ANTIHISTAMIN
DISUSUN OLEH :
18 10 003
PELITA MAS
PALU
2020
BAB I
PENDAHULUAN
Pada tahun 1940 untuk pertama kali diperkenalkan obat antihistamin. Sejak itu secara
luas digunakan dalam pengobatan simtomatik penyakit alergi. Pada umumnya antihistamin yang
beredar di Indonesia mempunyai spektrum luas artinya mempunyai efek lain seperti
antikolinergik, anti serotonin, antibradikinin dan alfa adrenoreseptor bloker. Golongan obat ini
disebut antihistamin (AH1) klasik. Penderita yang mendapat obat AH1 klasik akan menimbulkan
efek samping, mengantuk, kadang-kadang timbul rasa gelisah, gugup dan mengalami gangguan
koordinasi. Efek samping ini sering menghambat aktivitas sehari-hari, dan menimbulkan
masalah bila obat antihistamin ini digunakan dalam jangka panjang. Dekade ini muncul
antihistamin baru yang digolongkan ke dalam kelompok AH1 sedatif yang tidak bersifat sedasi,
yang memberikan harapan cerah.
Antihistamin adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek histamin
terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor –histamin (penghambatan saingan).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN
Antihistamin (antagonis histamin) adalah zat yang mampu mencegah penglepasan atau
kerja histamin. Istilah antihistamin dapat digunakan untuk menjelaskan antagonis histamin yang
mana pun, namun seringkali istilah ini digunakan untuk merujuk kepada antihistamin klasik yang
bekerja pada reseptor histamin H1.
Antihistamin ini biasanya digunakan untuk mengobati reaksi alergi, yang disebabkan
oleh tanggapan berlebihan tubuh terhadap alergen (penyebab alergi), seperti serbuk sari tanaman.
Reaksi alergi ini menunjukkan pelepasan histamin dalam jumlah signifikan di tubuh.
a. Terfenidin
b. Astemizol.
Merupakan derivat piperidin yang dihubungkan dengan cincin benzimidazol,
struktur kimia. Astemizol pada pemberian oral kadar puncak dalam darah akan dicapai
setelah 1 jam pemberian. Mula kerja lambat, lama kerja panjang. Waktu paruh 18-20
hari. Di metabolisme di dalam hati menjadi metabolit aktif dan tidak aktif dan di
distriibusi luas keberbagai jaringan tubuh. Metabolitnya diekskresi sangat lambat,
terdapat dalam faeses 54% sampai 73% dalam waktu 14 hari. Ginjal bukan alat ekskresi
utama dalam 14 hari hanya ditemukan sekitar 6% obat ini dalam urine. Terikat dengan
protein plasma sekitar 96%.
c. Mequitazin
d. Loratadin
Adalah suatu derivat azatadin. Penambahan atom C1 meninggikan potensi dan lama
kerja obat loratadin. Absorbsinya cepat. Kadar puncak dicapai setelah 1 jam pemberian.
Waktu paruh 8-11 jam, mula kerja sangat cepat dan lama kerja adalah panjang. Waktu
paruh descarboethoxy-loratadin 18-24 jam. Pada pemberian 40 mg satu kali sehari
selama 10 hari ternyata mendapatkan kadar puncak dan waktu yang diperlukan tidak
banyak berbeda setiap harinya hal ini menunjukkan bahwa tidak ada kumulasi, obat ini
di distribusi luas ke berbagai jaringan tubuh. Matabolitnya yaitu descarboetboxy-
loratadin (DCL) bersifat aktif secara farmakologi clan juga tidak ada kumulasi.
Loratadin dibiotransformasi dengan cepat di dalam hati dan di ekskresi 40% di dalam
urine dan 40% melalui empedu. Pada waktu ada gangguan fiungsi hati waktu paruh
memanjang. Dosis yang dianjurkan adalah 10 mg 1 X sehari.
Menghilangkan gejala yang behubungan dengan alergi, termasuk rinithis, urtikaria dan
angiodema, dan sebagai terapi adjuvant pada reaksi anafilaksis. Beberapa antihistamin digunakan
untuk mengobati mabuk perjalanan (dimenhidrinat dan meklizin), insomnia (difenhidramin),
reaksi serupa parkinson (difenhidramin), dan kondisi nonalergi lainnya.
Berdasarkan efek ini, antihistaminika digunakan secara sistemis (oral, injeksi) untuk
mengobati simtomatis bermacam-macam gangguan alergi yang disebabkan oleh pembebasan
histamine.
Antihistaminika adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghindarkan efek atas tubuh
dari histamin yang berlebihan, sebagaimana terdapat pada gangguan-gangguan alergi. Bila
dilihat dari rumus molekulnya, bahwa inti molekulnya adalah etilamin, yang juga terdapat dalam
molekul histamin. Gugusan etilamin ini seringkali berbentuk suatu rangkaian lurus, tetapi dapat
pula merupakan bagian dari suatu struktur siklik, misalnya antazolin.
