LP Jiwa 7 Septa Rezita
LP Jiwa 7 Septa Rezita
SURABAYA
Oleh :
1930080
4. Etiologi
Menurut Damaiyanti & Iskandar (2012), faktor yang dapat mempengaruhi
terjadinya perilaku kekerasan antara lain:
a. Faktor Predisposisi
1) Teori Biologis
a) Neurologic factor
Beragam komponen dari sistem syaraf mempunyai peran
mempengaruhi timbulnya perilaku agresif.
b) Genetic factor
Adanya faktor gen yang dirutunkan melalui orang tua menjadi
potensi perilaku agresif.
c) CycardiN Rhytm
Pada jam-jam sibuk, sekitar jam 9 dan 13, orang lebih mudah
terstimulasi untuk bersikap agresif.
d) Biochemistry faktor
Peningkatan hormone androgen dan norepineprin serta penurunan
serotonin dan GABA pada cairan cerebrospinal vertebra dapat
menjadi faktor predisposisi terjadinya perilaku agresif.
e) Brain area disorder
Gangguan pada sistem otak dapat berpengaruh terhadap perilaku
agresif dan tidak kekerasan.
2) Teori Psikologik
a) Teori psikoanalisa
Agresivitas dan kekerasan dapat dipengaruhi oleh riwayat tumbuh
kembang seseorang (life span history). Perilaku agresif merupakan
pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan
rendahnya harga diri.
b) Imitation, modeling, and information precossing theory
Perilaku kekerasan bisa berkembang dalam lingkungan yang
mentolelir kekerasan.
c) Learning theory
Perilaku kekerasan merupakan hasil belajar individu terhadap
lingkungan terdekatnya.
b. Faktor Presipitasi
1) Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas
seperti dalam sebuah konser, dan sebagainya.
2) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
3) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melalukan
kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
4) Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi.
5) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan atau perubahan tahap perkembangan
keluarga.
5. Proses Terjadinya Amuk
Amuk merupakan respons kemarahan yang paling maladaptif yang
ditandai dengan perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai hilangnya
kontrol, yang individu dapat merusak diri sendiri, orang lain, atau lingkungan.
Amuk adalah respons marah terhadap adanya stress, rasa cemas, harga diri
rendah, rasa bersalah, putus asa dan ketidakberdayaan (Yusuf, Fitriyasari &
Nihayati, 2015).
Resopn marah dapat diekspresikan secara internal atau eksternal. Secara
internal dapat berupa perilaku tidak asertif dan merusak diri, sedangkan secara
eksternal dapat berupa perilaku destruktir agresif. Respons marah dapat
diungkapkan melalui tiga cara yaitu (1) menungkapkan secara verbal, (2)
menekan, dan (3) menantang (Yusuf, Fitriyasari & Nihayati, 2015).
Mengekspresikan rasan marah dengan perilaku konstruktif dengan
menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti
orang lain akan memberikan kelegaan pada individu. Apabila perasaan marah
diekspresikan dengan perilaku agresif dan menentang, biasanya dilakukan
karena ia merasa kuat. Cara ini menimbulkan masalah yang berkepanjangan
dan dapat menimbulkan tingkah laku yang destruktif dan amuk (Yusuf,
Fitriyasari & Nihayati, 2015).
6. Tanda dan Gejala
Menurut Damaiyanti & Iskandar (2012), tanda dan gejala perilaku kekerasan,
antara lain:
a. Muka merah dan tegang;
b. Mata melotot / pandangan tajam;
c. Tangan mengepal;
d. Rahang mengatup;
e. Wajah memerah dan tegang;
f. Postur tubuh kaku;
g. Pandangan tajam;
h. Mengatupkan rahang dengan kuat;
i. Mengepalkan tangan;
j. Jalan mondar-mandir.
