Anda di halaman 1dari 59

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA

DI RUANG FLAMBOYAN RS JIWA MENUR

SURABAYA

Oleh :

Septa Rezita Kusumaningtyas

1930080

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA

TAHUN AJARAN 2019


LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN JIWA

PADA PASIEN “PERILAKU KEKERASAN”

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


Perilaku Kekerasan
II. PROSES TERJADINYA MASALAH
1. Definisi
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan hilangnya kendali perilaku
seseorang yang diarahkan pada diri sendiri, orang lain, atau lingkungan.
Perilaku kekerasan pada diri sendiri dapat berbentuk melukai diri untuk bunuh
diri atau membiarkan diri dalam bentuk penelantaran diri. Perilaku kekerasan
pada orang adalah tindakan agresif yang ditujukan untuk melukai atau
membunuh orang lain. perilaku kekerasan lingkungan dapat berua perilaku
merusak lingkungan, melempar kaca, genting, dan semua yang ada di
lingkungan (Yusuf, Fitriyasari & Nihayati, 2015).
Perilaku kekerasan merupakan salah satu respons marah yang
diekspresikan dengan melakukan ancaman, mencederai orang lain dan atau
merusak lingkungan. Respons ini dapat menimbulkan kerugian baik pada diri
sendiri, orang lain maupun lingkungan (Azizah, dkk., 2016).
2. Fungsi Marah (Azizah, dkk., 2016)
a. Energizing function/anger energizer behaviour
Menambah atau meningkatkan tenaga seseorang, misalnya orang yang
mengamuk pada umumnya tenaganya sangat kuat
b. Expressive function
Ekspresi kemarahan yang terbuka menandakan hubungan yang sehat.
Misalnya: ekspresi perasaan kecewa/tidak puas akan diperlihatkan dengan
kemarahan
c. Self promotion function
Kemarahan dapat dipakai untuk memproyeksikan konsep diri yang
positif/untuk meningkatkan harga diri. Misalnya: orang akan marah
karena merasa dihina.
d. Defensive function
Kemarahan merupakan pertahanan ego dalam menanggapi kecemasan
yang meninggi, karena konflik eksternal, misalnya: seseorang
melampiaskan kemarahannya, kemudian setelah terlampiaskan orang
tersebut akan merasa lega.
e. Potentiating function
Kemarahan dapat meningkatkan kemampuan, misalnya: orang yang
bersaing tidak sehat.
f. Discriminative function
Membedakan seseorang dalam berbagai keadaan alam perasaan,
misalnya: gembira, sedih, jengkel dan sebagainya.
3. Rentang Respon Marah

Respon Adaptif Respon Maladaptif


Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan
Klien mampu Klien gagal Klien merasa Klien Perasaan
mengungkapka mencapai tidak dapat mengekspres marah dan
n marah tanpa tujuan mengungkapka ikan secara bermusuha
menyalahkan kepuasan / n perasaannya, fisik, tapi n yang kuat
orang lain dan saat marah tidak berdaya masih dan hilang
memberikan dan tidak dan menyerah. terkontrol, control,
kelegaan. dapat mendorong disertai
menemukan orang lain amuk,
alternatifnya dengan merusak
. ancaman. lingkungan
.

Gambar 1.1 Rentang Respon Marah


Sumber : Damaiyanti & Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa.
Bandung: PT Refikasi Aditama.

4. Etiologi
Menurut Damaiyanti & Iskandar (2012), faktor yang dapat mempengaruhi
terjadinya perilaku kekerasan antara lain:
a. Faktor Predisposisi
1) Teori Biologis
a) Neurologic factor
Beragam komponen dari sistem syaraf mempunyai peran
mempengaruhi timbulnya perilaku agresif.
b) Genetic factor
Adanya faktor gen yang dirutunkan melalui orang tua menjadi
potensi perilaku agresif.
c) CycardiN Rhytm
Pada jam-jam sibuk, sekitar jam 9 dan 13, orang lebih mudah
terstimulasi untuk bersikap agresif.
d) Biochemistry faktor
Peningkatan hormone androgen dan norepineprin serta penurunan
serotonin dan GABA pada cairan cerebrospinal vertebra dapat
menjadi faktor predisposisi terjadinya perilaku agresif.
e) Brain area disorder
Gangguan pada sistem otak dapat berpengaruh terhadap perilaku
agresif dan tidak kekerasan.
2) Teori Psikologik
a) Teori psikoanalisa
Agresivitas dan kekerasan dapat dipengaruhi oleh riwayat tumbuh
kembang seseorang (life span history). Perilaku agresif merupakan
pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan
rendahnya harga diri.
b) Imitation, modeling, and information precossing theory
Perilaku kekerasan bisa berkembang dalam lingkungan yang
mentolelir kekerasan.
c) Learning theory
Perilaku kekerasan merupakan hasil belajar individu terhadap
lingkungan terdekatnya.
b. Faktor Presipitasi
1) Ekspresi diri, ingin menunjukkan  eksistensi diri atau simbol solidaritas
seperti dalam sebuah konser, dan sebagainya.
2) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
3) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melalukan
kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
4) Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi.
5) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan atau perubahan tahap perkembangan
keluarga.
5. Proses Terjadinya Amuk
Amuk merupakan respons kemarahan yang paling maladaptif yang
ditandai dengan perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai hilangnya
kontrol, yang individu dapat merusak diri sendiri, orang lain, atau lingkungan.
Amuk adalah respons marah terhadap adanya stress, rasa cemas, harga diri
rendah, rasa bersalah, putus asa dan ketidakberdayaan (Yusuf, Fitriyasari &
Nihayati, 2015).
Resopn marah dapat diekspresikan secara internal atau eksternal. Secara
internal dapat berupa perilaku tidak asertif dan merusak diri, sedangkan secara
eksternal dapat berupa perilaku destruktir agresif. Respons marah dapat
diungkapkan melalui tiga cara yaitu (1) menungkapkan secara verbal, (2)
menekan, dan (3) menantang (Yusuf, Fitriyasari & Nihayati, 2015).
Mengekspresikan rasan marah dengan perilaku konstruktif dengan
menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti
orang lain akan memberikan kelegaan pada individu. Apabila perasaan marah
diekspresikan dengan perilaku agresif dan menentang, biasanya dilakukan
karena ia merasa kuat. Cara ini menimbulkan masalah yang berkepanjangan
dan dapat menimbulkan tingkah laku yang destruktif dan amuk (Yusuf,
Fitriyasari & Nihayati, 2015).
6. Tanda dan Gejala
Menurut Damaiyanti & Iskandar (2012), tanda dan gejala perilaku kekerasan,
antara lain:
a. Muka merah dan tegang;
b. Mata melotot / pandangan tajam;
c. Tangan mengepal;
d. Rahang mengatup;
e. Wajah memerah dan tegang;
f. Postur tubuh kaku;
g. Pandangan tajam;
h. Mengatupkan rahang dengan kuat;
i. Mengepalkan tangan;
j. Jalan mondar-mandir.

III. A. POHON MASALAH


Resiko mencederai diri, orang lain, dan lingkungan (effect)

Perilaku kekerasan (core problem) → Resiko Bunuh Diri

Harga diri rendah (causa) → Isolasi Sosial → Defisit Perawatan Diri

Koping individu tidak efektif koping keluarga tidak efektif

B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI


1. Masalah Keperawatan
Masalah keperawatan yang diangkat berdasarkan pohon masalah menurut
Yusuf, Fitriyasari & Nihayati (2015), adalah:
a. Risiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
b. Perilaku kekerasan.
2. Data Yang Perlu Dikaji
Menurut Damaiyanti & Iskandar (2012), pengkajian pada klien
perilaku kekerasan ditujukan pada aspek biopsikososial-kultural-spiritual.
a. Aspek biologis
Respons fisiologis tumbul karena kegiatan sistem saraf otonom beraksi
terhadap sekresi epineprin sehingga tekanan darah meningkat,
takikardi, muka merah, pupil melebar, pengeluaran urine meningkat.
Ada gejala yang sama dengan kecemasan seperti meningkatnya
kewaspadaan, ketegangan otot seperti rahang terkatup, tangan dikepal,
tubuh kaku dan refleks cepat.
b. Aspek emosional
Individu yang marah merasa tidak nyaman, merasa tidak berdaya,
jengkel, frustasi, dendam, ingin memukul orang lain, mengamuk,
bermusuhan dan sakit hati, menyalahkan dan menuntut.
c. Aspek intelektual
Kaji cara marah, mengidentifikasi penyebab kemarahan, bagaimana
informasi diproses, diklarifikasi, dan diintegrasikan.
d. Aspek sosial
Meliputi interaksi sosial, budaya, konsep rasa percaya dan
ketergantungan.emosi marah sering merangsang kemarahan orang
lain. klien seringkali menyalurkan kemarahan dengan mengkritik
tingkah laku yang lain sehingga orang lain merasa sakit hati dengan
mengucapkan kata-kata kasar yang berlebihan disertai suara keras.
Proses tersebut dapat mengasingkan individu sendiri, menjauhkan diri
dari orang lain, menolak mengikuti aturan.
e. Aspek spiritual
Kepercayaan, nilai dan moral mempengaruhi hubungan individu
dengan lingkungan. Hal yang bertentangan dengan norma yang
dimiliki dapat menimbulkan kemarahan yang dimanifestasikan dengan
amoral dan rasa tidak berdosa.

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Perilaku Kekerasan

V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Tujuan:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
2. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
3. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
4. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
5. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
6. Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam merespon terhadap
kemarahan.
7. Klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan.
8. Klien dapat dukungan keluarga dalam mengontrol perilaku kekerasan.
9. Klien dapat menggunakan obat-obatan yang diminum dan kegunaannya.

