Anda di halaman 1dari 44

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/322938911

PAPER - ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN IMPECUNITY


Article · February 2018

CITATIONS READS
1 20,997

2 author :

Lukman Handoyo
Airlangga University
1 PUBLICATION 0 CITATIONS

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Impecunity: Geriatric Syndrome View project


All content following this page was uploaded by Lukman Handoyo on 05 February 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN LANJUT USIA (LANSIA)
DENGAN MASALAH IMPECUNITY/POVERTY
(PENURUNAN/TIADA PENGHASILAN)

OLEH:
LUKMAN HANDOYO, S.KEP.
NIM 131713143090

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS (P3N)


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2018

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................. 1


DAFTAR ISI ............................................................................................. 2
BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 3

1.1 Konsep Lansia dan Proses Penuaan ....................................................... 3


1.1.1 Definisi Lansia ....................................................................... 3
1.1.2 Batasan Lansia ....................................................................... 3
1.1.3 Teori Penuaan ........................................................................ 4
1.1.4 Tahapan Proses Penuaan ........................................................ 4
1.1.5 Perubahan Fisik dan Psikososial pada Lansia ......................... 5
1.2 Konsep Impecunity pada Lansia .......................................................... 11
1.2.1 Definisi Impecunity pada Lansia ........................................... 11
1.2.2 Perubahan Fisik Lansia yang Berhubungan dengan
Impecunity ........................................................................... 11
1.2.3 Faktor Lain Penyebab Ketidaklayakan Bekerja
pada Lansia .......................................................................... 12
1.2.4 Dampak Impecunity pada Lansia .......................................... 12
1.2.5 Peran Perawat pada Lansia yang Mengalami Impecunity ...... 13
1.2.6 WOC Impecunity pada Lansia .............................................. 15
1.3 Konsep Teori Carol A. Miler ............................................................... 16
1.3.1 Filosofi Teori ....................................................................... 16
1.3.2 Terminologi dalam Teori ...................................................... 16
BAB 2 ASUHAN KEPERAWATAN TEORI PADA KLIEN LANSIA
DENGAN IMPECUNITY ......................................................... 18
2.1 Pengkajian Fokus ................................................................................ 18
2.2 Diagnosa Keperawatan yang dapat Muncul ......................................... 19
2.3 Tujuan, Kriteria Hasil, dan Intervensi Keperawatan ............................ 19
REFERENSI ........................................................................................... 23

BAB 1
2
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Konsep Lansia dan Proses Penuaan


1.1.1 Definisi Lansia
Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan
Lansia yang dimaksud dengan lansia adalah seseorang yang telah mencapai
usia 60 tahun ke atas. Lebih lanjut Maryam (2008) juga mendefinisikan lansia
sebagai seseorang yang telah berusia lanjut dan telah terjadi
perubahanperubahan dalam sistem tubuhnya.

Namun berbeda dengan definisi yang dikemukakan oleh Orimo et al.


(2006), peneliti asal Jepang, yang menjelaskan bahwa lansia merupakan
orang yang berusia lebih dari 75 tahun. Definisi tersebut berdasar pada hasil
riset yang telah dilakukannya dengan menemukan fakta bahwa: 1) lansia di
Jepang yang berusia 65 tahun atau lebih ternyata masih bisa melakukan
aktifitas fisik tanpa keluhan dan hambatan berarti; 2) arteri serebral pada
lansia tampak belum mengalami penuaan dan penurunan fungsi; dan 3) lansia
penderita diabetes mellitus yang berumur 65 tahun masih menunjukkan
tingkat kemandirian yang tinggi untuk memenuhi kebutuhannya. Tetapi
definisi lansia dari penelitian tersebut memang tidak bisa digunakan secara
global karena faktor budaya dan lingkungan juga berpengaruh terhadap
proses penuaan.

1.1.2 Batasan Lansia


WHO dalam Kunaifi (2009) membagi lansia menurut usia ke dalam empat
kategori, yaitu:
1. Usia pertengahan (middle age) : 45-59 tahun
2. Lansia (elderly) : 60-74 tahun
3. Usia tua (old) : 75-89 tahun
4. Usia sangat lanjut (very old) : lebih dari 90 tahun

3
1.1.3 Teori Penuaan
Ada empat teori pokok dari penuaan menurut Klatz dan Goldman, (2007),
yaitu:
1. Teori Wear and Tear
Tubuh dan sel mengalami kerusakan karena telah banyak digunakan
(overuse) dan disalahgunakan (abuse).

2. Teori Neuroendokrin
Teori ini berdasarkan peranan berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh
yaitu dimana hormon yang dikeluarkan oleh beberapa organ yang
dikendalikan oleh hipotalamus telah menurun.

3. Teori Kontrol Genetik


Teori ini fokus pada genetik memprogram genetik DNA, dimana kita
dilahirkan dengan kode genetik yang unik, dimana penuaan dan usia
hidup kita telah ditentukan secara genetik.

4. Teori Radikal Bebas


Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme menjadi tua karena terjadi
akumulasi kerusakan oleh radikal bebas dalam sel sepanjang waktu.
Radikal bebas sendiri merupakan suatu molekul yang memiliki elektron
yang tidak berpasangan. Radikal bebas memiliki sifat reaktivitas tinggi,
karena kecenderungan menarik elektron dan dapat mengubah suatu
molekul menjadi suatu radikal oleh karena hilangnya atau bertambahnya
satu elektron pada molekul lain.

1.1.4 Tahapan Proses Penuaan


Proses penuaan dapat berlangsung melalui tiga tahap sebagai berikut
(Pangkahila, 2007):

1. Tahap Subklinik (usia 25-35 tahun)


Pada tahap ini, sebagian besar hormon di dalam tubuh mulai menurun,
yaitu hormon testosteron, growth hormon dan hormon estrogen.
Pembentukan radikal bebas dapat merusak sel dan DNA mulai
mempengaruhi tubuh. Kerusakan ini biasanya tidak tampak dari luar,
karena itu pada usia ini dianggap usia muda dan normal.

4
2. Tahap Transisi (usia 35-45 tahun)
Pada tahap ini kadar hormon menurun sampai 25%. Massa otot
berkurang sebanyak satu kilogram tiap tahunnya. Pada tahap ini orang
mulai merasa tidak muda lagi dan tampak lebih tua. Kerusakan oleh
radikal bebas mulai merusak ekspresi genetik yang dapat mengakibatkan
penyakit seperti kanker, radang sendi, berkurangnya memori, penyakit
jantung koroner dan diabetes.

3. Tahap Klinik (usia 45 tahun ke atas)


Pada tahap ini penurunan kadar hormone terus berlanjut yang meliputi
DHEA, melatonin, growth hormon, testosteron, estrogen dan juga
hormon tiroid. Terjadi penurunan bahkan hilangnya kemampuan
penyerapan bahan makanan, vitamin dan mineral. Penyakit kronis
menjadi lebih nyata, sistem organ tubuh mulai mengalami kegagalan.

1.1.5 Perubahan Fisik dan Psikososial pada Lansia


1) Perubahan Fisik pada Lansia
Menurut Maryam (2008), perubahan-perubahan fisik yang terjadi pada lanjut
usia adalah :

1. Sel
Perubahan sel pada lanjut usia meliputi: terjadinya penurunan jumlah sel,
terjadi perubahan ukuran sel, berkurangnya jumlah cairan dalam tubuh
dan berkurangnya cairan intra seluler, menurunnya proporsi protein di
otak, otot, ginjal, darah, dan hati, penurunan jumlah sel pada otak,
terganggunya mekanisme perbaikan sel, serta otak menjadi atrofis
beratnya berkurang 510%.

2. Sistem Persyarafan
Perubahan persyarafan meliputi : berat otak yang menurun 10-20%
(setiap orang berkurang sel syaraf otaknya dalam setiap harinya), cepat
menurunnya hubungan persyarafan, lambat dalam respon dan waktu
untuk bereaksi khususnya dengan stress, mengecilnya syaraf panca indra,
berkurangnya penglihatan, hilangnya pendengaran, mengecilnya syaraf

5
penciuman dan perasa lebih sensitif terhadap perubahan suhu dengan
ketahanan terhadap sentuhan, serta kurang sensitif terhadap sentuan.

3. Sistem Pendengaran
Perubahan pada sistem pendengaran meliputi: terjadinya presbiakusis
(gangguan dalam pendengaran) yaitu gangguan dalam pendengaran pada
telinga dalam terutama terhadap bunyi suara, nada-nada yang tinggi,
suara yang tidak jelas, sulit mengerti kata-kta,50% terjadi pada umur
diatas 65 tahun. Terjadinya otosklerosis akibat atropi membran timpani.
Terjadinya pengumpulan serumen dapat mengeras karena meningkatnya
keratinin. Terjadinya perubahan penurunan pendengaran pada lansia
yang mengalami ketegangan jiwa atau stress.