Tabel 1.1 Rencana Keperawatan Perilaku Kekerasan (Damaiyanti & Iskandar, 2012)
KLIEN KELUARGA
SP1P SP2K
1. Mengidentifikasi penyebab PK 1. Mendiskusikan masalah yang
2. Mengidentifikasi tand gejala PK dirasaka keluarga dalam merawat
3. Mengidentifikasi PK yang dilkukan klien
4. Menidentifikasi akibat PK 2. Menjelaskan pengertian PK, tanda
5. Menyebutkan cara mengontrol PK gejala serta proses tejadinya PK
6. Membantu klien mempraktikkan latihan 3. Menjelaskan cara merawat klien
cara mengontrol PK dengan PK
7. Mengnjurkan klien memasukkan dalam
kegiatan harian
SP2P SP2K
1. Menevaluasi jadwal kegiatan harian 1. Melatih keluarga mempraktikkan
klien cara merawat klien dengan PK
2. Melatih klien mengontrol PK dengan 2. Melatih keluarga melakukan cara
cara fisik II merawat langsung kepada klien PK
3. Menganjurkan klien memasukkan
dalam kegiatan harian
SP3P SP3K
1. Menevaluasi jadwal kegiatan harian 1. Membantu keluarga membuat
klien jadwal aktivitas di rumah termasuk
2. Melatih klien mengontrol PK dengan minum obat
cara verbal 2. Menjelaskan follow up klien setelah
3. Menganjurkan klien memasukkan pulang
dalam jadwal kegiatan harian
SP4P
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian
klien
2. Melatih klien mengontrol PK dengan
cara spiritual
3. Menganjurkan klien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian
SP5P
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian
klien
2. Menjelaskan cara mengontrol PK
dengan minum obat
3. Menganjurkan klien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian
DAFTAR PUSTAKA
Azizah, L. M., Imam, Z. & Amar, A. 2016. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa
Teori dan Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta; Indomedia Pustaka
Damaiyanti, M. & Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT. Refika
Aditama.
Yusuf, Fitriyasari & Nihayati. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
2) Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri.
3) Kemampuan realitas turun
Klien gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang
menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan.
4) Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan diri lingkungannya.
Siatuasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam
perawatan diri.
b. Faktor presipitasi
Meliputi penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perseptual, cemas,
lelah/lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang
mampu melakukan perawatan diri.
3. Proses Terjadinya Defisit Perawatan Diri
Kurangnya perawatan diri pada klien dengan gangguan jiwa terjadi akibat
adanya perubahan proses pikir sehingga kemampuan untuk melakukan
aktivitas perawatan diri menurun. Kurang perawatan diri tampak dari
ketidakmampuan merawat kebersihan diri, makan secara mandiri, berhias
secara mandiri, dan toileting secara mandiri (Yusuf, Fitriyasari & Nihayati,
2015).
4. Tanda dan Gejala
Menurut Damaiyanti & Iskandar, tanda dan gejala klien dengan defisit
perawatan diri diantaranya:
a. Fisik
1) Badan bau, pakaian kotor;
2) Rambut dan kulit kotor;
3) Kuku panjang dan kotor;
4) Gigi kotor disertai mulut bau;
5) Penampilan tidak rapi.
b. Psikologis
1) Malas, tidak ada inisiatif;
2) Menarik diri, isolasi diri;
3) Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina.
c. Sosial
1) Interaksi kurang;
2) Kegiatan kurang;
3) Tidak mampu berperilaku sesuai normal;
4) Cara makan tidak teratur, BAK dan BAB di sembarang tempat, gosok
gigi dan mandi tidak mampu mandiri.
Tabel 1.1 Rencana Keperawatan Defisit Perawatan Diri (Damaiyanti & Iskandar,
2012)
KLIEN KELUARGA
SP1P SP1K
1. Mengidentifikasi penyebab defisit 1. Mendiskusikan masalah yang
perawatan diri klien dirasakan keluarga dalam merawat
2. Berdiskusi dengan klien tentang
klien
pentingnya kebersihan diri
3. Berdiskusi dengan klien tentang cara 2. Menjelaskan pengertian, tanda dan
menjaga kebersihan diri gejala defisit perawatan diri, dan jenis
4. Menganjurkan klien memasukkan dalam
defisit perawatan diri yang dialami
jadwal kegiatan harian
klien beserta proses terjadinya
3. Menjelaskan cara-cara merawat klien
defisit perawatan diri
SP2P SP2K
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Melatih keluarga mempraktekkan cara
2. Menjelaskan cara mandi yang baik merawat klien dengan defisit
3. Membantu klien mempraktekkan cara
perawatan diri
mandi yang baik
4. Menganjurkan klien memasukkan dalam 2. Melatih keluarga melakukan cara
jadwal kegiatan harian merawat langsung kepada klien defisit
perawatan diri
SP3P SP3K
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Membantu keluarga membuat jadual
2. Menjelaskan cara eliminasi yang baik aktivitas di rumah termasuk minum
3. Membantu klien mempraktekkan cara
obat (discharge planning)
eliminasi yang baik dan memasukkan
dalam jadual 2. Menjelaskan follow up klien setelah
4. Menganjurkan klien memasukkan dalam pulang
jadwal kegiatan harian
SP4P
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
2. Menjelaskan cara berdandan
3. Membantu klien mempraktekkan cara
berdandan
4. Menganjurkan klien memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian
DAFTAR PUSTAKA
Azizah, L. M., Imam, Z. & Amar, A. 2016. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa
Teori dan Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta; Indomedia Pustaka
Damaiyanti, M. & Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT. Refika
Aditama.
