Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Walaupun satu atau dua tahun setelah krisis ekonomi 1998, ekonomi Indonesia
sudah kembali menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang positif, namun hingga saat ini
pertumbuhannya rata-rata per tahun relatif masih lambat dibandingkan negara-negara
tetangga yang juga terkena krisis seperti Korea Selatan dan Thailand, atau masih jauh
lebih rendah dibandingkan pertumbuhan rata-rata per tahun yang pernah dicapai oleh
pemerintahan Orde Baru (ORBA), khususnya pada periode 1980-an hingga pertengahan
1990-an. Salah satu penyebabnya adalah masih belum intensifnya kegiatan investasi,
termasuk arus investasi dari luar terutama dalam bentuk penanaman modal asing (PMA).
Padahal era ORBA membuktikan bahwa investasi, khususnya PMA, merupakan faktor
pendorong yang sangat krusial bagi pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
berkelanjutan. Terutama melihat kenyataan bahwa sumber perkembangan teknologi,
perubahan struktural, diversifikasi produk, dan pertumbuhan ekspor di Indonesia selama
ORBA sebagian besar karena kehadiran PMA di Indonesia.

Banyak sekali faktor-faktor yang sebagian besar saling terkait satu sama lainnya
dengan pola yang sangat kompleks yang menyebabkan lambatnya pemulihan investasi di
Indonesia hingga saat ini. Faktor-faktor tersebut mulai dari yang sering disebut di media
masa yakni masalah keamanan, tidak adanya kepastian hukum, dan kondisi infrastruktur
yang buruk, hingga kondisi perburuhan yang semakin buruk.

Jadi dari uraian di atas, pokok permasalahan yang menjadi pembahasan utama dari
tulisan ini adalah iklim investasi yang sangat kompleks, yang implikasinya adalah bahwa
kebijakan investasi tidak bisa berdiri sendiri. Dalam kata lain, bagaimanapun bagusnya
suatu kebijakan investasi, efektivitas dari kebijakan tersebut akan tergantung pada banyak
faktor lain di luar wilayah kebijakan investasi, karena faktor-faktor tersebut sangat
mempengaruhi keputusan seseorang untuk melakukan investasi atau membukan usaha
baru di Indonesia. Lebih spesifik, tulisan ini akan membahas masalah, tantangan dan
potensi investasi di Indonesia.
Rumusan Masalah

Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
Memacu Gairah Iklim Investasi Nasional

Perencanaan setiap tahun sebagai Tahun Investasi tampaknya akan mengalami hal
yang sama dengan tahun 2004. Indikatornya, hingga kini masih tergolong sedikit
investasi asing yang masuk untuk berinvestasi di Indonesia. Tampaknya ini tak terlepas
dari kondisi pada akhir tahun 2004 yang justru terjadi pelarian modal.

Seharusnya setelah dicanangkan sebagai Tahun Investasi, diharapkan


foreigndirectinvestment (investasi asing langsung yang masuk) akan meningkat, namun
pemerintah terkesan tidak sungguh-sungguh memperbaiki iklim investasi di Indonesia.
Politicalwill dari pemerintah untuk menunjang perbaikan iklim investasi dengan
menanggapi keluhan dari dunia usaha belum menunjukkan gereget, khususnya yang
terkait dengan masalah birokrasi, berbagai regulasi dan perizinan tentang investasi yang
harus ada batasan maksimumnya. Apalagi, komponen biaya seperti biaya sewa gedung,
sewa tanah, biaya utility seperti listrik dan air serta biaya tenaga kerja di Indonesia
memang jauh lebih tinggi dibandingkan negara lain.

Perlu dipahami, di sisi lain persoalan pengangguran dan minimnya investor asing
yang masuk juga merupakan ancaman serius. Karena, bagaimanapun pertumbuhan
ekonomi dipengaruhi oleh sumber daya yang tersedia dalam perekonomian. Salah satu
sumber daya yang penting adalah stok kapital. Stok kapital yang tersedia akan
menentukan kapasitas perekonomian dalam menghasilkan barang-barang dan jasa.
Investasi merupakan tambahan terhadap stok kapital. Peningkatan investasi akan
meningkatkan stok kapital dan kapasitas perekonomian yang pada gilirannya akan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan efek lebih jauh akan dapat menyerap lapangan
kerja.

Melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun 2003 akan mampu mencapai
3,5 hingga 4 persen seperti yang ditargetkan pemerintah. Namun Pasalnya, ekonomi
makro yang mendukung dengan laju pertumbuhan 5 hingga 6 persen sangat diperlukan
untuk dapat tercipta lapangan kerja guna menyerap penngangguran. Namun, iklim
investasi nasional menjadi momok perlu dibenahi.
Sebagai ilustrasi dari beberapa indikator untuk mengukur investasi, Indeks Daya
Saing Industri menunjukkan bahwa pada 2002 Indonesia menempati posisi 67 dari 80
negara yang disurvei. Posisi ini paling rendah dibandingkan dengan negara-negara Asia
Tenggara lainnya. Singapura, misalnya, menempati posisi 9, Malaysia posisi 26, Thailand
30.

Dalam perekonomian terbuka, sumber pembiayaan pembangunan tidak tergantung


hanya pada faktor domestik saja, tetapi juga dapat bersumber dari luar negeri. Salah
satunya adalah dengan investasi asing langsung (foreigndirectinvestment - FDI).

Berdasarkan konsep celah tabungan-investasi (saving-investment gap), modal dari


luar (termasuk investasi asing langsung) dibutuhkan karena dana dalam negeri tidak
cukup untuk menggerakkan kegiatan ekonomi yang menjamin kesempatan kerja penuh
(fullemployment).

Data terakhir Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), angka persetujuan


investasi di Indonesia, baik Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun
Penanaman Modal Asing (PMA) atau ForeignDirect Investment/FDI, mengalami
kemerosotan tajam selama Semester I tahun 2002 dibandingkan dengan periode yang
sama tahun 2001. PMDN angkanya anjlok hingga 72 persen, yakni dari Rp 39,788 triliun
dengan 130 proyek menjadi Rp 11,114 triliun dengan 80 proyek. Sementara PMA
merosot 42 persen, yakni dari 4,312 miliar dolar AS dengan 678 proyek menjadi 2,520
miliar dolar AS dengan 506 proyek.

Anjloknya angka persetujuan investasi itu, antara lain disebabkan oleh persepsi
investor terhadap Indonesia yang masih negatif dan iklim investasi masih belum
kondusif. Selain itu banyaknya pesaing Indonesia di tingkat Asia. Negara-negara pesaing
itu mempunyai iklim investasi yang lebih baik dibandingkan Indonesia dan memberikan
insentif untuk investasi. Selain itu, faktor ekonomi global juga membuat investor menjadi
lebih berhati-hati untuk menanamkan modalnya. Namun, di sisi lain nilai persetujuan
investasi yang anjlok itu hanya untuk investasi asing langsung (FDI/PMA) dan bukan
untuk portofolio yang justru mulai menunjukkan perbaikan.

