Anda di halaman 1dari 12

Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem

Vol. 5 No. 3, Oktober 2017, 245-256

Pengaruh Suhu Pengeringan Terhadap Kandungan Vitamin


CBuah Cabai Keriting Lado F1 (Capsicum Annuum L)
Kesowo Hari Murti

Jurusan Keteknikan Pertanian - Fakultas Teknologi Pertanian - Universitas Brawijaya


Jl. Veteran, Malang 65145
Penulis Korespondensi, Email:sumardihs@yahoo.com

ABSTRAK

Cabai merupakan hasil pertanian yang sangat populer. Jenis cabai yang di kenal salah satunya adalah
cabai keriting Lado F1. Pada buah cabai terkandung beberapa vitamin. Salah satu vitamin dalam buah cabai
adalah vitamin C (asam askorbat). Penanganan pascapanen umumnya masih sederhana sehingga tingkat
kerusakannya masih tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan perlakuan pengeringan terbaik dengan
kandungan vitamin C terbanyak dengan berpedoman pengeringan sesuai SNI kadar air 11%. Metode
penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Faktor yang digunakan adalah Suhu,
dengan empat level, yaitu 50⁰C, 60⁰C, 70⁰C, 80⁰C. Proses pengeringan diamati tiap 2 jam. dengan ulangan 3
kali. Cabai yang dikeringkan diamati kadar airnya dengan cara menimbang bahan tiap 2 jam, sedangkan
vitamin C diamati tiap 8 jam dan pada saat akhir pengeringan dengan berpedoman kadar air akhir 11% b.b.
Parameter penelitian ini adalah kandungan kadar air, vitamin C, Warna dan rendemen. Dari parameter
tersebut bisa diketahui mutu terbaik cabai kering berdasarkan pengamatan pengeringan cabai Lado F1,
didapatkan nilai kadar vitamin C berturut-turut adalah 550,69 mg/100g, 333.07 mg/100g, 131.64 mg/100g,
146.25 mg/100g. Kadar warna berturut-turut adalah L*: 30.20, 29.80, 31.33, 31.17. a*: 17.77, 17.43, 22.90,
27.93. b*: 8.53, 8.07, 9.00, 11.80. Nilai rendemen berturut-turut adalah 19.92%, 19.89%, 19.91%, 19.84%.

Kata Kunci : Cabai, pengeringan, Kadar air, Vitamin C, Warna, Rendemen

The Effect of Rying Temperature on Vitamin C of Chili LadoF1


(Capsicum Annuum L)
ABSTRACT

Chili is very popular in agriculture, and one of the kind of chili known as curly chili and also that
many farmers planting is Lado F1. Chilies contained several vitamins. One of the vitamin in the pepper fruit
is vitamin C (ascorbic acid ). Postharvest handling of red chilli are still traditional so that the level of
damage is very high. This study aims to determine the best drying treatment with vitamin C with the highest
quality standards guided by drying according dried chilies SNI moisture content of 11%. The method used in
this research is to experiment directly and The method used was a randomized completely design. Factors
used were drying temperature, with four levels, namely 50⁰C, 60⁰C, 70⁰C, 80⁰C. The drying process is
observed every 2 hours with repeat 3 times. Dried chili observed water content by weighing the material
every 2 hours, while vitamin C is observed every 8 hours, and at the end of the drying by referring to the
final moisture content of 11 % b.b. The parameters of this study is the content of the water, vitamin C, color
and yield. The parameters can be known from the best quality dried chillies drying based observations Lado
F1 chili, earned value levels of vitamin C are respectively 550.69 mg / 100g, 333.07 mg / 100g, 131.64 mg /
100g 146.25 mg / 100g. Color levels are respectively L*: 30.20, 29.80, 31.33, 31.17. a*: 17.77, 17.43, 22.90,
27.93. b*: 8:53, 8:07, 9:00, 11.80. Yield value are respectively 19.92%, 19.89%, 19.91%, 19.84%.

