Anda di halaman 1dari 17

MODEL PENDIDIKAN KARAKTER MENURUT ADAT DAN BUDAYA INDONESIA DI

SEKOLAH FORMAL

Diusulkan oleh :

1. Bayu Ardhiansyah (3201418068)

JURUSAN GEOGRAFI

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pendidikan pada hakikatnya adalah upaya secara sadar dari manusia untuk meningkatkan kualitas
seutuhnya, seimbang antara jasmani dan rohani yang berbudi pekerti luhur, terampil, cerdas dan
bertanggung jawab kepada Islam, masyarakat dan bangsa.

Dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003, pada Bab II, pasal 3 juga dijelaskan bahwa “Pendidikan
Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.

Berdasarkan pernyataan di atas dapat kita ketahui bahwa pada dasarnya tujuan dari sebuah pendidikan
ada 2, yaitu membantu manusia untuk menjadi cerdas dan pintar (smart), dan membantu mereka
menjadi manusia yang baik (good).

Menjadikan manusia cerdas dan pintar, bisa jadi mudah melakukannya, tetapi menjadikan manusia agar
menjadi orang yang baik dan bijak, tampaknya jauh lebih sulit atau bahkan sangat sulit.Dengan demikian,
sangat wajar apabila dikatakan bahwa problem moral merupakan persoalan akut atau penyakit kronis
yang mengiringi kehidupan manusia kapan dan di mana pun.

Sebagaimana yang kita ketahui, akhir-akhir ini telah terjadi berbagai macam peristiwa negatif di
kalangan anak bangsa yang menunjukkan adanya dekadensi moral. Adanya kejadian-kejadian seperti
pembunuhan, kekerasan, pemerkosaan, penggunaan obat-obatan terlarang dan sejumlah kejahatan
lainnya menunjukkan bahwa bangsa kita sedang mengalami krisis moral.

Kenyataan tentang akutnya problem moral inilah yang kemudian menempatkan pentingnya
penyelengaraan pendidikan karakter. Untuk itulah kemudian mulai tahun 2001/2002 pendidikan
karakter yang pada waktu itu lebih dikenal dengan sebutan pendidikan budi pekerti secara formal mulai
dilaksanakan di seluruh jalur dan jenjang pendidikan dengan harapan bahwa proses menjadikan
manusia yang tidak hanya pintar (smart) melainkan juga baik (good) bisa dapat terwujud. Secara
informal pendidikan karakter sebenarnya sudah ditanamkan lebih awal/dini, bahkan sejak seorang anak
baru dilahirkan.Salah satu contoh mengumandangkanadzan ditelinga kanan dan iqamah ditelinga kiri
pada saat bayi baru lahir sudah menunjukkan adanya penanaman pendidikan karakter. Idealnya
penanaman pendidikan karakter yang dimulai sejak dini ini akan mampu mencetak manusia-manusia
yang berbudi pekerti luhur. Namun pada kenyataannya saat ini kita masih banyak menyaksikan
tindakan-tindakan amoral yang telah dilakukan oleh anak bangsa.

Untuk itulah kita perlu menyadari bahwa proses pembentukan manusia yang seutuhnya (smart and
good) merupakan hal yang tidak mudah dan tidak bisa didapat secara instan. Hal ini membutukan
partisipasi dan dukungan dari berbagai pihak (baik keluarga, sekolah dan masyarakat) agar pendidikan
karakter bisa terlaksana dengan baik dan membawa hasil sesuai harapan bersama.

Menurunnya kualitas moral dalam kehidupan manusia Indonesia dewasa ini, terutama di kalangan siswa,
menuntut sekolah dituntut memainkan peran dan tanggungjawabnya untuk menanamkan dan
mengembangkan nilai-nilai yang baik dan membantu para siswa membentuk dan membangun karakter
mereka dengan nilai-nilai yang baik.Pendidikan karakter diarahkan untuk memberikan tekanan pada
nilai-nilai tertentu seperti rasa hormat, tanggungjawab, jujur, peduli, dan adil serta membantu siswa
untuk memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan mereka sendiri.

Pemahaman terhadap konsep pendidikan karakter dan model-model penyampaian pendidikan karakter
merupakan dua hal penting untuk dikaji guna dijadikan sebagai dasar dan referensi dalam membantu
keberhasilan terlaksananya pendidikan karakter bagi anak bangsa.Berdasarkan hal tersebut, penulis
bermaksud untuk membahas tentang Konsep dan Model-Model Pendidikan Karakter.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalah diatas, penulis memaparkan beberapa rumusan masalah sebagai
berikut :

1.Bagaimana Metode Pendidikan Karakter Adat Batak Terkait Pendidikan Karakter ?