Dilihat dari asal negara pemasok PMA, Singapura menempati peringkat teratas
dengan 1.045,9 juta dolar AS dengan jumlah proyek 74 atau 41,5 persen dari keseluruhan
persetujuan PMA. Setelah itu menyusul Korea Selatan dengan 304,1 juta dollar AS (125
proyek dan 12,1 persen). Urutan berikutnya adalah Perancis dengan 224,3 juta dolar, AS
(lima proyek dan 8,9 persen), Jepang dengan 202,8 juta dolar AS (34 proyek dan 8,0
persen), Belanda dengan 166,5 juta dolar AS (enam proyek), serta Inggris dengan 62,5
juta dolar AS (34 proyek). Ini tidak termasuk persetujuan investasi sektor migas ,
perbankan, lembaga keuangan nonbank.

Belajar Dari Cina 

Kecenderungan menurunnya investasi seperti terlihat di Indonesia juga terjadi di


sejumlah negara Asia, meskipun untuk beberapa negara menunjukkan kinerja yang
mencengangkan, baik dalam hal angka persetujuan maupun realisasi. Sebagai contoh, di
Cina, persetujuan PMA selama Semester I 2002, menurut data Kementerian Perdagangan
Luar Negeri dan Kerjasama Ekonomi (Moftec) mencapai angka rekor 43,99 miliar dolar
AS atau sekitar 20 kali lipat dari persetujuan PMA di Indonesia selama kurun waktu yang
sama. Angka ini meningkat 31,47 persen dibandingkan Semester II 2002, sementara
jumlah proyeknya 15.155 proyek. Rekor peningkatan juga terjadi untuk realisasinya.
Realisasi PMA selama semester I 2002 mencapai 24,58 miliar dolar AS, meningkat 18,69
persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Melonjaknya PMA di Cina ini terutama dipicu oleh tiga faktor, yakni masuknya
Cina dalam keanggotaan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), pertumbuhan ekonomi
dalam negeri yang kuat, serta langkah penyesuaian (readjustment) yang dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan multinasional.

Sebagai perbandingan, tahun 2000 angka realisasi PMA di Cina hanya meningkat
satu persen, sedangkan tahun 2001 naik 15,7 persen menjadi 46,9 miliar dolar AS.
Perekonomian Cina tumbuh 7,3 persen tahun 2001 dan tahun ini diperkirakan tetap di
atas 7,0 persen. Cina dewasa ini menyedot separuh (50 persen) PMA yang mengalir ke
kawasan Asia Timur (tak termasuk Jepang), sementara ASEAN hanya menyerap 20
persen. Kondisi ini terbalik dibandingkan periode awal 1990-an di mana Cina hanya
menyerap sekitar 20 persen, sementara ASEAN sekitar 50 persen. Angka PMA secara
global sendiri turun 40 persen lebih tahun 2001 dibandingkan tahun sebelumnya.
Melemahnya kemampuan Indonesia dalam menarik investasi asing langsung
diperkuat oleh World Investment Report 2002 yang dikeluarkan oleh UNCTAD. Menurut
laporan ini, indeks kinerja investasi asing langsung (ForeignDirect Investment) Indonesia
menurun dari urutan 63 pada tahun 1988-1990 menjadi urutan 163 pada tahun 1998-
2000. (Saragih, 2003).

Perbaikan Kondisi

Dengan mengacu pada kondisi tersebut, maka untuk mamacu investasi masuk di
dalam negeri pemerintah perlu menciptakan kondisi yang kondusif. Pemerintah juga
perlu memperhatikan permasalahan yang sering dikeluhkan investor, khususnya perlunya
menekankan pentingnya kepastian hukum, jaminan keamanan, dan faktor risiko dari
pemerintah Indonesia dalam mengundang investasi asing. Demikian pula bagaimana
upaya pemerintah meningkatkan investasi guna mendorong pertumbuhan ekonomi agar
dapat memecahkan masalah pengangguran. Khususnya terkait dengan adanya orang yang
melakukan tindakan nekat menyusul terjadinya kerusuhan karena tidak memperoleh
pekerjaan.

Untuk itulah pemerintah harus fokus menjalankan upaya stabilisasi makro


ekonomi guna mendorong pertumbuhan ekonomi, langkah-langkah reformasi serta
langkah-langkah lain yang akan dilakukan pemerintah pada tahun 2005. Bisa saja
pemerintah menjalankan program-program, seperti menjaga makro ekonomi, penjualan
aset BPPN, dan melakukan restrukturisasi perbankan secara baik.

Karena untuk dapat menyerap tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi harus berada di
level 6 persen. Itu tergantung dari kebijakan pemerintah, yakni harus dapat
mengupayakan modal masuk, khususnya dari luar. Sekarang yang harus dilakukan
bersama, baik pemerintah maupun swasta, apakah kita menahan kurasan modal yang
berasal dari luar, atau kita meminta kembali dari luar. Pasalnya, akan sulit untuk
menggerakkan investasi, di mana sektor swasta harus dapat digerakkan dengan
menggunakan kapasitas yang tersedia.

Salah satu tindakan nyata pemerintah adalah bagaimana mengupayakan perbaikan


iklim investasi di mana pemerintah perlu menetapkan konsentrasi pada sektor usaha
kecil. Demikian pula keluhan dari investor tentang pungutan pajak dan retribusi sejak era
otonomi daerah tahun 2001, ternyata memberatkan dunia usaha di bidang birokrasi yang
mengharuskan membayar 30 persen. Dapat dipastikan hal ini mengurangi daya saing
sektor usaha kita.

Walau pemerintah berkali-kali mengungkapkan sudah pulihnya faktor keamanan,


stabilitas politik dan ekonomi serta upaya serius dalam penegakan hukum, kenyataannya
investor tidak sependapat. Karena itulah pencanangan tahun investasi cenderung
membuat investor pesimis mau masuk. Untuk mendorong terciptanya iklim investasi
yang kondusif, pemerintah dan DPR perlu segera mengeluarkan Rancangan Undang-
Undang (RUU) Investasi agar jelas pengaturannya dalam pemberian kemudahan dalam
peraturan. Karena, di masa mendatang, persaingan untuk menarik investor tidak hanya
terjadi antara Indonesia dan negara tetangga lainnya, tetapi juga antarprovinsi dan
antarkabupaten. Di sinilah, pemerintah juga perlu menerbitkan peraturan pemerintah
daerah (Pemda) yang menghambat masuknya investasi.

Selain itu Pemerintah Indonesia harus berupaya keras menciptakan lingkungan


investasi yang bebas hambatan seperti halnya negara yang menjadi surga investasi di
ASEAN, yakni Singapura. Salah satu upaya penciptaan lingkungan investasi yang bebas
hambatan tersebut adalah reformasi birokrasi terutama yang terkait dengan proses
investasi.

Persoalan mendesak lain yang perlu dipecahkan, adalah menyangkut kejelasan


tentang hubungan antara buruh dan industri di Indonesia. Merebaknya konflik
kepentingan antara buruh dan majikan di beberapa lokasi industri di Indonesia harus
diminimalisir melalui suatu mekanisme penyelesaian berbagai kasus perburuhan secara
cepat dan adil. Di samping itu, banyak hal yang perlu dilakukan untuk meniadakan faktor
penghambat investasi, antara lain menyangkut kondisi sosial politik dalam negeri,
kepastian hukum dan jaminan keamanan, perpajakan dan bea cukai, benturan
kepentingan di bidang investasi oleh pusat dan daerah pascaotonomi daerah serta
penataan kebijakan investasi yang belum terarah.