Key : Chili, drying, water content, vitamin C, Colour, Yield

Pengaruh Suhu Pengeringan – Murti 245


Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem

Vol. 5 No. 3, Oktober 2017, 245-256

PENDAHULUAN

Cabai merah (Capsicum annuum L) merupakan salah satu jenis tanaman hortikultura
penting yang dibudidayakan secara komersial. Hal ini disebabkan selain cabai memiliki kandungan
gizi yang cukup lengkap juga memiliki nilai ekonomis tinggi yang banyak digunakan baik untuk
konsumsi rumah tangga maupun untuk keperluan industri makanan. Salah satu jenis cabai adalah
jenis cabai keriting Lado F1 yang banyak di tanam petani karena lebih tahan terhadap hama dan
perubahan iklim.
Cabai atau lombok termasuk dalam suku terong-terongan (Solanaceae) dan merupakan
tanaman yang mudah ditanam di dataran rendah ataupun di dataran tinggi. Tanaman cabai banyak
mengandung vitamin A dan vitamin C serta mengandung minyak atsiri capsaicin, yang
menyebabkan rasa pedas dan memberikan kehangatan panas bila digunakan untuk rempah-rempah
(bumbu dapur). Cabai dapat ditanam dengan mudah sehingga bisa dipakai untuk kebutuhan sehari-
hari tanpa harus membelinya di pasar (Asep dkk., 2010).
Secara umum cabai memiliki banyak kandungan gizi dan vitamin. Diantaranya adalah:
Kalori, Protein, Lemak, Kabohidarat, Kalsium, Vitamin A, B1 dan Vitamin C. Pada buah cabai
terkandung beberapa vitamin. Salah satu vitamin dalam buah cabai adalah vitamin C (asam
askorbat). Vitamin C berperan sebagai antioksidan yang kuat yang dapat melindungi sel dari agen-
agen penyebab kanker, dan secara khusus mampu meningkatkan daya tahan tubuh (Godam, 2006).
Berdasarkan pendapat Naidu (2003) bahwa vitamin C merupakan vitamin yang larut dalam air dan
esensial untuk biosintesis kolagen. Vitamin yang terdapat dalam bahan akan lebih mudah larut
dengan pemanasan. Kandungan vitamin C yang sedikit kemudian dilakukan pemanasan maka kadar
vitamin C yang dihasilkan akan semakin kecil.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan perlakuan terbaik dengan
kandungan vitamin C yang terbanyak pada berbagai variasi suhu pengeringan buah cabai lado F1
dengan pengeringan menggunakan oven pengering. Menurut Standar Nasional Indonesia (1994)
dan Badan Pengawasan Exspor nasional (1997), bahwa persyaratan mutu kadar air untuk cabai
kering adalah 11% di tunjukkan pada. Peningkatan kadar air cabai kering akan menyebabkan
kerusakan karena jamur dan serangga. Kadar air adalah persentase kandungan air suatu bahan yang
dapat dinyatakan berdasarkan berat basah (wet basis) atau berdasarkan berat kering (dry basis).
Kadar air berat basah mempunyai batas maksimum teoritis sebesar 100 persen, sedangkan
kadar air berdasarkan berat kering dapat lebih dari 100 persen (Sungzikaw, 2008). Pengeringan
cabai dapat dilakukan dengan cara pengeringan alami dan pengeringan buatan. Pada pengeringan
alami, cabai dijemur selama ± 8 – 10 hari dengan panas matahari. Apabila cuaca dan iklim kurang
baik, pengeringan relatif lama (12 – 15 hari). Cara ini biayanya cukup murah, tetapi kelemahannya
sangat tergantung pada cuaca dan dapat mengakibatkan turunnya kualitas cabai kering yang
dihasilkan (Hasbullah, 2001).
Guna mempercepat waktu proses pengeringan serta meningkatkan kualitas cabaikering,
pengeringan dilakukan dengan pengering buatan (oven) pada suhu 60°C selama 10 – 15 jam. Suhu
pengeringan cabai tidak boleh lebih dari 80°C dan suhu terbaik adalah 70°C. Pengeringan
dilakukan sampai kadar air 11%. Cabai yang kadar airnya telah mencapai 11% akan terasa kering
jika diremas (Hasbullah, 2001).
Warna merah pada cabai merah berasal dari kandungan pigmen karotenoid. Karotenoid
merupakan suatu pigmen berwarna oranye, merah, atau kuning. Senyawa karotenoid biasanya
terdapat pada buah-buahan berwarna merah yang merupakan suatu zat yang larut dalam lemak atau
pelarut organik, namun tidak larut di dalam air, gliserol, dan propilen glikol. Senyawa karotenoid ini
sensitif terhadap alkali dan sangat sensitif terhadap udara dan sinar terutama pada suhu tinggi,

Pengaruh Suhu Pengeringan – Murti 246


Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem

Vol. 5 No. 3, Oktober 2017, 245-256

pengolahan dengan menggunakan suhu tinggi dalam waktu yang singkat merupakan alternatif yang
baik dalam mengurangi penurunan kandungan karotenoid bahan (Dutta et al., 2004).
METODE PENELITIAN

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah Oven (cabinet dryer), Alumunium foil,
gunting,timbangan, tray, gas LPG.wadah atau bungkus plastik. Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah buah cabai keriting lado F1 (capsicum annuum L) yang didapat dari lahan
pertanian Kec. Ngantru, Kab. Tulungagung, Air Bersih.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pilot Plan, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, dan Laboratorium Pengujian dan Analisa
Pangan, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya,
Malang pada bulan Desember - Maret 2016. Penelitian ini disusun menggunkan metode Rancangan
Acak Lengkap dengan faktor yang digunakan adalah Suhu pengeringan, dengan empat level, yaitu
50⁰C (T1), 60⁰C (T2), 70⁰C (T3), 80⁰C (T4). Proses pengeringan diamati tiap 2 jam. dengan
ulangan 3 kali. Cabai yang dikeringkan diamati kadar airnya dengan cara menimbang bahan tiap 2
jam, vitamin C diamati tiap 8 jam, dan pada saat akhir pengeringan dengan berpedoman pada hasil
perhitungan kadar air basis basah akhir sebesar 80% b.b dimana sisa kandungan air pada bahan
sebesar 11%. Selanjutnya data dianalisis dengan menggunakan metode analisis ragam (Analysis of
Variant atau ANOVA) yang dilanjutkan dengan uji lanjut BNT 5%.

Pelaksanaan Penelitian

1. Persiapan Bahan

Wadah bahan yaitu rak tray pengering di cuci bersih. Bahan berupa cabai segar di hilangkan
tangkainya dengan pemotongan pada leher tangkai dan di sisakan kelopak tangkainya dan di cuci
bersih dengan air.

