Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Material Komposit

Material komposit adalah merupakan material yang tebentuk dari

kombinasi dua material atau lebih, dengan tetap mempertahankan sifat

karakteristik masing-masing dari material pembentuknya. Hal ini di sebabkan

material- material tersebut tidak saling melarutkan atau bercampur secara

sempurna. Pengertian lain komposit adalah Material komposit merupakan

kombinasi makroskopik dari dua atau lebih bahan yang berbeda, tetapi memiliki

ikatan antar keduanya. Komposit digunakan tidak hanya untuk sifat struktural

benda, tetapi juga untuk listrik, termal, tribologi, dan aplikasi di lingkungan.

Material komposit yang dihasilkan memiliki keseimbangan sifat struktural yang

lebih unggul dibanding bahan utamanya (Callister, D.W.Jr., 2003).

Komposit Metal Matrik Aluminium Penguat SiC dan Al2O3 Partikel sebagai

Material Alaternatif. Jadi hasil penelitian adalah penambahan komposisi persen

berat SiC dan Alumina (Al2O3) memberikan pengaruh pada sifat fisik dan

mekanik komposit. Dimana densitas dan kekerasan meningkat terjadi pada setiap

penambahan Alumina (Al2O3) itu sendiri. Sebaliknya porositas menurun dengan

meningkatnya komposisi penguat. Hubungan antara sifat dari masing-masing

komposisi penguat SiC dan Al2O3 pembentuk komposit yang dibuat dengan

menganalisa struktur mikro yang terbentuk (Ketut Suarsana , 2015).

Perlakuan panas deformasi komposit yang terdiri dari matriks AA 2124

diperkuat dengan 15 %vol dari SiC wisker menunjukkan bahwa rekristalisasi

6
dinamis terjadi dalam komposit selama deformasi panas. Sifat thermomekanis dari

35 %vol matrik komposit SiC /Al2O3 dengan proses ditekan panas lebih dari 99%

kepadatan teoritis, terbukti meningkatkan ketangguhan retak dan kekuatan secara

substansial dibandingkan dengan monolitik alumina (Froyen, B. Verlinden ,1994).

Sampai saat ini model penguatan dengan mengunakan jenis aditif

merupakan pengembangan dari perlakuan permukaan pada material dasar, tapi

sebelumnya umum dilakukan dengan rekayasa perlakuan panas (heat treatment)

pada permukaan material komposit. Teknologi penggabungan aditif atau penguat

yang berbeda karakteristiknya, selama ini dilakukan dengan metode bonding

diffusion, yaitu penggabungan dilakukan dengan pemanasan temperatur tinggi

dengan tegangan mekanik yang besar. Selain itu metode ini mempunyai

kelemahan yaitu bentuk produk yang terbatas dan biaya produksi tinggi: Garnier,

V, et al, (2004)

Metode pembentukan ini diawali dengan pencampuran serbuk logam

dengan partikel keramik untuk membuat Metal Matrix Composites (MMC).

Setelah proses pencampuran ini biasanya diikuti dengan cold compaction,

degassing dan perlakuan panas seperti hot isostatic pressing (HIP) maupun

sintering. Proses penekanan adalah memadatkan serbuk atau konsolidasi dari

serbuk kedalam bentuk yang diinginkan, agar diperoleh dimensi presisi, serta

material tidak mudah hancur.


2.1.1 Klasifikasi Komposit

Komposit dapat digolongkan berdasarkan bahan matriks yang digunakan

yaitu:

a. Komposit matriks logam (Metal Matrix Composite / MMC), yaitu

mempunyai matriks dari logam (aluminium, magnesium, besi, kobalt,

tembaga) dan keramik tersebar (oksida, karbida) .

b. Komposit matriks polimer (Polimer Matrix Composite /PMC), yaitu jenis

komposit dengan matrik dari bahan polimer, termoplastik ( PVC , nylon ,

polysterene) dan kaca tertanam, karbon, baja atau serat kevlar.

c. Komposit matriks keramik (Ceramics Matrix Composite / CMC), yaitu

komposit dengan matrik dari bahan keramik. MMC berasal dari gabungan

material berbahan dasar logam dengan keramik. MMC bisa disebut juga

material yang terdiri dari matrik berupa logam dan paduannya yang

diperkuat oleh bahan penguat dalam bentuk continous fibre, whiskers, atau

particulate. Pembuatan metal matrix-composite dapat dilakukan dengan

beberapa metode antara lain, powder metallurgy, diffusion bonding, liquid

phase sintering, squeeze infiltration dan stir casting (Clyne,T.W., 2001).