Iklim investasi hulu minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia termasuk yang terendah
di kawasan Asia Tenggara. Ini terlihat dari hasil survei Policy Perception Index 2016
yang dilakukan Fraser Institute yang menempatkan Indonesia di posisi 79 dari 96
yurisdiksi.  (Baca: Unggulkan Skema Gross Split, Jonan: Riset Woodmac Akan Direvisi)

Berdasarkan survei tersebut Vietnam dan Myanmar dianggap sebagai salah satu negara
dengan iklim investasi yang baik. Vietnam berada di posisi 40 besar, sedangkan
Myanmar berada lebih dari 10 tingkat di atas Indonesia. Tak hanya kedua negara
tersebut, Indonesia bahkan juga tertinggal dari Kamboja. (Baca: Pemprov Maluku
Permudah Pembebasan Lahan Kilang Masela)

Aspek penilaian survei Policy Perception Index 2016 meliputi aspek perpajakan,
ketidakpastian regulasi lingkungan, hingga stabilitas politik keamanan di suatu negara.
Dua tahun terakhir, investasi migas di Indonesia sedang dalam kondisi yang kurang
menggairahkan. Ini terbukti dari 28 wilayah kerja (WK) migas yang dilelang, pemerintah
hanya berhasil mendapatkan satu pemenang.

Contoh Permasalahan
Gambar 1 menunjukkan bahwa setelah krisis 1998 jumlah proyek baru PMA,
paling tidak berdasarkan data persetujuan dari BKPM, sempat mengalami peningkatan.
Namun setelah tahun 2000, jumlahnya menurun dan cenderung akan berkurang terus.
Satu hal yang menarik dari data BKPM tersebut adalah bahwa sejak krisis, jumlah proyek
baru PMA rata-rata per tahunnya lebih besar daripada jumlah proyek baru PMDN.
(penanaman modal dalam negeri). Ini menandakan bahwa bagi perkembangan investasi
langsung/jangka panjang di dalam negeri, khususnya dalam periode pasca krisis, peran
PMA jauh lebih penting daripada PMDN. Namun demikian, dilihat dari nilai netonya
(arus investasi masuk – arus keluar), gambarannya setelah krisis lebih memprihatinkan;
walaupun pada tahun 2002 dan 2004 sempat kembali positif (Tabel 1).

Lebih banyaknya arus PMA keluar daripada masuk mencerminkan buruknya


iklim investasi di Indonesia. Terutama perusahaan-perusahaan asing di industri-industri
yang sifat produksinya footloose seperti elektronik, tekstil dan pakaian jadi, sepatu, dan
lainnya, yakni yang tidak terlalu tergantung pada sumber daya alam atau bahan baku
lokal di Indonesia akan dengan mudahnya pindah ke negara-negara tetangga jika
melakukan produksi di dalam negeri sudah tidak lagi menguntungkan.
Gambar 1: Pertumbuhan dalam jumlah proyek PMA dan PMDN yang disetujui, 1967-2005
Tabel 1: Nilai Neto Arus PMA ke Indonesia, 1990-2004 (juta dollar AS)
Tahun Nilai
1990 1.093
1991 1.482
1992 1.777
1993 2.004
1994 2.109
1995 4.346
1996 6.194
1997 4.667
1998 - 356
1999 -2.745
2000 -4.550
2001 -2.978
2002 145
2003 -597
2004 423

Catatan: arus masuk PMA termasuk privatisasi BUMN kepada pihak asing, dan
restrukturisasi perbankan, terutama penjualan asset-aset bank ke investor asing.

Sumber: Bank Indonesia: Indonesian Financial Statistics, beberapa terbitan berturut-


Turut sampai Februari 2005

Buruknya daya saing Indonesia dalam menarik PMA lebih nyata lagi jika
dibandingkan dengan perkembangan PMA di negara-negara lain. Misalnya dalam
kelompok ASEAN, Indonesia satu-satu negara yang mengalami arus PMA negatif sejak
krisis ekonomi 1998; walaupun nilai negatifnya cenderung mengecil sejak tahun 2000.
Hal ini ada kaitannya dengan iklim politik yang semakin baik dibandingkan pada periode
1998-1999, yang memperkecil keraguan calon-calon investor untuk menanam modal
mereka di Indonesia.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa iklim investasi mencerminkan sejumlah


faktor yang berkaitan dengan lokasi tertentu yang membentuk kesempatan dan insentif
bagi pemilik modal untuk melakukan usaha atau investasi secara produktif dan
berkembang. Lebih konkritnya lagi, iklim usaha atau investasi yang kondusif adalah
iklim yang mendorong seseorang melakukan investasi dengan biaya dan resiko serendah
mungkin di satu sisi, dan bisa menghasilkan keuntungan jangka panjang setinggi
mungkin, di sisi lain (Stern, 2002). Sebagai contoh, beberapa studi menunjukkan bahwa
di China dan India, sebagai hasil dari perbaikan-perbaikan iklim investasi pada dekade
80-an dan 90-an yang menurunkan biaya dan risiko investasi sangat drastis, maka
investasi swasta sebagai bagian dari produk domestik bruto (PDB) meningkat hampir 200
persen.1
Ada sejumlah faktor yang sangat berpengaruh pada baik-tidaknya iklim
berinvestasi di Indonesia. Faktor-faktor tersebut tidak hanya menyangkut stabilitas politik
dan sosial, tetapi juga stabilitas ekonomi, kondisi infrastruktur dasar (listrik,
telekomunikasi dan prasarana jalan dan pelabuhan), berfungsinya sektor pembiayaan dan
pasar tenaga kerja (termasuk isu-isu perburuhan), regulasi dan perpajakan, birokrasi
(dalam waktu dan biaya yang diciptakan), masalah good governance termasuk korupsi,
konsistensi dan kepastian dalam kebijakan pemerintah yang langsung maupun tidak
langsung mempengaruhi keuntungan neto atas biaya resiko jangka panjang dari kegiatan
investasi, dan hak milik mulai dari tanah sampai kontrak. Masalah Freeport dan lamanya
pemerintah mengambil keputusan dalam kasus Exxon di Cepu baru-baru ini juga sangat
mempengaruhi iklim berinvestasi jangka panjang di Indonesia.
Di dalam suatu laporan Bank Dunia mengenai iklim investasi (World Bank,
2005a), diantara faktor-faktor tersebut, stabilitas ekonomi makro, tingkat korupsi,
birokrasi, dan kepastian kebijakan ekonomi merupakan empat faktor terpenting.
Walaupun sedikit berbeda dalam peringkat kendala investasi antar negara, hasil survei
Bank Dunia tersebut didukung oleh hasil survei tahunan mengenai daya saing negara
yang dilakukan oleh The World Economic Forum (WEF) yang hasilnya ditunjukkan di
dalam laporan tahunannya, The Global Competitiveness Report. Seperti yang dapat
dilihat di Gambar 2, berdasarkan persentase dari responden, ternyata tiga faktor
penghambat bisnis yang mendapatkan peringkat paling atas adalah berturut-turut
birokrasi yang tidak efisien, infrastruktur yang buruk, dan regulasi perpajakan.
Hasil survei dari JETRO mengenai faktor-faktor penghambat pertumbuhan bisnis
atau investasi di sejumlah negara di Asia menunjukkan gambaran yang sedikit berbeda.
Seperti yang dapat dilihat di Tabel 2, untuk Indonesia (ID), faktor paling besar adalah
upah buruh yang makin mahal, disusul dengan sistem perpajakan yang sulit dan rumit. Di
Malaysia (M) dan Singapura, upah yang mahal juga merupakan permasalahan paling
besar yang dihadapi pengusaha. Di Thailand (Th) faktor terbesar adalah prosedur
perdagangan yang rumit, sedangkan di Filipina (F), Vietnam (V), dan India (In), faktor
terbesar adalah kondisi infrastruktur yang buruk.
Masalah perburuan, mulai dari tingkat upah yang terus meningkat akibat
penerapan kebijakan upah minimum, kualitas sumber daya manusia yang rendah,
termasuk rendahnya penguasaan atas teknologi, hingga hubungan industrial memang
belakangan ini semakin memperburuk keunggulan komparatif Indonesia dalam tenaga
kerja. Survei yang dilakukan lPEM di tahun 2005 menunjukkan bahwa biaya untuk
mengatasi masalah tenaga kerja mencapai 5% dari biaya produksi tahunan. Dari sekitar
600 responden, 12,6% menyatakan mengalami perselisihan dalam penentuan upah, 5.8%
mengalami masalah dengan jaminan sosial tenaga kerja, dan 8,4% mengalami masalah
dengan serikat buruh (ISEI, 2006).
Hubungan industrial merupakan salah satu titik rawan dalam daya saing
perekonomian Indonesia. Walaupun secara kuantitas jumlah pemogokan di Indonesia
tidak menunjukkan peningkatan yang drastis sejak reformasi dimulai tahun 1998 lalu
tetapi risiko ketidakpastian yang ditimbulkan oleh hubungan industrial yang adversial
merupakan faktor penting yang membuat daya tarik Indonesia untuk investasi menjadi
rendah dibandingkan Cina dan Vietnam. Sering terjadinya pemogokan akan membuat
kerugian besar bagi perusahaan-perusahaan, dan hal ini jelas akan menghilangkan niat
calon investor untuk berinvestasi di Indonesia.

