Bab I Pendahuluan Latar Belakang
Bab I Pendahuluan Latar Belakang
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Walaupun satu atau dua tahun setelah krisis ekonomi 1998, ekonomi Indonesia
sudah kembali menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang positif, namun hingga saat ini
pertumbuhannya rata-rata per tahun relatif masih lambat dibandingkan negara-negara
tetangga yang juga terkena krisis seperti Korea Selatan dan Thailand, atau masih jauh
lebih rendah dibandingkan pertumbuhan rata-rata per tahun yang pernah dicapai oleh
pemerintahan Orde Baru (ORBA), khususnya pada periode 1980-an hingga pertengahan
1990-an. Salah satu penyebabnya adalah masih belum intensifnya kegiatan investasi,
termasuk arus investasi dari luar terutama dalam bentuk penanaman modal asing (PMA).
Padahal era ORBA membuktikan bahwa investasi, khususnya PMA, merupakan faktor
pendorong yang sangat krusial bagi pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
berkelanjutan. Terutama melihat kenyataan bahwa sumber perkembangan teknologi,
perubahan struktural, diversifikasi produk, dan pertumbuhan ekspor di Indonesia selama
ORBA sebagian besar karena kehadiran PMA di Indonesia.
Banyak sekali faktor-faktor yang sebagian besar saling terkait satu sama lainnya
dengan pola yang sangat kompleks yang menyebabkan lambatnya pemulihan investasi di
Indonesia hingga saat ini. Faktor-faktor tersebut mulai dari yang sering disebut di media
masa yakni masalah keamanan, tidak adanya kepastian hukum, dan kondisi infrastruktur
yang buruk, hingga kondisi perburuhan yang semakin buruk.
Jadi dari uraian di atas, pokok permasalahan yang menjadi pembahasan utama dari
tulisan ini adalah iklim investasi yang sangat kompleks, yang implikasinya adalah bahwa
kebijakan investasi tidak bisa berdiri sendiri. Dalam kata lain, bagaimanapun bagusnya
suatu kebijakan investasi, efektivitas dari kebijakan tersebut akan tergantung pada banyak
faktor lain di luar wilayah kebijakan investasi, karena faktor-faktor tersebut sangat
mempengaruhi keputusan seseorang untuk melakukan investasi atau membukan usaha
baru di Indonesia. Lebih spesifik, tulisan ini akan membahas masalah, tantangan dan
potensi investasi di Indonesia.
Rumusan Masalah
Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
Memacu Gairah Iklim Investasi Nasional
Perencanaan setiap tahun sebagai Tahun Investasi tampaknya akan mengalami hal
yang sama dengan tahun 2004. Indikatornya, hingga kini masih tergolong sedikit
investasi asing yang masuk untuk berinvestasi di Indonesia. Tampaknya ini tak terlepas
dari kondisi pada akhir tahun 2004 yang justru terjadi pelarian modal.
Perlu dipahami, di sisi lain persoalan pengangguran dan minimnya investor asing
yang masuk juga merupakan ancaman serius. Karena, bagaimanapun pertumbuhan
ekonomi dipengaruhi oleh sumber daya yang tersedia dalam perekonomian. Salah satu
sumber daya yang penting adalah stok kapital. Stok kapital yang tersedia akan
menentukan kapasitas perekonomian dalam menghasilkan barang-barang dan jasa.
Investasi merupakan tambahan terhadap stok kapital. Peningkatan investasi akan
meningkatkan stok kapital dan kapasitas perekonomian yang pada gilirannya akan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan efek lebih jauh akan dapat menyerap lapangan
kerja.
Melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun 2003 akan mampu mencapai
3,5 hingga 4 persen seperti yang ditargetkan pemerintah. Namun Pasalnya, ekonomi
makro yang mendukung dengan laju pertumbuhan 5 hingga 6 persen sangat diperlukan
untuk dapat tercipta lapangan kerja guna menyerap penngangguran. Namun, iklim
investasi nasional menjadi momok perlu dibenahi.
