Anda di halaman 1dari 23

BAHAN AJAR GGI UNTUK SESSI 5

A. Masa Kenozoikum
Pada zaman Tersier sebagian besar Indonesia merupakan daratan atau jembatan yang
menghubungkan antara daratan Australia dan Asia. Di tempat tertentu pengendapan terus
berlangsung dari masa Mesozoikum ke jaman Tersier, tanpa terganggu oleh orogenesa
Lamiri. Di tempat yang terganggu oleh orogenesa, cekungan sedimentasi di jaman Tersier
(kala Eosen) masih dangkal (menunjukkan fasies litoral).
Orogenesa Lamiri (siklus orogenesa akhir jaman Kapur), menyebabkan berakhirnya
transgresi (genang laut) masa mesozoikum. Orogenesa ini menyebabkan terjadinya
pegunungan yang tinggi dan luas (khususnya di daerah geosinklin Tethys dan Sirkum
Pasifik), serta mengakibatkan terjadinya susut laut (ingresi) di banyak bagian dunia. Pada
waktu itu beberapa jenis fauna marin jaman Kapur musnah, misalnya Rudist, Belemnit,
Ammonit, Sauria dan lain-lain.
Di Indonesia pengetahuan tentang masa Kenozoikum lebih banyak bila dibandingkan
dengan pengetahuan Pra-tersier. Hal ini karena sebagian besar (75%) dari permukaan daratan
Indoensia terdiri dari endapan-endapan yang berumur Kenozoikum.
Endapan Tersier pada umumnya berfasies laut, walaupun di pulau besar di jumpai
pula fasies daratan, paralik, dan fasies laut dalam. Batuan yang terdiri dari endapan-endapan
klastis seperti konglomerat, batu pasir breksi, batu lempung, napal dan gamping dengan fosil
fauna marin dari zona neritik dan litoral. Di samping itu diketemukan pula endapan-endapan
dari aktivitas gunung api yang berselingan dengan lapisan kenozoikum seperti lava, lahar,
breksi volkanis, dan tufa yang kesemuanya dapat terbentuk di darat maupun di laut.
Lapisan tersier bersifat geosinklin dan diendapkan pada geosinklin yang memanjang
dan sempit serta terpisah-pisah oleh punggung-punggung bawah laut. Dasar geosinklin
diperkirakan mengalami penurunan akibat gaya-gaya endogen, bukan karena berat beban
oleh akumulasi endapan di dalamnya.
Pada jaman Tersier dikenal dua siklus sedimentasi yaitu Paleogen dan Neogen.
Akibat genang laut dan susut laut siklus sedimentasi ini dapat dibagi menjadi kala Eosen,
Oligosen, Miosen, Pliosen.
Secara garis besar Indonesia terletak pada pertemuan dua sistem geosinklin Tethys
dan geosinklin sirkum Pasifik. Kedua geosinklin ini mempunyai pengaruh yang penting
terhadap morfologi kepulauan Indonesia pada jaman-jaman berikutnya serta mengakibatkan
Indonesia mempunyai sruktur geologi yang kompleks.
Cekungan-cekungan sedimentasi masa Kenozoikum di Indonesia dapat dibedakan :
a. Cekungan epikontinen (tepi daratan); meliputi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah,
paparan Sunda, Jawa bagian tengah dan paparan Sahul.
b. Cekungan antar gunung; meliputi daerah-daerah Umbilin, cekungan Paleogen sepanjang
bukit barisan, cekungan Timor bagian tengah, terban-terban Poso dan Tawaela di
Sulawesi Tengah.
c. Miogeosinklin; meliputi daerah Aceh, Jambi, Palembang, Jawa utara dan selatan,
Nusatenggara, Irian bagian utara dan barat, Kalimanatan bagian utara dan timur serta
tenggara.
d. Eugeosinklin; yang telah mengalami pelipatan dan sesar sungkup seperti di Timor dan
Seram.
Pada jaman Tersier cekungan sedimentasi meliputi daerah : (1) geosinklin Sumatera-
Jawa yang meliputi Aceh, Jambi, Palembang, Mentawai, Sumatera Barat, Jawa utara-selatan,
Sumba, Timor dan Tanimbar ; (2) geosinklin Sunda yang menutupi Kalimantan Utara dan
Tengah serta Kalimantan Timur dan Buru.
Geosinklin Sumatera-Jawa dan geosinklin Sunda dipisahkan oleh daratan Sunda.
Ujung timur geosinklin sunda kira-kira menempati Maluku Tengah dan bersambung ke arah
utara melalui pulau Halmahera dengan geosinklin Philipina dan ke arah timur laut melalui
pulau Misool dan Raja-Ampat bersambung dengan geosinklin Mariana, serta ke arah timur
melalui kepala burung Irian bersambung dengan geosinklin Papua. Geosinklin Papua
memisahkan daratan Australia dan daratan Papua, sedangkan daratan Philipina memisahkan
geosinklin Philipina dan geosinklin Sunda. Lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar / peta
14 dan 15.
Geosinklin yang menutupi Indonesia pada jaman Pra-tersier adalah ujung timur dari
geosinklin Tethys. Geosinklin ini pada jaman Mesozoikum memanjang tanpa terputus sejak
dari Spanyol - pegunungan Pyrenea – Yura – Alpina – Karpati – Kaukasus – Himalaya –
Birma - Indonesia. Oleh karena itu peristiwa orogenesa Lamiri di akhir jaman Kapur maka
geosinklin tersebut menjadi cekungan-cekungan yang terpisah oleh daratan atau punggung-
punggung bawah laut.
Sesudah berakhirnya orogenesa Lamiri, Indonesia termasuk daerah yang dikenal
dengan nama Indo-Pasifik. Daerah ini merupakan cekungan sedimentasi tersendiri yang
terjadi dari geosinklin Tethys karena pengaruh orogenesa Lamiri.
Pada masa Mesozoikum fauna marin geosinklin Tethys mempunyai arah evolusi yang
mirip antara satu dengan yang lainnya, tetapi sesudah orogenesa Lamiri fauna tersebut
mempunyai arah evolusi sendiri-sendiri dalam cekungan yang terpisah. Dengan kata lain
pada masa Mesozoikum fauna Indonesia dapat disamakan dengan fauna Eropa dalam
geosinklin Tethys, tetapi sesudah orogenesa Lamiri tidak dapat disamakan.
Endapan Tersier umumnya mempunyai fasies klastika dan terdiri batu pasir, batu
lempung, dan napal yang berulang kali berselingan satu dengan yang lainnya. Oleh sebab itu
untuk mengadakan persamaan dari satu cekungan sedimen satu dengan yang lainnya
mengalami kesulitan.
Berdasarkan kenyataan bahwa fauna marin di daerah Indo-Pasifik mempunyai arah
evolusi tersendiri, dan penasabahan (korelasi) lapisan Tersier mengalami kesulitan karena
ketebalan lapisan serta sering kali berselingan satu sama lainnya; maka penasabahan dan
penentuan umur lapisan Tersier di Indonesia dilakukan dengan cara-cara tersendiri.
Dasar-dasar paleontologi pembagian stratigrafi Indonesia untuk penasabahan dan
penentuan umur lapisan Tersier adalah:
1. Berdasarkan fosil foraminifera besar
Cara ini untuk pertama kali diajukan oleh Van der Vlerk dan Umbgrove (1927),
yang dikenal sebagai klasifikasi huruf Tersier. Klasifikasi ini disempurnakan tahun 1930
oleh Leupold dan Van der Vlerk, dan tahun 1947/1948 oleh MG Ruten dan Van der
Vlerk. Klasifikasi huruf Tersier ini disebut “sistem terbuka” artinya sistem yang berbeda
dengan sistem yang digunakan untuk klasifikasi Tersier di Eropa yaitu Eosen, Oligisen,
Miosen dan Pliosen.
Pembagian huruf lapisan Tersier di Indonesia dimulai dari huruf ”a” untuk
lapisan yang tertua sampai huruf ”h” untuk lapisan termuda. Adapun pembagiannya
seperti tabel 2.
Dari tabel 2 dapat dibaca bahwa pembagian Tersier Indonesia secara garis besar
adalah: (Bemmelen, 1970:86).
Tersier “a” bercirikan fosil Assilina, Flosculina, Camerina, Discocylina, dan
Pallatispira.
Tersier “b” bercirikan fosil sama dengan tersier “a” tanpa Assilina dan
Flosculina, tetapi ditambahkan Biplanispira, Pellatispira.

