bisnis

117
Anonim “Pemicu/Penyebab Terjadinya Penyalahgunaan Narkoba”available from url
http://kampungbenar.wordpress.com/pemicu-terjadinya-penyalahgunaan-narkoba/ diakses tanggal 14
September 2012

118
Gordon “Narkotika” available from url http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/122646-S-
5240-Hubungan%20antara-%20Literatur.pdf diaskes tanggal 14 september 2012

76
barang haram tersebut untuk mencari uang yang bisa digunakan untuk konsumsi

barang haram.

Dengan demikian, dapat kita artikan bahwa penyalahguna narkotika adalah

seseorang yang menggunakan narkotika tanpa mengikuti aturan atau dosis yang serta

tanpa hak dan melawan hukum.

Pasal 127 ayat (3) menentukan: Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban

penyalahgunaan narkotika, Penyalah guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi

medis dan rehabilitasi sosial. Sedangkan yang dimaksud dengan korban

penyalahgunaan narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan

narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk

menggunakan narkotika (Penjelasan Pasal 54).

Pengertian „tidak sengaja” ini memang membingungkan dalam KUHP sendiri

terminologi “tidak sengaja” tidak ditemukan yang ada adalah “culpa” atau “lalai”.

Culpa atau lalai tentulah berbeda dengan tidak sengaja, karena culpa adalah kurang

hati-hati atau tiada penduga-duga. Wirjono Prodjodikoro memandang culpa ialah

“kesalahan pada umumnya”, tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti

teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat

seperti kesengajaan. Untuk itu tidak sengaja bukan berarti lawan dari sengaja.

Karena tidak tinggi bukan berarti tinggi, karena ada antara tinggi dan tidak tinggi

atau sedang. Namun demikian, kalau yang dimaksudkan tidak sengaja merupakan

kebalikan dari sengaja, hal ini berarti tidak sengaja haruslah diartikan tidak sengaja

77
sebagai maksud atau tujuan, tidak sengaja sebagai keinsyafan kepastian dan tidak

sengaja sebagai keinsyafan kemungkinan.

Berkaitan dengan ketiga rumusan di atas, maka yang paling relevan dari tidak

sengaja dalam penjelasan Pasal 54 ini adalah tidak sengaja dalam arti maksud atau

tujuan, pelaku benar-benar tidak mempunyai maksud menggunakan narkotika, dan

penggunaan narkotika semata-mata karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa,

dan/atau diancam.

Dibujuk tentulah mengacu pada pengertian dalam Pasal 55 KUHP ayat (1) ke-

2. Dikatakan membujuk apabila dilakukan dengan cara-cara yang ditentukan Pasal

55 ayat (1) ke-2 KUHP, yaitu “adanya pemberian, kesanggupan, penyalahgunaan

kekuasaan atau martabat, dengan paksaan, ancaman, atau penipuan, atau dengan

memberikan kesempatan, sarana, atau keterangan”. Karena membujuk haruslah

menggunakan cara-cara di atas, maka dikatakan “dibujuk” apabila cara yang

digunakan, sehingga berhasil dibujuk juga sama. Dalam KUHP baik yang membujuk

maupun dibujuk dapat dipidana, tetapi ternyata dalam ketentuan ini apabila dapat

dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika karena dibujuk

maka tidak dipidana namun demikian tetap wajib menjalani rehabilitasi medis dan

rehabilitasi sosial.

 Diperdaya  bermakna dibuat tidak berdaya, sehingga tidak mampu menolak,

karena adanya informasi yang menyesatkan.

 Ditipu  berarti menggunakan cara-cara penipuan sehingga tertipu. Cara-cara

penipuan di sini adalah adanya rangkaian kebohongan dengan tujuan yang

jelas. Rangkaian kebohongan ini sedemikian rupa, sehingga merupakan satu

78
kesatuan yang saling berkaitan antara kebohongan yang satu dengan

kebohongaan lainnya.

 Dipaksa, dan/atau diancam  paksaan dapat berupa paksaan fisik maupun

psikis, demikian juga ancaman dapat berupa ancaman fisik maupun ancaman

psikis. Paksaan fisik dapat berupa dipegang dengan kuat serta disuruh untuk

melakukan atau menerima sesuatu, sedangkan paksaan psikis dipandang

Wirjono Prodjodikoro sebagai sifat memaksa yang tidak mutlak dimana “sifat

memaksa yang tidak mutlak adalah bahwa dari seseorang manusia tidak dapat

diharapkan, bahwa ia akan menentang paksaan itu oleh karena jika ia

menentang, kepentingannya atau kepentingan orang lain atau kepentingan

umum akan dirugikan”.

Dengan dapat dibuktikannya korban penyalahgunaan narkotika sesuai dengan

ketentuan ini, maka korban penyalahgunaan narkotika tersebut wajib menjalani

rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, untuk itu dapat disimpulkan yang wajib

menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial adalah:

a. Pecandu narkotika baik terbukti maupun tidak terbukti melakukan tindak pidana

narkotika.

b. Korban penyalahgunaan narkotika.

2.4.2.Faktor-Faktor Penyebab Penyalahgunaan Narkotika

Adapun faktor penyebab penyalahgunaan narkotika menurut Drs Edy Karsono

terdiri dari berbagai macam faktor, seperti faktor individu, faktor lingkungan dan

79
faktor lainnya seperti misalnya masyarakat.119 Adapun penjelasan faktor tersebut

sebagai berikut:

A. Faktor Individu, merupakan salah satu bagian dari penyebab terjadinya


penyalahgunaan narkotika, adapun secara rinci antara lain sebagai berikut:
1. Adanya kepercayaan bahwa obat dapat mengatasi semua
permasalah yang sedang dihadapi, namun para pemakai tidak
mengetahui bahwa narkotika tersebut justru dapat membahayakan
kehidupannya kelak.
2. harapan untuk memperoleh kenikmatan dari dampak obat yang
dikonsumsi.
3. Untuk mengilangkan rasa nyeri dan sakit atau ketidak nyamanan
yang sedang dirasakan.
4. kurangnya memiliki rasa kepercayaan diri dan kecenderungan
untuk mencoba sesuatu yang baru.
5. Adanya tekanan dari kelompok sebaya sesama generasi muda
untuk dapat diterima dalam kelompoknya.
6. sebagai pernyataan dirinya telah dewasa, serta keinginan yang kuat
untuk hidup bebas tanpa dikekang oleh aturan, tata tertib, dan
norma yang berlaku di masyarakat.
7. Mengalami stres sehingga tidak dapat mengendalikan kontrol diri.
8. Kurangnya perhatian dan pengawasan dari orang tua.
9. Beberapa alasan lain seperti putus pacar, kemauan yang tidak yang
dituruti oleh orang tua, keluarga yang tidak harmonis serta keadaan
putus sekolah yang bila tidak diisi dengan kegiatan yang
bermanfaat, akan memungkinkan untuk melakukan
penyalahgunaan narkotika.
B. Faktor Lingkungan, merupakan bagian yang tidak dapat diabaikan dalam
penyalahgunaan narkotika, setidaknya terdapat tiga lingkungan yang
mempengaruhi penyalahgunaan narkotika yaitu lingkungan keluarga,
sekolah dan masyarakat.
1. Keluarga atau tempat tinggal dianggap sebagai lingkungan yang
paling menentukan dalam pembentukan perilaku individu, jika
dalam keluarga tidak harmonis, tingkat pendidikan yang rendah,
rasa dan praktik keagamaan yang lemah, secara langsung maupun

119
Edy Karsono, Op.cit, hal. 63

80
tidak langsung dapat menjerumuskan seorang individu kedalam
penyalahgunaan narkotika.
2. Lingkungan sekolah merupakan tempat bergaul dan memperoleh
ilmu pengetahuan, namun dapat memunculkan persaingan antar
sesama, dimana siswa yang malas, pendiam dan jarang beraktifitas
akan mengalami stres dan berpotensi terjerumus dalam
penyalahgunaan narkotika.
3. Lingkungan masyarakat, dimana lingkungan sosial yang buruk
sudah tentunya dapat berpotensi mempengaruhi individu tersebut
untuk melakukan penyalahgunaan narkotika.
3) Faktor Lain, adalah faktor diluar faktor individu dan lingkungan yang juga
dapat mempengaruhi penyalahgunaan narkotika, adapun beberapa
faktornya adalah sebagai berikut:

1. Jumlah atau dosis obat yang disalah gunakan serta penggunaannya


yang bebas.
2. Cara penggunaan yang mudah, misalnya dengan ditelan, disuntik,
dihirup, dan lain-lain
3. Penggunaan yang dapat dilakukan secara bersamaan dalam
kelompok.
4. Karena sering menggunakan dan berpengalaman dalam
penggunaan narkotika.
5. Kondisi badan yang memang membutuhkan akibat ketagihan.
6. Suasana lingkungan yang memungkinkan narkotika tersebut
digunakan secara luas dan beredar dengan mudah. 120

Sedangkan menurut pendapat Dr. Graham Blaine seperti yang dikutip oleh

Soedjono D, SH, orang-orang menyalahgunakan narkotika dengan berbagai alasan,

antara lain:

1. Untuk membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-


tindakan yang berbahaya seperti kebut-kebutan, perkelahian dan
lain-lain.
2. Sebagai tindakan untuk memprotes suatu kewenangan/kekuasaan
seperti terhadap orang tua dan guru-guru.

120
A. Rozak,W. Sayuti,, Remaja dan Bahaya narkoba, Prenada Media, Jakarta, hal. 22

81
3. Untuk menghilangkan kekecewaan dan melepaskan diri dari
kesepian
4. Sebagai rasa setia kawan
5. Ingin untuk mencoba-coba
6. Serta alasan lain seperti menghilangkan penderitaan akibat sakit
keras dan menahun seperti asma, TBC dan lain-lain.121

Berdasarkan pendapat sarjana di atas dapat disimpulkan bahwa

penyalahgunaan narkotika merupakan masalah sosial yang kompleks serta terkait

dengan berbagai macam faktor. Hal tersebut dapat dilihat dari problem

penyalahgunaan narkotika itu sendiri, yang tidak hanya diakibatkan oleh individu itu

sendiri melainkan juga dapat dipengaruhi oleh faktor dari luar seperti faktor

lingkungan dan ketersediaan narkotika yang bebas di masyarakat. Faktor-faktor

penyalahgunaan narkotika secara garis besar dapat dibagi menjadi dua faktor, yaitu

faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang timbul dari

dalam diri pribadi pemakai narkotika tersebut seperti rasa rendah diri, keinginan

untuk memperoleh kenikmatan dari pemakaian narkotika tersebut, adanya niat untuk

mencoba narkotika tersebut serta alasan lain seperti ditolak oleh pacar maupun

adanya suatu keinginan yang ditolak oleh orang tua. Sedangkan faktor eksternal

tersebut adalah faktor yang berasal dari luar pribadi pengguna tersebut,yaitu:

a. Keluarga seperti keadaan rumah tangga yang tidak harmonis, keluarga yang

bercerai atau kurangnya perhatian dari orang tua dapat sebagai pemicu

penggunaan narkotika dalam keluarga.

b. Lingkungan sekolah seperti ajakan teman teman untuk menggunakan narkotika

atau sebagai bukti perlawanan terhadap guru-guru di sekolah.

121
Soedjono D (II), Op.cit, hal. 118

82
c. Masyarakat, seperti pembuktian agar diterima di lingkungan masyarakat tempat

tinggal dan ajakan dari teman-teman untuk memakai narotika serta lingkungan

yang memang telah dipenuhi oleh pemakai narkotika sehingga mau tidak mau

harus ikut menggunakan narkotika tersebut.

2.4.3 Dampak Penyalahgunaan Narkotika

Penggunaan narkotika yang tidak sesuai dengan dosis dan kegunaannya

tentunya dapat menimbulkan bahaya serta efek samping yang dapat mergikan baik

tubuh maupun terhadap masyarakat di sekitar pengguna narkotika tersebut. Adapun

bahaya dari penggunaan narkotika yang tidak sesuai dengan dosis dan kegunaannya

terhadap diri si pemakai yaitu :

a. Europhoria, yaitu suatu keadaan rangsangan kegembiraan yang tidak


sesuai dengan kondisi si pemakai.
b. Dellirium, yaitu suatu keadaaan dimana pemakai narkotika mengalami
penurunan kesadaran dan timbulnya kegelisahan yang mengganggu
daya gerak anggota tubuh si pemakai.
c. Halusinasi, yaitu keadaan dimana si pemakai narkotika mengalami
“khayalan” seperti melihat atau mendengar sesuatu yang sebenarnya
tidak ada.
d. Weakness, yaitu keadaan dimana tubuh si pemakai narkotika baik
secara psikis maupun fisik mengalami kelelahan.
e. Drowsines, yaitu keadaan seperti orang mabuk dimana terjadinya
penurunan daya ingat dan timbulnya kantuk yang berlebih pada
pemakai narkotika tersebut.

