Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH ASUHAN KEBIDANAN NEONATUS, BAYI DAN BALITA

ENCEPHALOCELE, HYDROCEPHALUS DAN PHIMOSIS

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi dan Balita

Dosen Pengampu : Feri Anita Wijayanti Bd., M.Mid

Disusun oleh :

Sintiya Amiliyana (B19022)

Sofia Ananda D.A (B19023)

Ulya Hendarwati (B19024)

Virginia Kumala D. (B19025)

Wiwik Suryanti (B19026)

Yumna Sabrina (B19027)

Yusvinda Cahya H. (B19028)

UNIVERSITAS KUSUMA HUSADA SURAKARTA

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

PRODI D-3 KEBIDANAN

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Encephalocele,
Hydrocephalus dan Phimosis” ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan makalah
ini adalah untuk memenuhi tugas dari Ibu Feri Anita Wijayanti Bd., M.Mid pada mata kuliah
Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi dan Balita. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi dan Balita pada konsep materi
kelainan pada neonatus, bayi dan balita terutama pada encephalocele, hydrocephalus dan
phimosis bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Feri Anita Wijayanti Bd., M.Mid
selaku dosen pembimbing mata kuliah Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi dan Balita yang
telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai
dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab
itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Surakarta, 2 November 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................................ii

DAFTAR ISI............................................................................................................................ iii

BAB I ......................................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 1

C. Tujuan ............................................................................................................................. 2

BAB II........................................................................................................................................ 3

TINJAUAN TEORI ................................................................................................................... 3

A. Encephalocele ................................................................................................................. 3

B. Hydrocephalus .............................................................................................................. 19

C. Phimosis ........................................................................................................................ 25

BAB III .................................................................................................................................... 33

PENUTUP................................................................................................................................ 33

A. Kesimpulan ................................................................................................................... 33

B. Saran ............................................................................................................................. 34

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Usia dewasa dan usia lanjut (lansia) umumnya memiliki risiko yang cukup
tinggi untuk terserang penyakit. Namun nyatanya, bayi baru lahir juga memiliki risiko
yang sama untuk mengalami penyakit. Pada bayi baru lahir, kondisi ini dikenal dengan
nama kelainan kongenital alias cacat bawaan. Kelainan kongenital atau cacat bawaan
pada bayi adalah kelainan struktural saat baru lahir yang bisa dialami oleh semua
maupun beberapa bagian tubuh. Ada beberapa kelainan pada bayi dan balita, di
antaranya yaitu encephalocele, hydrocephalus dan phimosis.
Hidrosefalus menggambarkan kelompok keadaan yang beragam yang
merupakan akibat dari terganggunya sirkulasi dan absorbsi CSS atau pada keadaan
yang jarang, akibat dari meningkatnya produksi papilloma pleksus koroid.
Encephalocele adalah suatu kelainan tabung saraf yang ditandai dengan adanya
penonolan meningens (selaput otak) dan otak yang berbentuk seperti kantung melalui
suatu lubang pada tulang tengkorak. Encephalocele disebabkan oleh kegagalan
penutupan tabung saraf selama perkembangan janin. Bisa di belakang kepala, puncak
kepala, atau di antara dahi dan hidung. Melalui celah inilah, sebagian struktur otak dan
selaput otak keluar. Akibat kelainan ini antara lain kelumpuhan anggota gerak,
keterlambatan perkembangan, retardasi mental dan kejang berulang. Sedangkan
fimosis (phimosis) merupakan salah satu gangguan yang timbul pada organ kelamin
bayi laki-laki. Fimosis adalah keadaan dimana kulit kepala penis (preputium) melekat
pada bagian kepala (glans) dan mengakibatkan tersumbatnya lubang di bagian air seni
sehingga bayi dan anak kesulitan dan kesakitan saat kencing, kondisi ini memicu
timbulnya infeksi kepala penis (balantis). Sebagai tenaga kesehatan, kita hendaknya
mengetahui kelainan kelainan pada neonatus, bayi dna balita secara mendalam.

B. Rumusan Masalah

1. Apa saja informasi mengenai Encephalocele?


2. Apa saja informasi mengenai Hydrocephalus?

1
3. Apa saja informasi mengenai Phimosis?

C. Tujuan

1. Mengetahui informasi mengenai Encephalocele.


2. Mengetahui informasi mengenai Hydrocephalus.
3. Mengetahui informasi mengenai Phimosis.

2
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Encephalocele

1. Definisi dan Klasifikasi


Ensefalokel (Encephalocele) adalah herniasi isi kranium berupa suatu
bagian otak dan meninges (selaput otak) melalui suatu defek pada tengkorak yang
muncul secara kongenital atau dapatan. Disebut juga cephalocele, craniocele,
encephalomeningocele, dan meningoencephalocele. Ensefalokel dapat tertutup
kulit (closed defect) atau selapis tipis epitel saja (open defect). Isi kantung
ensefalokel dapat berupa meninges (meningokel), meninges dan otak
(meningoensefalokel), maupun meninges, otak, dan ventrikel
(meningoensefalosistokel).
Klasifikasi ensefalokel didasarkan pada lokasi defek dan patofisiologinya.
Ensefalokel dapat bersifat kongenital maupun dapatan yang muncul post traumatik,
iatrogenik, post operasi, dan post radiasi. Secara garis besar berdasar letak defek,
ensefalokel dapat terbagi atas ensefalokel frontal/sinsipital, ensefalokel basal, dan
ensefalokel oksipital. Defek pada ensefalokel frontal terjadi di antara bregma dan
tepi depan os ethmoid, sedangkan defek pada ensefalokel basal terjadi di dasar
tengkorak, dan defek pada ensefalokel terjadi di antara lambda dan forramen
magnum atau atlas.
Menurut Suwanwela, klasifikasi terbagi atas:
a. Lesi kubah tengkorak
1) Oksipital
2) Interfrontal
3) Parietal
4) Fontanel anterior atau posterior
5) Temporal
b. Lesi sinsipital
1) Naso frontal
2) Naso ethmoidal
3) Naso orbital

3
c. Ensefalokel basal, terbagi atas:
1) Transethmoidal: Kantung ensefalokel terletak di fossa nasal anterior.
2) Sphenoethmoidal: Kantung ensefalokel terletak di fossa nasal posterior.
3) Sphenoorbital: Kantung ensefalokel terletak dalam orbita dan menyebabkan
eksoftalmus.
4) Sphenomaxillary: Kantung ensefalokel terletak dalam fossa pterigopalatinus.
5) Sphenopharingeal: Kantung ensefalokel terletak dalam rhinopharynx atau sinus
sphenoid.

Ensefalokel oksipital terbagi menjadi tiga derajat yakni ensefalokel


oksipital letak tinggi, ensefalokel oksipital letak rendah, dan ensefalokel serviko-
oksipital. Pada ensefalokel oksipital letak tinggi, herniasi terjadi pada os oksipital
di atas foramen magnum. Pada ensefalokel oksipital letak rendah, herniasi pada os
oksipital berada di dekat foramen magnum, sedangkan pada ensefalokel
servikooksipital, defek termasuk sisi posterior arkus C1–C2. Ensefalokel serviko
oksipital disebut juga “malformasi chiari tipe III” yang berisi hampir seluruh
serebelum.