Tabel 2. Pembagian Tersier Menurut Huruf


Tersier “c” bercirikan fosil Camerina, Camerina fichteli-intermedia, sedangkan
foraminifera tersier “a” dan “b” sudah punah.
Tersier ”d” bercirikan fosil Camerina (sama dengan Tersier c), Cycloclypeus
oppenoorthi dan Lepidocyclina.
Tersier ”e” bercirikan fosil Lepidocyclina, Miogypsina dan spiroclypeus,
sedangkan Camerina tidak diketemukan. Pada mulanya Leupold dan Van der Vlerk
membagi Tersier ”e” menjadi lima jenjang, tetapi akhirnya ditentukan bahwa Tersier ”e”
1-4 menjadi sebuah jenjang, sedangkan Tersier ”e” 5 bercirikan fosil Flosculinella
globulosa.
Tersier ”f” bercirikan Cycloclypeus, Miogypsina, Lepidocyclina, sedangkan
Spiroclypeus tidak ada lagi. Adanya pembagian Tersier ”f1” dan Tersier ”f2.3” adalah
karena fosil Flosculinella bontangesis. Lebih lanjut adanya pembagian Tersier ”e5” dan
Tersier ”f1” orang kerap kali menyebut kedua jenjang tersebut adalah satu.
Tersier ”g” dan ”h” bercirikan tidak jelas bercirikan foraminifera.
Pembagiannya berdasarkan pada punahnya Miogypsina dan Lepidocyclina, tetapi
Cycloclypeus masih hidup sampai sekarang.
Dalam banyak hal sukar membedakan antara Tersier ”a” dan Tersier ”b”. Oleh
sebab itu orang menyebutnya Tersier ”ab”.
Berdasarkan pembagian Tersier di Indonesia, maka dapat dikorelasikan dengan
pembagian di Eropa, walaupun cara ini dianggap kurang teliti yaitu:
Tersier ”ab” sama dengan Eosen, Tersier ”c” dan ”d” sama dengan Oligosen,
Tersier ”e” dan ”f” sama dengan Meosen, dan Tersier ”g” dan ”h” sama dengan Pliosen.
2. Berdasarkan presentase fosil Moluska
Cara ini pertama kali diajukan oleh K.Martin tahun 1931, dengan
membandingkan jumlah fosil yang didapatkan pada saat itu dengan yang hidup di jaman
sekarang. Makin tua lapisan batuan tersebut makin kecil angka presentasenya. Hasil
penyelidikan disimpulkan seperti tabel 3.

Tabel 3. Pembagian Lapisan Kenozoikum Indonesia


Berdasarkan Persentase Fosil Molluska

Umur Persentase spesies sekarang


Kwarter Lebih dari 70
Pliosen 50 – 70
Miosen muda 20 – 50
Miosen tua 8 – 20
Eosen 0
(Sartono, 1970:48)

Lebih lanjut Oostingh tahun 1938 berdasarkan fosil Molluska membagi Tersier
Indonesia seperti pada tabel 4.
3. Berdasarkan angka presentase fosil Koral
Cara ini diajukan oleh Gerth (1931) dengan titik seperti yang digunakan
K.Martin. Hasil penyelidikannya dapat disimpulkan seperti tabel 5.
4. Berdasarkan fosil foraminifera Kecil
Cara ini diajukan oleh Glaesner tahun 1943 dengan bertitik tolak seperti yang
dilakukan K.Martin (fosil Molluska) dan Gerth (fosil Koral). Hasil yang diperoleh seperti
tabel.
Tabel 4. Pembagian Tersier Indonesia Berdasarkan
Fosil Molluska Menurut Oostingh

