net/publication/322938911
CITATIONS READS
1 20,997
2 author :
Lukman Handoyo
Airlangga University
1 PUBLICATION 0 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
OLEH:
LUKMAN HANDOYO, S.KEP.
NIM 131713143090
1
DAFTAR ISI
BAB 1
2
TINJAUAN PUSTAKA
3
1.1.3 Teori Penuaan
Ada empat teori pokok dari penuaan menurut Klatz dan Goldman, (2007),
yaitu:
1. Teori Wear and Tear
Tubuh dan sel mengalami kerusakan karena telah banyak digunakan
(overuse) dan disalahgunakan (abuse).
2. Teori Neuroendokrin
Teori ini berdasarkan peranan berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh
yaitu dimana hormon yang dikeluarkan oleh beberapa organ yang
dikendalikan oleh hipotalamus telah menurun.
4
2. Tahap Transisi (usia 35-45 tahun)
Pada tahap ini kadar hormon menurun sampai 25%. Massa otot
berkurang sebanyak satu kilogram tiap tahunnya. Pada tahap ini orang
mulai merasa tidak muda lagi dan tampak lebih tua. Kerusakan oleh
radikal bebas mulai merusak ekspresi genetik yang dapat mengakibatkan
penyakit seperti kanker, radang sendi, berkurangnya memori, penyakit
jantung koroner dan diabetes.
1. Sel
Perubahan sel pada lanjut usia meliputi: terjadinya penurunan jumlah sel,
terjadi perubahan ukuran sel, berkurangnya jumlah cairan dalam tubuh
dan berkurangnya cairan intra seluler, menurunnya proporsi protein di
otak, otot, ginjal, darah, dan hati, penurunan jumlah sel pada otak,
terganggunya mekanisme perbaikan sel, serta otak menjadi atrofis
beratnya berkurang 510%.
2. Sistem Persyarafan
Perubahan persyarafan meliputi : berat otak yang menurun 10-20%
(setiap orang berkurang sel syaraf otaknya dalam setiap harinya), cepat
menurunnya hubungan persyarafan, lambat dalam respon dan waktu
untuk bereaksi khususnya dengan stress, mengecilnya syaraf panca indra,
berkurangnya penglihatan, hilangnya pendengaran, mengecilnya syaraf
5
penciuman dan perasa lebih sensitif terhadap perubahan suhu dengan
ketahanan terhadap sentuhan, serta kurang sensitif terhadap sentuan.
3. Sistem Pendengaran
Perubahan pada sistem pendengaran meliputi: terjadinya presbiakusis
(gangguan dalam pendengaran) yaitu gangguan dalam pendengaran pada
telinga dalam terutama terhadap bunyi suara, nada-nada yang tinggi,
suara yang tidak jelas, sulit mengerti kata-kta,50% terjadi pada umur
diatas 65 tahun. Terjadinya otosklerosis akibat atropi membran timpani.
Terjadinya pengumpulan serumen dapat mengeras karena meningkatnya
keratinin. Terjadinya perubahan penurunan pendengaran pada lansia
yang mengalami ketegangan jiwa atau stress.
4. Sistem Penglihatan
Perubahan pada sistem penglihatan meliputi: timbulnya sklerosis dan
hilangnya respon terhadap sinar, kornea lebih berbentuk sferis (bola),
terjadi kekeruhan pada lensa yang menyebabkan katarak, meningkatnya
ambang, pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap kegelapan lebih
lambat dan susah melihat pada cahaya gelap, hilangnya daya akomodasi,
menurunnya lapang pandang, serta menurunnya daya untuk membedakan
warna biru atau hijau. Pada mata bagian dalam, perubahan yang terjadi
adalah ukuran pupil menurun dan reaksi terhadap cahaya berkurang dan
juga terhadap akomodasi, lensa menguning dan berangsur-angsur
menjadi lebih buram mengakibatkan katarak, sehingga memengaruhi
kemampuan untuk menerima dan membedakan warna-warna. Kadang
warna gelap seperti coklat, hitam, dan marun tampak sama. Pandangan
dalam area yang suram dan adaptasi terhadap kegelapan berkurang (sulit
melihat dalam cahaya gelap) menempatkan lansia pada risiko cedera.
Sementara cahaya menyilaukan dapat menyebabkan nyeri dan membatasi
kemampuan untuk membedakan objek-objek dengan jelas, semua hal itu
dapat mempengaruhi kemampuan fungsional para lansia sehingga dapat
menyebabkan lansia terjatuh.