Tabel 1.1 Rencana Keperawatan Perilaku Kekerasan (Damaiyanti & Iskandar, 2012)
KLIEN KELUARGA
SP1P SP2K
1. Mengidentifikasi penyebab PK 1. Mendiskusikan masalah yang
2. Mengidentifikasi tand gejala PK dirasaka keluarga dalam merawat
3. Mengidentifikasi PK yang dilkukan klien
4. Menidentifikasi akibat PK 2. Menjelaskan pengertian PK, tanda
5. Menyebutkan cara mengontrol PK gejala serta proses tejadinya PK
6. Membantu klien mempraktikkan latihan 3. Menjelaskan cara merawat klien
cara mengontrol PK dengan PK
7. Mengnjurkan klien memasukkan dalam
kegiatan harian
SP2P SP2K
1. Menevaluasi jadwal kegiatan harian 1. Melatih keluarga mempraktikkan
klien cara merawat klien dengan PK
2. Melatih klien mengontrol PK dengan 2. Melatih keluarga melakukan cara
cara fisik II merawat langsung kepada klien PK
3. Menganjurkan klien memasukkan
dalam kegiatan harian
SP3P SP3K
1. Menevaluasi jadwal kegiatan harian 1. Membantu keluarga membuat
klien jadwal aktivitas di rumah termasuk
2. Melatih klien mengontrol PK dengan minum obat
cara verbal 2. Menjelaskan follow up klien setelah
3. Menganjurkan klien memasukkan pulang
dalam jadwal kegiatan harian
SP4P
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian
klien
2. Melatih klien mengontrol PK dengan
cara spiritual
3. Menganjurkan klien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian
SP5P
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian
klien
2. Menjelaskan cara mengontrol PK
dengan minum obat
3. Menganjurkan klien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian

DAFTAR PUSTAKA

Azizah, L. M., Imam, Z. & Amar, A. 2016. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa
Teori dan Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta; Indomedia Pustaka

Damaiyanti, M. & Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT. Refika
Aditama.
Yusuf, Fitriyasari & Nihayati. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta: Penerbit Salemba Medika.

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN JIWA

PADA PASIEN DEFISIT PERAWATAN DIRI

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


Defisit Perawatan Diri
II. PROSES TERJADINYA MASALAH
1. Definisi
Defisit perawatan diri adalah suatu keadaan seseorang mengalami
kelainan dalam kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
kehidupan sehari-hari secara mandiri. Tidak ada keingan untuk mandi secara
teratur, tidak menyisir rambut, pakaian kotor, bau badan, bau napas, dan
penampilan tidak rapi. Defisit perawatan diri merupakan salah satu masalah
yang timbul pada klien gangguan jiwa. Klien gangguan jiwa kronis sering
mengalami ketidakpedulian merawat diri. Keadaan ini merupakan gejala
perilaku negatif dan menyebabkan klien dikucilkan baik dalam keluarga mau
pun masyarakat (Yusuf, Fitriyasari & Nihayati, 2015).
Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk melakukan
aktivitas perawatan diri (mandi, berhias, makan, toileting). Personal hygiene
adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang
untuk kesejahteraan fisik dan psikis, kurang perawatan diri adalah kondisi
dimana seseorang tidak mampu melakukan perawatan kebersihan untuk
dirinya (Azizah, dkk., 2016).
2. Etiologi
Menurut Damaiyanti & Iskandar (2012), penyebab kurang perawatan diri
adalah:
a. Faktor predisposisi
1) Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu.

2) Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri.
3) Kemampuan realitas turun
Klien gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang
menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan.
4) Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan diri lingkungannya.
Siatuasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam
perawatan diri.
b. Faktor presipitasi
Meliputi penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perseptual, cemas,
lelah/lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang
mampu melakukan perawatan diri.
3. Proses Terjadinya Defisit Perawatan Diri
Kurangnya perawatan diri pada klien dengan gangguan jiwa terjadi akibat
adanya perubahan proses pikir sehingga kemampuan untuk melakukan
aktivitas perawatan diri menurun. Kurang perawatan diri tampak dari
ketidakmampuan merawat kebersihan diri, makan secara mandiri, berhias
secara mandiri, dan toileting secara mandiri (Yusuf, Fitriyasari & Nihayati,
2015).
4. Tanda dan Gejala
Menurut Damaiyanti & Iskandar, tanda dan gejala klien dengan defisit
perawatan diri diantaranya:
a. Fisik
1) Badan bau, pakaian kotor;
2) Rambut dan kulit kotor;
3) Kuku panjang dan kotor;
4) Gigi kotor disertai mulut bau;
5) Penampilan tidak rapi.
b. Psikologis
1) Malas, tidak ada inisiatif;
2) Menarik diri, isolasi diri;
3) Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina.
c. Sosial
1) Interaksi kurang;
2) Kegiatan kurang;
3) Tidak mampu berperilaku sesuai normal;
4) Cara makan tidak teratur, BAK dan BAB di sembarang tempat, gosok
gigi dan mandi tidak mampu mandiri.

III. A. POHON MASALAH


Gangguan Perilaku Kesehatan

Defisit Perawatan Diri


Isolasi Sosial

Gambar 2.1 Pohon Masalah Defisit Perawatan Diri


Sumber : Damaiyanti & Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung:
PT Refikasi Aditama.

B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI


1. Masalah Keperawatan
Menurut Damaiyanti & Iskandar (2012), defisit perawatan diri bukan
merupakan bagian dari komponen pohon masalah (cause, core problem,
effect) tetapi sebagai masalah pendukung, maka masalah keperawatan
yang dapat diangkat adalah:
a. Defisit perawatan diri.
2. Data Yang Perlu Dikaji
Menurut Yusuf, Fitriyasari & Nihayati (2015), data yang perlu dikaji pada
klien dengan defisit perawatan diri diantaranya:
a. Gangguan kebersihan diri ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor,
kulit berdaki dan bau, serta kuku panjang dan kotor.
b. Ketidakmampuan berhias/berdandan ditandai dengan rambut acak-
acakan, pakaian kotor dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai, pada klien
laki-laki tidak bercukur, serta pada klien wanita tidak berdandan.
c. Ketidakmampuan makan secara mandiri ditandai dengan
ketidakmampuan mengambil makan sendiri, makan berceceran, dan
makan tidak pada tempatnya.
d. Ketidakmampuan BAB atau BAK secara mandiri ditandai dengan
BAB atau BAK tidak pada tempatnya, serta tidak membersihkan diri
dengan baik setelah BAB/BAK.

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Defisit Perawatan Diri

V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Tujuan:
1. Klien bisa mengenal tentang pentingnya kebersihan diri.
2. Klien dapat melakukan kebersihan perawatan diri secara mandiri.
3. Klien dapat mempertahankan kebersihan secara mandiri.
4. Klien dapat dukungan keluarga dalam meningkatkan kebersihan diri.

Tabel 1.1 Rencana Keperawatan Defisit Perawatan Diri (Damaiyanti & Iskandar,
2012)
KLIEN KELUARGA
SP1P SP1K
1. Mengidentifikasi penyebab defisit 1. Mendiskusikan masalah yang
perawatan diri klien dirasakan keluarga dalam merawat
2. Berdiskusi dengan klien tentang
klien
pentingnya kebersihan diri
3. Berdiskusi dengan klien tentang cara 2. Menjelaskan pengertian, tanda dan
menjaga kebersihan diri gejala defisit perawatan diri, dan jenis
4. Menganjurkan klien memasukkan dalam
defisit perawatan diri yang dialami
jadwal kegiatan harian
klien beserta proses terjadinya
3. Menjelaskan cara-cara merawat klien
defisit perawatan diri
SP2P SP2K
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Melatih keluarga mempraktekkan cara
2. Menjelaskan cara mandi yang baik merawat klien dengan defisit
3. Membantu klien mempraktekkan cara
perawatan diri
mandi yang baik
4. Menganjurkan klien memasukkan dalam 2. Melatih keluarga melakukan cara
jadwal kegiatan harian merawat langsung kepada klien defisit
perawatan diri
SP3P SP3K
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Membantu keluarga membuat jadual
2. Menjelaskan cara eliminasi yang baik aktivitas di rumah termasuk minum
3. Membantu klien mempraktekkan cara
obat (discharge planning)
eliminasi yang baik dan memasukkan
dalam jadual 2. Menjelaskan follow up klien setelah
4. Menganjurkan klien memasukkan dalam pulang
jadwal kegiatan harian
SP4P
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
2. Menjelaskan cara berdandan
3. Membantu klien mempraktekkan cara
berdandan
4. Menganjurkan klien memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian

DAFTAR PUSTAKA

Azizah, L. M., Imam, Z. & Amar, A. 2016. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa
Teori dan Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta; Indomedia Pustaka
Damaiyanti, M. & Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT. Refika
Aditama.

Yusuf, Fitriyasari & Nihayati. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta: Penerbit Salemba Medika.

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN JIWA

PADA PASIEN “GANGGUAN PERSEPSI SENSORI: HALUSINASI”

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi.

