Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa
India kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Kata kusta disebut
dalam kitab injil, terjemahan dari bahasa Hebrew zaraath, yang sebenarnya
mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. Ternyata bahwa belbagai
deskripsi mengenai penyakit ini sangat kabur, apabila dibandingkan dengan
kusta yang kita kenal sekarang. 1
Kusta merupakan penyakit infeksi mikobakterium yang bersifat
kronik progresif, mula-mula menyerang saraf tepi, dan kemudian menjadi
manifestasi kulit.2
Jumlah kasus kusta di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini
telah mengalami penurunan tajam di sebagian besar negara atau wilayah
endemis. Kasus yang terdaftar pada permulaan tahun 2009 tercatat 213.036
penderita yang berasal dari 121 negara, sedangkan jumlah kasus baru tahun
2008 baru tercatat 249.007. Di Indonesia jumlah kasus kusta yang tercatat
akhir tahun 2008 adalah 22.359 orang dengan kasus baru tahun 2008
sebesar 16.668 orang. Distribusi tidak merata, yang tertinggi antara lain di
Pulau Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Prevalensi pada tahun 2008 per
10.000 penduduk adalah 0.73.1
Penderita penyakit kusta dapat mengalami reaksi kusta, yang
merupakan suatu reaksi kekebalan yang abnormal (respon imun seluler atau
respon imun humoral), dengan adanya akibat yang merugikan penderita.
Reaksi kusta dapat terjadi sebelum, selama atau sesudah pengobatan dengan
obat kusta. Apabila penangan penderita reaksi kusta terlambat atau tidak
adekuat, dapat mengakibatkan kecacatan. Kecacatan tersebut akibat dari
kerusakan saraf perifer saat terjadi reaksi kusta, seperti gangguan saraf
sensorik, motorik maupun otonom.3

1
Menurut Konsil Kedokteran Indonesia, Morbus Hansen (kusta)
adalah kasus dengan tingkat kemampuan 4A, yaitu lulusan dokter dapat
mendiagnosis klinis dan melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut
secara mandiri dan tuntas. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membuat
laporan kasus yang berjudul Morbus Hansen (Kusta).4

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Morbus Hansen (Kusta)


2.1.1. Definisi
Morbus Hansen (kusta) merupakan penyakit infeksi yang kronik,
dan penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler
obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus
respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan
saraf pusat.1

2.1.2. Epidemiologi
Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan, cara penularan
belum diketahui pasti hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui
kontak langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah
secara inhalasi, sebab M. Leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam
droplet.1
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis
kuman penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan,
varian genetik yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan imunitas,
dan kemungkinan adanya reservoir diluar manusia. Kuman ini dapat
ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat, dan air susu ibu, jarang
didapat dalam urin. Sputum dapat banyak mengandung M. leprae yang
berasal dari traktus respiratorius atas. Tempat implantasi tidak selalu
menjadi tempat lesi pertama. Dapat menyerang semua umur, anak-anak
lebih rentan daripada orang dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak di
bawah umur 14 tahun didapatkan kurang lebih 11,39 %, tetapi anak di
bawah umur 1 tahun penting dilakukan untuk dicari kemungkinan ada
tidaknya kusta kongenital. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur
antara 25-35 tahun.1

3
Kusta terdapat di mana-mana terutama di Asia, Afrika, Amerika
Latin, daerah tropis dan subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonominya
rendah. Makin rendah sosial ekonomi makin berat penyakitnya, sebaliknya
faktor sosial ekonomi tinggi sangat membantu penyembuhan. Ada variasi
gambara klinis (spektrum dan lain-lain) di pelbagai suku bangsa. Hal ini
diduga disebabkan oleh faktor genetik yang berbeda.1