5. Sistem Kardiovaskuler
6
Perubahan pada sistem kardiovaskuler meliputi: terjadinya penurunan
elastisitas dinding aorta, katup jantung menebal dan menjadi kaku,
menurunnya kemampuan jantung untuk memompa darah yang
menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya, kehilangan
elastisitas pembuluh darah, kurangnya efektifitas pembuluh darah perifer
untuk oksigenasi, perubahan posisi yang dapat mengakibatkan tekanan
darah menurun (dari tidur ke duduk dan dari duduk ke berdiri) yang
mengakibatkan resistensi pembuluh darah perifer.
7. Sistem Respirasi
Perubahan sistem respirasi meliputi: otot pernapasan mengalami
kelemahan akibat atropi, aktivitas silia menurun, paru kehilangan
elastisitas, berkurangnya elastisitas bronkus, oksigen pada arteri
menurun, karbon dioksida pada arteri tidak berganti, reflek dan
kemampuan batuk berkurang, sensitivitas terhadap hipoksia dan
hiperkarbia menurun, sering terjadi emfisema senilis, kemampuan pegas
dinding dada dan kekuatan otot pernapasan menurun seiring pertambahan
usia.
8. Sistem Pencernaan
Perubahan pada sistem pecernaan, meliputi: kehilangan gigi, penyebab
utama periodontal disease yang bisa terjadi setelah umur 30 tahun, indra
pengecap menurun, hilangnya sensitivitas saraf pengecap terhadap rasa
asin, asam dan pahit, esofagus melebar, rasa lapar nenurun, asam
lambung menurun, motilitas dan waktu pengosongan lambung menurun,
peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi, fungsi absorpsi
7
melemah, hati semakin mengecil dan tempat penyimpanan menurun,
aliran darah berkurang.
9. Sistem Perkemihan
Perubahan pada sistem perkemihan antara lain ginjal yang merupakan
alat untuk mengeluarkan sisa metabolisme tubuh melalui urine, darah
masuk keginjal disaring oleh satuan (unit) terkecil dari ginjal yang
disebut nefron (tempatnya di glomerulus), kemudian mengecil dan
nefron menjadi atrofi, aliran darah ke ginjal menurun sampai 50%
sehingga fungsi tubulus berkurang, akibatnya, kemampuan
mengkonsentrasi urine menurun, berat jenis urine menurun. Otot-otot
vesika urinaria menjadi lemah, sehingga kapasitasnya menurun sampai
200 ml atau menyebabkan buang air seni meningkat. Vesika urinaria sulit
dikosongkan sehingga terkadang menyebabkan retensi urine.
1. Kesepian
Septiningsih dan Na’imah (2012) menjelaskan dalam studinya bahwa
lansia rentan sekali mengalami kesepian. Kesepian yang dialami dapat
berupa kesepian emosional, situasional, kesepian sosial atau gabungan
ketiga-tiganya. Berdasarkan penelitian tersebut beberapa hal yang dapat
memengaruhi perasaan kesepian pada lansia diantaranya: a) merasa tidak
adanya figur kasih sayang yang diterima seperti dari suami atau istri, dan
atau anaknya; b) kehilangan integrasi secara sosial atau tidak terintegrasi
dalam suatu komunikasi seperti yang dapat diberikan oleh sekumpulan
teman, atau masyarakat di lingkungan sekitar. Hal itu disebabkan karena
tidak mengikuti pertemuan-pertemuan yang dilakukan di kompleks
hidupnya; c) mengalami perubahan situasi, yaitu ditinggal wafat
pasangan hidup (suami dan atau istri), dan hidup sendirian karena
anaknya tidak tinggal satu rumah.
3. Depresi
9
Lansia merupakan agregat yang cenderung depresi. Menurut Jayanti,
Sedyowinarso, dan Madyaningrum (2008) beberapa faktor yang
menyebabkan terjadinya depresi lansia adalah: a) jenis kelamin, dimana
angka lansia perempuan lebih tinggi terjadi depresi dibandingkan lansia
laki-laki, hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan hormonal,
perbedaan stressor psikososial bagi wanita dan laki-laki, serta model
perilaku tentang keputusasaan yang dipelajari; b) status perkawinan,
dimana lansia yang tidak menikah/tidak pernah menikah lebih tinggi
berisiko mengalami depresi, hal tersebut dikarenakan orang lanjut usia
yang berstatus tidak kawin sering kehilangan dukungan yang cukup besar
(dalam hal ini dari orang terdekat yaitu pasangan) yang menyebabkan
suatu keadaan yang tidak menyenangkan dan kesendirian; dan c)
rendahnya dukungan sosial.