2. Epidemiologi
Ensefalokel lebih sering muncul bersama malformasi kongenital non-
neural daripada bersama maflormasi kongenital neural atau spina bifida. Insidensi
ensefalokel kurang lebih 0,08 dalam 1.000 total kelahiran di Australia, 0,3-0,6 per
1.000 kelahiran di Inggris, dan 0,15 per 1000 kelahiran keseluruhan di dunia. Tipe
ensefalokel yang dominan di Eropa dan Australia adalah ensefalokel oksipital
(75%), frontoethmoidal (13-15%), parietal (10-12%), dan sphenoidal. Meskipun
demikian, di Asia Tenggara ensefalokel frontal merupakan tipe paling dominan.

3. Etiologi
Etiologi pasti ensefalokel masih belum diketahui hingga saat ini. Meskipun
demikian, berbagai faktor terkait terjadinya ensefalokel telah berhasil diidentifikasi.
Faktor-faktor yang mendukung terjadinya ensefalokel antara lain:
a. Infeksi rubella pada ibu
b. Diabetes maternal

4
c. Sindrom genetic
d. Amniotic band syndrome
e. Hipervitaminosis
f. Defisiensi asam folat
g. Sosioekonomi ibu rendah
h. Pajanan obat-obatan: methotrexate, asam valproat, dan aminopterin
i. Pernikahan sedarah (consanguineous marriage).

4. Patofisiologi
Pada embriogenesis, tuba neuralis menutup pada hari ke-27 atau ke-28
kehamilan. Ujung anterior dan posterior tuba neuralis menutup pada saat berbeda.
Neuropore anterior yang terletak sama tinggi dengan foramen cecum menutup pada
hari ke-24.
Teori mengenai terjadinya ensefalokel:
a. Kegagalan penutupan tuba neuralis sebelum hari 25 kehamilan
b. Terbukanya kembali tuba neuralis setelah penutupan pada minggu ke-8
kehamilan karena adanya defek permeabilitas pada dasar ventrikel keempat.
c. Defek primer pada jaringan penyusun mesensefalon yang menyebabkan
terjadinya herniasi encephalon sehingga terbentuk ensefalokel oksipital.

Hidrosefalus dapat muncul menyertai ensefalokel karena adanya distorsi


saluran cairan otak / CSF. Ensefalokel dapat muncul sebagai salah satu komponen
utama sebuah sindrom. Sindrom dengan ensefalokel sebagai komponen utama
yakni Sindrom Chernke, Sindrom Fraser, Sindrom Knobloch, Sindrom Meckel-
Gruber, Sindrom Robert, amniotic band syndrome, dan displasia frontonasal.

5. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis paling utama dari ensefalokel adalah adanya benjolan
yang muncul sejak lahir. Benjolan ini dapat disertai gejala dan kelainan kongenital
lainnya. Secara umum, manifestasi klinis yang dapat muncul pada ensefalokel
adalah:
a. Benjolan atau kantung pada garis tengah yang ada sejak lahir dan cenderung
membesar, terbungkus kulit normal, membranous ataupun kulit yang
mengalami maserasi. Konsistensi kistous dan kenyal atau lebih solid bila

5
terdapat herniasi otak. Kantung dapat mengempis dan menegang, tergantung
tekanan intrakranial karena berhubungan dengan ruang intrakranial.
b. Hidrosefalus
c. Mikrosefalus
d. Pada ensefalokel basal adanya kantung seringkali tidak tampak menonjol di luar
melainkan di dalam rongga hidung atau massa epifaringeal sehingga seringkali
tampak seperti polip nasal. Kelainan penyerta yang muncul berupa
hipertelorisme, nistagmus, snoring persisten dan cleft palate sekunder.
e. Kelumpuhan anggota gerak, gangguan perkembangan, gangguan penglihatan
dan gangguan lain akibat pendesakaan massa maupun sindrom kelainan
kongenital terkait.

Gejala klinis ensefalokel ditandai dengan adanya benjolan di salah satu


lokasi di sepanjang garis tengah kepala, baik di parietal, frontal, nasofaringeal,
maupun nasal. Letak benjolan di oksipital terjadi pada 75% kasus, sedangkan letak
di oksipital sebesar 15%, serta benjolan di vertex sebesar 5% jumlah keseluruhan
kasus ensefalokel. Isi benjolan atau kantung ensefalokel ditentukan melalui
pemeriksaan fisik palpasi dan transluminasi. Pemeriksaan transluminasi dilakukan
dengan penyorotan lampu yang kuat pada tonjolan tersebut (di dalam ruangan
gelap) diharapkan akan menampakkan bayang-bayang isi ensefalokel.

Gambar 2.1 Ensefalokel Oksipital dengan Hidrosefalus.

6
Gambar 2.2 Ensefalokel Oksipital dengan Ukuran Lebih Besar dari Kepala.
Ensefalokel frontoethmoidal muncul dengan massa di wajah sedangkan
Ensefalokel basal tidak tampak dari luar. Ensefalokel nasofrontal muncul di pangkal
hidung di atas tulang hidung. Ensefalokel nasoethmoidal terletak di bawah tulang
hidung dan naso-orbital ensefalokel menyebabkan, hipertelorisme, proptosis dan
mendesak bola mata.

7
Gambar 2.3 Ensefalokel Nasoethmoidal dengan Hipertelorisme

Gambar 2.4 Ensefalokel Nasofrontal

8
Pada pemeriksaan neurologis umumnya didapatkan hasil normal, tetapi
beberapa kelainan dapat terjadi meliputi deficit fungsi saraf cranial, gangguan
penglihatan, dan kelemahan motorik fokal. Ensefalokel seringkali muncul bersama
kelainan kongenital lain. Sekitar 40% kasus disertai dengan kelainan defek tuba
neuralis lain seperti mikrosefali.

Mikrosefali tersebut disebabkan oleh berpindahnya massa intrakranial ke


dalam kantung ensefalokel. Kelainan lain yang muncul antara lain amniotic band
syndrome, sindrom genetik meliputi Meckel-Gruber, Fraser, Roberts dan Chemke’s
syndrome, facial cleft, spina bifida, agenesis renal, dekstrokardia, dan hipoplasia
pulmoner.

6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan pada ensefalokel adalah
USG, CT scan, foto polos kepala, dan MRI. USG merupakan pemeriksaan untuk
mendeteksi ensefalokel sejak dini. CT scan dipilih untuk visualisasi defek internal
dan eksternal. MRI dapat memvisualisasikan isi dari ensefalokel dan membantu
mendeteksi anomaly otak yang lain.
Pemeriksaan penunjang paling bermanfaat dalam penegakan diagnosis
prenatal ensefalokel adalah ultrasonografi (USG). USG yang dilakukan dapat terdiri
dari USG 2 dimensi maupun 3 dimensi serta secara transabdominal maupun
transvaginal. Pada USG yang dilakukan antenatal, tampak adanya defek pada
cranium serta massa kistik, kombinasi massa kistik dan solid, maupun massa
dominan solid tampak menempel di calvaria.
Pada USG terutama USG 3 dimensi, ensefalokel dapat tampak kurangnya
diameter biparietal, kecilnya lingkar kepala, serta gambaran unik berupa “cyst
within a cyst” dan “target sign” appearance, banana sign, lemon sign. Pada USG 3
dimensi, defek cranial dapat tampak dengan jelas.

9
Gambar 2.5 Gambaran USG 2 dimensi pada Ensefalokel.

Gambar 2.6 Gambaran ensefalokel pada USG 3 dimensi.

10
Gambar 2.7 Gambaran defek cranial pada USG 3 dimensi.

Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dimanfaatkan adalah foto polos


kepala, CT scan, dan MRI. Foto polos kepala untuk mencari defek pada tengkorak
dan mendeteksi keadaan patologis penyerta lainnya. Pemeriksaan CT scan
digunakan pada persiapan preoperatif untuk menentukan isi kantung ensefalokel
dan ukuran ventrikel. Dengan menggunakan MRI, dapat diketahui lokasi defek
beserta isinya dengan lebih jelas.

