Rudianto 131411123058
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Menjelaskan asuhan keperawatan pada klien dengan empiema dan
efusi pleura.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Menjelaskan konsep teori empiema dan efusi pleura
2. Menjelaskan konsep asuhan keperawatan empiema dan efusi pleura
1.4 Manfaat
Menambah ilmu pengetahuan dalam penatalaksanaan asuhan keperawatan
pada klien dengan empiema dan efusi pleura.
1.5 Metoda
1.5.1 Metoda Penulisan Laporan
Penulis menggunakan metoda deskriptif dengan pembahasan
menggunakan pendekatan proses keperawatan.
1.5.2 Cara Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penyusunan makalah pada klien
dengan kolelitiasis diperoleh dari berbagai studi literatur terbaru yang ada.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Ruang antar pleura merupakan jalan keluar dari edema paru. Penelitian
menunjukkan bahwa pada kenaikan tekanan hidrostatik atau perubahan
permeabilitas membrane, edema paru akan dicegah dengan adanya ruang antar
pleura. Pada dekompensasi jantung akan terjadi efusi pleura untuk mengeluarkan
cairan dari edema paru sehingga pengaruhnya pada faal paru lebih kecil.
Cairan pleura masuk ke dalam rongga pleura dari dinding dada (pleura
parietalis) dan mengalir meninggalkan rongga pleura menembus pleura viseralis
untuk masuk ke dalam liran limfa.
B. Etiologi
Menurut Alsagaff & Mukty, 2005, empiema toraks dapat
disebabkan oleh infeksi yang berasal dari paru atau dari luar paru.
1. Infeksi berasal dari paru
a. Pneumonia
b. Abses paru
c. Fistel bronkopleura
d. Bronkiestasis
e. Tuberculosis paru
f. Aktinomikosis paru
2. Infeksi berasal dari luar paru
a. Trauma toraks
b. Pembedahan toraks
c. Torasentesis
d. Abses subfrenik, missal abses hati karena amuba
e. Fistel esophagus pleura
C. Patofisiologi
Empiema yang sering terjadi adalah empiema yang
dissebabkan oleh peluasan infeksi pada parenkim paru. Akan tetapi
juga dapat disebabkan oleh hasil penetrasi luka di dinding dada.
Penyakit yang sering berkaitan dengan empiema adalah pneumonia,
abses paru, bronkiektasis dan komplikasi tindakan bedah.
Pembentukan empiema dapat dibedakan menjadi 3 fase:
- Fase eksudatif, cairan efusi kayan akan protein tetapi
masih belum kental, sel neutrofil meningkat tetapi kadar
glukosa dan pH masih normal
- Fase fibrinolitik, cairan pleura bertambah kental dan
dijumpai banyak fibroblast, sedangkan kadar glukosa dan
pH menurun
- Fase perlengketan (organizing), terjadi perlengketan
sehingga cairan pleura (pus) terperangkap (loculated pus)
(Djojodibroto, 2009).
Sedangkan menurut Alsagaff & Mukty (2005), akibat invasi
kuman piogenik ke pleura, timbul keradangan akut yang diikuti
dengan pembentukan eksudat serus. Dengan bertambahnya sel-sel
PMN, baik yang hidup ataupun yang mati dan peningkatan kadar
protein di dalam cairan pleura, maka cairan pleura mejadi keruh dan
kental. Endapan fibrin akan membentuk kantung-kantung yang
akhirnya akan melokalisasi nanah tersebut.
Apabila berhubungan dengan bronkus, makan akan timbul
fistel bronkopleura atau apabila ananh menembus dinding toraks dan
keluar melalui kulit disebut empiema nesesitasis. Pada stadium ini
masih disebut dengan empiema akut yang lama kelamaan akan
berubah menjadi kronis (batasan belum jelas). Organisasi dimulai
kira-kira setalah proses berjalan semninggu dan proses organisasi ini
berjalan terus menerus sampai terbentuk kantung yang tertutup.
Tuberculosis
Empiema
D. Gejala Klinis
Gejala klinis empiema dibagi menjadi 2 stadium:
1. Empiema Akut
Terjadi sekunder akibat infeksi di tempat lain, bukan
primer di pleura. Pada permulaan, gejala mirip dengan
pneumonia yaitu panas badan tinggi disertai nyeri pleuritik. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda cairan dalam rongga
pleura. Bila stadium ini dibiarkan bebrapa minggu, akan timbul
toksemia, anemia dan jari tabuh. Jia nanah tidak segera
dikeluarkan akan timbul fistel bronkopleura atau empiema
nesesitasis
Tanda terbentuknya fistel bronkopleura adalah bila batuk
makin produktif, bercampur darah dan nanah yang banyak
sekali, sehingga timbul setlah proses pneumonia membaik.
Sebalinya pada keradagan Streptokok pneumonia, empeima
timbul pada waktu masih akut. Pneumonia karena basil gram
negative, misalnya: E. coli atau Bakteriodes sering kali
menimbulkan empiema (Alsagaff & Mukty, 2005).
2. Empiema Kronis
Batas yang tegas antara empiema akut dan kronis sukar
ditentukan. Empiema disebut kronis, bila proses berlangsung
lebih dari 3 bulan. Pada penderita dengan empiema kronis badan
tampak lemah, kurus, nafsu makan menurun, kesehatan makin
mundur, tampak pucat, sering dijumpai jari tabuh, dada datar
sampai mencekung dibagian yang sakit, disertai tanda-tanda
cairan pleura. Bila timbul fibrotoraks, maka pada palpasi dan
foto toraks PA tampak trakea dan jantung tertarik ke sisi yang
sakit. Tanda fisik: Ditemukan tanda-tanda cairan pleura
(Alsagaff & Mukty, 2005).
Menurut Somantri, 2008, tanda-tanda utama empiema
adalah:
1. Demam dan keluar keringat malam
2. Nyeri pleura
3. Dispnea
4. Anoreksia dan penurunan berat badan
5. Pada auskultasi dada ditemukan penurunan suara napas
6. Pada perkusi dada ditemukan suara flatness
7. Pada palpasi ditemukan penurunan fremitus
Jika pasien dapat menerima terapi antimikroba, manifestasi
klinis akan dapat dikurangi. Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil
dari chest X-ray dan thoracentesis.