Umur Jenjang Fosil Penunjuk


Pleistosen Bantamian Turritella angulata bantamensis,
clavusmalingpingensis
Pliosen atas Sondean Turritella angulata cicumpeie-
nsis, terrebra verbeeki, Terebra
insulinidae, dan Conus sondeia-
nus
Pliosen bawah Cheribonean Turritella angulata acutacarinata
Miosen atas Ciodeng Turritella angulata cramatensis
Miosen tengah Preangerian Turritella angulata angulata,
Siphocypraea caput-viperae,
Vicarva verneuilli callosa
Miosen bawah Rembangian Turritella subulata
(Sartono, 1970:49)

Tabel 5. Pembagian Kenozoikum Indonesia


Berdasarkan Presentase fosil Koral

Umur Presentase spesies sekarang


Pleistosen – rasen 70 – 100
Pliosen, tersier h 50 – 70
Miosen, tersier g 30 – 50
Miosen, tersier f 10 – 30
Miosen, tersier e ? – 10
Oligosen, tersier c dan d 0-?
Eosen, Tersier a-b 0
(Sartono, 1970:50)
Tabel 6. Pembagian Endapan Kenozoiukum Berdasarkan Persentase Fosil
Foraminifera Kecil

Umur Persentase spesies sekarang


Pliosen –Pleistosen 70
Miosen atas 60 – 70
Miosen bawah 60
(Sartono, 1970:51)

Dewasa ini hasil penyelidikan foraminifera kecil masih sangat sedikit, antara
lain karena spesies tertentu belum diketahui secara pasti penyebaran vertikalnya. Oleh
sebab itu penggunaan cara ini harus lebih berhati-hati. Penggunaan yang penting fauna
foraminifera kecil adalah untuk mempersamakan jalur Paleontologi tertentu dalam
pencarian minyak bumi.
Selain cara-cara penentuan umur (pembagian lapisan Tersier Indonesia) seperti
di atas masih ada beberapa cara lain yang kurang begitu penting, sehingga dalam buku ini
tidak dikemukakan.
Seperti di daerah lain di dunia Kenozoikum Indonesia di bagi dalam 2 (dua)
jaman yaitu:
1. Jaman Tersier yang dibagi Sub jaman Paleogen (termasuk di dalamnya kala Eosen
dan Oligisen); dan sub jaman Neogen (termasuk di dalamnya kala Miosen dan
Pliosen).
2. Jaman Kwarter yang dibagi menjadi 2 kala yaitu kala Pleistosen dan kala Holosen.