2. Proses Pembuatan Cabai Kering

Disiapkan alat dan bahan yang akan di keringkan kemudian di timbang cabai sebanyak 500
gram dan diletakkan pada wadah rak tray yang disusun secara rapi agar pengeringan lebih merata.
Bahan di masukkan kedalam oven (cabinet dryer). Dilakukan pengeringan dengan suhu sesuai
metode penelitian dan di timbang tiap 2 jam. Cabai kering di keluarkan dan di timbang beratnya
selanjutnya di biarkan sampai mencapai suhu kamar dan di lakukan pengambilan sample dan
pengemasan dengan wadah kecil pada pengeringan 8 jam serta pada akhir pengeringan dengan
perhitungan sisa kandungan air bahan mencapai ± 11 %. Pengujian vitamin C dan warna sample
awal dan tiap 8 jam serta pada akhir pengamatan.

Pengaruh Suhu Pengeringan – Murti 247


Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem

Vol. 5 No. 3, Oktober 2017, 245-256

3. Parameter

Kadar air

Kadar air yang akan dihitung adalah berdasarkan banyaknya jumlah air pada buah cabai
yang telah diberlakukan dengan perlakuan yang berbeda. Analisa kadar air tiap sample di ukur
berdasarkan ketentuan standarisasi nasional (SNI : 01-3389-1994) dapat di lihat pada lampiran 2.
cabai kering berkualitas yakni pada kisaran 11%. Proses pengambilan data kadar air pengeringan
cabai yang dilakukan di Laboratorium Pilot Plant Fakultas Teknologi Pertanian. Pengeringan di
lakukan dengan menggunakan oven (cabinet dryer). Rumus perhitungan kadar air sebagai berikut :

KA =

Untuk menghitung kadar air bahan sudah mencapai 11 % atau belum digunakan rumus :

KA= x100%

Vitamin C

Karakteristik buah cabai adalah kandungan vitamin C dan dihitung untuk mengetahui besar
kandungan pada perlakuan suhu (50⁰C, 60⁰C, 70⁰C, 80⁰C) dan diamati tiap lama waktu 8 jam dan
pada akhir pengamatan. Kandungan vitamin C pada Cabai Kering dianalisa di Laboratorium
Pengujian dan Analisa Pangan, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Brawijaya, Malang. Di hitung dengan rumus:

Uji warna

Warna sering digunakan untuk mengetahui perubahan yang terjadi baik fisik maupun kimia
pada suatu produk pertanian. Pada pengujian ini dilakuakan pengujian warna (L*, a*, b*) dengan
color reader pada perlakuan suhu (50⁰C, 60⁰C, 70⁰C, 80⁰C) dan diamati tiap lama waktu 8 jam dan
pada akhir pengamatan. Uji warna pada Cabai kering dianalisa di Laboratorium Pengujian dan
Analisa Pangan, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas
Brawijaya, Malang.

Rendemen

Rendemen adalah presentase produk yang didapat dari menbandingkan berat awal bahan
dengan berat akhirnya. Sehingga dapat di ketahui kehilangan beratnya proses pengolahan. Proses
pengambilan data rendemen cabai kering dilakukan di Laboratorium Pilot Plant Fakultas Teknologi
Pertanian. Rumus perhitungan rendemen sebagai berikut:

Rendemen=

Pengaruh Suhu Pengeringan – Murti 248


Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem

Vol. 5 No. 3, Oktober 2017, 245-256

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Kadar Air

Analisis data pengamatan kadar air pada proses pengeringan cabai kering dilakukan untuk
mengetahui kadar air bahan sebelum dan sesudah pengeringan. Proses pengeringan dilakukan
dengan menggunakan oven pengering dengan ulangan sebanyak tiga kali. Penurunan kadar air
diamati setiap 2 jam serta tiap 8 jam dan pada akhir pengeringan. Penurunan kadar air bahan selama
pengeringan ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Penurunan kadar air

Setelah melalui proses pengamatan pengeringan setiap 2 jam, terjadi penurunan kadar air
cabai pada tiap - tiap perlakuan yang dapat dilihat pada lampiran 1, 2, 3 dan 4. Agar sesuai SNI
cabai kering dengan kandungan air 11%, maka dilakukan pengeringan hingga kadar air bahan 80%
bb dengan perhitungan rumus umum kadar air basis basah (Persamaan 1) dengan perbandingan
bahan kering total dengan air bahan berturut – turut adalah 10% : 90%. Kemudian dilakukan
perhitungan sisa air bahan dengan rumus kandungan air tersisa pada bahan kering (persamaan 2).
Pada pengeringan selama 8 jam didapati hasil pada suhu 50⁰C (A1) didapati kandungan air tersisa
pada bahan sebesar 37,89%. Perlakuan pada suhu 60⁰C (A2) turun menjadi 25,85%. Kemudian
pada perlakuan pengeringan 70⁰C (A3) turun menjadi 13,29%. Dan 80⁰C (A4) turun menjadi
10,89%.
Kemudian pengeringan di lanjutkan hingga menyisakan air pada bahan hingga 11%
sehingga mengalami perbedaan waktu tiap perlakuannya. Pada pengeringan suhu 50⁰C (A1) kadar
air turun menjadi 11,03% yang dicapai pada pengeringan 20 jam. Pada pengeringan suhu 60⁰C (A2)
kadar air turun menjadi 10,99% yang di capai pada pengeringan 16 jam. Pada pengeringan suhu
70⁰C (A3) kadar air turun menjadi 11,01% yang dicapai pada pengeringan 12 jam. Pada
pengeringan suhu 80⁰C (A4) kadar air turun menjadi 10,89% yang dicapai pada pengeringan 8 jam.
Selanjutnya diuji dengan BNT 5% dan didapat hasil semua perlakuan memiliki notasi sama yaitu a
sehingga dapat disimpulkan tidak terdapat perbedaan yang nyata. Maka pengeringan sudah sesuai
dengan SNI.
Penurunan kadar air dipengaruhi oleh suhu, kecepatan dan kelembaban serta jenis bahan
yang dikeringkan. Berdasarkan grafik perubahan kadar air terlihat bahwa kandungan air bahan pada
tiap – tiap pelakuan suhu sudah sama yaitu sebesar 11% yang mana memang disengaja dalam