Berdasarkan konsep lansia dan proses penuaan yang telah dijabarkan, maka
lansia rentan sekali menghadapi berbagai permasalahan baik secara fisik maupun
psikologis. Kane, Ouslander, dan Abrass (1999) menjabarkan permasalahan yang
sering dihadapi lansia ke dalam 14 masalah atau yang sering disebut 14i Sindrom
Geriatri (Geriatric Syndrome). Keempat belas masalah tersebut adalah: 1)
Pada paper ini hanya akan dijelaskan satu dari empat belas masalah, yakni
Impecunity atau penurunan penghasilan.
10
2.1 Konsep Impecunity pada Lansia
2.1.1 Definisi Impecunity pada Lansia
Impecunity atau yang dalam bahasa Indonesia berarti kemiskinan
merupakan suatu kondisi dimana seseorang memiliki pendapatan jauh lebih
rendah dari rata-rata pendapatan sehingga tidak banyak memiliki kesempatan
untuk mensejahterakan dirinya (Suryawati, 2005). Pada konteks kemiskinan yang
dialami oleh lansia maka hal penting yang harus dipertanyakan adalah mengapa
lansia bisa sampai mengalami kemiskinan.
Miller (2009) mengemukakan bahwa fase berhenti kerja atau pensiun pasti
akan dialami oleh seluruh lansia dan pada saat itu mengakibatkan pendapatan
(uang) menurun serta perubahan peran dan status sosial. Pada fase tersebut tugas
lansia adalah harus mampu beradaptasi dengan masa pensiun dan penurunan
pendapatan yang terjadi (Rosdahl dan Kowalski, 2012).
Dari uraian diatas maka dapat penulis tarik kesimpulan bahwa impecunity
pada lansia adalah suatu kondisi dimana lansia mengalami penurunan atau bahkan
kehilangan pendapatan dikarenakan ketidakmampuan lansia untuk bekerja secara
produktif karena perubahan fungsi tubuh yang terjadi.
11
1) Penurunan penglihatan, akan mengakibatkan kesulitan dalam
beraktivitas sehari-hari, berisiko jatuh, dan kecelakaan/insiden lainnya
(Wang, C.W., et al., 2014).
1) Pekerja lanjut usia adalah pekerja yang lambat dalam bekerja, kurang
(bahkan tidak dapat) memenuhi persyaratan standar produktivitas yang
ditentukan perusahaan.
2) Pekerja lanjut usia banyak yang tidak fleksibel, sulit dilatih dan
dikembangkan karena mereka sulit untuk dapat menerima perubahan.
12
sebagai kepala keluarga yang mencari nafkah tidak lagi berjalan optimal
(Lee & Smith, 2009).
13
2.1.6 WOC Impecunity pada Lansia
Usia lanjut: perubahan fungsi tubuh pada lansia
Pensiun/pemberhentian kerja
L
Kejadian sakit padadiri Penurunan pendapatan, kebutuhan sehari
-hari
k
sendiri/keluarga kurang terpenuhi
Pengobatan/terapi tidak
efektif Ketidakadekuatan sistem
pendukung dan strategi kopin
15
14
2.2 Konsep Teori Carol A. Miller (Alligood, 2014; Miller, 2012)
2.2.1 Filosofi Teori
Model teori yang diperkenalkan oleh Carol disebut teori konsekuensi
fungsional untuk promosi kesehatan bagi lansia (Functional Consequences Theory
for Promoting Wellness in Older Adults). Perawat dapat menggunakan model
keperawatan ini di berbagai situasi dimana tujuan dari keperawatannya ialah
promosi kesehatan bagi lansia. Teori ini dikembangkan untuk menjelaskan
pertanyaan seperti: apakah keunikan dari promosi kesehatan untuk lansia? dan
bagaimana penerapan keperawatan untuk kebutuhan kesehatan bagi lansia?.