Gambar 2.1 Klasifikasi komposit berdasarkan bentuk dari matriks


Gambar 2.2 Matriks dari beberapa tipe komposit

Berdasarkan jenis penguatnya, maka material komposit dapat dijelaskan

sebagai berikut :

a. Particulate composite, penguatnya berbentuk partikel.

b. Fibre composite, penguatnya berbentuk serat.

c. Structural composite, dengan cara penggabungan material komposit.

Pada gambar 2.3 di tunjukkan fase-fase penyusun yang terbentuk pada material

komposit :

Gambar 2.3 Fasa - fasa dalam komposit


2.1.2. Metal Matrix Composite (MMC)

Material komposit dengan matriks logam atau MMC (Metal Matrix

Composites) merupakan material baru yang dihasilkan dari rekayasa di bidang

material. MMC sebagaimana halnya komposit terdiri dari matriks sebagai

pengikat yang berupa logam, dan partikel sebagai penguat berupa partikel keramik

berkekuatan tinggi. Diproduksinya MMC diharapkan sifat mekanik dari material

matriks dapat meningkat.

Peningkatan sifat mekanik yang diinginkan adalah kekuatan, kekakuan

spesifik, ketahanan aus, ketahan korosi yang baik, dan modulus elastisitas yang

tinggi Sahin dan Murphy, (1996). MMC memadukan sifat mekanik matriks

paduan (ulet dan tangguh) dengan sifat keramik sebagai penguat (kekuatan dan

modulus elastisitas yang tinggi). Hasil paduan sifat tersebut menghasilkan

komposit yang lebih kuat ketika menerima beban geser dan beban tekan, serta

kemampuan yang baik untuk digunakan pada suhu tinggi.

Suarsana dkk. (2003) menyatakan bahwa pada bahan SiC, Al2O3, dan serat

karbon dapat bereaksi dengan matrik paduan aluminium, dan juga ada resiko

bahwa proses pengerjaan sekunder akan merusak serat. Umumnya dengan metode

pembuatan serat kontinu biayanya mahal, laju produksi rendah, serta ukuran dan

bentuk untuk produk metal matrix composite (MMC) terbatas. Metode tipikal

untuk memproduksi MMC serat kontinu adalah (1). pengikatan difusi (diffusion

bonding), (2). cetak linyak (squeeze-casting) dan (3). pembentukkan tekan cairan.

Adapun jenis proses pembuatan komposit pada fase-fase tertentu dapat

dilihat pada gambar 2.4.


Gambar 2.4 Skematis proses pembuatan MMC (Clyne, 2001)
2.1.3 Alumnium Matrik Komposit (AMC)

Merupakan salah satu metode teknologi komposit yang banyak di

gunakan, dalam hal ini almunium merupakan sebagai bahan uatama matriks yang

digunakan dengan campuran silikon carbida ( SiC ), sebagai penguat. Alumunium

salah satu logam yang banyak digunakan dalam industri, aulumunium memiliki

sifat ringan, tahan terhadap korosi dan mudah dibentuk namun alumunium

memiliki kekuatan dan kekerasan yang rendah, dan SiC jenis bahan keramik yang

kelebihan nya yaitu dapat berikatan dengan alumunium dan tidak menyebabkan

oksidasi pada logam alumunium. Silikon carbida ( SiC ) merupakan salah satu

penguat (reinforcment), silikon carbida atau yang sering dikenal SiC memiki

kekerasan yang tinggi, sehingga dapat meningkatkan sifat mekanis dari matriks

pada saat pembuatan komposit (Yosia Samuel, 2012). Material komposit tersusun

dari dua fasa, satu disebut sebgai matriks dengan fase countinous dan penguat

dengan fasa discontinous. Terdapat 5 faktor umum dari penguat yang

mempengaruhi sifat material komoposit yaitu, konsentrasi, bentuk, ukuran,

distribusi dan orientasi.