1. Jaman Tersier
a. Sub jaman Paleogen (kala Eosen dan Oligosen)
Di pulau Jawa endapan Eosen diketemukan di pegunungan Selatan,
pegunungan Serayu, pegunungan Menoreh, daerah Tagoapu, Saringan, dan pulau
Kangean.
Di Cimandiri (selatan Sukabumi) endapan Eosen berupa batu pasir, napal
dengan fosil Camerina. Di Cikosan berupa serpih, dan batu pasir kwarsa. Di teluk
Ciletu (sebelah timur Pelabuhan Ratu), secara tidak selaras terletak di atas batuan
Pra-tersier dan di atasnya ditutupi oleh endapan Miosen yang disebut formasi
Ciletu. Formasi ini bagian bawah terdiri dari breksi, batu pasir, dan greauwacke
yang mengandung fragmen-fragmen sekis, basalt, trachit, dan andesit yang berasal
dari batuan Pra-tersier serta batuan beku hasil kegiatan Volkanisme Tersier tua.
Bagian atas dari formasi Ciletu terdiri dari batu pasir kwarsa, konglomerat, batu
lempung yang mengandung fosil tumbuhan dan batu bara.
Di Bajah (Banten Selatan) endapan Eosen ditandai adanya fosil Assilina,
Pellatispira, Discocyclina, dan Camerina ; sedangkan yang menunjukkan umur
Oligosen berupa fosil Cycloclypeus dan Lepidocyclinae. Formasi Bajah yang
berumur Eosen tua dapat dibedakan menjadi 2 fasies yaitu bagian utara dan selatan.
Fasies bagian utara terdiri dari endapan-endapan marin seperti batu lempung, napal,
batu pasir kwarsa, dan batu gamping foraminifera. Fasies bagian selatan berupa
endapan-endapan klastika yang terdiri dari batu pasir kwarsa, konglomerat, serpih,
batu lempung hitam, tufa dan lensa-lensa batu bara. Adanya perbedaan kedua fasies
tersebut menunjukkan pada kita bahwa di bagian selatan cekungan sedimentasi
lebih dangkal bila dibandingkan dengan bagian utara yang berupa laut.
Kemungkinan pula bahwa di barat daya Banten pada kala Eosen berupa daratan,
yang merupakan perpanjangan dari Bukit Barisan. Luas daratan ini tidak mencapai
pulau Christmas, karena batuan Eosen di pulau ini berupa batu gamping
foraminifera.
Di Bayat (selatan Klaten, Jawa Tengah) batuan Eosen terdiri dari 2
formasi yaitu : (1) bagian bawah (formasi Wungkal) terdiri dari batu gamping dan
batu pasir dengan fosil discocyclina, Camerina, dan Assilina ; (2) bagian bawah
(formasi gamping) terdiri dari napal dan batu gamping dengan fosil Camerina dan
Discocyclina.
Di Gamping (sebelah barat Yogyakarta) endapan Eosen ditandai batu
gamping dengan fosil Koral, Molluska, dan Foraminifera. Di pegunungan Serayu
bagian utara, diketemukan konglomerat, batu pasir yang mengandung fragmen-
fragmen sekis kristalin dan granit yang diperkirakan berasal dari daratan Pra
Tersier, serta serpih lempungan dengan fosil Globigerina, batu gamping dengan
fosil Camerina, Discocyclina, Pellatispira, dan Assilina. Di pegunungan Serayu
Selatan (daerah Nanggulan), endapan Eosen tua merupakan endapan yang paling
kaya fosil Indo-Pasifik. Endapan ini dapat dibedakan : (1) bagian bawah (lapisan
Axinea) berupa batu pasir kwarsa, napal, batu lempung, serpih dan lensa-lensa
lignit dengan fosil Molluska (diantaranya Axinea) ; (2) bagian tengah terdiri dari
napal pasiran dan lempung mengandung Molluska, Camerina, dan Discocyclina
jogjakartae ; (3) bagian atas tersusun oleh batu pasir tufan andesitik, batu lempung,
dan arkosa yang mengandung Molluska, Camerina, Pellatispira.
Di pegunungan Menoreh endapan Eosen berupa batu pasir, serpih lensa-
lensa batu bara dan batu gamping Camerina. Di daerah Lokulo (barat pegunungan
Menoreh) diketemukan batu pasir kwarsa, napal, konglomerat, batu lempung, dan
batu gamping yang mengandung Camerina, Discocyclina dan Assilina.
Di Sangiran diketemukan bongkah-bongkah batu gamping dengan fosil
Camerina, Discocyclina dan Pellatispira yang menunjukkan umur Eosen.
Atas dasar penyebaran endapan Eosen di pulau Jawa, dapat diperkirakan
bahwa Jawa bagian selatan berupa cekungan, sedangkan bagian utara berupa
daratan Sunda.
Di Aceh (pegunungan tengah) endapan Eosen dapat dibedakan menjadi :
(1) bagian bawah terdiri dari konglomerat, batu pasir kwarsa, serpih, selingan-
selingan batu gamping dengan fosil tumbuhan dan Molluska; (2) bagian atas berupa
batu gamping yang mengandung koral dan serpih mengandung fosil tumbuhan.
Di sekitar danau Singkarak endapan Paleogen terdiri dari serpih napalan
dengan sisipan breksi, konglomerat, arkosa yang disebut formasi breksi napal
dengan fosil fauna ikan dan Gastropodha.
Di Sumatera Selatan sampai sekarang belum diketemukan endapan
Paleogen. Diperkirakan bagian selatan pulau Sumatera merupakan bagian dari
daratan Sunda.
Di Kalimantan bagian barat dan tengah pada waktu itu berupa daratan,
sedangkan di tenggara, timur, dan utara digenangi oleh laut. Hal ini dibuktikan
adanya endapan-endapan yang terdiri : (1) di Kalimantan Barat dan Kalimantan
Tengah berupa batuan volkanik, konglomerat, arkosa, batu pasir, dan batu lempung.
Ke arah Kalimantan Tengah diketemukan sisipan napal dan batu gamping dengan
fosil foraminifera besar (Assilina, Camerina, dan Discocyclina). Di Kalimatan
Timur dan tenggara berubah menjadi fasies marin. Endapan marin Paleogen di
Kalimantan Tenggara diketemukan cekungan Kutai-Pasir-Barito-Bulungan, dan
punggungan-punggungan bawah laut Mangkaliat. Sifat endapannya menunjukkan
genang laut yaitu di bagian bawah terdiri dari batu-batuan kasar (konglomerat) dan
keatas berupa batu pasir, lempung dengan lensa-lensa batu bara, napal dan batuan