1) Functional Consequence
Mengobservasi akibat dari tindakan, faktor risiko, dan perubahan terkait
usia yang mempengaruhi kualitas hidup atau aktivitas sehari-hari dari
lansia. Efek tersebut berhubungan dengan semua tingkat fungsi, termasuk
tubuh, pikiran, dan semangat. Konsekuensi fungsional yang positif atau
negatif adalah efek-efek yang bisa diamati dari tindakan, faktor risiko dan
perubahan terkait umur yang mempengaruhi kualitas hidup atau kegiatan
sehari-hari dari lansia. Faktor-faktor risiko bisa berasal dari lingkungan
atau berasal dari pengaruh fisiologi dan psikososial. Dampak-dampak
fungsional positif ketika mereka membantu level performa tertinggi dan
jumlah ketergantungan yang paling kecil. Sebaliknya mereka negatif ketika
berinterferensi dengan level fungsi atau kualitas hidup seseorang.
15
contoh dari konsekwensi fungsional negatif yang disebabkan oleh sebuah
intervensi. Dalam kasus ini obat merupakan intervensi untuk nyeri dan
faktor resiko untuk gangguan fungsi pencernaan.
16
BAB 2
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI
PADA KLIEN LANSIA DENGAN IMPECUNITY
A. Pengkajian Fokus
1. Data Demografi
a. Jenis Kelamin
Laki-laki yang mengalami penurunan pendapatan cenderung berisiko
depresi lebih tinggi dibandingkan perempuan karena laki-laki merupakan kepala
keluarga yang mempunyai peran besar dalam keluarga (Lee dan Smith, 2009).
b. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan lansia dapat mempengaruhi pendapatan uang pensiunan
dan mekanisme koping yang dilakukan (Hayati, 2014).
c. Anggota Keluarga
Kaji berapa jumlah anggota keluarga inti dan berapa orang yang sekiranya
masih dalam masa pembiayaan klien.
3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik secara komprehensif (head to toe/per sistem) wajib
dilakukan meski tidak ada keluhan berarti yang dirasakan lansia guna
mengantisipasi penyakit degeneratif.
17
B. Diagnosa Keperawatan yang Dapat Muncul .
1) Koping Tidak Efektif berhubungan dengan ketidakadekuatan sistem
pendukung/strategi koping
stressor
18
adaptif yang 3) Berikan dukungan lansia pensiun yang
pada klien apabila mempunyai tingkat
ditunjukkan dengan:
telah mengungkapkan depresi rendah ternyata
1) Ekspresi wajah perasaanya menggunakan strategi
koping adaptif yang
klien tampak 4) Ajarkan alternatif
berorientasi ego yaitu
tenang, tidak cemas koping yang dengan rutin
melaksanakan dan
2) Klien konstruktif
menjadwalkan
mengungkapkan 5) Ajarkan klien untuk
dengan verbal hobi/kesukaannya dan
menggunakan strategi
tentang perasaan koping berorientasi berupaya untuk
yang lebih baik ego yaitu dengan
3) Klien menunjukkan memfasilitasi dan meningkatkan
menjadwalkan secara religiusitas dengan
perilaku yang
berkala klien membiasakan diri selalu
konstruktif dalam melakukan hobinya mengadu dan berdoa
kegiatan sehari-hari serta membantu klien kepada Tuhan YME
untuk meningkatkan apabila ada masalah.
religiusitas, latih klien
untuk senantiasa
berdoa dan mengadu Intervensi nomor 6:
kepada Tuhan YME Suprapto (2013) dalam
setiap kali ada
studinya memaparkan
masalah. bahwa konseling
6) Gunakan pendekatan logoterapi dapat
konseling logoterapi meningkatkan
kebermakanaan hidup
pada lansia.
Penampilan
Setelah dilakukan 1) Diskusikan dengan Intervensi nomor 1 dan
klien hal-hal apa saja 2: merupakan standar
Peran Tidak tindakan keperawatan
yang masih dapat intervensi yang ada pada
Efektif b.d. selama…..x….jam, dilakukan dan NIC.
faktor ekonomi klien mampu menerima
diri terhadap peran sekiranya
yang diembannya menghasilkan
19
karena kondisinya yang 2) Bangun kepercayaan Intervensi nomor 3:
diri klien dengan
sekarang ditunjukkan Penelitian yang
memberi motivasi dan
dengan: pujian dilakukan oleh
keluarga
2) Klien mampu
menjalani perannya
saat ini dengan
strategi koping yang
adaptif
20
2) Klien dan keluarga kesehatan lansia dan menunjukkan bahwa
berpartisipasi aktif pencegahannya, serta pendidikan kesehatan
dalam kegiatan penyakit umum yang berpengaruh terhadap
sering terjadi di
kesehatan di peningkatan partisipasi
masyarakat
masyarakat klien lansia ke posyandu
(posyandu, kerja lansia.