4. Sistem Penglihatan
Perubahan pada sistem penglihatan meliputi: timbulnya sklerosis dan
hilangnya respon terhadap sinar, kornea lebih berbentuk sferis (bola),
terjadi kekeruhan pada lensa yang menyebabkan katarak, meningkatnya
ambang, pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap kegelapan lebih
lambat dan susah melihat pada cahaya gelap, hilangnya daya akomodasi,
menurunnya lapang pandang, serta menurunnya daya untuk membedakan
warna biru atau hijau. Pada mata bagian dalam, perubahan yang terjadi
adalah ukuran pupil menurun dan reaksi terhadap cahaya berkurang dan
juga terhadap akomodasi, lensa menguning dan berangsur-angsur
menjadi lebih buram mengakibatkan katarak, sehingga memengaruhi
kemampuan untuk menerima dan membedakan warna-warna. Kadang
warna gelap seperti coklat, hitam, dan marun tampak sama. Pandangan
dalam area yang suram dan adaptasi terhadap kegelapan berkurang (sulit
melihat dalam cahaya gelap) menempatkan lansia pada risiko cedera.
Sementara cahaya menyilaukan dapat menyebabkan nyeri dan membatasi
kemampuan untuk membedakan objek-objek dengan jelas, semua hal itu
dapat mempengaruhi kemampuan fungsional para lansia sehingga dapat
menyebabkan lansia terjatuh.

5. Sistem Kardiovaskuler

6
Perubahan pada sistem kardiovaskuler meliputi: terjadinya penurunan
elastisitas dinding aorta, katup jantung menebal dan menjadi kaku,
menurunnya kemampuan jantung untuk memompa darah yang
menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya, kehilangan
elastisitas pembuluh darah, kurangnya efektifitas pembuluh darah perifer
untuk oksigenasi, perubahan posisi yang dapat mengakibatkan tekanan
darah menurun (dari tidur ke duduk dan dari duduk ke berdiri) yang
mengakibatkan resistensi pembuluh darah perifer.

6. Sistem Pengaturan Temperatur Tubuh


Perubahan pada sistem pengaturan tempertur tubuh meliputi: pada
pengaturan sistem tubuh, hipotalamus dianggap bekerja sebagai
thermostat, yaitu menetapkan suatu suhu tertentu, kemunduran terjadi
berbagai faktor yang mempengaruhinya, perubahan yang sering ditemui
antara lain temperatur suhu tubuh menurun (hipotermia) secara fisiologik
kurang lebih 35°C, ini akan mengakibatkan metabolisme yang menurun.
Keterbatasan refleks mengigil dan tidak dapat memproduksi panas yang
banyak sehingga terjadi rendahnya aktivitas otot.

7. Sistem Respirasi
Perubahan sistem respirasi meliputi: otot pernapasan mengalami
kelemahan akibat atropi, aktivitas silia menurun, paru kehilangan
elastisitas, berkurangnya elastisitas bronkus, oksigen pada arteri
menurun, karbon dioksida pada arteri tidak berganti, reflek dan
kemampuan batuk berkurang, sensitivitas terhadap hipoksia dan
hiperkarbia menurun, sering terjadi emfisema senilis, kemampuan pegas
dinding dada dan kekuatan otot pernapasan menurun seiring pertambahan
usia.

8. Sistem Pencernaan
Perubahan pada sistem pecernaan, meliputi: kehilangan gigi, penyebab
utama periodontal disease yang bisa terjadi setelah umur 30 tahun, indra
pengecap menurun, hilangnya sensitivitas saraf pengecap terhadap rasa
asin, asam dan pahit, esofagus melebar, rasa lapar nenurun, asam
lambung menurun, motilitas dan waktu pengosongan lambung menurun,
peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi, fungsi absorpsi

7
melemah, hati semakin mengecil dan tempat penyimpanan menurun,
aliran darah berkurang.

9. Sistem Perkemihan
Perubahan pada sistem perkemihan antara lain ginjal yang merupakan
alat untuk mengeluarkan sisa metabolisme tubuh melalui urine, darah
masuk keginjal disaring oleh satuan (unit) terkecil dari ginjal yang
disebut nefron (tempatnya di glomerulus), kemudian mengecil dan
nefron menjadi atrofi, aliran darah ke ginjal menurun sampai 50%
sehingga fungsi tubulus berkurang, akibatnya, kemampuan
mengkonsentrasi urine menurun, berat jenis urine menurun. Otot-otot
vesika urinaria menjadi lemah, sehingga kapasitasnya menurun sampai
200 ml atau menyebabkan buang air seni meningkat. Vesika urinaria sulit
dikosongkan sehingga terkadang menyebabkan retensi urine.

10. Sistem Endokrin


Perubahan yang terjadi pada sistem endokrin meliputi: produksi semua
hormon turun, aktivitas tiroid, BMR (basal metabolic rate), dan daya
pertukaran zat menurun. Produksi aldosteron menurun, Sekresi hormon
kelamin, misalnya progesterone, estrogen, dan testoteron menurun.

11. Sistem Integumen


Perubahan pada sistem integumen, meliputi: kulit mengerut atau keriput
akibat kehilangan jaringan lemak, permukaan kulit cenderung kusam,
kasar, dan bersisi. Timbul bercak pigmentasi, kulit kepala dan rambut
menipis dan berwarna kelabu, berkurangnya elestisitas akibat
menurunnya cairan dan vaskularisasi, kuku jari menjadi keras dan
rapuh, jumlah dan fungsi kelenjar keringat berkurang.

12. Sistem Muskuloskeletal


Perubahan pada sistem muskuloskeletal meliputi: tulang kehilangan
densitas (cairan) dan semakin rapuh, kekuatan dan stabilitas tulang
menurun, terjadi kifosis, gangguan gaya berjalan, tendon mengerut dan
mengalami sklerosis, atrofi serabut otot, serabut otot mengecil sehingga
gerakan menjadi lamban, otot kram, dan menjadi tremor, aliran darah
ke otot berkurang sejalan dengan proses menua. Semua perubahan
tersebut dapat mengakibatkan kelambanan dalam gerak, langkah kaki
8
yang pendek, penurunan irama. Kaki yang tidak dapat menapak dengan
kuat dan lebih cenderung gampang goyah, perlambatan reaksi
mengakibatkan seorang lansia susah atau terlambatmengantisipasi bila
terjadi gangguan terpeleset, tersandung, kejadian tiba-tiba sehingga
memudahkan jatuh.

2) Perubahan Psikososial pada Lansia


Berdasarkan beberapa evidence based yang telah dilakukan terdapat
perubahan psikososial yang dapat terjadi pada lansia antara lain:

1. Kesepian
Septiningsih dan Na’imah (2012) menjelaskan dalam studinya bahwa
lansia rentan sekali mengalami kesepian. Kesepian yang dialami dapat
berupa kesepian emosional, situasional, kesepian sosial atau gabungan
ketiga-tiganya. Berdasarkan penelitian tersebut beberapa hal yang dapat
memengaruhi perasaan kesepian pada lansia diantaranya: a) merasa tidak
adanya figur kasih sayang yang diterima seperti dari suami atau istri, dan
atau anaknya; b) kehilangan integrasi secara sosial atau tidak terintegrasi
dalam suatu komunikasi seperti yang dapat diberikan oleh sekumpulan
teman, atau masyarakat di lingkungan sekitar. Hal itu disebabkan karena
tidak mengikuti pertemuan-pertemuan yang dilakukan di kompleks
hidupnya; c) mengalami perubahan situasi, yaitu ditinggal wafat
pasangan hidup (suami dan atau istri), dan hidup sendirian karena
anaknya tidak tinggal satu rumah.

2. Kecemasan Menghadapi Kematian


Ermawati dan Sudarji (2013) menyimpulkan dalam hasil penelitiannya
bahwa terdapat 2 tipe lansia memandang kematian. Tipe pertama lansia
yang cemas ringan hingga sedang dalam menghadapi kematian ternyata
memiliki tingkat religiusitas yang cukup tinggi. Sementara tipe yang
kedua adalah lansia yang cemas berat menghadapi kematian dikarenakan
takut akan kematian itu sendiri, takut mati karena banyak tujuan hidup
yang belum tercapai, juga merasa cemas karena sendirian dan tidak akan
ada yang menolong saat sekarat nantinya.

3. Depresi

9
Lansia merupakan agregat yang cenderung depresi. Menurut Jayanti,
Sedyowinarso, dan Madyaningrum (2008) beberapa faktor yang
menyebabkan terjadinya depresi lansia adalah: a) jenis kelamin, dimana
angka lansia perempuan lebih tinggi terjadi depresi dibandingkan lansia
laki-laki, hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan hormonal,
perbedaan stressor psikososial bagi wanita dan laki-laki, serta model
perilaku tentang keputusasaan yang dipelajari; b) status perkawinan,
dimana lansia yang tidak menikah/tidak pernah menikah lebih tinggi
berisiko mengalami depresi, hal tersebut dikarenakan orang lanjut usia
yang berstatus tidak kawin sering kehilangan dukungan yang cukup besar
(dalam hal ini dari orang terdekat yaitu pasangan) yang menyebabkan
suatu keadaan yang tidak menyenangkan dan kesendirian; dan c)
rendahnya dukungan sosial.