Pengaruh Suhu Pengeringan – Murti 249


Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem

Vol. 5 No. 3, Oktober 2017, 245-256

proses pengeringannya untuk mencapai 11%. Cabai yang kandungan airnya telah mencapai 11%
akan terasa kering jika diremas dengan telapak tangan (Hasbullah, 2001).
Pengamatan pada jam ke 8 menunjukkan ada perlakuan yang telah sesuai mutu berdasarkan
SNI mutu cabai kering dengan no: SNI 01-3389-1994, perlakuan yang menunjukkan kesesuaiannya
adalah pada perlakuan suhu 80⁰C (A4) dengan kadar air 10,89. Data perubahan kadar air dianalisis
dengan menggunakan ANOVA dan Uji lanjut dengan BNT 5% dan didapat hasil perlakuan A4 dan
A3 memiliki notasi sama yaitu a dan berbeda dengan A2 yaitu b dan A1 yaitu c. Sehingga dapat
disimpulkan terdapat perbedaan antar perlakuan. Meskipun A4 dan A3 memiliki notasi yang sama
karena perbedaan yang sedikit, namun A4 yang paling sesuai dengan SNI dan memenuhi untuk
pengawetan bahan.
Kadar air bahan perlu diukur untuk menentukan umur simpan suatu bahan pangan. Salah
satu pertimbangan penting dalam pengolahan produk pangan adalah keberadaan air pada bahan,
semakin rendah kandungan airnya maka bahan akan semakin awet (Alang, 2012).

2. Vitamin C

Pengujian vitamin C dilakukan untuk mengetahui kerusakan kandungan vitamin C pada cabai
kering setelah proses pengeringan. Vitamin C yang diinginkan dalam penelitian ini adalah yang
masih memiliki kandungan terbanyak. Penurunan vitamin C pada berbagai perlakuan dapat dilihat
pada Gambar 2.

Gambar 2. Penurunan vitamin C

Setelah melalui proses pengeringan hingga kandungan air mencapai 11%, terjadi penurunan
vitamin C cabai pada tiap - tiap perlakuan. Vitamin C cabai pada suhu 50⁰C (A1) turun menjadi
550,69 mg/100g. Perlakuan pada suhu 60⁰C (A2) turun menjadi 333.07 mg/100g. Kemudian pada
perlakuan pengeringan 70⁰C (A3) turun menjadi 131.64 mg/100g. Kemudian untuk Vitamin C pada
perlakuan pengeringan 80⁰C (A4) ternyata lebih banyak dari pada perlakuan pengeringan 70⁰C (A3)
yaitu sebesar 146.25 mg/100g.
Kemudian pengeringan selama 8 jam menghasilkan penurunan juga tiap - tiap perlakuannya
yaitu vitamin C cabai pada suhu 50⁰C (A1) turun menjadi 633.79 mg/100g. Perlakuan pada suhu
60⁰C (A2) turun menjadi 403.18 mg/100g. Kemudian pada perlakuan pengeringan 70⁰C (A3) turun
menjadi 373.74 mg/100g. Pada Perlakuan 80⁰C (A4) turun menjadi 235.29 mg/100g.
Pada pengeringan 8 jam pada suhu 80⁰C mengandung vitamin C yang berbeda dengan
vitamin C pada pengamatan pertama pada pengeringan akhir yang juga 8 jam untuk suhu yang
sama. Selisih ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya proses pemanasan, penyimpanan dan
proses alami, teknis maupun non teknis. Namun selisih tidak begitu besar dan masih dalam batas
wajar.
Pada uji BNT 5% didapat hasil perlakuan A4 dan A3 memiliki notasi sama yaitu a yang
berarti tidak terlalu memiliki perbedaan, kemudian A2 bernotasi b dan A1 bernotasi c sehingga