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Radiologi
Gambaran empiema pada pemeriksaan radiologi adalah
(Alsagaff & Mukty, 2005):
a. Terdapat tanda-tanda cairan dengan/atau tanpa kelainan paru
yang jelas
b. Bila tampak fluid level, berarti disitu terdapat juga udara
Adanya udara disebabkan oleh:
1) Udara masuk waktu dilakukan torasentesis
2) Udara masuk melalui fistel bronkopleura
3) Ada basil-basil pembentuk gas, missal Clostridium
welchii
c. Bila terjadi fibrosis, trakea/mediastinum tertarik ke sisi yang
sakit dan tampak penebalan pleura
d. Kantong empiema (pocketed empiema) dapat terbatas di satu
tempat
2. Bronkoskopi
Tindakan bronkoskopi dilakukan pada keadaan seperti
dibawah ini (Alsagaff & Mukty, 2005).:
a. Untuk menentukan tumor atau benda asing intrabronkial
b. Untuk menentukan fistel bronkopleura, dibuktikan dengan
penyuntikan beberapa cc methylen blue ke dalam rongga
pleura. Dengan bronkoskopi dapat dilihat dari lobus mana
yang sekretnya berwarna biru.
F. Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan empiema menurut Alsagaff, Hood & Mukty,
Abdul, 2005:
1. Pengosongan rongga pleura
Prinsip ini seperti yang dilakukan pada abses dengan
tujuan mencegah efek toksis dengan cara membersihkan rongga
pleura dari nanah dan jaringan-jaringan yang mati.
Pengosongan rongga pleura dikerjakan dengan:
a. Closed drainage= tube thoracostomy= water sealed
drainage= WSD
Indikasi:
Nanah sangat kental dan sukar diaspirasi
Nanah terus terbentuk setelah 2 minggu
Terjadi piopneumotoraks
Pengeluaran nanah melalui WSD dapat dibantu dengan
melakukan penghisapan bertekanan negative sebesar 10-20
cm H2O. Jika penghisapan telah berjalan 3-4 minggu, tetapi
tidak menunjukkan kemajuan, maka harus ditempuh cara
lain, seperti pada empiema kronis
b. Drainase Terbuka
Karena drainage ini menggunakan kateter toraks yang
besar, maka diperlukan pemotongan tulang iga. Drainage
terbuka ini dikerjakan pada empiema menahun karena
pengobatan yang diberikan terlambat, pengobatan tidak
adekuat atau mungkin sebab lain, yaitu drainase yang kurang
bersih
2. Pemberian antibiotika yang sesuai
Mengingat kematian utama empiema karena terjadinya sepsis,
maka antibiotika memegang peranan penting. Antibiotika harus
segera diberikan begitu diagnosis ditegakkan dan dosis harus
adekuat. Pemilihan antibiotika didasarkan pada hasil pengecatan
Gram dari hapusan nanah. Pengobatan selanjutnya tergantung
dari hasil kultur dari uji kepekaan. Antibiotika dapat diberikan
secara sistemik atau topical
3. Penutupan rongga empiema
Pada empiema menahun, seringkali rongga empiema tidak
menutup karena penebalan dan kekakuan pleura. Bila hal ini
terjadi, maka dilakukan pembedahan, yaitu:
a. Dekortikasi
Tindakan ini termasuk operasi besar yaitu:
mengelupas jaringan pleura yang menebal. Indikasi
dekortikasi ialah:
Drainase tidak berjalan baik, karena banyak kantung-
kantung yang berisis nanah
Letak empiema sukar dicapai oleh drain
Empiema totalis yang mengalami organisasi pada pleura
viseralis (peel sangat tebal).
b. Torakoplasti
Tindakan ini dilakukan apabila empiema tidak dapat sembuh
karena adanya fistel bronkopleura atau tak mungkin
dilakukan dekortikasi. Pada kasus ini, pembedahan dilakukan
dengan memotong iga subperiosteal dengan tujuan supaya
dinsing toraks dapat jatuh ke dalam rongga pleura akibat
tekanan udara luar
4. Pengobatan kausal
Pengobatan kausal ditujukan pada penyakit-penyakit
yang menyebabkan terjadinya empiema, misalnya abses
subfrenik. Apabila dijumpai abses subfrenik, maka harus
dilakukan drainase subdiafragmatika. Selain itu masih perlu
diberikan pengobatan spesifik, untuk amubiasis, tuberculosis,
aktinomikosis dan sebagainya
5. Pengobatan tambahan
Pengobatan ini meliputi perbaikan keadaan umum serta
fisioterapi untuk membebaskan jalan napas dari secret (nanah),
latihan gerakan untuk mengurangi terjadinya cacat tubuh
(deformitos).
G. Prognosis
Prognosis empiema dipengaruhi oleh umur penyerta,
penyakit dasarnya dan pengobatan yang adekuat. Angka kematian
meningkat pada usia tua atau penyakit dasar yang berat dan karena
terlambat memberi pengobatan.
H. Pencegahan
Pengobatan yang adekuat terhadap semua penyakit yang
mungkin dapat menimbulkan penyulit berupa empiema.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN EMPIEMA
A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Identitas pasien
a. Nama
b. Umur: terjadi pada segala umur, sering pada anak umur 2-9 tahun
c. Suku/ bangsa
d. Agama
e. Alamat
f. Pendidikan
g. Pekerjaan
B. PEMERIKSAAN FISIK
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
D. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pembersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan
produksi sekret.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan jalan nafas
efektif.
NOC : Status pernafasan : kepatenan jalan nafas
Kriteria hasil:
- Klien tidak mengeluh batuk dan sesak nafas
- Pergerakan sputum keluar dari jalan nafas
- Penurunan ronchi pada lapang paru
- RR dalam batas normal
NIC : Manajemen jalan nafas
Intervensi :
a. Kaji frekuensi kedalaman dan upaya pernapasan
b. Kaji faktor yang berhubungan, seperti; nyeri, mukus, batuk tidak efektif,
dan keletihan
c. Pantau status oksigen pasien dan hemodinamik pasien
d. Auskultasi bagian dada anterior dan posterior untuk mengetahui
penurunan atau ketiadaan ventilasi dan adanya suara nafas tambahan
e. Lakukan pengisapan lendir pada jalan nafas
f. Instruksikan pada pasien tentang batuk dan teknik nafas dalam untuk
memudahkan pengeluaran sekret
g. Kolaborasikan dalam melakukan atau membantu dalam terapi aerosol,
nebulizer ultrasonik, dan perawatan paru lainnya sesuai dengan kebijakan
dan protokol institusi
E. EVALUASI
Diagnosa I : Jalan nafas efektif.
Diagnosa II : Pola nafas kembali efektif
Diagnosa III : Tidak menunjukkan gangguan pertukaran gas.
Diagnosa IV : Nutrisi menjadi seimbang.
Diagnosa V : Pengetahuan klien meningkat.
Diagnosa VI : Diharapkan infeksi tidak terjadi.