Berdasarkan konsep lansia dan proses penuaan yang telah dijabarkan, maka
lansia rentan sekali menghadapi berbagai permasalahan baik secara fisik maupun
psikologis. Kane, Ouslander, dan Abrass (1999) menjabarkan permasalahan yang
sering dihadapi lansia ke dalam 14 masalah atau yang sering disebut 14i Sindrom
Geriatri (Geriatric Syndrome). Keempat belas masalah tersebut adalah: 1)

Immobility (penurunan/ketidakmampuan mobilisasi); 2) Instability


(ketidakseimbangan, risiko jatuh); 3) Incontinence (inkontinensia urin/alvi, tidak
mampu menahan buang air kecil/besar); 4) Intelectual Impairment (penurunan
fungsi kognitif, demensia); 5) Infection (rentan mengalami infeksi); 6)
Impairment of Sensory/Vision (penurunan penglihatan, pendengaran); 7)
Impaction (sulit buang air besar); 8) Isolation (rentan depresi/stres sehingga lebih
sering menyendiri); 9) Inanition (kurang gizi); 10) Impecunity (penurunan
penghasilan); 11) Iatrogenesis (efek samping obat-obatan); 12) Insomnia (sulit
tidur); 13) Immunedeficiency (penurunan daya tahan tubu); 14) Impotence
(impotensi).

Pada paper ini hanya akan dijelaskan satu dari empat belas masalah, yakni
Impecunity atau penurunan penghasilan.

10
2.1 Konsep Impecunity pada Lansia
2.1.1 Definisi Impecunity pada Lansia
Impecunity atau yang dalam bahasa Indonesia berarti kemiskinan
merupakan suatu kondisi dimana seseorang memiliki pendapatan jauh lebih
rendah dari rata-rata pendapatan sehingga tidak banyak memiliki kesempatan
untuk mensejahterakan dirinya (Suryawati, 2005). Pada konteks kemiskinan yang
dialami oleh lansia maka hal penting yang harus dipertanyakan adalah mengapa
lansia bisa sampai mengalami kemiskinan.

Berbagai teori telah menyebutkan dan fakta telah membuktikan bahwa


ketika seseorang memasuki usia lanjut maka akan terjadi proses penurunan fungsi
tubuh. Penurunan fungsi tubuh tersebut dapat memengaruhi produktivitas lansia
ketika bekerja. Sehingga fenomena yang terjadi pada lansia adalah adanya fase
pension baik bagi pekerja formal maupun informal. Pada lansia pekerja formal
terdapat sistem batasan usia maksimum seseorang dipekerjakan sehingga ia akan
diberhentikan dari pekerjaanya. Sedangkan orang dengan pekerjaan informal
(misal berdagang) memang tidak ada pensiun atau pemberhentian bekerja namun
penurunan fungsi tubuh seiring bertambahnya usia pasti akan memaksa seseorang
untuk menurunkan intensitas pekerjaannya atau justru menghentikannya sendiri.

Miller (2009) mengemukakan bahwa fase berhenti kerja atau pensiun pasti
akan dialami oleh seluruh lansia dan pada saat itu mengakibatkan pendapatan
(uang) menurun serta perubahan peran dan status sosial. Pada fase tersebut tugas
lansia adalah harus mampu beradaptasi dengan masa pensiun dan penurunan
pendapatan yang terjadi (Rosdahl dan Kowalski, 2012).

Dari uraian diatas maka dapat penulis tarik kesimpulan bahwa impecunity
pada lansia adalah suatu kondisi dimana lansia mengalami penurunan atau bahkan
kehilangan pendapatan dikarenakan ketidakmampuan lansia untuk bekerja secara
produktif karena perubahan fungsi tubuh yang terjadi.

2.1.2 Perubahan Fisik Lansia yang Berhubungan dengan Impecunity


Berikut beberapa perubahan pada lansia serta dampak yang terjadi yang
karenanya lansia dapat dikatakan sudah tidak memenuhi lagi kriteria untuk
bekerja secara produktif sehingga terjadi penurunan pendapatan:

11
1) Penurunan penglihatan, akan mengakibatkan kesulitan dalam
beraktivitas sehari-hari, berisiko jatuh, dan kecelakaan/insiden lainnya
(Wang, C.W., et al., 2014).

2) Demensia/penurunan daya ingat, akan menyebabkan lansia butuh


pendampingan dalam berbagai kegiatan, terutama kegiatan
instrumental (bepergian, mencuci, menelepon, dan lain sebagainya)
dan pemenuhan kebutuhan dasar (Ananta & Wulan, 2011).

3) Penurunan kekuatan otot, akan menyebabkan lansia kesulitan


melakukan kegiatan fungsional seperti kemampuan mobilitas dan
aktivitas perawatan diri (Utomo, 2010).

4) Penurunan pendengaran, berisiko tinggi terjadi kesalahan dalam


berkomunikasi (Ciorba, et al., 2012).

2.1.3 Faktor Lain Penyebab Ketidaklayakan Bekerja pada Lansia Menurut


Turner dan Helms (1995) lansia sudah tidak layak dipekerjakan karena:

1) Pekerja lanjut usia adalah pekerja yang lambat dalam bekerja, kurang
(bahkan tidak dapat) memenuhi persyaratan standar produktivitas yang
ditentukan perusahaan.

2) Pekerja lanjut usia banyak yang tidak fleksibel, sulit dilatih dan
dikembangkan karena mereka sulit untuk dapat menerima perubahan.

3) Gaji pekerja lanjut usia akan menambah beban perusahaan yang


rasionya sudah tidak realistis lagi dengan peningkatan kinerjanya.

2.1.4 Dampak Impecunity pada Lansia


1) Dampak Bagi Lansia itu Sendiri
Penurunan penghasilan bagi lansia akan menyebabkan stres dan depresi
(Kurniasih, 2013). Selain itu lansia yang cenderung benar-benar tidak
melakukan kegiatan apa-apa setelah pensiun juga berisiko tinggi
mengalami depresi (Hayati dan Nurviyandari, 2013). Bahkan pada lansia
laki-laki dapat terjadi gangguan konsep diri dikarenakan perannya

12
sebagai kepala keluarga yang mencari nafkah tidak lagi berjalan optimal
(Lee & Smith, 2009).

2) Dampak Bagi Pembangunan Sosial-Ekonomi


Orlicka (2015) dalam studinya menjelaskan bahwa peningkatan populasi
usia lanjut dan kemiskinan yang terjadi pada lansia dapat berdampak
pada pembangunan ekonomi bagi pemerintah. Selain itu penelitian yang
dilakukan oleh Dethier et al. (2011) turut mendukung dengan
menjabarkan terdapat korelasi antara berapa jumlah uang pensiun yang
didapat seorang lansia dengan tingkat kemiskinan dan kesejahteraan
suatu wilayah.

2.1.5 Peran Perawat pada Lansia yang Mengalami Impecunity


1) Memberikan Pelayanan Konseling
Lansia yang mengalami penurunan pendapatan cenderung akan mudah
stres dan depresi. Ketika hal itu terjadi maka perawat harus menggunakan
teknik komunikasi terapeutik yang tepat untuk memberikan intervensi
keperawatan. Perawat harus menjadi pendengar yang baik, menunjukkan
sikap empati, menggali kemampuan yang masih dimiliki lansia,
memotivasi, dan memberi pujian pada kegiatan tercapai yang dilakukan.

2) Mengadakan Pelatihan/Terapi Okupasi


Perawat di era globalisasi dituntut untuk dapat terampil dan kreatif dalam
berbagai bidang. Karena keterampilan dan tingkat kreativitas seorang
perawat dapat menjadi role model dan ditularkan pada kliennya. Pada
kasus ini, perawat dapat mengajarkan keterampilan-keterampilan yang
masih bisa dilakukan oleh lansia untuk kemudian dijadikan sebuah
wirausaha guna menambah penghasilan. Selain itu terapi okupasi juga
dapat meningkatkan persepsi kebermaknaan hidup, mengurangi stres,
meningkatkan keterampilan, dan meningkatkan produktivitas lansia
(Kaharingan et al., 2015; Ponto et al., 2015; Umah, 2012). Contoh:
pemberdayaan lansia untuk membuat anyaman, crafting, atau
pembudidayaan TOGA.

3) Advokasi Asuransi Kesehatan Pemerintah

13
2.1.6 WOC Impecunity pada Lansia
Usia lanjut: perubahan fungsi tubuh pada lansia

Penurunan penglihatan: Demensia/penurunan daya ingat: Penurunan kekuatan otot dan


kesulitan beraktifitas, mudah lupa, sulitfokus tulang rapuh: risiko jatuh, tidak
kesulitan membaca, kuat berdiri lama, tidak kuat
risiko jatuh, mata mudah mengangkat barang berat, gerakan
lelah MK: Manajemen Kesehatan lamban
Keluarga Tidak Efektif MK: Koping Tidak Efektif

Penurunan produktivitas bekerja

Pensiun/pemberhentian kerja

L
Kejadian sakit padadiri Penurunan pendapatan, kebutuhan sehari
-hari
k
sendiri/keluarga kurang terpenuhi

Pembiayaan tidak optimal, Kemiskinan/Impecunity/Poverty


M
tidak ada asuransi
Pe

Pengobatan/terapi tidak
efektif Ketidakadekuatan sistem
pendukung dan strategi kopin

Bagi lansia-lansia yang tidak memiliki asuransi kesehatan sedang ia dalam


kondisi miskin, maka perawat wajib mengadvokasi dari mulai
memberikan penyuluhan hingga membantu pendaftaran asuransi kesehatan
pemerintah tersebut agar jika lansia sakit maka tidak akan terlalu dibebani
secara finansial.