2.1.3. Etiologi
Morbus Hansen (Kusta) disebabkan oleh Mycobacterium leprae
yang ditemukan oleh G.A. HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia, M.
leprae berbentuk kuman dengan ukuran 3-8 µm x 0,5 µm, tahan asam dan
alkohol serta Gram positif.1
Mycobacterium leprae merupakan obligat basil tahan asam;
bereproduksi secara maksimal pada 27C-30C. Organisme tidak dapat
dibiakkan secara in vitro. Menginfeksi kulit dan saraf kulit (Schwann cell
basal lamina). Pada pasien yang tidak diobati, hanya 1% dari organisme
yang layak. Tumbuh paling baik di jaringan yang lebih dingin (kulit, saraf
perifer, bilik mata anterior, saluran pernapasan bagian atas, testis), jarang
pada area kulit yang lebih hangat (aksila, selangkangan, kulit kepala, dan
garis tengah belakang).5
Kusta merupakan infeksi granulomatosa kronis terutama pada kulit
dan sistem saraf yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Meskipun
Hansen mendeskripsikan basil tahan asam penyebab pada tahun 1873, lepra
masih dipercaya bertahun-tahun sebagai gangguan keluarga dan stigmanya
tetap kuat. Masa inkubasi mungkin 2-5 tahun. Biasanya diperoleh pada
masa kanak-kanak dari orang tua multibasiler. Infeksi konjugal terhitung
kurang dari 5%. Kusta adalah gangguan negara tropis terutama India,
Afrika, Asia Tenggara dan Amerika Selatan, ditularkan melalui inhalasi atau
ingesti dari nasal-droplet yang terinfeksi. Organisme menyerang sel
Schwann yang mengelilingi saraf kulit. Tingkat keterlibatan tergantung pada
status imunologi pasien, beban bakteriologis dan kondisi sosial ekonomi.

4
Kusta diklasifikasikan oleh Ridley dan Jopling menjadi tuberculoid,
borderline dan lepromatous berdasarkan status imunologi pasien. Jenis-jenis
ini dan intermedietnya dikenal sebagai TT BB, LL, BT, dan BL. Mereka
ditentukan berdasarkan tanda-tanda klinis, histopatologi, indeks bakteriologi
dan tes lepromin).6

2.1.4. Patogenesis
Pada tahun 1960 Shepard berhasil menginokulasikan M. Ieprae pada
kaki mencit, berkembang biak di sekitar tempat suntikan. Dan berbagai
macam spesimen, bentuk lesi negara asal penderita, ternyata tidak ada
perbedaan spesies. Agar dapat tumbuh diperlukan jumlah minimum M.
leprae yang disuntikan dan kalau melampaui jumlah maksimum tidak
berarti meningkatkan perkembangbiakan.1
lnokulasi pada mencit yang telah diambil timusnya dengan diikuti
iradiasi 900 r, sehingga kehilangan respons imun selularnya, akan
menghasilkan granuloma penuh kuman terutama di bagian tubuh yang
relatif dingin, yaitu hidung cuping telinga, kaki, dan ekor. Kuman tersebut
selanjutnya dapat diinokulasikan lagi, berarti memenuhi salah satu postulat
Koch, meskipun belum seluruhnya dapat dipenuhi.1
Sebenarnya M. leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang
rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu
memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya.
Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain
disebabkan oleh respons imun yang berbeda, yang menggugah timbulnya
reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau
progresif. Oleh karena itu penya kusta dapat disebut sebagai penyakit
imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi
selularnya daripada intensitasnya infeksinya.1

2.1.5. Klasifikasi

5
Pada tahun 1982 sekelompok ahli WHO mengembangkan klasifikasi
untuk memudahkan pengobatan di lapangan. Dalam klasifikasi ini seluruh
penderita kusta hanya dibagi dalam 2 tipe yaitu Pausi Basiler (PB) dan
Multi Basiler (MB).7
Pedoman utama untuk menentukan klasifikasi penyakit kusta
menurut WHO dapat dilihat pada Tabel 2.1. berikut:
Tabel 2.1. Tanda Utama Kusta pada Tipe PB dan MB
Pausi Basiler Multi Basiler
Tanda Utama
(PB) (MB)

Bercak kusta Jumlah 1 – 5 Jumlah > 5

Penebalan saraf tepi disertai gangguan Hanya 1 saraf Lebih dari 1 saraf
fungsi (mati rasa dan atau kelemahan
otot, di daerah yang dipersarafi saraf
yang bersangkutan)