Yusuf, Fitriyasari & Nihayati. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
6. Tahapan Halusinasi
Tabel 1.2 Tahapan Halusinasi (Damaiyanti & Iskandar, 2012)
Tahapan Halusinasi Karakteristik
Stage I : Sleep disorder Klien merasa banyak masalah, ingin
Fase awal seseorang menghindari dari lingkungan, takut diketahui
sebelum muncul orang lain bahwa dirinya banyak masalah.
halusinasi Masalah makin terasa sulit karena berbagai
stressor terakumulasi sedangkan support
sistem kurang dan persepsi terhadap masalah
sangat buruk. Sulit tidur berlangsung terus-
Tahapan Halusinasi Karakteristik
menerus sehingga terbiasa menghayal. Klien
menganggap lamunan-lamunan awal tersebut
sebagai pemecahan masalah.
Stage II : Comforting Klien mengalami emosi yang berlanjut seperti
Halusinasi secara umum adanya perasaan cemas, kesepian, perasaan
ia terima sebagai sesuatu berdosa, ketakutan dan mencoba memusatkan
yang alami. pemikiran pada timbulnya kecemasan.
Sensorinya dapat di kontrol bila
kecemasannya diatur, dalam tahap ini ada
kecenderungan klien merasa nyaman dengan
halusinasinya.
Stage III : Condemning Pengalaman sensori klien menjadi sering
Secara umum halusinasi datang dan mengalami bias. Klien mulai
sering mendatangi klien. merasa tidak mampu lagi mengontrolnya dan
mulai berupaya menjaga jarak antara dirinya
dengan objek yang dipersepsikan klien mulai
menarik diri dari orang lain, dengan intensitas
waktu yang lama.
Stage IV : Controlling Klien mencoba melawan suara-suara atau
Severe Level of Anxiety sensori abnormal yang datang. Klien dapat
Fungsi sensoti menjadi merasakan kesepian bila halusinasinya
tidak relevan dengan berakhir. Dari sinilah dimulai fase gangguan
kenyataan. psikotik.
DAFTAR PUSTAKA
Azizah, L. M., Imam, Z. & Amar, A. 2016. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa
Teori dan Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta; Indomedia Pustaka
Damaiyanti, M. & Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT. Refika
Aditama.
Yusuf, Fitriyasari & Nihayati. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN JIWA
4. Rentang Respon
Berikut ini akan dijelaskan tentang respons yang terjadi pada isolasi sosial.
A. Respons Adaptif
Respon adaptif adalah respon yang masih dapat diterima oleh norma-norma sosial
dan kebudayaan secara umum yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut
masih dalam batas normal ketika menyelesaikan masalah. Berikut ini adalah sikap
yang termasuk respons adaptif.
a. Menyendiri, respons yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan
apa yang telah terjadi di lingkungan sosialnya.
b. Otonomi, kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan
ide, pikiran, dan perasaan dalam hubungan sosial.
c. Bekerja sama, kemampuan individu yang saling membutuhkan satu sama
lain.
d. Interdependen, saling ketergantungan antara individu dengan orang lain
dalam membina hubungan interpersonal.