Pengaruh Suhu Pengeringan – Murti 250


Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem

Vol. 5 No. 3, Oktober 2017, 245-256

dapat disimpulkan terdapat perbedaan yang berat sebelah. Maka suhu pengeringan berpengaruh
terhadap kandungan vitamin C. Dari grafik dapat diketahui Vitamin C terbanyak ada pada
pengeringan dengan suhu 50⁰C yaitu sebesar 550.69 g/100g. Dan yang terkecil pada suhu 70⁰C
yaitu sebesar 131.64 g/100g. Hal ini menunjukkan vitamin C menurun pada proses pemanasan
bergantung dari tingkat suhu. Dilihat dari grafik bahwa semakin tinggi suhu maka vitamin C nya
semakin menurun. Hal ini sesuai dengan pernyataan Karadeniz dkk., (2006) bahwa Asam askorbat
menurun dengan meningkatnya pemanasan sekitar setengah dari kandungan vitamin C akan rusak
akibat pemanasan. Jumlah kandungan vitamin yang hilang tergantung dari cara pemanasan yang
dilakukan.
Pada pengujian vitamin C pengeringan 8 jam terlihat masih terkandung jumlah vitamin C
yang banyak namun hanya A4 yang masuk kategori mutu SNI cabai kering. Dapat dilihat pula
kandungan vitamin C sedikit berbeda dengan pengeringan awal, ini dikarenakan proses pengujian
yang memerlukan waktu sehingga ada beberapa bahan yang mengalami penyusutan vitamin, faktor
alami, dan penyimpanan juga berpengaruh. Data perubahan vitamin C dianalisis dengan
menggunakan ANOVA pada dan didapatkan hasil F hitung > F tabel (f crit) 5% yang berarti adanya
perbedaan antar metode. Selanjutnya uji lanjut BNT 5% vitamin C pada proses pengeringan selama
8 jam didapat hasil perlakuan A4 bernotasi a dan A3 memiliki notasi sama dengan A2 yaitu b dan
A1 bernotasi c dan disimpulkan terdapat perbedaan antar perlakuan. Maka suhu pengeringan
berpengaruh terhadap kandungan vitamin C. Dari grafik dapat di ketahui Vitamin C terbanyak ada
pada pengeringan dengan suhu 50⁰C yaitu sebesar 633.79 g/100g. Dan yang terkecil pada suhu
80⁰C yaitu sebesar 235.29 g/100g.
Kadar vitamin C masih tersisa relatif tinggi dapat dilihat pada grafik dikarenakan
pengeringan dilakuakan lebih singkat yakni selama 8 jam selain itu karena digunakan alat
pengeringan yaitu cabinet dryer berbahan bakar gas dengan system pengeringan tertutup dengan
sirkulasi udara yang di tiupkan dengan menggunakan blower sehingga pengeringan lebih baik dan
nutrisi bahan pangan akan relatif tetap dipertahankan. Bahan pangan atau sayuran yang dikeringkan
dengan metode ini akan dihasilkan produk dengan kandungan zat gizi seperti protein, lemak dan
vitamin yang lebih tetap terjaga.
Penggunaan oven pengering pada proses pengeringan cabai juga dapat mempengaruhi
pengurangan vitamin C cabai kering. Selain karena pemanasan vitamin C juga dapat rusak karena
penggunaan alat yang terbuat dari besi atau tembaga. Hal ini sesuai dengan pernyataan Almatsier
(2001) bahwa faktor yang menyebabkan kerusakan vitamin C adalah lama penyimpanan,
perendaman dalam air, pemanasan dalam waktu yang lama, dan pemanasan dalam alat yang terbuat
dari besi atau tembaga.

3. Warna

Penilaian kualitas sensori produk bisa dilakukan dengan melihat bentuk, ukuran,
kejernihan, kekeruhan, warna, dan sifat - sifat permukaan seperti kasar, halus, suram - mengkilap,
homogen, heterogen, dan datar bergelombang. Banyak sifat dan mutu komoditas yang di nilai dari
warnanya. Pada hasil pengujian menunjukkan terdapat perbedaan warna sampel antar perlakuan
dengan pengamatan menggunakan color reader (L*, a*, b*) dan berikut ditunjukkan pada Gambar
3.