Gambar 2: Faktor-faktor Penghambat Bisnis dalam The Global Competitiveness


Report 2005-2006.
Tabel 2: Problem Utama dalam Investasi (%)
Masalah serius lainnya adalah peningkatan biaya melakukan bisnis yang timbul
karena ekses pelaksanaan otonomi daerah. Keterbatasan anggaran dan lemahnya prioritas
kebijakan menyebabkan timbulnya tekanan untuk meningkatkan penerimaan pajak dan
retribusi daerah tanpa memperhitungkan daya dukung perekonomian lokal dan nasional.
Pengenaan pungutan atas lalu lintas barang dan penumpang antar propinsi atau antar
kabupaten hanya merupakan satu contoh. Peningkatan hambatan birokrasi perijinan dan
beban retribusi baru yang diundangkan berbagai pemerintah daerah dengan alasan untuk
meningkatkan penerimaan asli daerah (PAD) menimbulkan peningkatan biaya bisnis,
yang berarti juga memperbesar risiko kerugian bagi investasi, dan merupakan lahan subur
bagi praktek-praktek korupsi.
Hasil survei LPEM di tahun 2005 menunjukkan penurunan biaya informal yang
harus dibayarkan perusahaan-perusahaan yang telah beroperasi kepada aparat pemerintah
daerah dari sekitar 10,8% di tahun 2001 menjadi 6,4% di tahun 2005. Walaupun
demikian, untuk pemain yang baru masuk entry cost tetap tinggi yaitu sekitar 9% dari
nilai modal awal. Biaya-biaya ini sebagian besar digunakan untuk mendapatkan ijin
lokasi dan AMDAL (ISEI, 2006).
Mahalnya memulai bisnis memang merupakan salah satu penyebab memburuknya
iklim investasi di Indonesia. Suatu laporan dari Bank Dunia di tahun 2005 menunjukkan
bahwa Indonesia termasuk negara paling mahal, baik dalam arti biaya maupun jumlah
hari dalam melakukan bisnis. Seperti yang ditunjukkan di Tabel 3, untuk mengurus
semua perizinan usaha, seorang pengusaha memerlukan sekitar 151 hari, dan besarnya
biaya dan modal minimum yang diperlukan berkisar sekitar, masing-masing 130,7% dan
125,6% dari pendapatan per kapita di Indonesia. Banyaknya izin dan jumlah hari yang
diperlukan di Indonesia juga ditunjukkan oleh hasil penelitian dari LPEM-FEUI yang
ditunjukkan di Gambar 3.

Table 3: Indikator Kemudahan Melakukan Bisnis di Beberapa Negara

Gambar 3: Jumlah hari mendapatkan Izin di Indonesia


Sejumlah masalah yang telah disebut di atas mencerminkan kualitas dari
kelembagaan publik di Indonesia. Buruknya kelembagaan publik di Indonesia juga
ditunjukkan di dalam laporan tahunan dari WEF (Tabel 4). Dapat dilihat bahwa untuk
hampir semua indikator tersebut, kondisi Indonesia semakin buruk. Misalnya, dalam
hal kemandirian judicial dari pengaruh politik dari anggota-anggota pemerintah
(misalnya menteri dan presiden), politikus, masyarakat, dan perusahaan, peringkat
Indonesia jatuh dari 58 ke 68; walaupun secara relatif kejatuhannya lebih kecil karena
jumlah sampel negara bertambah.
Dalam hal kerangka kerja legal bagi pelaku usaha untuk menangani perselisihan-
perselisihan bsinis dan menolak legalitas dari tindakan-tindakan atau peraturan-
peraturan pemerintah, posisi Indonesia menurun dari 51 ke 73. Untuk dua indikator
berikut yang merupakan salah satu penentu krusial bagi pertumbuhan investasi,
Indonesia juga masih buruk kinerjanya, yakni hak-hak properti dan perlindungan
kekayaan intelektual.
Tabel 4: Posisi Indonesia untuk Beberapa Indikator mengenai Kelembagaan Publik
dalam

The Global Competitiveness Report 2004-2005 dan 2005-2006

Peringkat
Indikator 2004-2005 2005-2006
(104 negara) (117 negara)
Kemandirian Judisial 58 68
Efisiensi dari kerangka kerja legal 51 73
Hak Properti 67 88
Perlindungan kekayaan intelektual 47 68
Pemborosan dalam pengeluaran pemerintah 25 40
Beban dari regulasi pemerintah pusat 15 45
Tingkat birokrasi 85 48
Tingkat dan efek dari perpajakan 27 24
Pembayaran tidak regular/ilegal dalam 75 106
ekspor dan impor 70 94
Pembayaran tidak reguker.ilegal dalam 76 104
pemakaian utilitas publik 46 84
Pembayaran tidak regular/ilegal dalam 69 99
pembayaran pajak
Pembayaran tidak regular.ilegal dalam
kontrak publik
Pembayaran tidak regular/ilegal dalam
keputusan judisial