gamping. Di Kalimantan Timur laut dijumpai di cekungan Berau-Latung-Tidung,
dengan urutan lapisan kasar di bagian bawah dan ke atas berubah menjadi bahan-
bahan halus seperti napal dan batu gamping. Di Kalimantan Utara dan Serawak
endapan eosen berupa serpih, batu pasir batu lempung dengan fosil tumbuhan, dan
napal, batu gamping yang mengandung Cammerina dan Discocyclina.
Di Sulawesi endapan Paleogen, hubungan stratigrafinya tidak begitu jelas
karena pengaruh tektonik. Di lengan utara terdiri dari batu lempung dan batu
gamping dengan fosil Assilina, Camerina, dan Discocyclina, yang selanjutnya
disebut formasi Tinombo. Di lengan Timur berupa batu pasir kwarsa dan batu
gamping yang mengandung Discocyclina, Pellatispira dan Lepidocyclina. Di
Sulawesi Tengah (pegunugan Maroro) berupa serpih, konglomerat, batu pasir, napal
dan gamping. Di lengan selatan berupa konglomerat, kwarsit, rijang, batu lempung
lensa-lensa batu bara, napal dan batu gamping dengan fosil Discocyclina,
Pellatispira, Lepidocyclina dan Spiroclypeus, dan Miogypsina. Di Buton
(pegunungan Tobelo) yang dinamakan formasi Wani, endapan Paleogen terdiri dari
batu pasir, konglomerat dengan komponen-komponen yang berisi Globotruncana.
Di Maluku Selatan endapan paleogen diketemukan di pulau-pulau Seram,
Manokwari, Kur, Fadoh, Babar, Sermata, Leti dan Kaisar. Di Seram batuan Eosen
terdiri dari dua fasies yaitu : (1) fasies bathyal yang terletak sejajar dengan batuan
kapur atas dengan fosil Globotruncana ; (2) fasies litoral yang terdiri dari
konglomerat dan batu gamping mengandung Discocyclina, Pellatispira dan
Lepidocyclina, Alveolina, Cammerina, dan Globigerina eocanea. Di bagian barat
pulau Buru berupa batu gamping yang mengandung Cammerina dan Discocyclina.
Di kepulauan Kai berupa serpih, batu pasir, konglomerat, napal dan batu gamping
dengan fosil Discocyclina, Lacazinae dan Lepidocyclina. Di bagian barat laut
kepulauan Tanimbar terdiri dari batu pasir kwarsa, batu gamping mengandung
Cammerina dan Discocyclina.
Di Nusatenggara batuan paleogen terdapat di Timor, Roti, dan Raijua serta
pulau Sumba. Di Timor tersusun oleh batu pasir, batu lempung, konglomerat,
serpih, tufa, lensa-lensa batu bara, napal, batu gamping mengandung Cammerina
dan Discocyclina. Di Roti dan Raijua berupa batuan napal dan batu gamping
Cammerina dan Discocyclina. Di pulau Sumba terdiri dari arkosa, greauwacke,
konglomerat, napal, batu gamping karang, dan batu gamping dengan fosil Assilina
dan Discocyclina.
Di Irian Jaya batuan eosen dibedakan 2 fasies yaitu: (1) fasies batu
gamping foraminifera di wilayah pegunungan Jayawijaya mulai dari Kepala Burung
sampai ujung timur Irian (Port Moresby) ; (2) fasies Klastika gampingan di
pegunungan sepanjang pantai utara. Di Irian Timur (di sekitar Port Moresby) batuan
Eosen terdiri dari batu gamping Koral, tufa pasiran, dan batu pasir.
Berdasarkan penyebaran batuan Paleogen dapat dibuat gambaran sebagai
berikut :
Pada zaman kala Eosen ada suatu daratan yang menutupi Sumatera Tengah dan
Selatan, Malaya, Kalimantan Barat dan Tengah, Jawa bagian utara dan kepulauan
Nusatenggara (kecuali Sumba, Roti, dan Timor). Daratan ini dinamakan daratan
Sunda. Kalimantan timur laut, Sulawesi Utara, kepulauan Banggai, dan Sula juga
berupa daratan yang dinamakan daratan Philipina. Bagian tenggara Indonesia,
kepulauan Aru bersama Merauke bergabung dengan daratan Australia. Pulau Yapen
dan sebagian timur laut Irian merupakan daratan Papua. Daratan-daratan ini
dipisahkan oleh cekungan sedimntasi yaitu: (1) daratan Papua dan Australia
dipisahkan oleh Geosinklin Papua; (2) daratan Sunda dan Philipina dipisahkan
geosinklin Sunda; (3) daratan Philipina dan Papua dipisahkan oleh geosinklin
Philipina dan geosinklin Mariana. Di sebelah barat Sumatera dan selatan Jawa
berupa cekungan geosinklin Sumatera-Jawa. Lebih jelasnya wajah Indonesia pada
kala Eosen seperti pada peta 15.
Selanjutnya pada kala Oligosen (Paleogen Atas) terjadi transgresi,
sehingga cekungan di kala Eosen menjadi bertambah luas. Oleh sebab itu daratan
Sunda menjadi lebih sempit, tetapi masih memisahkan antara geosinklin Sumatera-
Jawa dengan laut Sunda. Di Maluku daratan Philipina terbenam sama sekali,
sehingga geosinklin Philipina bertambah luas. Sebaliknya daratan Australia
bertambah luas ke arah utara yang meliputi kepulauan Aru sampai pegunungan
Jayawijaya. Laut antara daratan Australia dan pulau Timor di kala Eosen berganti
sifat menjadi geosinklin Westralia (lihat peta 16).
b. Sub Jaman Neogen
Endapan Neogen di Sumatera barat diketemukan di daerah Meulaboh,
Sinkel, Bengkulen dan Kepulauan Mentawai. Lapisannya tidak tebal dan tidak
mengandung minyak bumi seperti di sepanjang pantai timur (cekungan minyak
Aceh, Jambi, dan Palembang), serta terlipat tidak begitu kuat dan tertutup secara
diskordan batuan Plio-Pleistosen. Di Sumatera Timur diketemukan dua cekungan
yaitu cekungan Aceh dan cekungan Jambi-Palembang, yang lapisannya sangat tebal
sampai ribuan meter.
Di Jawa cekungan Neogen terdapat disepanjang pantai utara dan selatan
yang dipisahkan oleh suatu geantiklinal (kira-kira meliputi Ciletu-Lokulo-Bayat-
dan pegunungan Andesit Tua). Jadi keadaan Jawa pada waktu itu mirip dengan
Sumatera yaitu cekungan minyak Aceh, Jambi, Palembang dipisahkan oleh
geantiklinal Proto-Barisan dengan cekungan Meulaboh-Sinkel-Bengkulen-
Mentawai.