II. PROSES TERJADINYA MASALAH


1. Definisi
Halusinasi adalah gangguan persepsi sensori dari suatu obyek tanpa
adanya rangsangan dari luar, gangguan persepsi sensori ini meliputi seluruh
pancaindra. Halusinasi merupakan salah satu gejala gangguan jiwa dimana
klien mengalami perubahan persensi sensori, serta merasakan sensasi palsu
berupa suara, penglihatan, pengecapan perabaan, atau penciuman. Klien
merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada (Yusuf, Fitriyasari & Nihayati,
2015).
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar) (Azizah,
dkk., 2016)
2. Rentang Respon Neurobiologis

Respon Adaptif Respon Maladaptif


Pikiran logis Distorsi pikiran Gangguan pikir / delusi
Persepsi akurat Ilusi Halusinasi
Emosi konsisten Reaksi emosi Perilaku disorganisasi
dengan pengalaman berlebihan atau kurang Isolasi sosial
Perilaku sesuai Perilaku aneh dan
Hubungan sosial tidak biasa
Menarik diri

Gambar 1.1 Rentang Respon Neurobiologis


Sumber : Damaiyanti & Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung:
PT Refikasi Aditama.
3. Etiologi
Menurut Damaiyanti & Iskandar (2012), halusinasi dapat disebabkan oleh
faktor predisposisi dan faktor presipitasi, yakni sebagai berikut:
a. Faktor predisposisi
1) Faktor perkembangan
Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendahnya kontrol dan
mudah frustasi, keluarga menyebabkan klien tidak dapat mandiri sejak
dini, mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentan terhadap
stress.
2) Faktor sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi akan
merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya.
3) Faktor biologis
Adaya stress yang berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuh
akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik
neurokimia. Akibat stress berkepanjangan menyebabkan
teraktivasinya neurotransmitter otak.
4) Faktor psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah
terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada
ketidakmampuan dalam mengambil keputusan.
5) Faktor genetik dan pola asuh
Anak sehat yang diasuh oleh orang tua schizophrenia cenderung
mengalami schizophrenia.
b. Faktor presipitasi
1) Dimensi fisik, seperti kelelhan yang luar biasa, penggunaan obat-
obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan
untuk tidur dalam waktu yang lama.
2) Dimensi emosional, meliputi perasaan cemas yang berlebihan atas
dasar problem yang tidak dapat diatasi.
3) Dimensi intelektual, ditunjukkan adanya penurunan fungsi ego.
4) Dimensi sosial, adanya gangguan interaksi sosial.
5) Dimensi spiritual, seperti kehampaan hidup, rutinitas tidak bermakna,
hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya secara spiritual untuk
menyucikan diri, irama sirkardiannya terganggu.
4. Proses Terjadinya Masalah
Psikopatologi dari halusinasi belum diketahui. Banyak teori yang diajukan
yang menekankan pentingnya faktor-faktor psikologik, fisiologik dan lain-
lain. Beberapa orang mengatakan bahwa situasi keamanan di otak normal
dibombardir oleh aliran stimulus yang berasal dari tubuh atau dari luar tubuh.
Jika masukan akan terganggu atau tidak ada sama sekali saat bertemu dalam
keadaan normal atau patologis, materi berada dalam prasadar dapat
unconsicious atau dilepaskan dalam bentuk halusinasi. Pendapat lain
mengatakan bahwa halusinasi dimulai dengan keinginan yang direpresi ke
unconsicious dan kemudian karena kepribadian rusak dan kerusakan pada
realitas tingkat kekuatan keinginan sebelumnya diproyeksikan keluar dalam
bentuk stimulus eksternal (Damaiyanti & Iskandar, 2015).
5. Klasifikasi dan Tanda Gejala Halusinasi
Tabel 1.1 Klasifikasi Halusinasi (Yusuf, Fitriyasari & Nihayati, 2015).
Jenis Halusinasi Data Objektif Data Subjektif
 Bicara atau tertawa  Mendengar suara-suara/
sendiri.  Mendengar suara yang
 Marah-marah tanpa mengajak bercakap-
Halusinasi
sebab. cakap.
dengar
 Mengarahkan telinga ke  Mendengar suara
arah tertentu. menyuruh melakukan
 Menutup telinga. sesuatu yang berbahaya.
 Menunjuk-nunjuk ke  Melihat bayangan, sinar,
Halusinasi arah tertentu. bentuk geometris, bentuk
penglihatan  Ketakutan pada sesuatu kartun, hantu atau
yang tidak jelas. monster.
 Mencium seperti  Membaui bau-bauan
sedang membauai bau- seperti bau darah, urine,
Halusinasi
bauan tertentu. feses, dan kadang-
penciuman
 Menutup hidung. kadang bau itu
menyenangkan.
Halusinasi  Sering meludah.  Merasakan rasa seperti
pengecapan  Muntah. darah, urine, atau feses.
 Menggaruk-garuk  Mengatakan ada
permukaan kulit. serangga di permukaan
Halusinasi
kulit.
perabaan
 Merasa seperti tersengat
listrik.

6. Tahapan Halusinasi
Tabel 1.2 Tahapan Halusinasi (Damaiyanti & Iskandar, 2012)
Tahapan Halusinasi Karakteristik
Stage I : Sleep disorder Klien merasa banyak masalah, ingin
Fase awal seseorang menghindari dari lingkungan, takut diketahui
sebelum muncul orang lain bahwa dirinya banyak masalah.
halusinasi Masalah makin terasa sulit karena berbagai
stressor terakumulasi sedangkan support
sistem kurang dan persepsi terhadap masalah
sangat buruk. Sulit tidur berlangsung terus-
Tahapan Halusinasi Karakteristik
menerus sehingga terbiasa menghayal. Klien
menganggap lamunan-lamunan awal tersebut
sebagai pemecahan masalah.
Stage II : Comforting Klien mengalami emosi yang berlanjut seperti
Halusinasi secara umum adanya perasaan cemas, kesepian, perasaan
ia terima sebagai sesuatu berdosa, ketakutan dan mencoba memusatkan
yang alami. pemikiran pada timbulnya kecemasan.
Sensorinya dapat di kontrol bila
kecemasannya diatur, dalam tahap ini ada
kecenderungan klien merasa nyaman dengan
halusinasinya.
Stage III : Condemning Pengalaman sensori klien menjadi sering
Secara umum halusinasi datang dan mengalami bias. Klien mulai
sering mendatangi klien. merasa tidak mampu lagi mengontrolnya dan
mulai berupaya menjaga jarak antara dirinya
dengan objek yang dipersepsikan klien mulai
menarik diri dari orang lain, dengan intensitas
waktu yang lama.
Stage IV : Controlling Klien mencoba melawan suara-suara atau
Severe Level of Anxiety sensori abnormal yang datang. Klien dapat
Fungsi sensoti menjadi merasakan kesepian bila halusinasinya
tidak relevan dengan berakhir. Dari sinilah dimulai fase gangguan
kenyataan. psikotik.

Stage V : Conquering Pengalaman sensorinya terganggu. Klien


Panic Level Of Anxiety mulai terasa terancam dengan datangnya
Klien mengalami suara-suara atau perintah yang ia dengar dari
gangguan dalam menilai halusinasinya. Halusinasi dapat berlangsung
lingkungannya. selama minimal empat jam atau seharian bila
klien tidak mendapatkan komunikasi
terapeurik. Terjadi gangguan psikotik berat.

III. A. POHON MASALAH


Resiko tinggi perilaku kekerasan Waham (effect)

Perubahan persepsi sensori: Halusinasi (core problem)



Isolasi Sosial (causa) resiko bunuh diri
↑ ↑
Harga diri rendah kronis → koping individu tidak efektif

B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI


1. Masalah Keperawatan
Berdasarkan pohon masalah, masalah keperawatan yang diangkat menurut
Damaiyanti & Iskandar (2012), diantaranya:
a. Harga diri rendah kronik;
b. Koping individu tidak efektif;
c. Isolasi sosial.
2. Data Yang Perlu Dikaji
Data yang perlu dikaji menurut Yusuf, Fitriyasari & Nihayati (2015),
diantaranya:
a. Faktor predisposisi
1) Faktor perkembangan
Hambatan perkembangan yang dapat mengganggu hubungan
interpersonal sehingga meningkatkan stress dan ansietas yang
dapat berakhir dengan gangguan persepsi.
2) Faktor sosial budaya
Perasaan seperti disingkirkan atau kesepian, selanjutnya tidak
dapat diatasi sehingga timbul delusi dan halusinasi.
3) Faktor psikologis
Hubungan interpersonal tidak harmonis dan peran ganda atau
peran yang bertentangan dapat menimbulkan ansietas yang
berakhir dengan pengingkaran terhadap kenyataan, sehingga
terjadi halusinasi.
4) Faktor biologis
Struktur otak yang abnormal.
5) Faktor genetia
Keluarga yang memiliki riawayat skizofrenia.
b. Faktor presipitasi
1) Stressor sosial budaya
Penurunan stabilitas keluarga, perpisahan dengan orang penting,
atau diasingkan dari kelompok dapat meningkatkan stress dan
kecemasan sehingga timbulnya halusinasi.
2) Faktor biokimia
Dopamin, neropinetrin, indolamin, serta zat halusigenik diduga
berkaitan dengan gangguan orientasi realitas termasuk halusinasi.
3) Faktor psikologis
Intensitas kecemasan yang ekstrem dan memanjang disertai
terbatasnya kemampuan mengatasi masalah memungkinkan
berkembangnya gangguan orientasi realitas.
4) Perilaku.
Gangguan orientasi realitas berkaitan dengan perubahan proses
pikir, afektif persepsi, motorik dan sosial.

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi
V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
Tujuan:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
2. Klien dapat mengenali jenis halusinasinya.
3. Klien dapat mengontrol halusinasinya.
4. Klien dapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol halusinasi.
5. Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik.

Tabel 1.3 Rencana Keperawatan HargaGangguan Persepsi Sensori : Halusinasi


(Damaiyanti & Iskandar, 2012)
KLIEN KELUARGA
SP1P SP1K
1. Mengidentifikasi jenis halusinasi klien 1. Mendiskusikan maslah yang
2. Mengidentifikasi isi halusinasi klien dirasakan keluarga dalam merawat
3. Mengidentifikasi waktu halusinasi klien klien
4. Mengidentifikasi frekuensi halusinasi klien 2. Menjelaskan pengertian, tand gejala
5. Mengidentifikasi situasi yang menimbulkan dan jenis halusinasi yang dialami
halusinasi klien beserta proses terjadinya
6. Mengidentifikasi respon klien terhadap 3. Menjelaskan cara-cara merawat
halusinasi klien halusinasi
7. Mengajarkan klien menghardik halusinasi
8. Menganjurkan klien memasukkan cara
menghardik halusinasi dalam jadwal kegiatan
harian
SP2P SP2K
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Melatih keluarga mempraktikkan
2. Melatih klien mengendalikan halusinasi dengan cara merawat klien dengan
cara bercakap-cakap dengan oang lain halusinasi
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal 2. Melatih keluarga melakukan cara
kegiatan harian merawat langsung kepada klien
halusinasi
SP3P SP3K
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Membantu keluarga membuat jadwal
2. Melatih klien mengendalikan halusinasi dengan aktivitas dirumah termasuk minum
melakukan kegiatan yang biasa dilakukan klien obat
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal 2. Menjelaskan follow up klien setelah
kegiatan harian pulang
SP4P
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
2. Memberikan pendidikan kesehatan tentang
penggunaan obat secara teratut
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian.