bakti, senam, dan
lain sebagainya)
21
sedemikian rupa nonfarmakologi untuk 3. Gunakan teknik
(internasional asosiation for mengurangi nyeri, komunikasi terapetik
studi of pain ) : untuk mengetahui
awitan yang tiba-tiba atau mencari bantuan). • pengalaman nyeri pasien.
lambat dari intensitas ringan Melaporkan bahwa nyeri 4. Kaji kultur yang
sehingga berat dengan akhir mempengaruhu respon
berkurang dengan nyeri.
yang dapat di antisipasi atau
di prediksi dan berlangsung <6 menggunakan 5. Evaluasi
bulan. pengalaman nyeri masa
Batas karakteristik : manajemen nyeri. • lampau.
• Perubahan selera Mampu mengenali 6. Evaluasi bersama
pasien dan tim kesehatan
makan. nyeri (skala intensitas, lain tentang ketidak
frekuensi dan tanda nyeri). efektifan kontrol nyeri
• Perubahan tekanan masa lampau.
darah. • Menyatakan rasa
7. Bantu pasien dan
• Perubahan frekuensi nyaman setelah nyeri keluarga untuk mencari
jantung. berkurang. dan menemukan
dukungan.
• Perubahan frekuensi 8. Kontrol
pernafasan. lingkungan yang dapat
mempengaruhi nyeri
• Laporan isyarat. seperti suhu ruangan,
• Diaphoresis. pencahayaan dan
kebisingan.
• Prilaku distraksi
9. Kurang faktor
(misal, berjalan, presipitasi nyeri.
mondar-mandir
10. Pilih dan lakukan
mencari aktivitas yang
penanganan nyeri
berulang).
(farmakologi, non
• Mengekspresikan farmakologi dan
prilaku (misal, gelisah, interpersonal).
merengek, menangis). 11. Kaji tipe dan
• Masker wajah (misal, sumber nyeri untuk
mata kurang menentukan
bercahaya,tampak
kacau, gerakan mata
22
berpancar atau tetap intervensi.
pada satu fokus 12. Ajarkan tentang teknik
meringis). non farmakologi.
• Sikap melindungi area 13. Berikan anakgetik
nyeri. untuk mengurangi
• Fokus menyempit nyeri
(misal, gangguan 14. Evaluasi keefektifan
persepsi nyeri kontrol nyeri.
hambatan proses 15. Tingkatkan istirahat.
berpikir, penurunan
interaksi dengan orang 16. Kolaborasikan dengan
dan lingkungan). dokter jika ada
keluhan dan tindakan
• Indikasi nyeri yang nyeri tidak berhasil.
dapat diamati. 17. Monitor penerimaan
pasien tentang
• Perubahan posisi untuk manajemen nyeri.
menghindari nyeri.
23
6. Tentukan
analgesik pilihan , rute
pemberian, dan dosis
optimal.
7. Pilih rute
pemberian secara IV, IM
untuk pengobatan nyeri
secara teratur.
8. Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
pertama kali.
9. Berikan analgesik
tepat waktu terutama saat
nyeri hebat.
10. Evaluasi
efektivitas analgesik,
tanda dan gejala.
25
• Malnutrisi.
• Gangguan
muskoloskletal.
• Gangguan
neuromuskular, nyeri.
• Agens obat.
• Penurunan kekuatan
otot.
• Kurang pengetahuan
tentang aktivitas fisik.
• Keadaan mood
depresif.
• Keterlambatan
perkembangan.
• Ketidaknyamanan.
• Disuse, kaku sendi.
• Kurang dukungan
lingkungan (misal,
fisik atau sosial).
• Keterbatasan
ketahanan
kardiovaskuler.
• Kerusakan integritas
struktur tulang.
• Program pembatasan
gerak.
• Keengganan memulai
pergerakan.
26
1. Nyeri akut berhubungan - Pain level Pain manajemen
dengan peradangan sendi. - Pain kontrol 3. Lakukan
pengkajian nyeri secara
- Konfort level komperensif termasuk
Defenisi : pengalaman sensori
lokasi, karakteristik,
dan emosional yang tidak durasi, frekuensi,
Kriteria Hasil:
menyenangkan yang muncul kualitas dan faktor
akibat kerusakan jaringan • Mampu mengontrol presipitasi.
yang aktual atau potensial nyeri (tahu penyebab 4. Observasi reaksi
atau gambaran dalam hal nyeri, mampu nonverbal dari ketidak
kerusakan menggunakan teknik nyamanan.