Gambar 15. Cekungan Sedimentasi Kala Eosen


(Sartono, 1970)
Gambar 16. Cekungan Sedimentasi Kala Oligosen
(Sartono, 1970)
Endapan Neogen disepanjang pantai utara dan pantai selatan berfasies
marin neritik yang dicirikan oleh batu gamping yang tebal. Cekungan selatan
nampaknya bersambung dengan cekungan pantai barat Sumatera, sedangkan
cekungan utara bersambung dengan cekungan Jambi-Palembang-Aceh.
Akhir kala Miosen daerah fasies utara dan selatan Jawa terangkat dari
tempat-tempat tertentu diikuti dengan adanya pelipatan dan patahan dengan arah
barat timur. Pengangkatan bagian Jawa ini diikuti pula adanya kegiatan-kegiatan
volkanisme. Kegiatan ini sejak kala Oligosen dengan terbentuknya formasi Andesit
Tua sampai Plio-Pleistosen dengan terbentuknya formasi Andesit Muda.
Di Kalimantan Tengah dan Barat, karena orogenesa akhir Eosen fasies air
dangkal berubah menjadi daratan. Fasies selatan dan utara karena orogenesa antara
Paleogen dan Neogen terbagi menjadi cekungan-cekungan kecil dengan batas
punggungan-punggungan. Cekungan dan punggungan tersebut dari utara ke selatan
adalah: cekungan Kinibatang - punggung Simporna - cekungan Tidung -
punggungan Latong - cekungan Bulungan Berau - punggungan Mangkalihat -
cekungan Kutai pasir - punggungan Meratus - cekungan Barito. Adanya bentuk
cekungan dan punggungan menyebabkan terjadinya dua fasies yang berbeda yaitu:
(1) di atas puncak punggungan terdapat batu gamping dan batu gamping koral
dengan tebal beberapa ratus meter; (2) di dalam cekungan terdapat batu pasir,
lempung, dan batubara. Antara Kalimantan Barat (fasies barat) dan Kalimantan
Timur, Kalimantan Tenggara (fasies laut) tedapat fasies peralihan, yang
diketemukan di hulu sungai Mahakam.
Di Sulawesi endapan Neogen terdapat dalam cekungan-cekungan kecil
yang tersusun dari konglomerat, batu pasir, batu lempung, napal dan batu gamping.
Cekungan-cekungan itu adalah cekungan Mamuju (pantai barat Sulawesi Tengah),
cekungan Luwak (pantai selatan Lengan Timur), cekungan Singkang (pantai timur
Lengan Selatan), cekungan Molasse (Lengan Timur Sulawesi). Tebal sedimen
hanya beberapa ribu meter saja.
Di Maluku endapan Neogen diketemukan di pulau-pulau tertentu. Di
Misool batuan Miosen terdiri dari napal, batu pasir, batu gamping, dengan fosil
Flosculinella bontangensis, Lepidocyclina, Miogypsina, Trillina howchini, dan
Foraminifera kecil.
Di Timor endapan Neogen terdapat di cekungan tengah sebagai terban
sepanjang poros barat-timur, terdiri dari konglomerat, batu gamping konglomerat,
batu gamping berlapis, napal Globigerina, dan tufa. Di Sumba berupa batu
gamping, batu gamping karang, serpih, aglomerat, tufa, dan napal. Di Bali batuan
Neogen terdiri dari batu gamping sedangkan di Lombok selain batu gamping juga
bahan volkanik seperti aglomerat, tufa dan batu pasir tufa. Batuan semacam
terdapat di Jawa bagian selatan, sehingga kedua fasies di pulau tersebut merupakan
perpanjangan dari fasies Jawa bagian Selatan.
Di Irian akhir kala Oligosen, proses pengangkatan mulai bekerja, sehingga
sedimentasi berupa bahan-bahan klastik. Pengangkatan disusul genang laut di kala
Miosen, dengan ditandai adanya endapan batu gamping di atas endapan klastik.
Tanda-tanda genang laut ini dapat dilihat jelas di daerah-daerah Maluku, Sumatera,
Jawa, Nusatenggara, Kalimantan (Tenggara, Timur, dan Utara), geosinklin Papua
dan Philipina. Di kala Plio-Pleistosen intensitas proses pengangkatan mulai
bertambah, sehingga terjadi patahan-patahan dan lipatan-lipatan, seperti terjadinya
undak-undak sungai di Irian.
Berdasarkan penyebaran batu-batuan di wilayah Indonesia dapat diketahui
bahwa sesudah kala Oligosen (antara Paleogen dan Neogen) yaitu sesudah proses
pengangkatan, mulailah peristiwa transgresi di jaman Neogen yang mencapai
puncaknya pada kala Miosen. Di kala itu laut di Indonesia mencapai maksimum
pelebarannya selama jaman Tersier. Berakhir transgresi di jaman Neogen,
kemudian disusul oleh peristiwa regresi yang menyebabkan menyempitnya laut-laut
Pliosen, sehingga terbentuklah daratan-daratan Sulawesi, Irian, Jawa Timur bagian
Selatan, dan melebarnya daratan Sunda. Lebih jelasnya wajah wilayah Indonesia
pada Sub jaman Neogen (kala Meosen dan Pliosen) dapat dilihat pada peta 17 dan
18.

Gambar 17. Cekungan Sedimentasi Kala Miosen


(Sartono, 1970)

Gambar 18. Cekungan Sedimentasi Kala Pliosen


(Sartono, 1970)