DAFTAR PUSTAKA

Azizah, L. M., Imam, Z. & Amar, A. 2016. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa
Teori dan Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta; Indomedia Pustaka

Damaiyanti, M. & Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT. Refika
Aditama.

Yusuf, Fitriyasari & Nihayati. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN JIWA

PADA PASIEN DENGAN ISOLASI SOSIAL

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


Isolasi Sosial (ISOS)
II. PROSES TERJADINYA MASALAH
1. Pengertian
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seorang individu mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain
disekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan
tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Purba, dkk.
2008).
Suatu sikap dimana individu menghindari diri dari interaksi dengan orang
lain. Individu merasa bahwa ia kehilangan hubungan akrab dan tidak
mempunyai kesempatan untuk membagi perasaan, pikiran, prestasi, atau
kegagalan. Ia mempunyai kesulitan untuk berhubungan secara spontan dengan
orang lain, yang dimanifestasikan dengan sikap memisahkan diri, tidak ada
perhatian, dan tidak sanggup membagi pengamatan dengan orang lain (Keliat,
2010).
2. Faktor Predisposisi dan Faktor Presivitasi
a. Factor predisposisi:
1) Faktor Perkembangan
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui individu
dengan sukses, karena apabila tugas perkembangan ini tidak dapat dipenuhi,
akan menghambat masa perkembangan selanjutnya. Keluarga adalah tempat
pertama yang memberikan pengalaman bagi individu dalam menjalin hubungan
dengan orang lain. Kurangnya stimulasi, kasih sayang, perhatian dan
kehangatan dari ibu/pengasuh pada bayi bayi akan memberikan rasa tidak
aman yang dapat menghambat terbentuknya rasa percaya diri. Rasa
ketidakpercayaan tersebut dapat mengembangkan tingkah laku curiga pada
orang lain maupun lingkungan di kemudian hari. Komunikasi yang hangat
sangat penting dalam masa ini, agar anak tidak mersaa diperlakukan sebagai
objek.
Menurut Purba, dkk. (2008) tahap-tahap perkembangan individu dalam
berhubungan terdiri dari:
 Masa Bayi
 Masa Kanak-kanak
 Masa praremaja dan remaja
 Masa Dewasa muda
 Masa Dewasa tengah
 Masa Dewasa akhir
2) Faktor Komunikasi dalam Keluarga
3) Faktor Sosial Budaya
4) Faktor Biologis
b. Faktor presipitasi:
Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor
internal maupun eksternal, meliputi:
1) Stresor sosial budaya
Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan,
terjadinya penurunan stabilitas keluarga seperti perceraian, berpisah dengan
orang yang dicintai, kehilangan pasangan pada usia tua, kesepian karena
ditinggal jauh, dirawat dirumah sakit atau dipenjara. Semua ini dapat
menimbulkan isolasi sosial.
2) Stresor biokimia
a. Teori dopamine: Kelebihan dopamin pada mesokortikal dan mesolimbik
serta tractus saraf dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia.

b. Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) didalam darah akan


meningkatkan dopamin dalam otak. Karena salah satu kegiatan MAO
adalah sebagai enzim yang menurunkan dopamin, maka menurunnya
MAO juga dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia.
3) Faktor endokrin

Jumlah FSH dan LH yang rendah ditemukan pada pasien skizofrenia.


Demikian pula prolaktin mengalami penurunan karena dihambat oleh
dopamin. Hypertiroidisme, adanya peningkatan maupun penurunan
hormon adrenocortical seringkali dikaitkan dengan tingkah laku psikotik.
4) Viral Hipotesis
Beberapa jenis virus dapat menyebabkan gejala-gejala psikotik diantaranya
adalah virus HIV yang dapat merubah stuktur sel-sel otak.
5) Stresor biologik dan lingkungan sosial
Beberapa peneliti membuktikan bahwa kasus skizofrenia sering terjadi
akibat interaksi antara individu, lingkungan maupun biologis.
6) Stresor psikologis
Kecemasan yang tinggi akan menyebabkan menurunnya kemampuan
individu untuk berhubungan dengan orang lain. Intesitas kecemasan yang
ekstrim dan memanjang disertai terbatasnya kemampuan individu untuk
mengatasi masalah akan menimbulkan berbagai masalah gangguan
berhubungan pada tipe psikotik.
Menurut Purba, dkk. (2008) strategi koping digunakan pasien sebagai
usaha mengatasi kecemasan yang merupakan suatu kesepian nyata yang
mengancam dirinya. Strategi koping yang sering digunakan pada masing-
masing tingkah laku adalahsebagai berikut:
 Tingkah laku curiga: proyeksi
 Dependency: reaksi formasi
 Menarik diri: regrasi, depresi, dan isolasi
 Curiga, waham, halusinasi: proyeksi, denial
 Manipulatif: regrasi, represi, isolasi
 Skizoprenia: displacement, projeksi, intrijeksi, kondensasi, isolasi,
represi dan regrasi.
3. Tanda dan Gejala
Menurut Purba, dkk. (2008) tanda dan gejala isolasi sosial yang dapat
ditemukan dengan wawancara, adalah:
a. Pasien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain
b. Pasien merasa tidak aman berada dengan orang lain
c. Pasien mengatakan tidak ada hubungan yang berarti dengan orang lain
d. Pasien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu
e. Pasien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
f. Pasien merasa tidak berguna
g. Pasien tidak yakin dapat melangsungkan hidup
h. Kurang spontan
i. Apatis (acuh terhadap lingkungan)
j. Ekspresi wajah kurang bersih
k. Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri
l. Tidak ada atau kurang komunikasi verbal
m.Mengisolasi diri
n. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya
o. Asupan makanan dan minuman terganggu
p. Retensi urine dan feses
q. Aktivitas menurun
r. Kurang energi (tenaga)
s. Rendah diri
t. Postur tubuh berubah, misalnya sikap fetus/janin (khusunya pada posisi tidur)

4. Rentang Respon

RESPON ADAPTIF Respons Maladaptif


Menyendiri Menarik diri
Merasa sendiri
Otonomi Ketergantungan
Depresi
Bekerja sama Manipulasi
Curiga
Interdependen Curiga

Berikut ini akan dijelaskan tentang respons yang terjadi pada isolasi sosial.

A. Respons Adaptif
Respon adaptif adalah respon yang masih dapat diterima oleh norma-norma sosial
dan kebudayaan secara umum yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut
masih dalam batas normal ketika menyelesaikan masalah. Berikut ini adalah sikap
yang termasuk respons adaptif.
a. Menyendiri, respons yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan
apa yang telah terjadi di lingkungan sosialnya.
b. Otonomi, kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan
ide, pikiran, dan perasaan dalam hubungan sosial.
c. Bekerja sama, kemampuan individu yang saling membutuhkan satu sama
lain.
d. Interdependen, saling ketergantungan antara individu dengan orang lain
dalam membina hubungan interpersonal.
B. Respons maladaptif
Respons maladaptif adalah respon yang menyimpang dari norma sosial dan
kehidupan disuatu tempat. Berikut ini adalah perlaku yang termasuk respons
maladaptif.
a. Menarik diri, seseorang yang mengalami kesulitan dalam membina
hubungan secara terbuka dengan orang lain.
b. Ketergantungan, sesorang gagal mengembangkan rasa percaya diri
sehingga tergantung dengan orang lain.
c. Manipulasi, seseorang yang mengganggu orang lain sebagai objek
individu sehingga tidak dapat membina hubungan sosial secara
medalam.
d. Curiga, seseorang gagal mengembangkan rasa percaya terhadap orang
lain.
III. POHON MASALAH DAN DATA YANG PERLU DIKAJI
Risiko Perubanhan Persepsi Sensori : Halusinasi


Isolasi Sosoal

Harga Diri Rendah Kronis

Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul


Isolasi Sosial, Halusinasi

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Isolasi Sosial
V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
Tindakan keperawatan untuk pasien
1) SP 1 Pasien: Membina hubungan saling percaya, membantu pasien mengenal
penyebab isolasi sosial, membantu pasien mengenal keuntungan berhubungan
dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain dan mengajarkan pasien
berkenalan.
2) SP 2 Pasien: Mengajarkan pasien berinteraksi secara bertahap (berkenalan
dengan orang pertama -seorang perawat-).
3) SP 3 Pasien: Melatih Pasien Berinteraksi Secara Bertahap (berkenalan dengan
orang kedua-seorang pasien).
Tindakan keperawatan pada keluarga
1) SP 1 Keluarga: Memberikan penyuluhan kepada keluarga tentang masalah
isolasi sosial, penyebab isolasi sosial, dan cara merawat pasien dengan
isolasi sosial.
2) SP 2 Keluarga: Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan
masalah isolasi sosial langsung dihadapan pasien.
3) SP 3 Keluarga: Membuat perencanaan pulang bersama keluarga.