Perihal pemborosan atau efisiensi dalam pengeluaran pemerintah, yakni apakah


pemerintah menyediakan barang-barang dan jasa-jasa kebutuhan pokok bagi dunia usaha
yang tidak disediakan oleh pasar, termasuk infrastruktur dasar, posisi Indonesia juga
memburuk. Dalam hal beban yang harus ditanggung oleh pelaku bisnis dari regulasi-
regulasi pemerintah pusat, yakni dalam memenuhi persyaratan-persyaratan administrasi
berkaitan dengan perizinan, pelaporan, dsb.nya, sebelumnya Indonesia berada pada posisi
yang relatif baik dari 104 negara menjadi lebih buruk. Perbedaan ini mengindikasikan
bahwa distorsi pasar domestik semakin besar dalam satu tahun terakhir ini akibat
regulasi-regulasi pemerintah pusat.
Untuk tingkat birokrasi, peringkat Indonesia sangat rendah, yang memberi kesan
bahwa tingkat efisiensi dari birokrasi di Indonesia sangat rendah dan ini merupakan salah
satu sumber penting dari iklim bisnis yang distortif in Indonesia. Faktor lainnya yang
juga sangat berpengaruh dalam arti bisa merupakan insentif atau disinsentif bagi
keinginan untuk melakukan bisnis atau investasi adalah pajak, dan untuk ini Indonesia
relatif baik dan dalam satu tahun terakhir sedikit membaik, yang artinya secara relatif
dibandingkan banyak negara lain di dalam sampel, pajak di Indonesia bukan merupakan
sumber distortif yang besar terhadap iklim bisnis.
Dalam hal pembayaran ekstra tidak tercatat atau terdokumentasi atau penyuapan
yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan ekspor dan impor, dan pemakaian utilitas
publik, peringkat Indonesia juga sangat rendah, dan hal ini bisa merupakan salah satu
masalah yang harus dihilangkan untuk mencapai efektivitas dari kebijakan-kebijakan dari
pemerintah selama ini yang bertujuan memulihkan kegiatan usaha dan meningkatkan
investasi di Indonesia. Mungkin untuk negara-negara yang sudah lama melakukan
investasi di Indonesia jadi sudah sangat kenal keadaan di Indonesia atau untuk preusan-
perusahaan multinacional dengan kekayaan perusahaan yang sangat besar kondisi seperti
ini tidak menjadi masalah serius sampai menghambat investasi mereka di dalam negeri.
Tetapi untuk perusahaan-perusahaan skala menengah dan dari negara-negara baru,
kondisi seperti ini bisa menakutkan atau membuat pemilik modal menjadi ragu akan
kemungkinan bisa mendapatkan keuntungan jika berinvestasi di Indonesia.
Hal yang lebih menarik adalah jika posisi Indonesia dalam kelembagaan publik
dibandingkan dengan posisi dari negara-negara ASEAN lainnya, seperti yang
ditunjukkan di Tabel 5. Dapat dilihat bahwa untuk sejumlah indikator di tabel tersebut,
posisi Indonesia relatif buruk di dalam kelompok ASEAN, walaupun bukan yang
terburuk. Hal ini menandakan bahwa kelembagaan publik di Indonesia secara relatif
dibandingkan di negara-negara ASEAN lainnya tidak kondusif bagi kegiatan
bisnis/investasi. Untuk beberapa indikator Indonesia bersama-sama dengan Filipina dan
Vietnam termasuk negara anggota yang kelembagaan publiknya buruk. Malaysia dan
Singapura termasuk yang bagus, terutama Singapura yang untuk semua indikator tersebut
nomor satu (1) di dalam kelompok ASEAN. Bahkan untuk beberapa indikator, peringkat
negara pulau ini paling tinggi dari 104 negara yang disurvei. Melihat ini, tidak heran
kenapa Singapura selama ini merupakan salah satu negara di dunia yang sangat menarik
bagi PMA.
Faktor lainnya yang juga sangat bertanggung jawab terhadap memburuknya
kondisi investasi di Indonesia adalah kondisi infrastruktur, tidak hanya dalam kuantiítas
yang terbatas dibandingkan volume mobilisasi manusia dan barang, tetapi juga dalam
koalitas yang buruk dari infrastruktur yang sudah ada, khususnya jalan raya. Kombinasi
dari kedua aspek ini tentu sangat menghambat kelancaran produksi dan perdagangan di
dalam negeri maupun kegiatan ekspor, yang selanjutnya berarti beban biaya bagi
perusahaan-perusahaan. Suatu laporan dari Bank Dunia (World Bank, 2005b)
menunjukkan buruknya kinerja infrastruktur di Indonesia, bahkan sangat buruk di dalam
kelompok ASEAN. Seperti yang dapat dilihat di Tabel 6, untuk jaringan telepon tetap,
posisi Indonesia berada pada peringkat terbawah diantara 12 negara ASEAN. Juga untuk
kelistrikan, kondisi Indonesia nomor 2 dari bawah. Secara umum, dapat dikatakan bahwa
dari sisi infrastruktur, Indonesia merupakan negara ASEAN yang sangat tidak menarik
bagi investasi.
Laporan dari WEF (2004, 2005) juga menunjukkan hal yang sama. Seperti yang
dapat dilihat Tabel 7, untuk kualitas infrastruktur secara keseluruhan periode 2004-2005,
Indonesia berada pada peringkat ke 44 dari 104 negara yang masuk di dalam sampel, dan
posisinya bertambah buruk untuk periode 2005-2006 yang menurun ke 66 dari 117
negara. Gambar 4 menunjukkan posisi Indonesia dibandingkan negara-negara ASEAN
lainnya untuk kualitas keseluruhan. Untuk kualitas infrastruktur menurut jenisnya,
kondisi Indonesia juga buruk; bahkan sangat buruk untuk misalnya kualitas telepon/fax
dan jumlah jaringan telepon per 1000 penduduk.