Kerokan jaringan kulit BTA*negative BTA* positif

Sumber: Buku Pedoman Nasional Program Pengendalian Kusta; Kemenkes RI, 2012.
Keterangan: BTA = Basil Tahan Asam. Bila salah satu dari tanda utama MB
ditemukan, maka pasien diklasifikasikan sebagai kusta MB.
Tanda lain yang dipertimbangkan dalam penentuan klasifikasi
penyakit kusta dapat dilihat pada Tabel 2.2. berikut:
Tabel 2.2. Tanda lain untuk Klasifikasi Kusta
Tanda Utama Pausi Basiler (PB) Multi Basiler (MB)

Distribusi Unilateral/bilateral Bilateral simetris


asimetris

Permukaan Kering, kasar Halus, mengkilap


bercak

Batas bercak Tegas Kurang tegas

Mati rasa pada Jelas Biasanya kurang jelas


bercak

Deformitas Proses terjadi lebih Terjadi pada tahap lanjut


cepat

6
Ciri-ciri khas - Madarosis, hidung pelana, wajah
singa (facies leonine),
ginekomastia pada laki-laki

Sumber: Buku Pedoman Nasional Program Pengendalian Kusta; Kemenkes RI, 2012.

2.1.6. Gambaran Klinis


Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis,
bakterioskopis, dan histopatologis, dan serologis. Di antara ketiganya,
diagnosis secara klinis inilah yang terpenting dan paling sederhana. Hasil
bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit, sedangkan
histopatologik 10-14 hari. Tes lepromin (Mitsuda) dapat juga dilakukan
untuk membantu penentuan tipe, yang hasilnya baru dapat diketahui setelah
3 minggu. Penentuan tipe kusta perlu dilakukan agar dapat menetapkan
terapi yang sesuai. 1
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate
pada penyakit kusta yang terdiri atas berbagai tipe atau bentuk, yaitu: 1
TT : Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
Ti : Tuberkuloid indefinite
BT : Borderline tuberculoid
BB : Mid bprderline bentuk yang labil
BL : Borderline lepromatous
Li : Lepromatosa indefinite
LL : Lepromatosa polar, bentuk yang stabil
Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasilar dan
pausibasilar. Yang termasuk dalam multibasilar adalah tipe LL, BL dan BB
pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan indeks Bakteri (IB) Iebih dari 2+
sedangkan pausibasilar adalah tipe I, TT dan BT dengan IB kurang dari 2+.
Yang dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada
pemeriksaan kerokan jaringan kulit, yaitu tipe-tipe I, TT, dan BT menurut
klasifikasi Ridley - Jopling. Bila pada tipe-tipe tersent disertai BTA positif,
maka akan dimasukkan ke dalam kusta MB. Sedangkan kusta MB adalah

7
semua penderita kusta tipe BB, BL dan LL atau apapun klasifikasi klinisnya
dengan BTA positif, harus diobati dengan rejimen MDT-MB.1
Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya
berbentuk makula saja, infitrat saja, atau keduanya. Penyakit kulit yang harus
diperhatikan sebagai diagnosis banding antara lain dermatofitosis, tinea
versikolor, pitiriasis versikolor, pitiriasis rosea, pitiriasis alba, dermatitis
seboroika, psoriasis, neurofibromatosis, granula antilare, xantomatosis,
skleroderma, leukemia kutis, tuberkulosis kutis verukosa, dan birth mark. 1
Kalau secara inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya anestesia
sangat banyak membantu penentuan diagnosis, meskipun tidak selalu jelas.
Hal ini dengan mudah dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa
nyeri, kapas terhadap rasa raba dan kalau masih belum jelas dengan kedua
cara tersebut barulah pengujian terhadap rasa suhu, yaitu panas dan dingin
dengan menggunakan 2 tabung reaksi.1
Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom perhatikan
ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak,
yang dipertegas menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara
menggoresnya mulai dari tengah lest ke arah kulit normal. Bila ada gangguan,
goresan pada kulit normal akan lebih tebal bila dibandingkan dengan bagian
tengah lesi. Dapat pula diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi, yang
kadang-kadang dapat membantu, tetapi bagi penderita yang memiliki kulit
berambut sedikit, sangat sukar menentukannya. Gangguan fungsi motoris
diperiksa dengan Voluntary Muscle Test (VMT). 1
Mengenai gangguan saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah
pembesaran, konsistensi, ada/tidaknya nyeri spontan dan/atau nyeri tekan.
Hanya beberapa saraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa, yaitu N.
fasialis, N. aurikularis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus, N.
politea lateralis, dan N. tibialis posterior. Bagi tipe ke arah lepromatosa
kelainan saraf biasanya bilateral dan menyeluruh, sedangkan bagi tipe
tuberkuloid, kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya. 1