2.Bagaimana Metode Pendidikan Karakter Adat Jawa Terkait Pendidikan Karakter ?

3.Bagaimana Metode Pendidikan Karakter Adat Madura Terkait Pendidikan Karakter ?

4.Bagaimana Metode Pendidikan Karakter Adat Bugis Terkait Pendidikan Karakter ?

5. Bagaimana Penerapan Metode Pendidikan Karakter Menurut Adat dan Budaya Indonesia di
Pendidikan formal ?

1.3 Tujuan Pembahasan

Adapun tujuan pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui metode yang tepat untuk pendidikan karakter di Indonesia

2. Untuk mendeskripsikan konsep pendidikan karakter menurut adat dan budaya Indonesia

3. Untuk menjelaskan model-model Pendidikan Karakter yang tepat bagi pendidikan Indonesia

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pendidikan
Dalam dunia pendidikan, terdapat dua istilah yang hampir sama bentuknya, yaitu paedagogie dan
paedagogiek. Paedagogie artinya pendidikan, sedangkan paedagogiek berarti ilmu pendidikan.Pedagogik
atau ilmu pendidikan ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki, merenungkan tentang gejala-gejala
perbuatan mendidik. Pedagogik berasal dari kata Yunani paedagogia yang berarti “pergaulan dengan
anak-anak”[2]

Dengan kata lain, pendidikan merupakan suatu aktivitas untuk mengembangkan seluruh aspek
kepribadian manusia yang berjalan seumur hidup. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ki Hajar
Dewantara, tokoh pendidikan Indonesia, beliau mengatakan bahwa “Pendidikan adalah upaya untuk
memajukan budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek) dan jasmani anak didik.”

Lebih jelasnya, berikut akan dipaparkan mengenai pengertian pendidikan menurut para ahli:

- Soegarda Poerbakawatja dalam “Ensiklopedi Pendidikan” menguraikan pengertian pendidikan


sebagai “semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya,
pengalamanya, kecakapannya serta keterampilannya kepada generasi muda, sebagai usaha
menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya, baik jasmaniah maupun rohaniah”.[3]

- Menurut Sully, “Pendidikan ialah menyucikan tenaga tabi’at anak-anak, supaya dapat hidup
berbudi luhur, berbadan sehat serta berbahagia”.

- Herbert Spencer mengungkapkan bahawa, “pendidikan ialah menyiapkan manusia, supaya hidup
dengan kehidupan yang sempurna”.[4]

Dari beberapa definisi diatas, maka pendidikan dapat difahami sebagai bentuk aktivitas dan usaha
manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina potensi-potensi pribadinya, baik
pribadi rohani (pikir, rasa, karsa, cipta dan budi nurani) maupun jasmaninya (panca indera dan
keterampilan-keterampilan).

Pentingnya sebuah pendidikan dijelaskan dalam Al-Qur‟an QS Al-Alaq ayat 1-5:

Artinya :bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan
perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.[5]

Dari ayat ini jelas, bahwa agama Islam telah mendorong umatnya senantiasa belajar dan menjadi umat
yang pandai, dimulai dengan belajar baca tulis dan diteruskan dengan belajar berbagai macam ilmu
pengetahuan lainnya.

2.2 Karakter

Istilah karakter, kata karakter berasal dari bahasa latin “kharakter”, “kharassein”, “kharax”, dalam
bahasa Inggris: character dan Indonesia “karakter”, Yunani character, dari charassein yang berarti
membuat tajam, membuat dalam. Dalam kamus Poerwadaminta, karakter diartikan sebagai tabiat,
watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak dan budi pekerti yang membedakan seseorang dengan orang lain.
Sedangkan menurut Kamus Bahasa Indonesia karakter diartikan sebagai watak, tabiat, pembawaan,
kebiasaan.[6]

Sedangkan secara terminologi, istilah karakter diartikan sebagai sifat manusia pada umumnya dimana
manusia mempunyai banyak sifat yang tergantung dari faktor kehidupannya sendiri.Karakter adalah sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang. Definisi dari
“The stamp of individually or group impressed by nature, education or habit. Karakter merupakan nilai-
nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia,
lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan
berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.[7]

Sedangkan Imam Ghazali menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan akhlak, yaitu spontanitas
manusia dalam bersikap, atau perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika
muncul tidak perlu dipikirkan lagi. Hermawan Kertajaya, mendefinisikan karakter sebagai “ciri khas”
yang dimiliki oleh suatu benda atau individu.Ciri khas tersebut adalah asli, dalam artian tabiat atau
watak asli yang mengakar pada kepribadian benda atau individu tersebut, dan merupakan mesin
pendorong bagaimana seseorang bertindak, bersikap, berujar, serta merespon sesuatu.[8]

Berikut merupakan beberapa pengertian karakter :

1. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, karakter memiliki arti “watak, tabiat, pembawaan, kebiasaan.

2. Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Dekdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi
pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter, adalah
berkepribadian, berperilaku, bersifat, dan berwatak.

3. Menurut Ditjen Mandikdasmen-Kementrian Pendidikan Nasional, karakter adalah cara berpikir dan
berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup
keluarga,masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang ber arakter baik adalah individu yang bisa
membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.

4. W.B. Saunders, (1977: 126) menjelaskan bahwa karakter adalah sifat nyata dan berbeda yang
ditunjukkan oleh individu, sejumlah atribut yang dapat diamati pada individu.

5. Gulo W, (1982: 29) menjabarkan bahwa karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak etis
atau moral, misalnya kejujuran seseorang, biasanya mempunyai kaitan dengan sifat-sifat yang relatif
tetap.

6. Kamisa, (1997: 281) mengungkapkan bahwa karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi
pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain, tabiat, watak. Berkarakter artinya mempunyai
watak, mempunyai kepribadian.

7. Wyne mengungkapkan bahwa kata karakter berasal dari bahasa Yunani “karasso” yang berarti “to
mark” yaitu menandai atau mengukir, yang memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan
dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Oleh sebab itu seseorang yang berperilaku tidak jujur, kejam
atau rakus dikatakan sebagai orang yang berkarakter jelek, sementara orang yang berprilaku jujur, suka
menolong dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia. Jadi istilah karakter erat kaitannya dengan
personality(kepribadian) seseorang.

8. Alwisol menjelaskan pengertian karakter sebagai penggambaran tingkah laku dengan menonjolkan
nilai (benar-salah, baik-buruk) baik secara eksplisit maupun implisit. Karakter berbeda dengan
kepribadian kerena pengertian kepribadian dibebaskan dari nilai. Meskipun demikian, baik kepribadian
(personality) maupun karakter berwujud tingkah laku yang ditujukan kelingkungan sosial, keduanya
relatif permanen serta menuntun, mengerahkan dan mengorganisasikan aktifitas individu.[9]

Menurut Lickona, karakter berkaitan dengan konsep moral (moral knowing), sikap moral (moral feeling)
dan perilaku moral (moral behavior).Karakter didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan
untuk berbuat baik dan melakukan perbuatan kebaikan.[10]

Karakter didapatkan dan dapat dilihat dari refleksi sikap seseorang dalam kehidupannya, jika ia banyak
berbuat kebaikan maka ia dinilai berkarakter baik, dan sebaliknya orang yang berbuat jahat dinilai
berkarakter buruk. Semua penilaian tersebut tak lepas dari cara pandang orang lain terhadap sikap-sikap
yang ditunjukan oleh diri orang yang bersangkutan.

Dari beberapa penjelasan diatas dapat difahami, bahwasannya pendidikan karakter ialah upaya sadar
dan sungguh-sungguh dari seorang guru untuk mengajarkan nilai-nilai kepada para siswanya. Dan
individu yang berkarakter baik ialah individu yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap
Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya
dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi, dan
motivasinya (perasaannya).

Dalam kaitannya dengan hal ini, maka sikap/karakter atau budi pekerti telah mengandung lima rumusan
atau jangkauan atau integritas sebagai berikut:

1. Sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan Tuhan

2. Sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan diri sendiri

3. Sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan keluarga

4. Sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan masyarakat dan bangsa

5. Sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan alam sekitar.

2.3 Konsep Pendidikan Karakter di Indonesia Saat ini

Konsep pendidikan karakter saat ini seakan-akan menjadi hal yang baru. Padahal jika kita memahami isi
dari Undang-undang Sisdiknas nomor 20 tahun 2003, di sana dijelaskan tentang definisi sebuah
pendidikan. Dalam rumusan definisi tersebut, secara jelas tersurat tentang adanya konsep penanaman
pendidikan karakter.
Dalam UU nomor 20 tahun 2003 disebutkan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Jika dipahami lebih jauh, dalam UU ini sudah mencakup pendidikan karekter. Dalam kalimat terakhir dari
defenisi pendidikan dalam UU tentang Sisdiknas ini, yaitu memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.