KASUS SEMU
A. PENGKAJIAN
1. Identitas Klien
Nama : Tn. D
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 52 tahun
Suku/bangsa : Jawa/Indonesia
Status marital : Kawin
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Dagang
Alamat : Jalan Mulyorejo Tr 4/6, Surabaya
No. medrec : 076555
2. Penanggungjawab
Nama : Ny. S
Hub. Dg klien : Istri
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jalan Mulyorejo Tr 4/6, Surabaya
- Keluhan Utama:
Pasien mengeluh sesak nafas.
- Riwayat Kesehatan Sebelumnya
Klien tidak pernah sakit berat sebelum ini. Hanya demam biasa dan
sembuh setelah minum obat dari warung. Klien tidak pernah MRS sebelumnya,
klien mengatakan tidak pernah alergi obat / makanan tertentu. Klien sebelumnya
biasa menggunakan rokok sekitar 2 bungkus tiap harinya selama sekirat 35
tahun.
B. PEMERIKSAAN FISIK
Umum
Kesadaran Composmentis, GCS = 15 Penampilan Kurus, TB 170 Cm BB 43 Kg,
TD = 120/80 mmHg, Nadi 92 X/mnt, RR 28 X/mnt, S : 37,2OC
Pemeriksaan keseluruhan:
1. Kepala: Bentuk oval, ukuran relatif proporsional dengan tubuh, kulit kepala lesi
(-) tumor (-)
2. Rambut: Lurus, tebal, hitam, dan bersih
3. Mata: Mampu menghitung jari dengan baik pada jarak 5 meter, icterus (-)
conjungtiva tidak anemis, pupil isokhor reflek baik +/+ posisi okular simetris,
tidak menggunakan kacamata.
4. Hidung: Simetris, sekret tidak ada, penciuman baik, tidak ditemukan
polip/peradangan mukosa.
5. Telinga: Pendengaran baik, posisi simetris, tidak ada serumen/cairan
6. Mulut dan Gigi: Bibir simetris, bau mulut tidak sedap, perdarahan gusi (-)
halitosis (-), kerusakan mukosa (-), Jumlah gigi 32 Caries (-) kebersihan gigi
kurang, hiperemis tepi lidah (-) fungsi pengecapan baik, peradanngan faring (-)
7. Leher: Pembesaran KGB (-) Pembesaran Thiroid (-) Peningkatan VJP (-), kaku
kuduk (-)
8. Thoraks: Dada simetris, pergerakan simetris, retraksi intercostal
(+)supralavicula (+), Terpasang selang WSD pada ICS 4-5 midaxila dekstra,
Keluaran (+), Whezing (-) Ronchii (+)
9. Abdomen: Meteorismus (-) tidak teraba adanya massa distensi (+) BU 10
X/mnt, intensitas lemah, mual (+), muntah (+)
10. Genital: Tidak ada keluhan berkemih
11. Ekstremitas: Simetris, deformitas (-), lessi (-) oedema (-) cyanosis (-)
12. Integumen: Bersih, terdapat luka pemasangan drainage WSD pada thoraks
13. Palpasi lembab, turgor relatif elastis, Teraba keringat dingin pada akral
C. ANALISA DATA
No Data Etiologi Masalah
Keperawatan
.
2. DS : Sekret meningkat Perubahan pola nafas
Pasien mengatakan sesak
DO :
Dyspnea
Pasien terlihat kesulitan
bernafas.
RR 28x/mnt Penurunan pengembangan paru
DO :
Pasien terlihat kesulitan
bernafas. Alveoli mengalami kerusakan
RR 28x/mnt
Anoreksia
Mual, muntah
5. DS: Pasien mengatakan Penatalaksanaan yang kurang Defisiensi
kurang mengerti tentang pengetahuan
Port de Entry
kuman
Resiko infeksi
D. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pembersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan
produksi sekret.
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan pengembangan paru
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan alveoli.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispneu,
kelemahan, anoreksia.
5. Defisiensi pengetahuan, tentang kondisi, pengobatan, pencegahan,
berhubungan dengan kurangnya informasi yang dimiliki.
6. Resiko infeksi berhubungan dengan pemasangan WSD dan terapi torakosintesis
E. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pembersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan
produksi sekret.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan jalan nafas
efektif.
NOC : Status pernafasan : kepatenan jalan nafas
Kriteria hasil:
- Klien tidak mengeluh batuk dan sesak nafas
- Pergerakan sputum keluar dari jalan nafas
- Penurunan ronchi pada lapang paru
- RR dalam batas normal
NIC : Manajemen jalan nafas
Intervensi :
a. Kaji frekuensi kedalaman dan upaya pernapasan
b. Kaji faktor yang berhubungan, seperti; nyeri, mukus, batuk tidak efektif,
dan keletihan
c. Pantau status oksigen pasien dan hemodinamik pasien
d. Auskultasi bagian dada anterior dan posterior untuk mengetahui
penurunan atau ketiadaan ventilasi dan adanya suara nafas tambahan
e. Lakukan pengisapan lendir pada jalan nafas
f. Instruksikan pada pasien tentang batuk dan teknik nafas dalam untuk
memudahkan pengeluaran sekret
g. Kolaborasikan dalam melakukan atau membantu dalam terapi aerosol,
nebulizer ultrasonik, dan perawatan paru lainnya sesuai dengan kebijakan
dan protokol institusi
F. IMPLEMENTASI
12.30 IV
16/11/2014
-Mengkaji KU dan keluhan utama
sesuai program
-IVFD RL 20tpm
08.30
I,II,III -Menggali pengetahuan klien
- Obat masuk
I,II,III
tentang proses penyakit
- Pasien kooperatif
- Monitor TTV
TD : 90/70 mmHg
10.00 N : 76 x/menit
I,II,III
- Memberikan diit makanan
S : 36,5C
berupa sayur, nasi, lauk
R : 25 x/menit
-Manganjurkan pasien untuk
istirahat - Pasien menghabiskan ½
porsi
12.00 IV
-Pasien kooperatif
13.000
II
G. EVALUASI
Tanggal Dx Catatan Perkembangan Paraf
III
S : pasien mengatakan masih sesak nafas
O : Saturasi oksigen 97%
RR 26 x/menit.
A : masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi
Kaji respirasi rate
Kaji TTV
Atur posisi semifowler
Monitor O2
Kolaboratifkan dalam pemberian terapi yang
diresepkan
S: -
VI O: tidak ditemukan tanda-tanda infeksi di sekitar
pemasangan WSD
A: Masalah belum teratasi
P: Lanjutkan intervensi
Pantau tanda dan gejala infeksi
Instruksikan untuk menjaga hygiene personal.