8
Deformitas atau cacat kusta sesuai dengan patofisiologinya, dapat
dibagi dalam deformitas primer dan sekunder. Cacat primer sebagai akibat
langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae,
yang mendesak dan merusak jaringan di sekitamya, yaitu kulit, mukosa
traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah. Cacat sekunder terjadi
sebagai akibat adanya deformitas primer, terutama kerusakan saraf (sensorik,
motorik, otonom), antara lain kontraktur sendi, mutiliasi tangan dan kaki.1
Gejala-gejala kerusakan saraf: 1
N. Ulnaris:
- Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis
- Clawing kelingking dan jari manis
- Atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial.
N. Medianus:
- Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
- Tidak mampu aduksi ibu jari
- Clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah ibu jari
- Kontraktur-atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
N. Radialis:
- Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk
- Tangan gantung (wrist drop)
- Tak mampu ekstensi jari jariatau pergelangan tangan.
N. Poplitea lateralis:
- Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis
- Kaki gantung (foot drop)
- Kelemahan otot peroneus

N. Tibialis posterior:
- Anestesia telapak kaki
- Claw toes
- Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis
N. Fasialis:

9
- Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus
- Cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi
wajah dan kegagalan mengatupkan bibir
N. Trigeminus:
- Anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata
- Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.
Kerusakan mata pada kusta juga dapat primer dan sekunder. Kerusakan
primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat
mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.
fasialis yang dapat membuat paralisis N. orbikularis paipebrarum sebagian
atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan
kerusakan bagian-bagian mata lainnya. Secara sendiri-sendiri atau bergabung
akhimya dapat menyebabkan kebutaan. Infiltrasi granuloma ke dalam
adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat, kelenjar palit, dan folikel
rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe lepromatosa
dapat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dart oleh
karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis.1

2.1.7. Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Bakterioskopis
Pemeriksaan bakterioskopis digunakan untuk membantu
menegakkan diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari
kerokan kulit atau mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan
terhadap basil tahan asam, antara lain dengan ZIEHL NEELSEN.
Bakterioskopik negatif pada seorang penderita, bukan berarti orang
tersebut tidak mengandung M. leprae.1
Pertama – tama kita harus memilih tempat – tempat di kulit yang
diharapkan paling padat oleh basil, setelah terlebih dahulu menentukan
jumlah tempat yang akan diambil. Soal jumlah ini juga ditentukan oleh
tujuannya, untuk riset atau rutin. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan
untuk rutin sebaiknya minimal 4 – 6 tempat, yaitu kedua kuping telinga

10
bagian bawah dan 2 – 4 tempat lain yang paling aktif, berarti yang paling
eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan kedua telinga tersebut tanpa
menghiraukan ada tidaknya lesi di tempat tersebut, oleh karena atas dasar
pengalaman tempat tersebut diharapkan mengandung basil paling banyak.
Perlu diingat bahwa setiap tempat pengambilan harus dicatat, guna
pengambilan kemudian di tempat yang sama pada pengamatan pengobartan
untuk dibandingkan hasilnya.1
Cara pengambilan bahwa dengan menggunakan skalpel steril.
Setelah tempat tersebut didesinfeksikan, lalu diusahakan agar tempat
tersebut, dengan jalan dipijit, menjadi iskemik agar kerokan jaringan
mengandung sesedikit mungkin darah yang akan menggangu gambaran
sediaa. Irisan yang dibuat harus sampai di dermis melampaui subepidermal
clear zone agar mencapai jaringan yang diharapkan banyak mengandung sel
Virchow (sel lepra) yang di dalamnya mengandung basil M. leprae.
Kerokan jaringan itu dioleskan di gelas alas, difiksasi di atas api, kemudian
diwarnai dengan pewarnaan yang klasik, yaitu Ziehl Neelsen. Untuk
pewaraan ini dapat digunakan modifikasi Ziehl Neelsen dan cara – cara lain
dengan segala kelebihan dan kekurangannya disesuaikan dengan keadaan
setempat.1
Sediaan mukosa hidung diperoleh dengan cara nose blows, terbaik
dilakukan paling pagi yang ditampung pada sehelai plastik. Perhatikan sifat
duh tubuh (discharge) tersebut, apakah cair seours bening, mukoid,
mukopurulen, purulen, ada darah atau tidal. Sediaan dapat dibuat langsung
atau plastik tersebut dilipat dan dikirim ke laboratorium. Dengan kapas lidi
bahan dioleskan merata pada gelas alas, fiksasi harus pada hari yang sama,
pewarnaan tidak perlu pada hari yang sama.1
Cara lain mengambil bahan kerokan mukosa hidung dengan alat
semacam skalpel kecil tumpul atau bahan olesan dengan kapas lidi.
Sebaiknya diambil dari serah septumnasi, selanjutnya dikerjakan seperti
biasa. Umumnya sediaan kulit lebih rutin daripada sediaan mukosa hidung
oleh karena pada sediaan mukosa hidung:1