Sebagai ilustrasi dari beberapa indikator untuk mengukur investasi, Indeks Daya
Saing Industri menunjukkan bahwa pada 2002 Indonesia menempati posisi 67 dari 80
negara yang disurvei. Posisi ini paling rendah dibandingkan dengan negara-negara Asia
Tenggara lainnya. Singapura, misalnya, menempati posisi 9, Malaysia posisi 26, Thailand
30.
Anjloknya angka persetujuan investasi itu, antara lain disebabkan oleh persepsi
investor terhadap Indonesia yang masih negatif dan iklim investasi masih belum
kondusif. Selain itu banyaknya pesaing Indonesia di tingkat Asia. Negara-negara pesaing
itu mempunyai iklim investasi yang lebih baik dibandingkan Indonesia dan memberikan
insentif untuk investasi. Selain itu, faktor ekonomi global juga membuat investor menjadi
lebih berhati-hati untuk menanamkan modalnya. Namun, di sisi lain nilai persetujuan
investasi yang anjlok itu hanya untuk investasi asing langsung (FDI/PMA) dan bukan
untuk portofolio yang justru mulai menunjukkan perbaikan.
Dilihat dari asal negara pemasok PMA, Singapura menempati peringkat teratas
dengan 1.045,9 juta dolar AS dengan jumlah proyek 74 atau 41,5 persen dari keseluruhan
persetujuan PMA. Setelah itu menyusul Korea Selatan dengan 304,1 juta dollar AS (125
proyek dan 12,1 persen). Urutan berikutnya adalah Perancis dengan 224,3 juta dolar, AS
(lima proyek dan 8,9 persen), Jepang dengan 202,8 juta dolar AS (34 proyek dan 8,0
persen), Belanda dengan 166,5 juta dolar AS (enam proyek), serta Inggris dengan 62,5
juta dolar AS (34 proyek). Ini tidak termasuk persetujuan investasi sektor migas ,
perbankan, lembaga keuangan nonbank.
Melonjaknya PMA di Cina ini terutama dipicu oleh tiga faktor, yakni masuknya
Cina dalam keanggotaan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), pertumbuhan ekonomi
dalam negeri yang kuat, serta langkah penyesuaian (readjustment) yang dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan multinasional.
Sebagai perbandingan, tahun 2000 angka realisasi PMA di Cina hanya meningkat
satu persen, sedangkan tahun 2001 naik 15,7 persen menjadi 46,9 miliar dolar AS.
Perekonomian Cina tumbuh 7,3 persen tahun 2001 dan tahun ini diperkirakan tetap di
atas 7,0 persen. Cina dewasa ini menyedot separuh (50 persen) PMA yang mengalir ke
kawasan Asia Timur (tak termasuk Jepang), sementara ASEAN hanya menyerap 20
persen. Kondisi ini terbalik dibandingkan periode awal 1990-an di mana Cina hanya
menyerap sekitar 20 persen, sementara ASEAN sekitar 50 persen. Angka PMA secara
global sendiri turun 40 persen lebih tahun 2001 dibandingkan tahun sebelumnya.
Melemahnya kemampuan Indonesia dalam menarik investasi asing langsung
diperkuat oleh World Investment Report 2002 yang dikeluarkan oleh UNCTAD. Menurut
laporan ini, indeks kinerja investasi asing langsung (ForeignDirect Investment) Indonesia
menurun dari urutan 63 pada tahun 1988-1990 menjadi urutan 163 pada tahun 1998-
2000. (Saragih, 2003).
Perbaikan Kondisi
Dengan mengacu pada kondisi tersebut, maka untuk mamacu investasi masuk di
dalam negeri pemerintah perlu menciptakan kondisi yang kondusif. Pemerintah juga
perlu memperhatikan permasalahan yang sering dikeluhkan investor, khususnya perlunya
menekankan pentingnya kepastian hukum, jaminan keamanan, dan faktor risiko dari
pemerintah Indonesia dalam mengundang investasi asing. Demikian pula bagaimana
upaya pemerintah meningkatkan investasi guna mendorong pertumbuhan ekonomi agar
dapat memecahkan masalah pengangguran. Khususnya terkait dengan adanya orang yang
melakukan tindakan nekat menyusul terjadinya kerusuhan karena tidak memperoleh
pekerjaan.