Pengaruh Suhu Pengeringan – Murti 251


Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem

Vol. 5 No. 3, Oktober 2017, 245-256

Gambar 3. Perubahan warna akhir


Proses pengamatan warna menggunakan color reader dengan nilai L* a* b* yang
mengalami perubahan warna selama proses pengeringan cabai berlangsung. Pada suhu 50°C
didapatkan hasil sebagai berikut: nilai L* sebesar 30.2 menunjukkan warna yang justru semakin
cerah daripada cabai segar. Selanjutnya nilai a* sebesar 17.77 yakni menunjukkan warna merah
yang lebih pekat daripada sampel cabai segar yang menunjukkan semakin merah kehijauan.
Selanjutnya nilai b* sebesar 8.53 menunjukkan warna yang menurun daripada cabai segar dan
menunjukkan warna kuning kebiruan. Kombinasi nilai L* a* b* pada pengeringan 50°C didapat
hasil warna cabai kering yakni merah muda. Disini disimpulkan bahwa pengeringan 50°C
menyebabkan warna cabai menjadi lebih muda. Perubahan warna pada suhu 60°C didapatkan
hasil sebagai berikut: nilai L* sebesar 29.8 yakni menunjukkan warna yang sama cerah dengan
cabai segar namun menurun dibandingkan dengan pengeringan 50°C. Selanjutnya nilai a* sebesar
17.43 menunjukkan warna merah yang lebih pekat dan menunjukkan mengarah ke merah kehijauan.
Selanjutnya nilai b* sebesar 8.07 menunjukkan warna yang menurun dan warna semakin kuning
kebiruan. Kombinasi nilai L* a* b* pada pengeringan 60°C didapat hasil warna cabai kering yakni
merah muda namun lebih pucat daripada pengeringan 50°C. Disini dapat disimpulkan bahwa
pengeringan 60°C kurang baik untuk menghasilkan warna cabai kering yang bagus.
Perubahan warna pada suhu 70°C dan didapatkan hasil sebagai berikut: nilai L* sebesar
31.33 menunjukkan warna yang sedikit lebih cerah. Selanjutnya nilai warna a* sebesar 22.9
menunjukkan warna merah lebih pekat daripada cabai segar namun meningkat daripada perlakuan
suhu 50°C dan 60°C yang menunjukkan kembali mengarah ke merah. Selanjutnya nilai b* sebesar 9
menunjukkan warna yang menurun daripada cabai segar namun meningkat daripada perlakuan suhu
50°C dan 60°C yang menunjukkan semakin kuning. Kombinasi nilai L* a* b* pada pengeringan
70°C didapat hasil warna cabai kering yakni merah cerah. Disini dapat disimpulkan bahwa
pengeringan 70°C menyebabkan nilai warna mengalami kenaikan dan lebih menarik. Perubahan
warna pada suhu 80°C dan didapatkan hasil sebagai berikut: nilai L* sebesar
31.17 yakni menunjukkan warna yang sedikit lebih cerah daripada cabai segar. Selanjutnya nilai a*
sebesar 27.93 yakni menunjukkan warna merah yang justru lebih merah daripada sampel cabai
segar dan juga perlakuan lainnya. Selanjutnya nilai b* sebesar 11.8 yakni menunjukkan warna yang
hampir sama dengan cabai segar dan meningkat daripada perlakuan lainnya yang semakin
mengarah ke kuning. Kombinasi nilai L* a* b* pada pengeringan 80°C didapat hasil warna cabai
kering yakni merah cerah dan bahkan lebih menarik daripada cabai normal dan perlakuan lainnya.
Dari grafik didapatkan hasil bahwa pada suhu yang semakin tinggi maka warna cenderung
semakin baik. Hal ini sesuai dengan pernyataaan bahwa pengolahan dengan menggunakan suhu
tinggi dalam waktu yang singkat merupakan alternatif yang baik dalam mengurangi penurunan
kandungan karotenoid bahan (Dutta et al., 2004). Proses analisis perubahan warna selama
pengeringan 8 jam untuk melihat proses perubahan warna cabai sebelum pengeringan akhir dan
ditunjukkan pada Gambar 4.

Pengaruh Suhu Pengeringan – Murti 252


Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem

Vol. 5 No. 3, Oktober 2017, 245-256

Gambar 4. Perubahan warna 8 jam

Proses pengamatan warna juga dilakukan pada pengeringan 8 jam sebagai perbandingan
perubahan warna selama proses pengeringan menggunakan color reader dan di dapati nilai L* a*
b* yang telah mengalami perubahan warna selama proses pengeringan cabai berlangsung.
Perubahan warna pada suhu 50°C didapatkan hasil sebagai berikut: nilai L* sebesar 28.47 yakni
menunjukkan warna yang justru semakin gelap daripada cabai segar. Selanjutnya nilai a* sebesar
12.07 yakni menunjukkan warna merah yang lebih pekat daripada sampel cabai segar yang
menunjukkan semakin mengarah ke merah kehijauan. Selanjutnya nilai b* sebesar 6.67 yakni
menunjukkan warna yang menurun daripada sampel cabai segar dan menunjukkan warna kuning
kebiruan. Kombinasi warna L* a* b* pada pengeringan 50°C didapat hasil warna cabai kering
yakni merah kecoklatan. Disini dapat disimpulkan bahwa pengeringan suhu 50°C selama 8 jam
kurang cocok untuk mendapatkan warna cabai kering yang menarik.
Perubahan warna pada suhu 60°C dan didapatkan hasil sebagai berikut: nilai L* sebesar
30.2 yakni menunjukkan warna semakin cerah daripada cabai normal. Selanjutnya nilai a* sebesar
16.73 yakni menunjukkan warna merah yang lebih pekat dan menunjukkan warna merah kehijauan.
Selanjutnya nilai b* sebesar 8.63 yakni menunjukkan warna yang menurun dan menunjukkan warna
kuning kebiruan namun meningkat dari pada perlakuan 50°C. Kombinasi warna L* a* b* pada
pengeringan 60°C didapat hasil warna cabai kering yakni merah pucat. Disini dapat disimpulkan
bahwa pengeringan suhu 60°C selama 8 jam lebih baik dari pada suhu 50°C selama 8 jam untuk
menghasilkan warna cabai kering yang lebih bagus.
Perubahan warna pada suhu 70°C dan didapatkan hasil sebagai berikut: nilai L* sebesar
30.73 yakni menunjukkan warna yang semakin cerah. Selanjutnya nilai a* sebesar 18.57 yakni
menunjukkan warna merah yang lebih pekat daripada sampel cabai segar namun lebih merah
daripada perlakuan suhu 50°C dan 60°C yang menunjukkan semakin mengarah ke merah.
Selanjutnya nilai b* sebesar 8.63 yakni menunjukkan warna yang menurun daripada sampel cabai
segar dan sama seperti pada suhu 60°C yang menunjukkan warna kuning kebiruan. Kombinasi
warna L* a* b* pada pengeringan 70°C didapat hasil warna cabai kering yakni merah muda dan
lebih cerah daripada perlakuan suhu 60°C. Disini dapat disimpulkan bahwa pengeringan pada
perlakuan suhu 70°C sudah cukup baik untuk mendapatkan warna cabai kering yang menarik.
Perubahan warna pada suhu 80°C dan didapatkan hasil sebagai berikut: nilai L* sebesar
30.47 yakni menunjukkan warna yang semakin cerah daripada cabai segar. Selanjutnya nilai a*
sebesar 19.43 yakni menunjukkan warna merah yang lebih merah daripada perlakuan lainnya
namun lebih kehijauan daripada cabai segar. Selanjutnya nilai b* sebesar 8.9 yakni menunjukkan
warna yang hampir sama dengan pengeringan 70°C yang menunjukkan warna kuning sedikit
kebiruan. Kombinasi warna L* a* b* pada pengeringan 80°C didapat hasil warna cabai kering
yakni merah muda yang sama seperti perlakuan pengeringan 70°C.