Beberapa keunggulan komposit dibandingkan paduannya adalah:

a. Kekuatan lebih tinggi

b. Kekakuan meningkat

c. Densiti rendah

d. Menaikkan sifat temperatur tinggi

e. Memperbaiki koefesien panas ekspansi

f. Memperbaiki sifat tahan gesekan dan ketahanan aus

g. Memperbaiki sifat tahan getaran

Berdasarkan jenis penguatnya, Komposit Matrik Aluminium dapat

dikelompokkan sebagai berikut

a. Pengut partikel

b. Penguat whisker atau pendek

c. Penguat fiber kontinu

d. Penguat mono filamen

2.1.4 Karakteristik Aluminium (Al)

Logam Al merupakan logam monolitik, bila ditinjau dari sifat mekanisnya,

seperti nilai kekerasan, memiliki nilai kekerasan yang rendah. Sebagai logam

monolitik, Al memiliki beberapa kelemahan, terutama pada sifat mekanisnya.

Akan tetapi, logam Al memiliki beberapa kelebihan, yaitu memiliki bobot yang

ringan, tahan terhadap korosi dan juga mudah dibentuk (Rusianto, T, 2009).

Ada beberapa cara yang digunakan untuk meningkatkan sifat mekanik

logam, salah satunya adalah dengan cara penambahan unsur penguat

(reinforcement). Unsur penguat yang digunakan haruslah material yang keras,


misalnya adalah keramik. Jenis-jenis keramik yang digunakan pada umumnya

adalah Al2O3, SiC, TiC, ZrO2, karbon, grafit dll. Diantara material keramik

tersebut, yang paling keras adalah SiC. Sifat mekanik dan fisik matrik aluminium

dapat di lihat di tabel 2.1

Tabel 2.1 Sifat Fisik dan Mekanik Logam


Auminium
Density, ρ 2,7 g/cm
Modulus elistisitas, E 71 Gpa
Kekerasan 19 VHN
Yeld strength 25 Mpa
Konduktivitas termal, C 237 W/mK
o
C.T.E 2,4.10̄ C

Aluminium mempunyai massa jenis sebesar 2,7 gram/cm 3 dan nilai

kekuatannya rendah, tetapi melalui pemaduan dengan unsur-unsur tertentu akan

memberikan peningkatan kekuatan mekanik, misalnya paduan Al cenderung naik

akibat adanya penambahan Mn sebanyak 12% massa. Pada komposisi tersebut, Al

alloy mempunyai ultimate tensile strength 31,58 kg/mm2, elongation 7,54%,

kekerasan 90,74 VHN dan kekuatan impak 5,88 J/cm2, dimana nilai tersebut telah

memenuhi persyaratan secara teknik (Arino Anzip dkk, 2006).

Sifat mekanik Al alloy yang sesuai dengan standar teknik adalah ultimate

tensile strenght (UTS) minimal sebesar 25 kg/mm2 atau 245,25 MPa, elongation

minimal 5%, hardness 75-95 Hv, dan impact strength 5,5 J/cm2. Untuk Al alloy

jenis A.356.2 mempunyai kekuatan tarik 160 MPa, hardness 71 Hv dan komposisi

: Al = 92,31%; Si = 7,0%; Fe = 0,12%; Cu = 0,10%; Mn = 0,05%; Mg = 0,21%;

Zn = 0,05% dan Ti = 0,20%. Aplikasi dari matreial Al alloy dalam bidang teknik

digunakan sebagai komponen untuk: baut, mesin, dan elektronik. Struktur kristal
aluminium murni adalah face centered cubic (fcc) dan memiliki titik leleh sekitar

660°C. Tabel 2.2 menunjukkan interface struktur mikro dengan foto SEM dari

aluminium fine powder.

Tabel 2.2, Sifat-sifat Fisik dan Kimia dari

Item
Aluminium Kualifikasi
Nomor atom 13
Nomor Massa 26'.9815
Bentuk Kristal (25) Kubus pusat muka
Density 2.699 g/cm 3
Struktur atom terluar 3 3
Titik Lelah (1 atm) 660,1 C
Titik didih (1 atm) 2327 C
Panas peleburan 94,6 kal/g
Panas jenis 0,280 kal/g C
(PT INALIUM. 1998)

Gambar 2.5 Diagram fase Al-SiC


2.1.5 Silikon Karbida

Keramik mempunyai ikatan ionik yang tinggi, keadaan sedemikian

menyebabkan bahan ini dikategorikan sebagai bahan yang bersifat kuat dan rapuh.