Table 5: Peringkat Indonesia untuk Kelembagaan Publik dalam ASEAN


berdasarkan The Global Competitiveness Report

Tabel 6. Kinerja Infrastruktur di ASEAN


Tabel 7. Posisi Indonesia untuk Kualitas Infrastruktur dalam the Global
Competitiveness Report 2004-2005 dan 2005-2006

Gambar 4. Peringkat Indonesia dan Negara-negara ASEAN lainnya untuk Kualitas


Infrastruktur
Secara Keseluruhan dalam The Global Competitiveness Report 2005-2006.
Tantangan
Jelas, bagaimana bisa memenangkan persaingan dengan negara-negara tetangga
dalam menarik PMA merupakan suatu tantangan besar bagi Indonesia saat ini. Tantangan
terutama sangat berat untuk menarik atau mempertahankan PMA yang sudah beroperasi
di Indonesia di industri-industri footloose seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Mungkin untuk menarik PMA di sektor pertambangan, Indonesia tidak perlu terlalu
kuatir, karena bagaimanapun juga suatu perusahaan asing yang sangat tergantung pada
bahan baku yang hanya dimiliki oleh sejumlah kecil negara di dunia, termasuk Indonesia
seperti misalnya migas, batu bara dan emas, harus beroperasi di Indonesia. Jadi dalam hal
ini persaingan yang dihadapi Indonesia relatif kecil, dibandingkan dengan persaingan
dalam menarik PMA untuk industri-industri non-sumber daya alam. Dengan biaya
transportasi yang menurun terus selama ini akibat kemajuan teknologi dalam transportasi
dan informasi, bukan lagi merupakan penghalang bagi sebuah perusahaan asing untuk
membangun pabriknya di, misalnya Malaysia, walaupun sebagian besar produknya untuk
pasar domestik di Indonesia. Apalagi jika sebuah perusahaan multinasional pada awalnya
ingin membanguan pabriknya di Indonesia dengan tujuan pasar ASEAN. Walaupun upah
buruh paling murah di Indonesia dibandingkan di negara-negara ASEAN lainnya, namun
jika begitu banyak permasalahan di dalam negeri sehingga pada akhirnya membuat total
biaya produksi di Indonesia menjadi lebih mahal daripada misalnya di Malaysia, maka
sudah dapat dipastikan si investor tersebut akan memilih Malaysia sebagai negara tujuan
pertama.
Laporan dari UNCTAD (2004) menyajikan peringkat sepuluh (10) besar negara-
negara penerima PMA di Asia dan Pasifik (Gambar 5). Sudah diduga, China (termasuk
Hong Kong) merupakan negara penerima terbesar, yang mencerminkan daya saing
investasi dari negara tersebut paling tinggi di kawasan tersebut. Banyak faktor yang
membuat negara Panda tersebut sangat menarik untuk investasi, diantarnya stabilitas
politik dan sosial, kebijakan ekonominya yang sangat mendukung kegiatan bisnis,
kondisi tenaga kerja baik dalam keterampilan maupun keuletan bekerja yang jauh lebih
baik dibandingkan di Indonesia, dan kondisi infrastruktur yang baik. Di dalam kelompok
ASEAN, hanya Singapura, Malaysia dan Thailand yang masuk dalam Top 10. Ini
menandakan bahwa dari perspektif ASEAN, daya saing Singapura adalah yang paling
tinggi untuk menarik PMA. Satu hal yang sangat menarik dari gambar ini adalah bahwa
China dan India yang belakangan ini sering disebut-sebut sebagai pendatang baru di
dalam perdagangan regional yang sangat berpotensi menjadi dua kekuatan ekonomi
global merupakan tujuan penting PMA. Jika hal ini berlangsung terus, sangat dapat
dipastikan bahwa kedua negara tersebut dalam waktu singkat akan benar-benar menjadi
kekuatan-kekuatan baru ekonomi global, dan ini akan menjadi suatu ancaman serius bagi
kelangsungan ekspor Indonesia ke kawasan Asia atau dunia pada umumnya.

Gambar 5. Asia dan Pasifik: 10 negara terbesar penerima PMA, 2002 dan 2003
(miliar dollar AS)
Lebih spesifik lagi, tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini adalah
kemampuannya menghilangkan semua permasalahan yang disebut di atas dalam waktu
sesingkat-singkatnya. Waktu sangat penting saat ini karena perubahan-perubahan global
yang semakin cepat dibandingkan dengan, bilang 20 tahun yang lalu, terutama dalam
teknologi, sistem keuangan, pola perdagangan baik pada tingkat regional (regionalism)
maupun pada tingkat dunia, dan selera masyarakat dunia sebagai konsekuensi dari
peningkatan pendapatan dunia per kapita. Perubahan-perubahan ini membuat pola
produksi yang diterapkan oleh perusahaan-perusahaan multinasional berubah terus, dan
ini selanjutnya mempengaruhi pemilihan lokasi usaha. Sebagai satu contoh konkrit, jika
Indonesia tidak cepat memperbaiki kondisi infrastrukturnya, sementara Cina dengan laju
yang cepat terus membangun jalan-jalan raya, jaringan-jaringan telekomunikasi, areal-
areal untuk industri, dan pelabuhan-pelabuhan, maka Indonesia akan kehilangan peluang
mendapatkan investasi-investasi baru dari luar.
Belakangan ini peristiwa-peristiwa seperti kasus Free Port yang mencapai
klimaknya dengan kasus pemberian visa sementara oleh pemerintah Australia bagi
sejumlah warga Papua, ditambah lagi dengan banhyaknya permasalahan yang hingga saat
ini belum tuntas seperti revisi undang-undang perburuhan dan undangt-undang investasi,
serta infrastruktur yang semakin buruk kondisinya (seperti jalan Pantura) semakin
mempersulit Indonesia dalam menghadapi tantangan tersebut di atas.
Yang pasti, jika Indonesia tidak mampu menghadapi tantangan ini, konsukwensinya
sangat besar, mulai dari hilangnya kesempatan kerja, devisa (jika perusahaan
bersangkutan melakukan ekspor) dan transfer teknologi. Yang pertama tentu akan
berakibat pada lambatnya penurunan kemiskinan; yang kedua akan berakibat pada
semakin besarnya kebutuhan Indonesia terhadap pinjaman luar negeri yang selanjutnya
mengancam Indonesia terjerumus ke krisis utang luar negeri; dan yang terakhir akan
berakibat pada tertinggalnya Indonesia dalam pembangunan sektor industri baik dari sisi
kualitas maupun dari sisi daya saing karena lemahnya kemampuan teknologi di dalam
negeri.

