Anda di halaman 1dari 13

Eksistensi Jiwa Sebelum Badan1

Oleh: Dr. Abbas Nikzad

Salah satu tema penting dan menjadi perhatian para filosof dalam ilmu jiwa adalah bahasan
tentang ada atau tiadanya jiwa sebelum keberadaan badan.2 Plato dan para pengikutnya meyakini,
sebelum bersama dengan badan, jiwa telah ada di alam yang tinggi, yaitu alam ide dan nonmateri.
Akan tetapi, setelah badan tercipta, jiwa turun bersatu dengan badan.

Aristoteles, para pengikutnya dan juga mayoritas filosof Muslim meyakini bahwa
penciptaan jiwa bersamaan dengan penciptaan badan. Yakni, bersamaan dengan penyempurnaan
badan dari sisi penciptaan, Tuhan menciptakan jiwa nonmateri, lalu memberikan relasi antara
keduanya. Dalam keyakinan kelompok ini, jiwa diawal penciptaannya, adalah entitas nonmateri.
Kemudian, Tuhan memberikan relasi antara entitas nonmateri tersebut dengan badan materi.
Dengan kata lain, dalam hemat mereka, jiwa itu ”ruhaniyah al huduts wal baqa”.

Adapun keyakinan Mulla Sadra dan para pengikutnya, jiwa bukan entitas nonmateri di
awal penciptaannya. Akan tetapi, ia adalah entitas materi yang sampai pada level nonmateri usai
menempuh gerak substansi perfeksional dan perubahan substansial dalam materi. Yakni, dalam
hemat mereka, jiwa itu “jasmaniah al huduts wa ruhaniah al baqa”. Berkenaan dengan ini,
Muthahari menulis:

“Mulla Sadra, dari prinsip-prinsip baru nan agung yang dibangunnya, menyimpulkan bahwa selain
gerak lahiriah, aksidental, dan terinderai yang terjadi di permukaan alam, terdapat juga gerak
substansi, batiniah, dan tidak terinderai yang terjadi dalam substansi alam. Jiwa merupakan hasil
dari gerak tersebut. Asal pembentukan jiwa adalah materi; materi tersebut memiliki potensi untuk
menjadi entitas yang sejajar dengan entitas nonmateri. Pada dasarnya, tidak ada tembok pemisah
antara fisika dan metafisika. Bukanlah hal yang mustahil, apabila entitas materi dalam level
penyempurnaan, berubah menjadi entitas nonmateri.3

1
Diterjemahkan oleh Alfit Sair
2
. Mulla Sadra, Al-Asfar, jilid 8, hal. 330; Fakhrurrazi, Al-Mabahits Al-Masyriqiyah, jilid 2, hal. 389; Abulbarakat
Bagdadi, Almu’tabar, jilid 3, hal. 368.
3
. Murtada Muthahhari, Majmue-ye Atsar, jilid 13, hal. 34-35.
Mulla Sadra, berkenaan dengan perubahan yang dialami oleh jiwa, mengatakan:

“Jiwa manusia, dalam gerak dan perubahan yang dialaminya, melewati berbagai macam substansi,
yang sebagian diantaranya adalah substansi pra jiwa insani, dan sebagian lagi adalah substansi
pasca jiwa insani. Substansi-substansi yang dilewati oleh jiwa manusia sebelum sampai pada level
jiwa insani adalah substansi unsur, benda, nabati, dan hewani. Adapun substansi yang akan dilalui
jiwa manusia setelah mencapai level jiwa insani, yaitu substansi akal pasif (aql munfa’il), akal
aktual (aql bilfi’il), akal aktif (aql fa’al), dan substansi yang lebih tinggi dari itu.4

Masalah
Salah satu masalah yang dianggap menampilkan pertentangan antara akal dan agama
adalah bahasan penciptaan jiwa sebelum badan. Di satu sisi, semua hukama meyakini kehudutsan
jiwa bersamaan dengan kehudutsan badan. Mereka memberikan beragam argumentasi ihwal
kemustahilan penciptaan jiwa pra-badan. Akan tetapi, disisi yang lain, sebagian ayat dan riwayat
menerangkan bahwa jiwa manusia -khususnya jiwa Rasul SAW dan imam-imam suci- telah
diciptakan jauh sebelum penciptaan badan di alam dunia ini. Sehingga, apakah benar terdapat
pertentangan antara akal dan agama dalam masalah ini? Adapun diantara argumentasi yang mereka
suguhkan dalam menolak penciptaan jiwa pra-badan adalah sebagai berikut:

1. Apabila jiwa telah ada sebelum keberadaan badan, tentu tidak ada hijab yang merintangi
jiwa dari alam ghaib dan hakikat-hakikat malakuti. Dengan ini, menyatunya jiwa dengan
badan tidak memiliki manfaat apapun bagi jiwa; tidak ada satupun yang diperoleh jiwa
kecuali degradasi maqam dan terjerembab ke dalam materi.
Selain itu, turunnya jiwa pada badan tertentu tidak memiliki penjelasan rasional. Sebab,
jiwa tertentu tidak memiliki keistimewaan dan kecenderungan khusus pada badan tertentu.
Dan dikarenakan tidak ada perubahan yang terjadi dalam alam non-materi, maka kita tidak
bisa menjadikan perubahan sebagai penyebab turunnya jiwa tertentu pada badan tertentu.5
2. Hakikat dan identitas jiwa adalah hakikat yang berelasi dengan badan. Hakikat tersebut
menyebabkan jiwa butuh pada badan. Relasi jiwa dan badan bukan seperti relasi antara
pengendara dengan yang dikendarai, pemilik dengan yang dimiliki atau relasi bapak
dengan anak, dimana wujudnya tetap eksis kendatipun tanpa melihat relasi dan hubungan

4
. Mulla Sadra, Al-Asfar al-arba’ah, jilid 8, hal. 378.
5
. Silahkan rujuk; Qutubuddin Syirazi, Syarh Al-Hikmah Al-Isyroq, hal. 445.
khusus tersebut. Relasi jiwa dan badan adalah relasi forma dan materi; ketiadaan relasi
tersebut bermakna ketiadaan hakikat eksistensial sesuatu. Dengan ini, jelaslah bahwa
keberadaan jiwa tidak mendahului keberadaan badan. Akan tetapi, kehudutsan jiwa
bersamaan dengan kehudutsan badan.6
3. Apabila keberadaan jiwa mendahului keberadaan badan, akan meniscayakan jiwa sebagai
sesuatu yang tunggal berpisah dari/sekaligus bercampur dengan materi. Alasannya, jiwa
berpisah dari materi lantaran sebelum keberadaan badan, jiwa tidak memilki relasi dengan
materi; dan jiwa bercampur dengan materi sebab kelak jiwa akan menjalin relasi dengan
badan. Hal ini tentu mustahil. Mulla Sadra menisbatkan argumentasi ini kepada sebagian
fudhala.7
4. Implikasi niscaya dari pluralitas jiwa para-badan adalah afirmasi atas keberagaman dan
pluralitas person dalam spesies yang satu tanpa keberadaan materi dan perbedaan-
perbedaan aksidental (sebab jiwa manusia dari sisi ia sebagai spesies adalah tunggal).
Sementara kita ketahui, pluralitas person di alam non-materi murni adalah hal yang
irasional.8
5. Apabila jiwa qadim dan azali, maka jiwa “libur’ dari perannya sebagai pengontrol dan
pengatur badan untuk waktu yang tidak terbatas, dan ini adalah hal yang mustahil. Sebab,
identitas dan hakikat jiwa adalah berelasi dengan/dan mengontrol badan.9

Sebagaimana yang telah kami sampaikan sebelumnya, (berhadapan dengan pandangan


para filosof) terdapat ayat dan riwayat yang menjelaskan penciptaan jiwa sebelum badan, yang
sebagian diantaranya adalah sebagai berikut:

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka
dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini
Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi." (Kami lakukan yang
demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam)
adalah orang-orang yang lalai terhadap ini (keesaan Tuhan)". Atau agar kamu tidak mengatakan,
“Sesungguhnya nenek moyang kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami

6
. Mulla Sadra, Al-Asfar al-arba’ah, jilid 8, hal. 373-375.
7
. Ibid, hal. 377.
8
. Mulla Sadra, Al-Asfar al-arba’ah, jilid 8, hal. 373.
9
. Ibid.
adalah keturunan yang datang setelah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami
karena perbuatan orang-orang (dahulu) yang sesat?”10

Ayat di atas menjelaskan bahwa setiap manusia, pada tahapan sebelum tahapan kehadiran
di dunia ini, telah bersaksi akan iman serta mengakui eksistensi dan ketunggalan Tuhan. Dan di
sana, setiap manusia telah menyatakan kesaksiannya dan kesediaannya untuk merealisasikan janji
tauhid yang mereka ikrarkan.

