Anda di halaman 1dari 3

.

Fakta sejarah tersebut disampaikan oleh Ki Setyo Oetomo Darmadi, adik pahlawan PETA Soepriyadi, di
Blok A, Jakarta, Ahad, 7 November 2010. Menurut  mantan anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan
Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang akrab dipanggil Ki Darmadi, Bung Karno menemui
Kiai Haji Hasyim Asy’ari ditemani oleh Residen Jawa Timur Soedirman, ayah Kandung Mantan Gubernur
Jawa Timur Basofi Soedirman. Dalam pertemuan bersejarah di Pondok Pesantren Tebu Ireng itu, kedua
pemimpin membahas situasi politik terkait kedatangan Pasukan Sekutu dibawa Komando Inggris, yang
membawa serta penjajah Belanda.  “Kiai, dipundi (despundi, bhs Jawa: bagaimana: RED.), bahasa Bung
Karno,  Inggris datang niku(itu: Jawa), gimana umat Islam menyikapinya? “ tanya Presiden Soekarno
kepada Rois Akbar NU, yang akrab dengan panggilan Mbah Hasyim. Mendapat pertanyaan atas sikapnya
dengan kedatangan pasukan Sekutu, yang berdalih mengambil alih kekuasaan dari Jepang, namun
sebenarnya menafikan Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945, Mbah Hasyim pun menjawab
dengan tegas.  “Lho Bung, umat Islam jihad fisabilillah (berjuang di jalan Allah: RED.) untuk NKRI, ini
Perintah Perang !” kata Rois Akbar Nahdlatul Ulama Hadratush Syaikh Kiai Haji Hasyim Asy’ari,
menjawab pertanyaan, sekaligus permintaan bantuan dari Presiden Soekarno dalam menghadapi
ancaman pasukan Sekutu. Pasukan AFNEI mulai mendarat di Jakarta pada Tanggal 29 September 1945
dibawa pimpinan Letnan Jenderal Sir Philip Christison. AFNEI berkekuatan 3 divisi: Divisi ke-23 dibawa
Komando Mayor Jenderal D.C Hawthorn, menguasai daerah Jawa Barat; Divisi ke-5 dibawa Komando
Mayor Jenderal E.C.Mansergh, menguasai daerah Jawa Timur; dan Divisi ke-26 dibawah Komando
Mayor Jenderal H.M. Chambers, menguasai daerah Sumatera. Adapun Brigade ke-49 dibawa pimpinan
Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby yang mendarat di Surabaya merupakan bagian Divisi ke-23 pimpinan
Mayjen D.C Hawthorn.  Ketiga divisi itu bertugas mengambil alih kekuasaan Indonesia dari Jepang, yang
berarti tidak mengakui Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Menurut Ki Darmadi, seruan jihad melawan
pasukan sekutu yang dikeluarkan Kiai Haji Hasyim Asy’ari itulah yang dikenal sebagai Resolusi Jihad.  
“Lalu Kiai Hasyim Asy’ari meminta Bung Tomo supaya teriak Allahu Akbar untuk menggerakkan para
pemuda. Jasa utama Bung Tomo itu karena diperintah Kiai Haji Hasyim Asy’ari jadi orator perang,”
ungkap Ki Darmadi terkait ihwal munculnya pekik Allahu Akbar yang dikumandangkan Bung Tomo
melaui radio-radio. Terkait pertanyaan kenapa Bung Karno menemui Mbah Hasyim Asy’ari, adik
Pahlawan Nasional Soepriyadi, yang lahir di Kediri  pada 17 Maret 1930 silam ini menjawab, “Tujuannya
supaya Kiai Hasyim Asy’ari yang memiliki pengaruh besar di kalangan umat Islam itu menggerakkan
jihad. Lalu ada yang hendak mengenyampingkan, kenapa Bung Karno tidak ke BKR (TKR: RED)? Saya
punya jawaban. Karena jauh sebelum itu, saat pasukan PETA terbentuk, semua komandan batalyonnya
itu ulama. Dan yang punya pengaruh besar terhadap para ulama, dan santri itu kan Kiai Haji Hasyim
Asy’ari,” terang Ki Darmadi. Di antara para ulama yang memegang kendali komando terhadap pasukan
PETA, salah satu cikal bakal BKR itu, adalah Panglima Divisi Suropati , Kiai Imam Sujai, Divisi Ranggalawe
dengan Panglimanya Jatikusumo, wakilnya adalah Soedirman, ayah kandung Basofi Soedirman, mantan
gubernur Jawa Timur. Termasuk di Jawa Barat, komandan resimennya seorang ulama yang berjuluk
Singa Bekasi, Kiai Haji Noor Ali.   “Jadi pilihan Bung Karno menemui Kiai Hasyim Asy’ari itu sudah tepat,
karena yang bisa menggerakkan umat Islam ya, Kiai Haji Hasyim Asy’ari. Terbukti sebelum Inggris masuk
seluruh komandan batalyon PETA itu ulama,” tandas Ki Darmadi. Presiden Soekarno memang datang ke
orang yang tepat, lanjut Ki Darmadi, dampak perangnya pun luar biasa, seperti digambarkan dalam buku
berjudul : Api Neraka di Surabaya. “Pertempuran di Surabaya itu bagaikan neraka bagi pasukan Sekutu.