Karena untuk dapat menyerap tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi harus berada di
level 6 persen. Itu tergantung dari kebijakan pemerintah, yakni harus dapat
mengupayakan modal masuk, khususnya dari luar. Sekarang yang harus dilakukan
bersama, baik pemerintah maupun swasta, apakah kita menahan kurasan modal yang
berasal dari luar, atau kita meminta kembali dari luar. Pasalnya, akan sulit untuk
menggerakkan investasi, di mana sektor swasta harus dapat digerakkan dengan
menggunakan kapasitas yang tersedia.
Iklim investasi hulu minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia termasuk yang terendah
di kawasan Asia Tenggara. Ini terlihat dari hasil survei Policy Perception Index 2016
yang dilakukan Fraser Institute yang menempatkan Indonesia di posisi 79 dari 96
yurisdiksi. (Baca: Unggulkan Skema Gross Split, Jonan: Riset Woodmac Akan Direvisi)
Berdasarkan survei tersebut Vietnam dan Myanmar dianggap sebagai salah satu negara
dengan iklim investasi yang baik. Vietnam berada di posisi 40 besar, sedangkan
Myanmar berada lebih dari 10 tingkat di atas Indonesia. Tak hanya kedua negara
tersebut, Indonesia bahkan juga tertinggal dari Kamboja. (Baca: Pemprov Maluku
Permudah Pembebasan Lahan Kilang Masela)
Aspek penilaian survei Policy Perception Index 2016 meliputi aspek perpajakan,
ketidakpastian regulasi lingkungan, hingga stabilitas politik keamanan di suatu negara.
Dua tahun terakhir, investasi migas di Indonesia sedang dalam kondisi yang kurang
menggairahkan. Ini terbukti dari 28 wilayah kerja (WK) migas yang dilelang, pemerintah
hanya berhasil mendapatkan satu pemenang.
Contoh Permasalahan
Gambar 1 menunjukkan bahwa setelah krisis 1998 jumlah proyek baru PMA,
paling tidak berdasarkan data persetujuan dari BKPM, sempat mengalami peningkatan.
Namun setelah tahun 2000, jumlahnya menurun dan cenderung akan berkurang terus.
Satu hal yang menarik dari data BKPM tersebut adalah bahwa sejak krisis, jumlah proyek
baru PMA rata-rata per tahunnya lebih besar daripada jumlah proyek baru PMDN.
(penanaman modal dalam negeri). Ini menandakan bahwa bagi perkembangan investasi
langsung/jangka panjang di dalam negeri, khususnya dalam periode pasca krisis, peran
PMA jauh lebih penting daripada PMDN. Namun demikian, dilihat dari nilai netonya
(arus investasi masuk – arus keluar), gambarannya setelah krisis lebih memprihatinkan;
walaupun pada tahun 2002 dan 2004 sempat kembali positif (Tabel 1).
Catatan: arus masuk PMA termasuk privatisasi BUMN kepada pihak asing, dan
restrukturisasi perbankan, terutama penjualan asset-aset bank ke investor asing.
Buruknya daya saing Indonesia dalam menarik PMA lebih nyata lagi jika
dibandingkan dengan perkembangan PMA di negara-negara lain. Misalnya dalam
kelompok ASEAN, Indonesia satu-satu negara yang mengalami arus PMA negatif sejak
krisis ekonomi 1998; walaupun nilai negatifnya cenderung mengecil sejak tahun 2000.
Hal ini ada kaitannya dengan iklim politik yang semakin baik dibandingkan pada periode
1998-1999, yang memperkecil keraguan calon-calon investor untuk menanam modal
mereka di Indonesia.