11
- Kemungkinan adanya mikrobakteria atipikal
- M. leprae tidak pernah positif kalau pada kulit negative
M. leprae tergolong basil tahan asam (BTA), akan tampak merah
pada sediaan. Dibedakan bentuk batang tubuh berdinding, batang terputus
(fragmented), dan butiran (granular).
Sejak pengambilan bahan kerokan jaringan sampai selesai menjadi
sediaan, perlengkapan laboratorium, siapa yang mengerjakannya, yang
melihat dan yang menginterprestasikan sediaan, akan menentukan mutu
hasil bakterioskopik. Meskipun sudah ada ketetuan, patokan – patokan
solid dan nonsolid, interpretasi yang melihat itulah yang dapat menimbulkan
perbedaan. Andaikata ada satu sediaan dilihat oleh dua atau beberapa
orang, besar kemungkinan akan memberikan hasil yang berbeda antara satu
dengan yang lain, sampai – sampai ada suatu institut yang terkenal dan
termasuk yang tertua di dunia tidak berani membedakan antara solid dan
non solid. Contoh lain antara dua tokoh dunia lepra yang paling menonjol
pada saat ini yaitu SHEPARD dan RESS. Mereka selalu ada perbedaan
interprestasi, perbedaan hasil pengamatan sediaan yang sama antara solid
dan nonsolid.1
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah
sediaan dinyatakan dengan Indeks Bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai
6 + menurut RIDLEY. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan
pandangan (LP)
1 + bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP
2 + bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP
3 + bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP
4 + bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP
5 + bila 101 – 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP
6 + bila > 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP
Semuanya dilihat dengan mikroskop cahaya dengan minyak emersi. IB
seseorang adalah IB rata – rata semua emusi yang dibuat sediaan.

12
Indeks Morfologi (IM) adalah prosentase bentuk solid dibandingkan
dengan jumlah solid dan non solid.
Rumus
Jumlah solid
x 100 %  .......%
Jumlah solid  nonsolid

Syarat – perhitungan IM:


- Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA
- IB 1 + tidak usah dibuat IM nya, karena untuk mendapat 100 BTA harus
mencari dalam 1000 sampai 10.000 lapangan.
- Mulai dari IB 3 + ke atas harus dicari IM nya, sebab dengan IB 3 + hanya
maksimum harus dicari dalam 100 lapangan.
Contoh perhitungan IB dan IM
Tempat
Pengambila IB Solid Nonsolid IM
n
Telinga kiri 4+ 9 91 9%
Telinga 3+ 8 92 8%
kanan
Ujung jari 1+ - 5 -
tangan kiri
Ujung jari 2+ 1 22 1/23
tangan kanan
Lesi I 3+ 7 93 7%
Lesi II 5+ 8 92 8%
18 33 395

18
IB penderita  3
6

33
IM penderita   100%  ....%
33  395

Jika semua BTA kurang dari 100, dapat pula dibuat IM nya,
tetapi tidak dinyatakan dalam % tetap dalam pecahan yang tidak boleh
diperkecil atau diperbesar. Sebagai contoh umpanya solid ada 4,
nonsolid ada 44, maka IM 4 : 48.1