Menurut sebagian mufassir besar, kisah Adam dan Hawa yang masuk ke dalam Surga, lalu
keluar dan turun ke bumi adalah cerita tentang keberadaan manusia dalam tahapan mitsali dan
barsakhi yang lebih tinggi dari tahapan materi dan duniawi. Dengan kata lain, sebelum Adam dan
Hawa hadir di alam materi ini, mereka berdua berada di alam yang lebih tinggi, kemudian mereka
berdua turun ke alam ini.11

Dalam sebuah riwayat dikatakan, Ibnu Quwwah bertanya kepada Amirul Mukminin Ali
AS, apakah Tuhan, sebelum berbicara dengan Nabi Musa AS, telah berbicara dengan manusia
lain? Amirul Mukminin menjawab: Tuhan telah berbicara dengan seluruh makhluk, yang baik dan
juga yang buruk. Jawaban tersebut membuat Ibnu Quwwah bingung, kemudian bertanya lagi,
bagaimana bisa ya Amirul Mukminin? Beliau berkata: Apakah engkau tidak membaca kitab Tuhan
yang berfirman kepada nabi-Nya “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-
anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), …”.

Oleh itu, niscaya, Tuhan telah memperdengarkan kalam-Nya kepada semua ciptaan-Nya,
dan mereka pun telah memberikan jawaban. Tuhan berkata kepada manusia, “Sesungguhnya Aku
adalah Tuhan kalian yang satu, yang tidak ada Tuhan selain Aku, dan Aku adalah Rahman dan
Rahim”. Setiap manusia telah menyatakan ketaatan dan penghambaan mereka di hadapan Tuhan.
Dia mewajibkan manusia untuk taat kepada nabi, rasul, dan para washi-Nya, dan mereka pun
menyatakan kesediaannya di dalam mitsaq. Pada saat itu, Malaikat berkata: “Wahai anak cucu
Adam, kami menjadi saksi atas kalian. Jangan sampai, di hari kiamat kelak, kalian berkata, kami
lalai atas hal ini”.12

10
. Q.S: Al-A’raf ayat 172-173.
11
. Allamah Thabathabai, Tafsir Al-Mizan, jilid 1, hal. 312.
12
. Tafsir ‘Ayaasyi wa Khashaish Sayyid Radi, dikutip oleh Allamah Thabathabai dalam Tafsir Al-Mizan, jilid 8,
Allamah Thabathabai, usai menukil riwayat tersebut, berkata:

“Riwayat ini dengan jelas menerangkan bahwa dialog Tuhan dan manusia adalah dialog hakiki,
bukan sekedar menyampaikan keadaan dan makna. Pun, mitsaq dan perjanjian yang dimaksud
bukan sekedar perjanjian akan rububiyyat Tuhan, tetapi juga kepada kenabian dan
keturunannya”.13

Dalam riwayat yang lain dijelaskan, Imam Shadiq ditanya berkenaan dengan ayat mitsaq,
apakah mitsaq tersebut dengan penyaksian? Imam menjawab, “Benar, dan pengetahuan tersebut
tetap terjaga. Akan tetapi, manusia melupakan peristiwa tersebut. Kelak, mereka akan kembali
mengingatnya. Jika tidak demikian, tidak ada satupun yang mengetahui siapa Khaliq (pencipta)
dan Raziq (pemberi rezki) mereka. Di alam dzar, sebagian menyatakan kesaksiannya dengan lisan,
akan tetapi tidak mengimaninya dengan hati. Tuhan berfirman, “Mereka tidak mengimani apa
yang mereka dustakan sebelumnya”.14

Ada banyak lagi riwayat sekaitan dengan perjanjian manusia di alam dzar sebelum
keberadaan manusia di alam dunia ini. Allamah Thabathabai menyuguhkan riwayat-riwayat
tersebut dalam tafsir Al-Mizan jilid delapan, di bawah ayat yang dimaksud. Walhasil, semua
riwayat tersebut menjelaskan hal yang sama yaitu, manusia, sebelum tahapan alam dunia, telah
ada di tahapan yang lain. Di tahapan yang lain tersebut, Tuhan berdialog dengan manusia,
mengambil sumpah dan manusia pun menyatakan sumpah mereka. Lantaran badan manusia belum
tercipta ditingkatan tersebut, maka hal ini bermakna kemendahuluan penciptaan jiwa atas badan.

