Sejarah Periwayatan Hadis dan Proses Kodifikasinya
Islam mengenal dua sumber primer dalam perundang-undangan. Pertama, Al-Qur‘an dan kedua al-Hadits. Terdapat perbedaan yang signifikan pada kedua sumber tersebut. Al-Qur‘an sejak awal diturunkan sudah ada perintah pembukuannya secara resmi, sehingga terpelihara dari kemungkinan pemalsuan. Berbeda dengan hadits, tak ada perlakuan khusus yang baku padanya, sehingga pemeliharaannya lebih merupakan spontanitas dan inisiatif para sahabat. Hadits pada awalnya hanyalah sebuah literatur yang mencakup semua ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad SAW. Persetujuan Nabi yang tidak diucapkan terhadap orang-orang pada zamannya, dan gambaran-gambaran tentang pribadi Nabi. Mula-mula hadits dihafalkan dan secara lisan disampaikan secara berkesinambungan dari generasi ke generasi.Setelah Nabi wafat pada tahun 10 H., islam merasakan kehilangan yang sangat besar. Nabi Muhammad SAW. Yang dianggap sebagai yang memiliki otaritas ajaran islam, dengan kematiannya umat merasakan otoritas hanya Al-Qur‘an satu-satunya sumber informasi yang tersedia untuk memecahkan berbagai persoalan yang muncul di tengah-tengah umat islam yang masih muda itu, wahyu-wahyu ilahi, meskipun sudah dicatat, belum disusun dengan baik, dan belum dapat diperoleh atau tersedia secara materil ketika Nabi Muahammad SAW wafat. Wahyu-wahyu dalam Al-Qur‘an yang sangat sedikit sekali mengandung petunjuk yang praktis untuk dijadikan prinsip pembimbing yang umum dalam berbagai aktivitas. Khalifah-khalifah awal membimbing kaum muslim dengan semangat Nabi, meskipun terkadang bersandar pada penilaian pribadi mereka. Namun, setelah beberapa lama, ketika muncul kesulitan-kesulitan yang tidak dapat lagi mereka pecahkan sendiri, mereka mulai menjadikan sunnah, seperti yang merupakan kebiasaan perilaku Nabi sebagai acuan dan contoh dalam memutuskan suatu masalah. Sunnah yang hanya terdapat dalam hafalan-hafalan sahabat tersebut dijadikan sebagai bagian dari referensi penting setelah Al-Qur‘an. Bentuk- bentuk kumpulan hafalan inilah yang kemudian disebut dengan hadis. Namun perlu difahami bahwa dalam perjalanannya hadis ternyata memilki sejarah yang panjang dan menarik untuk dibahas terutama dalam hal pembukuannya, bagaimana prosesnya hingga kita dapat mengenal kodifikasi-kodifikasi hadis seperti kitab Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan at-Tirmizi, Sunan An-Nasai, serta Sunan Ibnu Majah. Dalam sejarah periwayatan dan proses kodifikasinya hadis dibagi dalam beberapa periode sebagai berikut: 1. Periode Pertama: Perkembangan Hadits pada Masa Rasulullah SAW. 2. Periode Kedua: Perkembangan Hadits pada Masa Khulafa Al-Rasyidin (11-40 H) 3. Periode Ketiga: Perkembangan pada Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in 4. Periode Keempat: Perkembangan Hadits pada Abad II Hijriah Periode ini disebut sebagai Ashr Al-Kitabah wa Al-Tadwin (masa penulisan dan pembukuan). Maksudnya, penulisan dan pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan oleh pemerintah. Adapun kalau secara perseorangan, sebelum abad II H hadits sudah banyak ditulis yaitu baik pada masa sahabat kecil, tabiin, sahabat besar, bahkan pada masa Nabi Muhammad SAW masih hidup. Masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad II H, yakni pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz tahun 101 H. sehingga berdasarkan pemaparan di atas dapat ditarik beberapa poin penting terkait dengn sejarah periwayatan hadis dan proses kodifikasinya yaitu: Pertama, sebab-sebab dilarangnya penulisan hadis bukanlah karena disebabkan ketidaktahuan orang Islam dalam aktivitas tulis menulis pada waktu itu bahkan mereka telah mengenal tulis menulis sejak dari awal masuknya Islam bahkan sebelum Islam. Kedua, faktor yang paling dominan dilarangnya penulisan hadis adalah karena ditakutkan bercampurnya antara Al-Qur’an dan as-Sunnah. Di samping itu pula agar proyek penulisan Al- Qur’an tidak terganggu oleh penulisan al-hadis. Ketiga, tidak adanya kontradiksi antara hadis-hadis tentang pelarangan dan perbolehan penulisan hadis, sebab hadis-hadis tentang pelarangan muncul terlebih dahulu dan sekirannya sebab-sebab pelarangan sirna muncullah hadis tentang perbolehan penulisan hadir itu sendiri. Keempat, aktivitas penulisan hadis pada zaman Rasulullah telah ada dengan dibuktikan adanya catatan-catatan hadis pada sebagian sahabat yang dikenal dengan ‘as-Sahifah’, akan tetapi aktifitas ini hanya bersifat individual dan dalam skala kecil, sedangkan aktifitas penulisan dan pengumpulan hadis dalam skala besar dimulai dari masa khalifah Umar bin Abdul Aziz dengan diutusnya Ibn Sihab az-Zuhri memulai aktivitas ini. Kelima, pada awal dekade kedua hijriah pasca wafatnya imam Az-Zuhri, aktifitas ulama’ dalam pengumpulan hadis mulai menyebar dan menghasilkan beberapa macam kategori metodologi penulisan, mulai penulisan corak al-musannafat, al-masanid, dan al-Sahhah.