Potensi
Potensi Indonesia bagi investasi sangat besar, baik dilihat dari sisi penawaran
(produksi) maupun sisi permintaan. Dari sisi penawaran, harus dibedahkan antara potensi
jangka pendek dan potensi jangka panjang. Potensi jangka pendek yang masih dapat
diandalkan oleh Indonesia tentu adalah masih tersedianya banyak sumber daya alam
(SDA), termasuk komoditas-komoditas pertambangan dan pertanian, dan jumlah tenaga
kerja yang besar. Sedangkan potensi jangka panjang adalah pengembangan teknologi dan
peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Tidak ada satu negarapun di dunia ini
yang tidak mampu mengembangkan teknologi dan meningkatkan kualitas SDM-nya;
namun ini sangat tergantung pada kemauan sungguh-sungguh dari negara tersebut.
Jika potensi jangka panjang ini tidak dapat direalisasikan, dan berbagai permasalahan
seperti yang telah disebut di atas juga tidak tuntas, maka lambat laun potensi jangka
pendek akan hilang. Misalnya, salah satu permasalahan tenaga kerja di Indonesia adalah
kualitas serta etos kerja yang rendah. Selama ini, keunggulan klasik dari tenaga kerja
Indonesia relatif dibandingkan banyak negara lain adalah upah murah, namun saat ini dan
terutama di masa depan, keunggulan ini (potensi jangka pendek) tidak bisa lagi
diandalkan sepenuhnya. Dengan kemajuan teknologi yang pesat, persaingan yang
semakin ketat akibat munculnya banyak pemain-pemain baru di pasar dan produksi
global yang sangat agresif dan semakin ketatnya penerapan segala macam standarisasi
produk yang berkaitan dengan lingkungan dan keselamatan konsumen, maka Indonesia
masih bisa mengandalkan upah buruh murah hanya apabila dikombinasikan dengan
kualitas tenaga kerja yang tinggi. Karena upah murah akan tidak berarti apa-apa, jika
produktivitasnya rendah dan produk yang dihasilkan berkualitas buruk.
Dari sisi permintaan, ada dua faktor utama yakni jumlah penduduk (dan
strukturnya menurut umur) dan pendapatan riil per kapita. Kedua faktor ini secara
bersama menentukan besarnya potensi pasar, yang berarti juga besarnya potensi
keuntungan bagi seorang investor. Dari segi jumlah penduduk, tentu Indonesia, seperti
halnya China dan India, merupakan potensi pasar yang sangat besar. Namun jumlah
penduduk saja tidak cukup jika pendapatan penduduk rata-rata per orang atau
kemampuan belanja konsumen di Indonesia kecil. Oleh karena itu, kemampuan Indonesia
untuk pulih kembali setelah krisis dengan menghasilkan pertumbuhan PDB riil rata-rata
per kapita yang tinggi yang paling tidak seperti pada masa Orde Baru menjadi salah satu
pertimbangan serius bagi calon investor asing.
Saat ini Indonesia masih dalam proses pemulihan, yang ditandai dengan semakin
tingginya pertumbuhan PDB yang kembali positif sejak 1999 walaupun dengan laju yang
relatif lambat. Dengan pendapatan yang cenderung meningkat, yang berarti potensi pasar
di dalam negeri cenderung meningkat, maka dari sisi permintaan potensi Indonesia untuk
investasi sangat baik (Gambar 6). Namun, dibandingkan dengan negara-negara lain di
Asia Tenggara, termasuk negara-negara yang juga mengalami krisis yang sama,
Indonesia masih buruk. Berdasarkan database dari Asian Development Bank, Thailand
yang mengalami krisis ekonomi sama parahnya seperti yang dialami Indonesia ternyata
mampu mengenjot pertumbuhan sebesar 4.4% tahun 1999. Sedangkan pertumbuhan
ekonomi Indonesia pada tahun yang sama hanya 0,9% (menurut BPS 0,8%).Yang paling
menarik dari laporan ADB ini adalah bahwa ternyata Vietnam merupakan negara yang
paling baik pertumbuhan ekonominya di kawasan tersebut Pada tahun 1999 negara itu
mengalami pertumbuhan sekitar 4,7%, lebih tinggi daripada laju pertumbuhan rata-rata
dari semua negara di Asia Tenggara yakni sebesar 3,8%; dan tahun 2002 diperkirakan
tumbuh 7,1%. Dua tahun berikutnya ekonomi Vietnam tumbuh masing-masing 7,3% dan
7,7%. Filipina juga terkena krisis dan tahun 2001 ekonominya tumbuh hanya 1,8%;
namun tiga tahun berikutnya laju pertumbuhan ekonominya menanjak terus hingga
mencapai sekitar 6,1% pada tahun 2004. Demikian juga Malaysia, yang ekonominya
pada tahun 2001 tumbuh hanya 0,3%, namun pada tahun 2004 mencapai 7,1% (Gambar
7).
Gambar 6. Pertumbuhan PDB Indonesia: 1998-2005 (%y-o-y)

Gambar 7 Pertumbuhan PDB di Beberapa Negara di Asia Tenggara (%)


Jika laju pertumbuhan pendapatan per kapita di Indonesia tetap rendah, atau jauh
lebih rendah dibandingkan di China yang dalam 10 tahun belakangan ini mencapai rata-
rata 9% per tahun, maka potensi pasar di Indonesia secara relatif akan mengecil. Hal ini
tentu menjadi salah satu pertimbangan penting bagi seorang investor asing. Bagi sebuah
perusahaan fast food dari Jepang, China akan menjadi pilihan utama sebagai lokasi untuk
mendirikan cabangnya jika pendapatan per kapita di China dengan penduduk lebih dari 1
miliar orang, dan hobinya sama seperti orang Indonesia suka makan, tumbuh jauh lebih
pesat daripada di Indonesia yang penduduknya hanya 225 juta orang.

Paket Kebijakan Investasi 2006 (Inpres No 3): Akan Efektifkah?


Awal Maret 2006, pemerintah Indonesia mengeluarkan paket kebijakan investasi
yang baru lewat Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 tahun 2006. Paket ini memuat
matriks program berisi serangkaian tindakan, hasil yang ditujum, target waktu, serta
penanggung jawab setiap komponen. Langkah tersebut meliputi upaya memperkuat
kelembagaan pelayanan investasi dan sinkronisasi peraturan pusat dan daerah,
kepabeanan dan cukai, perpajakan, ketenagakerjaan, serta usaha kecil, menengah dan
koperasi. Salah satu tindakan pemerintah dalam memperbaiki iklim investasi adalah
menyederhanakan proses pembentukan perusahaan dan izin usaha. Keluaran yang
diharapkan dari tindakan itu adalah berkurangnya waktu yang dibutuhkan secara bertahap
dari rata-rata 150 hari menjadi 30 hari. Hal ini antara lain ditempuh dengan cara
pendelegasian wewenang pengesahan badan hukum kepada Kantor Wilayah Hukum dan
Hak Asasi Manusia di propinsi. Pembenaan perpajakan dalam paket tersebut terkait
dengan target menyelesaikan amandemen tiga undang-undang (UU), yakni UU
Ketentuan Umum Perpajakan, UU Pajak Penghasilan, serta UU Pajak Pertambahan Nilai.
Dalam paket itu diatur revisi, terutama yang berhubungan dengan ketentuan umum
perpajakan. Paket kebijakan yang berhubungan dengan bea masuk dan cukai terkait
dengan target percepatan sistem pelayanan satu jendela melalui berbagai macam
modernisasi. Ini terkait dengan upaya meningkatkan jumlah perusahaan yang masuk ke
dalam jalur prioritas (green line), yakni perusahaan yang mendapatkan pelayanan lebih
cepat tanpa terlalu banyak pemeriksaan.

Sekarang pertanyaannya: apakah paket kebijakan investasi yang baru ini efektif,
dalam arti bisa betul-betul mendongkrak investasi di Indonesia dalam, bilang, 2-5 tahun
ke depan? Mungkin jawabannya bisa diberikan dengan dua penjelasan sebagai berikut.
Pertama, menurut laporan Bank Dunia (World Bank 2005a) mengenai iklim investasi,
menciptakan suatu iklim investasi memerlukan suatu kebijakan investasi yang menangani
tiga hal berikut: biaya, risiko, dan pembatasan bagi persaingan, yang mana pemerintah
memiliki pengaruh sangat kuat. Jika pengaruh pemerintah lewat kebijakan atau
perilakunya terhadap ke tiga aspek tersebut negatif, misalnya biaya usaha/investasi
menjadi mahal, maka kebijakan-kebijakan tersebut telah menghilangkan/mengurangi
kesempatan bagi pertumbuhan usaha-usaha baru atau perluasan kapasitas produksi dari
usaha-usaha yang ada, yang artinya menghilangkan kemungkinan peningkatan investasi.