Peringkat
Indikator 2004-2005 2005-2006
(104 negara) (117 negara)
Kemandirian Judisial 58 68
Efisiensi dari kerangka kerja legal 51 73
Hak Properti 67 88
Perlindungan kekayaan intelektual 47 68
Pemborosan dalam pengeluaran pemerintah 25 40
Beban dari regulasi pemerintah pusat 15 45
Tingkat birokrasi 85 48
Tingkat dan efek dari perpajakan 27 24
Pembayaran tidak regular/ilegal dalam 75 106
ekspor dan impor 70 94
Pembayaran tidak reguker.ilegal dalam 76 104
pemakaian utilitas publik 46 84
Pembayaran tidak regular/ilegal dalam 69 99
pembayaran pajak
Pembayaran tidak regular.ilegal dalam
kontrak publik
Pembayaran tidak regular/ilegal dalam
keputusan judisial
Gambar 5. Asia dan Pasifik: 10 negara terbesar penerima PMA, 2002 dan 2003
(miliar dollar AS)
Lebih spesifik lagi, tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini adalah
kemampuannya menghilangkan semua permasalahan yang disebut di atas dalam waktu
sesingkat-singkatnya. Waktu sangat penting saat ini karena perubahan-perubahan global
yang semakin cepat dibandingkan dengan, bilang 20 tahun yang lalu, terutama dalam
teknologi, sistem keuangan, pola perdagangan baik pada tingkat regional (regionalism)
maupun pada tingkat dunia, dan selera masyarakat dunia sebagai konsekuensi dari
peningkatan pendapatan dunia per kapita. Perubahan-perubahan ini membuat pola
produksi yang diterapkan oleh perusahaan-perusahaan multinasional berubah terus, dan
ini selanjutnya mempengaruhi pemilihan lokasi usaha. Sebagai satu contoh konkrit, jika
Indonesia tidak cepat memperbaiki kondisi infrastrukturnya, sementara Cina dengan laju
yang cepat terus membangun jalan-jalan raya, jaringan-jaringan telekomunikasi, areal-
areal untuk industri, dan pelabuhan-pelabuhan, maka Indonesia akan kehilangan peluang
mendapatkan investasi-investasi baru dari luar.
Belakangan ini peristiwa-peristiwa seperti kasus Free Port yang mencapai
klimaknya dengan kasus pemberian visa sementara oleh pemerintah Australia bagi
sejumlah warga Papua, ditambah lagi dengan banhyaknya permasalahan yang hingga saat
ini belum tuntas seperti revisi undang-undang perburuhan dan undangt-undang investasi,
serta infrastruktur yang semakin buruk kondisinya (seperti jalan Pantura) semakin
mempersulit Indonesia dalam menghadapi tantangan tersebut di atas.
Yang pasti, jika Indonesia tidak mampu menghadapi tantangan ini, konsukwensinya
sangat besar, mulai dari hilangnya kesempatan kerja, devisa (jika perusahaan
bersangkutan melakukan ekspor) dan transfer teknologi. Yang pertama tentu akan
berakibat pada lambatnya penurunan kemiskinan; yang kedua akan berakibat pada
semakin besarnya kebutuhan Indonesia terhadap pinjaman luar negeri yang selanjutnya
mengancam Indonesia terjerumus ke krisis utang luar negeri; dan yang terakhir akan
berakibat pada tertinggalnya Indonesia dalam pembangunan sektor industri baik dari sisi
kualitas maupun dari sisi daya saing karena lemahnya kemampuan teknologi di dalam
negeri.
Potensi
Potensi Indonesia bagi investasi sangat besar, baik dilihat dari sisi penawaran
(produksi) maupun sisi permintaan. Dari sisi penawaran, harus dibedahkan antara potensi
jangka pendek dan potensi jangka panjang. Potensi jangka pendek yang masih dapat
diandalkan oleh Indonesia tentu adalah masih tersedianya banyak sumber daya alam
(SDA), termasuk komoditas-komoditas pertambangan dan pertanian, dan jumlah tenaga
kerja yang besar. Sedangkan potensi jangka panjang adalah pengembangan teknologi dan
peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Tidak ada satu negarapun di dunia ini
yang tidak mampu mengembangkan teknologi dan meningkatkan kualitas SDM-nya;
namun ini sangat tergantung pada kemauan sungguh-sungguh dari negara tersebut.