83
f. Koma, yaitu suatu keadaan dimana si pemakai narkotika sampai pada
puncak penurunan kondisi baik fisik maupun psikis yang pada akhirnya
dapat menimbulkan kematian. 122

Disamping efek-efek terhadap tubuh seperti tersebut di atas, maka bahaya

narkotika adalah kecanduan dan hidup yang diperbudak oleh narkotika akibat

pemakaian yang secara terus menerus yang lambat laun apabila tidak mendapat

penyembuhan yang layak, maka si pemakai narkotika akan sampai pada titik koma.

Menurut Edy Karsono, dalam bukunya yang berjudul Mengenal Kecanduan

Narkoba dan Minuman Keras, penyalahgunaan narkotika dapat menimbulkan

berbagai macam dampak negatif yang dapat merusak diri si pemakai terutama

terhadap kondisi fisik, mental dan kehidupan sosial para pengguna narkotika. 123

Dampak tersebut antara lain dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Kondisi fisik
1. Timbulnya gangguan kesehatan seperti hipertensi, gangguan fungsi
hati dan ginjal, lever, serta pendarahan otak.
2. Akibat pemakaian alat yang tidak steril dapat menimbulkan berbagai
infeksi seperti hepatitis, HIV serta AIDS.
3. Akibat tidak langsung yang ditimbulkan seperti malnutrisi, kerusakan
gigi, penyakit kelamin, serta stroke.
b. Kondisi Mental
1. Timbulnya perilaku yang tidak wajar
2. timbulnya perasaan depresi dan rasa ingin bunuh diri.

122
Lambertus Somar, 2001, Rehabilitasi Pecandu Narkoba, Grasindo, Jakarta, h.31.

123
Edy Karsono, op.cit, h.67.

84
3. serta timbulnya gangguan perspektif dan daya pikir.
c. Kehidupan Sosial
1. gangguan terhadap prestasi sekolah, kuliah dan dalam bekerja.
2. gangguan terhadap hubungan dengan keluarga, suami, istri maupun
teman.
3. gangguan terhadap perilaku yang tidak normal seperti timbulnya niat
untuk mencuri, bercerai dengan suami atau istri, serta melukai orang
lain.
4. gangguan terhadap keinginan yang lebih besar dalam penggunaan
narkotika. 124

Penyalahgunaan narkotika selain berbahaya terhadap diri si pemakai itu sendiri

juga berbahaya terhadap lingkungan masyarakat, dimana agar dapat memenuhi

hasratnya mendapatkan narkotika, maka si pemakai narkotika tentu saja

menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya, bagi orang – orang yang tidak

berpenghasilan cukup maka dia akan berupaya untuk mencuri, merampok serta

berbagai tindakan kriminal lainnya. 125

Sedangkan menurut Lydia Harlina Martono dan Satya Joewarni, akibat dari

penyalahgunaan narkotika dapat dibagi menjadi empat yaitu akibat bagi diri sendiri,

akibat terhadap keluarga, akibat bagi sekolah serta bagi masyarakat bangsa dan

negara. Adapun penjelasan dari keempat dampak tersebut adalah sebagai berikut:

1) Bagi Diri Sendiri, dampak pemakaian narkotika adalah sangat buruk seperti:

124
Edy Karsono, op.cit, h.67.

125
Joko Suyono, 1980, Masalah Narkotika dan Bahan Sejenisnya, Yayasan Kanisius,
Yogyakarta, h.14.

85
a. Terganggunya fungsi otak dan perkembangan normal yaitu daya ingat

sehingga mudah lupa, sulit berkonsentrasi, perasaan yang tdak rasional

dan impulsif, turunnya motifasi dalam bidang kehidupan

b. Intoksikasi (keracunan): Gejala yang timbul akibat pemakaian

narkotika yang tidak sesua dengan dosis atau takaran yang dianjurkan

cukup berpengaruh terhadap tubuh dan perilaku, gejala yang

ditimbulkan tergantung dari jenis, jumlah, dan cara penggunaan seperti

fly, mabuk, teler, dan koma.

c. Overdosis: dapat menyebabkan kematian karena terhentinya

pernapasan atau pendarahan otak, dimana overdosis terjadi karena

terjadinya pemakaian narkotika yang melebihi batas oleransi tubuh,

atau karena pemakaian yang lama tanpa henti.

d. Gejala Putus Zat: adalah gejaladimana apabila dosis yang dipakai

berkurang atau dihentikan pemakaian, dimana berat atau ringannya

gejala tergantung pada jenis, dosis serta lama pemakaian.

e. Berulang kali kambuh: ketergantungan akibat pemakaian narkotika

menyebabkan crawling (rasa rindu) walaupun telah berhenti memakai,

baik itu terhadap narkotika atau perangkatnya, kawan-kawan, suasana,

serta tempat-tempat pengguna terdahulu yang mendorong pengguna

untuk memakai narkotika kembali.

f. Gangguan mental/sosial dan perilaku: dimana menimbulkan sikap

acuh tak acuh, sulit mengendalikan diri, menarik diri dari pergaulan,

serta hubungan dengan keluarga yang terganngu. Terjadinya

86
perubahan mental dalam pemusatan perhaian, motivasi belajar/bekerja

yang lemah, ide yang paranoid dan lain-lain.

g. Masalah keuangan dan hukum: akibat keperluannya untuk memenuhi

kebutuhan akan narkotika maka si pemakai akan berusaha untuk

menipu, mecuri, serta menjual segala barang-barang milik diri sendiri

atau orang lain, akibat lain dalah ditangkap polisi, ditahan dan

dihukum penjara, atau dihakimi masyarakat.

2) Bagi Keluarga, dimana dampak yang ditimbulkan adalah suasana nyaman dan

tenteram yang terganggu, orang tua yang menjadi malu karena anggota

keluarganya menjadi pengguna narkotika dan kehidupan ekonomi keluarga

yang merosot akibat penggunaan narkotika oleh anngota keluarga tersebut.

3) Bagi Sekolah, narkotika dapat merusak disiplin dan motivasi yang penting

dalam proses belajar serta prestasi yang merosot dan menciptakan iklim acuh

tak acuh baik antara sesama murid maupun guru serta pihak lainnya.

4) Bagi Masyarakat, Bangsa dan Negara, Narkotika dapat mengganggu

kesinambungan pembangunan, negara menderita kerugian karena masyarakat

yang tidak produktif serta tingkat kejahatan yang meningkat. 126

126
Martono, Lydian Harina dan Satya Joewarna, 2006,Peran Orang Tua dalam Mencegah dan
Menanggulangi Penyalahgunaan Narkoba, Balai Pustaka, Jakarta, h.15.

87
BAB III

KEBIJAKAN REHABILITASI TERHADAP PENYALAHGUNA NARKOTIKA

3.1 Sistem Penegakan Hukum Narkotika yang Efektif

UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, berfungsi untuk menjamin

ketersediaan obat guna kepentingan ilmu pengetahuan, teknologi, serta kesehatan,

mencegah penyalahgunaan narkotika, dan juga berfungsi untuk memberantas peredaran

gelap narkotika. Berdasarkan tujuan hukum ini, maka diperlukan strategi untuk

penegakan hukum secara efektif, meliputi:

a. General Prevention

Masalah pengaturan produksi, penyediaan, peredaran, penyaluran, dan

penggunaan psikotropika, diperlukan aturan hukum yang berfungsi sebagai

regulation, serta pencegahan peredaran gelap narkotika dan psikotropika

memerlukan perhatian sebagai bentuk general prevention. Upaya pencegahan

ini amat diperlukan sehingga dapat diketahui seberapa jauh maksimal

kebutuhan tahunan akan narkotika dan psikotropika, memang diperlukan.

Sebab, kalau tidak dikontrol pengadaannya akan memberikan dampak terhadap

penyalahgunaan terhadap produksi narkotika dan psikotropika yang melebihi

kebutuhan. Oleh sebab itu program demand reduction and supply reduction

diperlukan analisis secara cermat dan diperlukan kebijakan secara nasional dan

komprehensif. Program demand reduction and supply reduction, kemungkinan

tidak dapat secara tuntas menyelesaikan segala permasalahan yang

menyangkut peredaran gelap narkotika dan psikotropika. Untuk mengantisipasi

88
terhadap peredaran gelap narkotika dan psikotropika tersebut, maka diperlukan

suatu kebijakan dalam rangka pemberantasan peredaran gelap narkotika dan

psikotropika, melalui pengambilan kebijakan kriminal (criminal policy).

b. Criminal Policy

Kebijakan kriminal ini dapat dilakukan dengan dua cara, yakni melalui sarana

penal atau penegakan hukum pidana, dan dengan sarana nonpenal, antara lain

melalui kegiatan penyuluhan hukum kepada masyarakat.

Berdasarkan paragraf di atas, bahwa strategi penegakan hukum terhadap

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika adalah dengan

penetapan strategi demand reduction and supply reduction, sebagai suatu kebijakan

prevensi umum. Hal ini sesuai dengan asas-asas dari UU Nomor 35 Tahun 2009 bahwa

fungsi undang-undang ini ialah menjamin ketersediaan narkotika untuk memenuhi

kepentingan pelayanan kesehatan (pengobatan) serta untuk kepentingan ilmu

pengetahuan dan teknologi.

Oleh sebab itu, dalam menjamin ketersediaan narkotika, maka diperlukan

penetapan rencana kebutuhan tahunan terhadap narkotika dan prekursor narkotika.

Selanjutnya strategi kedua ialah dengan penetapan strategi criminal policy melalui

instrumen penegakan hukum (enforcement) baik menggunakan instrumen penal (sanksi

pidana) maupun nonpenal (pembinaan dan pengawasan masyarakat). Penegakan hukum

narkotika menggunakan instrumen pidana bukanlah merupakan satu-satunya kebijakan

yang harus diutamakan. Oleh sebab itu, strategi ketiga dilakukan dengan strategi

treatment and rehabilitation.

89
Strategi ini dengan menggunakan dua pendekatan yakni pendekatan pertama,

ialah eliminate drug dependency yakni untuk mengurangi ketergantungan

penyalahgunaan narkotika bagi pecandu narkotika, maka dilakukan program medical

rehabilitation (rehabilitasi medis). Kemudian pendekatan kedua, ialah prevent recidivism,

yakni program pembinaan terhadap para bekas narapidana narkotika atau para residivis

narkotika, untuk dilakukan pemantauan secara terus-menerus agar tidak melibatkan diri

kembali kepada perbuatan kriminal yang telah dilakukan sebelumnya.

Strategi keempat adalah international cooperation. Problem dalam penentuan

kebijakan untuk menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan

kesehatan dan ilmu pengetahuan serta teknologi, adalah masalah pemenuhan ketersediaan

narkotika dan dimensi arus lalu lintas peredaran narkotika secara internasional. Tujuan

daripada koordinasi internasional ialah membuka kerja sama dengan negara-negara baik

regional maupun internasional pada tingkat peningkatan pengawasan (kontrol) dan

pencegahan penyalahgunaan peredaran gelap narkotika, serta penguatan dan kekuatan

nasional dalam upaya pengawasan terhadap pencegahan peredaran gelap narkotika pada

tingkat international.

Penegakan hukum yang ideal harus disertai dengan kesadaran bahwa penegakan

hukum sebagai bagian subsistem hukum, juga merupakan subsistem sosial, sehingga

pengaruh lingkungan cukup berpengaruh terhadap prinsip-prinsip penegakan hukum dan

asas-asas hukum yang berlaku di lingkungan bangsa-bangsa yang beradab. Hukum

adalah kontrol sosial dari pemerintah. Budaya hukum, sebagai bagian dan kebudayaan

adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, yang meliputi: kepercayaan,

90
nilai, pemikiran, serta harapannya. Pemikiran dan pendapat manusia (penegak hukum)

merupakan faktor penentu jalannya proses hukum.

3.2 Kebijakan Rehabilitasi Terhadap Penyalahguna Narkotika

Upaya melakukan segala bentuk pencegahan dan penanggulangan kejahatan

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba adalah termasuk bidang kebijakan kriminal

(criminal policy) - yang oleh G. Peter Hoefnagels diartikan sebagai: ... the rational

organization of the social reaction to crime. 127 Dan kebijakan kriminal ini juga

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan sosial (social policy), yang

terdiri dari upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya-

upaya untuk kesejahteraan sosial (social welfare).128 Dengan demikian, tujuan utama

kebijakan kriminal terhadap kejahatan narkoba adalah berkontribusi dalam mewujudkan

tujuan dan kebijakan sosial tersebut, yaitu memberikan perlindungan masyarakat dari

bahaya narkoba untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

Kebijakan global penanggulangan kejahatan narkotika pada awalnya dituangkan

dalam The United Nation's Single Convention on Narcotic Drugs 1961. Konvensi ini

pada dasarnya dimaksudkan untuk :

1. Menciptakan satu konvensi internasional yang dapat diterima oleh negara-negara

di dunia dan dapat mengganti peraturan mengenai pengawasan internasional

127
Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan
Penyusuran Konsep KUHP Baru, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 2 (selanjutnya disebut Barda
Nawawi Arief VII)

128
Ibid

91
terhadap penyalahgunaan narkotika yang terpisah-pisah di 8 bentuk perjanjian

internasional.