Dalam hadis yang lain disebutkan, “Sebelumnya, jiwa memiliki kelompok-kelompok.


Setiap kelompok yang saling kenal-mengenal di sana, akan saling berkumpul dan menjalin cinta
di alam ini. Dan setiap kelompok yang tidak saling mengenal di sana, akan saling berselisih di
alam ini.15

Dalam hadis yang lain dikatakan, Rasul SAW bersabda, “Aku telah menjadi nabi,
sedangkan Adam masih berada antara ruh dan jasadku”.16 Di hadis yang lain disebutkan, “Tuhan

hal. 422.
13
. Allamah Thabathabai, Tafsir Al-Mizan, jilid 8, hal. 422.
14
. Qumi, Tafsir Qumi, jilid 1, hal. 248.
15
. Mulla Sadra, Al-Asfar al-arba’ah, jilid 8, hal. 332.
16
. Ibid, hal 331.
telah menciptakan jiwa dua ribu tahun sebelum penciptaan badan”.17 Isa Al-Masih bersabda,
“Sesiapa yang tidak lahir dua kali, tidak akan menemukan jalan menuju malakut langit”.18 Atau
disebutkan, “Tidak akan naik ke atas langit, kecuali dia yang turun dari langit”.19

Solusi
Sebagaimana yang terlihat, di satu sisi, dalil aqli dan falsafi menegaskan bahwa keberadaan
jiwa bersamaan dengan keberadaan badan. Sedang, di sisi yang lain, dalil naqli, ayat dan riwayat
menerangkan kemendahuluan penciptaan jiwa dari badan.

Dalam upaya mendamaikan akal dan naql ihwal masalah ini, Mulla Sadra, yang merupakan
pencetus teori “jasmaniyyatul huduts wa ruhaniyyatul baqa” jiwa, menyatakan; maksud dari jiwa
bukan jiwa insani dengan segala personalitas duniawinya. Lantaran jika demikian, akan
berimplikasi pada hal-hal mustahil yang telah disebutkan, dan juga liburnya daya-daya jiwa dari
aktivitasnya. Sebab, jiwa dari sisi ia sebagai jiwa, tidak memiliki identitas lain selain identitas
berelasi dengan badan dan mengaturnya, serta memiliki daya yang sebagiannya adalah nabati dan
sebagian yang lain adalah hewani. Adapun yang dimaksud yaitu, jiwa memiliki wujud yang lain
disebabkan sumber keberadaannya berada di alam ilmu Ilahi, yang disebut dengan bentuk-bentuk
non-materi atau ide-ide platonik. Jiwa yang sempurna memiliki beragam dimensi eksistensial,
salah satu dimensinya adalah dimensi pra-alam dunia, dimensi yang lain berada dalam alam dunia,
dan dimensi yang ketiga adalah pasca alam materi. Tentu, sebagaimana yang dipahami oleh
mereka yang rasikh dalam Hikmah Al-Muta’aliyah, hal ini bersandar pada afirmasi atas
keberadaan kualitas dalam substansi, gerak menyempurna dalam substansi materi, serta adanya
awal dan akhir (mabda’ wa ghayat). Sebab, akhir dari segala sesuatu adalah awal dari segala
sesuatu tersebut.20

Dalam hemat Mulla Sadra, semua entitas yang ada di alam ini, seperti manusia, falak,
tanah, air dan selainnya, memiliki level dan dimensi-dimensi eksistensial, semisal level dan
dimensi duniawi, nafsi, aqli hingga level dan dimensi Ilahi. Ketika kita berpikir atau berimajinasi
tentang bumi dan langit, pada hakikatnya, dalam akal kita terdapat langit aqli, dan dalam imajinasi
kita terdapat langit khiyali. Setiap langit tersebut benar-benar adalah langit hakiki, bukan majasi.