Jika potensi jangka panjang ini tidak dapat direalisasikan, dan berbagai permasalahan
seperti yang telah disebut di atas juga tidak tuntas, maka lambat laun potensi jangka
pendek akan hilang. Misalnya, salah satu permasalahan tenaga kerja di Indonesia adalah
kualitas serta etos kerja yang rendah. Selama ini, keunggulan klasik dari tenaga kerja
Indonesia relatif dibandingkan banyak negara lain adalah upah murah, namun saat ini dan
terutama di masa depan, keunggulan ini (potensi jangka pendek) tidak bisa lagi
diandalkan sepenuhnya. Dengan kemajuan teknologi yang pesat, persaingan yang
semakin ketat akibat munculnya banyak pemain-pemain baru di pasar dan produksi
global yang sangat agresif dan semakin ketatnya penerapan segala macam standarisasi
produk yang berkaitan dengan lingkungan dan keselamatan konsumen, maka Indonesia
masih bisa mengandalkan upah buruh murah hanya apabila dikombinasikan dengan
kualitas tenaga kerja yang tinggi. Karena upah murah akan tidak berarti apa-apa, jika
produktivitasnya rendah dan produk yang dihasilkan berkualitas buruk.
Dari sisi permintaan, ada dua faktor utama yakni jumlah penduduk (dan
strukturnya menurut umur) dan pendapatan riil per kapita. Kedua faktor ini secara
bersama menentukan besarnya potensi pasar, yang berarti juga besarnya potensi
keuntungan bagi seorang investor. Dari segi jumlah penduduk, tentu Indonesia, seperti
halnya China dan India, merupakan potensi pasar yang sangat besar. Namun jumlah
penduduk saja tidak cukup jika pendapatan penduduk rata-rata per orang atau
kemampuan belanja konsumen di Indonesia kecil. Oleh karena itu, kemampuan Indonesia
untuk pulih kembali setelah krisis dengan menghasilkan pertumbuhan PDB riil rata-rata
per kapita yang tinggi yang paling tidak seperti pada masa Orde Baru menjadi salah satu
pertimbangan serius bagi calon investor asing.
Saat ini Indonesia masih dalam proses pemulihan, yang ditandai dengan semakin
tingginya pertumbuhan PDB yang kembali positif sejak 1999 walaupun dengan laju yang
relatif lambat. Dengan pendapatan yang cenderung meningkat, yang berarti potensi pasar
di dalam negeri cenderung meningkat, maka dari sisi permintaan potensi Indonesia untuk
investasi sangat baik (Gambar 6). Namun, dibandingkan dengan negara-negara lain di
Asia Tenggara, termasuk negara-negara yang juga mengalami krisis yang sama,
Indonesia masih buruk. Berdasarkan database dari Asian Development Bank, Thailand
yang mengalami krisis ekonomi sama parahnya seperti yang dialami Indonesia ternyata
mampu mengenjot pertumbuhan sebesar 4.4% tahun 1999. Sedangkan pertumbuhan
ekonomi Indonesia pada tahun yang sama hanya 0,9% (menurut BPS 0,8%).Yang paling
menarik dari laporan ADB ini adalah bahwa ternyata Vietnam merupakan negara yang
paling baik pertumbuhan ekonominya di kawasan tersebut Pada tahun 1999 negara itu
mengalami pertumbuhan sekitar 4,7%, lebih tinggi daripada laju pertumbuhan rata-rata
dari semua negara di Asia Tenggara yakni sebesar 3,8%; dan tahun 2002 diperkirakan
tumbuh 7,1%. Dua tahun berikutnya ekonomi Vietnam tumbuh masing-masing 7,3% dan
7,7%. Filipina juga terkena krisis dan tahun 2001 ekonominya tumbuh hanya 1,8%;
namun tiga tahun berikutnya laju pertumbuhan ekonominya menanjak terus hingga
mencapai sekitar 6,1% pada tahun 2004. Demikian juga Malaysia, yang ekonominya
pada tahun 2001 tumbuh hanya 0,3%, namun pada tahun 2004 mencapai 7,1% (Gambar
7).