Pengaruh Suhu Pengeringan – Murti 253


Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem

Vol. 5 No. 3, Oktober 2017, 245-256

Dari grafik didapatkan hasil bahwa warna berubah rubah nilainya selama proses
pengeringan dan nilai terbaik yaitu pada suhu 70°C dan 80°C yakni dengan warna merah muda.
perlakuan warna L* pada suhu 80°C mulai mengalami penurunan yang berarti kurang cerah
daripada perlakuan 70°C sehingga perlu dianalisis lagi suhu yang tepat untuk mencapai warna
terbaik, karena senyawa karotenoid ini sensitif terhadap alkali dan sangat sensitif terhadap udara
dan sinar terutama pada suhu tinggi (Dutta et al., 2004).

4. Rendemen

Rendemen cabai kering merupakan perbandingan berat awal cabai segar dengan berat cabai
kering pada akhir pengamatan. Semakin besar nilai rendemen mutu cabai kering, maka pengolahan
pasca panen sangat efektif. Pada grafik didapati rendemen cabai kering tiap perlakuan mengalami
perbedaan. Penurunan rendemen cabai ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5. rendemen

Pada pengeringan akhir persentase rendemen mutu otomatis akan hampir sama antar setiap
perlakuan dimana sampel awal yang dikeringkan sama yakni 500 gram. Persentase penurunan
rendemen mutu cabai pada pengeringan akhir didapati hasil pada suhu 80° (A4) sebesar 19.84 %
kemudian naik pada suhu 70° (A3) menjadi 19.91 % dan turun kembali pada suhu 60° (A2) yaitu
19.89% dan yang terbesar adalah pada suhu 50° (A1) yang bernilai 19.92 %. Didapati bahwa nilai
terkecil pada 80° (A4) yakni sebesar 19.84% dan yang terbesar pada 50° (A1) yakni 19.92%.
Terlihat perbedaan yang sangat kecil dan hampir tidak ada perbedaan yang menunjukkan
pengeringan sudah sesuai. Meski pada suhu 50° (A1) merupakan rendemen mutu terbaik, namun
pengeringan yang di inginkan adalah pada kondisi bahan 11% kandungan airnya sesuai ketentuan
SNI dan yang sesuai adalah pada 80° (A4) namun dengan rendemen yang kecil. Dapat dilihat pada
grafik pada pengeringan akhir tidak mengalami perbedaan penurunan rendemen antar perlakuan
karena pengeringan dilakukan secara sengaja agar memenuhi sarat SNI cabai kering namun disini
dapat diketahui bahwa penurunan rendemen sangat besar. Hal ini diduga karena suhu pengeringan
yang digunakan tergolong cukup tinggi, sehingga menyebabkan kandungan air yang teruapkan lebih
banyak mengakibatkan rendemen yang dihasilkan menurun. Begitu juga sebaliknya, semakin
rendah suhu yang digunakan maka semakin sedikit air yang teruapkan sehingga diperoleh rendemen
yang tinggi.
Perbedaan tinggi dan rendahnya rendemen suatu bahan pangan sangat dipengaruhi oleh
kandungan air suatu bahan pangan. Hal ini diperkuat oleh Ramelan (1996) yang menyatakan bahwa,
suhu merupakan salah satu faktor penentu dalam proses pengeringan. Selain itu sifat bahan yang
dikeringkan seperti kadar air awal dan ukuran produk akan mempengaruhi proses pengeringan. Uji