DAFTAR PUSTAKA
Keliat, Budi Anna. 2010. Kumpulan Proses Keperawatan Masalah Jiwa.
Jakarta : FIK, Universitas Indonesia

Purba, dkk. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Masalah


Psikososial dan Gangguan Jiwa. Medan: USU Press.
Stuart dan Sundeen . 2012 . Buku Keperawatan Jiwa . Jakarta : EGC .
Yusuf, Dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN JIWA

PADA PASIEN “HARGA DIRI RENDAH”

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


Harga Diri Rendah Kronik

II. PROSES TERJADINYA MASALAH


1. Definisi
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah
diri yang berkepanjangan akibat evaluasi yang negative terhadap diri sendiri
atau kemampuan diri. Adanya perasaan hilang kepercayaan diri, merasa gagal
karena tidak mampu mencapai keinginan sesuai ideal diri (Damaiyanti &
Iskandar, 2012).
Harga diri rendah adalah evaluasi diri/perasaan tentang diri/kemampuan
diri yang negatif dan dipertahankan dalam waktu yang lama. Jadi harga diri
rendah adalah suatu perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilangnya
kepercayaan diri dan gagal mencapai tujuan yang diekspresikan secara
langsung maupun tidak langsung, penurunan diri ini dapat bersifat situasional
maupun kronis atau menahun (Azizah, dkk., 2016).
2. Etiologi
Dalam tinjauan life span history klien, penyebab terjadinya harga diri
rendah adalah pada masa kecil sering disalahkan, jarang diberi pujian atas
keberhasilannya. Saat individu mencapai masa remaja keberadaannya kurang
dihargai, tidak diberikan kesempatan dan tidak diterima. Menjelang dewasa
awal sering gagal di sekolah, pekerjaan dan pergaualan. Harga diri rendah
muncul saat lingkungan cenderung mengucilkan dan menuntut lebih dari
kemampuannya (Damaiyanti & Iskandar, 2012).
Menurut Damaiyanti & Iskandar (2012), faktor-faktor yang
mengakibatkan harga diri rendah kronik meliputi faktor predisposisi dan faktor
presipitasi sebagai berikut:
a. Faktor predisposisi
1) Faktor yang mempengaruhi harga diri meliputi penolakan orangtua,
harapan orangtua yang tidak realistis, kegagalan yang berulang,
kurang mempunyai tanggung jawab personal, kertergantungan pada
orang lain, dan ideal diri yang tidak realistis.
2) Faktor yang mempengaruhi performasi adalah stereotype peran
gender, tuntuan peran kerja, dan harapan peran budaya.
3) Faktor yang mempengaruhi identitas pribadi meliputi
ketidakpercayaan orang tua, tekanan dari kelompok sebaya, dan
perubahan struktur sosial.
b. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah biasanya adalah kehilangan
bagian tubuh, perubahan penampilan/bentuk tubuh, kegagalan atau
produktivitas yang menurun (Damaiyanti & Iskandar, 2012).
3. Rentang Respon Konsep Diri

Respon Adaptif Respon Maladaptif


Aktualisasi Konsep Harga Kerancaua Depersonalisasi
diri diri positif diri n
rendah Identitas

Gambar 1.1 Rentang Respon Konsep Diri


Sumber: Damaiyanti & Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung:
PT Refikasi Aditama.
4. Tanda dan Gejala
Menurut Damaiyanti & Iskandar (2012), tanda dan gejala harga diri
rendah kronik adalah sebagai berikut:
a. Mengkritik diri sendiri.
b. Perasaan tidak mampu.
c. Pandangan hidup yang pesimis.
d. Penurunan produktivitas.
e. Penolakan terhadap kemampuan diri.

III. A. POHON MASALAH


Resiko perilaku kekerasan Waham (effect)

Defisit perawatan diri ← Isolasi Sosial: menarik diri → Halusinasi



Resiko bunuh diri Gangguan konsep diri: harga diri rendah (Core problem)

Tidak efektifnya koping individu (causa)

B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI


1. Masalah Keperawatan
Berdasarkan pohon masalah, masalah keperawatan yang diangkat menurut
Damaiyanti & Iskandar (2012), diantaranya:
a. Harga diri rendah kronik;
b. Koping individu tidak efektif;
c. Isolasi sosial.
2. Data Yang Perlu Dikaji
Menurut Yusuf, Fitriyasari & Nihayati (2012), data yang perlu dikaji
pada klien dengan gangguan konsep diri, diantaranya:
a. Faktor predisposisi
1) Citra tubuh
a) Kehilangan / kerusakan bagian tubuh.
b) Perubahan ukuran, bentuk, dan penampilan tubuh.
c) Proses penyakit dan dampaknya terhadap struktur dan fungsi
tubuh.
d) Proses pengobatan, seperti radiasi dan kemoterapi.
2) Harga diri
a) Penolakan
b) Kurang penghargaan
c) Pola asuh overprotektif, otoriter, tidak konsisten, terlalu
dituruti, terlalu dituntut.
d) Persaingan antara keluarga.
e) Kesalahan dan kegagalan berulang.
f) Tidak mampu mencapai standar.
3) Ideal diri
a) Cita-cita yang terlalu tinggi.
b) Harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan.
c) Ideal diri samar atau tidak jelas.
4) Peran
a) Stereotipe peran seks.
b) Tuntutan peran kerja.
c) Harapan peran kultural.
5) Identitas diri
a) Ketidakpercayaan orang tua.
b) Tekanan dari teman sebaya.
c) Perubahan struktur sosial.
b. Faktor presipitasi
1) Trauma.
2) Ketegangan peran perkembangan.
3) Transisi peran situasi.
4) Transisi peran sehat sakit.
c. Perilaku
1) Citra tubuh
a) Menolak menyentuh atau melihat bagian tubuh tertentu.
b) Menolak bercermin.
c) Tidak mau mendiskusikan kerterbatasan atau cacat tubuh.
d) Menolak usaha rehabilitasi.
e) Usaha pengobatan mandiri yang tidak tepat.
f) Menyangkal cacat tubuh.
2) Harga diri rendah
a) Mengkritik diri sendiri/orang lain.
b) Produktivitas menurun.
c) Gangguan hubungan.
d) Merasa diri paling penting.
e) Desktruktif pada orang lain.
f) Merasa tidak mampu.
g) Merasa bersalah dan khawatir.
h) Mudah tersinggung/marah.
i) Perasaan negatif terhadap tubuh.
j) Ketegangan peran.
k) Pesimis menghadapi hidup.
l) Keluhan fisik.
m) Penolakan kemampuan diri.
n) Pandangan hidup bertentangan.
o) Destruktif terhadap diri.
p) Menarik diri secara sosial.
q) Penyalahgunaan zat.
r) Menarik diri realitas.
3) Kerancauan identitas
a) Tidak ada kode moral.
b) Kepribadian yang bertentangan.
c) Hubungan interpersonal yang eksploitatif.
d) Perasaan hampa.
e) Perasaan mengambang tentang diri.
f) Kerancuan gendur.
g) Tingkat ansietas tinggi.
h) Tidak mampu empati terhadap orang lain.
i) Masalah estimasi.
4) Depersonalisasi

Tabel 1.1 Depersonalisasi (Yusuf, Fitriyasari & Nihayati (2012)


Afektif Perseptual Kognitif Perilaku
 Kehilangan  Halusinasi  Bingung.  Pasif.
identitas. dengar dan  Disorientasi  Komunikasi
 Perasaan terpisah lihat. waktu. tidak sesuai.
dari diri.  Bingung  Gangguan  Kurang
 Perasaan tidak tentang berpikir. spontanitas.
realistis. seksualitas  Gangguan daya  Kehilangan
 Rasa terisolasi diri. ingat. kendali
yang kuat.  Sulit  Gangguan terhadap
 Kurang rasa membedakan penilaian. impuls.
berkesinambunga diri dari orang  Kepribadian  Tidak mampu
n. lain. ganda. memutuskan.
 Tidak mampu  Gangguan  Menarik diri
mencari citra tubuh. secara sosial.
kesenangan.  Dunia seperti
dalam mimpi.
d. Mekanisme koping
1) Pertahanan jangka pendek
a) Aktivitas yang dapat memberian pelarian sementara dari
krisis, seperti kerja keras, nonton, dan lain-lain.
b) Aktivitas yang dapat memberikan identitas pengganti
sementara, seperti ikut kegiatan sosial, politik, dan lain-lain.
c) Aktivitas yang mewakili upaya jarak pendek untuk membuat
masalah identitas menjadi kurang berarti dalam kehidupan,
seperti penyalahgunaan obat.
2) Pertahanan jangka panjang
a) Penutupan identitas.
Adopsi identitas premature yang diinginkan oleh orang yang
penting bagi individu tanpa memperhatikan keinginan,
aspirasi, dan potensi individu.

b) Identitas negatif.
Asumsi identitas yang tidak wajarr untuk dapat diterima oleh
nilai-nilai harapan masyarakat.
3) Mekanisme pertahan ego
a) Fantasi.
b) Disosiasi.
c) Isolasi.
d) Proyeksi.
e) Displacement.
f) Marah/amuk pada diri sendiri.

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Harga Diri Rendah Kronik

V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Tujuan :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
2. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.
3. Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan.
4. Klien dapat menetapkan kegiatan sesuai dengan kemampuannya yang
dimiliki.
5. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit.
6. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada.
Tabel 1.2 Rencana Keperawatan Harga Diri Rendah Kronik (Damaiyanti &
Iskandar, 2012)
KLIEN KELUARGA
SP1P SP1K
1. Mengidentifikasi kemampuan dan 1. Mendiskusikan masalah ynag dirasakan
aspek positif yang dimiliki klien. keluarga dalam merawat klien.
2. Membantu klien menilai kemampuan 2. Menjelaskan pengertian, tanda gejala
klien yang masih dapat digunakan. harga diri rendah yang dialami klien
3. Membantu klien memilih kegiatan yang beserta proses terjadinya.
akan dilatih sesuai dengan kemampuan 3. Menjelaskan cara-cara merawat klien
klien. harga diri rendah.
4. Melatih klien sesuai dengan
kemampuan yang dipilih.
5. Memberikan pujian yang wajar
terhadap keerhasilan klien.
6. Menganjurkan klien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian.
SP2P SP2K
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian 1. Melatih keluarga mempraktikkan cara
klien. merawat klien dengan harga diri rendah.
2. Melatih kemampuan kedua. 2. Melatih keluarga melakukan cara
3. Menganjurkan klien memasukkan merawat langsung kepada klien harga
kedalam jadwal kegiatan harian. diri rendah.
SP3K
1. Membantu keluarga membuat jadwal
aktivitas di rumah termasuk minum obat
2. Menjelaskan follow up klien setelah
pulang.

DAFTAR PUSTAKA

Azizah, L. M., Imam, Z. & Amar, A. 2016. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan
Jiwa Teori dan Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta; Indomedia Pustaka
Damaiyanti, M. & Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT.
Refika Aditama.

Yusuf, Fitriyasari & Nihayati. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta: Penerbit Salemba Medika.