27
sedemikian rupa nonfarmakologi untuk 12. Gunakan teknik
(internasional asosiation for komunikasi terapetik
mengurangi nyeri,
studi of pain ) : untuk mengetahui
awitan yang tiba-tiba atau mencari bantuan). • pengalaman nyeri
pasien.
lambat dari intensitas ringan Melaporkan bahwa nyeri
sehingga berat dengan akhir 13. Kaji kultur yang
berkurang dengan mempengaruhu respon
yang dapat di antisipasi atau
di prediksi dan berlangsung nyeri.
menggunakan
<6 bulan. 14. Evaluasi
Batas karakteristik : manajemen nyeri. • pengalaman nyeri masa
lampau.
• Perubahan selera Mampu mengenali
15. Evaluasi bersama
makan. nyeri (skala intensitas, pasien dan tim kesehatan
frekuensi dan tanda nyeri). lain tentang ketidak
• Perubahan tekanan efektifan kontrol nyeri
darah. • Menyatakan rasa
masa lampau.
• Perubahan frekuensi nyaman setelah nyeri 16. Bantu pasien dan
jantung. berkurang. keluarga untuk mencari
dan menemukan
• Perubahan frekuensi dukungan.
pernafasan. 17. Kontrol
lingkungan yang dapat
• Laporan isyarat. mempengaruhi nyeri
• Diaphoresis. seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan
• Prilaku distraksi kebisingan.
(misal, berjalan, 18. Kurang faktor
mondar-mandir presipitasi nyeri.
mencari aktivitas yang
19. Pilih dan lakukan
berulang).
penanganan nyeri
• Mengekspresikan (farmakologi, non
prilaku (misal, gelisah, farmakologi dan
merengek, menangis). interpersonal).
• Masker wajah (misal, 20. Kaji tipe dan
mata kurang sumber nyeri untuk
bercahaya,tampak menentukan
kacau, gerakan mata
28
berpancar atau tetap intervensi.
pada satu fokus 18. Ajarkan tentang
meringis). teknik non
• Sikap melindungi area farmakologi.
nyeri. 19. Berikan anakgetik
• Fokus menyempit untuk mengurangi
(misal, gangguan nyeri
persepsi nyeri 20. Evaluasi keefektifan
hambatan proses kontrol nyeri.
berpikir, penurunan 21. Tingkatkan istirahat.
interaksi dengan orang
dan lingkungan). 22. Kolaborasikan dengan
dokter jika ada
• Indikasi nyeri yang keluhan dan tindakan
dapat diamati. nyeri tidak berhasil.
23. Monitor penerimaan
• Perubahan posisi untuk pasien tentang
menghindari nyeri. manajemen nyeri.
• Sikap tubuh
melindungi. Analgesic Administration
6. Tentukan lokasi,
• Dilatasi pupil. karakteristik, kualitas
• Melaporkan nyeri dan derajat nyeri
sebelum pemberian
secara verbal.
obat.
• Gangguan tidur. 7. Cek instruksi dokter
tentang jenis obat,
dosis, frekuensi.
Faktor yang berhubungan:
8. Cek riwayat alergi.
• Agen cedera (misal,
9. Pilih analgesik yang
biologis, zat kimia, diperlukan atau
fisik, psikologis). kombinasi dari
analgesik ketika
pemberian lebih dari
satu.
10. Tentukan pilihan
analgesik tergantung
tipe dan beratnya nyeri.
29
11. Tentukan
analgesik pilihan , rute
pemberian, dan dosis
optimal.
12. Pilih rute
pemberian secara IV, IM
untuk pengobatan nyeri
secara teratur.
13. Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
pertama kali.
14. Berikan analgesik
tepat waktu terutama saat
nyeri hebat.
15. Evaluasi
efektivitas analgesik,
tanda dan gejala.
• Pergerakan lambat.
• Pergerakan tidak
terkoordinasi.
• Intoleransi aktivitas.
• Perubahan
metabolisme selular.
• Ansietas.
• Gangguan kognitif.
• Konstraktur.
• Kepercayaan budaya
tentang aktivitas sesuai
usia.
31
• Fisik tidak bugar.
• Penurunan ketahan
tubuh.
32
• Gaya hidup monoton.
• Gangguan sensori
perseptual.