Kolaborasi penggunaan antibiotic
2.3 ASKEP KLIEN DENGAN EFUSI PLEURA
2.3.1 KONSEP TEORI EFUSI PLEURA
A. Definisi
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapatnya
penumpukan cairan dalam rongga pleura (Soemantri, 2008).
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan
cairan dalam pleura berupa transudat atau eksudat yang diakibatkan
terjadinya ketidakseimbangan antara produksi dan absorpsi si kapiler
dan pleura viseralis. Efusi pleura merupakan salah satu kelainan yang
mengganggu sistem pernapasan. Efusi pleura bukanlah diagnosis dari
suatu penyakit, melainkan hanya merupakan gejala atau komplikasi
dari suatu penyakit. Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat
cairan berlebihan di rongga pleura, jika kondisi ini dibiarkan akan
membahayakan jiwa penderitanya (Muttaqin, 2008)
Akumulasi jumlah cairan pleura di dalam rongga pleura dapat
terjadi jika terdapat peningkatan tekanan hidrostatik kapiler darah
seperti pada gagal jantung, atau jika terjadi penurunan tekanan osmotic
cairan darah seperti pada hipoalbuminemia, juga dapat terjadi jika
tekanan di dalam rongga pleura bertambah negative (turun) seperti
pada atelektasis; semua kelainan ini menimbulkan efusi pleura
transudatif (Djojodibroto, 2009).
Gambar 3. Foto torak yang menunjukkan adanya efusi pleura pada sisi kanan
B. Etiologi
Timbulnya efusi pleura dapat disebabkan oleh kondisi-
kondisi (Soemantri, 2008):
1. Gangguan pada reabsorbsi cairan pleura (misalnya karena
adanya tumor)
2. Peningkatan produksi cairan pleura (misalnya akibat infeksi pada
pleura)
Secara patologis efusi pleura disebabkan oleh keadaan-
keadaan (Soemantri, 2008) :
1. Meningkatnya tekanan hidrostatik (misalnya akibat gagal
jantung)
2. Menurunnya tekanan osmotic koloid plasma (misalnya
hipoproteinemia)
3. Meningkatnya permeabilitas kapiler (misalnya infeksi bakteri)
4. Berkurangnya absorbs limfatik
Berdasarkan jenis cairan yang terbentuk, cairan pleura dibagi
lagi menjadi transudat, eksudat, dan hemoragi (Muttaqin, 2008).
1. Transudat dapat disebabkan oleh kegagalan jantung kongestif
(gagal jantung kiri) sindrom nefrotik, asites (oleh karenan sirosis
hepatis), sindrom vena cava superior, tumor dan sindrom Meigs
2. Eksudat disebabkan oleh infeksi, TB, pneumonia, tumor, infark
paru, radiasi, dan penyakit kolagen.
3. Efusi hemoragi dapat disebabkan oleh adanya tumor, trauma,
infark paru, dan tuberculosis
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat
penumpukan cairan dalam pleura berupa transudar atau eksudat yang
diakibatkan terjadinya ketidakseimbangan antara produksi dan
absorbs di kapiler dan pleura viseralis.
Berdasarkan lokasi cairan yang terbentuk, efusi dibagi
menjadi unilateral dan bilateral. Efusi unilateral tidak emmpunyai
kaitan yang spesifik dengan penyakit penyebabnya akan tetapi efusi
bilateral ditemukan pada penyakit kegagalan jantung kongestif,
sindrom nefrotik, asites, infark paru, lupus eritematosus sistemis,
tumor dan tuberculosis
C. Patofisiologi
Normalnya hanya terdapat 10-20 ml cairan dalam rongga
pleura. Jumlah cairan di rongga pleura tetap, karena adanya tekanan
hidrostatis pleura parietalis sebesar 9 cmH 2O. Akumulasi cairan
pleura dapat terjadi apabila tekanan osmotic koloid menurun
(misalnya pada penderita hipoalbuminemia dan bertambahnya
permeabilitas kapiler akibat ada proses peradangan atau neoplasma,
bertambahnya tekanan hidrostatis akibat kegagalan jantung) dan
tekanan negative intrapleura apabila terjadi atelektasis paru (Alsagaf,
1995 dikutip dari Muttaqin, 2008)
Efusi pleura berarti terjadi penumpukan sejumlah besar
cairan bebas dalam kavum pleura. Kemungkinan proses akumulasi
cairan di rongga pleura akibat beberapa proses yang meliputi
(Guyton dan Hall, 1997 dikutip dari Muttaqin, 2008):
1. Adanya hambatan drainase limfatik dari rongga pleura
2. Gagal jantung yang menyebabkan tekanan kapiler paru dan
tekanan perifer menjadi sangat tinggi sehingga menimbulkan
transudasi cairan yang berlebihan ke dalam rongga pleura
3. Menurunnya tekanan osmotic koloid plasma juga
memungkinkan terjadinya transudasi cairan yang berlebihan
4. Adanya proses infeksi atau setiap penyebab peradangan apa pun
pada permukaan pleura dari ronnga pleura dapat menyebabkan
pecahnya membrane kapiler dan memungkinkan pangaliran
protein plasma dan cairan ke dalam rongga secara cepat
Infeksi pada tuberculosis paru disebabkan oleh bakteri
Myvobacterium tuberculosis yang masuk melalui saluran pernapasan
menuju alveoli, sehingga terjadilah infeksi primer. Dari infeksi
primer ini, akan timbul peradangan saluran getah bening menuju
hilus (limfangitis local) dan juga diikuti dengan pembesaran kelenjar
getah bening hilus (limfangitis regional).
Peradangan pada saluran getah bening akan memengaruhi
permeabilitas membrane. Permeabilitas membrane akan meningkat
dan akhirnya menimbulkan akumulasi cairan dalam rongga pleura.
Kebanyakan terjadinya efusi pleura akibat dari tuberculosis paru
melalui focus subpleura yang robek atau melalui aliran getah bening.
Sebab lain dapat jga diakibatkan dari robeknya perkijuan kea rah
saluran getah bening yang menuju rongga leura, iga, atau kolumna
vertebralis.
Adapun bentuk cairan efusi akibat tuberculosis paru adalha
eksudar yang berisi protein dan terdapat cairan pleura akibat
kegagalan aliran protein getah bening. Cairan ini biasanya serosa,
namun kadang-kadang bisa juga hemoragi.
Normalnya hanya terdapat 10-20 ml cairan di dalam rongga
pleura. Jumlah cairan di rongga pleura tetap karena adanya tekanan
hidrostatis pleura parietalis sebesar 9 cmH2O (Muttaqin, 2008).