Selain material keramik bersifat rapuh, tetapi juga mempunyai kelebihan, antara

lain: koefisien ekspansi termalnya rendah sehingga lebih tahan terhadap kejut

suhu. Ketahanannya pada suhu tinggi merupakan sifat penting dan menjadi faktor

utama untuk dipertimbangkan dalam pemilihan bahan baru keramik yang

berkekuatan tinggi. Kelemahan dari material keramik adalah sifat rapuhnya,

sehingga bila terjadi retak mikro, maka akan mudah menjalar retakan tersebut dan

dapat menyebabkan kerusakan (failure). Silikon karbida dengan formula SiC

tergolong salah satu jenis material keramik non oksida. SiC membentuk struktur

tetrahedral dari ikatan atom karbon C dan atom Si. Material ini tergolong material

yang sangat keras dan tahan terhadap abrasive.

Serbuk keramik SiC ada dua macam, dapat dibagi berdasarkan bentuknya,

yaitu: partikulat dan serabut. Senyawa SiC memiliki keunggulan diantara logam

keramik yang lain yaitu mudah berikatan dan tidak menyebabkan oksidasi pada

logam Al. Material-material keramik seperti Al2O3 dan ZrO2 juga relatif keras

dan kuat, tetapi sulit berikatan dengan logam Al. Adanya unsur oksigen juga dapat

menyebabkan oksidasi pada material komposit Al. Berikut ini beberapa penguat

bentuk particulate (p), whisker (w) dan chopped fibre (c).

2.1.6 Alumina partikel (Al2O3)

Alumina merupakan bahan baku dalam proses elektrolisa, mencapai 1,89

kg dalam suatu massa dan digunakan sesuai dengan keseimbangan stokiometri.


Alumina mempunyai morfologi bubuk berwarna putih dengan berat molekul 102,

titik leleh pada suhu 2050oC dan specific gravity 3,5-4,0 gr/cm3. Alumina

diproduksi dalam jumlah besar setiap tahun digunakan untuk membuat logam

aluminium. Tahun 1980, mencapai 90% bahan baku bauksit didatangkan dari

Amerika Serikat, Republik Dominika, Suriname, Guyana, dan Australia.

Konsumsi total meliputi 15,6 x 106 ton, kira–kira 96% diantaranya digunakan

untuk produksi alumina. Penggunaan lainnya adalah untuk abrasive, pembuatan

bahan kimia dan serat keramik. Alumina (Al2O3) merupakan senyawa oksida

aluminium yang diperoleh dari proses pemurnian bauksit, yang disebut sebagai

proses Buyer. Proses ini terbagi ke dalam 3 tahap yaitu :

1. Proses ekstraksi memakai sodium hidroksida (NaOH)

2. Proses pengendapan (presipitasi) alumina trihidrat

3. Proses kalsinasi pada temperatur 12000C

2.1.7 Analisa Sifat Mekanik Metal Matrix Composite (MMC)

Peningkatan sifat mekanik metal matrix composite (MMC) dapat

diprediksi secara linier dari konsep Rule of Mixture (ROM) atau dengan Voigt

model dan inversnya yaitu Reuss model. Model Voigt hanya dapat diterapkan pada

komposit dengan penguat fiber, pada tegangan searah dengan penguatnya

(longitudinal stress), sedangkan Reuss model digunakan untuk arah tegangan

tegak lurus pada penguatnya (transvers stress). Kasus komposit serat pendek

dapat digunakan konsep Tsai Halpin, dengan mempertimbangkan faktor bentuk,

yang mana dapat ditentukan dari struktur material komposit sebagai fungsi arah

beban. Komposit yang diukur diasumsikan memiliki karakteristik struktur


optimal, yaitu tanpa porus dan tidak terjadi agglomerasi pada partikel penguat

(Gere, James M, 1987).

2.1.8 Metalurgi serbuk (Powder metallurgy)

Metalurgi serbuk merupakan proses pembentukan benda kerja komersial

dari logam dimana logam dihancurkan dahulu berupa tepung, kemudian tepung

tersebut ditekan di dalam cetakan (mold) dan dipanaskan di bawah temperatur

leleh serbuk sehingga terbentuk benda kerja. Partikel-partikel logam memadu

karena mekanisme transportasi massa akibat difusi atom antar permukaan partikel.