Diagnosa I
No Intervensi Rasional
Diagnosa II
33
Berduka yang berhubungan penyakit terminal dan kematian yang akan
dihadapi penurunan fungsi, perubahan konsep diri dan menark diri dari orang
lain.
No Intervensi Rasional
Diagnosa III
34
Perubahan proses keluarga yang berhubungan dengan gangguan kehidupan
takut akan hasil ( kematian ) dan lingkungannya penuh stres (tempat
perawatan )
No Intervensi Rasional
Diagnosa Keperawatan
1. Merasa kehilangan harapan hidup dan terisolasi dari lingkungan sosial berhubungan
dengan kondisi sakit terminal.
2. Kehilangan harga diri berhubungan dengan penurunan dan kehilangan fungsi
3. Depresi berhubungan dengan kesedihan tentang dirinya dalam keadaan terminal
35
4. Cemas berhubungan dengan kemungkinan sembuh yang tidak pasti, ditandai dengan klien
selalu bertanya tentang penyakitnya, adakah perubahan atau tidak (fisik), raut muka klien yang
cemas
5. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan tidak menerima akan kematian, ditandai
dengan klien yang selalu mengeluh tentang keadaan dirinya, menyalahkan Tuhan atas penyakit
yang dideritanya, menghindari kontak sosial dengan keluarga/teman, marah terhadap orang lain
maupun perawat.
6. Distress spiritual berhubungan dengan kurangnya pengetahuan klien dalam melaksanakan
alternatif ibadah sholat dalam keadaan sakit ditandai dengan klien merasa lemah dan tidak
berdaya dalam melakukan ibadah sholat.
7. Inefektif koping keluarga berhubungan dengan kehilangan
Rencana Keperawatan
1.Merasa kehilangan harapan hidup dan terisolasi dari lingkungan sosial berhubungan dengan
kondisi sakit terminal
Tujuan :
Klien merasa tenang menghadapi sakaratul maut sehubungan dengan sakit terminal
Intervensi :
a) Dengarkan dengan penuh empati setiap pertanyaan dan berikan respon jika dIbutuhkan
klien dan gali perasaan klien.
b) Berikan klien harapan untuk dapat bertahan hidup.
c) Bantu klien menerima keadaannya sehubungan dengan ajal yang akan menjelang.
d) Usahakan klien untuk dapat berkomunikasi dan selalu ada teman di dekatnya.
e) Perhatikan kenyamanan fisik klien.
4. Cemas berhubungan dengan kemungkinan sembuh yang tidak pasti, ditandai dengan klien
selalu bertanya tentang penyakitnya, adakah perubahan atau tidak (fisik), raut muka klien yang
cemas
Tujuan :
Klien tidak cemas lagi dan klien memiliki suatu harapan serta semangat hidup
Intervensi :
a) Kaji tingkat kecemasan klien.
b) Jelaskan kepada klien tentang penyakitnya.
c) Tetap mitivasi (beri dukungan) kepada klien agar tidak kehilangan harapan hidup dengan
tetap mengikuti dan mematuhi petunjuk perawatan dan pengobatan.
d) Anjurkan kepada klien untuk tetap berserah diri kepada Tuhan.
e) Datangkan seorang klien yang lain yang memiliki penyakit yang sama dengan klien.
f) Ajarkan kepada klien dalam melakukan teknik distraksi, misal dengan mendengarkan
musik kesukaan klien atau dengan teknik relaksasi, misal dengan menarik nafas dalam.
g) Beritahukan kepada klien mengenai perkembangan penyakitnya.
h) Ikut sertakan klien dalam rencana perawatan dan pengobatan.
37
5. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan tidak menerima akan kematian, ditandai
dengan klien yang selalu mengeluh tentang keadaan dirinya, menyalahkan Tuhan atas penyakit
yang dideritanya, menghindari kontak sosial dengan keluarga/teman, marah terhadap orang lain
maupun perawat
Tujuan :
Koping individu positif
Intervensi :
a) Gali koping individu yang positif yang pernah dilakukan oleh klien.
b) Jelaskan kepada klien bahwa setiap manusia itu pasti akan mengalami suatu kematian dan
itu telah ditentukan oleh Tuhan.
c) Anjurkan kepada klien untuk tetap berserah diri kepada Tuhan.
d) Perawat maupun keluarga haruslah tetap mendampingi klien dan mendengarkan segala
keluhan dengan rasa empati dan penuh perhatian.
e) Hindari barang – barang yang mungkin dapat membahayakan klien.
f) Tetap memotivasi klien agar tidak kehilangan harapan untuk hidup.
g) Kaji keinginan klien mengenai harapa untuk hidup/keinginan sebelum menjelang ajal.
h) Bantu klien dalam mengekspresikan perasaannya.