17
. Ibid, hal. 306.
18
. Ibid, hal 307.
19
. Ibid.
20
. Mulla Sadra, Al-Asfar alarba’ah, jilid 8, hal. 332.
Pun juga dengan langit eksternal benar-benar adalah langit. Bahkan, langit aqli dan langit khiyali
lebih layak disebut langit. Alasannya, langit eksternal adalah langit yang bercampur dengan hal-
hal aksidental di luar substansi langit. Dengan adanya gerak dan masa, langit eksternal senantiasa
mengalami perubahan dan bersama dengan ketiadaan dan kegelapan. Pun juga dengan setiap
entitas di alam ini.

Setiap entitas di alam ini memiliki wujud yang lebih tinggi dan lebih sempurna di alam
akal. Dengan ini, tidaklah masalah jika dikatakan, jiwa manusia yang merupakan bentuk-bentuk-
spesies, memilki dimensi lain di alam aqli dan alam mitsali. Mereka yang beranggapan bahwa
wujud yang satu merupakan wujud yang beragam dari sisi dimensi dan level yang berbeda akan
berimplikasi pada perubahan esensi dan hilangnya hakikat sesuatu, maka bagi mereka, ilmu
terhadap hakikat sesuatu juga merupakan hal yang mustahil. Alasannya, ilmu terhadap sesuatu
yang ghaib yaitu hadirnya bentuk sesuatu yang berkoresponden dengan sesuatu tersebut dalam
mental subjek yang mengetahui. Bentuk sesuatu tersebut terkadang aqli, khiyali (imajinasi), dan
terkadang pula inderawi, bergantung pada derajat daya subjek yang mengetahui.21

Tentu Mulla Sadra menyadari bahwa keberadaan jiwa-jiwa di alam akal tidak seperti
dengan keberadaannya di alam ini yang memiliki keberagaman dengan urutan waktu dan posisi
yang khusus antara satu dengan yang lainnya. Hal sebenarnya yaitu, jiwa yang beragam dan tidak
terbatas di alam ini memiliki bentuk-bentuk aqli di alam akal dengan puncak kekuatan dan
kesempurnaan dalam memberikan efek, menciptakan dan bertindak. Dan kita mengetahui bahwa
tidak terbatas dalam kesempurnaan dan kekuatan, berbeda dengan tidak terbatas dalam bilangan
dan hitungan.22 Alam akal yang darinya bersumber jiwa-jiwa, tidak terbatas dari sisi daya dan
dimensi eksistensial. Setiap jiwa yang terlahir darinya tidak menyebabkan kesempurnaan
wujudnya berkurang. Akan tetapi, tanpa sedikit pun pengurangan dan perubahan, wujudnya tetap
sama dengan wujud yang sebelumnya. Sebab, alam akal adalah mubdi’ (pencipta). Keberadaan
jiwa-jiwa yang tidak terbatas di level alam akal bukan dalam bentuk pluralitas bilangan, serta
bukan dalam urutan dzati, zamani, dan wadh’i (posisi dan letak).23

Nampaknya, syair Maulana Rumi juga mengisyaratkan hal ini.

21
Mulla Sadra, asfar, jilid 8, hal. 332.
22
Ibid, hal. 371.
23
Mulla Sadra, asfar, jilid 8, hal. 367.
Dulunya kita munbasit dan satu substansi

Dahulu kita tanpa kaki dan kepala di sana

Dahulu kita satu substansi laksana matahari

Dahulu kita tanpa kekasaran, kita lembut laksana air

Ketika bentuk datang,

Cahaya tersebut menjadi angka

Layaknya bayangan-bayangan tembok

Robohkanlah tembok-tembok tersebut

Hingga hilang beda yang memisahkan ini.24

Pun juga dengan bait-bait sajak Mir Fandaraski di bawah ini:

Begitu baik dan indah roda alam ini

Di bagian bawah terdapat bentuk yang ada di atas

Jika engkau naik ke atas dengan tangga makrifat

Kan kau temukan asli dirimu yang tunggal

Dalam bentuk akal, tanpa ujung dan abadi

Dengan segalanya dan tanpa segalanya

Ia adalah himpunan yang tunggal

Ucapan ini tidak akan dipahamai akal lahiriah

Kecuali Abu Nasr Farabi dan Abu Ali Sina.25

24
. Jalaluddin Rumi, Matsnawi Ma’nawi, tashih oleh Nikelson, bait 363-366.
25
. Dikutip oleh Murtadha Muthahhari dalam Majmu’e-ye Atsar, jilid 5, hal. 145.
Mulla Sadra meyakini, penisbatan ucapan yang mengafirmasi keqidaman dan keazalian
jiwa dengan semua personalitas duniawinya kepada para filosof awal semisal Plato dan lain-lain,
adalah sebuah kebohongan. Bagaimana mungkin penisbatan ini benar, sementara Para Filosof awal
tersebut meyakini kehudutsan, perubahan, dan akan lenyapnya benda-benda alam? Dan apabila
yang mereka maksudkan adalah keqidaman dan keazalian level aqli jiwa dibandingkan dengan
level kebergantunganya pada materi, maka hal ini bukanlah sebuah masalah. Alasannya, hal
tersebut tidak bermakna kemendahuluan jiwa dengan segala personalitas materinya dari badan,
dan juga tidak bermakna reinkarnasi dan berputarnya jiwa pada badan yang beragam. Ayat dan
riwayat yang menerangkan kemendahuluan jiwa atas badan mesti ditafsirkan seperti ini.26

Pandangan Allamah Thabathabai


Dalam Al-Mizan, Allamah Thabathabai juga memberikan pandangan sekaitan dengan tafsir
ayat al-mitsaq ihwal keberadaan manusia di level dzar. Pandangan Allamah Thabathabai tersebut
pada akhirnya kembali pada pandangan Mulla Sadra. Beliau meyakini, manusia memiliki wujud
sebelum dan sesudah keberadaaannya di dunia ini. Dalam level sebelum dunia ini, di alam yang
lebih tinggi, manusia telah menyaksikan Tuhan. Dialog dan pengambilan sumpah pun terjadi.

Allamah Thabathabai melandaskan pandangannya ini kepada Surat Al-Hijr ayat 21.
Menurut beliau, ayat tersebut menerangkan bahwa segala sesuatu memiliki wujud yang lebih luas
dan lebih sempurna di khazain (perbendaharaan) Tuhan. Akan tetapi, ketika maujud-maujud
tersebut turun ke alam dunia, mereka mengalami keterbatasan dan ukuran. Tak terkecuali dengan
wujud manusia yang merupakan salah satu dari entitas, juga memiliki kemendahuluan wujud yang
lebih sempurna di sisi dan khazainullah. Wujud tersebut mengalami keterbatasan tatkala turun ke
alam dunia.

Berdasarkan ayat di atas, alam manusia -dengan segala keluasan yang dimilikinya-
memiliki wujud yang tunggal (jam’i) di sisi Tuhan. Dalam wujud yang tunggal tersebut, tidak ada
satupun manusia yang ghaib dari manusia lainnya, manusia tidak ghaib dari Tuhan dan Tuhan pun
tidak ghaib dari manusia. Adalah hal yang irasional jika perbuatan ghaib dari pelakunya, ciptaan
ghaib dari penciptanya. Inilah yang dikenal dengan istilah “malakut” yang difirmankan oleh
Tuhan berikut:

26
. Mulla Sadra, Al-Asfar, jilid 8, hal. 374.
“Dan Kami telah tunjukkan kepada Ibrahim malakut langit dan bumi, agar ia termasuk orang-
orang yang yakin”.27

Adapun sisi duniawi manusia yang kita saksikan ini, yang setiap kondisi dan tindakan
manusia terbagi ke dalam satuan waktu, dan mengikuti putaran malam dan siang, dimana manusia
terhijabi dari Tuhan akibat angan-angan rendah duniawi serta kenikmatan-kenikmatan inderawi
yang mereka harapkan, merupakan turunan dari dimensi lain kehidupan; kehidupan yang lebih
awal dari kehidupan ini, dan kehidupan ini didahului oleh kehidupan tersebut. Atas dasar ini,
jelaslah bahwa level duniawi manusia didahului oleh level malakuti manusia yang identik dengan
level duniawinya, kecuali bahwa manusia tidak terhijabi dari Tuhan mereka di level malakuti. Di
level malakuti manusia, manusia telah menyaksikan wahdaniyyat Tuhan dalam rububiyyah-Nya.
Sebuah penyaksian langsung oleh jiwa, bukan melalui jalan argumentasi. Hal ini disebabkan, tidak
ada satu sisi pun dimana Tuhan terpisah dari ciptaan, dan tidak ada satu detik pun dimana Tuhan
ghaib dari mereka. Dengan ini, manusia mengakui eksistensi-Nya dan segala hakikat
kesempurnan-Nya.28