Metode metalurgi serbuk memberikan kontrol yang teliti terhadap komposisi dan

penggunaan campuran yang tidak dapat difabrikasi dengan proses lain. Ukuran

ditentukan oleh cetakan dan penyelesaian akhir (finishing touch). kualitas bahan

yang dihasilkan sangat dipengaruhi saat pencampuran yang ditentukan oleh

kehomogenan serbuk penyusunnya. Ada dua macam proses pencampuran yaitu

proses kering (dry mixing) dan proses basah (wet mixing). Cara pencampuran

basah lebih sering digunakan dengan menambahkan media pelarut organik

(alkohol/etanol/N-butanol).

Langkah-langkah dasar pada powder metallurgy:

1. Pembuatan Serbuk.

2. Mixing.

3. Compaction.

4. Sintering.

5. Finishing.
Kelebihan powder metallurgy:

a. Kontrol kuntitatif yang baik, presisi yang tinggi, tidak diperlukan

banyak penyelesaian akhir.

b. Proses powder metallurgy dapat menghasilkan karbida senter,

bantalan proses yang terdiri dari lapisan serbuk logam yang berbeda.

c. Produk yang dihasilkan dapat sekecil mungkin dengan teloransi yang

ketat dan permukaan yang halus.

Menurut Birkeland, P.W. (1984) Kekurangan powder metallurgy:

a. Diperlukan biaya yang tinggi dan terbatas untuk produk yang

ukurannya kecil.

b. Peralatan yang digunakan relatif mahal, dan bentuk-bentuk produk

yang kecil tidak bisa dibuat, karena selama proses penekanan, serbuk

logam tidak mampu mengalir mengisi rongga cetakan.

Gambar 2.6 Contoh-contoh produk powder metallurgy, (a) Brake


Rotor untuk Kereta Kecepatan Tinggi, (b) AutomotiveBraking Sistem,
(c) Automotive pushrods dan (d) Cores untuk Kawat Listrik High
Voltag (Suk-Joong, 2005).
2.1.9 Proses pencampuran serbuk/mixing

Proses pencampuran merupakan penggabungan dua atau lebih bahan

serbuk agar tercampur merata dan menjadi homogen. Cara yang digunakan dalam

pencampuran ini yaitu cara pencampuran basah (wet mixing) adalah pencampuran

matrik dan penguat dengan mengunakan pelarut polar. Durasi waktu, kecepatan

pencampuran dan ukuran partikel serbuk sangat menentukan tingkat homogenan

distribusi dari campuran yang dihasilkan. Pada gambar 2.6 ilustrasi dari cara

pencampuran serbuk dari bahan matrik dengan penguat pada komposit (Al-SiC+

Al2O3).

Media pencampur (Ethanol)


Bahan Pengut Matrik Komposit
Komposit

Mixing

Komposit Matrik+
Pengut Komposit

Pelumas
(lubricant Bahan
). penelitian

Cetakan

Gambar 2.7 Ilustrasi mekanisme pencampuran dan proses penekanan Al fine


powder dengan SiC+Al2O3 sebagai penguat.

Gambar 2.8 Ilustrasi mekanisme pencampuran Al fine powder

dengan SiCw+Al2O3p sebagai penguat.


2.1.10 Proses Penekanan / cetak tekan.

a. Proses penekanan

Proses peneekanan merupakan salah satu cara untuk memadatkan serbuk

menjadi bentuk bakalan bahan. Penekanan dari serbuk berfungsi untuk

konsolidasi dari serbuk kedalam bentuk yang diinginkan, memperoleh dimensi

yang presisi sesuai dengan yang diinginkan, untuk memperoleh tingkat dan tipe

porositas yang diinginkan serta agar material tidak mudah hancur, apabila

dipindahkan selama proses. Pada proses penekanan, gaya gesek yang terjadi

antara partikel serbuk yang digunakan dengan partikel dinding cetakan dapat

mengakibatkan perbedaan kerapatan di daerah tengah dan dipinggir cetakan.

Menghindari hal tersebut, maka menggunakan pelumas (lubricant). Pelumas

yang digunakan harus memiliki sifat tidak reaktif terhadap serbuk yang digunakan

dan memiliki titik leleh rendah, sehingga lubricant dapat menguap pada

presintering (Suk-Joong, 2005). Pemberian pelumas pada proses penekanan,

dapat menggunakan Internal lubricant, yaitu pelumas dicampur dengan serbuk

yang akan ditekan atau dengan Die wall lubricant yaitu pelumas diberikan pada

dinding cetakan. Ilustrasi mekanisme penekanan powder pada cetakan dengan

gaya tertentu dengan pelumas untuk menghasilkan material komposit, dapat

terlihat pada gambar 2.7 sebagai berikut :