Pengaruh Suhu Pengeringan – Murti 254


Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem

Vol. 5 No. 3, Oktober 2017, 245-256

BNT 5% didapat hasil pada perlakuan A4 dan A2 dengan notasi a. Kemudian notasi A1, A2, A3
bernotasi b sehingga dapat disimpulkan perlakuan hampir sama atau tidak terdapat perbedaan yang
berat sebelah.
Maka suhu pengeringan tidak terlalu berpengaruh terhadap rendemen mutu pada perlakuan
pengeringan akhir. Namun pada perlakuan ini, pegeringan memang disengaja untuk mencapai titik
tertentu sehingga sengaja disamakan. Maka perlakuan pengamatan pada pengeringan akhir ini tidak
dapat dijadikan acuan. Rendemen terbaik pada perlakuan A1 sebesar 19.92 %.
Perubahan rendemen mutu cabai kering dapat terlihat jelas penurunanya pada pengamatan
8 jam dan didapati hasil pada suhu 80° (A4) didapati hasil 19.8 % kemudian naik pada suhu 70°
(A3) menjadi 21.96 % dan naik kembali pada suhu 60° (A2) yaitu 33.26% dan yang terbesar adalah
pada suhu 50° (A1) yang bernilai 44.10 %. Didapati bahwa rendemen terkecil pada suhu 80° (A4)
sebesar 19.8% dan yang terbesar adalah pada suhu 50° (A1) yakni 44.10 %.
Dilihat dari grafik penurunan rendemen pada pengeringan selama 8 jam ternyata
penurunan rendemen bahan mengalami perbedaan dan dapat diketahui bahwa semakin lama waktu
pengeringan dan semakin tinggi suhu pengeringan maka rendemen semakin rendah, ini disebabkan
karena air yang diuapkan semakin banyak. Hal ini sesuai pernyataan Desrosier, (1988), bahwa
semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu pengeringan yang digunakan untuk mengeringkan
suatu bahan, maka air yang menguap dari bahan akan semakin banyak. Dengan demikian maka
bobot bahan menjadi berkurang dan menghasilkan rendemen yang rendah.
Uji BNT 5% dan didapat hasil perlakuan A4 dan A3 bernotasi a dan A2 memiliki notasi b.
A1 memiliki notasi c. sehingga suhu pengeringan berpengaruh nyata terhadap rendemen mutu cabai
kering. Dimana semakin tinggi suhu maka rendemen yang di hasilkan semakin kecil sehingga
perlakuan A1 adalah perlakuan terbaik dengan nilai rendemen 44.10%.

KESIMPULAN

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa berdasarkan pengamatan
pengeringan cabai Lado F1, cabai dengan perlakuan suhu 500C, 600C, 700C, 800C dengan
pengeringan bahan hingga kandungan air mencapai 11% didapatkan nilai kadar vitamin C berturut-
turut adalah 550.69 mg/100g, 333.07 mg/100g, 131.64 mg/100g 146.25 mg/100g. Suhu
pengeringan cabai keriting Lado F1 berpengaruh terhadap kandungan vitamin C dan warna cabai.
Vitamin C terbanyak dan terbaik adalah pada pengeringan 500C dengan kandungan tersisa
sebanyak 550,69 mg/100g dan diperlukan waktu 20 jam agar sesuai mutu SNI. Jika menginginkan
pengeringan yang cepat maka di pakai suhu 800C namun vitamin C tersisa 146.25 mg/100
pengeringan selama 8 jam agar sesuai mutu SNI.
Berdasarkan pengamatan pengeringan cabai Lado F1, cabai dengan perlakuan suhu 500C,
60 C, 700C, 800C dengan pengeringan bahan akhir didapatkan warna cabai kering yang di hasilkan
0

berturut-turut adalah merah muda, merah pucat, merah cerah, merah sangat cerah. Untuk kualitas
warna cabai terbaik adalah pada suhu 800C yakni merah sangat cerah.
Berdasarkan pengamatan pengeringan cabai Lado F1, cabai dengan perlakuan suhu 500C,
60 C, 700C, 800C dengan pengeringan bahan hingga kandungan air mencapai 11% didapatkan nilai
0

rendemen berturut-turut adalah 19.92%, 19.89%, 19.91%, 19.84%.

DAFTAR PUSTAKA

Alang, S. 2012. Penentuan Kadar Air dan Kadar Abu. Laboratorium Kimia Analisa dan
Pengawasan Mutu Pangan. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Pengaruh Suhu Pengeringan – Murti 255


Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem

Vol. 5 No. 3, Oktober 2017, 245-256

Asep, Harpenas., dan R. Dermawan. 2010. Budidaya Cabai Unggul. Penebar Swadaya. Jakarta.
Badan Pengembangan Ekspor Nasional jakarta.1977. Standar cabai kering. Seminar standarisasi
dan pengawasan mutu III di Jakarta. 21-24 Pebruari 1977.
Desrosier, W.N.1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Diterjemahan Oleh M. Muldjohardjo. UI-
Press. Jakarta.
Dutta, D., U.R.Chaudhuri, R.Chakraborty. 2004. Retention of ß-carotene in frozen carrots under
frying condition of temperature and time of storage. Jadavpur University. Kolkata-
700032.India.
Godam. 2006. Pengertian dan Definisi Vitamin- Fungsi, Guna, Sumber, Akibat Kekurangan,
Macam dan Jenis Vitamin. Jakarta.
Hasbullah, 2001. Cabe Kering dan Cabe Bubuk. Teknologi Tepat Guna Agroindustri Kecil
Sumatera Barat. Dewan Ilmu Pengetahuan. Teknologi dan Industri Sumatera Barat.
Naidu, K.A. 2003. Vitamin C in human health and disease is still a mystery ? An overview. Nutrition
Journal 2003, 2:7
Ramelan, A.H., Nur Her Riyadi Parnanto, Kawiji. 1996. Fisika Pertanian. UNS-Press.
Sungzikaw, S. 2008. Measurements of Starch Content of Cassava. Workshop on Metrology in Food
Safety, Agricultural Products and Product Safety. Hangzhou. PR China.

Pengaruh Suhu Pengeringan – Murti 256

Anda mungkin juga menyukai