Sementara itu antihistamin generasi kedua dan ketiga memiliki profil farmakologi yang
lebih baik. Keduanya lebih selektif pada reseptor perifer dan juga bisa menurunkan lipofilisitas,
sehingga efek samping pada SSP lebih minimal. Di samping itu, obat ini juga memiliki
kemampuan anti-alergi tambahan, yakni sebagai antagonis histamin. Antihistamin generasi baru
ini mempengaruhi pelepasan mediator dari sel mast dengan menghambat influks ion kalsium
melintasi sel mast/membaran basofil plasma, atau menghambat pelepasan ion kalsium
intraseluler dalam sel. Obat ini menghambat reaksi alergi dengan bekerja pada leukotriene dan
prostaglandin, atau dengan menghasilkan efek anti-platelet activating factor.
Selain berefek sebagai anti alergi, antihistamin H1 diduga juga memiliki efek anti
inflamasi. Hal ini terlihat dari studi in vitro desloratadine, suatu antihistamin H1 generasi ketiga.
Studi menunjukkan, desloratadine memiliki efek langsung pada mediator inflamatori, seperti
menghambat pelepasan intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) oleh sel epitel nasal,
sehingga memperlihatkan aktivitas anti-inflamatori dan imunomodulatori. Kemampuan
tambahan inilah yang mungkin menjelaskan kenapa desloratadine secara signifikan bisa
memperbaiki nasal congestion pada beberapa double-blind, placebo-controlled studies. Efek ini
tak ditemukan pada generasi sebelumnya, generasi pertama dan kedua. Sehingga perlu dilakukan
studi lebih lanjut untuk menguak misteri dari efek tambahan ini.
a. Antagonis reseptor H1
1. Difenhidramin
Nama dagang: adidryl, ekspectoran, coredryl, hufadryl, dll.
2. Dimenhidrinat
Pertama kali digunakan pada mabuk laut (“motion sickness”) dan muntah-muntah sewaktu
hamil.
3. Tripelenamin
Rumus bangun dari zat ini menyerupai mepiramin, tetapi tanpa gugusan metoksil (OCH3).
Khasiatnya sama dengan difenhidramin, hanya efek sampingannya lebih sedikit.
4. Antazolin
Khasiat antihistaminiknya tidak begitu kuat seperti yang lain, tetapi kebaikannya terletak
pada sifatnya yang tidak merangsang selaput lendir. Maka seringkali digunakan untuk
mengobati gejala-gejala alergi pada mata dan hidung (selesma) Antistine-Pirivine, Ciba
Geigy
Dosis : oral 2 – 4 kali sehari 50 – 100 mg
5. Feniramin
6. Klorfenamin
Merupakan derivateklor, Substitusi dari satu atom klor pada molekul feniramin
meningkatkan khasiatnya 20 kali lebih kuat, tetapi derajat toksisitasnya praktis tidak
berubah. Efek sampingan dari obat ini hanya sedikit dan tidak memiliki sifat menidurkan.
7. Deksklorfeniramin
Merupakan d- isomer dari klorfeniramin (terdiri dari suatu campuran rasemis) yang
terutama bertanggung jawab untuk kegiatan antihistaminiknya. Toksisitasnya dari campuran
d-isomer ini tidak melebihi daripada campuran rasemiknya.
8. Siklizin
Sifat antihistaminiknya kuat dan terutama digunakan untuk menghindarkan dan mengobati
perasaan mual karena mabuk jalan dan pusing-pusing (vertigo). Mulai bekerjanya lambat,
tetapi berlangsung lama (9 – 24 jam). Berhubung dengan peristiwa thalidomide, zat ini
dilarang penggunaannya di Indonesia. Kerja teratogennya hingga kini belum dibuktikan.
10. Sinarizin
Adalah suatu antihistaminika dengan daya kerja lama dan sedikit saja sifat menidurkannya.
Disamping ini juga memiliki sifat menghilangkan rasa pusing-pusing, maka sangat efektif
pada bermacam-macam jenis vertigo (dizzines, tujuh keliling); mekanisme kerjanya belum
diketahui.
Dosis : pada vertigo 1 – 3 kali sehari 25 – 50 mg, untuk memperbaiki sirkulasi: oral 3 kali
sehari 75 mg
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Antihistamin (antagonis histamin) adalah zat yang mampu mencegah penglepasan atau
kerja histamin. Istilah antihistamin dapat digunakan untuk menjelaskan antagonis histamin yang
mana pun, namun seringkali istilah ini digunakan untuk merujuk kepada antihistamin klasik yang
bekerja pada reseptor histamin H1.
Antihistamin ini biasanya digunakan untuk mengobati reaksi alergi, yang disebabkan
oleh tanggapan berlebihan tubuh terhadap alergen (penyebab alergi), seperti serbuk sari tanaman.
Reaksi alergi ini menunjukkan penglepasan histamin dalam jumlah signifikan di tubuh.
DAFTAR PUSTAKA
Richard E. Behrman, M.D.,Victor C. Vaughan III, M.D. 1994. Penyakit Alergi. Dalam: Nelson ,
editor: Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 12. Jakarta: EGC. hal. 839-845.
Robbins, Kumar 1994. Dasar Patologik Penyakit. Edisi 1. Jakarta: Binarupa Aksara. hal. 60-67.
Udin Sjamsudin, Hedi R. Dewoto. 2002. Histamin dan Antialergi. Dalam: Sulistia G.
Ganiswara , editor: Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. hal. 248-261.
Underwood. 1999. Imunologi dan Imunopatologi. Dalam: Sarjadi, editor: Patologi Umum dan
Sistemik. Edisi 2. Jakarta: EGC. hal. 200-203.