Gambar 2.8 Ilustrasi mekanisme penekanan /cetak tekan

b. Proses Sintering

Proses sintering pada suhu tinggi mendekati titik lebur bahan komposit,

dapat menyebabkan perubahan struktur mikro, meliputi berupa pengurangan

jumlah dan ukuran pori, pertumbuhan butir (grain growth), peningkatan densitas,

dan penyusutan (shrinkage). Proses sinter juga dapat mendesain kontrol

mikrostruktural yaitu ukuran butir (grain size), densitas pasca sinter (sinter

density), ukuran dan distribusi fase lain termasuk pori (porus). Sinter secara

khusus dikatakan sebagai suatu pergerakan pori dan atau partikel yang disertai

dengan tumbuhnya butiran partikel, juga bertambahnya kekuatan partikel yang

berdekatan. Sintering secara umum dibagi dua jenis yaitu Liquid phase sintering

dan solid state sintering. Liquid phase sintering terjadi jika temperatur sinter

material terlalu tinggi dimana terjadi peleburan, sedangkan solid state sintering

terjadi pada temperatur yang rendah.

Tahapan sinter dapat dibedakan menjadi tiga yaitu awal (initial stage),

medium (intermediate stage) dan akhir (final stage). Tahapan awal adalah tahapan

pengaturan partikel kembali (rearrangement). Partikel akan mengalami

pengaturan posisinya sehingga bidang kontak antar partikel menjadi lebih baik.
Gambar 2.9 mesin sintering

Pertumbuhan leher mulai terjadi pada daerah kontak antar partikel

sehingga memungkinkan fase baru. Pada tahapan ini, shrinkage yang terjadi

mencapai 4-5% dan densitas relatif antara 0,5 - 0,6 gr/cm3. Tahapan medium,

pertumbuhan butir, yaitu struktur porositas menjadi lebih halus, tetapi tetap saling

berhubungan hingga akhir proses sinter. Pertumbuhan butir yang terjadi pada

tahapan ini akan menghasilkan porositas yang mengecil sebanding dengan

pembesaran butir. Pada tahapan akhir sinter adalah pengecilan porositas sebagai

hasil dari proses difusi dan memungkinkan terjadinya transformasi fase. Padatan

kristal hampir setiap kontak partikel akan mengembangkan batas butiran dengan

adanya energi batas butiran. Fase aditif memperbaiki laju difusi selama proses

sinter sehingga sering digunakan pada kebanyakkan material komposit. Fase

ini dapat digunakan untuk menstabilkan struktur kristal atau mendapatkan tipikal

komposit yang diinginkan.

Ada beberapa hal yang mempengaruhi proses sinter yaitu ukuran partikel,

bentuk dan topografi partikel. Topografi partikel dapat meningkatkan kontak fisik

antar partikel sehingga dapat meningkatkan area internal surface. Semakin kecil
ukuran partikel maka total luas permukaan partikel juga semakin besar dan energi

panas yang dibutuhkan untuk mencapai densifikasi tertentu menjadi lebih sedikit.

Faktor lain yang berpengaruh adalah struktur butir. Struktur yang halus dapat

meningkatkan proses sinter yaitu pada mekanisme transport materialnya.

Komposisi partikel juga berpengaruh karena adanya daya dorong pada proses

sinter. Daya dorong ini dipengaruhi oleh impuritas maupun penambahan paduan

pada proses sinter. Menurut Nurmawati (2008), bahwa semakin tinggi temperatur

sinter dan semakin lama waktu tahan sinter maka energi difusi akan semakin

besar. Pengaruh suhu sintering terhadap sifat fisik, mekanik dan listrik dari

pemadatan serbuk selama proses sintering dapat dianalisa dari sifat bahan

pembentuk komposit.