Seperti yang dapat dilihat di Tabel 8, kebijakan dan perilaku pemerintah yang
dapat mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung biaya investasi adalah
mulai dari korupsi, besarnya tarif dan sistem perpajakan yang tidak kondusif, jasa-jasa
publik, kebijakan perdagangan mengenai bea masuk impor, birokrasi dalam pengurusan
izin, kebijakan moneter yang mempengaruhi tingkat suku bunga dan inflasi, hingga
pengeluaran pemerintah untuk pembangunan atau perbaikan infrastruktur. Besarnya
pengaruh dari semua ini terhadap biaya investasi tentu bervariasi menurut sektor atau
jenis kegiatan ekonomi dan kondisi (terutama keuangan) perusahaan yang melakukan
investasi. Bagi perusahaan-perusahaan multinasional yang biasanya memakai sumber
eksternal untuk modal pembiayaan, mungkin tidak stabilnya suku bunga di dalam negeri
tidak terlalu masalah. Atau, bagi perusahaan-perusahaan asing yang melakukan kegiatan
ekonomi di dalam negeri yang tidak terlalu tergantung pada impor untuk bahan bakunya,
mungkin besarnya bea masuk impor tidak terlalu mengganggu kegiatan mereka..

Tabel 8. Kebijakan dan Perilaku Pemerintah yang memperngaruhi keputusan


investasi.

Kedua, kegiatan investasi berada di dalam suatu lingkungan bisnis yang dinamis
dan sangat kompleks. Oleh karena itu, usaha pemerintah, sebaik apapun juga, untuk
menciptakan investasi, atau menarik masuk PMA tidak akan berhasil tanpa
mempertimbangkan lingkungan bisnis di sektor yang menjadi tujuan investasi dan
konteks dari suatu pembangunan ekonomi yang lebih luas yang menciptakan ”aturan
main” untuk semua kegiatan/jenis usaha dan yang mana mempengaruhi cara bisnis dan
pasar bekerja. Lingkungan di mana bisnis beroperasi dapat dibagi dalam dua macam,
yakni lingkungan langsung dan lingkungan yang lebih luas (Gambar 8). Lingkungan yang
lebih luas adalah lingkungan yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap suatu
kegiatan bisnis, yang terdiri dari komponen-komponen berikut: ekonomi makro (seperti
kebijakan perdagangan, kebijakan industri, kebijakan sektor keuangan, dan kebijakan
moneter dan fiskal), pemerintah dan politik pada tingkat nasional dan lokal (misalnya
legislatif dan proses pembuatan kebijakan, judisiari, dan keamanan dan stabilitas), jasa-
jasa yang diberikan oleh pemerintah (seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan,
infrastruktur, utilitas dan jasa keamanan), pengaruh-pengaruh eksternal (seperti
perdagangan global, bantuan luar negeri, tren dan selera masyarakat dunia, teknologi, dan
informasi), sosial dan kultur (seperti demografi, selera konsumer, dan sikap terhadap
bisnis), dan iklim serta lingkungan alam (misalnya sumber daya alam, cuaca, dan siklus
pertanian).
Sedangkan, yang dimaksud lingkungan langsung adalah lingkungan berpengaruh
secara langsung terhadap semua kegiatan usaha, yakni pasar (misalnya consumen, tenaga
kerja, keterampilan dan teknologi, material dan alat-alat produksi, lokasi, infrastruktur,
modal, dan jaringan-jaringan kerja), regulasi dan birokrasi (seperti undang-undang,
peraturan-peraturan, tarif pajak dan sistem perpajakan, lisensi dan perijinan, standar
produk dan proses, dan perlindungan konsumer dan lingkungan), dan intervensi-
intervensi yang didanai oleh uang publik (seperti jasa keuangan untuk bisnis).2
Implikasi dari kenyataan di atas terhadap kebijakan investasi adalah jelas bahwa
kebijakan tersebut tidak akan membawa suatu hasil yang efektif, dalam arti investasi
tidak akan meningkat jika tidak didukung oleh kebijakan-kebijakan lain yang
mempengaruhi komponen-komponen lain dari lingkungan usaha. Misalnya, di satu sisi,
pemerintah ingin meningkatkan investasi di dalam negeri dengan memberikan insentif
pajak bagi perusahaan-perusahaan baru atau perusahaan-perusahaan yang mau
memperluas kapasitas produksinya, sementara, di sisi lain, pemerintah mengeluarkan
kebijakan perdagangan yang menghapuskan bea impor bagi suatu produk yang
kebetulan adalah produk yang menarik bagi calon-calon investor. Atau, contoh lainnya,
walaupun banyak insentif yang diberikan oleh pemerintah kepada investor, investasi
tidak akan meningkat atau PMA, khusunya industri-industri yang bersifat footloose
seperti elektronik dan tekstil, tidak akan memilih Indonesia sebagai tempat kegiatannya
selama kondisi infrastruktur belum baik atau tingkat sumber daya manusia (SDM) di
Indonesia semakin buruk relatif dibandingkan di negara-negara tetangga. Dengan
kemajuan teknologi dan dalam era perdagangan bebas, faktor-faktor keunggulan
kompetitif menjadi lebih penting daripada faktor-faktor keunggulan komparatif dalam
mempengaruhi mobilisasi investasi lintas negara/wilayah.
Gambar 8: Dunia Usaha di Dalam Lingkungan Langsung dan yang Lebih Luas

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di atas, jelas bahwa kebijakan investasi seperti Paket Kebijakan Investasi
2006 tidak akan berarti apa-apa jika tidak didukung oleh kebijakan-kebijakan lainnya
seperti kebijakan moneter, kebijakan fiskal, kebijakan perdagangan luar negeri, kebijakan
industrialisasi, kebijakan perburuhan, dan lainnya. Sayangnya, pengalaman Indonesia
selama ini dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan ekonomi
menunjukkan paling tidak dua masalah yang belum menunjukkan tanda-tanda akan
membaik. Pertama, sering kali terjadi tumpang tindih atau perbenturan antara dua (atau
lebih) kebijakan, yang mencerminkan tidak adanya suatu koordinasi yang baik antara
departemen/kementerian dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan mereka
masing-masing. Kedua, dalam pelaksanaan suatu kebijakan, juga tidak ada koordinasi
yang baik antar sub-departemen atau antara pusat dan daerah di dalam sebuah
departemen yang sama yang mengeluarkan kebijakan tersebut.
Dapat dipastikan, jika dua permasalahan di atas tidak dibenahi, Paket 2006
tersebut tidak akan berhasil meningkatkan investasi secara signifikan di Indonesia.
Karena, sebagian besar dari isi dari Paket tersebut jelas-jelas menunjukkan perlunya
koordinasi yang baik antar departemen. Paket tersebut jelas-jelas mencerminkan bahwa
BKPM tidak memonopoli masalah investasi, tetapi ada banyak departemen lain yang
terlibat terutama Departemen tenaga kerja, Departemen perdagangan, Departemen
perindustrian, Departemen kaungan, termasuk bea cukai.

Saran

Anda mungkin juga menyukai