Gambar 2.8 Foto polos lateral pasien dengan ensefalokel serviko-oksipital.

11
Gambar 2.9 Gambaran CT scan Ensefalokel Oksipital.

Gambar 2.10 Gambaran MRI ensefalokel oksipital.

12
7. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik
melalui manifestasi klinis yang khas. Manifestasi klinis utama ensefalokel adalah
benjolan yang muncul sejak lahir di daerah kepala, bisanya di garis tengah.
Penegakan diagnosis dapat dilakukan sebelum kelahiran yakni dengan pemeriksaan
USG antenatal. Pada pemeriksaan USG, kriteria yang dipakai untuk menegakkan
diagnosis ensefalokel adalah sebagai berikut:
a. Tampak massa melekat pada kepala janin atau bergerak sesuai gerakan kepala
janin.
b. Tampak defek tulang tengkorak.
c. Tampak ketidaknormalan anatomis, contohnya hidrosefalus.
d. Scan tulang belakang untuk mengetahui ada tidaknya spina bifida.
e. Pemeriksaan ginjal janin, karena tingginya keterkaitan dengan penyakit ginjal
kistik.

Terdapat beberapa kelainan pada sistem saraf pusat yang dapat membantu
diagnosa ensefalokel, yakni sebagai berikut:

a. Defek tengkorak (didapatkan pada 96% kasus).


b. Ventrikulomegali (didapatkan pada 23% kasus).
c. Mikrosefali (didapatkan pada 50% kasus).
d. Basio-occiput mendatar (didapatkan 38% kasus).

8. Diagnosis Banding
Diagnosa banding ensefalokel antara lain higroma kistik, teratoma, dan
hemangioma. Higroma kistik tidak berbatas jelas, berisi cairan, bersepta, dan sering
disertai efusi pleura dan asites sedangkan teratoma berisi massa solid dan tidak
melibatkan jaringan otak. Ensefalokel nasoethmoidal dapat disalahartikan sebagai
polip nasal. Perbedaan keduanya terletak pada pulsasi, pada ensefalokel
nasoethmoidal teraba pulsasi sedangkan pada polip nasal tidak. Selain itu,
diferensial diagnosis untuk ensefalokel antara lain lipoma, kista dermoid, dan lesi
kulit kepala yang lain.

13
9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada ensefalokel adalah koreksi melalui pembedahan.
Pembedahan dilakukan sedini mungkin yakni saat pasien berusia kurang dari 4
bulan. Bila tidak dilakukan koreksi, ensefalokel akan terus membesar karena
bertambahnya herniasi jaringan otak yang dapat menimbulkan defisit neurologis..
Meskipun demikian, ensefalokel dengan ukuran sangat minimal dan hanya
melibatkan segi kosmetis dapat dipertimbangkan untuk tidak dikoreksi secara
pembedahan. Pembedahan pada ensefalokel dilakukan elektif sedini mungkin
kecuali terjadi rupture pada kantung dan kebocoran CSF 2. Pembedahan elektif
memberikan waktu bagi pasien untuk kenaikan berat badan dan kekuatan, serta
memberikan waktu bagi ahli bedah untuk pemilihan teknik operasi dan komunikasi
dengan orang tua pasien.
Pembedahan ensefalokel terdiri dari membuka dan mengeksplorasi isi
kantung, eksisi jaringan otak yang mengalami displasia, dan menutup kembali
defek secara ‘water tight’. Jaringan otak displastik di dalam kantung telah menjadi
non-fungsional akibat strangulasi, iskemi, dan edema sehingga dapat diangkat
dengan aman daripada mendorongnya ke dalam rongga cranium. Pada ensefalokel
dengan ukuran dan herniasi sangat minimal, jaringan yang mengalami herniasi
dimasukkan kembali ke dalam rongga intracranial. Pembedahan ini dihadapkan
pada tantangan untuk menutup defek anatomis pada tulang tengkorak, hasil operasi
sedekat mungkin dengan fungsi normal, dan menghindari defek pada psikomotor.
Pada ensefalokel oksipital, pasien diposisikan lateral atau dapat pula
telungkup dengan menggunakan penyangga kepala berbentuk tapal kuda. Posisi
pasien dijaga agar tidak terjadi cedera karena penekanan bola mata. Langkah-
langkah koreksi bedah pada ensefalokel oksipital dimulai dengan membuat insisi
melintang pada benjolan hingga perikranium dapat teridentifikasi dan dipisahkan
dari jaringan yang lebih dalam. Setelah itu, dilakukan insisi perikranial dengan
inspeksi dan diseksi isi benjolan. Koreksi bedah dilakukan untuk mempertahankan
jaringan otak agar tidak mengalami herniasi lebih banyak lagi.
Pada anak-anak, defek pada cranium ditutup dengan autogenous bone.
Insisi kulit kemudian ditutup. Pada ensefalokel oksipital berukuran besar dengan
mikrosefali sekunder akibat herniasi otak masif, digunakan fine mesh untuk
mencegah kompartemen ekstrakranial. Pembedahan pada ensefalokel dengan
penyerta memerlukan beberapa prosedur tambahan. Bila didapatkan hidrosefalus
14
yang menyertai, maka dilakukan VP shunt. Kadang prosedur ini harus dilakukan
sebelum terapi pembedahan definitive. Ventrikulostomi endoskopi digunakan
untuk menangani hidrosefalus pada kasus ensefalokel.

Gambar 2.11 Posisi pada Saat Pembedahan.

Gambar 2.12 Pembedahan pada Ensefalokel Oksipital.

15
Gambar 2.13 Penutupan Defek Luas pada Ensefalokel Oksipital.

Pada ensefalokel frontal terdapat beberapa perbedaan dalam hal


pertimbangan bedah bila dibandingkan dengan ensefalokel oksipital. Secara umum,
pembedahan pada ensefalokel frontal meliputi pengangkatan ensefalokel,
penutupan dura secara intracranial, bone grafting transkranial, dan koreksi
hipertelorisme orbital atau dystopia. Pembedahan pada ensefalokel frontal
umumnya dilakukan elektif dengan indikasi berupa proteksi otak, pencegahan
infeksi, perbaikan jalan nafas, kemampuan bicara, dan penglihatan, serta kosmetis.
Indikasi pembedahan darurat pada ensefalokel frontal yakni tidak adanya kulit yang
membungkus kantung ensefalokel, obstruksi jalan nafas, atau gangguan
penglihatan.
Pada ensefalokel nasoethmoidal, terdapat beberapa tambahan sasaran hasil
koreksi pembedahan. Selain bertujuan untuk menutup defek dan membuang atau
mengembalikan jaringan yang mengalami herniasi, koreksi bedah pada ensefalokel
nasoethmoidal juga ditujukan untuk merekonstruksi kraniofasial sehingga
mencegah “long nose deformity”. Koreksi dilakukan dengan osteotomi dan
rekonstruksi bentuk wajah di sekitar defek, termasuk mengoreksi hipertelorisme
yang kerap menyertai.

16
Gambar 2.14 Koreksi bedah pada ensefalokel nasoethmoidal.

Gambar 2.15 Pasien ensefalokel nasoethmoidal sebelum dioperasi.