Sifat
Bahan

Temperatur
Gambar 2.10 Pengaruh suhu pada(1) porositas, (2) Densitas, (3)
Thanan Listrik, (4) Kekakuan dan (5) Ukuran butir

2.1.11 Penyusutan (Shrinkage).

Pembuatan komposit dengan metode metalurgi serbuk dapat

memungkinkan terjadinya porositas. Porositas adalah bagian yang tidak koheren

dari sintering, berupa kekosogan berisi gas atau pelumas. Tingginya waktu
sintering menjadikan porositas semakin rendah. Hal ini disebabkan mekanisme

transport massa berjalan baik. Tingginya fraksi volume penguat yang digunakan,

maka porositas semakin tinggi pula. Pada proses sintering akan terjadi proses

penyusutan pori (shrinkage) yang tergantung pada tahapan medium/intermediate

sintering. Semakin tinggi waktu sintering, semakin tinggi penyusutan pori

(shrinkage). Porositas terbuka dapat tereliminasi pada proses sintering, sehingga

terjadi penyusutan porositas. Penyusutan (shrinkage) diperoleh dari selisih

perbedaan densitas antara sintering density dan green density (bakalan), karena

sepanjang proses sintering akan terjadi penghapusan porositas akibat reaksi

antarmuka partikel serbuk:Widyastuti, et al (2008).

Penyusutan (Shrinkage) selalu terjadi selama proses sintering, rumusnya

sebagai berikut

2.1.12 Disc Brake

Disc brake atau rem disk adalah perangkat untuk memperlambat atau

menghentikan rotasi roda. Sebuah rem disk (atau rotor dalam bahasa Inggris

Amerika) biasanya terbuat dari besi cor, tetapi dalam beberapa kasus dibuat dari

komposit seperti diperkuat karbon-karbon atau komposit matriks keramik. Rem

mengkonversi gerak terhadap panas, dan jika rem terlalu panas, mereka menjadi

kurang efektif, fenomena yang dikenal sebagai memudar rem. Disc brake

dikembangkan pada awal abad ke 17, namun kelemahan dalam desain sistem disc
brake terus memasuki penggunaan mainstream. Masalah yang paling sulit diatasi

adalah perpindahan panas, akan ketidakmampuan disc mendistribusikan panas

gesekan efektif. Masalah ini disebut fade rem dan ternyata umum pada model

awal rem disc . karena jalan waktu itu masih belum beraspal, kotoran dan debu

sering kontak dengan sistem rem disc.

Masalah-masalah ini akhirnya diselesaikan dengan menggunakan dengan

menggunakan bahan komposit yang bisa mendistribusikan panas secara efektif

dan tidak rentan terhadap keausan. Metode lain adalah dengan lubang pada rotor

itu sendiri, yang memungkinkan pengeluaran panas dan kotoran debu bisa

tersangkut dan tidak masuk mempengaruhi kinerja rem.

Tabel 2.3 Setandar piringan cakram berbahan besi cor


Mechanical Properties

2.1.13 Karakteristik material komposit Al-(SiC+Al2O3).

Dalam penelitian ini karakteristik yang akan dicari dari material komposit

Al-(SiC+Al2O3) yaitu meliputi: densitas, porositas , keausan, dan konduktifitas

termal.
1. Densitas

Densitas merupakan besaran fisis yaitu perbandingan massa (m) dengan

volume benda (V). Pengukuran densitas yang bebentuk padatan atau bulk

digunakan metoda Archimedes. Untuk menghitung nilai densitas material

komposit Al+(SiC+Al2O3) dipergunakan persamaan :

ms
  H 2 0
mb  (mg  mk )

dengan :
ρ = Densitas bulk (gram/cm3)

ms = massa sampel setelah dikeringkan di dalam oven (gr)

mg = massa sampel yang digantung di dalam air (gram)

mk = massa kawat penggantung sampel (gram)

mb = massa sampel setelah direndam didalam air / jenuh (gr)

ρH2O = massa jenis air = 1 gram/cm3

2. Porositas

Porositas dapat didefenisikan sebagai perbandingan antara jumlah volume

ruang kosong (rongga pori) yang dimiliki oleh zat padat terhadap jumlah dari

volume zat padat itu sendiri. Porositas suatu bahan pada umumnya dinyatakan

sebagai porositas terbuka atau apparent porosity, dan dapat dinyatakan dengan

persamaan.

mb - ms
p = x 100 %
m b - (m g - mk )
dengan :
p = porositas bahan (%)
ms = massa sampel setelah dikeringkan di dalam oven (gram)
mb = massa sampel setelah direndam didalam air / jenuh (gr)

mg = massa sampel yang digantung di dalam air (gram)

mk = massa kawat penggantung sampel (gram)

3. Keausan

Keausan didefinisikan sebagai kehilangan material secara progesif atau

pemindahan sejumlah material dari suatu permukaan sebagai suatu hasil

pergerakan relative antara permukaan tersebut dan permukaan lainnya.