2. Menyempurnakan cara-cara pengawasan peredaran narkotika dan membatasi

penggunaannya khusus untuk kepentingan pengobatan dan pengembangan ilmu

pengetahuan; dan

3. Menjamin adanya kerjasama internasional dalam pengawasan peredaran narkotika

untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut diatas.

Indonesia adalah salah satu negara yang turut menandatangani konvensi tersebut,

dan kemudian meratifikasinya melalui Undang-undang No. 8 Tahun 1976 Tentang

Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol yang Mengubahnya.

Instrumen hukum yang kemudian diciptakan pemerintah untuk menmgulangi kejahatan

narkotika di dalam negeri adalah UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. UU No. 9

Tahun 1976 menjadi pengganti dari undang-undang tentang obat bius warisan pemerintah

kolonial Belanda, yaitu Verdoovende Middelen Ordonantie 1927 (Stbl. 1927 No. 278 yo

No. 536) yang mengatur peredaran, perdagangan, dan penggunaan obat bius.

Dealam sidang khusus ke-17 pada bulan Pebruari 1990 Perserikatan Bangsa-

Bangsa (PBB) mencanangkan tahun 1991-2000 sebagai The United Nations Decade

Againts Drug Abuse dengan membentuk The United Nations Drug Control Programme

(UNDCP). Badan ini secara khusus bertugas untuk melakukan koordinasi atas semua

kegiatan internasional di bidang pengawasan peredaran narkotika di negara-negara

anggota PBB. Dalam rangka penanggulangan tindak pidana narkotika yang bersifat

transnasional, PBB menyelenggarakan Kongres VIII tentang Prevention of Crime and the

Treament of Offenders pada 27 Agustus-7 September 1990 di Hawana, Cuba. Resolosi

92
ketiga-belas dari kongres ini menyatakan bahwa untuk menanggulangi kejahatan

narkotika dilakukan antara lain dengan :

(a) meningkatkan kesadaran keluarga dan masyarakat terhadap bahaya narkotika

melalui penyuluhan-penyuluhan dengan mengikutsertakan pihak sekolah dan

lembaga-lembaga pendidikan dalam pencegahan bahaya narkotika;

(b) program pembinaan pelaku tindak pidana narkotika dengan memilah antara

pelaku pemakai/pengguna narkotika (drug users) dan pelaku bukan pengguna

(drug-dealers) melalui pendekatan medis, psikologis, psikiatris, maupun

pendekatan hukum dalam rangka pencegahan.

Kebijakan penanggulangan penyalahgunaan narkotika di tingkat regional Asia

Tenggara disepakati dalam ESEAN Drugs Experts Meeting on the Prevention and

Control of Drug Abuse yang diselenggarakan pada tanggal 23-26 Oktober 1972 di

Manila. Tindak lanjut dari pertemuan di atas adalah ASEAN Declaration of Principles to

Combat the Abuse of Narcotic Drugs, yang ditanda tangani oleh para Menteri Luar

Negeri negara-negara onggota ASEAN pada tahun 1976. Isi dari deklarasi regional

ASEAN ini meliputi kegiatan-kegiatan bersama untuk meningkatkan :

1. Kesamaan cara pandang dan pendekatan serta strategi penanggulangan kejahatan

narkotika.

2. Keseragaman peraturan perundang-undangan di bidang narkotika

3. Membentuk badang koordinasi di tingkat nasional; dan

4. Kerja sama antar negara-negara ASEAN secara bilateral, regional, dan

internasional.

93
Dalam rangka ini kemudian dibentuk The ASEAN Senior Officials on Drugs

dan satu Forum Kerja Sama Kepolisian antar negara-negara ASEAN (ASEANAPOL)

yang antara lain bertugas untuk menangani tindak pidana narkotika transnasional di

wilayah ASEAN. Selain iru, di tingkat negara-negara ASEAN juga dibentuk Narcotic

Boarrd dengan membentuk kelompok kerja penegakan hukum, rehabilitasi dan

pembinaan, edukasi preventif dan informasi, dan kelompok kerja di bidang penelitian.

Pada tahun 1992 dicetuskan Deklarasi Singapura dalam ASEAN Summit IV yang

menegaskan kembali peningkatan kerjasama ASEAN dalam penegakan hukum terhadap

kejahatan narkotika dan lalu-lintas perdagangan narkotika ilegal pada tingkatan nasional,

regional, maupun internasional.

Ketentuan mengenai rehabilitasi terhadap pecandu narkotika diatur dalam

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07

Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dan yang terbaru adalah dengan

dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 yang merupakan

revisi dari Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 2009.

Sebelum dikeluarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, ketentuan

mengenai rehabilitasi terhadap pecandu narkotika diatur di dalam Pasal 45 dan 47

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997:

Pasal 45

Pecandu narkotika wajib menjalani pengobatan dan/atau perawatan

Pasal 47
(1) Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat :
a. Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan
dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut
terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau

94
b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu
Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana
Narkotika

Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, diperhitungkan sebagai masa menjalani

hukuman.

Kemudian di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 2009

menghimbau bagi para hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika untuk

menerapkan ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang

Narkotika yang berisikan mengenai tindakan rehabilitasi yang diperintahkan untuk

dijalani oleh pecandu narkotika.

Hal tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa sebagian besar narapidana dan

tahanan kasus narkoba adalah termasuk kategori pemakai atau bahkan sebagai korban

yang jika dilihat dari aspek kesehatan mereka sesungguhnya orang-orang yang menderita

sakit, oleh karena itu memenjarakan yang bersangkutan bukanlah langkah yang tepat

karena telah mengabaikan kepentingan perawatan dan pengobatan. 129

Dilihat dari segi kondisi Lembaga Pemasyarakatan pada saat ini tidak

mendukung, karena dampak negatif keterpengaruhan oleh perilaku kriminal lainnya dapat

semakin memperburuk kondisi kejiwaan, kesehatan yang diderita para narapidana

narkotikaiakan semakin berat.130 Surat Edatan Mahkamah Agung (SEMA) yaitu suatu

129
Lihat butir 1 SEMA No. 07 Tahun 2009

130
Lihat butir 2 SEMA No. 07 Tahun 2009

95
bentuk edaran dari Mahkamah Agung yang berupa himbauan Mahkamah Agung

keseluruh jajaran peradilan yang isinya merupakan pettmjuk teknis dalam

penyelenggaraan peradilan yang lebih bersifat admnistrasi. 131

Penerapan pemidanaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 47 Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 1997 hanya dapat dijatuhkan pada klasifikasi tindak pidana seperti:

1. Terdakwa pada saat ditangkap oleh penyidik dalam kondisi tertangkap

tangan;

2. Pada saat tertangkap tangan sesuai butir di atas, ditemukan barang bukti

satu kali pakai.

3. Swat keterangan uji laboratories positif menggunakan narkoba

berdasarkan permintaan penyidik;

4. Bukan residivis kasus narkoba;

5. Perlu surat keterangan dari dokter jiwa/psikiater yang ditunjuk oleh

hakim;

6. Tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan merangkap

menjadi pengedar/produsen gelap narkoba.

Kemudian dikeluarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang juga mengatur

ketentuan mengenai putusan memerintahkan untuk menjalani rehabiltasi

Politik hukum UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memiliki beberapa

pertimbangan,adapun pertimbangan tersebut:

131
Henry, Pandapotan Panggabean, 2005, Fungsi Mahkamah Agung Bersifat Pengaturan,
Liberty, Yogyakarta, hal. 2.

96
a. Bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan
makmur, yang merata materiil dan spiritual, berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kualitas
sumber daya manusia Indonesia sebagai salah satu modal pembangunan
nasional perlu dipelihara dan ditingkatkan secara terus-menerus, termasuk
derajat kesehatannya;
b. Bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia
Indonesia, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan
upaya peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara
lain dengan mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang
sangat dibutuhkan sebagai obat serta melakukan pencegahan dan peredaran
gelap narkotika dan prekusor narkotika;
c. Bahwa narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat
di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan di satu sisi lain, dapat pula menimbulkan ketergantungan
yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa
pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama;
d. Bahwa mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan,
mengedarkan, dan/atau menggunakan narkotika, tanpa pengendalian dan
pengawasan yang ketat dan saksama, serta bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan merupakan tindak pidana narkotika karena sangat
merugikan dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan
manusia, masyarakat, bangsa, dan negara serta ketahanan nasional
Indonesia;
e. Bahwa tindak pidana narkotika telah bersifat trans-nasional yang dilakukan
dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih,
didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak
menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang
sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara,
sehingga Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang
berkembang untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana
tersebut;

Dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ini, diatur beberapa

ketentuan, yang membahas tentang etimologi dan terminologi sekitar pengertian dan

istilah-istilah yang diatur dalam undang-undang narkotika tersebut. Ketentuan tentang

97
Dasar, Asas, dan Tujuan pengaturan narkotika, yang berdasarkan Pancasila dan UUD

Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-undang ini, diselenggarakan berasaskan

keadilan, pengayoman, kemanusiaan, ketertiban, perlindungan, keamanan, nilai-nilai

ilmiah dan kepastian hukum. Sedangkan tujuan undang-undang narkotika ini, adalah:

a. menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan,

dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

b. mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari

penyalahgunaan narkitika;

c. memberantas peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika, dan

menjamin pengaturan upaya rehabilitas medis dan sosial bagi penyalahguna

dan pecandu narkotika

Dalam Undang–undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah diatur secara

tegas ketentuan mengenai penjatuhan rehabilitasi. Penjatuhan rehabilitasi ini merupakan

suatu kewajiban yang harus diberikan kepada tidak hanya mereka yang sebagai pecandu

narkotika tetapi juga kepada mereka yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika.

Pengaturan mengenai penjatuhan rehabilitasi ini diatur dalam BAB IX tentang

pengobatan dan rehabilitasi bagian kedua. Dengan adanya pengkhususan bab yang

mengatur tentang rehabilitasi ini kita dapat melihat bahwa pemerintah telah menekankan

penjatuhan rehabilitasi kepada mereka yang menjadi pecandu dan korban

penyalahgunaan narkotika. Ketentuan yang mewajibkan penjatuhan rehabilitasi tersebut

terdapat dalam Pasal 54 yang menyatakan “Pecandu Narkotika dan korban

penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”.

98
Dalam Undang–undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika pengaturan yang

menekankan kepada hakim untuk menjatuhkan rehabilitasi terdapat dalam Pasal 103

yang menyatakan bahwa :

(1) Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat :


a. Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu
Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana
Narkotika; atau
b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu
Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana
Narkotika.
(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitunngkan sebagai
masa menjalani hukuman

Dalam Pasal 103 ayat (1) ini, kata „dapat‟ menyatakan untuk menempatkan para

pengguna narkotika baik yang bersalah maupun yang tidak bersalah untuk menjalani

pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi. Dan hakim juga diberikan wewenang

untuk menetapkan seorang pecandu yang tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana

untuk menjalani pengobatan dan rehabilitasi132.

Selain itu, penjatuhan rehabilitasi ini juga diatur dalam BAB XV Ketentuan Pidana Pasal

127 yang menyatakan :

(1) Setiap Penyalah Guna :


a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun;

132
Kurniawan, 2010, “Mengkritisi dan Memperbandingan UU No.35 / 2009 tentang Narkotika
dengan Undang – undang Terdahulu”, available from : URL :
http://my.opera.com/Kurniawanwp97/blog/2010/07/12/mengkritisi-dan-memperbandingan-uu-no-35-2009-
tentang-narkotika-dengan-undang.htm, diakses tanggal 7 Agustus 2010

99
b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan
c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim
wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54,
Pasal 55 dan Pasal 103.
(3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika,
Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial.

Melihat ketentuan pidana Pasal 127 ayat (2) dan (3), dapat disimpulkan bahwa

hakim dalam memutus perkara yang disebutkan dalam Pasal 127 ayat (1) diwajibkan

untuk memperhatikan Pasal–Pasal yang mengatur ketentuan rehabilitasi sehingga

nantinya para pecandu dan korban penyalah guna narkotika dapat di rehabilitasi baik

rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial dan tidak lagi dipidana penjara maupun

pidana kurungan karena rehabilitasi tersebut dihitung sebagai masa menjalani hukuman.

3.2 Hambatan dalam Penjatuhan Rehabilitasi

Penjatuhan tindakan rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika yang terjadi

masih sangat jarang dilakukan. Masih jarang atau sedikitnya penjatuhan rehabilitasi

untuk mereka yang menjadi pecandu maupun korban penyalahgunaan narkotika ini

dikarenakan masih terdapat beberapa hambatan yaitu hambatan dari pemerintah dan

hambatan dari segi hukum. Hambatan–hambatan yang berasal dari pemerintah ini oleh

Firman Tambunan, SH. (dalam wawancara tanggal 4 September 2012 di Pengadilan

Negeri Denpasar), disebutkan bahwa terdapat 3 (tiga) hambatan, yaitu:

1. Belum ada ditetapkannya tempat khusus bagi para pecandu maupun korban–

korban penyalah guna narkotika untuk melakukan rehabilitasi.