D. Manifestasi Klinis
Kebanyakan efusi pleura bersifat asimptomatis, timbul gejala
sesuai dengan penyakit yang mendasarinya. Pneumonia akan
menyebabkan demam, menggigil dan nyeri dada pleuritik. Ketika
efusi sudah membesar dan menyebarm kemungkinan timbul dispnea
dan batuk. Efusi pleura yang besar akan mengakibatkan napas
pendek. Tanda fisik meliputi deviasi trachea menjauhi sisi yang
tekena, dullness pada perkusi dan penurunan bunyi pernapasa pada
sisi yang terkena (Soemantri, 2008).
E. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis dapat ditegakkan secara anamnesis dan
pemeriksaan fisik saja, tetapi kadang-kadang sulit juga, sehingga
perlu pemerikasaan tambahan seperti sinar tembus dada. Untuk
diagnosis yang pasti perlu dilakukan tindakan torakosentesis dan
pada beberapa kasus dilakukan biopsy pleura.
1. Sinar tembus dada
Permukaan cairan yang terdapat dalam rongga pleura kan
membentuk bayangan seperti kurva, dengan permukaan daerah
lateral lebih tinggi daripada bagian medial. Bila permukaannnya
horizontal dari lateral ke medial, pasti terdapat udara dalam
rongga tersebut yang dapat berasal dari luar atau dari dalam
paru-paru itu sendiri.
Hal lain yang dapat terlihat alam foto dada efusi pleura
adalah terdoorngnya mediastinum pada sisi yang berlawanan
dengan cairan. Namun, bila terdapat atelektasis pada sisi yang
bersamaan dnegan cairan mediastinum akan tetappada tempatnya
(Soemantri, 2008).
2. Torakosentesis
Aspirasi cairan pleura berguna sebagai sarana untuk
diagnosis maupun terapeutik. Pelaksaan dilakukan sebaiknya
pada posisi duduk. Aspirasi dilakukan pada bagian bawah paru-
paru di sela iga IX garis aksila posterior dengan memakai jarum
Abbocath nomor 14 atau 16. Pengeluaran cairan sebaiknya tidak
lebih dari 1000-1500 cc pada setiap kali aspirasi. Aspirasi
sekaligus banyak akan menimbulkan pleura shock (hipotensi)
atau edema paru-paru. Edema paru-paru terjadi karena paru-paru
terlalu cepat mengembang (Soemantri, 2008).
Tabel. Perbedaan cairan transudat dan eksudat
Transudat Eksudat
1. Warna 1. Kuning pucat, dan 1. Jernih, keruh,
2. Bekuan jernih purulen, dan
3. Berat jenis 2. (-) hemoragik
4. Leukosit 3. <1018 2. (-)/(+
5. Eritrosit 4. < 1000/uL 3. >1018
6. Hitung 5. Sedikit 4. Bervariasi, >1000
jenis 6. MN u/L
7. Protein (limfosit/mesotel) 5. Biasnya banyak
total 7. < 50% serum 6. Terutama PMN
8. LDH 8. <60% serum 7. > 50% serum
9. Glukosa 9. = plasma 8. >60% serum
10. Fibrinoge 10. 0,3-4% 9. =/< plasma
n 11. (-) 10. 4-6% atau lebih
11. Amilase 12. (-) 11. >50% serum
12. Bakteri 12. (-)/(+)
3. Biopsi Pleura
Pemeriksaan histologist satu atau beberapa contoh
jaringan pleura dapat menunjukkan 50-70% diagnosis kasus
pleuritis tuberculosis dan tumor pleura. Bila hasil biopsy pertama
tidak memuaskan dapat dilakukan biopsy ulangan. Komplikasi
biopsy adalah pneumothoraks, hemothoraks, dan penyebaran
infeksi atau tumor pada dinding dada.
4. Pendekatan pada Efusi Pleura yang tidak terdiagnosis
Pemeriksaan tambahan
a. Bronkoskopi: pada kasus-kasus neoplasma, korpus alineum,
dan abses paru-apru
b. Scanning isotop: pada kasus-kasu dnegan emboli paru
c. Torakoskopi (fiber-optic pleuoroscopy): pada ksus dengan
neoplasma atau TBC.
F. Penatalaksanaan Medis
Pengelolaan efusi pleura ditujukan untuk pengobatan dasar
dan pengosongan cairan (thorakosentesis). Indikasi untuk melakukan
thorakosentesis adalah:
1. Menghilangkan sesak napas yang disebabkan oleh akumulasi
cairan dalam rongga pleura
2. Bila terapi spesifik pada penyakit primer tidak efektif atau gagal
3. Bila terjadi reakumulasi cairan
Pengambilan pertama cairan pleura, tidak boleh lebih dari
1000cc, karena pengambilan cairan pleura dalam waktu singkat dan
dalam jumlah yang banyak dapat menimbulkan edema paru yang
ditandai dengan batuk dan sesak
Kerugian thorakosestesis adalah:
1. Dapat menyebabkan kehilangan protein yang berada dalam
cairan pleura
2. Dapat menimbulkan infeksi di rongga pleura
3. Dapat terjadi pneumothoraks
Bila penyebab dasar malignansi, efusi dapat terjadi kembali
dalam beberapa hari tatau minggu, thorakosentesis berulang
mengakibatkan nyeri, penipisan protein dan elektrolit, dan kadang
pneumothoraks. Dalam keadaan ini kadang diatasi dengan
pemasangan selang dada dengan drainase yang dihubungkan ke
system drainase water-seal atau pengisapan untuk mengevaluasiruang
pleura dan pengembangan paru.
Agen yang secara kimiawi mengiritasi, seperti tetrasiklin
dimasukkan kedalam ruang pleura untuk mengobliterasi ruang pleural
dan mencegah akumulasi cairan lebih lanjut.