REFERENSI
Alligood, M. R., 2014. Nursing Theorist and Their Work. USA: Elsevier Health
Sciences.
Ananta, L. A. W. & Wulan, R., 2011. Pola Aktivitas Sehari-Hari pada Pasien
Demensia di Instalasi Rawat Jalan RS. Baptis Kediri. Jurnal STIKES RS
Baptis Kediri, 4(2).
Bulechek, G., 2013. Nursing Intervention Classification (NIC). 6th ed. Missouri:
Elsevier Mosby.
Ciorba, A., Bianchini, C., Pelucchi, S. & Pastore, A., 2012. The Impact of Hearing
Loss on The Quality of Life of Elderly Adults. Clinical Interventions in
Aging, Volume 7, pp. 159-163.
Dethier, J. J., Pestieau, P. & Ali, R., 2011. The Impact of A Minimum Pension on
Old Age Poverty and Its Budgetary Cost: Evidence from Latin America.
Revista de Economia del Rosario, 14(2), pp. 135-163.
Ermawati & Sudarji, S., 2013. Kecemasan Menghadapi Kematian pada Lanjut Usia.
Psibernetika Universitas Bunda Mulya, 6(1).
39
Hayati, R. & Nurviyandari, D., 2014. Depresi Ringan pada Lansia Setelah
Memasuki Masa Pensiun. Depok: Skripsi Universitas Indonesia.
Kaharingan, E., Bidjuni, H. & Karundeng, M., 2015. Pengaruh Penerapan Terapi
Okupasi Terhadap Kebermaknaan Hidup pada Lansia di Panti Werdha
Damai Ranamuut Manado. ejournal Keperawatan (e-Kp), 3(2).
Klatz, R. & Goldman, R., 2007. The Official Anti Aging Revolution: Stop the
Clock, Time is on Your Side for a Younger, Stronger, Happier You. 4th ed.
United States: Basic Health Publications, Inc.
Kunaifi, A., 2009. Hubungan Tingkat Kepuasan Interaksi Sosial dengan Tingkat
Depresi Lansia di Panti Werdha Surabaya. Surabaya: Skripsi Universitas
Airlangga.
Kurniasih, D., 2013. Stres dan Strategi Coping Lansia pada Masa Pensiun yang
Berstatus Pegawai Negeri Sipil di Kecamatan Polanharjo Kabupaten
Klaten. Yogyakarta: Skripsi Universitas Negeri Yogyakarta.
Lee, J. & Smith, J. P., 2009. Work, Retirement, and Depression. J Popul Ageing,
Volume 2, pp. 57-71.
Maryam, R. S., 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba
Medika.
Miller, C. A., 2009. Nursing for Wellness in Older Adults. US: Lippincott Williams
& Wilkins.
Orimo, H. et al., 2006. Reviewing the Definition of Elderly. Geriatric Gerontol Int,
Volume 6, pp. 149-158.
40
Pangkahila, W., 2007. Anti-Aging Medicine: Memperlambat Penuaan Meningkatkan
Hidup. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Ponto, D. L., Bidjuni, H. & Karundeng, M., 2015. Pengaruh Penerapan Terapi
Okupasi Terhadap Penurunan Stres pada Lansia di Panti Werdha Dama
Ranomuut Manado. ejournal Keperawatan (e-Kp), 3(2).
Septiningsih, D. S. & Na'imah, T., 2012. Kesepian pada Lanjut Usia: Studi tentang
Bentuk, Faktor Pencetus, dan Strategi Koping. Jurnal Psikologi Universitas
Diponegoro, 11(2).
Umah, K., 2012. Terapi Okupasi: Training Keterampilan Pengaruhi Tingkat Depresi
pada Lansia. Journal of Ners Community, 3(1).
Utomo, B., 2010. Hubungan antara Kekuatan Otot dan Daya Tahan Otot Anggota
Gerak Bawah dengan Kemampuan Fungsional Lanjut Usia. Surakarta: Tesis
Universitas Sebelas Maret.
Wang, C.-W., Chan, C. L. & Chi, I., 2014. Overview of Quality of Life Research
in Older People with Visual Impairment. Advances in Aging Research,
Volume 3, pp. 79-94.
41
View publication stats
42