17
Gambar 2.16 Pasien ensefalokel nasoethmoidal setelah dioperasi.

Pembedahan pada ensefalokel basal memerlukan teknik yang sedikit


berbeda dan peralatan tambahan karena letak ensefalokel tertutup struktur wajah.
Salah satu tipe ensefalokel basal, yakni ensefalokel transethmoidal yang
bermanifestasi sebagai massa intranasal membutuhkan endoskopi nasal dalam
pembedahan.26 Endoskopi nasal inisial digunakan untuk melihat struktur
intranasal, kemudian dilakukan ethmoidectomi dan eksisi prosesus uncinatus agar
dapat mengakses ensefalokel yang terletak di dekat dasar tengkorak. Setelah
ensefalokel terlihat, dilakukan penilaian kantung ensefalokel dan defek pada
ehtmoid kemudian dilakukan reseksi ensefalokel dengan forsep bipolar tipe
pistolgrip.
Reseksi dilakukan hingga pedikel ensefalokel tereduksi mendekati dasar
tengkorak. Perbaikan defek dilakukan dengan memotong mukosa di sekitar defek
hingga tampak os ethmoid. Untuk defek lebih dari 5 mm, kartilago atau tulang dari
septum nasi ditempatkan antara dura dan dasar tengkorak. Selain graft tulang,
prostetik yang absorbable dapat pula digunakan. Setelah itu, graft mukosa dari dasar
hidung digunakan untuk menutup defek tersebut.

10. Komplikasi
Ensefalokel besar dapat berkomplikasi pada kebocoran CFS dan terjadi
infeksi. Ensefalokel juga dapat menimbulkan hidrosefalus. Pembuluh darah
intracranial dapat masuk ke dalam kantung sehingga dapat teriris saat eksisi dan
menyebabkan infark. Mikrosefali yang terjadi sekunder akibat herniasi masif
jaringan otak merupakan penyulit karena jaringan otak yang mengalami herniasi
sangat sulit bahkan tidak dapat dimasukkan kembali ke dalam rongga kranial.
Selain itu, sebagaimana defek tuba neuralis lain, ensefalokel dapat menimbulkan
aborsi spontan, kematian janin intrauterine, kematian bayi pada awal kehidupan,
dan kecacatan seumur hidup. Pada kasus yang jarang, baik ensefalokel maupun
pembedahannya dapat mengakibatkan kebutaan. Pembedahan yang dilakukan
sebagai tatalaksana utama ensefalokel dapat menimbulkan perdarahan intraserebral,

18
infeksi, kehilangan kemampuan penghidu, epilepsy, disfungsi lobus frontal, edema
serebri, dan defisit kemampuan konsentrasi.

11. Prognosis
Faktor penentu prognosis pada pasien ensefalokel meliputi ukuran
ensefalokel, banyaknya jaringan otak yang mengalami herniasi derajat
ventrikulomegali, adanya mikrosefali dan hidrosefalus terkait, serta munculnya
kelainan kongenital lain. Ensefalokel berukuran besar memiliki prognosis yang
buruk. Pasien ensefalokel tanpa hidrosefalus memiliki peluang mencapai
intelektual normal sebesar 90% sedangkan ensefalokel dengan hidrosefalus
memiliki peluang lebih rendah 30%.

B. Hydrocephalus

1. Pengertian
Hidrosefalus adalah penimbunan cairan serebrospinal yang berlebihan di
dalam otak. Hidrosepalus adalah kelainan patologis otak yang mengakibatkan
bertambahnya cairan serebrospinal dengan atau pernah dengan tekanan intrakranial
yang meninggi, sehingga terdapat pelebaran ventrikel. Pelebaran ventrikuler ini
akibat ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi cairan serebrospinal.
Hidrosefalus selalu bersifat sekunder, sebagai akibat penyakit atau kerusakan otak.
Adanya kelainan-kelainan tersebut menyebabkan kepala menjadi besar serta terjadi
pelebaran sutura-sutura dan ubun-ubun (Muslihatun, 2010).

2. Etiologi
Hidrosefalus terjadi bila terdapat penyumbatan aliran CSS pada salah satu
tempat antara tempat pembentukan CSS dalam sistem ventrikel dan tempat
absorbsi dalam ruang subaraknoid. Akibat penyumbatan terjadi dilatasi ruangan
CSS di atasnya. Tempat yang sering tersumbat ialah foramen Monroi, foramen
Luscha dan Magendie, sisterna magna dan sisterna basalis. Secara teoritis
pembentukan CSS yang terlalu banyak dengan kecepatan absorbsi yang normal
akan menyebabkan terjadinya hidrosepalus (Ngastiah, Perawatan Anak
Sakit. EGC).

19
Menurut Arif (2011), penyebab penyumbatan aliran CSS yang sering
terdapat pada bayi adalah kelainan bawaan (kongenital), infeksi, neoplasma, dan
perdarahan antara lain :
a. Kelainan Bawaan
1) Stenosis Aqueduktus Sylvii
Merupakan penyebab terbanyak pada hidrosefalus bayi dan anak (60-90%).
Aqueduktus dapat merupakan saluran yang buntu sama sekali atau
abnormal, yaitu lebih sempit dari biasa. Umumnya gejala hidrosepalus
terlihat sejak lahir atau progresif dengan cepat pada bulan-bulan pertama
setelah lahir.
2) Spina Bifida dan Kranium Bifida
Hidrosepalus pada kelainan ini biasanya yang berhubungan dengan
sindrom Arnold-Chiari akibat tertariknya medula spinalis dengan medula
oblongata dan serebellum letaknya lebih rendah dan menutupi foramen
magnum sehingga terjadi penyumbatan sebagian atau total.
3) Sindrom Dandy-Walker
Merupakan atresia kongenital foramen Luscha dan Magendie yang
menyebabkan hidrosepalus obstruktif dengan pelebaran sistem ventrikel
terutama ventrikel IV, yang dapat sedemikian besarnya hingga merupakan
suatu kista yang besar di daerah fosa posterior.
4) Kista Arachnoid
Dapat terjadi kongenital tetapi dapat juga timbul akibat trauma sekunder
suatu hematoma.
5) Anomali Pembuluh Darah

b. Infeksi
Akibat infeksi dapat timbul perlekatan meningens sehingga dapat terjadi
obliterasi ruangan subarakhnoid. Pelebaran ventrikel pada fase akut meningitis
purulenta terjadi bila aliran CSS terganggu oleh obstruksi mekanik eksudat
purulen di aqueduktus sylvii atau sistem basalis. Hidrosepalus banyak terjadi
pada klien pascameningitis. Pembesaran kepala dapat terjadi beberapa minggu
sampai beberapa bulan sesudah sembuh dari meningitis. Secara patologis
terlihat pelebaran jaringan piameter dan arakhnoid sekitar sistem basalis dan
daerah lain. Pada meningitis serosa tuberkulosa, perlekatan meningen terutama
20
terdapat di daerah basal sekitar kismatika dan interpendunkularis, sedangkan
pada meningitis purulenta lokasinya lebih tersebar.

c. Neoplasma
Hidrosefalus oleh obstruksi mekanis yang dapat terjadi di setiap tempat aliran
CSS. Pengobatannya dalam hal ini ditujukan kepada penyebabnya dan apabila
tumor tidak diangkat (tidak mungkin operasi), maka dapat dilakukan tindakan
paliatif dengan mengalirkan CSS melalui saluran buatan atau pirau. Pada anak,
penyumbatan ventrikel IV atau aqueduktus sylvii bagian akhir biasanya paling
banyak disebabkan oleh glikoma yang berasal dari serebellum, sedangkan
penyumbatan bagian depan ventrikel III biasanya disebabkan suatu kranio
faringioma.

d. Perdarahan
Telah banyak dibuktikan bahwa perdarahan sebelum dan sesudah lahir dalam
otak dapat menyebabkan fibrosis leptomeningen terutama pada daerah basal
otak, selain penyumbatan yang terjadi akibat dari darah itu sendiri.