100
2. Masalah biaya rehabilitasi bagi terpidana kasus penyalahgunaan narkotika.

3. Belum ada panti rehabilitasi yang ditunjuk oleh Pemerintah.

Dari paparan diatas, dapat dijelaskan bahwa hambatan tentang belum adanya

tempat khusus untuk para pecandu maupun korban penyalah guna narkotika di Denpasar

karena dalam hal penanganan rehabilitasi ini masih meminjam tempat–tempat medis

seperti Rumah Sakit Sanglah yaitu Klinik Rumatan Methadon Sandat dan Rumah Sakit

Jiwa Bangli. Ke dua tempat ini bukanlah tempat khusus untuk menangani masalah

rehabilitasi bagi pengguna narkotika, akan tetapi hanya memperbantukan saja.

Untuk masalah biaya rehabilitasi bagi terpidana kasus penyalahgunaan narkotika

itu sendiri, hakim memandang bahwa anggaran yang dimiliki oleh negara untuk

membiayai pengobatan rehabilitasi bagi para terpidana masih sangat minim. Pandangan

hakim ini diperkuat dengan pidato Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri pada seminar

yang diadakan dalam rangka Hari Anti Narkotika Internasional 2010 yang mengatakan

bahwa anggaran yang dibutuhkan untuk merehabilitasi lebih dari tiga juta penderita

kecanduan narkoba di Indonesia sekitar Rp100-Rp150 miliar, akan tetapi jumlah dana

yang ada hanya sekitar Rp30-an miliar 133. Dan pernyataan tersebut juga dibenarkan oleh

dr. I Made Oka Semadi,Sp.K.J. (dalam wawancara tanggal 4 September 2012 di Rumah

Sakit Bayangkara Tingkat 3 Trijata Polda Bali), yang mengatakan ”Untuk seorang

pecandu ringan dan tanpa adanya komplikasi medis saja, dalam waktu 1 (satu) minggu

perawatan akan menghabiskan biaya sekitar Rp 4,5 juta dan akan jauh lebih mahal lagi

apabila seorang pecandu sudah mengalami komplikasi medis seperti sakit jantung, TBC,

133
Yoyoh Yusroh, 2010, “Rehabilitasi Penderita Narkoba Butuh Rp 150 Miliar”, available from :
URL : http://facebook.com/yoyoh_yusroh/rehabilitasi-penderita-narkoba-butuhalhtm, diakses tanggal 7
September 2010,

101
HIV / AIDS, karena pengobatan rehabilitasi ini akan membutuhkan lebih banyak macam

obat–obatan dan penanganan dokter spesialis lainnya”.

Untuk masalah belum adanya panti rehabilitasi yang ditunjuk oleh pemerintah ini

menimbulkan permasalahan akan ditempatkan dimanakah nantinya para terpidana kasus

penyalahgunaan narkotika tersebut. Karena dengan tidak ada penunjukkan panti

rehabilitasi secara jelas oleh pemerintah, dapat menimbulkan kebingungan pada para

hakim dalam memutus perkara narkotika, bingung akan ditempatkan dimanakah

terpidana tersebut apabila diputus untuk melakukan rehabilitasi. Karena hakim tidak

mengetahui secara pasti panti–panti rehabilitasi mana saja yang dapat ditunjuk untuk

mengobati para terpidana tersebut.

Ditambahkan oleh Posma P. Nainggolan, SH. (dalam wawancara tanggal 4

September 2012 di Pengadilan Negeri Denpasar), mengenai hambatan–hambatan dari

segi hukum, yaitu :

1. Terjadinya perbedaan keterangan antara terdakwa, saksi dan hasil

laboratorium kriminalistik.

2. Terjadi masalah eksekusi.

Dengan adanya perbedaan keterangan antara terdakwa, saksi dan hasil

laboratorium kriminalistik ini juga dapat membuat hakim semakin berfikir untuk

menjatuhkan pidana rehabilitasi terdapat terdakwa. Terkadang hakim akan menemukan

suatu keadaan dimana seorang terdakwa yang mengaku sebagai korban dari penyalah

guna narkotika dan dibenarkan juga dengan keterangan dari saksi, akan tetapi

berdasarkan hasil tes laboratorium kriminalistik, menyatakan bahwa terdakwa ini baik

urin maupun darahnya negatif mengandung zat narkotika.

102
Dalam hal eksekusi, hakim juga harus memikirkan apakah nantinya terdakwa

akan dapat menjalankan putusan hakim dengan sebaik–baiknya. Melihat biaya

rehabilitasi yang mahal dan dengan anggaran dari pemerintah yang sangat minim,

menimbulkan putusan agar terdakwa wajib menjalani rehabilitasi dengan biaya sendiri,

padahal ada kemungkinan si terdakwa berasal dari golongan dengan status sosial yang

rendah sehingga tidak dapat menjalankan pidana tersebut. Sehingga, apabila putusan

hakim pada akhirnya tidak dapat terlaksana, maka akan menimbulkan kepastian hukum

yang tidak jelas.

Berdasarkan hasil wawancara tersebut, dapat dilihat bahwa hambatan yang

dialami oleh para hakim dalam menjatuhkan pidana rehabilitasi masih sangat banyak.

Dari kelima hambatan yang ada, hambatan yang paling utama adalah masalah biaya

rehabilitasi. Karena dengan mahalnya biaya rehabilitasi tersebut, menyebabkan

pemerintah harus memiliki dana ekstra untuk membiayai semua putusan rehabilitasi bagi

korban penyalahgunaan narkotika. Walaupun putusan hakim menyatakan biaya

rehabilitasi di tanggung oleh terpidana, hal tersebut dapat memberatkan terpidana karena

para terpidana berasal dari status sosial yang berbeda–beda. Sehingga menyebabkan tidak

dilaksanakannya putusan pengadilan tersebut dengan sebaik–baiknya.

Permasalahan mengenai tempat rehabilitasi yang belum ada dan belum

ditunjuknya suatu tempat rehabilitasi oleh pemerintah tersebut, hakim untuk saat ini dapat

menitipkan terpidana ke Rumah Sakit milik pemerintah yang memiliki tempat rehabilitasi

seperti Rumah Sakit Jiwa Bangli dan Rumah Sakit Sanglah untuk melaksanakan

hukumannya. Walaupun permasalahan mengenai penempatan terpidana tersebut dapat

ditanggulangi dengan melakukan penitipan terpidana, tetapi sebaiknya pemerintah

103
dengan segera membangun suatu panti rehabilitasi khusus untuk para terpidana kasus

penyalahgunaan narkotika agar tidak terjadi pencampuran terhadap mereka yang

melakukan rehabilitasi atas kesadaran sendiri dan mereka yang melaksanakan rehabilitasi

berdasarkan putusan hakim. Karena putusan pengadilan yang menyatakan bahwa mereka

menjalani rehabilitasi ini bukan berarti mereka bebas dari jerat hukum, melainkan mereka

menjalani hukuman dimana hukuman tersebut bertujuan memperbaiki mereka sehingga

tidak lagi menjadi seorang pengguna sehingga nantinya mereka dapat menjadi orang

yang berguna di masyarakat.

Untuk permasalahan yang timbul dari segi hukum, dapat diperbaiki dengan cara

hakim lebih bersikap proaktif dalam menemukan bukti–bukti yang dapat menyatakan

bahwa seorang terdakwa benar sebagai korban dari penyalahgunaan narkotika, sehingga

pidana rehabilitasi ini tidak dijadikan suatu celah untuk menghindari pidana penjara.

Sehingga nantinya pidana rehabilitasi ini dapat mengurangi jumlah korban

penyalahgunaan dan pecandu narkotika di Indonesia pada umumnya dan di wilayah

hukum Pengadilan Negeri Denpasar pada khususnya.

104
BAB IV

PENEGAKAN HUKUM REHABILITASI TERHADAP

KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

4.1 Tindakan Rehabilitasi

Sanksi dalam hukum pidana terdiri atas pidana (straf) dan tindakan (maatregel).

Sering dikatakan berbeda dengan pidana; tindakan bertujuan melindungi masyarakat

sedangkan pidana bertitik berat pada pengertian sanksi kepada pelaku suatu perbuatan.

Akan tetapi secara teori sukar dibedakan dengan cara demikian karena pidana pun sering

disebut bertujuan untuk mengamankan dan memperbaiki terpidana.

Pidana tercantum secara limitatif di dalam Pasal 10 KUHP, sehingga semua

sanksi yang berada di luar Pasal 10 KUHP bukanlah pidana. Hukuman administratif

misalnya bukanlah pidana dalam arti hukum pidana. Begitu pula tindakan bukanlah

pidana walaupun berada di dalam hukum pidana. Perbedaan tindakan dengan pidana agak

samar karena tindakan pun bersifat merampas kemerdekaan, misalnya memasukkan anak

di bawah umur ke pendidikan paksa, memasukkan orang tidak waras ke rumah sakit jiwa.

Jenis tindakan yang lain ialah mengembalikan terdakwa kepada orang tuanya.

Tindakan di dalam KUHP terhadap anak di bawah umur ada dua kemungkinan :

a. mengembalikan kepada orang tua atau yang memelihara,

b. menyerahkan kepada pendidikan paksa negara.

Di Nederland dikenal suatu jenis tindakan baru yang disebut ontrekking aan het

verkeer (penarikan dari peredaran) yang disebut dalam Pasal 35b WvS Netherland.

105
Yang menyatakan bahwa dengan putusan hakim, suatu denda yang telah disita dapat

ditarik dari peredaran :

a. Dengan putusan hakim yang telah menyatakan seseorang telah melakukan


suatu delik,
b. Dengan putusan hakim berdasarkan Pasal 9a tidak ada pidana yang
dijatuhkan,
c. Dengan putusan hakim tidak dengan putusan bebas atau lepas dari segala
tuntutan ditentukan, bahwa suatu delik telah dilakukan,
d. Dengan penetapan hakim atas penuntut umum (tindakan jenis ini mirip
sekali dengan pidana tambahan berupa perampasan).

Bermuara dari konsepsi-konsepsi aliran hukum pidana, lahirlah ide individualisme

pidana yang memiliki karakteristik sebagai berikut :

a. Pertanggungjawaban (pidana) bersifat pribadi/perseorangan (asas


personal);
b. Pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas culpabilitas, tiada
pidana tanpa kesalahan);
c. Pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku; ini
berarti harus ada kelonggaran/fleksibelitas bagi hakim dalam memilih
sanksi pidana (jenis maupun berat ringannya sanksi) dan harus ada
kemungkinan modifikasi pidana (perubahan/penyesuaian) dalam
pelaksanaannya. 134

Konsekuensi dari ide individualisasi pidana, maka sistem pemidanaan dalam

hukum pidana modern pada gilirannya berorientasi pada pelaku dan perbuatan (daad-

dader strafrecht). Jenis sanksi yang diterapkan tidak hanya meliputi sanksi pidana, tetapi

134
Barda Nawawi Arief. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti. .
Bandung, Hal. 43. (Selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief VIII )

106
juga tindakan. Pengakuan tentang kesetaraan antara sanksi pidana dan tindakan inilah

merupakan hakikat asasi atau ide dasar dari konsep double track system.135

Double track system adalah kedua-duanya yakni sanksi pidana dan tindakan.

Double track system tidak sepenuhnya memakai satu di antara dua jenis sanksi itu. Sistem

dua jalur ini menempatkan dua jenis sanksi tersebut dalam kedudukan yang setara.

Penekanan pada kesetaraan sanksi pidana dan tindakan dalam kerangka double track

system sesungguhnya terkait dengan fakta bahwa unsur pencelaan/penderitaan (lewat

sanksi pidana) dan unsur pembinaan (lewat tindakan) sama-sama penting.136

Rehabilitasi dan prevensi (sebagai tujuan utama dari jenis tindakan/treatment

meski cara ini memiliki keistimewaan dari segi proses resosialisasi pelaku, sehingga

diharapkan mampu memulihkan kualitas sosial dan moral seseorang agar dapat

berintegrasi lagi dalam masyarakat, 137 namun terbukti kurang efektif memperbaiki

seorang penjahat karena dianggap terlalu memanjakannya. Atas kesadaran itulah maka

double track system menghendaki agar unsur pencelaan/pendenitaan dan unsur

pembinaan sama-sama diakomodasi dalam sistem hukum pidana. Inilah ide dasar double

track system dituntut adanya kesetaraan antara sanksi pidana dan saksi tindakan.

Kesetaraan kedudukan sanksi pidana dan tindakan sangat bermanfaat untuk

memaksimalkan penggunaan kedua jenis sanksi tersebut secara tepat dan proporsional.