Orang bisa mati-matian berperang, itu karena perintah jihad tadi,” terang Ki Darmadi. Pelaku dan saksi
sejarah lainnya, yaitu Tokoh dan sesepuh Nahdlatul Ulama (NU) Kiai Haji Muchit Muzadi beberapa tahun
lalu mengatakan, Hari Pahlawan 10 November itu tak bisa dilepaskan dengan Resolusi Jihad NU, yang
dicetuskan para ulama di Bubutan, Surabaya pada 22 Oktober 1945. “Proklamasi yang diucapkan Bung
Karno dan Bung Hatta merupakan tantangan kepada tentara Sekutu yang saat itu berkuasa setelah
Jepang menyerah,” kata Kiai yang akrab dipanggil dengan Mbah Muchit ini.  Pernyataan salah seorang
santri Hadratus Syaikh Kiai Haji Hasyim Asy’ari ini kian menegaskan, bahwa Deklarasi Resolusi Jihad 21-
22 Oktober 1945 merupakan kelanjutan dari hasil pertemuan Bung Karno dengan Mbah Hasyim.  Segera
setelah itu, ribuan kiai dan santri bergerak ke Surabaya. Pada Tanggal 28 Oktober 1945, pasukan sekutu
dibawa Brigadir Jenderal Mallaby mengambil alih lapangan udara Morokrembangan, dan beberapa
gedung penting kantora jawatan kereta api, pusat telepon dan telegraf, termasuk Rumah Sakit Darmo.
Pertempuran besar tak terhindarkan antara 6 ribu pasukan Inggris dengan 120 ribu pemuda Indonesia
yang terdiri dari para santri, dan tentara. Akibat kalah jumlah  Mallaby meminta bantuan Hawthorn agar
pihak Indonesia menghentikan pertempuran. Hawthorn pun meminta Soekarno agar mau membujuk
panglima-panglimanya di Surabaya menghentikan pertempuran. Terjepit pasukan sekutu itu
digambarkan dalam buku Donnison “The Fighting Cock” sebagai “Narrowly escape complete
destraction” alias hampir musnah seluruhnya”, kalau tidak dihentikan Soekarno – Hatta dan Amir
Syarifuddin. Karena tidak mau belajar, dari kekalahan pertama, Brigjen Mallaby pun tewas dalam
pertempuran berikutnya. Panglima AFNEI Letjen Philip Sir Christison pun mengirim pasukan Divisi ke-5
dibawa Komando Mayor Jenderal E.C.Mansergh, jenderal yang terkenal karena kemenangannya dalam
Perang Dunia II di Afrika saat melawan Jenderal Rommel, jenderal legendaris tentara Nazi Jerman.
Mansergh membawa 15 ribu tentara, dibantu 6 ribu personel brigade 45 The Fighting Cock dengan
persenjataan serba canggih, termasuk menggunakan tank Sherman, 25 ponders, 37 howitser, kapal
Perang HMS Sussex dibantu 4 kapal perang destroyer, dan 12 kapal terbang jenis Mosquito. Dengan
mesin pembunuhnya itu,  Mansergh mengultimatum rakyat Surabaya, untuk bertekuk lutut alias
menyerah, yang berarti mengakui Indonesia belum merdeka. ”Ultimatum Sekutu itu pun tak digubris
sehingga terjadilah pertempuran 10 November 1945 dengan korban yang tidak sedikit, bahkan para
santri dari Kediri, Tuban, Pasuruan, Situbondo, dan sebagainya banyak yang menjadi mayat dengan
dibawa gerbong KA,” kata Mbah Muchit. Kiai Kelahiran Tuban Jatim pada 1925 itu menambahkan, 
semangat dan tekad untuk merdeka itu merupakan semangat yang dipupuk melalui Resolusi Jihad NU. 