3. Patofisiologi dan Patogenesis


Cairan serebrospinal dibuat di dalam otak dan biasanya beredar ke seluruh
bagian otak, selaput otak serta kanalis spinalis, kemudian diserap ke dalam sistem
peredaran darah. Jika terjadi gangguan pada peredaran maupun penyerapan cairan
serebrospinal, atau jika cairan yang dibentuk terlalu banyak, maka volume cairan di
dalam otak menjadi lebih tinggi dari normal. Penimbunan cairan menyebabkan
penekanan pada otak sehingga memaksa otak untuk mendorong tulang tengkorak
atau merusak jaringan otak. CSS yang dibentuk dalam sistem ventrikel oleh pleksus
khoroidalis kembali ke dalam peredaran darah melalui kapiler dalam piameter dan
arakhnoid yang meliputi seluruh susuna saraf pusat (SSP). Cairan likuor
serebrospinalis terdapat dalam suatu sistem, yakni sistem internal dan sistem
eksternal.
Pada orang dewasa normal jumlah CSS 90-150 ml, anak umur 8-10 tahun
100-140 ml, bayi 40-60 ml, neonatus 20-30 ml dan prematur kecil 10-20 ml. Cairan
yang tertimbun dalam ventrikel 500-1500 ml. Aliran CSS yang normal ialah dari
ventrikel lateralis melalui foramen monroe ke ventrikel III, dari tempat ini melalui
21
saluran yang sempit Aquaduktus Sylvii ke ventrikel IV dan melalui foramen Luscha
dan Magendie ke dalam ruang subarakhnoid melalui sisterna magna. Penutupan
sisterna basalis menyebabkan gangguan kecepatan reabsorbsi CSS oleh sistem
kapiler.
Hidrosepalus secara teoritis tejadi sebagai akibat dari tiga mekanisme yaitu
produksi likuor yang berlebihan, peningkatan resistensi aliran likuor, serta
peningkatan tekanan sinus venosa. Konsekuensi tiga mekanisme tersebut, adalah
peningkatan tekanan intrakranial sebagai upaya mempertahankan keseimbangan
sekresi dan absorbsi.
Mekanisme terjadinya dilatasi ventrikel cukup rumit dan berlangsung
berbeda-beda tiap saat selama perkembangan hidrosepalus. Dilatasi ini terjadi
sebagai akibat dari beberapa hal, yakni kompresi sistem serebrovaskuler, redistribusi
dari likuor serebrospinalis atau cairan ekstraseluler, perubahan mekanis dari otak,
serta pembesaran volume tengkorak karena regangan abnormal sutura kranial.
Produksi likuor yang berlebiha disebabkan tumor pleksus khoroid.
Gangguan aliran likuor merupakan awal dari kebanyakan kasus hidrosepalus.
Peningkatan resistensi yang disebabkan gangguan aliran akan meningkatkan tekanan
likuor secara proporsional dalam upaya mempertahankan reabsorbsi yang seimbang.
Peningkatan tekanan sinus vena mempunyai dua konsekuensi, yaitu peningkatan
tekanan vena kortikal sehingga menyebabkan volume vaskuler intrakranial
bertambah dan peningkatan tekanan intrakranial sampai batas yang dibutuhkan
untuk mempertahankan aliran likuor terhadap tekanan sinus vena yang relatif tinggi.
Konsekuensi klinis dari hipertensi vana ini tergantung dari komplians tengkorak
(Muslihatun, 2010).

4. Klasifikasi
Terdapat dua klasifikasi hidrosepalus, yang pertama berdasarkan
sumbatannya dan yang kedua berdasarkan perolehannya.
a. Berdasarkan Sumbatannya
1) Hidrosepalus Obstruktif
Tekanan CSS yang meningkat disebabkan adanya obstruksi pada salah satu
tempat pembentukan CSS, antara lain pada pleksus koroidalis dan keluarnya
ventrikel IV melalui foramen luschka dan magendie.
2) Hidrosepalus Komunikan
22
Adanya peningkatan tekanan intrakranial tanpa disertai adanya
penyumbatan pada salah satu tempat pembentukan CSS.

b. Berdasarkan Perolehannya
1) Hidrosepalus Kongenital
Hidrosepalus sudah diderita sejak lahir (sejak dalam kandungan). Ini berarti
pada saat lahir, otak terbentuk kecil atau pertumbuhan otak terganggu akibat
terdesak oleh banyaknya cairan dalam kepala dan tingginya tekanan
intrakranial.
2) Hidrosepalus Didapat
Pada hidrosepalus jenis ini, terjadi pertumbuhan otak yang sudah sempurna
dan kemudian terjadi gangguan oleh karena adanya tekanan intrakranial
yang tinggi.

5. Tanda dan Gejala


Menurut Dewi (2010), tanda dan gejala dari hydrocephalus antara lain :
a. Tengkorak kepala mengalami pembesaran
b. Muntah dan nyeri kepala
c. Kepala terlihat lebih besar dari tubuh
d. Ubun-ubun besar melebar dan tidak menutup pada waktunya, teraba tegang
dan menonjol
e. Dahi lebar, kulit kepal tipis, tegang dan mengkilat
f. Pelebaran vena kulit kepala
g. Saluran tengkorak belum menutup dan teraba lebar
h. Terdapat cracked pot sign bunyi seperti pot kembang retak saat dilakukan
perkusi kepala
i. Adanya sunset sign dimana sklera berada di atas iris sehingga iris seakan-akan
menyerupai matahari terbenam
j. Pergerakan bola mata tidak teratur
k. Kerusakan saraf yang dapat memberikan gejala kelainan neurologis berupa
gangguan kesadaran, kejang dan terkadang terjadi gangguan pusat vital.

6. Diagnosis

23
Diagnosis hidrosepalus pada bayi dibuat berdasarkan ukuran lingkar
kepala yang melebihi satu atau lebih garis pada bagan pengukuran dalm periode 2-
4 minggu, dikaitkan dengan tanda-tanda neurologik yang ada dan progresif. Meski
demikian, pemeriksaan diagnostik lainnya diperlukan untuk menentukan lokasi
tempat obstruksi CSS. Pengukuran rutin lingkar kepala bayi setiap hari dilakukan
pada bayi dengan meningokel dan infeksi intrakranial. Pada saat mengevaluasi bayi
prematur, bagan pencatatan lingkar kepala yang diadaptasi secara khusus dibuat
untuk membedakan pertumbuhan kepala abnormal dari pertumbuhan kepala yang
normal dan cepat.
Alat diagnostik primer untuk mendeteksi hidrosepalus adalah CT dan
MRI. Sedasi diperlukan karena anak harus benar-benar diam untuk menghasilkan
foto yang akurat. Evaluasi diagnostik pada anak-anak yang mengalami gejala
hidrosepalus setelah masa bayi sama dengan yang dilakukan pada pasien-pasien
dengan dugaan tunir intrakranial. Pada neonatus, ekoensefalografi (EEG)
merupakan pemeriksaan yang berguna untuk membandingkan rasio ventrikel
lateralis dengan korteks serebri (Donna, 2009).