135
Sholehuddin, M. 2004. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System
& Implementasinya. Raja Grafindo Persada, hal. 28

136
Ibid.

137
Yong Ohoitimur. 1997. Teori Etika Tentang Hukuman Legal. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta, hal. 41

107
Perbedaan sanksi pidana dengan tindakan sering agak sama, namun di tingkat ide

dasar keduanya memiliki perbedaan fundamental. Keduanya bersumber dari ide dasar

berbeda. Sanksi pidana bersumber pada ide dasar “mengapa diadakan pemidanaan?”,

sedangkan tindakan bertolak dari ide dasar “untuk apa diadakan pemidanaan itu?” 138

Dengan kata lain, sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu

perbuatan, sedangkan tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan

tersebut. Jika fokus sanksi pidana tertuju pada perbuatan salah seorang lewat pengenaan

penderitaan (agar yang bersangkutan menjadi jera) maka fokus tindakan terarah pada

upaya memberi pertolongan agar dia berubah. 139 Jelaslah bahwa sanksi pidana lebih

menekankan unsur pembalasan, sedangkan tindakan bersumber dari ide dasar

perlindungan masyarakat dan pembinaan atau perawatan si pembuat.140

Berdasarkan tujuannya sanksi pidana dan tindakan juga bertolak dari ide dasar

yang berbeda. Sanksi pidana bertujuan memberi penderitaan istimewa (bijzonder leed)

kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Selain ditujukan pada

pengenaan penderitaan terhadap pelaku, sanksi pidana juga merupakan bentuk pernyataan

pencelaan terhadap perbuatan si pelaku. Dengan demikian perbedaan prinsip antara

sanksi pidana dengan tindakan terletak pada ada tidaknya unsur pencelaan, bukan pada

ada tidaknya unsur penderitaan. 141 Tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik. 142

138
Sholehuddin, M., Op. Cit, hal. 32

139
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit. hal. 4
140
Sudarto (II), Op.cit,, hal. 7
141
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hal. 5

142
Utrecht, 1987, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, hal. 360.

108
Istilah Rehabilitasi sebagai bentuk pemulihan terhadap korban penyalahgunaan

narkotika, maka memperhatikan berbagai referensi terkait dengan hak-hak korban

terutama yang menyangkut dengan hak pemulihan korban, maka penulis berpendapat

untuk tetap mempergunakan istilah Rehabilitasi. Dengan prinsip utama bahwa rehabilitasi

tersebut adalah dalam upaya melakukan pemulihan terhadap korban secara komprehensif

(baik medis mapun sosial) dan dalam prinsip untuk memanusiakan-manusia.

Hal ini dilatarbelakangi oleh beberapa landasan pemikiran:

1. bahwa setiap korban berhak atas hak-haknya sebagai korban;

2. bahwa hak atas pemulihan korban salah satunya adalah Rehabilitasi;

3. bahwa istilah rehabilitasi adalah istilah yang sudah umum digunakan bila

menyangkut pada pemulihan/reparasi korban, baik oleh hukum nasional

maupun oleh hukum internasional.

4. Bahwa istilah rehabilitasi yang digunakan sebagai salah satu hak pemulihan

dari korban baik dalam hukum nasional maupun hukum internsional.

dari definisi yang ada, penulis tidak menemukan indikasi pelemahan hak-hak

korban ataupun penurunan derajat korban sebagai manusia. Justru sebaliknya pengertian

Rehabilitasi yang ada secara substansi adalah dalam upaya menjunjung harkat dan

martabat korban sebagai manusia.

4.2 Korban Penyalahgunaan Narkotika

Pasal 127 ayat (3) menentukan: Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan

narkotika, Penyalah guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi

109
sosial. Sedangkan yang dimaksud dengan korban penyalahgunaan narkotika adalah

seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya,

ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika (Penjelasan Pasal

54). Pengertian „tidak sengaja” ini memang membingungkan dalam KUHP sendiri

terminologi “tidak sengaja” tidak ditemukan yang ada adalah “culpa” atau “lalai”.

Culpa atau lalai tentulah berbeda dengan tidak sengaja, karena culpa adalah kurang

hati-hati atau tiada penduga-duga. Wirjono Prodjodikoro memandang culpa ialah

“kesalahan pada umumnya”, tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti

teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat

seperti kesengajaan. Untuk itu tidak sengaja bukan berarti lawan dari sengaja. Karena

tidak tinggi bukan berarti tinggi, karena ada antara tinggi dan tidak tinggi atau

sedang. Namun demikian, kalau yang dimaksudkan tidak sengaja merupakan

kebalikan dari sengaja, hal ini berarti tidak sengaja haruslah diartikan:

1. tidak sengaja sebagai maksud atau tujuan

2. tidak sengaja sebagai keinsyafan kepastian dan 3. tidak sengaja sebagai

keinsyafan kemungkinan.

Berkaitan dengan ketiga rumusan di atas, maka yang paling relevan anti tidak

sengaja dalam penjelasan Pasal 54 ini adalah tidak sengaja dalam arti maksud atau

tujuan, pelaku benar-benar tidak mempunyai maksud menggunakan narkotika, dan

penggunaan narkotika semata-mata karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa,

dan/atau diancam.

Dibujuk tentulah mengacu pada pengertian dalam Pasal 55 KUHP ayat (1) ke-2.

Dikatakan membujuk apabila dilakukan dengan cara-cara yang ditentukan Pasal 55

110
ayat (1) ke-2 KUHP, yaitu adanya pemberian, kesanggupan, penyalahgunaan

kekuasaan atau martabat, dengan paksaan, ancaman, atau penipuan, atau dengan

memberikan kesempatan, sarana, atau keterangan. Karena membujuk haruslah

menggunakan cara-cara di atas, maka dikatakan “dibujuk” apabila cara yang

digunakan, sehingga berhasil dibujuk juga sama. Dalam KUHP baik yang membujuk

maupun dibujuk dapat dipidana, tetapi ternyata dalam ketentuan ini apabila dapat

dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika karena dibujuk

maka tidak dipidana namun demikian tetap wajib menjalani rehabilitasi medis dan

rehabilitasi sosial.

* ”Diperdaya” bermakna dibuat tidak berdaya, sehingga tidak mampu menolak,

karena adanya informasi yang menyesatkan,

* ”Ditipu” berarti menggunakan cara-cara penipuan sehingga tertipu. Cara-cara

penipuan di sini adalah adanya rangkaian kebohongan dengan tujuan yang jelas.

Rangkaian kebohongan ini sedemikian rupa, sehingga merupakan satu kesatuan

yang saling berkaitan antara kebohongan yang satu dengan kebohongaan lainnya.

* “dipaksa, dan/atau diancam” paksaan dapat berupa paksaan fisik maupun psikis,

demikian juga ancaman dapat berupa ancaman fisik maupun ancaman psikis.

Paksaan fisik dapat berupa dipegang dengan kuat serta disuruh untuk melakukan

atau menerima sesuatu, sedangkan paksaan psikis dipandang Wirjono

Prodjodikoro sebagai sifat memaksa yang tidak mutlak dimana “sifat memaksa

yang tidak mutlak adalah bahwa dari seseorang manusia tidak dapat diharapkan,

bahwa ia akan menentang paksaan itu oleh karena jika ia menentang,

111
kepentingannya atau kepentingan orang lain atau kepentingan umum akan

dirugikan”.

Pertanyaannya adalah siapakah yang membuktikan bahwa seseorang adalah

korban penyalahgunaan narkotika. Memang berdasarkan fakta persidangan dapat

terungkap apakah seseorang sebagai korban penyalahgunaan narkotika atau tidak.

Mengingat tugas Jaksa Penuntut Umum adalah melakukan penuntutan dan dirasa

sangat aneh apabila disatu sisi melakukan penuntutan di sisi lain melakukan tugas

sebaliknya, untuk itu kalimat. Dalam hal penyalah guna sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, maka

sebaiknya di samping sebagai dasar pembelaan terdakwalah yang membuktikan

sebagai korban penyalahgunaan narkotika, hal ini sangat logis karena dalam rangka

membela kepentingannya.

Dengan dapat dibuktikannya korban penyalahgunaan narkotika sesuai dengan

ketentuan ini, maka korban penyalahgunaan narkotika tersebut wajib menjalani

rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, untuk itu dapat disimpulkan yang dapat

menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial adalah:

a. Pecandu narkotika baik terbukti maupun tidak terbukti melakukan tindak pidana

narkotika.

b. Korban penyalahgunaan narkotika.

112
4.3 Double Track System dalam Perumusan Sanksi terhadap Tindak Pidana

Penyalahgunaan Narkotika

Berbicara tentang ide dasar double track system, bermakna berbicara tentang

gagasan dasar mengenai sistem sanksi yang menjadi dasar kebijakan dan penggunaan

sanksi dalam hukum pidana. Dalam hal ini, sistem dua jalur mengenai sanksi dalam

hukum pidana. Literatur yang ada tidak pernah memberikan penegasan eksplisit soal

gagasan double track system, namun dilihat dari latar belakang kemunculannya dapat

disimpulkan ide dasar double track system tersebut adalah kesetaraan antara sanksi

pidana dan tindakan.

Sehubungan dengan perbedaan antara sanksi pidana dan tindakan, serta batasan

antara keduanya yang dinilai kabur, maka perlu dipaparkan pendapat para sarjana

mengenai dua jenis sanksi tersebut:

1. Sudarto:

Pendapatnya menekankan bahwa sanksi pidana adalah penderitaan yang

sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi

syarat-syarat tertentu. Sanksi dalam hukum pidana modern, juga meliputi apa

yang disebut tindakan tata tertib. Selanjutnya Sudarto juga menjelaskan

bahwa sanksi pidana adalah pembalasan (pengimbalan) terhadap kesalahan si

pembuat, sedangkan tindakan adalah untuk perlindungan masyarakat dan

untuk pembinaan atau perawatan si pembuat.143

2. Andi Hamzah:

143
Sudarto, 1973, Hukum Pidana Jilid I A, Badan Penyediaan Kuliah FHAL UNDIP, Semarang,
hal.7 (Selanjutnya disebut Sudarto II)

113
Meskipun perbedaan sanksi pidana dan tindakan menurut Andi Hamzah agak

samar, tapi dia memberi penjelasan singkat bahwa sanksi pidana bertitik berat

pada pengenaan sanksi pada pelaku suatu perbuatan, sedangkan tindakan

bertujuan melindungi masyarakat.144

3. Utrecht:

Secara teoritis, Utrecht melihat perbedaan sanksi pidana dan tindakan dari

sudut tujuannya. Sanksi pidana bertujuan memberi penderitaan istimewa

(Bijzonder leed) kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya.

Sedangkan tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik. Dengan mengutip

pendapat Pompe, Utrecht menjelaskan lebih lanjut bahwa tindakan itu bila

ditinjau dari teori-teori pemidanaan merupakan sanksi yang tidak membalas,

melainkan semata-mata ditujukan pada prevensi khusus. Tindakan itu

bertujuan melindungi masyarakat terhadap orang-orang berbahaya yang

mungkin akan melakukan delik-delik yang dapat merugikan masyarakat.145

Ide kesetaraan ini dapat ditelusuri lewat perkembangan yang terjadi dalam sistem

sanksi hukum pidana dari aliran klasik ke aliran moderen neo klasik 146

Bermuara dari konsepsi-konsepsi kedua aliran hukum pidana tersebut, lahirlah

ide individualisasi pidana, sebagai konsekuensi dari ide individualisasi pidana, maka

sistem pemidanaan dalam hukum pidana modern juga berorientasi pada pelaku dan

144
Andi Hamzah, 1986, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Dari Retribusi ke Reformasi,
PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal.53.

145
Utrecht,1987, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, hal.360

146
M. Sholehuddin, Op. cit, hal. 24.

114
perbuatan (daad-dader straafrecht) sehingga jenis sanksi yang ditetapkan tidak hanya

meliputi sanksi pidana, tetapi juga tindakan yang relative lebih bermuatan pendidikan

daripada penderitaan.