B. Respons maladaptif
Respons maladaptif adalah respon yang menyimpang dari norma sosial dan
kehidupan disuatu tempat. Berikut ini adalah perlaku yang termasuk respons
maladaptif.
a. Menarik diri, seseorang yang mengalami kesulitan dalam membina
hubungan secara terbuka dengan orang lain.
b. Ketergantungan, sesorang gagal mengembangkan rasa percaya diri
sehingga tergantung dengan orang lain.
c. Manipulasi, seseorang yang mengganggu orang lain sebagai objek
individu sehingga tidak dapat membina hubungan sosial secara
medalam.
d. Curiga, seseorang gagal mengembangkan rasa percaya terhadap orang
lain.
III. POHON MASALAH DAN DATA YANG PERLU DIKAJI
Risiko Perubanhan Persepsi Sensori : Halusinasi
↑
Isolasi Sosoal
↑
Harga Diri Rendah Kronis
DAFTAR PUSTAKA
Keliat, Budi Anna. 2010. Kumpulan Proses Keperawatan Masalah Jiwa.
Jakarta : FIK, Universitas Indonesia
b) Identitas negatif.
Asumsi identitas yang tidak wajarr untuk dapat diterima oleh
nilai-nilai harapan masyarakat.
3) Mekanisme pertahan ego
a) Fantasi.
b) Disosiasi.
c) Isolasi.
d) Proyeksi.
e) Displacement.
f) Marah/amuk pada diri sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Azizah, L. M., Imam, Z. & Amar, A. 2016. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan
Jiwa Teori dan Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta; Indomedia Pustaka
Damaiyanti, M. & Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT.
Refika Aditama.
Yusuf, Fitriyasari & Nihayati. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
d. Mekanisme koping
Mekanisme koping yang mungkin digunakan sehubungan dengan
perilaku bunuh diri, meliputi denial, rasionalization, regression, dan
magical thinking.
4. Proses Terjadinya Bunuh Diri
Setiap upaya percobaan bunuh diri selalu diawali dengan adanya
motivasi untuk bunuh diri dengan berbagai alasan, berniat melaksanakan
bunuh diri, mengembangkan gagasan sampai akhirnya melakukan bunuh
diri. Oleh karena itu, adanya percobaan bunuh diri merupakan masalah
keperawatan yang harus mendapatkan perhatian serius.
5. Tanda dan Gejala
Menurut Damaiyanti & Iskandar (2012), tanda dan gejala seseorang
dengan risiko bunuh diri, yakni:
a. Mempunyai ide untuk bunuh diri.
b. Mengungkapkan keinginan untuk mati.
c. Mengungkapkan rasa bersalah atau keputusasaan.
d. Impulsive.
e. Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya sangat patuh).
f. Memiliki riwayat percobaan bunuh diri.
g. Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan tentang
obat dosis mematikan).
h. Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panik,
marah, dan mengasingkan diri).
i. Kesehatan mental (secara klinis, klien terlihat sebagai orang yang
depresi, psikosis dan menyalahgunakan alkohol).
j. Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyakit kronik atau
terminal).
k. Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau mengalami
kegagalan dalam karir).
l. Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan).
m. Usia 15-19 tahun atau di atas 45 tahun.
n. Konflik interpersonal.
o. Pekerjaan.
p. Latar belakang keluarga.
q. Orientasi seksual.
r. Sumber-sumber personal.
s. Sumber-sumber sosial.
t. Menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil.
6. Jenis
Menurut Yusuf, Fitriyasari, & Nihayati (2015), bunuh diri dibagi
menjadi tiga jenis, yaitu :
1. Bunuh diri egoistik
Akibat seseorang yang mempunyai hubungan sosial yang buruk.
2. Bunuh diri altruistik
Akibat kepatuhan pada adat dan kebiasaan.
3. Bunuh diri anomik
Akibat lingkungan tidak dapat memberikan kenyamanan bagi individu.
III. A. POHON MASALAH
(effect) Bunuh diri Resiko Perilaku Kekerasan
↑
(core problem) Resiko bunuh diri
↑
(causa) Harga diri rendah → isolasi sosial → halusinasi → waham
↑
Koping keluarga&individu tidak efektif
Tabel 1.1 Faktor Risiko Bunuh Diri Menurut Stuart dan Sundeen (Yusuf,
Fitriyasari & Nihayati, 2015).