7. Terapi
Pada dasarnya ada tiga prinsip dalam pengobatan hidrosepalus, yaitu
mengurangi produksi CSS, mempengaruhi hubungan antara tempat produksi CSS
dengan tempat absorbsi, serta pengeluaran likuor (CSS) ke dalam organ
ekstrakranial. Penanganan hidrosepalus juga dapat dibagi menjadi tiga, yaitu
penanganan alternatif (selain shunting), serta operasi pemasangan ‘pintas’
(shunting). Penanganan sementara ditempuh melalui pemberian terapi konservatif
medikamentosa. Pemberian terapi ini ditujukan untuk membatasi evolusi
hidrosepalus melalui upaya mengurangi sekresi cairan dari pleksus khoroid atau
upaya meningkatkan reabsorbsinya.
Penanganan alternatif (selain shunting), misalnya pengontrolan kasus
yang mengalami intoksikasi vitamin A, reseksi radikal lesi massa yang
mengganggu aliran likuor atau perbaikan suatu malformasi. Saat ini cara terbaik
untuk melakukan perforasi dasar ventrikel III adalah dengan teknik bedah
endoskopik. Operasi pemasangan ‘pintas’ (shunting), bertujuan membuat saluran
baru antara aliran likuor dengan kavitas drainase. Pada anak-anak lokasi drainase
yang terpilih adalah rongga peritoneum. Biasanya cairan serebrospinalis didrainase
24
dari ventrikel, namun kadang pada hidrosepalus komunikans ada yang di drain ke
rongga subarakhnoid lumbar. Ada dua hal yang perlu diperhatikan pada periode
pasca operasi, yaitu pemeliharaan luka kulit terhadap kontaminasi infeksi dan
pemantauan kelancaran dan fungsi alat shunt yang dipasang. Infeksi pada shunt
meningkatkan resiko akan kerusakan intelektual, lokulasi ventrikel dan bahkan
kematian.
8. Prognosis
Anak dengan hidrosefalus meningkat resikonya untuk berbagai
ketidakmampuan perkembangan. Rata-rata quosien intelegensi berkurang
dibandingkan dengan populasi umum, terutama untuk kemampuan tugas sebagai
kebalikan dari kemampuan verbal. Kebanyakan anak menderita kelainan dalam
fungsi memori (Nelson, 2012).
Hidrosepalus yang tidak diterapi akan menimbulkan gejala sisa, gangguan
neurologis serta kecerdasan. Dari kelompok yang tidak diterapi, 50-70% akan
meninggal karena penyakitnya sendiri atau akibat infeksi berulang, atau oleh
karena aspirasi pneumonia. Namun bila prosesnya berhenti (arrested hidrosefalus)
sekitar 40% anak akan mencapai kecerdasan yang normal. Pada kelompok yang
dioperasi, angka kematian 7%. Setelah operasi sekitar 51% kasus mencapai fungsi
normal dan sekitar 16% mengalami retardasi mental ringan (Muslihatun, 2010).

C. Phimosis

1. Pengertian
Fimosis adalah keadaan dimana kulit penis (Preupitium) melekat pada
bagian kepala (Grans) dan mengakibatkan tersumbatnya lubang saluran air seni,
sehingga bayi dan anak jadi kesulitan dan kesakitan saat kencing. Fimosisi adalah
salah satu gangguan yang timbul pada organ kelamin pria, yang dimaksud dengan
fimosis adalah keadaan dimana kulit penis (Preupitium) melekat pada bagian kepala
(Grans) dan mengakibatkan tersumbatnya lubang saluran air seni, sehingga bayi
dan anak jadi kesulitan dan kesakitan saat kencing, kondisi ini memicu timbulnya
infeksi pada penis (balantis). Jika keadaan ini di biarkan dimana muara saluran
kencing di ujung penis tersumbat maka dokter menganjurkan untuk disunnat,
tindakan ini dilakukan dengan membuka dan memotong kulit penis agar ujungnya
terbuka (Himawan,1996).

25
Fimosis adalah penyempitan pada prepusium. Kelainan menyebabkan bayi
/ anak sukar berkemih. Kadang-kadang begitu suka sehingga kulit prepusium
menggelembung seperti balon. Bayi / anak sering menangis sebelum urine keluar.
Fimosis (phimosis) merupakan kondisi dimana kulit yang melingkupi
kepala penis (glans penis) tidak bisa ditarik ke belakang untuk membuka seluruh
bagian kepala penis (kulup, prepuce, preputium, foreskin,) Preputium terdiri dari
dua lapis, bagian dalam dan luar, sehingga dapat ditarik ke depan dan belakang pada
batang penis. Pada fimosis, lapis bagian dalam preputium melekat pada glans penis.
Kadangkala perlekatan cukup luas sehingga hanya bagian lubang untuk berkemih
(meatus urethra externus) yang terbuka. Fimosis (phimosis) bisa merupakan
kelainan bawaan sejak lahir (kongenital) maupun didapat.
Fimosis adalah prepusium penis tidak dapat diretraksi (ditarik) ke
proksimal sampai ke korona galndis. Hingga usia 3-4 tahun penis tumbuh dan
berkembang dan debris yang dihasilkan oleh epitel prepusium (smegma)
mengumpul di dalam prepusium dan perlahan-lahan memisahkan prepusium dari
glans penis. Ereksi penis yang terjadi secara berkala membuat prepusium terdilatasi
perlahan-lahan sehinga prepusium menjadi retraktil dan dapat ditarik ke proksimal.
Apabila preputium melekat pada glans penis, maka cairan smegma yaitu
cairan putih, kental yang biasa mengumpul diantara kulit kulup dan kepala penis
akan tertinbun di tempat itu, sehingga mudah sekali terjadi infeksi. Biasanya yang
sering di serang adalah bagian ujung penis, sehingga di sebut infeksi ujung penis
atau blantis. Sewaktu akan kencing, anak menjadi rewel yang terlihat adalah kulit
kulup yang terbelit dan menggelembung.

2. Etiologi
Fimosis pada bayi laki-laki yang baru lahir terjadi karena ruang di antara
kutup dan penis tidak berkembang dengan baik. Kondisi ini menyebabkan kulup
menjadi melekat pada kepala penis sehingga sulit ditarik ke arah pangkal.
Penyebabnya bisa dari bawaan dari lahir, atau didapat, misalnya karena infeksi atau
benturan.

3. Penyebab
Kebanyakan kasus, fimosis adalah bawaan lahir. Pada kasus yang lebih
jarang, fimosis terjadi karena kulup kehilangan kemampuan peregangan, misalnya
26
karena peradangan atau luka akibat pembukaan paksa kepala penis. Pembentukan
jaringan parut dari bekas luka itu mencegah peregangan kulup.

4. Macam-Macam Phimosis
a. Phimosis Kongenital (Psikologis)
Phimosis kongenital timbul sejak lahir sebenarnya merupakan kondisi normal
pada anak-anak, bahkan sampai masa remaja. Kulit preputium selalu melekat
erat pada glans penis dan tidak dapat ditarik ke belakang pada saat lahir, namun
seiring bertambahnya usia serta diproduksinya hormon dan faktor pertumbuhan,
terjadi proses keratinisasi lapisan epitel dan deskuamasi antara glans penis dan
lapis bagian dalam preputium sehingga akhirnya kulit preputium terpisah dari
glans penis. Suatu penelitian mendapatkan bahwa hanya 4% bayi yang seluruh
kulit preputiumnya dapat ditarik ke belakang penis pada saat lahir, namun
mencapai 90% pada saat usia 3 tahun dan hanya 1% laki-laki berusia 17 tahun
yang masih mengalami fimosis kongenital. Walaupun demikian, penelitian lain
mendapatkan hanya 20% dari 200 anak laki-laki berusia 5-13 tahun yang
seluruh kulit preputiumnya dapat ditarik ke belakang penis.
b. Phimosis Didapat (Patologis)
Phimosis ini timbul kemudian setelah lahir. Hal ini berkaitan dengan kebersihan
(higiene) alat kelamin yang buruk, peradangan kronik glans penis dan kulit
preputium (balanoposthitis kronik), atau penarikan berlebihan kulit preputium
(forceful retration) pada fimosis kongenital yang akan menyebabkan
pembentukan jaringan ikat (fibrosis) dekat bagian kulitpreputium yang
membuka.