Aliran klasik pada prinsipnya hanya mengatur single track system, yakni sanksi

tunggal berupa jenis sanksi pidana (punishment). Berkaitan dengan hal tersebut, Sudarto

menyatakan bahwa aliran klasik tentang pidana bersifat retributif dan represif terhadap

tindak pidana. Aliran ini muncul pada abad XVIII yang berpaham indeterminisme

mengenai kebebasan kehendak manusia yang menekankan kepada perbuatan pelaku

kejahatan sehingga dikehendakilah hukum pidana perbuatan. Karenanya, sistem pidana

dan pemidanaan aliran klasik ini sangat menekankan terhadap perbuatan, bukan pada

pelakunya. 147

Pada bad XIX lahirlah aliran modern yang mencari sebab kejahatan dengan

menggunakan metode ilmu alam dan bermaksud untuk langsung mendekati atau

mempengaruhi penjahat secara positif sejauh dia masih dapat diperbaiki. Bertolak

belakang dengan paham aliran klasik, aliran modern memandang kebebasan kehendak

manusia banyak dipengaruhi oleh watak dan lingkungannya sehingga tidak dapat

dipersalahkan dan dipidana. Andaipun digunakan istilah pidana, menurut aliran modern

ini harus tetap diorientasikan pada sifat-sifat si pelaku. Karenanya, aliran ini bertitik tolak

dari pandangan determinisme dan menghendaki adanya individualisasi pidana yang

bertujuan mengadakan resosialisasi terhadap pelaku kejahatan. 148

147
Ibid. hal 25.

148
Ibid

115
Dalam perkembangannya kemudian, aliran neo klasik yang juga menitikberatkan

konsepsinya kepada kebebasan kehendak manusia telah berkembang selama abad XIX

yang mulai mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual terhadap pelaku

tindak pidana (treatment). Aliran neo klasik menyatakan dengan tegas bahwa konsep

keadilan sosial berdasarkan hukum, tidak realistis dan bahkan tidak adil. Aliran ini

berpangkal dari aliran klasik yang dalam perkembangannya kemudian dipengaruhi aliran

modern. Ciri dari aliran neo klasik yang relevan dengan prinsip individualisasi pidana

adalah modifikasi dari doktrin kebebasan berkehendak dan doktrin pertanggungjawaban

pidana. Beberapa modifikasinya antara lain, diterima berlakunya keadaan-keadaan yang

meringankan baik fiskal, lingkungan maupun mental, termasuk keadaan-keadaan lain

yang dapat mempengaruhi pengetahuan dan niat seseorang pada waktu terjadinya

kejahatan. Juga diperkenankan masuknya kesaksian ahli untuk menentukan derajat

pertanggungjawaban pidana. Bentuk perlindungan berupa pengobatan dan/atau perawatan

bagi pecandu narkotika yang dilakukan melalui fasilitas rehabilitasi merupakan salah satu

realisasi dari bentuk “treatment” bagi pelaku kejahatan yang merupakan pemikiran dari

aliran neo klasik149 Bermuara dari konsepsi kedua aliran hukum tersebut, lahirlah ide

individualisasi pidana yang memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:150

a. Pertanggungjawaban (pidana) bersifat pribadi/perorangan (asas personal);

b. Pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas culpabilitas;‟tiada

pidana tanpa kesalahan‟);

149
Ibid

150
Ibid hal.26

116
c. Pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku; ini

berarti harus ada kelonggaran/fleksibilitas bagi hakim dalam memilih sanksi

pidana (jenis maupun berat ringannya sanksi) dan harus ada kemungkinan

modifikasi pidana (perubahan/penyesuaian) dalam pelaksanaannya.

Pendekatan humanistik dalam kebijakan atau pembaharuan hukum pidana terlihat

pula pada pendapat Sudarto yang menyatakan;

Sebagai konsekuensi dari ide individualisasi pidana, maka sistem


pemidanaan dalam hukum pidana modern pada gilirannya berorientasi pada
pelaku dan perbuatan. Jenis sanksi yang ditetapkan tidak hanya meliputi
sanksi pidana, tetapi juga tindakan. Pengakuan tentang kesetaraan antara
sanksi pidana dan tindakan inilah merupakan hakikat asasi atau ide dasar
dari konsep double track system. 151

Double track system adalah kedua-duanya, yakni sanksi pidana dan tindakan.

Double track system tidak sepenuhnya memakai satu diantara dua jenis sanksi itu. Sistem

dua jalur ini menetapkan dua jenis sanksi tersebut dalam kedudukan yang setara.

Penekanan pada kesetaraan sanksi pidana dan tindakan dalam kerangka double track

system, sesungguhnya terkait dengan fakta bahwa unsur pencelaan/penderitaan (lewat

sanksi pidana) dan unsur pembinaan (lewat tindakan) sama-sama penting. Dari sudut

double track system, kesetaraan kedudukan sanksi pidana dan tindakan sangat bermanfaat

untuk memaksimalkan penggunaan kedua jenis sanksi tersebut secara tepat dan

proporsional.

Double track system merupakan system dua jalur mengenai sanksi dalam hukum

pidana, yakni jenis sanksi pidana dari satu pihak dan jenis tindakan di pihak lain.

151
Barda Nawawi Arief VIII, Op. cit., hal. 46

117
Keduanya bersumber dari ide yang berbeda. Sanksi pidana bersumber pada ide dasar:

“mengapa diadakan pemidanaan”. Sedangkan tindakan bertolak dari ide dasar: “untuk

apa diadakan pemidanaan itu”. Dengan kata lain, sanksi pidana sesungguhnya bersifat

reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap

pelaku perbuatan tersebut. Fokus sanksi pidana ditujukan pada perbuatan salah yang telah

dilakukan seseorang melalui pengenaan penderitaan agar yang bersangkutan menjadi

jera. Fokus tindakan lebih terarah pada upaya memberi pertolongan pada pelaku agar ia

berubah. Jelaslah, bahwa sanksi pidana lebih menekankan unsur pembalasan. Ia

merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seorang pelanggar. Sedangkan

tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat dan pembinaan atau

perawatan si pelaku. Seperti dikatakan J.E. Jonkers, sanksi pidana dititikberatkan pada

pidana yang diterapkan untuk kejahatan yang dilakukan, sedangkan tindakan mempunyai

tujuan yang bersifat sosial. 152

Berdasarkan hal tersebut diataslah double track system dalam perumusan sanksi

terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika adalah paling tepat, karena berdasarkan

tinjauan victimologi bahwa pecandu narkotika adalah sebagai self victimizing victims

yaitu korban sebagai pelaku, victymologi tetap menetapkan penyalahgunaan narkotika

sebagai korban, meskipun korban dari tindak pidana/kejahatan yang dilakukannya

sendiri. oleh karena itu, maka pecandu narkotika yang juga sebagai korban patut untuk

mendapat perlindungan. Namun, karena pecandu narkotika juga sebagai pelaku suatu

tindak pidana/kejahatan maka ia juga harus tetap dihukum, oleh karena hal inilah maka

152
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barakatullah, 2005, Politik Hukum Pidana, Kajian Kebijakan
Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 88

118
dikatakan bahwa double track system dalam perumusan sanksi terhadap tindak pidana

penyalahgunaan narkotika adalah paling tepat.

Jika ditinjau dari teori-teori pemidanaan, maka tindakan merupakan sanksi yang

tidak membalas. Ia semata-mata ditujukan pada prevensi khusus, yakni melindungi

masyarakat dari ancaman yang dapat merugikan kepentingan masyarakat itu., singkatnya,

sanksi pidana berorientasi pada ide pengenaan sanksi terhadap pelaku suatu perbuatan,

sementara tindakan berorientasi pada ide perlindungan masyarakat. 153

Sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pecandu narkotika sebagai self victimizing

victims adalah dalam bentuk menjalani masa hukuman dalam penjara, sedangkan

tindakan yang diberikan kepada pecandu narkotika sebagai korban adalah berupa

pengobatan dan/atau perawatan yang diselenggarakan dalam bentuk fasilitas rehabilitasi.

Sistem pelaksanaannya adalah masa pengobatan dan/atau perawatan dihitung sebagai

masa menjalani hukuman.

Bila dianalisis secara seksama, di dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1997

dan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah menganut double track

system dalam perumusan sanksi terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika,

meskipun masih bersifat kebebasan bagi hakim dalam menjatuhkan vonis dalam

putusannya dalam menangani perkara pecandu narkotika (berdasarkan keyakinan hakim)

dalam hal memberikan tindakan. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat dan juga

memahami ketentuan pidana terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri

yang dimuat dalam ketentuan Pasal 85 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997

153
Barda Nawawi Arief (I), Op.cit hal. 5

119
Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum:
a. Menggunakan narkotika golongan I bagi diri sendiri, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
b. Menggunakan narkotika golongan II bagi diri sendiri, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.
c. Menggunakan narkotika golongan III bagi diri sendiri, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun

Ketentuan tindakan berupa rehabilitasi terhadap pecandu narkotika diatur di

dalam Pasal 45 dan 47 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997:

Pasal 45
“Pecandu narkotika wajib menjalani pengobatan dan/atau perawatan”.

Pasal 47
(1) Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat:
a. Memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani
pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut
terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika; atau
b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani
pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut tidak
terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, diperhitungkan sebagai masa
menjalani hukuman.

Selanjutnya, di dalam Undang-Undang baru tentang Narkotika yaitu Undang-

Undang No. 35 Tahun 2009, ketentuan mengenai penyalahgunaan narkotika bagi diri

sendiri diatur di dalam Pasal 127

Pasal 127
(1) Setiap Penyalah Guna:
a. Narkotika golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun;

120
b. Narkotika golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun; dan
c. Narkotika golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun .
(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55,
dan Pasal 103.
(3) Dalam hal penyalah guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika,
penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial.

Kemudian, ketentuan mengenai penjatuhan vonis rehabilitasi terhadap pecandu

narkotika diatur di dalam Pasal 103 yaitu:

Pasal 103
(1) Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat:
a. memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu
Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana
Narkotika; atau
b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu
Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana
Narkotika.
(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa
menjalani hukuman.

Double track system dalam perumusan sanksi terhadap penyalahgunaan

narkotika merupakan kebijakan hukum pidana dalam formulasi ketentuan-ketentuan yang

mengatur mengenai sanksi yang diberikan kepada pelaku penyalahgunaan narkotika,

yakni berupa sanksi pidana dan tindakan mengingat pelaku penyalahgunaan narkotika

memiliki posisi yang sedikit berbeda dengan pelaku tindak pidana lainnya. Di satu sisi ia

121
merupakan pelaku tindak pidana yang harus dihukum, namun di sisi lain merupakan

korban dari tindak pidana yang dilakukannya itu sendiri, sehingga perlu dilakukan suatu

tindakan berupa rehabilitasi.

Penentuan sanksi terhadap pecandu narkotika, apakah akan diterapkan sanksi

pidana atau tindakan, penentuannya berada di tangan hakim. Sebab berdasarkan

ketentuan undang-undang narkotika, memberikan kewenangan bagi hakim untuk

menentukan akan menjatuhkan pidana penjara atau tindakan rehabilitasi terhadap

pecandu narkotika tersebut, untuk menentukan apakah dalam menangani perkara pecandu

narkotika, hakim akan menerapkan ketentuan Pasal 127 (mengatur mengenai sanksi

pidana) atau menerapkan ketentuan Pasal 103 (mengatur mengenai tindakan

“rehabilitasi”) adalah pada akhirnya bermuara kepada keyakinan hakim apakah pelaku

penyalahgunaan narkotika tersebut tepat untuk dikatakan sebagai pecandu yang harus

direhabilitasi atau lebih tepat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana penyalahgunaan

narkotika yang harus dipidana penjara adalah dengan berdasarkan hasil keterangan

laboratorium yang menyatakan bahwa pelaku tersebut mengalami ketergantungan

terhadap narkotika sehingga memerlukan proses perawatan dan/atau pengobatan yang

dilakukan melalui fasilitas rehabilitasi dan yang tentunya berdasarkan ketentuan undang-

undang.

4.4 Rehabilitasi Terhadap korban Penyalahgunaan Narkotika

Rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika saat ini kian marak terdengar, hal

ini merupakan salah satu perjuangan yang dilakukan oleh LSM yaitu ikatan korban

122
NAPZA yang gencar menyuarakan hak para pecandu narkotika untuk dapat mendapatkan

perawatan maupun rehabilitasi dan bukannya pemidanaan.

Rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika sendiri sebenarnya telah tercantum

dalam Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, namun hingga saat

ini implementasi penerapannya dirasakan masi sangat minim, dan bahkan hukum pidana

lebih banyak diterapkan daripada perawatan maupun rehabilitasi

Masalah pidana dianggap merupakan suatu bidang yang tidak banyak diketahui,

sehingga pembahasan tentang ilmu hukum pidana yang menyoroti pidana pada umumnya

dan pidana penajra pada khususnya kurang mendapat perhatian. Selama ini yang banyak

dipersoalkan dalam ilmu hukum pidana terletak pada asas-asas hukum pidana yang

menyangkut perbuatan pidana dan pertanggungan pidana. Pada hakekatnya tujuan

penggunaan sarana hukum pidana adalah upaya terakhir, mengenai hukum pidana

sebagai upaya terakhir dimaksudkan karena hukum pidana mempunya sanksi negatif

berkaitan dengan itu sudarto berpendapat :

”... Yang membedakan hukum pidana dari hukum yang lain ialah sangki
berupa pidana yang diancamkan kepada pelanggaran normanya. Sanksinya
dalam hukum pidana ini adalah sanksi negatif, oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa hukum pidana merupukan sistem sanksi negatif. Disamping
itu mengngat sifat dari pidana itu, yang hendaknya baru diterapkan apabila
saran (upaya) lainnya tidak memadai maka dapt dikatakan pula bahwa
hukum pidana mempunyai sanksi subsidair”. 154

Dihubungkan dengan pendapat sudarto di atas, ternyata masalah yang penting

dalam hukum pidana itu adalah sanksinya yang berupa pidana, dengan adanya sanksi

154
Sudarto,1977,Hukum dan Hukum Pidana,Alumni, Bandung, hal.30 (Selanjutnya disebut
Sudarto IV)

123
tersebut, hukum pidana sebagai ultimum remidium, dimaksudkan untuk memperbaiki

tingkah laku manusia terutama penjahat, dalam hal ini Andi Zainal Abidin berpendapat :

”Bahwa yang membedakan antara hukuman pidana dan bidang hukum lain
adalah sanksi pidana yang merupakan pemberian ancaman penderitaan
dengan sengaja dan sering juga pengenaan penderitaan. Hal ini dilakukan
juga sekalipun tidak ada korban kejahatan. Perbedaan demikian menjadi
alasan untuk menganggap hukum pidana itu sebagai ultimum remidium,
yaitu upaya terakhir untuk memperbaiki tingkah laku manusia terutama
penjahat serta memberikan tekanan psikologis agar orang-orang tidak
melakukan kejahatan”.155
Dengan dikatakannya hukum pidana sebagai ultimum remidium atau upaya

terakhir untuk menanggulangi kejahatan maka sudah semestinya ada suatu tindakan lain

yang harus diutamakan dalam menanganiu perkara penyalahguna narkotika yang

merupakan korabn dari peredaran gelap narkotika, dimana salah satu upaya yang dapat

dilakukan yaitu dengan pemberian rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika.