Faktor Risiko Tinggi Risiko Rendah
Umur > 45 tahun atau remaja 25-45 tahun atau < 12
tahun
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan
Status perkawinan Cerai, pisah, janda/duda Kawin
Jabatan Profesional Pekerja kasar
Pekerjaan Pengangguran Pekerja
Penyakit kronis Kronik, terminal Tidak ada yang serius
Gangguan mental Depresi, halusinasi Gangguan kepribadian
SP3P SP3K
1. Mengidentivikasi pola koping yang 1. Membantu keliarga membuat jadwal
biasa diterapkan klien aktivitas dirumah termasuk minum
2. Menilai pola koping yang biasa obat
dilakukan 2. Mendiskusikan sumber rujukan yang
3. Mengidentifikasi pola koping yang biasa dijangkau oleh keluarga
konstruktif
4. Mendorong klien memilih pola
koping yang konstruktif
5. Menganjurkan klien menerapkan
pola koping konstruktif dalam
kegiatan harian
SP4P
1. Membuat rencana masa depan
yang realistis bersama klien
2. Mengidentifikasi cara mencapai
rencana masa depan yang realistis
3. Memberi dorongan klien
melakukan kegiatan dalam rangka
meraih masa depan yang realistis
DAFTAR PUSTAKA
Azizah, L. M., Imam, Z. & Amar, A. 2016. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan
Jiwa Teori dan Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta; Indomedia Pustaka
Yusuf, Fitriyasari & Nihayati. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA “WAHAM”
DI RSJ MENUR SURABAYA
d. FASE
Menurut Yosep (2009), proses terjadinya waham meliputi 6 fase, yaitu :
i.Fase Lack of Human Need
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhan-kebutuhan klien baik secara
fisik maupun psikis. Secara fisik klien dengan waham dapat terjadi pada orang-
orang dengan status sosial dan ekonomi sangat terbatas. Biasanya klien sangat
miskin dan menderita. Keinginan ia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
mendorongnya untuk melakukan kompensasi yang salah. Ada juga klien yang
secara sosial dan ekonomi terpenuhi tetapi kesenjangan antara realiti dengan
self ideal sangat tinggi.
ii.Fase Lack of Self Esteem
Tidak adanya pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan antara self
ideal dengan self reality (keyataan dengan harapan) serta dorongan kebutuhan
yang tidak terpenuhi sedangkan standar lingkungan sudah melampaui
kemampuannya.
iii.Fase Control Internal External
Klien mencoba berpikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa-apa yang ia
katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak sesuai dengan
keyataan, tetapi menghadapi keyataan bagi klien adalah suatu yang sangat
berat, karena kebutuhannya untuk diakui, kebutuhan untuk dianggap penting
dan diterima lingkungan menjadi prioritas dalam hidupnya, karena kebutuhan
tersebut belum terpenuhi sejak kecil secara optimal. Lingkungan sekitar klien
mencoba memberikan koreksi bahwa sesuatu yang dikatakan klien itu tidak
benar, tetapi hal ini tidak dilakukan secara adekuat karena besarnya toleransi
dan keinginan menjaga perasaan. Lingkungan hanya menjadi pendengar pasif
tetapi tidak mau konfrontatif berkepanjangan dengan alasan pengakuan klien
tidak merugikan orang lain.
iv.Fase Environment Support
Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungannya
menyebabkan klien merasa didukung, lama kelamaan klien menganggap
sesuatu yang dikatakan tersebut sebagai suatu kebenaran karena seringnya
diulang-ulang. Dari sinilah mulai terjadinya kerusakan
kontrol diri dan tidak berfungsinya norma (super ego) yang ditandai dengan
tidak ada lagi perasaan dosa saat berbohong.
v. Fase Comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta menganggap
bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai dan mendukungnya.