Pengobatan lainnya untuk efusi pleura malignan termasuk
radiasi dinding dada, bedah plerektomi, dan terapi diuretic.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN EFUSI PLEURA
1. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Anamnesis
Identitas klien yang harus diketahui perawat meliputi nama, umur,
jenis kelamin, alamat rumah, agama atau kepercayaan, suku bangsa, bahasa
yang dipakai, status pendidikan, pekerjaan klien, dan asuransi kesehatan
a. Keluhan Utama
Keluhan utama meruapakan faktor utama yang mendorong klien
mencari pertolongan atau berobat ke rumah sakit. Biasanya pada klien
dengan efusi pleura didapatkan keluhab berupa sesak napas, rasa berat
pada dada, nyeri pleuritis akibat iritasi pleura yang bersifat tajam dan
terlokalisasi teruata pada saat batuk dan bernapas serta batuk
nonproduktif
b. Riwayat Penyakit Saat Ini
Klien dengan efusi pleura biasanya akan diawalai dengan
keluhan seperti batuk, sesak napas, nyeri pleuritis, rasa berat pada dada,
dan berat badan menurun. Perlu juga ditanyakan sejak kapan keluhan itu
muncul. Apa tindakan yang telah dilakukan untuk menurunkan atau
menghilangkan keluhan-keluhan tersebut
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu ditanyakan pula, apakah klien pernah menderita penyakit
seperti TB paru, pneumonia, gagal jantung, trauma, asites, dan
sebagainya. Hal ini perlu diketahui untuk melihat ada tidaknya
kemungkinan faktor predisposisi
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita
penyakit-penyakit yang mungkin dapat menyebabkan efusi pleura
seperti kanker paru, asma, TB paru, dan lain sebagainya
e. Pengkajian Psikososial
Pengkajian psikososial meliputi apa yang dirasakan klien terhadap
penyakitnya, bagaimana cara mengatasinya, serta bagaimana perilaku
klien terhadap tindakan yang dilakukan kepada dirinya
2. Pemeriksaan Fisik
a. B1 (Breathing)
1) Inspeksi
Peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan yang disertai
penggunaan otot bantu pernapasan. Gerakan pernapasan ekspansi
dada yang asimetris (pergerakan dada tertinggal pada sisi yang sakit),
iga melebar, rongga dada asimetris (cembung pada sisi yang sakit).
Pengkajian batuk yang produktif dengan sputrum yang purulen
2) Palpasi
Pendorongan mediastinum kearah hemithoraks kontralateral
yang diketahui dari posisi trakea dan ictus cordis. Taktil fremitus
menurun terutama untuk efusi pleura yang jumlah cairannya >300cc.
Di samping itu, pada palpasi juga ditemukan pergerakan dinding dada
yang tertinggal pada dada yang sakit
3) Perkusi
Suara perkusi redup hingga pekak tergantung dari jumlah cairannya
4) Auskultasi
Suara napas menurun sampai menghilang pada sisi yang sakit.
Pada posisi duduk, cairan semakin ke atas semakin tipis
b. B2 (Blood)
Pada saat dilakukannya inspeksi, perlu diperhatikan letak ictus
cordis normal yang berada pada ICS 5 pada linea medio claviculaus kiri
selebar 1 cm. Pemeriksan ini bertujuan untuk mengethaui ada tidaknya
pergeseran jantung
Palpasi dilakukan untuk menghitung frekuensi jantung (heart
rate) dan harus memerhatikan kedalaman dan teratur tidaknya denyut
jantung. Selain itu, perlu juga memeriksa adanya thrill, yaitu getaran ictus
cordis. Tindakan perkusi dilakukakan untuk menentukan batas jantung
daerah mana yang terdengar pekak. Hal ini bertujuan untuk menentukan
pakah terjadi pergeseran jantung karena pendorongan cairan efusi pleura.
Auskultasi dikakukan untuk menentukan bunyi jantung I dan II tunggal
atau gallop dan adakah bunyi jantung II yang merupakan gejala payah
jantung, serta adakah murmur yang menunjukkan adanya peningkatan
arus turbulensi darah.
c. B3 (Brain)
Pada saat dilakukannya inspeksi, tingkat kesadaran perlu dikaji,
setalah sebelumnya diperlukan pemeriksaan GCS untuk menentukan
apakah klien berada dalam keadaan composmentis, somnolen, atau koma.
Selain itu fungsi-fungsi sensorik juga perlu dikaji seperti pendengaran,
penglihatan, penciuman, perabaan dan pengecapan
d. B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine dilakukan dalam hubungannya
dengan intake cairan. Oleh karena itu, perawat perlu memonitor adanya
oliguria, karena itu merupakan tanda awal syok.
e. B5 (bowel)
Pada saat inspeksi, hal yang perlu diperhatikan adalah apakah
abdomen membuncit atau adtar, tepi perut menonjol atau tidak, umbilicus
menonjol atau tidak, selain itu juga perlu diinspeksi ada tidaknya
benjolan-benjolan atau massa. Pada klien biasanya didapatkan indikasi
mual dan muntah, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan
f. B6 (Bone)
Hal yang diperhatikan adalah adakah edema peritibial, feel pada
kedua ekstremitas untuk mengetahui tingkat perfusi perifer, serta dengan
pemeriksaan capillary refill time. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan
kekuatan otot untuk kemudian dibandingkan antara bagian kiri dan kanan.
2. Pemeriksaan Diagnostik
3. Pemeriksaan Radiologi
Pada Fluoroskopi maupun foto thoraks PA cairan yang kurang dari
300 cc tidak bisa terlihat. Mungkin kelainan yang tampak hanya berupa
penumpukan kostofrenikus. Pada efusi pleura subpulmonal, meskipun
cairan pleura lebih dari 300 cc, frenicocostalis tampak tumpul dan
diafragma kelihatan meninggi. Untuk memastikannyta, perlu dilakukan
dengan foto toraks lateral ari sisi yang sakit (lateral dekubitus). Foto ini
akan memberikan hasil yang memuaskan bila cairan pleura sedikit.
Pemeriksaan radiologi foto thoraks juga diperlukan sebagai monitor atas
intervensi yang telah diberikan dimanan keadaan keluhan klinis yang
membaik dapat lebih dipastikan dnegan penunjang pemeriksaan foto
thoraks (Muttaqin, 2008).
c. Biopsi Pleura
Biopsi ini berguna untuk mengambil spesimen jaringan pleura
melalui biopsy jalur perkutaneus. Biopsi ini dilakukan untuk mengetahui
adanya sel-sel ganas atau kuman-kuman penyakit (biasanya kasus pleurisy
tuberculosa dan tumor pleura) (Muttaqin, 2008).
d. Pengukuran Fungsi Paru (Spirometri)
Penurunan kapasitas vital, peningkatan rasio udara residual ke
kapasitas total paru, dan penyakit pleural pada tuberculosis kronis tahap
lanjut. (Muttaqin, 2008).
e. Pemeriksaan Laboratorium
Menurut Muttaqin, 2008, pemeriksaan laboratorium yang spesifik
adalah dengan memeriksa cairan pleura agar dapat menunjang intervensi
lanjutan. Analisis cairan pleura dapat dinilai untuk mendekteksi
kemungkinan pemnyebab dari efusi pleura. Pemeriksaan cairan pleura hasil
thorakosentesis secara makroskopis biasanya dapat berupa cairan hemoragi,
eksudat, dan transudat.