13
Sebaiknya diadakan standarisasi pembuatan sediaan dan
pengamatan sediaan antara orang – orang selaboratorium, antar
laboratorium, nasional maupun internasional. Pada tindak lanjut
penderita secara bakterioskopik sebaiknya dilakukan oleh laboratorium
dan orang – orang yang sama pula, agar keobyektifannya dapat
dipertahankan. Standarisasi IB masih dapat dilaksanakan, tetapi untuk
IM sangat sulit, bahkan ada yang berpendapat tidak mungkin.1

2. Pemeriksaan Histopatologis
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam
darah ada yang mempunyai nama khusus, antara lain sel Kupffer dari
hati, sel alveolar dari paru, sel glia dari otak, dan yang dari kulit yang
disebut histiosit. Salah satu tugas makrofas adalah melakukan
fagositosis. Kalau ada kuman (M. leprae) masuk, akibatnya akan
bergantung pada Sistem Imunitas Selular (SIS) orang itu. Apabila SIS
nya tinggi makrofag akan mampu memfagositosis M. leprae.
Datangnya histiosit ke tempat kuman itu oleh karena proses imunologik
dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan
tidak ada lagi yang harus di pagositosis, makrofag itu akan berubah
bentuk menjadi sel epitoloid yang tidak dapat bergerak lagi dan akan
dapat berubah lagi menjadi sel datia Langhans. Adanya masa epitoloid
yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel akan
menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Bagi yang SIS
nya rendah atau lumpuh, histiosit bukannya menghancurkan M. leprae
yang sudah ada di dalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak
dan disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat
pengangkut penyebar luasan.1
Granduloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat –
derivatnya. Gambaran histopatologik bagi tipe tuberkuloid adalah
tuberkel dan kerusakan sarag yang lebih nyata, tidak ada basil atau
hanya sedikit dan nonsolid. Pada tipe lempromatosa terdapat kelim
sunyi subepidermal (subepidermal clear zone), ialah suatu daerah

14
langsung dibawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati
sel Virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline, terdapat
campuran unsur-unsur tersebut.1

3. Pemeriksaan Serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya
antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi
yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi
anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta
35 kD.1

2.1.8. Penatalaksanaan
Melalui pengobatan, penderita diberikan obat-obat yang dapat
membunuh kuman kusta, dengan demikian pengobatan akan memutuskan
mata rantai penularan, menyembuhkan penyakit penderita, dan mencegah
terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada
sebelum pengobatan.7
Pengobatan penderita kusta ditujukan untuk mematikan kuman kusta
sehingga tidak berdaya merusak jaringan tubuh dan tanda-tanda penyakit
jadi kurang aktif sampai akhirnya hilang.7
Penderita yang sudah dalam keadaan cacat permanen, pengobatan
hanya dapat mencegah cacat lebih lanjut. Pengobatan kusta yang gagal
dapat menyebabkan reaktivasi lesi kusta. Pengobatan yang gagal dapat
terjadi karena adanya pemberhentian pengobatan awal ataupun pengobatan
yang dilakukan tidak teratur. Gagalnya pengobatan juga dapat terjadi akibat
kurangnya distribusi obat yang tersedia. 7
Sebagai pedoman praktis untuk dosis MDT bagi penderita kusta tipe
PB digunakan bagan pada Tabel 2.3. berikut:
Tabel 2.3. Dosis Pengobatan MDT Kusta tipe PB
Jenis Obat 5-9 th 10-14 th >15 th Keterangan

Rifampisin 300 450 600 Minum di depan

15
mg/bln mg/bln mg/bln petugas

100 Minum di depan


25 mg/bln 50 mg/bln
DDS mg/bln petugas
(Dapsone) 100
25 mg/bln 50 mg/bln Minum di rumah
mg/bln

Sumber: Buku Pedoman Nasional Program Pengendalian Kusta; Kemenkes RI, 2012.
Sebagai pedoman praktis untuk dosis MDT bagi penderita kusta tipe
MB digunakan bagan pada Tabel 2.4. berikut:
Tabel 2.4. Dosis Pengobatan MDT Kusta tipe MB
Jenis Obat 5-9 th 10-14 th >15 th Keterangan

450 600 Minum di depan


Rifampisin 300 mg/bln
mg/bln mg/bln petugas

100 Minum di depan


25 mg/bln 50 mg/bln
mg/bln petugas
DDS
(Dapsone) 100
25 mg/bln 50 mg/bln Minum di rumah
mg/bln

150 300 Minum di depan


100 mg/bln
mg/bln mg/bln petugas

Clofazimin 50 mg;
50 mg; 50
setiap 2 Minum di rumah
2x/mgg mg/hari
hari

Sumber: Buku Pedoman Nasional Program Pengendalian Kusta; Kemenkes RI, 2012.