Kritikan dan Evaluasi


Rasionalisasi Mulla Sadra dan Allamah Thabathabai sebagai upaya mendamaikan akal
dengan agama ihwal kemendahuluan penciptaan jiwa dari badan, tidak lepas dari celah. Alasannya,
kesimpulan beserta landasan argumentasi yang bisa ditarik dari penjelasan mereka yaitu, setiap
entitas alam ini, termasuk jiwa manusia, sebelum terciptanya dimensi materi mereka, memiliki
wujud yang lebih tinggi di alam akal dalam bentuk tunggal dan sederhana (jam’i wa basith),
dimana mereka semua menyaksikan segala hakikat di alam tersebut.

Kesimpulan di atas cenderung tidak sesuai dengan ayat dan riwayat yang menerangkan
penciptaan manusia sebelum di dunia ini. Ayat dan riwayat tersebut menerangkan secara lahiriah,
bahkan dengan jelas, bahwa setiap person manusia (tanpa terkecuali) memiliki wujud di alam lain
sebelum keberadaan mereka di alam duniawi ini. Misalnya, ayat dzar29 dan riwayat yang senada
dengan ini, menjelaskan bahwa setiap person manusia telah ada dan bersumpah di alam lain. Ism

27
. Surat Al-An’am ayat 75.
28
. Allamah Thabathabai, Tafsir Al-Mizan, jilid 8, hal. 416-418.
29
. Surat Al-A’raf ayat 172.
dan dhamir yang terdapat dalam ayat tersebut menggunakan bentuk jamak. Tuhan berbicara
kepada satu per satu dari manusia, dan semua mereka menjawab labbaik secara sendiri-sendiri.

Di antara argumentasi terbaik yang menjelaskan keragaman dan pluralitas manusia di alam
dzar adalah riwayat yang menjelaskan bahwa di alam sana, terdapat manusia yang menyatakan
dengan lisan namun mengingkarinya dengan hati, terdapat juga yang meyakini dengan hati dan
menyatakannya dengan lisan.

Riwayat “al-arwah junudun mujannadah” juga menerangkan pluralitas jiwa di alam dzar.
Atau riwayat lain yang menerangkan perintah Tuhan kepada tiap manusia untuk masuk ke dalam
api; kepada ashabulyamin diperintahkan untuk masuk ke dalam api, mereka pun masuk, dan
seketika api menjadi dingin. Dalam riwayat lain, dijelaskan bahwa sebagian manusia diciptakan
dari tinat Surga, dan sebagian lagi dari tinat api. Mereka yang tercipta dari tinat Surga akan tetap
berada dalam kebenaran dan mengakui wilayah Ahlulbait. Sedang, mereka yang tercipta dari tinat
api akan mengingkari wilayah Ahlulbait

Riwayat di atas dan riwayat-riwayat lain, semuanya menjelaskan hal yang sama yaitu
pluralitas manusia di alam sebelum alam ini. Yakni, di alam dzar, terdapat pluralitas dan
keragaman. Hal ini tentu bertentangan dengan rasionalisasi Mulla Sadra yang menerangkan
ketunggalan dan kebasithan jiwa-jiwa, bahkan segala sesuatu, di alam akal. Terlepas dari semua
ini, di alam akal (dalam filsafat) yang merupakan alam non-materi murni, semua hakikat
tersaksikan, serta tidak ada tempat bagi pengingkaran, dusta dan pembangkangan di dalamnya.
Hal ini berbeda dengan keterangan ayat dan riwayat sebelumnya yang mengafirmasi semua
perkara-perkara tersebut.

Mungkin juga, maksud dari Plato tentang alam ide-ide (mutsul) berbeda dengan
pemaknaan Mulla Sadra tentang alam akal. Sebab, pertama, hal yang dikatakan Plato adalah
keberadaan jiwa manusia di alam mutsul secara qadim, kemudian jiwa bergabung dengan badan
setelah penciptaan badan. Setelah bergabung dengan badan, jiwa melupakan semua apa yang
diketahui sebelumnya. Dengan ini, pada hakikatnya, yang dilakukan jiwa di alam ini hanya
tadzakkur (mengingat kembali) semata, bukan ta’allum (mempelajari). Hal ini tidak relevan
dengan pandangan Mulla Sadra yang meyakini keberadaan manusia di alam akal dalam bentuk
basith dan tunggal. Kedua, Plato menyebut mutsul dalam bentuk jamak “mitsaal”. Hal ini
menjelaskan pluralitas dan keragaman di alam tersebut, sesuatu yang tidak sesuai dengan
pandangan Mulla Sadra.