Keyakinan sering disertai halusinasi pada saat klien menyendiri dari
lingkungannya. Selanjutnya klien sering menyendiri dan menghindari interaksi
sosial (isolasi sosial).
vi. Fase Improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap waktu
keyakinan yang salah pada klien akan meningkat. Tema waham yang muncul
sering berkaitan dengan traumatik masa lalu atau kebutuhan-kebutuhan yang
tidak terpenuhi (rantai yang hilang). Waham bersifat menetap dan sulit untuk
dikoreksi. Isi waham dapat menimbulkan ancaman diri dan orang lain.
e. RENTANG RESPON
Rentang respon waham yaitu ada respon adaptif dan ada respon maladaptif :
1. Respon adaptif terdapat pikiran yang logis. Dibagi beberapa bagian :
a. Persepsi Kuat
Dimana apa yang diyakini seseorang tersebut sangatlah kuat dan tidak bisa di
ganggu gugat, serta dapat dibuktikan kebenarannya.
b. Emosi Konsisten
Pengalaman bisa membuat seseorang mengalami atau mempunyai emosi
yang stabil atau tetap.
c. Perilaku sesuai
Perilaku tidak menyimpang dari kenyataan yang ada
d. Berhubungan sesuai
Dalam berhubungan antar teman dan keluarga berbeda, jadi seharusnya dalam
berhubungan kita harus dapat menyesuaikan diri.
2. Dalam rentang respon ada Distorsi pikiran, terdiri dari :
a. Ilusi
Keadaan proses berfikir yang tidak benar tentang mengartikan suatu benda.
b. Reaksi Emosi
Dimana tingkat emosi seseorang meningkat, tidak lagi stabil atau konstan.
3. Rentang respon maladaptif terdapat gangguan pikiran. Terbagi beberapa
masalah :
a. Sulit Berespon
Sesorang yang terganggu pikirannya akan susah sekali untuk diajak
berinteraksi.
b. Emosi
Dalam tingkatan ini emosi seseorang sudah tidak lagi bisa terkontrol, dia
mudah marah, dan mudah tersinggung.
c. Perilaku kacau
Dimana seseorang berprilaku tidak sesuai dengan keadaan, mereka
menunjukan prilaku yang sesuai dengan pola pikir mereka tersebut.
7. MEKANISME KOPING
Menurut Stuart and Laraia (2005), perilaku yang mewakili upaya untuk
melindungi klien dari pengalaman yang menakutkan berhubungan dengan
respon neurobiologis yang maladaptif meliputi :
1) Regresi
Berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk mengatasi
ansietas.
2) Proyeksi
Sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi.
3) Penyangkalan
8. AKIBAT
Akibat dari waham Klien dapat terjadinya resiko mencederai diri, orang lain
dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan suatu tindakan yang
kemungkinan dapat melukai/ membahayakan diri, orang lain dan lingkungan
akibatnya dari harga diri yang rendah disertai harapan yang suram, mungkin
klien akan mengakhiri kehidupannya. ( Budi Anna Keliat, 1999).
9. MASALAH YANG AKAN MUNCUL
Masalah yang akan muncul yaitu:
a. Harga diri rendah
b. Isolasi diri
c. Gangguan identitas diri
d. Resiko perilaku kekerasan
4) A. POHON MASALAH
(EFEK) : Resiko Perilaku Kekerasan
5) DIAGNOSA KE PERAWATAN
Perubahan Proses Pikir: Waham
KLIEN KELUARGA
SP 1 SP 1
1. Membantu orientasi realita 1. Membantu orientasi realita
2. Mendiskusikan kebutuhan 2. Mendiskusikan kebutuhan yang tidak
3. yang tidak terpenuhi terpenuhi
4. Membantu klien memenuhi kebutuhannya 3. Membantu klien memenuhi kebutuhannya
5. Menganjurkan klien memasukkan dalam 4. Menganjurkan klien memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian jadwal kegiatan harian
SP 2 SP 2
1. Mejadwal kegiatan harian klien 1. Melatih keluarga mempraktikkan cara
2. Berdiskusi tentang kemampuan yang merawat klien dengan waham
dimiliki 2. Melatih keluarga melakukan cara merawat
3. Melatih kemampuan yang dimiliki langsung kepada klien waham
SP 3 SP 3
1. Melatih keluarga mempraktikkan cara 1. Membantu keluarga membuat jadwal
merawat klien dengan waham aktivitas dirumah termasuk minum obat
2. Melatih keluarga melakukan cara merawat 2. Mendiskusikan sumber rujukan yang bisa
langsung kepada klien waham dijangkau keluarga