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN JIWA

PADA PASIEN “RISIKO BUNUH DIRI”

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


Risiko Bunuh Diri
II. PROSES TERJADINYA MASALAH
1. Definisi
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhir kehidupan. Perilaku bunuh diri yang tampak pada seseorang
disebabkan karena stress yang tinggi dan kegagalan mekanisme koping
yang digunakan dalam mengatasi masalah (Damaiyanti & Iskandar, 2012).
Bunuh diri adalah suatu keadaan dimana individu mengalami resiko
menyakiti diri sendiri atau melakukan tindakan yang dapat mengancam
nyawa. Perilaku destruktif diri yang mencakup setiap bentuk aktivitas
bunuh diri, niatnya adalah kematian dan individu menyadari hal ini
sebagai sesuatu yang diinginkan dan dengan sengaja dilakukan oleh
seseorang yang tahu akan akibatnya, yang dilakukan dalam waktu yang
singkat (Azizah, dkk., 2016)
2. Rentang Respon Protektif Diri

Respon Adaptif Respon Maladaptif


Peningkatan Berisiko Destruktif Pencederaan Bunuh diri
diri destruktif diri tidak diri
langsung
Gambar 1.1 Rentang Respon Protektif Diri
Sumber: Damaiyanti & Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa.
Bandung: PT Refikasi Aditama.
3. Etiologi
Menurut Damaiyanti & Iskandar (2012), penyebab terjadinya risiko
bunuh diri dapat dipengaruhi oleh:
a. Faktor predisposisi
1) Diagnosis psikiatrik
Tiga gangguan jiwa yang dapat membuat individu berisiko untuk
melakukan tindakan bunuh diri adalah gangguan afektif,
penyalahgunaan zat, dan skizofrenia.
2) Sifat kepribadian
Tiga tipe kepribadian yang erat hubungannya dengan besarkan
risik bunuh diri adalah antipasti, impulsive, dan depresi.
3) Lingkungan psikososial
Meliputi pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan sosial,
kejadian negatif dalam hidup, penyakit kronis, perpisahan, atau
perceraian.
4) Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan
faktor penting yang dapat menyebabkan seseorang melakukan
tindakan bunuh diri.
5) Faktor biokimia
Klien dengan risiko bunuh diri terjadi peningkatan zat-zat kimia
yang terdapat di dalam otak seperti serotonin, adrenalin, dan
dopamine.
b. Faktor presipitasi
Perilaku destruktit diri dapat dtimbulkan oleh stress berlebihan yang
dialami oleh individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup
yang memalukan. Faktor lain yang dapat menjadi pencetus adalah
melihat atau membaca melalui media mengenai orang yang melakukan
bunuh diri. Bagi individu yang emosinya labil, hal tersebut menjadi
sangat rentan.
c. Perilaku koping
Klien dengan penyakit kronik atau penyakit yang mengancam
kehidupan dapat melakukan perilaku bunuh diri dan sering kali
dilakukan secara sadar. Struktur sosial dan kehidupan bersosial dapat
menolong atau bahkan mendorong klien melakukan perilaku bunuh
diri. Isolasi sosial dapat menyebabkan kesepian dan meningkatkan
keinginan seseorang untuk melakukan bunuh diri.

d. Mekanisme koping
Mekanisme koping yang mungkin digunakan sehubungan dengan
perilaku bunuh diri, meliputi denial, rasionalization, regression, dan
magical thinking.
4. Proses Terjadinya Bunuh Diri
Setiap upaya percobaan bunuh diri selalu diawali dengan adanya
motivasi untuk bunuh diri dengan berbagai alasan, berniat melaksanakan
bunuh diri, mengembangkan gagasan sampai akhirnya melakukan bunuh
diri. Oleh karena itu, adanya percobaan bunuh diri merupakan masalah
keperawatan yang harus mendapatkan perhatian serius.
5. Tanda dan Gejala
Menurut Damaiyanti & Iskandar (2012), tanda dan gejala seseorang
dengan risiko bunuh diri, yakni:
a. Mempunyai ide untuk bunuh diri.
b. Mengungkapkan keinginan untuk mati.
c. Mengungkapkan rasa bersalah atau keputusasaan.
d. Impulsive.
e. Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya sangat patuh).
f. Memiliki riwayat percobaan bunuh diri.
g. Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan tentang
obat dosis mematikan).
h. Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panik,
marah, dan mengasingkan diri).
i. Kesehatan mental (secara klinis, klien terlihat sebagai orang yang
depresi, psikosis dan menyalahgunakan alkohol).
j. Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyakit kronik atau
terminal).
k. Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau mengalami
kegagalan dalam karir).
l. Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan).
m. Usia 15-19 tahun atau di atas 45 tahun.
n. Konflik interpersonal.
o. Pekerjaan.
p. Latar belakang keluarga.
q. Orientasi seksual.
r. Sumber-sumber personal.
s. Sumber-sumber sosial.
t. Menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil.
6. Jenis
Menurut Yusuf, Fitriyasari, & Nihayati (2015), bunuh diri dibagi
menjadi tiga jenis, yaitu :
1. Bunuh diri egoistik
Akibat seseorang yang mempunyai hubungan sosial yang buruk.
2. Bunuh diri altruistik
Akibat kepatuhan pada adat dan kebiasaan.
3. Bunuh diri anomik
Akibat lingkungan tidak dapat memberikan kenyamanan bagi individu.
III. A. POHON MASALAH
(effect) Bunuh diri Resiko Perilaku Kekerasan

(core problem) Resiko bunuh diri

(causa) Harga diri rendah → isolasi sosial → halusinasi → waham

Koping keluarga&individu tidak efektif

B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI


1. Masalah Keperawatan
Berdasarkan pohon masalah, masalah keperawatan yang diangkat
menurut Damaiyanti & Iskandar (2012), diantaranya:
a. Risiko perilaku kekerasan pada diri sendiri, orang lain, lingkungan
dan verbal.
b. Risiko bunuh diri.
c. Harga diri rendah kronik.
2. Data Yang Perlu Dikaji
Menurut Yusuf, Fitriyasari & Nihayati (2015), data yang perlu
dikaji pada klien dengan risiko bunuh diri diantaranya:
a. Isyarat bunuh diri
Isyarat bunuh diri ditunjukkan dengan berperilaku secara tidak
langsung ingin bunuh diri, misalnya dengan mengatakan “Tolong
jaga anak-anak saya karena saya akan pergi jauh!” atau “Segala
sesuatu akan lebih baik tanpa saya.” Pada kondisi ini klien
mungkin sudah memiliki ide untuk mengakhiri hidupnya, tetapi
tidak disertai dengan ancaman dan percobaan bunuh diri. Klien
umumnya mengungkapkan perasaan seperti rasa bersalah/sedih/
marah/putus asa/tidak berdaya. Klien juga mengungkapkan hal-hal
negatif tentang diri sendiri yang menggambarkan harga diri rendah.
b. Ancaman bunuh diri
Ancaman bunuh diri umumnya diucapkan oleh klien yang berisi
keinginan untuk mati disertai dengan rencana untuk mengakhiri
kehidupan dan persiapan alat untuk melaksanakan rencana
tersebut. secara aktif klien telah memikirkan rencana bunuh diri,
tetapi tidak disertai dengan percobaan bunuh diri.
c. Percobaan bunuh diri
Percobaan bunuh diri adalah tindakan klien mencederai atau
melukai diri untuk mengakhiri kehidupannya. Pada kondisi ini,
klien aktif mencoba bunuh diri dengan cara gantung diri, minum
racun, memotong urat nadi, atau menjatuhkan diri dari tempat yang
tinggi.
d. Faktor risiko bunuh diri
1) Menurut SIRS (Suicidal Intention Rating Scale)
Score 0 : Tidak ad aide bunuh diri yang lalu dan sekarang.
Score 1 : Ad ide bunuh diri, tidak ada percobaan bunuh diri,
tidak mengancam bunuh diri.
Score 3 : Mengancam bunuh diri, misalnya, “Tinggalkan saya
sendiri atau saya bunuh diri.”
Score 4 : Aktif mencoba bunuh diri.
2) Menurut Stuart dan Sundeen (1987)

Tabel 1.1 Faktor Risiko Bunuh Diri Menurut Stuart dan Sundeen (Yusuf,
Fitriyasari & Nihayati, 2015).
Faktor Risiko Tinggi Risiko Rendah
Umur > 45 tahun atau remaja 25-45 tahun atau < 12
tahun
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan
Status perkawinan Cerai, pisah, janda/duda Kawin
Jabatan Profesional Pekerja kasar
Pekerjaan Pengangguran Pekerja
Penyakit kronis Kronik, terminal Tidak ada yang serius
Gangguan mental Depresi, halusinasi Gangguan kepribadian

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Risiko Bunuh Diri
V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
Tujuan:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
2. Klien dapat mengekspresikan perasaannya.
3. Klien dapat meningkatkan harga diri.
4. Klien dapat menggunakan koping yang adaptif.
5. Klien dapat menggunakan dukungan sosial.
Tabel 1.2 Rencana Keperawatan Risiko Bunuh Diri (Damaiyanti & Iskandar,
2012)
KLIEN KELUARGA
SP1P SP1K
1. Mengide 1.
ntifikasi benda-benda yang dapat dirasakan keluarga dalam merawat
membahayakan klien klien
2. Mengam 2.
ankan benda-benda yang dapat resiko bunuh diri dan jenis prilaku
membahayakan klien bunuh diri yang dialami klien beserta
3. Melakuk proses terjadinya menjelaskan cara-
an kontrak treatment cara merawat klien resiko bunuh diri
4. Mengaja 3.
rkan cara mengendalikan dorongan resiko bunuh diri
bunuh diri
5. Melatih
cara mengendalikan dorongan
bunuh diri
SP2P SP2K
1. 1. Melatih keluarga mempraktikkan
2. cara merawat klien dengan resiko
positif terhadap diri bunuh diri
3. 2. Melatih keluarga melakukan cara
diri sebagai individu yang berharga merawat langsung kepada klien
resiko dunuh diri

SP3P SP3K
1. Mengidentivikasi pola koping yang 1. Membantu keliarga membuat jadwal
biasa diterapkan klien aktivitas dirumah termasuk minum
2. Menilai pola koping yang biasa obat
dilakukan 2. Mendiskusikan sumber rujukan yang
3. Mengidentifikasi pola koping yang biasa dijangkau oleh keluarga
konstruktif
4. Mendorong klien memilih pola
koping yang konstruktif
5. Menganjurkan klien menerapkan
pola koping konstruktif dalam
kegiatan harian
SP4P
1. Membuat rencana masa depan
yang realistis bersama klien
2. Mengidentifikasi cara mencapai
rencana masa depan yang realistis
3. Memberi dorongan klien
melakukan kegiatan dalam rangka
meraih masa depan yang realistis

DAFTAR PUSTAKA
Azizah, L. M., Imam, Z. & Amar, A. 2016. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan
Jiwa Teori dan Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta; Indomedia Pustaka

Damaiyanti, M. & Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT.