Haemorrhagic pleural effusion, biasanya terjadi pada klien dengan
adanya keganasan paru atau akibat infark paru terutama disebabkan
oleh tuberculosis
Yell exudates pleura effusion, terutama terjadi pada keadaan kegagalan
jantung kongestif, sindrom nefrotik, hipoalbuminemia, dan perikarditis
konstriktif
Clear transudate pleural effusion, sering terjadi pada klien dengan
keganasan ekstrapulmoner
Hasil Kemungkinan Penyebab/Penyakit
Leukosit 25.000 (mm3) Empiema
Banyak neutrofil Pneumonia, infark paru, pancreatitis
dan TB paru
Banyak limfosit Tuberkulosis, limfoma, dan
kegananasan
Eosinofil meningkat Emboli paru, Polyathritis nodosa,
parasit dan jamur
Eritrosit Mengalami peningkatan 1000-
10.000/mm3, cairan tampak hemoragis,
dan sering dijumpai pada penderita
pancreatitis atau pneumonia. Bila
eritrosit > 100.000 mm3 menunjukkan
adanya infark paru, trauma dada, dan
keganasan
Misotel banyak Jika terdapat mesotel kecurigaan TB
bisa disingkirkan
sitologi Hanya 50-60% kasus-kasus keganasan
dapat ditemukan keberadaan sel ganas.
Sisanya kurang lebih terdeteksi karena
akumulasi cairan pleura lewat
mekanisme obstruksi, preamonitas,
atau atelektasis
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan sekresi
mucus yang kental, kelemahan, upaya batuk buruk, dan edema
tracheal/faringeal
2. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan penurunan ekspansi paru
dan kerusakan membrane alveolar kapiler
3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru
sekunder terhadap penumpukan cairan dalam rongga pleura
4. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan peningkatan metabolism tubuh dan penurunan nafsu makan akibat
sesak napas sekunder terhadap penekanan struktur abdomen
5. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan informasi yang tidak adekuat
mengenai proses penyakit dan pengobatan
6. Resiko infeksi berhubungan dengan pemasangan WSD dan terapi
torakosintesis.
D. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas
yang berhubungan dengan sekresi mucus yang kental, kelemahan, upaya
batuk buruk, dan edema tracheal/faringeal
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan jalan nafas
efektif.
NOC : Status pernafasan : kepatenan jalan nafas
Kriteria hasil:
- Klien tidak mengeluh batuk dan sesak nafas
- Pergerakan sputum keluar dari jalan nafas
- Penurunan ronchi pada lapang paru
- RR dalam batas normal
NIC : Manajemen jalan nafas
Intervensi :
a. Kaji frekuensi kedalaman dan upaya pernapasan
b. Kaji faktor yang berhubungan, seperti; nyeri, mukus, batuk tidak efektif,
dan keletihan
c. Pantau status oksigen pasien dan hemodinamik pasien
d. Auskultasi bagian dada anterior dan posterior untuk mengetahui
penurunan atau ketiadaan ventilasi dan adanya suara nafas tambahan
e. Lakukan pengisapan lendir pada jalan nafas
f. Instruksikan pada pasien tentang batuk dan teknik nafas dalam untuk
memudahkan pengeluaran sekret
g. Kolaborasikan dalam melakukan atau membantu dalam terapi aerosol,
nebulizer ultrasonik, dan perawatan paru lainnya sesuai dengan kebijakan
dan protokol institusi
E. EVALUASI
Diagnosa I : Jalan nafas efektif.
Diagnosa II : Pola nafas kembali efektif
Diagnosa III : Tidak menunjukkan gangguan pertukaran gas.
Diagnosa IV : Nutrisi menjadi seimbang.
Diagnosa V : Pengetahuan klien meningkat.
KASUS SEMU
A. PENGKAJIAN
1. Identitas Klien
Umur : 37 Tahun
Agama : Islam
Nama : Tn. I
Pekerjaan : Swasta
B. RIWAYAT KESEHATAN
1. Keluhan Utama
Klien mengeluh sesak nafas
2. Riwayat Kesehatan Sekarang
Sejak ± 1 bulan sebelum masuk Rumah Sakit, klien mengeluh batuk-
batuk kering yang disertai sesak, dahak dan darah tidak ada. Sesak nafas
dirasakan semakin berat dan akhirnya klien oleh keluarga dibawa ke Rumah
Sakit Universitas Airlangga. Pada saat dikaji klien masih mengeluh sesak nafas,
sesak dirasakan bertambah berat jika klien beraktifitas dengan posisi semi
fowller. Rasa sesak disertai pegal pada daerah punggung, sesak dirasakan
seperti tertindih benda berat. Apabila keadaan tersebut terjadi, klien hanya bisa
duduk dan dipijat sekitar punggung serta kadang diberi balsem untuk
menghilangkan rasa pegalnya. Rasa sesak yang disertai pegal pada daerah
punggung menyebabkan terganggunya aktifitas dan selera makan klien
berkurang, serta berat badan klien menurun sejak klien sakit. Sesak timbul
setiap saat.
3. Riwayat Kesehatan Dulu
Klien belum pernah menderita sakit seperti ini sebelumnya. Klien
mempunyai kebiasaan merokok sebelum sakit, klien merokok dalam sehari
dapat menghabiskan 2 bungkus rokok. Klien tidak pernah sakit berat sampai
dirawat di Rumah Sakit, hanya sakit ringan seperti influenza dan sembuh
dengan sendirinya tanpa diobati.
4. Riwayat Kesehatan Keluarga
Menurut klien dalam keluarganya tidak ada yang menderita penyakit
seperti yang diderita klien sekarang. Dan tidak ada yang menderita penyakit
menular serta penyakit keturunan seperti TBC, DM, dan Asma.
C. PEMERIKSAAN FISIK
- Keadaan umum : Kesadaran CM, BB: 57kg, TB: 163 cm
Tekanan darah : 100/80 mmHg R : 27x /mnt
Nadi : 92x /mnt S : 36,7 oC
- Pemeriksaan per sistem
1. Sistem Pernafasan
Bentuk hidung simetris, frekuensi pernafasan 27x /mnt, terdapat sesak
nafas dan punggung terasa pegal, terpasang O2 2 ltr /mnt, klien bernafas melalui
hidung, pola nafas dangkal dan cepat, tidak terdapat cuping hidung, bentuk dada
tidak simetris, dada sebelah kiri lebih besar, suara nafas rales, dada kanan
terpasang WSD, cairan yang keluar dari WSD berwarna kuning kemerahan
sebanyak 250 cc, ada batuk tetapi tidak sering, tanpa disertai dahak dan darah.
Suara perkusi paru kanan dullness.