Fimosis kongenital seringkali menimbulkan fenomena ballooning, yakni


kulit preputium mengembang saat berkemih karena desakan pancaran air seni tidak
diimbangi besarnya lubang di ujung preputium. Fenomena ini akan hilang dengan
sendirinya, dan tanpa adanya fimosis patologik, tidak selalu menunjukkan adanya
hambatan (obstruksi) air seni. Selama tidak terdapat hambatan aliran air seni,
buang air kecil berdarah (hematuria), atau nyeri preputium, fimosis bukan
merupakan kasus gawat darurat.

5. Tanda dan Gejala


27
Tanda dan gejala penyakit fimosis diantaranya :
a. Penis membesar dan menggelembung akibat tumpukkan urine.
b. Kadang-kadang keluhan dapat berupa ujung kemaluan menggembang saat
mulai buang air kecil yang kemudian menghilang setelah berkemih. Hal
tersebut disebabkan oleh karena urine yang keluar terlebih dahulu tertahan
dalam ruangan yang dibatasi oleh kulit pada ujung penis sebelum keluar
muaranya yang sempit.
c. Biasanya bayi menangis dan mengejan saat buang air kecil karena timbul
rasa sakit.
d. Kulit penis tidak bisa ditarik kearah pangkal ketika akan dibersihkan.
e. Air seni keluar tidak lancar. Kadang-kadang menetes dan kadang-kadang
memancar dengan arah yang tidak dapat di duga.
f. Bisa juga disertai demam.
g. Terjadi iritsi pada penis.

6. Gangguan
Aliran urine berupa sulit kencing, pancaran urine mengecil,
menggelembungnya ujung prepusium penis pada saat miksi dan menimbulkan
retensi urine. Kadang kala pasien dibawa berobat oleh orang tuanya Karena adanya
benjolan lunak di ujung penis yang tak lain adalah korpus smegma. Smegma terjadi
dari sel-sel mukosa prepusium dan glans penis yang mengalami deskuamasi oleh
bakteri yang ada didalamnya.
Tindakan tidak dianjurkan melakukan dilatasi atau retraksi yang
dipaksakan pada fimosis karena menimbulkan luka dan terbentuk sikatriks pada
ujung prepusium sebagai fimosis sekunder. Dapat diberikan salep dexametasone
0,1% yang dioleskan 3 atau 4 kali. Diharapkan setelah pemberian selama 6 minggu
prepusium dapat diretraksi spontan kemudian dilakukan sirkumsisi.

7. Komplikasi
a. Ketidaknyamanan / nyeri saat berkemih.
b. Akumulasi sekret dan smegma di bawah prepusium yang kemudian terkena
infeksi sekunder dan akhirnya terbentuk jaringan parut.
c. Pada kasus yang berat dapat menimbulkan retensi urin.

28
d. Penarikan prepusium secara paksa dapat berakibat kontriksi dengan rasa
nyeri dan pembengkakan glans penis yang disebut parafimosis.
e. Pembengkakan/radang pada ujung kemaluan yang disebut balinitis.
f. Timbul infeksi pada saluran air seni (ureter) kiri dan kanan, kemudian
menimbulkan kerusakan pada ginjal.
g. Fimosis merupakan salah satu faktor resiko terjadinya kanker penis.

8. Penatalaksanaan
Ada beberapa cara untuk mengatasi Phimosis, antara lain :
a. Sunat
Banyak dokter yang menyarankan sunat untuk menghilangkan masalah
fimosis secara permanen. Rekomendasi ini diberikan terutama bila fimosis
menimbulkan kesulitan buang air kecil atau peradangan di kepala penis
(balanitis). Sunat dapat dilakukan dengan anestesi umum ataupun local.
b. Obat
Terapi obat dapat diberikan dengan salep yang meningkatkan elastisitas
kulup. Pemberian salep kortikoid (0,05-0,1%) dua kali sehari selama 20-30
hari, harus dilakukan secara teratur dalam jangka waktu tertentu agar efektif.
c. Peregangan
Terapi peregangan dilakukan dengan peregangan bertahap kulup yang
dilakukan setelah mandi air hangat selama lima sampai sepuluh menit setiap
hari. Peregangan ini harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari
luka yang menyebabkan pembentukan parut.

Fimosis kongenital seyogianya dibiarkan saja, kecuali bila terdapat alasan


agama dan/atau sosial untuk disirkumsisi. Hanya diperlukan penjelasan dan
pengertian mengenai fimosis kongenital yang memang normal dan lazim terjadi
pada masa kanak-kanak serta menjaga kebersihan alat kelamin dengan secara rutin
membersihkannya tanpa penarikan kulit preputium secara berlebihan ke belakang
batang penis dan mengembalikan kembali kulit preputium ke depan batang penis
setiap selesai membersihkan.

Upaya untuk membersihkan alat kelamin dengan menarik kulit preputium


secara berlebihan ke belakang sangat berbahaya karena dapat menyebabkan luka,
fimosis didapat, bahkan parafimosis. Seiring dengan berjalannya waktu, perlekatan

29
antara lapis bagian dalam kulit preputium dan glans penis akan lepas dengan
sendirinya. Walaupun demikian, jika fimosis menyebabkan hambatan aliran air
seni, diperlukan tindakan sirkumsisi (membuang sebagian atau seluruh bagian kulit
preputium) atau teknik bedah plastik lainnya seperti preputioplasty (memperlebar
bukaan kulit preputium tanpa memotongnya). Indikasi medis utama dilakukannya
tindakan sirkumsisi pada anak-anak adalah fimosis patologik.

Penggunaan krim steroid topikal yang dioleskan pada kulit preputium 1


atau 2 kali sehari, selama 4-6 minggu, juga efektif dalam tatalaksana fimosis.
Namun jika fimosis telah membaik, kebersihan alat kelamin tetap dijaga, kulit
preputium harus ditarik dan dikembalikan lagi ke posisi semula pada saat mandi
dan setelah berkemih untuk mencegah kekambuhan fimosis. Cara menjaga
kebersihan pada fimosis yaitu dengan menjaga kebersihan bokong dan penis.

a. Bokong
Area ini mudah terkena masalah, karena sering terpapar dengan popok basah
dan terkena macam-macam iritasi dari bahan kimia serta mikroorganisme
penyebab infeksi air kemih atau tinja, maupun gesekan dengan popok atau baju.
Biasanya akan timbul gatal-gatal dan merah disekitar bokong. Meski tak semua
bayi mengalaminya, tapi pada beberapa bayi, gatal-gatal dan merah dibokong
cenderung berulang timbul. Tindak pencegahan yang penting adalah
mempertahankan area ini tetap kering dan bersih.
Tindakan yang harus dilakukan, yaitu :
1) Jangan gunakan diapers sepanjang hari. Cukup saat tidur malam atau
berpergian.
2) Jangan berganti-ganti merek diapesr. Gunakan hanya satu merek yang
cocok dengan bayi.
3) Lebih baik gunakan popok kain. Jika terpaksa memakai diapers, kendurkan
bagian paha untuk ventilasi dan seringlah menggantinya (tiap kali ia habis
buang air kecil atau besar).
4) Tak ada salahnya sesekali membiarkan bokongnya terbuka. Jika perlu,
biarkan ia tidur dengan bokong terbuka. Pastikan suhu ruangan cukup
hangat sehingga ia tidak kedinginan.

