Anda di halaman 1dari 4

Sebuah Kisah Dari Patung

Oleh Zahra Faiza Inayah

Tidak ada yang lebih disukai Amel selain udara cerah Jakarta. Langit biru, awan putih serta
semilir angin yang membawa kesejukan. Semua itu membuat suasana hatinya lebih baik. Tapi,
tidak dengan Angga. Teman satu jurusannya yang kini duduk di sampingnya. Jadwal kuliah
mereka hari ini sudah selesai. Jadi, yang mereka lakukan hanyalah duduk santai di bawah
pepohonan rimbun. Tidak ada kata yang terucap di antara mereka. Amel sedang menikmati
indahnya cuaca, sedangkan Angga terus-terusan menghela nafasnya. Amel yang dari tadi
berusaha tidak peduli, akhirnya habis sudah kesabarannya. Amel menepuk pundak temannya itu
keras-keras. “Kamu itu kenapa, sih? Bikin orang lain badmood aja,” tanya Amel kesal. Angga
menoleh pelan ke arah Amel. Raut wajahnya memancarkan kesedihan. Hawa bersalah mengalir
ke hati Amel. Kini perkataannya berubah menjadi lembut : “Kalau ada masalah, lebih baik kamu
cerita, deh.”

Perkataan Amel tidak langsung dijawab Angga. Angga menghela nafas sekali lagi. Jauh
lebih panjang dari helaan nafasnya yang sudah-sudah. Kemudian dia menjawab pertanyaan Amel
yang sebelumnya, “Aku kangen rumah, Mel. Aku kangen ibuku.”

Amel terkejut melihat sikap jujur temannya. Jarang ada laki-laki yang mau mengakui
perasaan rindu ke ibunya. “Oh, kamu home sick ?” ujar Amel menanggapi, yang kemudian
disusul dengan anggukan Angga. Amel diam sejenak. Wajahnya terlihat sedang memikirkan
sesuatu. Dia ingin menghibur Angga yang sedang merindukan kampung halamannya. Tapi, dia
bingung. Amel merupakan anak yang lahir dan tinggal di Jakarta. Dia belum pernah mengalami
apa yang disebut sebagai perantauan. Berbeda dengan Angga yang datang dari Bukit Tinggi.
Angga datang jauh-jauh ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikannya. Angga berusaha
mendapatkan gelar sarjana pendidikan matematika untuk bekalnya di dunia kerja nanti.

Otak Amel yang dari tadi sibuk mencari cara untuk menghibur Angga, kini berhenti
berusaha. Sebuah ide muncul di otaknya. Amel memanggil Angga bersemangat. Dia bercerita
tentang idenya : “Ngga, gimana kalau kita jalan aja hari ini? Biar kamu nggak sumpek,” tawar
Amel.

Angga awalnya menolak karena malas. Tapi, akhirnya dia setuju sebab Amel terus
memaksa. “Tapi, kamu antar aku ke rumah dulu, ya. Aku mau ganti baju,” pinta Amel. Angga
masih mengangguk untuk permintaan Amel yang satu ini. “Kalau gitu, ayo, pergi sekarang.”

###

Rumah Amel terletak di daerah Jakarta Pusat. Melewati sebuah patung ikonik di Jakarta.
Patung itu biasa dikenal Tugu Tani. Meskipun sebenarnya patung tersebut bernama patung
pahlawan.

“Kamu tahu arti sebenarnya dari Tugu Tani, nggak, Ngga?” tanya Amel ketika melintasi
patung tersebut. Mereka mengendarai motor ke rumah Amel. Ketika ditanya pertanyaan tersebut,
mata Angga melirik patung tersebut. Sebuah patung yang terdiri dari seorang wanita tua dan laki-
laki. Angga tidak tahu apa arti dari patung itu, jadi dia menggeleng.

Amel yang melihat gelengan kepala tersebut langsung mengerti maksudnya. “Patung itu
buatan Matvey Manizer, seorang pematung asal Uni Soviet. Beliau diminta Presiden Soekarno
untuk membuat karyanya di Indonesia. Sebuah karya yang diilhami dari keadaan bangsa,” jelas
Amel.

Angga yang mendengarkan perkataan Amel mengangguk paham. Kemudian dia


mengajukan sebuah pertanyaan, “Terus arti dari patung itu sendiri?”

“Sabar. Aku masih menjelaskan,” omel Amel yang menganggap Angga tidak sabaran.
“Dua orang di patung itu menggambarkan seorang ibu yang melepas kepergian anaknya untuk
maju ke medan perang. Medan perang untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sang ibu
tetap rela, lho, meskipun taruhannya adalah kehilangan nyawa anaknya,” jelas Amel panjang.
Matanya berbinar kagum membayangkan perasaan wanita tua yang merelakan anaknya pergi.

“Sang Ibu membawakan bekal makanan ke Anaknya. Juga harapan. Dengan begitu, sang
Anak dapat berjuang dengan tenang hati. Berjuang untuk mendapatkan kemerdekaan bagi
Indonesia. Bagi dirinya. Bagi Ibu tercintanya,” lanjut Amel. Angga masih diam. Dia merasa
bahwa patung itu seperti dirinya. Meskipun konteksnya berbeda, tapi rasanya tetap sama.

“Dan, menurutku, Ngga. Patung itu sama sepertimu,” ujar Amel. Angga tersentak. Dia
merasa Amel mampu menebak apa yang baru saja dia pikirkan. “Kamu dan Sang Anak sama-
sama pergi menuju medan perang. Dalam kasusmu, kamu pergi ke Jakarta untuk menuntut ilmu.
Itulah medan perangmu. Ibumu juga pasti merelakanmu untuk belajar di sini. Kamu membawa
harapannya,” ucap Amel lembut.

Angga merasa semua yang diucapkan Amel itu benar. Dia sadar bahwa dia memikul
tanggung jawab untuk mewujudkan harapan ibunya. Harapan untuk menjadi pribadi yang
bermanfaat bagi bangsa dan negaranya. Tidak ada waktu merasakan homesick. Angga menarik
nafas dalam-dalam. Membulatkan tekadnya untuk maju. Demi dirinya. Demi ibunya. Demi
bangsa dan negaranya.

“Mel, kita nggak usah jalan, ya,” ucap Angga ketika sampai di dekat kediaman gadis yang
duduk di bangku boncengannya.

“Eh? Kenapa?” tanya Amel bingung.

“Kita ngerjain tugas aja mendingan. Punyaku baru setengah jalan,” jawab Angga dengan
usulan cemerlangnya.

Amel memutar bola matanya. Tidak bisa menolak, dia hanya menyetujuinya.

###
Biodata Penulis

Zahra Faiza Inayah merupakan siswi dari SMAN 103 Jakarta. Zahra lahir pada 26
September 2002. Zahra memiliki hobi menulis, dan membaca. Dia tinggal di rumah bertiga
bersama ayah dan ibunya. Zahra memiliki seorang kakak perempuan yang sedang menuntut ilmu
di Bogor.

Alamat Surat : Jl. Wijaya Kusuma II rt.12/003, Kavling Nahrawi, Ujung Menteng,

Cakung, Jakarta Timur.

Nomor HP : 0895364313422

Anda mungkin juga menyukai