Mungkin ada yang mengatakan, masalah pluralitas dan keragaman alam akal dapat
diselesaikan dengan menerima akal-akal horizontal (‘uqul ‘aradhiyah). Sebab dengan ini, kita
dapat mengafirmasi pluralitas akal yang saling sejajar di alam akal. Akan tetapi, faktanya,
keberadaan ‘uqul ‘aradhiyyah juga tidak mampu menyelesaikan masalah di atas. Sebab, pertama,
pluralitas akal aradhiyyah bermakna pluralitas sebanyak pluralitas spesies di alam ini, bukan
sebanyak pluralitas person-person. Mereka yang meyakini akal ardhiyah berpandangan, setiap
spesies yang ada di alam ini memiliki tuhan spesies (rabbun nau’) di alam sana. Dan yang
dimaksud dengan ‘uqul ‘aradhiyyah adalah tuhan-tuhan spesies (arbabun nau’) itu sendiri yang
terdapat di alam akal. Dengan ini, keberadaan ‘uqul ‘aradhiyyah (akal-akal horizontal) tetap saja
tidak bisa menyelesaikan masalah pluralitas jiwa sebanyak pluralitas person yang ada di alam ini.
Kedua, di alam akal tidak terjadi hal-hal seperti dosa, kufur, ingkar, dan dusta. Sementara,
kandungan ayat dan riwayat menjelaskan sebagian manusia melakukan hal-hal di atas di alam
mitsaq.

Sepertinya, rasionalisasi terbaik sekaitan dengan alam mitsaq dan keberadaan jiwa pra-
badan adalah alam mitsal, bukan alam akal. Di alam mitsal, kendatipun tidak ada materi di
dalamnya, terdapat sifat-sifat materi. Di alam mitsal, terdapat pluralitas person, keberagaman
wajah dan bentuk, dan terdapat pula ketaatan, iman, kekafiran, dan kemaksiatan.

Menariknya, Allamah Thabathabai meyakini bahwa kisah Adam dan Hawa, serta
keluarnya mereka dari Surga, terjadi di alam mitsal dan malakut.30 Penyaksian Rasul SAW pada
peristiwa mikraj, semisal menyaksikan kondisi mukminin, shalihin, kafirin, dan fasiqin tampaknya
juga terjadi di alam mitsal dan malakut.31

Apa yang disajikan hingga saat ini adalah ajaran-ajaran agama yang secara lahiriah
bertentangan dengan kaidah dan prinsip-prinsip filsafat. Dalam banyak tema, kecemerlangan
Mulla Sadra terlihat dari kemampuannya mengharmoniskan akal dan agama dengan berlandaskan
pada prinsip dan capaian-capaian baru dalam filsafatnya. Selain dari tema-tema tersebut, juga
terdapat ajaran-ajaran agama yang relevan dengan prinsip-prinsip filsafat, namun kedalaman

30
. Allamah Thabathabai, Tafsir Al-Mizan, jilid 8, hal. 112.
31
. Ibid, jilid 13, hal 40-41.
maknanya tidak terjangkau oleh pahaman sebagian filosof dan pemikir. Dengan kata lain, terdapat
istilah-istilah dalam teks agama yang memang hanya dikhususkan dalam agama, semisal qadha
dan qadr, lauh mahfudz, qalam, kitabul mubin, malaikat, wahyu, mukjizat, barzakh, azab kubur,
kebangkitan, catatan dan hitungan, timbangan, shirath, kitab amal, malam qadr, nuzulnya
malaikat, dan istilah-istilah lainnya.

Mulla Sadra, dalam berbagai karyanya, memberikan upaya yang tak terbilang dalam
merasionalkan ajaran-ajaran agama. Semua itu menjelaskan kejernihan nalar dan kelembutan
jiwanya. Kendati kajian tentang akal dan agama dalam Hikmah Muta'aliyah juga perlu disinggung
banyak hal, tapi guna menghindari pembahasan yang cukup panjang, maka kita tidak
menyebutkannya di sini.

Anda mungkin juga menyukai