15

14
2.2 Konsep Teori Carol A. Miller (Alligood, 2014; Miller, 2012)
2.2.1 Filosofi Teori
Model teori yang diperkenalkan oleh Carol disebut teori konsekuensi
fungsional untuk promosi kesehatan bagi lansia (Functional Consequences Theory
for Promoting Wellness in Older Adults). Perawat dapat menggunakan model
keperawatan ini di berbagai situasi dimana tujuan dari keperawatannya ialah
promosi kesehatan bagi lansia. Teori ini dikembangkan untuk menjelaskan
pertanyaan seperti: apakah keunikan dari promosi kesehatan untuk lansia? dan
bagaimana penerapan keperawatan untuk kebutuhan kesehatan bagi lansia?.

2.2.2 Terminologi dalam Teori


The Functional Consequences Theory terdiri dari teori tentang penuaan, lansia,
dan keperawatan holistik. Konsep domain keperawatan adalah orang, lingkungan,
kesehatan, dan keperawatan dihubungkan bersama secara khusus dalam kaitannya
dengan lansia.

1) Functional Consequence
Mengobservasi akibat dari tindakan, faktor risiko, dan perubahan terkait
usia yang mempengaruhi kualitas hidup atau aktivitas sehari-hari dari
lansia. Efek tersebut berhubungan dengan semua tingkat fungsi, termasuk
tubuh, pikiran, dan semangat. Konsekuensi fungsional yang positif atau
negatif adalah efek-efek yang bisa diamati dari tindakan, faktor risiko dan
perubahan terkait umur yang mempengaruhi kualitas hidup atau kegiatan
sehari-hari dari lansia. Faktor-faktor risiko bisa berasal dari lingkungan
atau berasal dari pengaruh fisiologi dan psikososial. Dampak-dampak
fungsional positif ketika mereka membantu level performa tertinggi dan
jumlah ketergantungan yang paling kecil. Sebaliknya mereka negatif ketika
berinterferensi dengan level fungsi atau kualitas hidup seseorang.

2) Negative Functional Consequences


Hal-hal yang menghambat fungsi dari lansia atau kualitas hidup dari
lansia. Dampak-dampak fungsional negatif biasanya terjadi karena
kombinasi perubahan terkait usia dan faktor-faktor resiko yang dijelaskan
dalam contoh gangguan performa visual. Hal ini juga bisa disebabkan oleh
intervensi, di mana kasus intervensi menjadi faktor-faktor resiko.
Misalnya, konstipasi yang berasal dari penggunaan obat analgesik adalah

15
contoh dari konsekwensi fungsional negatif yang disebabkan oleh sebuah
intervensi. Dalam kasus ini obat merupakan intervensi untuk nyeri dan
faktor resiko untuk gangguan fungsi pencernaan.

3) Positive Functional Consequences (Wellness Outcomes)


Hal-hal yang memfasilitasi tingkat tertinggi fungsi dari lansia secara baik,
sedikit ketergantungan, dan kualitas hidup terbaik. Konsekuensi fungsional
positif bisa berasal dari tindakan tooatmis atau intervensi sengaja.
Seringkali lansia membawa dampak fungsional positif ketika mereka
mengompensasi perubahan-perubahan terkait usia dengan atau tanpa
maksud sadar. Misalnya seorang lansia mungkin meningkatkan jumlah
cahaya untuk membaca atau mulai menggunakan kacamata tanpa
menyadari bahwa tindakan tersebut mengompensasi perubahan-perubahan
terkait umur. Misalnya seorang wanita mungkin memandang
ketidakmampuan post menopausal untuk menjadi hamil sebagai efek
positif penuaan. Akibatnya, hubungan seksual mungkin lebih memuaskan
pada masa lansia.

16
BAB 2
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI
PADA KLIEN LANSIA DENGAN IMPECUNITY
A. Pengkajian Fokus
1. Data Demografi
a. Jenis Kelamin
Laki-laki yang mengalami penurunan pendapatan cenderung berisiko
depresi lebih tinggi dibandingkan perempuan karena laki-laki merupakan kepala
keluarga yang mempunyai peran besar dalam keluarga (Lee dan Smith, 2009).

b. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan lansia dapat mempengaruhi pendapatan uang pensiunan
dan mekanisme koping yang dilakukan (Hayati, 2014).

c. Anggota Keluarga
Kaji berapa jumlah anggota keluarga inti dan berapa orang yang sekiranya
masih dalam masa pembiayaan klien.

d. Pekerjaan Terdahulu dan Penghasilan


Pekerjaan lansia sebelum pensiun/berhenti bekerja perlu dikaji. Tidak
semua pekerjaan apalahi yang bukan pegawai akan dapat uang pensiun. Selain itu
jumlah uang pensiunan juga dapat memengaruhi tingkat stress dan depresi lansia
(semakin rendah jumlah uang pensiun yang diterima maka semakin tinggi tingkat
stress dan depresi) (Kurniasih, 2013).

2. Riwayat Kesehatan Dahulu dan Sekarang


Perlu dikaji terkait penyakit yang pernah diderita untuk memprediksi apakah
lansia tersebut dapat terserang penyakit yang sama lagi dikemudian hari atau justru
menderita komplikasi akibat penyakit primernya terdahulu. Hal tersebut berkaitan
dengan pembiayaan yang mungkin akan dibebankan pada lansia apalagi jika lansia
tersebut tidak memiliki keanggotaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik secara komprehensif (head to toe/per sistem) wajib
dilakukan meski tidak ada keluhan berarti yang dirasakan lansia guna
mengantisipasi penyakit degeneratif.
17
B. Diagnosa Keperawatan yang Dapat Muncul .
1) Koping Tidak Efektif berhubungan dengan ketidakadekuatan sistem
pendukung/strategi koping

Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia, D.0096, Kategori: Psikologis, Subkategori:


Integritas Ego

2) Penampilan Peran Tidak Efektif berhubungan dengan faktor ekonomi

Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia, D.0125, Kategori: Relasional, Subkategori:


Interaksi Sosial

3) Manajemen Kesehatan Keluarga Tidak Efektif berhubungan dengan kesulitan


ekonomi

Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia, D.0115, Kategori: Perilaku,


Subkategori: Penyuluhan dan Pembelajaran

C. Tujuan, Kriteria Hasil, dan Intervensi Keperawatan


Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi Keperawatan Referensi Berdasarkan
Keperawatan Hasil/NOC NIC/Evidence Based
Practice
Koping Tidak Setelah dilakukan 1) Bina hubungan saling Intervensi nomor 1, 2, 3,
4: merupakan standar
Efektif b.d. tindakan keperawatan percaya dengan klien
selama…..x….jam, intervensi yang ada pada
ketidakadekuatan dan/atau keluarga NIC.
klien mampu
sistem menghadapi 2) Berikan kesempatan
pendukung/ permasalahan yang Intervensi nomor 5: studi
klien untuk
strategi koping dihadapi dengan yang dilakukan oleh
menggunakan mengungkapkan Surbakti (2008)
mekanisme koping
perasaannya, bantu mengungkapkan bahwa
klien identifikasi

stressor

18
adaptif yang 3) Berikan dukungan lansia pensiun yang
pada klien apabila mempunyai tingkat
ditunjukkan dengan:
telah mengungkapkan depresi rendah ternyata
1) Ekspresi wajah perasaanya menggunakan strategi
koping adaptif yang
klien tampak 4) Ajarkan alternatif
berorientasi ego yaitu
tenang, tidak cemas koping yang dengan rutin
melaksanakan dan
2) Klien konstruktif
menjadwalkan
mengungkapkan 5) Ajarkan klien untuk
dengan verbal hobi/kesukaannya dan
menggunakan strategi
tentang perasaan koping berorientasi berupaya untuk
yang lebih baik ego yaitu dengan
3) Klien menunjukkan memfasilitasi dan meningkatkan
menjadwalkan secara religiusitas dengan
perilaku yang
berkala klien membiasakan diri selalu
konstruktif dalam melakukan hobinya mengadu dan berdoa
kegiatan sehari-hari serta membantu klien kepada Tuhan YME
untuk meningkatkan apabila ada masalah.
religiusitas, latih klien
untuk senantiasa
berdoa dan mengadu Intervensi nomor 6:
kepada Tuhan YME Suprapto (2013) dalam
setiap kali ada
studinya memaparkan
masalah. bahwa konseling
6) Gunakan pendekatan logoterapi dapat
konseling logoterapi meningkatkan
kebermakanaan hidup
pada lansia.