2. Sistem Kardiovaskuler
Tekanan darah : 100/80 mmHg, Nadi : 92x /mnt, JVP tidak
meningkat, tidak meningkat, tidak ada clubing finger, konjungtiva tak anemis,
Ht : 108x /mnt.
3. Sistem Pencernaan
Mulut bersih, gigi bersih, tidak ada stomatitis, bibir kering, bising
usus 8x /mnt, tidak ada pembesaran hati, abdomen lembut dan datar, berat
badan klien sebelum sakit 72 Kg, dan BB sesudah sakit 54 Kg.
4. Sistem Perkemihan
Tidak terpasang katether, ginjal tidak teraba, tidak ada nyeri tekan pada
daerah pinggang, tidak ada nyeri saat BAK.
5. Sistem Muskuloskeletal
Bentuk ekstremitas atas dan ekstremitas bawah simetris, edema (-),
pergerakan ekstremitas terbatas, terdapat infus RL 20 gtt/ mnt di tangan kanan.
7. Sistem Integumen
Akral hangat, rambut mudah dicabut, distribusi merat, kulit kepala
bersih, , kuku panjang dan kulit disekitar luka WSD agak kotor.
D. DATA PENUNJANG
a. Hasil laboratorium tanggal 15 November 2014
1. Hematologi Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hb 11,9 13- 18 gr /dl
Leukosit 10.500 3,8- 10,6 ribu /mm3
Trombosit 555.000 150- 440 ribu /mm3
Hematokrit 37 40- 52 %
2. Kimia klinik
Umum 26 15- 50 mg /dl
Kneatinin 0,62 0,6- 1,1 mg /dl
Glukosa sewaktu 84 < 150 mg /dl
b. Foto torax tanggal 15 November 2014
Kesan : tampak perbaikan Hidropneumothorax kanan dengan collaps yang
tampak berkurang tidak jelas masa paru
c. Hasil pemeriksaan cairan pleura belum ada
d. Therapy yang diberikan
- ceftriaxone 1 x 2 gram IV
- pronalges 1 x 1 ampul IM bila perlu
- infus RL 20 gtt /mnt
- diet tktp
- O2 2 ltr /mnt
E. ANALISA DATA
No Data Etiologi Masalah
Keperawatan
DO :
Pasien terlihat kesulitan
bernafas. Alveoli mengalami kerusakan
RR 28x/mnt
Anoreksia
Mual, muntah
Port de Entry
kuman
Resiko infeksi
F. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pembersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan
produksi sekret.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan jalan nafas efektif.
NOC : Status pernafasan : kepatenan jalan nafas
Kriteria hasil:
- Klien tidak mengeluh batuk dan sesak nafas
- Pergerakan sputum keluar dari jalan nafas
- Penurunan ronchi pada lapang paru
- RR dalam batas normal
NIC : Manajemen jalan nafas
Intervensi :
a. Kaji frekuensi kedalaman dan upaya pernapasan
b. Kaji faktor yang berhubungan, seperti; nyeri, mukus, batuk tidak efektif,
dan keletihan
c. Pantau status oksigen pasien dan hemodinamik pasien
d. Auskultasi bagian dada anterior dan posterior untuk mengetahui penurunan
atau ketiadaan ventilasi dan adanya suara nafas tambahan
e. Lakukan pengisapan lendir pada jalan nafas
f. Instruksikan pada pasien tentang batuk dan teknik nafas dalam untuk
memudahkan pengeluaran sekret
g. Kolaborasikan dalam melakukan atau membantu dalam terapi aerosol,
nebulizer ultrasonik, dan perawatan paru lainnya sesuai dengan kebijakan
dan protokol institusi
IMPLEMENTASI
Tgl/ jam Dx Implementasi Respon
15/11/2014
perawat
- Anjurkan pasien untuk makan
09.15 IV dalam porsi kecil tapi sering
-Pasien menghabiskan
- Memberikan diit sesuai program setengah porsi makanan
09.30 IV
- Tidak ada tanda-tanda
- Kaji tanda-tanda infeksi infeksi
09.45 VI -IVFD RL 20tpm
- Memonitor tetesan infuse
- pasien kooperatif
- Memonitor TTV TD : 100/80mmHg
N : 92x/menit
10.00 I,II,III S : 36,7C
R : 27x/menit
istirahat
10.45 III -Memberikan diit sesuai program
berupa nasi, sayur , lauk -Porsi habis ½ porsi
12.30 IV
I,II,III
08.00 -Memonitor tetesan infuse -KU pasien cukup
- Pasien mengatakan masih
agak sesak nafas dan merasa
- Memberikan terapi injeksi obat lebih baik dari kemaren
sesuai program
penyakit
-Pasien kooperatif
I. EVALUASI
Tanggal Dx Catatan Perkembangan Paraf
S: -
VI O: tidak ditemukan tanda-tanda infeksi di sekitar
pemasangan WSD
A: Masalah belum teratasi
P: Lanjutkan intervensi
Pantau tanda dan gejala infeksi
Instruksikan untuk menjaga hygiene personal.
Kolaborasi penggunaan antibiotic
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Empiema toraks adalah proses supurasi yang terjadi di dalam rongga
pleura, dimana rongga tersebut secara anatomis sudah ada.
Sedangkan efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat
penumpukan cairan dalam pleura berupa transudat atau eksudat yang diakibatkan
terjadinya ketidakseimbangan antara produksi dan absorpsi si kapiler dan pleura
viseralis. Efusi pleura merupakan salah satu kelainan yang mengganggu sistem
pernapasan. Efusi pleura bukanlah diagnosis dari suatu penyakit, melainkan
hanya merupakan gejala atau komplikasi dari suatu penyakit. Efusi pleura adalah
suatu keadaan dimana terdapat cairan berlebihan di rongga pleura, jika kondisi ini
dibiarkan akan membahayakan jiwa penderitanya.
3.2 Saran
Setelah penulisan makalah ini, kami mengharapkan masyarakat pada
umumnya dan mahasiswa keperawatan pada khususnya mengetahui lebih dalam
tentang penyakit empiema dan efusi pleura. Kepada para perawat, kami sarankan
untuk lebih aktif dalam memberikan penyuluhan untuk mengurangi angka
kesakitan penyakit kolelitiasis. Dengan tindakan preventif yang dapat dilakukan
bersama oleh semua pihak, maka komplikasi dari penyakit tersebut akan
berkurang.
DAFTAR PUSTAKA
Alsagaff, Hood & Mukty, Abdul. 2005. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya:
Airlangga: University Press
Maranatha, Daniel. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Departemen Ilmu
Penyakit Paru FK-Unair – RSUD dr. Soetomo