2. Jaman Kwarter
Sesudah jaman Tersier, menyusul jaman Kwarter yang diawali dengan kala
Pleistosen dan berakhir pada kala Holosen. Pada kala Pleistosen banyak bagian dunia
yang dilanda oleh lapisan es yang tebal. Oleh karena itu jaman ini disebut jaman es
(jaman Diluvium).
Es di puncak-puncak gunung yang tinggi meluas ke lereng dan lembah-
lembah sekitarnya. Akibatnya adalah flora dan fauna yang berada di daerah tersebut
akan musnah atau terpaksa berpindah ke daerah yang bebas es (daerah yang lebih
panas). Flora dan fauna yang tak dapat menghindar dari kedinginan es akan musnah.
Lenyapnya flora dan fauna tertentu, kemudian disusul munculnya evolusi kehidupan
yang menyesuaikan terhadap pergantian lingkungan. Sebagai contoh fauna vertebrata
dari India Utara berpindah ke arah timur kira-kira jalan yang ditempuh sejajar dengan
lereng selatan pegunungan Himalaya, sehingga sampai di Birma. Dari Birma jalan
migrasi menuju arah timur dan timur laut yang akkhirnya sampai di daratan Tiongkok
dan jazirah Korea. Dari daerah terakhir ini jalan migrasi bercabang 2 yaitu yang
pertama melewati jembatan daratan menyeberangi selat Bering sampai di Alaska, yang
selanjutnya menyebar ke Amerika Utara dan juga Amerika Selatan. Jalan migrasi yang
kedua dari Korea melewati jembatan daratan sampai ke Jepang, Taiwan, Philipina, dan
akhirnya sampai pula di Sulawesi dan Kalimantan. Jalan migrasi dari Birma yang
menuju selatan dan tenggara melalui Malaya sampai di Sumatera, Jawa dan
Kalimantan.
Di daerah iklim dingin dapat dibedakan 4 zaman es besar (glasial), yang
diselingi 3 jaman yang relatif panas (Interglasial). Keempat jaman glasial itu adalah
Gunz, Mindel, Riss, dan Wurm. Jaman es ini di Indonesia pengaruhnya sangat jelas,
yaitu adanya tanda-tanda:
1. Adanya laut-laut dengan kedalaman dasarnya hampir merata di semua tempat
meliputi puluhan meter, yang sesuai dengan pendirian peneplain terendam. Laut-
laut itu adalah : laut Jawa dan laut Cina Selatan yang menghubungkan Kalimantan,
Jawa, Sumatera, dan Malaya ; sedangkan laut Arafuru menghubungkan Irian
dengan Australia.
2. Muara-muara sungai di Sumatera, Kalimantan, dan Bangka adalah bentuk estuaria,
yang menunjukkan gerakan turun pantai laut.
3. Adanya terumbu-terumbu koral yang terdapat di tepi laut-laut dangkal (paparan )
yang tebal. Koral yang hidupnya terbatas pada garis-garis pantai sampai kedalaman
maksimum 40 meter, maka menunjukkan bahwa dahulu terumbu koral tumbuh pada
garis pantai paparan. Sesudah paparan tergenang air pada jaman glasial, maka
terumbu koral tumbuh ke atas menuruti naiknya permukaan air laut.
4. Adanya spesies ikan di sungai Kalimantan Barat yang sama dengan sungai
Sumatera Timur, dan di Jawa sama dengan di Kalimantan Selatan, sehingga timbul
dugaan bahwa sungai-sungai tersebut dulunya termasuk dalam satu sungai.
5. Di dasar laut Jawa dan laut Cina Selatan terdapat lembah-lembah submarine, yang
dianggap sebagai suatu jaringan sungai yang melepas air peneplain. Jaringan sungai
tersebut adalah : yang bermuara ke Laut Cina Selatan (sekitar Anambas) berasal
dari Sumatera Timur dan Kalimantan Barat, sedangkan yang bermuara di sekitar
kepulauan Kangean berasal dari Jawa dan Kalimantan Selatan. Di laut Arafuru
sistem sungai paparan Sahul berjalan dari pegunungan Jayawijaya lereng selatan
menuju arah barat daya ke pulau Aru.
6. Adanya endapan timah sekunder di lepas pantai Bangka dan Belitung di muka
muara-muara sungai sekarang. Tempat endapan timah seolah-olah merupakan
perpanjangan sungai sekarang pada jaman Glasial (Sartono, 1970:73).
Pengaruh jaman es mengakibatkan terjadinya pulau-pulau (daratan) yang
relatif lebih luas bila dibanding dengan jaman sebelumnya (lihat gambar/peta 19).
Pada kala Pleistosen wilayah Indonesia dibedakan menjadi 3 bagian yaitu di
barat merupakan paparan Sunda, di timur merupakan paparan Sahul, dan di tengahnya
berupa laut dalam. Batas barat dari laut dalam bagian tengah ini adalah antara Philipina
dan kepulauan Talaud, antara Sulawesi dan Kalimantan, terus ke selatan sampai sebelah
timur kepulauan Kangean, dan akhirnya ke selat Lombok. Garis pantai timur paparan
sunda ini, kira-kira bersamaan dengan garis batas zoogeografi yang disebut garis
Wallace.
Gambar 19. Cekungan Sedimentasi Kala Pleistosen
(Sartono, 1970)
Penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa garis Wallacea hanya berlaku bagi
kala Holosen, tetapi tidak menjadi batas propinsi fauna Pleistosen. Hal ini terbukti
diketemukannya : (1) fosil Stegodon trigonocephalus florensis Hooijer di Flores tahun
1957, (2) fosil Stegodon timorensis sartono di Timor tahun 1964, (3) fosil rahang
bawah stegodon di Sumba tahun 1978, (4) fosil gigi Stegodon di Sulawesi selatan tahun
1978 (Depdikbud, 1976 :71). Dengan diketemukan fosil stegodon menunjukkan bahwa
binatang tersenut yang asalnya dati India Utara (daerah Siwalik) semula diperkirakan
bermigrasi melalui Birma dan Malaya dan berhenti di Jawa. Bahkan binatang tersebut
yang melalui jembatan Birma, Tiongkok, Korea, Jepang, Taiwan, Philipina, dan
berhenti di Kalimantan ; ternyata terus sampai di Sulawesi Selatan.
Berakhirnya kala Diluvium, kemudian memasuki kala Holosen (kala Post-
glasial), yaitu jaman selama manusia hidup sekarang merupakan sebagian dari kala
Holosen.
Tanda-tanda yang ditinggalkan jaman es terakhir yaitu Wurm, paling jelas
dapat dilihat adanya undak-undak sepanjang sungai Bengawan Solo pada tempat
penerobosan pegunungan Kendeng. Dalam undak-undak tersebut diketemukan fauna
Vertebrata Ngandong dan manusia Purba Homo soloensis. Undak-undak sungai terjadi
waktu penurunan permukaan air laut, bersamaan dengan pengunduran pantai laut.
Kejadian ini mengakibatkan pula pengikisan lebih lanjut pada paparan Sunda dan
paparan Sahul.
Dalam kala Post-glasial es mencair kembali dan mengakibatkan permukaan
air laut naik, termasuk laut Indonesia. Hal ini mengakibatkan pula tergenangnya
kembali paparan Sunda oleh laut Jawa dan laut Cina Selatan, dan juga terbenamnya
paparan Sahul oleh laut Arafuru, serta makin dalamnya laut di daerah Maluku. Dengan
demikian daratan-daratan di Indonesia pada kala Pleistosen terpecah-pecah oleh laut
pada kala Post-glasial sehingga penyebaran dan bentuk wilayah Indonesia seperti
sekarang ini.
Perubahan-perubahan batas pantai dan bentuknya pulau-pulau Indonesia
sampai saat ini masih berlangsung. Perubahan ini karena bertambahnya daratan muara-
muara sungai oleh hasil kikisan daratan yang kemudian diendapkan di muara sungai;
atau oleh akumulasi batuan yang dihasilkan oleh gunung api. Di samping itu juga
karena semakin dangkalnya selat dan laut oleh kekuatan endogen, atau karena pengaruh
tenaga-tenaga geologi yang lain sehingga selalu merubah bentuk permukaan bumi
Indonesia.