Gambar 6. Pertumbuhan PDB Indonesia: 1998-2005 (%y-o-y)
Sekarang pertanyaannya: apakah paket kebijakan investasi yang baru ini efektif,
dalam arti bisa betul-betul mendongkrak investasi di Indonesia dalam, bilang, 2-5 tahun
ke depan? Mungkin jawabannya bisa diberikan dengan dua penjelasan sebagai berikut.
Pertama, menurut laporan Bank Dunia (World Bank 2005a) mengenai iklim investasi,
menciptakan suatu iklim investasi memerlukan suatu kebijakan investasi yang menangani
tiga hal berikut: biaya, risiko, dan pembatasan bagi persaingan, yang mana pemerintah
memiliki pengaruh sangat kuat. Jika pengaruh pemerintah lewat kebijakan atau
perilakunya terhadap ke tiga aspek tersebut negatif, misalnya biaya usaha/investasi
menjadi mahal, maka kebijakan-kebijakan tersebut telah menghilangkan/mengurangi
kesempatan bagi pertumbuhan usaha-usaha baru atau perluasan kapasitas produksi dari
usaha-usaha yang ada, yang artinya menghilangkan kemungkinan peningkatan investasi.
Seperti yang dapat dilihat di Tabel 8, kebijakan dan perilaku pemerintah yang
dapat mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung biaya investasi adalah
mulai dari korupsi, besarnya tarif dan sistem perpajakan yang tidak kondusif, jasa-jasa
publik, kebijakan perdagangan mengenai bea masuk impor, birokrasi dalam pengurusan
izin, kebijakan moneter yang mempengaruhi tingkat suku bunga dan inflasi, hingga
pengeluaran pemerintah untuk pembangunan atau perbaikan infrastruktur. Besarnya
pengaruh dari semua ini terhadap biaya investasi tentu bervariasi menurut sektor atau
jenis kegiatan ekonomi dan kondisi (terutama keuangan) perusahaan yang melakukan
investasi. Bagi perusahaan-perusahaan multinasional yang biasanya memakai sumber
eksternal untuk modal pembiayaan, mungkin tidak stabilnya suku bunga di dalam negeri
tidak terlalu masalah. Atau, bagi perusahaan-perusahaan asing yang melakukan kegiatan
ekonomi di dalam negeri yang tidak terlalu tergantung pada impor untuk bahan bakunya,
mungkin besarnya bea masuk impor tidak terlalu mengganggu kegiatan mereka..
Kedua, kegiatan investasi berada di dalam suatu lingkungan bisnis yang dinamis
dan sangat kompleks. Oleh karena itu, usaha pemerintah, sebaik apapun juga, untuk
menciptakan investasi, atau menarik masuk PMA tidak akan berhasil tanpa
mempertimbangkan lingkungan bisnis di sektor yang menjadi tujuan investasi dan
konteks dari suatu pembangunan ekonomi yang lebih luas yang menciptakan ”aturan
main” untuk semua kegiatan/jenis usaha dan yang mana mempengaruhi cara bisnis dan
pasar bekerja. Lingkungan di mana bisnis beroperasi dapat dibagi dalam dua macam,
yakni lingkungan langsung dan lingkungan yang lebih luas (Gambar 8). Lingkungan yang
lebih luas adalah lingkungan yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap suatu
kegiatan bisnis, yang terdiri dari komponen-komponen berikut: ekonomi makro (seperti
kebijakan perdagangan, kebijakan industri, kebijakan sektor keuangan, dan kebijakan
moneter dan fiskal), pemerintah dan politik pada tingkat nasional dan lokal (misalnya
legislatif dan proses pembuatan kebijakan, judisiari, dan keamanan dan stabilitas), jasa-
jasa yang diberikan oleh pemerintah (seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan,
infrastruktur, utilitas dan jasa keamanan), pengaruh-pengaruh eksternal (seperti
perdagangan global, bantuan luar negeri, tren dan selera masyarakat dunia, teknologi, dan
informasi), sosial dan kultur (seperti demografi, selera konsumer, dan sikap terhadap
bisnis), dan iklim serta lingkungan alam (misalnya sumber daya alam, cuaca, dan siklus
pertanian).