30
5) Jika peradangan kulit karena popok pada bayi tidak membaik dalam 1
sampai 2 hari atau lebih bila timbul lecet atau bintil-bintil kecil, hubungi
dokter.

b. Penis
Tindakan yang sebaiknya dilakukan, yaitu :
1) Sebaiknya setelah BAK penis dibersihkan dengan air hangat
menggunakan kasa. Membersihkannya sampai selangkang, jangan
digosok-gosok. Cukup diusap dari atas ke bawah dengan satu arah
sehingga bisa bersih dan yang kotor bisa hilang.
2) Setiap selesai BAK, popok selalu diganti agar kondisi penis tidak iritasi.
3) Setelah BAK penis jangan dibersihkan dengan sabun yang banyak
karena bisa menyebabkan iritasi.
4) Memberikan salep kortikoid (0,05 – 0,1 %) 2x / hari selama 20 – 30
hari, terapi ini tidak dianjurkan untuk bayi dan anak-anak yang masih
memakai popok, tetapi dapat dipertimbangkan untuk usia sekitar 3
tahun.

9. Terapi
Terapi fimosis pada anak-anak tergantung pada pilihan orang tua dan dapat
berupa sirkumsisi plastik atau sirkumsisi radikal setelah usia dua tahun. Pada kasus
dengan komplikasi, seperti infeksi saluran kemih berulang atau balloting kulit
prepusium saat miksi, sirkumsisi harus segera dilakukan tanpa memperhitungkan
usia pasien.
Tujuan sirkumsisi plastik adalah untuk memperluas lingkaran kulit
prepusium saat retraksi komplit dengan mempertahankan kulit prepusium secara
kosmetik. Pada saat yang sama, perlengketan dibebaskan dan dilakukan
frenulotomi dengan ligasi arteri frenular jika terdapat frenulum breve. Sirkumsisi
neonatal rutin untuk mencegah karsinoma penis tidak dianjurkan.
Kontraindikasi operasi adalah infeksi tokal akut dan anomali kongenital
dari penis. Sebagai pilihan terapi konservatif dapat diberikan salep kortikoid (0,05-
0,1%) dua kali sehari selama 20-30 hari Terapi ini tidak dianjurkan untuk bayi dan
anak-anak yang masih memakai popok, tetapi dapat dipertimbangkan untuk usia
sekitar tiga tahun.
31
Terapi parafimosis terdiri dari kompresi manual jaringan yang edematous
diikuti dengan usaha untuk menarik kulit prepusium yang tegang melewati glans
penis. Jika manuver ini gagal, periu dilakukan insist dorsal cincin konstriksi.
Tergantung pada temuan klinis lokal, sirkumsisi dapat segera dilakukan atau
ditunda pada waktu yang lain.

32
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Fimosis adalah keadaan dimana kulit penis (preputium) melekat pada


bagian kepala penis (glands) dan mengakibatkan tersumbatnyalubang saluran air
seni, sehingga bayi dan anak menjadi kesulitan dankesakitan saat kencing. Tanda
dan gejala pada fimosis di antaranya penis membesar dan menggelembung akibat
tumpukkan urine, kadang-kadang keluhan dapat berupa ujung kemaluan
menggembang saat mulai buangair kecil yang kemudian menghilang setelah
berkemih. Hal tersebut disebabkan oleh karena urine yang keluar terlebih dahulu
tertahan dalamruangan yang dibatasi oleh kulit pada ujung penis sebelum
keluarmuaranya yang sempit, biasanya bayi menangis dan mengejan saat buang air
kecil karena timbul rasa sakit, kulit penis tidak bisa ditarik kearah pangkal ketika
akan dibersihkan dan air seni keluar tidak lancar. Kadang-kadang menetes dan
kadang-kadang memancar dengan arah yang tidak dapat di duga, bisa juga disertai
demam, dan terjadi iritsi pada penis.
Encephalocele adalah kantong berisi cairan, jaringan syaraf atau sebagian
dari otak yang biasanya terdapat pada daerah occipitalis. Encephalocele di daerah
occipital sering berhubungan dengan gangguan mental yang berat dan microcepal.
Ada dua pendapat yang dominan dalam menjelaskan proses patofisiologi dari suatu
encephalocele. Pendapat pertama mengatakan daerah yang mengalami kelemahan
tulang wajah (locus minoris), sedangkan pendapat kedua adalah terjadinya
penutupan “neural tube” yang terlambat. Karena pendapat kedua tersebut
encephalocel seringkali dihubungkan dengan suatu neural tubedefect fase neurulasi.
Hidrosefalus adalah penimbunan cairan serebrospinal yang berlebihan di
dalam otak. Hidrosefalus selalu bersifat sekunder, sebagai akibat penyakit atau
kerusakan otak. Adanya kelainan-kelainan tersebut menyebabkan kepala menjadi
besar serta terjadi pelebaran sutura-sutura dan ubun-ubun (Muslihatun, 2010).
Hidrosefalus dapat terjadi pada semua umur. pada dasarnya ada 3 prinsip
dalam pengobatan hidrosefalus, yaitu mengurangi produksi CSS, mempenganihi
hubungan antam entempat absorbs dan pengeluaran likuor (CSS) kedalam organ

33
ekstrakanial. Hal yang sangat penting dalam penanganan kasus hidrose falus ini
adalagh kejadian infeksi akibat penatalaksanaan dan asulhan ang diberikan tidak
tepat

B. Saran

Diharapkan kepada orang tua yarng mendapatkan anak dengan Kasus-


kasus tersebut untuk tidak berkecil hati karena masih ada cara pengobatan yang dapat
dilakukan. Pengobatan tersebut dapat membantu anak kembangnya dikemudian hari.
Bagi petugas kesehatan diharapkan dapat melakukan penatalaksanaan dan asuhan
yang adekuat dan hati-hati untuk mencegah terjadinya infeksi sehingga dapat
menurunkan angka kematian pada bayi.

34
DAFTAR PUSTAKA

Bhatoe, dkk.. Traumatic Frontonasoethmoidal Encephalocele. Indian J. Neurotrauma, 2017;


1(1):73-74.

Bianchi, DW, Crombleholme, TM, D’alton, ME. 2015. Fetology: Diagnosis and Management
of the Fetal Patient. New York: McGraw-Hill.

Burton, Barbara K. dan Kumar, Praveen. 2014. Congenital Malformation Evidence-Based


Evaluation and Management. New York: McGraw-Hill Company.

Dorland, W.A. 2012. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta : EGC Penerbit Buku Kedokteran

Haws., Paulette S.,2008. Asuhan Neonatus Rujukan Cepat. Jakarta; EGC

Kumar, S. 2015. Handbook of Fetal Medicine. Cambridge: Cambridge University Press.

L. Wong, Donna. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong, Ed. 6, Vol.2. EGC

Lyons, KP. 2013. Operative Techniques in Pediatric Neurosurgery. New York: Thieme.

Muslihatun, Wati Nur, 2010. Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita. Fitramaya: Yogyakarta

Muttaqin, Arif. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Salemba Medika: Jakarta

Nanny Lia Dewi, Vivian. 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Salemba Medika:
Jakarta

Nelson. 2012. Ilmu Kesehatan Anak. Vol. 3. EGC

Noriega, Fleming, dan Bonebrake. A False-Positive Diagnosis of a Prenatal Encephalocele on


Transvaginal Ultrasonography. J Ultrasound Med, 2011; 20: 926-927.

Vargas, dkk. Temporal Anterior Encephalocele. Neurology, 2018; 71: 1293.

Anda mungkin juga menyukai