B. Rangkuman dan Tugas

Rangkuman
Berdasarkan penyebaran batuan dengan umur tertentu dapat diperoleh gambaran
perkembangan geologi Indonesia (perubahan bentuk daratan dan laut) dari jaman Pra-
kambrium sampai jaman Kwarter.
1. Pada jaman Pra-kambrium wilayah Indonesia berupa daratan besar yang terdiri dari
batuan sekis kristalin yang dinamakan daratan Aequinoctia. Di daratan ini cekungan
sedimentasi bersifat bukan geosinklin.
2. Jaman Kambrium daratan Aequinoctia mulai berkurang karena terbentuknya geosinklin
Tasmania di bagian timur Indonesia.
3. Daratan Aequinoctia pada jaman Silur makin berkurang karena geosinklin Tasmania
bertambah luas dan bersambung dengan palung Papua.
4. Pada jaman Devon daratan Aequinoctia makin berkurang lagi karena sebagian Irian
berfungsi sebagai geosinklin. Geosinklin Tasmania masih tetap ada dan bagian barat
Australia (perbatasan Australia dengan pulau Timor) terbentuk geosinklin Westralia.
Kalimantan Tengah berupa palung Anambas dan bersambung dengan laut ke arah barat
laut antara Malaka dan Sumatera.
5. Pada jaman Karbon geosinklin yang terbentuk pada jaman sebelumnya mulai menghilang
seperti geosinklin Weatralia lenyap, tetapi daerah antara Sumatera dan Kalimantan
berubah menjadi palung Anambas.
6. Pada jaman Perm geosinklin yang ada pada jaman sebelumnya tetap ada, hanya
pelamparannya yang mengalami perubahan. Palung Anambas aberfungsi sebagai
geosinklin Danau bertambah luas. Daerah lain di Indonesia masih berupa daratan
Aequinoctia.
7. Geosinklin Papua pada jaman Trias berubah menjadi daratan, geosinklin Tasmania
menyempit, sedangkan geosinklin Danau dan geosinklin Westralia dihubungkan oleh
geosinklin Timor-Sulawesi (geosinklin Banda), yang termasuk satu sistem
geosinklinTethys.
8. Pada jaman Yura terbentuk beberapa geosinklin baru. Geosinklin Papua yang pada jaman
Trias berupa daratan, berfungsi kembali sebagai geosinklin lagi. Geosinklin Westralia,
geosinklin Banda dan geosinklin Danau masih tetap ada dan makin meluas. Geosinklin
Sumatera-Jawa juga mulai terbentuk. Dengan adanya geosinklin-geosinklin di Indonesia,
berarti merubah daratan Indonesia menjadi 3 bagian yakni daratan Sunda, daratan
Philipina (termasuk Irian Utara) dan daratan Australia oleh palung Anambas, geosinklin
Banda, dan geosinklin Papua.
9. Pada jaman Kapur timbul geosinklin baru seperti geosinklin Mariana dan geosinklin
Birma. Geosinklin Danau mulai menyempit, sedangkan geosinklin Tasmania muncul
kembali. Sementara itu geosinklin Sumatera-Jawa, Banda dan geosinklin Papua masih
tetap ada, dengan pola yang berbeda (lebih luas) bila dibanding dengan jaman
sebelumnya. Daratan philipina yang menjadi satu dengan Papua, terbagi menjadi 2 yakni
daratan Philipina dan daratan Papua oleh geosinklin Mariana.
10. Pada sub jaman Paleogen di kala Eosen daratan Sunda menutupi Sumatera Tengah dan
Selatan, Malaya, Kalimantan Barat dan Tengah, Jawa bagian utara dan Nusatenggara
(kecuali Sumba, Roti, dan Timor). Daratan Philipina menutupi Kalimantan Timur Laut,
Sulawesi Utara, Kep. Banggai, dan Sula. Kep. Aru dan Merauke bergabung dengan
daratan Australia, sedangkan pulau Yapen dan sebagian timur laut Irian berupa daratan
Papua. Daratan-daratan ini dipisahkan : daratan Papua dengan Australia oleh geosinklin
Papua, daratan Sunda dan Philipina oleh geosinklin Sunda, daratan Philipina dan Papua
oleh geosinklin Philipina dan Mariana. Di sebelah barat Sumatera dan selatan Jawa
berupa geosinklin Sumatera – Jawa. Pada kala Oligosen cekungan Eosen bertambah luas,
sehingga daratan Sunda menjadi lebih sempit, daratan Philipina di Maluku terbenam.
11. Sub jaman Neogen yakni kala Miosen, peristiwa transgresi mencapai puncaknya,
sehingga geosinklin kala Oligosen mencapai pelebaran maksimum. Pada kala Pliosen
geosinklin yang terbentuk kala Miosen masih tetap ada, tetapi mulai menyempit bahkan
geosinklin Tasmania sudah lenyap. Daratan Sunda mulai melebar dan daratan-daratan
baru mulai terbentuk seperti daratan Sulawesi, Irian dan Jawa Timur bagian selatan.
12. Pada awal jaman Kwarter (kala Pleistosen) daratan (pulau-pulau) relatif lebih luas bila
dibandingkan dengan kala Pliosen, bahkan terjadi jembatan-jembatan daratan.
Penyebaran geosinklin di Indonesia bagian barat relatif sama dengan kala Pliosen,
sedangngkan di Indonesia bagian timur (utara Papua) terbentuk geosinklin Carolina.
Daratan Papua dan daratan Australia menjadi satu membentuk daratan yang luas (paparan
Sahul). Akhir Pleistosen terjadi peristiwa glasiasi (jaman es mencair), sehingga paparan
Sunda dan paparan Sahul tergenang oleh air dan sebagian menjadi laut serta makin
dalamnya laut yang memisahkan paparan Sunda dan paparan Sahul. Pada kala berikutnya
yaitu kala Holosen bentuk penyebaran daratan (pulau-pulau) dan laut wilayah Indonesia
seperti keadaan sekarang ini.
Tugas
1. Bagaimana bentuk wilayah Indonesia dari jaman ke jaman dapat dianalisis?
Jelaskan!
2. Di Indonesia bagian mana batuan yang berumur Pra-Kambrium didapatkan ?
3. Di Sulawesi bagian mana batuan Trias ditemukan dan fosil apa yang mencirikan
di masing-masing tempat tersebut !
4. Mengapa pulau Timor sangat menarik untuk dipelajari secara geologis ? Jelaskan
!
5. Di Jawa endapan kapur terdapat di mana dan fosil apa yang mencirikannya ?
6. Pembagian darat dan laut wilayah Indonesia pada jaman Kapur hampir sama
luasnya. Daratan dan laut manakah yang menempati wilayah Indonesia pada
waktu itu ?
7. Apakah yang dimaksud dengan sistem terbuka klasifikasi huruf Tersier di
Indonesia?
8. Mengapa bagi kita sukar untuk menasabahkan/mengkorelasikan berbagai deret di
Indonesia dengan yang ada di Eropa ?
9. Bagaimana pembagian lapisan Kenozoikum Indonesia berdasarkan fosil Molluska
oleh K. Martin ?
10. Tunjukkan bukti-bukti yang memperkuat pendapat bahwa jaman es terjadi pula di
Indonesia ?

Anda mungkin juga menyukai