Refika Aditama.

Yusuf, Fitriyasari & Nihayati. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta: Penerbit Salemba Medika.

LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA “WAHAM”
DI RSJ MENUR SURABAYA

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


Perubahan Proses Pikir: Waham

II. PROSES TERJADINYA MASALAH


1. DEFINISI
Waham adalah suatu keyakinan yang dipertahankan secara kuat terus-
menerus, tetapi tidak sesuai dengan kenyataan (Budi Anna Keliat, 2006: 147).
Waham adalah keyakinan klien yang tidak sesuai dengan kenyataan, tetapi
dipertahankan dan tidak dapat diubah secara logis oleh orang lain. Keyakinan ini
berasal dari pemikiran klien yang sudah kehilangan kontrol (Depkes RI, 2000).
Waham adalah keyakinan terhadap sesuatu yang salah dan secara kukuh
dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan
realita normal (Stuart dan Sundeen, 1998)
Waham merupakan suatu keyakinan atau pikiran yang salah karena
bertentangan dengan kenyataan (dunia realitas), serta dibangun atas unsur- unsur
yang tak berdasarkan logika, namun individu tidak mau melepaskan wahamnya
walaupun ada bukti tentang ketidakbenaran atas keyakinan itu. Keyakinan dalam
bidang agama dan budaya tidak dianggap sebagai waham. Waham adalah suatu
keyakinan kokoh yang salah dan tidak sesuai dengan fakta dan keyakinan tersebut
mungkin “ aneh” (misal, mata saya adalah komputer yang dapat mengontrol
dunia) atau bisa pula “tidak aneh” (hanya sangat tidak mungkin, misal, “ FBI
mengikuti saya”) dan tetap dipertahankan meskipun telah diperlihatkan bukti-
bukti yang jelas untuk mengoreksinya. Waham sering ditemui pada gangguan
jiwa berat dan beberapa bentuk waham yang spesifik sering ditemukan pada
skizofrenia. Semakin akut psikosis semakin sering ditemui waham disorganisasi
dan waham tidak sistematis.
2. ETIOLOGI
a. Faktor Predisposisi
1) Faktor Perkembangan
Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan interpersonal seseorang.
Hal ini dapat meningkatkan stress dan ansietas yang berakhir dengan gangguan
persepsi, klien menekan perasaannya sehingga pematangan fungsi intelektual dan
emosi tidak efektif.
2) Faktor Sosial Budaya
Seseorang yang merasa diasingkan dan kesepian dapat menyebabkan timbulnya
waham.
3) Faktor Psikologis
Hubungan yang tidak harmonis, peran ganda/bertentangan, dapat menimbulkan
ansietas dan berakhir dengan pengingkaran terhadap kenyataan.
4) Faktor Biologis
Waham diyakini terjadi karena adanya atrofi otak, pembesaran ventrikel di otak,
atau perubahan pada sel kortikal dan limbic.
b. FaktorPresipitasi
1) Biologis
Stressor biologis yang berhubungan dengan respon neurobiologis yang
maladaptive termasuk gangguan dalam putaran umpan balik otak yang mengatur
proses imformasi dan abnormalisasi yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk
menanggapi rangsangan.
2) Stres Lingkungan
Secara biologis menetapkan ambang toleransi terhadap stres yang berinteraksi
dengan stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan prilaku.
3) Pemicu Gejala
Terdapat pada respon neurobiologis yang maladaptif yang berhubungan dengan
kesehatan, lingkungan, sikap dan prilaku individu seperti gizi buruk, kurang tidur,
infeksi, kelebihan rasa bermusuhan atau lingkungan yang penuh kritik, gangguan
dalan berhubungan interpersonal, kesepian, kemiskinan, tekanan pekerjaan dan
sebagainya.
1. Stressor Sosial-Budaya
Stres dan kecemasan akan meningkat bila terjadi penurunan stabilitas keluarga,
perpisahan dengan orang yang paling penting, atau diasingkan dari kelompok.
2. Faktor Biokimia
Penelitian tentang pengaruh dopamine, inorefinefrin, lindolomin, zat halusinogen
diduga berkaitan dengan orientasi realita
3. Faktor Psikologi
Intensitas kecemasan yang ekstrim dan menunjang disertai terbatasnya
kemampuan mengatasi masalah memungkinkan berkurangnya orientasi realiata.
Perasaan bersalah dan berdosa, penghukuman diri, rasa tidak mampu, fantasi yang
tak terkendali, serta dambaan-dambaan atau harapan yang tidak kunjung sampai,
merupakan sumber dari waham.

b. TANDA DAN GEJALA


Tanda dan gejala dari perubahan isi pikir waham yaitu : klien menyatakan
dirinya sebagai seorang besar mempunyai kekuatan, pendidikan atau kekayaan
luar biasa, klien menyatakan perasaan dikejar-kejar oleh orang lain atau
sekelompok orang, klien menyatakan perasaan mengenai penyakit yang ada dalam
tubuhnya, menarik diri dan isolasi, sulit menjalin hubungan interpersonal dengan
orang lain, rasa curiga yang berlebihan, kecemasan yang meningkat, sulit tidur,
tampak apatis, suara memelan, ekspresi wajah datar, kadang tertawa atau
menangis sendiri, rasa tidak percaya kepada orang lain, gelisah. Menurut Kaplan
dan Shadok (1997):, tanda dan gejala waham:
1. Status Mental
a. Pada pemeriksaan status mental, menunjukkan hasil yang sangat normal,kecuali
bila ada sistem waham abnormal yang jelas.
b. Mood klien konsisten dengan isi wahamnya.
c. Pada waham curiga didapatkannya perilaku pencuriga
d. Pada waham kebesaran, ditemukan pembicaraan tentang peningkatan identitas
diri, mempunyai hubungan khusus dengan orang yang terkenal
e. Adapun sistem wahamnya, pemeriksa kemungkinan merasakan adanya kualitas
depresi ringan
f. Klien dengan waham, tidak memiliki halusinasi yang menonjol/menetap., kecuali
pada klien dengan waham raba atau cium. Pada beberapa klien kemungkinan
ditemukan halusinasi dengar.
2. Sensorium dan kognisi
a. Pada waham,tidak ditemukan kelainan dalam orientasi, kecuali yang memiliki
wham spesifik tentang waktu, tempat, dan situasi.
b. Daya ingat dan proses kognitif klien dengan intak (utuh)
c. Klien waham hampir seluruh memiliki insight (daya tilik diri) yang jelek.
d. Klien dapat dipercaya informasinya, kecuali jika membahayakan dirinya,
keputusan yang terbaik bagi pemeriksa dalam menentukan kondisi klien adalah
dengan menilai perilaku masa lalu, masa sekarang dan yang direncanakan.
Tanda dan gejala waham berdasarkan jenis waham menurut Keliat (2009):
a. Waham kebesaran: individu meyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau
kekuasaan khusus dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan.
Misalnya, “saya ini pejabat departemen kesehatan lho!” atau, “saya punya
tambang emas”.Contoh : “ Saya ini titisan Bung Karno, punya banyak perusahaan,
punya rumah di berbagai negara dan bisa menyembuhkan berbagai macam
penyakit”.
b. Waham curiga: Individu meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok yang
berusaha merugikan/menceerai dirinya dan diucapkan berulang kali, tetapitidak
sesuai kenyataan. Contoh, “saya tahu seluruh saudara saya ingin menghancurka
hidup saya karena mereka iri dengan
kesuksesan saya”. Contoh lain, “ Banyak Polisi mengintai saya, tetangga saya
ingin menghancurkan hidup saya, suster akan meracuni makanan saya “.
c. Waham agama: Individu memiliki keyakinan terhadap suatu agama secara
berlebihan dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh, “kalau saya mau masuk surga, saya harus menggunakan pakaian putih
setip hari”.
d. Waham somatic: Individu meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu
atau terserang penyakit dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai dengan
kenyataan. Contoh, “saya sakit kanker”. (Kenyataannya pada pemeriksaan
laboratorium tidak ditemukan tanda- tanda kanker, tetapi klien terus mengatakan
bahwa ia sakit kanker.). Contoh : “ Sumsum Tulang saya kosong, saya pasti
terserang kanker, dalam tubuh saya banyak kotoran,tubuh saya telah membusuk,
tubuh saya menghilang”.
e. Waham nihilistik: Individu meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada
didunia/meniggal dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai dengan keadaan
nyata. Misalnya, “Ini kanalam kubur ya, semua yang ada disini adalah roh-roh.”.
Contoh: “Saya sudah menghilang dari dunia ini ,semua yang ada di sini adalah
roh-roh, sebenarnya saya sudah tidak ada di dunia
c. MACAM
Waham dapat di klasifikasikan menjadi beberapa macam, menurut Direja
(2011) yaitu:
Jenis Waham Pengertian Perilaku Klien
“Saya ini pejabat di
Keyakinan secara berlebihan bahwa
kementrian Semarang!”
dirinya memiliki kekuatan khusus
“Saya punya perusahaan
Waham atau kelebihan yang berbeda dengan
paling besar lho”.
Kebesaran orang lain, diucapkan berulang-
ulang tetapi tidak sesuai dengan
kenyataan.