2.1.9. Prognosis
Dengan adanya obat-obat kombinasi, pengobatan menjadi lebih
sederhana dan lebih singkat, prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah ada
kontraktur dan ulkus kronik, prognosis menjadi kurang baik.2

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Morbus Hansen merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan
penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler
obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa
traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali
susunan saraf pusat.
2. Morbus Hansen (Kusta) disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang
ditemukan oleh G.A. HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia, M. leprae
berbentuk kuman dengan ukuran 3-8 µm x 0,5 µm, tahan asam dan
alkohol serta Gram positif.
3. Klasifikasi Morbus Hansen dibagi dalam 2 tipe yaitu Pausi Basiler (PB)
dan Multi Basiler (MB).
4. Pemeriksaan Penunjang pada Morbus Hansen yaitu Pemeriksaan
Bakterioskopis, Pemeriksaan Histopatologis dan Pemeriksaan serologik.
5. Pengobatan penderita kusta ditujukan untuk mematikan kuman kusta
sehingga tidak berdaya merusak jaringan tubuh dan tanda-tanda penyakit
jadi kurang aktif sampai akhirnya hilang.
6. Dengan adanya obat-obat kombinasi, pengobatan menjadi lebih sederhana
dan lebih singkat, prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah ada kontraktur
dan ulkus kronik, prognosis menjadi kurang baik.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Kosasih, A., dkk. Kusta. Dalam: Djuanda, Adhi dkk. 2010. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin, edisi Keenam. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Hal; 73-88.
2. Siregar, R.S. 2013. Kusta. Dalam: Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit
edisi 2. Jakarta: EGC. Hal; 156-157.
3. Prawoto. 2008. Faktor-faktor Risiko Yang Mempengaruhi Terhadap
Terjadinya Reaksi Kusta (Studi di Wilayah Kerja Puskesmas Kabupaten
Brebes). Thesis. Universitas Diponegoro Semarang. Dipubliksikan
(https://core.ac.uk/download/files/379/11717447.pdf diakses tanggal 14 Mei
2018).
4. Konsil Kedokteran Indonesia. 2012. Standar Kompetensi Dokter Umum.
Jakarta. Hal; 54.
5. Vivier, Anthony. 2013. Tropical Infection of Skin. Dalam: Atlas of Clinical
Dermatology. Fourth edition. London: Elsavier Saunders. Hal; 365-369.
6. Budimulja, Unandar. Mikosis. Dalam: Djuanda, Adhi dkk. 2010. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi Keenam. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Hal; 100-101.
7. Siregar, R.S. 2013. Penyakit Jamur. Dalam: Atlas Berwarna Saripati Penyakit
Kulit edisi 2. Jakarta: EGC. Hal; 10-12.
8. Adhi, Djuanda. Dermatosis Eritroskuamosa. Dalam: Djuanda, Adhi dkk.
2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi Keenam. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal; 189-194.
9. Moestopo, O., Gunawan, H., Dahlan, A. 2016. Comparison of Effectiveness
between Rifampicin Ofloxin-Minocycline Regimen and Multidrug Therapy-

18
World Health Organization in Multibacillary Leprosy Patients. Sumedang:
Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran. Hal; 661-665.

10. Kartowigno, Soenarto. 2011. 10 Besar Kelompok penyakit Kulit, edisi


Pertama. Palembang: Unsri Press. Hal; 203-204.
11. Departemen Farmakologi dan Terapeutik. 2007. Farmakologi dan Terapi.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: Gaya Baru. Hal; 697-698.
12. Kementrian Kesehatan RI. 2012. Pedoman Nasional Program Pengendalian
Penyakit Kusta. Jakarta: Menteri kesehatan. Hal; 99-113.

19

Anda mungkin juga menyukai