Penampilan
Setelah dilakukan 1) Diskusikan dengan Intervensi nomor 1 dan
klien hal-hal apa saja 2: merupakan standar
Peran Tidak tindakan keperawatan
yang masih dapat intervensi yang ada pada
Efektif b.d. selama…..x….jam, dilakukan dan NIC.
faktor ekonomi klien mampu menerima
diri terhadap peran sekiranya
yang diembannya menghasilkan

19
karena kondisinya yang 2) Bangun kepercayaan Intervensi nomor 3:
diri klien dengan
sekarang ditunjukkan Penelitian yang
memberi motivasi dan
dengan: pujian dilakukan oleh

1) Klien 3) Ajarkan suatu Kaharingan et al. (2015)


keterampilan okupasi menunjukkan bahwa
mengungkapkan
pada lansia kegiatan terapi okupasi
secara verbal tentang yang diajarkan kepada
kepuasannya lansia membuat lansia
semakin memaknai dan
sekarang menjalani
menghargai hidup.
peran dalam

keluarga
2) Klien mampu
menjalani perannya
saat ini dengan
strategi koping yang
adaptif

Manajemen Setelah dilakukan 1) Anjurkan keluarga Intervensi nomor 1:


tindakan keperawatan untuk mendukung penelitian yang
Kesehatan
selama…..x….jam, lansia senantiasa dilakukan Wulandhani,
Keluarga klien mampu memeriksakan et al. (2014)
menunjukkan kesehatannya secara menunjukkan bahwa
Tidak Efektif
kemampuan mengatur rutin semakin tinggi dukungan
b.d. kesulitan kesehatan keluarga keluarga maka semakin
2) Advokasi klien untuk
ekonomi dengan efektif termotivasi lansia untuk
mendapatkan
menggunakan memeriksakan
pembiayaan apabila
kemampuan/sumber kesehatannya.
belum mempunyai
daya yang tersedia yang
keanggotaan asuransi
ditunjukkan dengan:
kesehatan pemerintah
Intervensi nomor 2:
1) Klien dan keluarga
3) Berikan pendidikan
menunjukkan merupakan standar
kesehatan terkait
perilaku hidup intervensi yang ada di
pemanfaatan
bersih dan sehat NIC.
pelayanan posyandu
secara rutin
lansia, risiko

Intervensi nomor 3: hasil


studi Yuliani (2015)

20
2) Klien dan keluarga kesehatan lansia dan menunjukkan bahwa
berpartisipasi aktif pencegahannya, serta pendidikan kesehatan
dalam kegiatan penyakit umum yang berpengaruh terhadap
sering terjadi di
kesehatan di peningkatan partisipasi
masyarakat
masyarakat klien lansia ke posyandu
(posyandu, kerja lansia.
bakti, senam, dan
lain sebagainya)

No Diagnosa Keperawatan NOC NIC


1. Nyeri akut berhubungan - Pain level Pain manajemen
dengan peradangan sendi. - Pain kontrol 1. Lakukan
pengkajian nyeri secara
- Konfort level komperensif termasuk
Defenisi : pengalaman sensori
lokasi, karakteristik,
dan emosional yang tidak durasi, frekuensi,
Kriteria Hasil:
menyenangkan yang muncul kualitas dan faktor
akibat kerusakan jaringan • Mampu mengontrol presipitasi.
yang aktual atau potensial nyeri (tahu penyebab 2. Observasi reaksi
atau gambaran dalam hal nyeri, mampu nonverbal dari ketidak
kerusakan menggunakan teknik nyamanan.

21
sedemikian rupa nonfarmakologi untuk 3. Gunakan teknik
(internasional asosiation for mengurangi nyeri, komunikasi terapetik
studi of pain ) : untuk mengetahui
awitan yang tiba-tiba atau mencari bantuan). • pengalaman nyeri pasien.
lambat dari intensitas ringan Melaporkan bahwa nyeri 4. Kaji kultur yang
sehingga berat dengan akhir mempengaruhu respon
berkurang dengan nyeri.
yang dapat di antisipasi atau
di prediksi dan berlangsung <6 menggunakan 5. Evaluasi
bulan. pengalaman nyeri masa
Batas karakteristik : manajemen nyeri. • lampau.
• Perubahan selera Mampu mengenali 6. Evaluasi bersama
pasien dan tim kesehatan
makan. nyeri (skala intensitas, lain tentang ketidak
frekuensi dan tanda nyeri). efektifan kontrol nyeri
• Perubahan tekanan masa lampau.
darah. • Menyatakan rasa
7. Bantu pasien dan
• Perubahan frekuensi nyaman setelah nyeri keluarga untuk mencari
jantung. berkurang. dan menemukan
dukungan.
• Perubahan frekuensi 8. Kontrol
pernafasan. lingkungan yang dapat
mempengaruhi nyeri
• Laporan isyarat. seperti suhu ruangan,
• Diaphoresis. pencahayaan dan
kebisingan.
• Prilaku distraksi
9. Kurang faktor
(misal, berjalan, presipitasi nyeri.
mondar-mandir
10. Pilih dan lakukan
mencari aktivitas yang
penanganan nyeri
berulang).
(farmakologi, non
• Mengekspresikan farmakologi dan
prilaku (misal, gelisah, interpersonal).
merengek, menangis). 11. Kaji tipe dan
• Masker wajah (misal, sumber nyeri untuk
mata kurang menentukan
bercahaya,tampak
kacau, gerakan mata

22
berpancar atau tetap intervensi.
pada satu fokus 12. Ajarkan tentang teknik
meringis). non farmakologi.
• Sikap melindungi area 13. Berikan anakgetik
nyeri. untuk mengurangi
• Fokus menyempit nyeri
(misal, gangguan 14. Evaluasi keefektifan
persepsi nyeri kontrol nyeri.
hambatan proses 15. Tingkatkan istirahat.
berpikir, penurunan
interaksi dengan orang 16. Kolaborasikan dengan
dan lingkungan). dokter jika ada
keluhan dan tindakan
• Indikasi nyeri yang nyeri tidak berhasil.
dapat diamati. 17. Monitor penerimaan
pasien tentang
• Perubahan posisi untuk manajemen nyeri.
menghindari nyeri.

• Sikap tubuh Analgesic Administration


melindungi. 1. Tentukan lokasi,
karakteristik, kualitas
• Dilatasi pupil. dan derajat nyeri
• Melaporkan nyeri sebelum pemberian
obat.
secara verbal.
2. Cek instruksi dokter
• Gangguan tidur. tentang jenis obat,
dosis, frekuensi.
Faktor yang berhubungan: 3. Cek riwayat alergi.
4. Pilih analgesik yang
• Agen cedera (misal,
diperlukan atau
biologis, zat kimia, kombinasi dari
fisik, psikologis). analgesik ketika
pemberian lebih dari
satu.
5. Tentukan pilihan
analgesik tergantung
tipe dan beratnya nyeri.

23
6. Tentukan
analgesik pilihan , rute
pemberian, dan dosis
optimal.
7. Pilih rute
pemberian secara IV, IM
untuk pengobatan nyeri
secara teratur.
8. Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
pertama kali.
9. Berikan analgesik
tepat waktu terutama saat
nyeri hebat.
10. Evaluasi
efektivitas analgesik,
tanda dan gejala.

2. Kerusakan mobilitas fisik. - Joint Movement: Exercise therapy :


active ambulation
Defenisi : keterbatasan pada - MobilityLevel 1. Monitoring vital sign
pergerakan fisik tubuh atau sebelum/ sesudah
- Self Care: ADLs latihan dan lihat respon
satu atau lebih ekstremitas
secara mandiri dan terarah. - Transfer pasien saat latihan.
performance 2. Konsultasikan dengan
terapi fisik tentang
Batasan karakteristik:
Kriteria Hasil : rencana ambulasi sesuai
• Penurunan waktu dengan kebutuhan.
reaksi. • Klien meningkat
3. Bantu klien untuk
• Kesulitan membolak dalam aktivitas fisik. • menggunakan tongkat
balik posisi. saat berjalan dan cegah
Mengerti tujuan dari
• Melakukan aktivitas terhadap cedera.
peningkatan mobilitas. 4. Ajarkan pasien atau
lain sebagai pengganti
• Memverbalisasikan
pergerakan.
perasaan dalam
• Dispnea setelah
beraktivitas.
• Perubahan cara
berjalan.
24
• Gerakan bergetar. meningkatkan tenaga kesehatan lain
• Keterbatasan kekuatan dan tentang teknik ambulasi.

kemampuan melakukan kemampuan berpindah. 5. Kaji kemampuan


klien dalam mobilisasi.
keterampilan motorik • Memperagakan
6. Latih pasien dalam
halus. penggunaan alat bantu pemenuhan kebutuhan
untuk mobilisasi (walker). ADLs secara mandiri
• Keterbatasan sesuai kemampuan.
kemampuan keterampilan 7. Dampingi dan
bantu pasien saat
motorik kasar. mobilisasi dan bantu
• Keterbatasan rentang penuhi kebutuhan ADLs.
pergerakan sendi. 8. Berikan alat bantu
jika klien memerlukan.
• Tremor akibat
pergerakan. 9. Ajarkan pasien
bagaimana merubah
• Ketidakstabilan postur. posisi dan berikan
• Pergerakan lambat. • bantuan jika diperlukan.
Pergerakan tidak
terkoordinasi.

Faktor yang berhubungan:


• Intoleransi aktivitas.
• Perubahan
metabolisme selular.
• Ansietas.
• Indeks masa tubuh
diatas perentil ke-75
sesuai usia.
• Gangguan kognitif.
• Konstraktur.
• Kepercayaan budaya
tentang aktivitas sesuai
usia.

• Fisik tidak bugar.


• Penurunan ketahan
tubuh.
• Penurunan kendali
otot.

• Penurunan masa otot.

25
• Malnutrisi.
• Gangguan
muskoloskletal.

• Gangguan
neuromuskular, nyeri.

• Agens obat.
• Penurunan kekuatan
otot.