Hukum pidana sebagai bagian hukum yang lain secara tegas tertulis oleh

moeljatno sebagai berikut,

Hukum pidana adalah bagian dari pada hukum yang berlaku di suatu negara yang
mengadakan dasar – dasar dan aturan – aturan untuk:
1. Menentukan perbuatan – perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang
siapa yang melanggar larangan tersebut;
2. Menentukan kapan dan dalam hal – hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan tersebut itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan;
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan
apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.156

155
Ibid

156
Moejatno, 2005, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta hal.4

124
Penerapan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika dapat dijadikan salah satu

upaya untuk memulihkan penyalahguna narkotika dari ketergantungannya walaupun

pemberian sanksi pidana juga dapat dibenarkan.

Muladi dan Barda Nawawi Arief memberikan pendapat tentang tujuan

pemidanaan sebagai berikut :

Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan


kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai
tujun tertentu yang bermanfaat. Oleh karana itu teori ini juga disebut teori
tujuan (utilitarian), jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini
adalah terletak pada tujuannya, pidana dijatuhkan bukan quia peccattum est
(karena orang melakukan kejahatan) melainkan ne peccetur (supaya orang
jangan melakukan kejahatan).157

Tujuan pidana menutut teori relatif adalah untuk mencaegah agar ketertiban di

dalam masyarakat tidak terganggu, dengan kata lain pidana yang dijatuhkan kepada si

pelaku kejahatan bukanlah untuk membalas kejahatan, melainkan untuk mempertahankan

ketertiban umum, pidana dijatuhkan bukan karena orang membuat kejahatan melainkan

supaya orang jangan melakukan kejahatan.

Barda Nawawi Arif menyatakan bahwa hubungan antara penetapan sanksi pidana

dan tujuan pemidanaan adalah titik penting dalam menentukan strategi perencanaan

politik kriminal, menentukan tujuan pemidanaan dapat menjadi landasan untuk

menentukan cara, sarana, atau tindakan yang akan digunakan. Kebijakan menetapkan

sanksi pidana apa yang dianggap paling baik untuk mencapai tujuan, setidak-tidaknya

157
Anonim, “Tujuan Pemidanaan”, available from URL:
http/www/hukumonline.com/tujuanpemidanaan, diakses tanggal 17 Agustus 2012

125
mendekati tujuan, tidak dapat dilepaskan dari persoalan pemilihan berbagai alternatif

sanksi. Masalah pemilihan berbagai alternatif untuk memperoleh pidana mana yang

dianggap paling baik, paling tepat, paling patut, atau efektif merupakan masalah yang

tidak mudah, dilihat dari sudut pandang politik kriminal, maka tidak terkendalikannya

perkembangan kriminalitas yang semakin meningkat justru dapat disebabkan oleh tidak

tepatnya jenis sanksi pidana yang dipilih dan diterapkan,dengan demikian kebijakan

hukum pidana haruslah berorientasi pada kebijakan. (policy oriented approach)158

Walaupun hukum pidana tetap banyak diterapkan dalam perkara narkotika namun

kejahatan akan penyalahgunaan narkotika tidak serta merta menurun, arti pentingnya

penerapan rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika adalah pengobatan, perawatan

pecandu, dan ketergantungan narkotika. Hal ini disebabkan pelaku penyalahguna

narkotika merupakan korban dari peredaran gelap narkotika.

Untuk mencapai penegakan hukum dan mencapai tujuand ari pemidnaan itu

sendiri, maka rehabiltiasi terhadap pencandu narkotika harus diterapkan, karena pecandu

sebagai korban akan mendapat penanganan yang layak sehingga dirinya dapat sembuh

dan terbebas dari ketergantungan terhadap narkotika.

Barda Nawawi Arif menyatakan bahwa hubungan antara penetapan sanksi pidana

dan tujuan pemidanaan adalah titik penting dalam menentukan strategi perencanaan

kebijakan kriminalisasi. Menentukan tujuan pemidanaan dapat menjadi landasan untuk

menentukan cara, sarana atau tindakan yang akan digunakan, kebijakan menetapkan

sanksi pidana apa yang dianggap paling baik untuk mencapai tujuan, setidak-tidaknya

mendekati tujuan tidak lepas dari persoalan pemilihan alternatif sanksi, masalah

158
Barda Nawawi Arif II, Op.Cit, hal.27

126
pemilihan berbagai alternatif untuk memperoleh pidana mana yang paling tepat, paling

baik, paling patut, paling berhasil, atau paling efektif merupakan masalah yang tidak

mudah, dilihat dari sudut pandang kebijakan pidana maka untuk terkendalinya

perkembangan kriminalitas yang semakin meningkat justru dapt disebabkan oleh tidak

tepatnya jenis sanksi pidana yang dipilih atau ditetapkan, dengan demikian kebijakan

hukum pidana haruslah berorientasi pada kebijakan policy oriented approach.159

Walaupun sanksi pidana banyak diterapkan dalam perkara tindak pidana

narkotika namun kejahatan akan penyalahgunaan narkotika tidak serta merta menurun.

Untuk mencapai penegakan hukum dan mencapai tujuan dari pemidanaan itu

sendiri maka rehabilitiasi terhadap penyalahguna narkotika harus diterapkan karena

penyalahguna sebagai korban dari peredaran gelap narkotika akan mendapatkan

penanganan yang layak sehingga dirinya dapat sembuh dan terbebas dari ketergantungan

terhadap narkotika.

Rehabilitasi sebagai alternatif pemberian sanksi pemidanaan baki penyalahguna

narkotika sangatlah tepat untuk dipergunakan daripada pendekatan retributif pada sistem

pemidanaan di indonesia. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa penerapan

pemidanaan terhadap korban penyalahgunaan narkotika berdasarkan tujuan treatment

lebih diarahkan kepada pelaku sebagai korban,bukan kepada perbuatannya sehingga

alternatif pemidanaan ii ditujukan untuk memberikan perawatan dan perbaikan. Alternatif

penjatuhan rehabilitasi ini didasarkan pada korban adalah orang yang sakit sehingga

membutuhkan tindakan perawatan.

159
Barda Nawawi Arif III Op.Cit,hal.27

127
4.4 Ketentuan Rehabilitasi dalam Undang – Undang No.35 Tahun 2009

Ketentuan rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika terdapat dalam Pasal 127

ayat (1) undang – undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika, yang menyatakan :

Pasal 127
(1) Setiap Penyalah Guna:
a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun;
b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun; dan
c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun

Adapun penggolongan narrkotika tersebut dalam penjelasan pasal 6 ayat (1)


Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 sebagai berikut :
Huruf a
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan I” adalah
Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan
ilmupengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, sertamempunyai potensi
sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Huruf b
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan II” adalah
Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat
digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan
serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Huruf c
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan III” adalah
Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau
untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan ketergantungan.

Pengertian penyalahguna sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 15

Undang-undang tersebut adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak dan

melawan hukum, penyalahguna disini diawali dengan kata ”setiap”, maka semua orang

tanpa terkecuali sebagai pengguna narkotika termasuk pecandu narkotika dan korban

128
penyalahgunaan narkotika dapat diancam dengan ketentuan Pasal 127, hal ini karena

pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan

dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun secara psikis

(Pasal 1 angka 13), sedangkan korban penyalahgunaan narkotika adalah seseorang yang

tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa,

dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika (penjelasan Pasal 54). Dalam hal ini

ketentuan dimaksud tidak hanya untuk orang yang sedang menggunakan narkotika dalam

arti tertangkap tangan namun dapat juga dijatuhkan terhadap orang yang menggunakan

narkotika dalam waktu yang telah lampau.

Bagi penyalahguna narkotika yang tertangkap tangan tentunya akan lebih mudah

dan tidak terdapat persoalan karena dengan tertangkap tangannya seseorang yang sedang

menggunakan narkotika tentulah uji labolatorium akan menunjukkan hasil positif,

sehingga meskipun tidak ditemukan barang bukti berupa narkotika, namun adanya tes

urine dapat ditelusuri jenis maupun golongan narkotika yang telah

digunakan/dikonsumsi, sedangkan bagi penyalahguna narkotika yang digunakan dalam

waktu yang lampau,hal ini tentu lebih sulit karena dalam hal dilakukan uji laboratorium

tentunya tidak terbukti positif, namun dapat melalu kesaksian yang membenarkan bahwa

orang tersebut benar sebagai penyalahguna narkotika.

Mengingat untuk dapat menentukan suatu jenis barang atau zat narkotika berikut

golongannya memerlukan keahlian yang khusus, tentunya akan sangat sulit tanpa adanya

barang bukti untuk dapat menentukan barang/zat yang dikonsumsi merupakan narkotika

atau bukan, sehingga praktis hampir dapat dipastikan tidak mungkin seseorang dapat

diancam dengan pidana sebagaimana bunyi Pasal 127 meskipun banyak saksi yang

129
mengetahui orang tersebut menggunakan narkotika untuk dirinya sendiri pada masa

lampau.

Selanjutnya akan timbul pertanyaan kapan seseorang dapat dikatakan sebagai

penyalahguna narkotika yang dapat dikenakan Pasal 127, untuk menjawab pertanyaan

tersebut harus ditentukan terlebih dahulu bahwa orang tersebut kedapatan ”membeli,

menerima, menyimpan, menguasai dan membawa,” adalah benar untuk tujuan digunakan

bagi dirinya sendiri, proses ini sangat penting untuk dapat menentukan ketentuan pidana

yang tepat akan dijatuhkan kepada orang tersebut, selanjutnya untuk dapat digolongkan

sebagai penyalahguna atau tidak (terlibat peredaran narkotika) adalah melalui jumlah

barang bukti yang ditemukan, berdasarkan isi Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4

tahun 2010 tanggal 7 April 2010 setidak-tidaknya dapat dijadikan acuan untuk

menentukan apakah seseorang dapat disebut sebagai penyalahguna narkotika yaitu

apabila :

a. Pada saat ditangkap ditemukan barng bukti pemakaian 1 (satu) hari dengan
perincian antara lain sebagai berikut:
1. Kelompok metamphetamine (shabu) : 1 gram
2. Kelompok MDMA (ekstasy) : 2,4 gram = 8 butir
3. Kelompok heroin : 1,8 gram
4. Kelompok kokain : 1,8 gram
5. Kelompok ganja : 5 gram
6. Daun koka : 5 gram
7. Meskalin : 5 gram
8. Kelompok psilosbybin : 3 gram
9. Kelompok LSD : 2 gram
10. Kelompok PCP : 3 gram
11. Kelompok Fetanil : 1 gram
12. Kelompok Metadon : 1,5 gram
13. Kelompok Morfin : 1,8 gram
14. Kelompok Petidin : 0,98 gram
15. Kelompok Kodein : 72 gram
16. Kelompok Bufrenofin : 32 gram

130
b. Tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan terlibat dalam peredaran gelap
narkotika.

Oleh karena itu jika ketentuan-ketentuan diatas terpenuhi maka dapat dikenakan

Pasal 127, mengenai ancaman pidana setiap penyalahguna bagi dirinya sendiri ditentukan

apabila terhadap narkotika golongan I dipidana dengan pidana penjara paling lama 4

(empat) tahun, terhadap narkotika golongan II dipidana dengan penjara paling lama 2

(dua) tahun dan terhadap narkotika golongan III dipidana dengan pidana penjara paling

lama III (tiga) tahun.

Jika uraian diatas berkaitan dengan penyalahguna narkotika bagi dirinya sendiri,

selanjutnya bagaimana dengan penyalahguna narkotika yang dikatagorikan sebagai

pecandu narkotika, dan korban penyalahgunaan narkotika. Berkaitan dengan pecandu

narkotika dan koraban penyalahgunaan narkotika perlu diperhatikan ketentuan apsal 127

ayat (2) yang berisi pedoman bagi hakim dalam menjatuhkan putusan wajib untuk

memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55 dan Pasal

103.