Pembahasan mekanisme keausan pada material berhubungan erat dengan gesekan

(friction) dan pelumasan (lubrication) atau biasa disebut dengan Tribologi.

Keausan bukan merupakan sifat dasar material, melainkan respon material

terhadap sistrem luar (kontak permukaan). Material apapun dapat mengalami

keausan disebabkan mekanisme yang beragam. Untuk mengetahui harga keausan

menggunakan rumus dengan mengacu standar ASTM D 3702-94 yaitu :

𝑋1𝑎 + 𝑋1𝑏 + 𝑋1𝑐 + 𝑋1𝑑 − (𝑋2𝑎 + 𝑋2𝑏 + 𝑋2𝑐 + 𝑋2𝑑)


𝑊𝑅 =
4. 𝑇

Dimana: WR : keausan

X1 : tebal awal (mm)

X2 : tebal akhir (mm)

T : durasi (jam)

Gambar 2.11 Pengujian keausan


4. Konduktifitas termal

Konduksi adalah proses perpindahan panas dari suatu bagian benda padat

atau material ke bagian lainnya. Perpindahan panas secara konduksi dapat

berlangsung pada benda padat, umumnya logam. Jika salah satu ujung sebuah

batang logam diletakkan di atas nyala api, sedangkan ujung yang satu lagi

dipegang, bagian batang yang dipegang ini suhunya akan naik, walaupun tidak

kontak secara langsung dengan nyala api. Pada perpindahan panas secara

konduksi tidak ada bahan dari logam yang berpindah. Yang terjadi adalah

molekul-molekul logam yang diletakkan di atas nyala api membentur molekul-

molekul yang berada di dekatnya dan memberikan sebagian panasnya. Molekul-

molekul terdekat kembali membentur molekul molekul terdekat lainnya dan

memberikan sebagian panas αT/ nya, dan begitu seterusnya di sepanjang bahan

sehingga suhu logam naik.

Dengan menggunakan alat OSK 4565-A Themal Conductivity Measuring

Apparatus dengan rumus:

Lb La ⩟𝑡𝑅 𝐿𝑎 ⩟𝑡𝑅 𝐿𝑏
λ= 𝐿𝑏 La λa = ⩟𝑡𝑎 . 𝐿𝑅 . 𝜆𝑅 λb = . . 𝜆𝑅
. ⩟𝑡𝑏 𝐿𝑅
𝜆𝑏 𝜆𝑎

dimana :

La = Tebal ampel/ Spesimen yang diuji

Lb = Tebal Tembaga uji

ΔtR = (Δt1,2 + Δt2,3+Δt3,4+Δt7,8+Δt8,9+Δt9,10)/6

Δta = Nilai Δt3,4 – Nilai benda uji/ sampel

Δtb = Nilai Sampel/ benda uji - Δt7,8


Gambar 2.12 Pengujian konduktivitas termal

spesimen
Nilai konduktivitas termal suatu bahan menunjukkan laju perpindahan

panas yang mengalir dalam suatu bahan. Konduktivitas termal kebanyakan bahan

merupakan fungsi suhu, dan bertambah sedikit kalau suhu naik, akan tetapi

variasinya kecil dan sering kali diabaikan. Jika nilai konduktivitas thermal suatu

bahan makin besar besar juga panas yang mengalir melalui benda tersebut. Nilai

Konduktivitas thermal berbagai bahan diberikan pada tabel 2.4


Tabel 2.4. Konduktivitas thermal berbagai bahan

Bahan k(W/m.oC) Bahan k(W/m.oC)


Logam Bukan Logam
Perak 410 Kurasa 41.6
Tembaga 385 Magnesit 4,15
Aluminium 202 Marmar 2,08 - 2,94
Nikel 93 Batu pasir1,83
Besi 73 Kaca, Jendela 0,78
Nbaja karbon 43 Kayu 0,08
Timbal 35 Serbuk gergaji 0,095
Baja krom-nikel 16,6 Wol kaca 0,038
Emas 314 Karet 0,2
Polystyrene 0,15
Polyethylene 0,33
Polypropylene 0,16
Polyvinyl Chlorida 0,09
Kertas 0,166
Zat Cair Gas
Air raksa 8,12 Hidrogen 0,175
Air 0,556 Helium 0,141
Amonia 0,54 Udara 0,024
Minyak lumas SAE50 147 Uap air (jenuh) 0,0206
Freon 12 0,073 Karbondioksida 0,0146

Anda mungkin juga menyukai