• Kurang pengetahuan
tentang aktivitas fisik.

• Keadaan mood
depresif.

• Keterlambatan
perkembangan.

• Ketidaknyamanan.
• Disuse, kaku sendi.
• Kurang dukungan
lingkungan (misal,
fisik atau sosial).

• Keterbatasan
ketahanan
kardiovaskuler.

• Kerusakan integritas
struktur tulang.

• Program pembatasan
gerak.

• Keengganan memulai
pergerakan.

• Gaya hidup monoton.


• Gangguan sensori
perseptual.

No Diagnosa Keperawatan NOC NIC

26
1. Nyeri akut berhubungan - Pain level Pain manajemen
dengan peradangan sendi. - Pain kontrol 3. Lakukan
pengkajian nyeri secara
- Konfort level komperensif termasuk
Defenisi : pengalaman sensori
lokasi, karakteristik,
dan emosional yang tidak durasi, frekuensi,
Kriteria Hasil:
menyenangkan yang muncul kualitas dan faktor
akibat kerusakan jaringan • Mampu mengontrol presipitasi.
yang aktual atau potensial nyeri (tahu penyebab 4. Observasi reaksi
atau gambaran dalam hal nyeri, mampu nonverbal dari ketidak
kerusakan menggunakan teknik nyamanan.

27
sedemikian rupa nonfarmakologi untuk 12. Gunakan teknik
(internasional asosiation for komunikasi terapetik
mengurangi nyeri,
studi of pain ) : untuk mengetahui
awitan yang tiba-tiba atau mencari bantuan). • pengalaman nyeri
pasien.
lambat dari intensitas ringan Melaporkan bahwa nyeri
sehingga berat dengan akhir 13. Kaji kultur yang
berkurang dengan mempengaruhu respon
yang dapat di antisipasi atau
di prediksi dan berlangsung nyeri.
menggunakan
<6 bulan. 14. Evaluasi
Batas karakteristik : manajemen nyeri. • pengalaman nyeri masa
lampau.
• Perubahan selera Mampu mengenali
15. Evaluasi bersama
makan. nyeri (skala intensitas, pasien dan tim kesehatan
frekuensi dan tanda nyeri). lain tentang ketidak
• Perubahan tekanan efektifan kontrol nyeri
darah. • Menyatakan rasa
masa lampau.
• Perubahan frekuensi nyaman setelah nyeri 16. Bantu pasien dan
jantung. berkurang. keluarga untuk mencari
dan menemukan
• Perubahan frekuensi dukungan.
pernafasan. 17. Kontrol
lingkungan yang dapat
• Laporan isyarat. mempengaruhi nyeri
• Diaphoresis. seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan
• Prilaku distraksi kebisingan.
(misal, berjalan, 18. Kurang faktor
mondar-mandir presipitasi nyeri.
mencari aktivitas yang
19. Pilih dan lakukan
berulang).
penanganan nyeri
• Mengekspresikan (farmakologi, non
prilaku (misal, gelisah, farmakologi dan
merengek, menangis). interpersonal).
• Masker wajah (misal, 20. Kaji tipe dan
mata kurang sumber nyeri untuk
bercahaya,tampak menentukan
kacau, gerakan mata

28
berpancar atau tetap intervensi.
pada satu fokus 18. Ajarkan tentang
meringis). teknik non
• Sikap melindungi area farmakologi.
nyeri. 19. Berikan anakgetik
• Fokus menyempit untuk mengurangi
(misal, gangguan nyeri
persepsi nyeri 20. Evaluasi keefektifan
hambatan proses kontrol nyeri.
berpikir, penurunan 21. Tingkatkan istirahat.
interaksi dengan orang
dan lingkungan). 22. Kolaborasikan dengan
dokter jika ada
• Indikasi nyeri yang keluhan dan tindakan
dapat diamati. nyeri tidak berhasil.
23. Monitor penerimaan
• Perubahan posisi untuk pasien tentang
menghindari nyeri. manajemen nyeri.

• Sikap tubuh
melindungi. Analgesic Administration
6. Tentukan lokasi,
• Dilatasi pupil. karakteristik, kualitas
• Melaporkan nyeri dan derajat nyeri
sebelum pemberian
secara verbal.
obat.
• Gangguan tidur. 7. Cek instruksi dokter
tentang jenis obat,
dosis, frekuensi.
Faktor yang berhubungan:
8. Cek riwayat alergi.
• Agen cedera (misal,
9. Pilih analgesik yang
biologis, zat kimia, diperlukan atau
fisik, psikologis). kombinasi dari
analgesik ketika
pemberian lebih dari
satu.
10. Tentukan pilihan
analgesik tergantung
tipe dan beratnya nyeri.

29
11. Tentukan
analgesik pilihan , rute
pemberian, dan dosis
optimal.
12. Pilih rute
pemberian secara IV, IM
untuk pengobatan nyeri
secara teratur.
13. Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
pertama kali.
14. Berikan analgesik
tepat waktu terutama saat
nyeri hebat.
15. Evaluasi
efektivitas analgesik,
tanda dan gejala.

2. Kerusakan mobilitas fisik. - Joint Movement: Exercise therapy :


active ambulation
Defenisi : keterbatasan pada - MobilityLevel 5. Monitoring vital sign
pergerakan fisik tubuh atau sebelum/ sesudah
- Self Care: ADLs latihan dan lihat respon
satu atau lebih ekstremitas
secara mandiri dan terarah. - Transfer pasien saat latihan.
performance 6. Konsultasikan dengan
terapi fisik tentang
Batasan karakteristik:
Kriteria Hasil : rencana ambulasi sesuai
• Penurunan waktu dengan kebutuhan.
reaksi. • Klien meningkat
7. Bantu klien untuk
• Kesulitan membolak dalam aktivitas fisik. • menggunakan tongkat
balik posisi. saat berjalan dan cegah
Mengerti tujuan dari
• Melakukan aktivitas terhadap cedera.
peningkatan mobilitas. 8. Ajarkan pasien atau
lain sebagai pengganti
• Memverbalisasika
pergerakan.
n
• Dispnea setelah perasaan dalam
beraktivitas.
• Perubahan cara
berjalan.
30
• Gerakan bergetar. meningkatkan tenaga kesehatan lain
kekuatan dan tentang teknik ambulasi.
• Keterbatasan
kemampuan berpindah. 10. Kaji kemampuan
kemampuan melakukan klien dalam mobilisasi.
• Memperagakan
keterampilan motorik 11. Latih pasien dalam
penggunaan alat bantu pemenuhan kebutuhan
halus. ADLs secara mandiri
untuk mobilisasi
sesuai kemampuan.
• Keterbatasan (walker).
12. Dampingi dan
kemampuan keterampilan bantu pasien saat
motorik kasar. mobilisasi dan bantu
penuhi kebutuhan ADLs.
• Keterbatasan rentang 13. Berikan alat bantu
jika klien memerlukan.
pergerakan sendi.
14. Ajarkan pasien
• Tremor akibat bagaimana merubah
posisi dan berikan
pergerakan. bantuan jika diperlukan.
• Ketidakstabilan postur.

• Pergerakan lambat.

• Pergerakan tidak
terkoordinasi.

Faktor yang berhubungan:

• Intoleransi aktivitas.

• Perubahan

metabolisme selular.

• Ansietas.

• Indeks masa tubuh

diatas perentil ke-75


sesuai usia.

• Gangguan kognitif.

• Konstraktur.

• Kepercayaan budaya
tentang aktivitas sesuai
usia.

31
• Fisik tidak bugar.

• Penurunan ketahan
tubuh.

• Penurunan kendali otot.


• Penurunan masa otot.
• Malnutrisi.
• Gangguan
muskoloskletal.
• Gangguan
neuromuskular, nyeri.
• Agens obat.
• Penurunan kekuatan
otot.
• Kurang pengetahuan
tentang aktivitas fisik.
• Keadaan mood
depresif.
• Keterlambatan
perkembangan.
• Ketidaknyamanan.
• Disuse, kaku sendi.
• Kurang dukungan
lingkungan (misal,
fisik atau sosial).
• Keterbatasan
ketahanan
kardiovaskuler.
• Kerusakan integritas
struktur tulang.
• Program pembatasan
gerak.
• Keengganan memulai
pergerakan.

32
• Gaya hidup monoton.
• Gangguan sensori
perseptual.

Diagnosa I

Ansietas / ketakutan ( individu , keluarga ) yang berhubungan denga situasi


yang tak dikenal. Sifat kondisi yang tak dapat diperkirakan takut akan
kematian dan efek negative pada gaya hidup.

No Intervensi Rasional

Bantu klien untuk mengurangi


ansietasnya :
1.      Berikan kepastian dan kenyamanan. Klien yang cemas mempunyai
2.      Tunjukkan perasaan tentang penyempitan lapang persepsi dengan
pemahaman dan empati, jangan penurunan kemampuan untuk belajar.
1. menghindari pertanyaan. Ansietas cendrung untuk
memperburuk masalah. Menjebak
3.      Dorong klien untuk mengungkapkan
klien pada lingkaran peningkatan
setiap ketakutan permasalahan yang
ansietas tegang, emosional dan nyeri
berhubungan dengan pengobatannya.
fisik.
4.      Identifikasi dan dukung mekanisme
koping efektif.