Pasal 54
Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Pasal 55
(1) Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib
melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau
lembaga rehabilitasimedis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk
olehPemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atauperawatan melalui
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

131
(2) Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajibmelaporkan diri atau
dilaporkan oleh keluarganya kepadapusat kesehatan masyarakat, rumah sakit,
dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh
Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Pasal 103
(1) Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat:
a. memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan
dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut
terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau
b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu
Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana
Narkotika.
(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa
menjalani hukuman.

Bedasarkan ketentuan Pasal 54, Pasal 55 dan Pasal 103 dapat diketahui 3 (tiga)

kriteria yang wajib diperhatikan hakim dalam hal menjatuhkan putusan yang didasarkan

ketentuan Pasal 127 tersebut, yaitu apakah sebagai : a. Penyalahguna narkotika (dalam

arti bukan pecandu narkotika), b. Pecandu narkotika, dan c. Korban penyalahgunaan

narkotika.

Bagi penyalahguna narkotika yang terbukti telah mempergunakan narkotika untuk

dirinya sendiri sedangkan penyalahguna narkotika tersebut bukan pecandu maupun

korban penyalahgunaan narkotika kepadanya hakim wajib menjatuhkan pidana dengan

ketentuan apabila narkotika tersebut narkotika golongan I dipidana dengan pidana penjara

paling lama 4 (empat) tahun, terhadap narkotika golongan II dipidana dengan penjara

paling lama 2 (dua) tahun dan terhadap narkotika golongan III dipidana dengan pidana

132
penjara paling lama III (tiga) tahun sesuai dengan ketentuan diatas, sementara untuk

”pecandu narkotika” berlaku ketentuan Pasal 103

Kata ”dapat” dalam Pasal 103 seolah-olah putusan yang diambil diserahkan

kepada hakim apakah pecandu narkotika yang terbukti melakukan tindak pidana oleh

hakim akan dijatuhkan pidana atau akan memerintahkan yang bersangkutan untuk

menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi. Dari pada itu selain

dengan memperhatikan ketentuan dalam SEMA 4 tahun 2010 tersebut juga mewajibkan

hakim untuk :

a. Terdakwa pada saat ditangkap oleh penyidik polri tau penyidik BNN dalam
kondisi tertangkap tangan
b. Surat uji labolatorium positif menggunakan narkotika bedasarkan permintaan
penyidik
c. Perlu surat keterangan dari dokter jiwa atau psikiater pemerintah yang
ditunjuk oleh hakim.

Ditegaskan dalam SEMA No. 4 Tahun 2010 tersebut bahwa hakim dalam

menjhatuhkan pemidanaan berupa perintah untuk melakukan rehabilitasi atas diri

terdakwa, majelis hakim harus menunjuk secara tegas dan jelas tempat rehabiltiasi yang

terdekat dalam amar putusannya.

Pecandu narkotika yang terbukti bersalah disebutkan hakim ”dapat” memutus

untuk memerintakan yang bersangkutan untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan

melalui rehabiltiasi, namun demikian mengingat kembali ketentuan Pasal 54, menyatakan

pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika ”wajib” menjalani rehabiltiasi

medis dan rehabiltiasi sosial , maka konsekuensinya harus dapat dibuktikan terlebih

dahulu terdakwa tersebut merupakan pecandu narkotika atau tidak, serta pada saat

133
ditangkap apakah memenuhi ketentuan Pasal 127 serta SEMA no.4 tahun 2010, karena

seorang pecandu narkotikabelum tentu saat ditangkap kedapatan membeli,

menerima,menguasai, membawa narkotika. Disini kaitannya untuk menentukan status

apakah semata – mata sebagai ”penyalahguna” , ”pecandu narkotika”, atau sebagai

pengedar.

Menurut Posma P. Nainggolan, SH. (dalam wawancara tanggal 4 September

2012 di Pengadilan Negeri Denpasar) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 merupakan

pembaharuan hukum pidana sebab Undang-Undang tersebut lebih memperhatikan

kondisi pelaku penyalahgunaan narkotika “pecandu” yang lebih tepat dijatuhi vonis untuk

menjalani rehabilitasi daripada menjalani hukuman penjara. Kemudian dikeluarkan Surat

Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan,

Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis

dan Rehabilitasi sosial.

Beliau menyatakan juga bahwa dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah

Agung Nomor 07 Tahun 2009 dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun

2010 merupakan petunjuk teknis dalam menerapakan ketentuan-ketentuan dalam

Undang-Undang yang mengatur mengenai syarat-syarat penjatuhan vonis reHabilitasi

terhadap pecandu nankotika maupun korban penyalahgunaan narkotika. dikeluarkannya

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 adalah berdasarkan Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang lebih fokus ataupun condong menganggap pecandu

narkotika sebagai korban.

Sebagai bagian dari kebijakan hukum pidana, maka pembaharuan hukum pidana

pada hakikatnya bertujuan untuk menjadikan hukum pidana lebih baik sesuai dengan

134
nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Dalam hukum Indonesia, pembaharuan hukum

pidana dilakukan agar hukum pidana yang berlaku sesuai dengan nilai-nilai masyarakat

di Indonesia.

Berkaitan dengan pemaknaan pembabaruan hukum pidana ini, patut kiranya

dikemukakan pandangan seorang pakar hukum pidana yaitu Prof. Barda Nawawi Arief

yang menyatakan bahwa”Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung

makna suatu upaya melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai

dengan nilai-nilai sentral sosio politik, sosio fllosofik, dan cultural masyarakat Indonesia

yang melandasi kebijakan sosial, kebiajakan kriminal dan penegakan hukum di

Indonesia”.160

Lebih lanjut dikatakan, bahwa pembaharuan hukum pidana (penal reform) harus

dilakukan dengan pendekatan kebijakan, oleh karena pada hakikatnya pembaharuan

hukum pidana merupakan bagian dari suatu kebijakan atau “policy” (yaitu bagian dari

politik hukum/penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal, dan politik

sosial).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa makna dan hakikat

pembaharuan hukum pidana adalah: 161

1. Dilihat dari sudut pendekatan kebijakan:


a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada
hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah
sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai/menunjang
tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya):

160
Barda Nawawi Arief II, Op.cit, hal.30

161
Ibid., hal. 31-32

135
b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada
hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat
(khususnya upaya penanggulangan kejahatan);
c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum
pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui
substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan
penegakan hukum.
2. Dilihat dari Pendekatan Nilai:
Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan
peninjauan dan penilaian kembali (reorientasi dan reevaluasi) nilai-nilai sosio
politik, sosio fllosofik dan sosio cultural yang melandasi dan memberi isi
terhdap: muatan normatif dan substantif hukum pidana yang.dicita-citakan.

Melihat perumusan dan pemaknaan pembaharuan hukum pidana di atas, dapat

diketahui bahwa pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya

menggali nilai-nilai dalam masyarakat untuk diterapkan dalam hukum pidana. Dengan

kata lain, pembaharuan hukum pidana pada dasarnya mempakan upaya untuk

menserasikan hukum pidana yang sedang berlaku dengan nilai-nilai yang ada di dalam

masyarakat. Pembaharuan hukum pidana dimaksudkan agar substansi hukum pidana

dapat menjelmakan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat, sehingga efektif di dalam

penerapannya.

Perkembangan yang ada di dunia saat ini menunjukkan tcrjadinya kecenderungan

perubahan kuat dalam memandang para penvalahguna narkotika yang tidak lagi dilihat

sebagai pelaku kriminal, namun sebagai korban atau pasien yang harus diberi empati. 162

Apabila seorang pecandu narkotika telah divonis bersalah oleh hakim atas tindak pidana

narkotika yang dilakukannya, untuk memberikan kesempatan kepada yang bersangkutan

162
Dani Krisnawaty dan Eddy O.S. Hiariejj, 2006, Bunga Ramgai Hukum Pidana Khusus Pena
Pundi Aksara,. Jakarta, hal. 99

136
agas terbebas dari kecanduannya, hakim dapat memutuskan untuk memerintahkan yang

bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan. Begitu pula. apabila pecandu

narkotika tidak terbukti bersalah atas tuduhan metakukan tindak pidana narkotika, hakim

dapat menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan

dan/atau perawatan.

Rancangan KUHP tahun 2008, dalam Pasal 110 juga telah mengatur mengenai

tindakan rehabilitasi tersebut yaitu:

(1) Tindakan rehabilitasi dikenakan kepada pembuat tindak pidana yang:


a. Kecanduan alcohol, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya:
dan/atau
b. Mengidap kelainan seksual atau yang mengidap kelainan jiwa.
(2) Rehabilitasi dilakukan di lembaga rehabilitasi medis atau sosial, baik milik
pemerintah maupun swasta.

Perbedaan pengaturan tentang rehabilitasi terhadap pecandu narkotika dalam

RUU KUHP tahun 2008 dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 adalah di dalam

Undang-Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 berkaitan dengan kewenangan hakim

dalam menjatuhkan bentuk putusan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika, sedangkan

RUU KUHP tahun 2008 mengatur mengenai tindakan dapat dikenakan kepada pembuat

tindak pidana kecanduan narkotika.

RUU KUHP mendasarkan diri pada pemikiran Aliran Neo-Klasik yang menjaga

keseimbangan antara faktor obyektif (perbuatan/lahiriah) dan faktor subyektif

(orang/batiniah/sikap batin). Aliran ini berkembang pada abad ke-19 yang memusatkan

perhatiannya tidak hanya pada perbuatan atau tindak pidana yang terjadi, tetapi juga

terhadap aspek-aspek individual si pelaku tindak pidana (Daad dader Strafrecht).

137
Pemikiran mendasar lain yang mempengaruhi penyusunan RUU KUHP adalah

perkembangan ilmu pengetahuan tentang korban kejahatan (victimology) yang

berkembang setelah perang dunia II, yang:menaruh perhatian besar pada perlakuan yang

adil terhadap korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan.

Berkaitan dengan hal tersebut, berdasarkan tinjauan victimology,

mengklasifikasikan pecandu narkotika sebagai “self victimizing victims” yakni korban

dari kejahatan yang dilakukannya sendiri. oleh sebab itu, yang paling tepat dalam hakim

menjatuhkan vonis dalam perkara pecandu narkotika adalah dengan menjatuhkan vonis

rehabilitasi. Sebab pecandu narkotika pada hakikatnya merupakan korban dari suatu

kejahatan yang perlu mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan, dan oleh karena ia

merupakan pihak yang juga mengalami kerugian dari suatu kejahatan yakni kejahatan

penyalahgunaan narkotika.

138
BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Dari uraian pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Perumusan Kebijakan Rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika dalam

Undang – Undang Nomor 35 tahun 2009 telah diatur dengan baik, hal ini dapat

dilihat pada pengaturannya dimana pengaturan tentang Rehabilitasi terhadap

penyalahguna narkotika telah diatur secara khusus pada Bab IX undang –

Undang tersebut, dengan adanya pengkhususan bab yang mengatur tentang

rehabilitasi ini kita dapat melihat bahwa pemerintah telah menekankan

penjatuhan rehabilitasi kepada mereka yang menjadi pecandu dan korban

penyalahgunaan narkotika, pengaturan tentang rehabilitasi tersebut diatur

dalam pasal 54, pasal 103 dan ketentuan pidana terdapat pada pasal 127.

Disamping itu Mahkamah Agung juga mengeluarkan Surat Edaran yaitu

SEMA no.4 Tahun 2010 yang merupakan acuan daripada hakim dalam

menjatuhkan rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika dipersidangan.

2. Rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika adalah suatu tindakan yang

wajib, namun harus dibuktikan terlebih dahulu dalam persidangan bahwa

terdakwa merupakan penyalahguna narkotika yang didukung oleh bukti – bukti

serta saksi di persidangan sesuai dengan acuan yang terdapat dalam SEMA no.

4 tahun 2010, sedangkan untuk korban penyalahgunaan narkotika serta

139
pecandu narkotika mengacu pada pasal 103dan pasal 127 Undang – Undang

Nomor 35 Tahun 2009 rehabilitasi dapat dijatuhkan namun tidak wajib.

5.2 Saran

Adapun saran umum yang dapat dikemukakan dalam penulisan tesis ini adalah

sebagai berikut :

1. Hendaknya Pengaturan tentang Rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika

kedepannya harus lebih tegas salah satunya diharapkan dirumuskan Peraturan

Pemerintah yang mengatur tentang penyalahguna yang harus melaksanakan

rehabilitasi dan penyalahguna mana yang dapat dijatuhi pidana..

2. Aparat penegak hukum, dalam hal ini penyidik, jaksa maupun hakim harus

dapat dengan tegas merumuskan status seorang pelaku tindak pidana narkotika

yang dapat dijatuhkan rehabilitasi, apakah seorang penyalahguna,pecandu atau

korban penyalahgunaan narkotika, hal ini ditujukan agar nantinya dapt

dijatuhkan sanksi yang seadil –adilnya serta aspek perlindungan hukum

terhadap korban penyalahguna narkotika dapat terwujud.

140

Anda mungkin juga menyukai