”Tapi, terus terang, semuanya itu tidak tercatat dalam sejarah, karena ulama NU itu memang tidak ingin
menonjolkan diri, sebab mereka berbuat untuk bangsa dan negara demi ridlo dari Allah SWT, bukan
untuk dicatat dalam sejarah,” katanya. Dampak perlawanan itu sepertinya tidak pernah terpikir oleh
pasukan Sekutu, yang mengultimatum, agar seluruh pemuda, dan pasukan bersenjata bertekuk lutut.
Tapi yang terjadi justru sebaliknya.  “Kenapa bisa begitu? Karena sebenarnya yang fanatik melbu
suwargo (Bhs Jawa: masuk surga: RED.) itu kan Islam, jadi sudah tidak mikir apa-apa lagi. Mana ada
Jenderal Sekutu tewas dalam Perang Dunia Kedua, itu kan hanya terjadi di Surabaya, di Indonesia,
dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby,” kata  Ki Darmadi menandaskan. David Welch
menggambarkan dasyatnya pertempuran itu dalam bukunya, Birth of Indonesia (hal. 66),“Di pusat kota
pertempuran adalah lebih dasyat, jalan-jalan diduduki satu per satu, dari satu pintu ke pintu lainnya.
Mayat dari manusia, kuda-kuda, kucing-kucing serta anjing-anjing bergelimangan di selokan-
selokan.Gelas-gelas berpecahan, perabot rumah tangga, kawat-kawat telephon bergelantungan di jalan-
jalan dan suara pertempuran menggema di tengah gedung-gedung kantor yang kosong. Perlawanan
Indonesia berlangsung dalam dua tahap, pertama pengorbanan diri secara fanatik, dengan orang-orang
yang hanya bersenjatakan pisau-pisau belati menyerang tank-tank Sherman, dan kemudian dengan cara
yang lebih terorganisir dan lebih efektif, mengikuti dengan cermat buku-buku petunjuk militer Jepang”
Pertempuran berlangsung dengan ganas selama 3 minggu. Pada akhir bulan November 1945 seluruh
kota telah jatuh ke tangan sekutu. Namun semangat perlawanan oleh para pejuang Indonesia yang
masih hidup tak bisa dipadamkan. Para santri, dan tentara mengikuti ribuan pengungsi yang melarikan
diri meninggalkan Surabaya dan kemudian mereka membuat garis pertahanan baru mulai dari
Mojokerto di Barat hingga ke arah Sidoarjo di Timur. Beberapa versi menyebut, korban dari pihak
Republik Indonesia mencapai 20 ribu, bahkan ada yang menyebut 30 ribu jiwa. Sementara dari pihak
Inggris 2 ribu tentara. Pelaku dan Saksi Sejarah Pertanyaan, kemudian muncul, bagaimana membuktikan
bahwa peristiwa Pertemuan Bung Karno dengan Rais Akbar Kiai Haji Hasyim Asy’ari itu benar?
Mendapat pertanyaan ini Ki Setyo Oetomo Darmadi, menjelaskan posisinya. Menurutnya, Inggris datang
ke Surabaya itu jauh sebelum meletus Perang 10 November 1945. “Setelah meletus Pemberontakan
PETA yang dipimpin Soepriyadi, saya dan ayah saya sekeluarga ditahan oleh penjajah Jepang, setelah
Proklamasi Kemerdekaan, yaitu pada Tanggal 25 Agustus kami sekelurga dibebaskan.  Usia saya saat itu
15 tahun, lalu masuk BKR. Karena saya Adiknya Soepriyadi, saya bisa kenal sama kiai-kiai, di antaranya
Pak ud (KH Jusuf Hasyim), Pak Baidlowi, lalu bapaknya Pak Rozi Munir, yaitu Pak Munasir. Dan kebetulan
saya masih familinya Bung Karno, jadi saya tahu ada pertemuan Bung Karno dengan Kiai Haji Hasyim
Asy’ari. Hasil pertemuan itu juga disampaikan oleh Bung Karno kepada para anggota BKR,” ungkap Ki
Darmadi menjawab, asal sumber kesaksian. Seruan Resolusi Jihad yang disampaikan di depan Presiden
Soekarno oleh Rois Akbar Kiai Haji Hasyim Asy’ari merupakan peristiwa sejarah yang terpendam, dan
hanya menjadi sejarah lisan. Namun, peristiwa tersebut bukan isapan jempol. Saat penulis meneliti
sejumlah arsip Kabinet Presiden di Arsip Nasional, Cilandak, Jakarta Tahun 2001, saya menemukan
indeks tentang Resolusi Jihad. Namun saat saya pesan untuk saya baca, ternyata bagian pelayanan arsip
tersebut menyatakan arsip sudah kosong, alias hilang.(abd)

Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/25471/bung-karno-temui-mbah-hasyim-sebelum-10-
november-1945

Anda mungkin juga menyukai