Sedangkan, yang dimaksud lingkungan langsung adalah lingkungan berpengaruh
secara langsung terhadap semua kegiatan usaha, yakni pasar (misalnya consumen, tenaga
kerja, keterampilan dan teknologi, material dan alat-alat produksi, lokasi, infrastruktur,
modal, dan jaringan-jaringan kerja), regulasi dan birokrasi (seperti undang-undang,
peraturan-peraturan, tarif pajak dan sistem perpajakan, lisensi dan perijinan, standar
produk dan proses, dan perlindungan konsumer dan lingkungan), dan intervensi-
intervensi yang didanai oleh uang publik (seperti jasa keuangan untuk bisnis).2
Implikasi dari kenyataan di atas terhadap kebijakan investasi adalah jelas bahwa
kebijakan tersebut tidak akan membawa suatu hasil yang efektif, dalam arti investasi
tidak akan meningkat jika tidak didukung oleh kebijakan-kebijakan lain yang
mempengaruhi komponen-komponen lain dari lingkungan usaha. Misalnya, di satu sisi,
pemerintah ingin meningkatkan investasi di dalam negeri dengan memberikan insentif
pajak bagi perusahaan-perusahaan baru atau perusahaan-perusahaan yang mau
memperluas kapasitas produksinya, sementara, di sisi lain, pemerintah mengeluarkan
kebijakan perdagangan yang menghapuskan bea impor bagi suatu produk yang
kebetulan adalah produk yang menarik bagi calon-calon investor. Atau, contoh lainnya,
walaupun banyak insentif yang diberikan oleh pemerintah kepada investor, investasi
tidak akan meningkat atau PMA, khusunya industri-industri yang bersifat footloose
seperti elektronik dan tekstil, tidak akan memilih Indonesia sebagai tempat kegiatannya
selama kondisi infrastruktur belum baik atau tingkat sumber daya manusia (SDM) di
Indonesia semakin buruk relatif dibandingkan di negara-negara tetangga. Dengan
kemajuan teknologi dan dalam era perdagangan bebas, faktor-faktor keunggulan
kompetitif menjadi lebih penting daripada faktor-faktor keunggulan komparatif dalam
mempengaruhi mobilisasi investasi lintas negara/wilayah.
Gambar 8: Dunia Usaha di Dalam Lingkungan Langsung dan yang Lebih Luas
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di atas, jelas bahwa kebijakan investasi seperti Paket Kebijakan Investasi
2006 tidak akan berarti apa-apa jika tidak didukung oleh kebijakan-kebijakan lainnya
seperti kebijakan moneter, kebijakan fiskal, kebijakan perdagangan luar negeri, kebijakan
industrialisasi, kebijakan perburuhan, dan lainnya. Sayangnya, pengalaman Indonesia
selama ini dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan ekonomi
menunjukkan paling tidak dua masalah yang belum menunjukkan tanda-tanda akan
membaik. Pertama, sering kali terjadi tumpang tindih atau perbenturan antara dua (atau
lebih) kebijakan, yang mencerminkan tidak adanya suatu koordinasi yang baik antara
departemen/kementerian dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan mereka
masing-masing. Kedua, dalam pelaksanaan suatu kebijakan, juga tidak ada koordinasi
yang baik antar sub-departemen atau antara pusat dan daerah di dalam sebuah
departemen yang sama yang mengeluarkan kebijakan tersebut.
Dapat dipastikan, jika dua permasalahan di atas tidak dibenahi, Paket 2006
tersebut tidak akan berhasil meningkatkan investasi secara signifikan di Indonesia.
Karena, sebagian besar dari isi dari Paket tersebut jelas-jelas menunjukkan perlunya
koordinasi yang baik antar departemen. Paket tersebut jelas-jelas mencerminkan bahwa
BKPM tidak memonopoli masalah investasi, tetapi ada banyak departemen lain yang
terlibat terutama Departemen tenaga kerja, Departemen perdagangan, Departemen
perindustrian, Departemen kaungan, termasuk bea cukai.
Saran