Beberapa rasa takut didasari oleh


informasi yang tidak akurat dan dapat
Kaji tingkat ansietas klien : rencanakan
2 dihilangkan denga memberikan
pernyuluhan bila tingkatnya rendah atau
informasi akurat. Klien dengan
sedang.
ansietas berat atau parah tidak
menyerap pelajaran.
Pengungkapan memungkinkan untuk
Dorong keluarga dan teman untuk
3 saling berbagi dan memberiakn
mengungkapkan ketakutan-ketakutan
kesempatan untuk memperbaiki
mereka.
konsep yang tidak benar.
Menghargai klien untuk koping efektif
4 Berikan klien dan keluarga kesempatan
dapat menguatkan renson koping
dan penguatan koping positif.
positif yang akan datang

                                 Diagnosa II

33
Berduka yang berhubungan penyakit terminal dan kematian yang akan
dihadapi penurunan fungsi, perubahan konsep diri dan menark diri dari orang
lain.

No Intervensi Rasional

Pengetahuan bahwa tidak ada lagi


Berikan kesempatan pada klien pengobatan yang dibutuhkan dan bahwa
dan keluarga untuk kematian sedang menanti dapat
mengungkapkan perasaan, menyebabkan menimbulkan perasaan
didiskusikan kehilangan secara ketidak berdayaan, marah dan kesedihan
1
terbuka , dan gali makna pribadi yang dalam dan respon berduka yang
dari kehilangan.jelaskan bahwa lainnya. Diskusi terbuka dan jujur dapat
berduka adalah reaksi yang umum membantu klien dan anggota keluarga
dan sehat menerima dan mengatasi situasi dan respon
mereka terhadap situasi tersebut.
Berikan dorongan penggunaan
strategi koping positif yang Stategi koping positif membantu
2
terbukti yang memberikan penerimaan dan pemecahan masalah
keberhasilan pada masa lalu
Berikan dorongan pada klien Memfokuskan pada atribut yang positif
3 untuk mengekpresikan atribut diri meningkatkan penerimaan diri dan
yang positif penerimaan kematian yang terjadi
Bantu klien mengatakan dan
Proses berduka, proses berkabung adaptif
menerima kematian yang akan
4 tidak dapat dimulai sampai kematian yang
terjadi, jawab semua pertanyaan
akan terjadi di terima
dengan jujur
Penelitian menunjukkan bahwa klien sakit
terminal paling menghargai tindakan
keperawatan berikut :
Tingkatkan harapan dengan a. Membantu berdandan
perawatan penuh perhatian, b. Mendukung fungsi kemandirian
5
menghilangkan ketidak nyamanan
c. Memberikan obat nyeri saat
dan dukungan
diperlukandan
d. meningkatkan kenyamanan fisik
(skoruka dan bonet 1982 )

Diagnosa III

34
Perubahan proses keluarga yang berhubungan dengan gangguan kehidupan
takut akan hasil ( kematian ) dan lingkungannya penuh stres (tempat
perawatan )

No Intervensi Rasional

Luangkan waktu bersama Kontak yang sering dan me


keluarga atau orang terdekat klien ngkmuikasikan sikap perhatian dan peduli
1
dan tunjukkan pengertian yang dapat membantu mengurangi kecemasan
empati dan meningkatkan pembelajaran
Izinkan keluarga klien atau orang Saling berbagi memungkinkan perawat
terdekat untuk mengekspresikan untuk mengintifikasi ketakutan dan
2
perasaan, ketakutan dan kekhawatiran kemudian merencanakan
kekawatiran. intervensi untuk mengatasinya

Jelaskan lingkungan dan peralatan Informasi ini dapat membantu mengurangi


3 ansietas yang berkaitan dengan ketidak
ICU
takutan

Jelaskan tindakan keperawatan


dan kemajuan postoperasi yang
4
dipikirkan dan berikan informasi
spesifik tentang kemajuan klien
Anjurkan untuk sering berkunjung Kunjungan dan partisipasi yang sering
5 dan berpartisipasi dalam tindakan dapat meningakatkan interaksi keluarga
perawan berkelanjutan
Keluarga denagan masalah-masalah
seperti kebutuhan financial , koping yang
Konsul dengan atau berikan
tidak berhasil atau konflik yang tidak
6 rujukan kesumber komunitas dan
selesai memerlukan sumber-sumber
sumber lainnya
tambahan untuk membantu
mempertahankankan fungsi keluarga

Diagnosa Keperawatan
1.        Merasa kehilangan harapan hidup dan terisolasi dari lingkungan sosial berhubungan
dengan kondisi sakit terminal.
2.        Kehilangan harga diri berhubungan dengan penurunan dan kehilangan fungsi
3.        Depresi berhubungan dengan kesedihan tentang dirinya dalam keadaan terminal

35
4.        Cemas berhubungan dengan kemungkinan sembuh yang tidak pasti, ditandai dengan klien
selalu bertanya tentang penyakitnya, adakah perubahan atau tidak (fisik), raut muka klien yang
cemas
5.        Koping individu tidak efektif berhubungan dengan tidak menerima akan kematian, ditandai
dengan klien yang selalu mengeluh tentang keadaan dirinya, menyalahkan Tuhan atas penyakit
yang dideritanya, menghindari kontak sosial dengan keluarga/teman, marah terhadap orang lain
maupun perawat.
6.        Distress spiritual berhubungan dengan kurangnya pengetahuan klien dalam melaksanakan
alternatif ibadah sholat dalam keadaan sakit ditandai dengan klien merasa lemah dan tidak
berdaya dalam melakukan ibadah sholat.
7.        Inefektif koping keluarga berhubungan dengan kehilangan

Rencana Keperawatan
1.Merasa kehilangan harapan hidup dan terisolasi dari lingkungan sosial berhubungan dengan
kondisi sakit terminal
Tujuan :
Klien merasa tenang menghadapi sakaratul maut sehubungan dengan sakit terminal
Intervensi :
a)        Dengarkan dengan penuh empati setiap pertanyaan dan berikan respon jika dIbutuhkan
klien dan gali perasaan klien.
b)        Berikan klien harapan untuk dapat bertahan hidup.
c)        Bantu klien menerima keadaannya sehubungan dengan ajal yang akan menjelang.
d)       Usahakan klien untuk dapat berkomunikasi dan selalu ada teman di dekatnya.
e)        Perhatikan kenyamanan fisik klien.

2.Kehilangan harga diri berhubungan dengan penurunan dan kehilangan fungsi


Tujuan :
Mempertahankan rasa aman, tenteram, percaya diri, harga diri dan martabat klien
Intervensi :
a)        Gali perasaan klien sehubungan dengan kehilangan.
b)        Perhatikan penampilan klien saat bertemu dengan orang lain.
c)        Bantu dan penuhi kebutuhan dasar klien antara lain hygiene, eliminasi.
d)       Anjurkan keluarga dan teman dekat untuk saling berkunjung dan melakukan hal – hal yang
disenangi klien.
36
e)        Beri klien support dan biarkan klien memutuskan sesuatu untuk dirinya, misalnya dalam
hal perawatan.

3. Depresi berhubungan dengan kesedihan tentang dirinya dalam keadaan terminal


Tujuan :
Mengurangi rasa takut, depresi dan kesepian
Intervensi :
a)        Bantu klien untuk mengungkapkan perasaan sedih, marah dan lain lain.
b)        Perhatikan empati sebagai wujud bahwa perawat turut merasakan apa yang dirasakan klien.
c)        Bantu klien untuk mengidentifikasi sumber koping, misalnya dari teman dekat, keluarga
ataupun keyakinan klien.
d)       Berikan klien waktu dan kesempatan untuk mencerminkan arti penderitaan, kematian dan
sekarat.
e)        Gunakan sentuhan ketika klien menunjukkan tingkah laku sedih, takut ataupun depresi,
yakinkan bahwa perawat selalu siap membantu.
f)         Lakukan hubungan interpersonal yang baik dan berkomunikasi tentag pengalaman –
pengalaman klien yang menyenangkan.

4.  Cemas berhubungan dengan kemungkinan sembuh yang tidak pasti, ditandai dengan klien
selalu bertanya tentang penyakitnya, adakah perubahan atau tidak (fisik), raut muka klien yang
cemas
Tujuan :
Klien tidak cemas lagi dan klien memiliki suatu harapan serta semangat hidup
Intervensi :
a)        Kaji tingkat kecemasan klien.
b)        Jelaskan kepada klien tentang penyakitnya.
c)        Tetap mitivasi (beri dukungan) kepada klien agar tidak kehilangan harapan hidup dengan
tetap mengikuti dan mematuhi petunjuk perawatan dan pengobatan.
d)       Anjurkan kepada klien untuk tetap berserah diri kepada Tuhan.
e)        Datangkan seorang klien yang lain yang memiliki penyakit yang sama dengan klien.
f)         Ajarkan kepada klien dalam melakukan teknik distraksi, misal dengan mendengarkan
musik kesukaan klien atau dengan teknik relaksasi, misal dengan menarik nafas dalam.
g)        Beritahukan kepada klien mengenai perkembangan penyakitnya.
h)        Ikut sertakan klien dalam rencana perawatan dan pengobatan.
37
5. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan tidak menerima akan kematian, ditandai
dengan klien yang selalu mengeluh tentang keadaan dirinya, menyalahkan Tuhan atas penyakit
yang dideritanya, menghindari kontak sosial dengan keluarga/teman, marah terhadap orang lain
maupun perawat
Tujuan :
Koping individu positif
Intervensi :
a)        Gali koping individu yang positif yang pernah dilakukan oleh klien.
b)        Jelaskan kepada klien bahwa setiap manusia itu pasti akan mengalami suatu kematian dan
itu telah ditentukan oleh Tuhan.
c)        Anjurkan kepada klien untuk tetap berserah diri kepada Tuhan.
d)       Perawat maupun keluarga haruslah tetap mendampingi klien dan mendengarkan segala
keluhan dengan rasa empati dan penuh perhatian.
e)        Hindari barang – barang yang mungkin dapat membahayakan klien.
f)         Tetap memotivasi klien agar tidak kehilangan harapan untuk hidup.
g)        Kaji keinginan klien mengenai harapa untuk hidup/keinginan sebelum menjelang ajal.
h)        Bantu klien dalam mengekspresikan perasaannya.