Keyakinan terhadap suatu agama “ Saya adalah Tuhan yang


secara berlebihan, diucapkan bisa menguasai dan
Waham Agama
berulang-ulang tetapi tidak sesuai mengendalikan semua
dengan kenyataan. makhluk”.
Keyakinan seseorang atau “ Saya tahu mereka mau
sekelompok orang yang mau menghancurkan saya,
Waham Curiga merugikan atau mencederai dirinya, karena iri dengan
diucapkan berulang-ulang tetapi kesuksesan saya”.
tidak sesuai dengan kenyataan
Keyakinan seseorang bahwa tubuh “ Saya menderita kanker”.
Waham Somatik
atau sebagian tubuhnya terserang Padahal hasil pemeriksaan
penyakit, diucapkan berulang-ulang lab tidak ada sel kanker
tetapi tidak sesuai dengan pada tubuhnya.
kenyataan.
Keyakinan seseorang bahwa dirinya “ Ini saya berada di alam
sudah meninggal dunia, diucapkan kubur ya, semua yang ada
Waham Nihilistik
berulang-ulang tetapi tidak sesuai disini adalah roh-rohnya.
dengan kenyataan.

d. FASE
Menurut Yosep (2009), proses terjadinya waham meliputi 6 fase, yaitu :
i.Fase Lack of Human Need
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhan-kebutuhan klien baik secara
fisik maupun psikis. Secara fisik klien dengan waham dapat terjadi pada orang-
orang dengan status sosial dan ekonomi sangat terbatas. Biasanya klien sangat
miskin dan menderita. Keinginan ia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
mendorongnya untuk melakukan kompensasi yang salah. Ada juga klien yang
secara sosial dan ekonomi terpenuhi tetapi kesenjangan antara realiti dengan
self ideal sangat tinggi.
ii.Fase Lack of Self Esteem
Tidak adanya pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan antara self
ideal dengan self reality (keyataan dengan harapan) serta dorongan kebutuhan
yang tidak terpenuhi sedangkan standar lingkungan sudah melampaui
kemampuannya.
iii.Fase Control Internal External
Klien mencoba berpikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa-apa yang ia
katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak sesuai dengan
keyataan, tetapi menghadapi keyataan bagi klien adalah suatu yang sangat
berat, karena kebutuhannya untuk diakui, kebutuhan untuk dianggap penting
dan diterima lingkungan menjadi prioritas dalam hidupnya, karena kebutuhan
tersebut belum terpenuhi sejak kecil secara optimal. Lingkungan sekitar klien
mencoba memberikan koreksi bahwa sesuatu yang dikatakan klien itu tidak
benar, tetapi hal ini tidak dilakukan secara adekuat karena besarnya toleransi
dan keinginan menjaga perasaan. Lingkungan hanya menjadi pendengar pasif
tetapi tidak mau konfrontatif berkepanjangan dengan alasan pengakuan klien
tidak merugikan orang lain.
iv.Fase Environment Support
Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungannya
menyebabkan klien merasa didukung, lama kelamaan klien menganggap
sesuatu yang dikatakan tersebut sebagai suatu kebenaran karena seringnya
diulang-ulang. Dari sinilah mulai terjadinya kerusakan
kontrol diri dan tidak berfungsinya norma (super ego) yang ditandai dengan
tidak ada lagi perasaan dosa saat berbohong.
v. Fase Comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta menganggap
bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai dan mendukungnya.
Keyakinan sering disertai halusinasi pada saat klien menyendiri dari
lingkungannya. Selanjutnya klien sering menyendiri dan menghindari interaksi
sosial (isolasi sosial).
vi. Fase Improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap waktu
keyakinan yang salah pada klien akan meningkat. Tema waham yang muncul
sering berkaitan dengan traumatik masa lalu atau kebutuhan-kebutuhan yang
tidak terpenuhi (rantai yang hilang). Waham bersifat menetap dan sulit untuk
dikoreksi. Isi waham dapat menimbulkan ancaman diri dan orang lain.

e. RENTANG RESPON

Respon Adaptif <-----------------------------> Respon Maladaptif

Pikiran Logis Distorsi Pikiran Gangguan Pikiran


1. Persepsi Kuat 1. Ilusi 1. Sulit Berespon
2. Emosi Konsisten 2. Reaksi Emosi 2. Emosi
dengan Pengalaman Berlebihan 3. Perilaku kacau
3. Perilaku Sesuai
4. Berhubungan Sesuai

Rentang respon waham yaitu ada respon adaptif dan ada respon maladaptif :
1. Respon adaptif terdapat pikiran yang logis. Dibagi beberapa bagian :
a. Persepsi Kuat
Dimana apa yang diyakini seseorang tersebut sangatlah kuat dan tidak bisa di
ganggu gugat, serta dapat dibuktikan kebenarannya.
b. Emosi Konsisten
Pengalaman bisa membuat seseorang mengalami atau mempunyai emosi
yang stabil atau tetap.
c. Perilaku sesuai
Perilaku tidak menyimpang dari kenyataan yang ada
d. Berhubungan sesuai
Dalam berhubungan antar teman dan keluarga berbeda, jadi seharusnya dalam
berhubungan kita harus dapat menyesuaikan diri.
2. Dalam rentang respon ada Distorsi pikiran, terdiri dari :
a. Ilusi
Keadaan proses berfikir yang tidak benar tentang mengartikan suatu benda.
b. Reaksi Emosi
Dimana tingkat emosi seseorang meningkat, tidak lagi stabil atau konstan.
3. Rentang respon maladaptif terdapat gangguan pikiran. Terbagi beberapa
masalah :
a. Sulit Berespon
Sesorang yang terganggu pikirannya akan susah sekali untuk diajak
berinteraksi.
b. Emosi
Dalam tingkatan ini emosi seseorang sudah tidak lagi bisa terkontrol, dia
mudah marah, dan mudah tersinggung.
c. Perilaku kacau
Dimana seseorang berprilaku tidak sesuai dengan keadaan, mereka
menunjukan prilaku yang sesuai dengan pola pikir mereka tersebut.
7. MEKANISME KOPING
Menurut Stuart and Laraia (2005), perilaku yang mewakili upaya untuk
melindungi klien dari pengalaman yang menakutkan berhubungan dengan
respon neurobiologis yang maladaptif meliputi :
1) Regresi
Berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk mengatasi
ansietas.
2) Proyeksi
Sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi.
3) Penyangkalan
8. AKIBAT
Akibat dari waham Klien dapat terjadinya resiko mencederai diri, orang lain
dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan suatu tindakan yang
kemungkinan dapat melukai/ membahayakan diri, orang lain dan lingkungan
akibatnya dari harga diri yang rendah disertai harapan yang suram, mungkin
klien akan mengakhiri kehidupannya. ( Budi Anna Keliat, 1999).
9. MASALAH YANG AKAN MUNCUL
Masalah yang akan muncul yaitu:
a. Harga diri rendah
b. Isolasi diri
c. Gangguan identitas diri
d. Resiko perilaku kekerasan
4) A. POHON MASALAH
(EFEK) : Resiko Perilaku Kekerasan

(CP) : Perubahan Proses Pikir: Waham

(CAUSA) : Isolasi Sosial: Menarik Diri

B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI

Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji


Perubahan Proses Pikir: Subyektif:
Waham Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya
tentang agama, kebesaran, kecurigaan, keadaan
dirinya berulang kali secara berlebihan tetapi tidak
sesuai dengan kenyataan
Obyektif:
Klien tampak tidak mempunyai orang lain, curiga,
bermusuhan, merusak (diri orang lain,
lingkungan), takut, kadang panic, sangat waspada,
tidak tepat menilai lingkungan/ realistis, ekspresi
wajah klien tegang, mudah tersinggung
Isolasi Sosial: Menarik Diri Subyektif:
1. Klien mengatakan malas bergaul dengan
orang lain
2. Klien mengatakan dirinya tidak ingin
ditemani perawat dan meminta untuk
sendiri
3. Klien mengatakan tidak mau berbicara
dengan orang lain
4. Tidak mau berkomunikasi
Obyektif:
1. Kurang spontan
2. Apatis
3. Tidak merawat diri sendiri
4. Tida ada atau kurang komunikasi verbal
5. Rendah diri
6. Postur tubuh berubah
7. Kurang berenergi
Resiko Perilaku Kekerasan Subyektif:
1. Klien mengancam
2. Klien mengumpat dengan kata-kata kotor
3. Klien mengatakan dendam dan jengkel
4. Klien mengatakan ingin berkelahi
5. Klien menyalahkan dan menuntut
6. Klien meremehkan
Obyektif:
1. Wajah memerah dan tegang
2. Mata melotot
3. Tangan mengepal
4. Rahang mengatup
5. Postur tubuh kaku
6. Suara keras

5) DIAGNOSA KE PERAWATAN
Perubahan Proses Pikir: Waham

6) RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Tujuan Umum: Klien tidak mencederai diri sendiri
dan orang lain Tujuan Khusus:
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya
b. Klien dapat mengidentifikasi penyebab waham
c. Klien dapat mengidentifikasi tanda dan gejala waham
d. Klien dapat mengidentifikasi waham yang biasa dirasakan
e. Klien dapat mengidentifikasi akibat waham
f. Klien dapat mendemonstrasikan cara fisik untuk mencegah
gangguan identitas diri
7) IMPLEMENTASI

KLIEN KELUARGA
SP 1 SP 1
1. Membantu orientasi realita 1. Membantu orientasi realita
2. Mendiskusikan kebutuhan 2. Mendiskusikan kebutuhan yang tidak
3. yang tidak terpenuhi terpenuhi
4. Membantu klien memenuhi kebutuhannya 3. Membantu klien memenuhi kebutuhannya
5. Menganjurkan klien memasukkan dalam 4. Menganjurkan klien memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian jadwal kegiatan harian

SP 2 SP 2
1. Mejadwal kegiatan harian klien 1. Melatih keluarga mempraktikkan cara
2. Berdiskusi tentang kemampuan yang merawat klien dengan waham
dimiliki 2. Melatih keluarga melakukan cara merawat
3. Melatih kemampuan yang dimiliki langsung kepada klien waham
SP 3 SP 3
1. Melatih keluarga mempraktikkan cara 1. Membantu keluarga membuat jadwal
merawat klien dengan waham aktivitas dirumah termasuk minum obat
2. Melatih keluarga melakukan cara merawat 2. Mendiskusikan sumber rujukan yang bisa
langsung kepada klien waham dijangkau keluarga

Anda mungkin juga menyukai