6.Distress spiritual berhubungan dengan kurangnya pengetahuan klien dalam melaksanakan


alternatif ibadah sholat dalam keadaan sakit ditandai dengan klien merasa lemah dan tidak
berdaya dalam melakukan ibadah sholat
Tujuan :
Kebutuhan spiritual dapat terpenuhi yaitu dapat melakukan sholat dalam keadaan sakit
Intervensi :
a)        Kaji tingkat pengetahuan klien mengenai ibadah sholat.
b)        Ajarkan pada klien cara sholat dalam keadaan berbaring.
c)         Ajarkan tata cara tayamum.
d)       Ajarkan kepada klien untuk berzikir.
e)        Datangkan seorang ahli agama.

7.Inefektif koping keluarga berhubungan dengan kehilangan


Tujuan :
Membantu individu menangani kesedihan secara efektif
38
Intervensi :
a)        Motivasi keluarga untuk menverbalisasikan perasaan – perasaan antara lain : sedih, marah
dan lain – lain.
b)        Beri pengertian dan klarifikasi terhadap perasaan – perasaan anggota keluarga.
c)        Dukung keluarga untuk tetap melakukan aktivitas sehari – hari yang dapat dilakukan.
d)       Bantu keluarga agar mempunyai pengaharapan yang realistis.
e)        Berikan rasa empati dan rasa aman dan tenteram dengan cara duduk disamping keluarga,
mendengarkan keluhan dengan tetap menghormati klien serta keluarga.
f)         Berikan kesempatan pada keluarga untuk melakukan upacara keagamaan menjelang saat –
saat kematian.

REFERENSI

Alligood, M. R., 2014. Nursing Theorist and Their Work. USA: Elsevier Health
Sciences.

Ananta, L. A. W. & Wulan, R., 2011. Pola Aktivitas Sehari-Hari pada Pasien
Demensia di Instalasi Rawat Jalan RS. Baptis Kediri. Jurnal STIKES RS
Baptis Kediri, 4(2).

Bulechek, G., 2013. Nursing Intervention Classification (NIC). 6th ed. Missouri:
Elsevier Mosby.

Ciorba, A., Bianchini, C., Pelucchi, S. & Pastore, A., 2012. The Impact of Hearing
Loss on The Quality of Life of Elderly Adults. Clinical Interventions in
Aging, Volume 7, pp. 159-163.

Dethier, J. J., Pestieau, P. & Ali, R., 2011. The Impact of A Minimum Pension on
Old Age Poverty and Its Budgetary Cost: Evidence from Latin America.
Revista de Economia del Rosario, 14(2), pp. 135-163.

Ermawati & Sudarji, S., 2013. Kecemasan Menghadapi Kematian pada Lanjut Usia.
Psibernetika Universitas Bunda Mulya, 6(1).
39
Hayati, R. & Nurviyandari, D., 2014. Depresi Ringan pada Lansia Setelah
Memasuki Masa Pensiun. Depok: Skripsi Universitas Indonesia.

Jayanti, Sedyowinarso & Madyaningrum, 2008. Faktor-Faktor yang


Mempengaruhi Tingkat Depresi Lansia di Panti Werdha Wiloso Wredho
Purworejo. Jurnal Ilmu Keperawatan, 3(2), pp. 133-138.

Kaharingan, E., Bidjuni, H. & Karundeng, M., 2015. Pengaruh Penerapan Terapi
Okupasi Terhadap Kebermaknaan Hidup pada Lansia di Panti Werdha
Damai Ranamuut Manado. ejournal Keperawatan (e-Kp), 3(2).

Kane, R. L., Ouslander, J. G. & Abrass, I. B., 1999. Essentials of Clinical


Geriatrics. 4th ed. New York: McGraw-Hill, Health Professions Division.

Klatz, R. & Goldman, R., 2007. The Official Anti Aging Revolution: Stop the
Clock, Time is on Your Side for a Younger, Stronger, Happier You. 4th ed.
United States: Basic Health Publications, Inc.

Kunaifi, A., 2009. Hubungan Tingkat Kepuasan Interaksi Sosial dengan Tingkat
Depresi Lansia di Panti Werdha Surabaya. Surabaya: Skripsi Universitas
Airlangga.
Kurniasih, D., 2013. Stres dan Strategi Coping Lansia pada Masa Pensiun yang
Berstatus Pegawai Negeri Sipil di Kecamatan Polanharjo Kabupaten
Klaten. Yogyakarta: Skripsi Universitas Negeri Yogyakarta.

Lee, J. & Smith, J. P., 2009. Work, Retirement, and Depression. J Popul Ageing,
Volume 2, pp. 57-71.

Maryam, R. S., 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba
Medika.

Menteri Negara Sekretaris Negara RI, 1998. Undang-Undang Nomor 13 Tahun


1998 Tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Jakarta: Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan.

Miller, C. A., 2009. Nursing for Wellness in Older Adults. US: Lippincott Williams
& Wilkins.

Moorhead, S., 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC): Measurement of


Health Outcomes. 5th ed. Missouri: Elsevier Sounder.

Orimo, H. et al., 2006. Reviewing the Definition of Elderly. Geriatric Gerontol Int,
Volume 6, pp. 149-158.

Orlicka, E., 2015. Impact of Population Ageing and Elderly Poverty on


Macroeconomic Aggregates. Procedia Economics and Finance, Volume 30,
pp. 598-605.

40
Pangkahila, W., 2007. Anti-Aging Medicine: Memperlambat Penuaan Meningkatkan
Hidup. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Ponto, D. L., Bidjuni, H. & Karundeng, M., 2015. Pengaruh Penerapan Terapi
Okupasi Terhadap Penurunan Stres pada Lansia di Panti Werdha Dama
Ranomuut Manado. ejournal Keperawatan (e-Kp), 3(2).

PPNI, 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta: DPP PPNI.

Rosdahl, C. B. & Kowalski, M. T., 2012. Textbook of Basic Nursing. Philadelphia:


Lippincott Williams & Wilkins.

Septiningsih, D. S. & Na'imah, T., 2012. Kesepian pada Lanjut Usia: Studi tentang
Bentuk, Faktor Pencetus, dan Strategi Koping. Jurnal Psikologi Universitas
Diponegoro, 11(2).

Suprapto, H. U. H., 2013. Konseling Logoterapi untuk Meningkatkan


Kebermaknaan Hidup Lansia. Jurnal Sains & Prakti Psikologi Universitas
Muhammadiyah Malang, 1(2).
Surbakti, E. P., 2008. Stres dan Koping Lansia pada Masa Pensiun Di Kelurahan
Pardomuan Kec. Siantar Timur Kotamadya Pematangsiantar. Medan: Skripsi
Universitas Sumatera Utara.

Suryawati, C., 2005. Memahami Kemiskinan Secara Multidimensional. Jurnal


Manajemen Pelayanan Kesehatan, 8(3).

Turner, J. S. & Helms, D. B., 1995. Lifespan Development. Columbia: Harcourt


Brace College Publishers.

Umah, K., 2012. Terapi Okupasi: Training Keterampilan Pengaruhi Tingkat Depresi
pada Lansia. Journal of Ners Community, 3(1).

Utomo, B., 2010. Hubungan antara Kekuatan Otot dan Daya Tahan Otot Anggota
Gerak Bawah dengan Kemampuan Fungsional Lanjut Usia. Surakarta: Tesis
Universitas Sebelas Maret.

Wang, C.-W., Chan, C. L. & Chi, I., 2014. Overview of Quality of Life Research
in Older People with Visual Impairment. Advances in Aging Research,
Volume 3, pp. 79-94.

Wulandhani, S. A., Nurcahayati, S. & Lestari, W., 2014. Hubungan Dukungan


Keluarga dengan Motivasi Lansia Hipertensi dalam Memeriksakan Tekanan
Darahnya. JOM PSIK, 1(2).

Yuliani, Agustina, R. & Rachmawati, K., 2015. Pendidikan Kesehatan Terhadap


Pengetahuan Lansia dalam Memanfaatkan Posyandu Lansia. Jurnal
Keperawatan dan Kesehatan Unlam, 3(1).

41
View publication stats

42

Anda mungkin juga menyukai