Selain bagian dari defenisi pendidikan di Indonesia, bagian kalimat tersebut juga menggambarkan tujuan
pendidikan yang mencakup tiga dimensi.Yaitu dimensi ketuhanan, pribadi dan sosial.Artinya, pendidikan
bukan diarahkan pada pendidikan yang sekuler, bukan pada pendidikan individualistik, dan bukan pula
pada pendidikan sosialistik.Tapi dari defenisi pendidikan ini, pendidikan yang diarahkan di Indonesia itu
adalah pendidikan mencari keseimbangan antara ketuhanan, individu dan sosial.

Selain tergambar jelas dalam Undang-undang Sisdiknas, konsep pendidikan karakter juga dirumuskan
dalam Sarasehan Nasional Pendidikan Budaya dan Karakter yang dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 14
Januari 2010. Hasil pertemuan tersebut merumuskan hal-hal sebagai berikut:[14]

a. Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari
pendidikan nasional secara utuh

b. Pendidikan budaya dan karakter bangsa harus dikembangkan secara komprehensif sebagai proses
pembudayaan. Oleh karena itu, pendidikan dan kebudayaan secara kelembagaan perlu diwadahi secara
utuh.

c. Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah,
masyarakat, sekolah, dan orang tua.

d. Dalam upaya merevitalisasi pendidikan budaya dan karakter bangsa diperlukan gerakan nasional
guna menggugah semangat kebersamaan dalam pelaksanaan di lapangan.

Kementrian pendidikan Nasional juga telah menyatakan ada Sembilan pilar pendidikan karakter.
Kesembilan pilar tersebut meliputi:

1) Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya

2) Kemandirian dan tanggung jawab

3) Kejujuran/amanah dan diplomatis

4) Hormat dan santun

5) Dermawan, suka tolong menolong dan gotong royong/kerjasa sama

6) Percaya diri dan kerja keras


7) Kepemimpinan dan keadilan

8) Baik dan rendah hati

9) Toleransi, kedamaian, dan kesatuan

Untuk pelaksanaan pendidikan karakter, para ahli pendidikan Indonesia umumnya sudah bersepakat
bahwa pendidikan karakter sebaiknya dimulai sejak usia anak-anak (golden age), karena usia ini terbukti
sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Prof Muchlas Samani
mengatakan bahwa menurut hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan
orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8
tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Oleh karena itu sudah
sepatutnya pendidikan karakter dimulai dalam lingkungan keluarga yang merupakan lingkungan awal
bagi pertumbuhan anak.

2.4 Model-ModelPendidikan Karakter

Menurut Nurul Zuriah ada empat model pendidikan karakter yang bisa dikembangkan disebuah lembaga
pendidikan, diantaranya: [15]

1. Model Otonomi

Model otonomi yang memposisikan pendidikan karakter sebagai sebuah mata pelajaran tersendiri
menghendaki adanya rumusan yang jelas seputar standar isi, kompetensi dasar, silabus, rencana
pembelajaran, bahan ajar, metodologi dan evaluasi pembelajaran. Jadwal pelajaran dan alokasi waktu
merupakan konsekuensi lain dari model ini. Sebagai sebuah mata pelajaran tersendiri pendidikan
karakter akan lebih terstruktur dan terukur. Guru mempunyai otoritas yang luas dalam perencanaan dan
membuat variasi program karena ada alokasi waktu yang dikhususkan untuk itu.

Namun demikian model ini dengan pendekatan formal dan struktural kurikulum dikhawatirkan lebih
banyak menyentuh aspek kognitif siswa,tidak sampai pada aspek afektif dan perilaku. Model seperti ini
biasanya mengasumsikan tanggung jawab pembentukan karakter hanya ada pada guru bidang studi
sehingga keterlibatan guru lain sangat kecil. Pada akhirnya pendidikan karakter akal gagal karena hanya
mengisi intelektual siswa tentang konsep-konsep kebaikan, sementara emosional dan spiritualnya tidak
terisi.

2. Model Integrasi

Adapun model kedua yang mengintegrasikan pendidikan karakter dengan seluruh mata pelajaran
ditempuh dengan paradigma bahwa semua guru adalah pengajar karakter (character educator).Semua
mata pelajaran diasumsikan memiliki misi moral dalam membentuk karakter positif siswa.Dengan model
ini maka pendidikan karakter menjadi tanggung jawab kolektif seluruh komponen sekolah.Model ini
dipandang lebih efektif dibandingkan dengan model pertama, namun memerlukan kesiapan, wawasan
moral dan keteladanan dari seluruh guru.Satu hal yang lebih sulit dari pada pembelajaran karakter itu
sendiri. Pada sisi lain model ini juga menuntut kreatifitas dan keberanian para guru dalam menyusun
dan mengembangkan silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).

3. Model Ekstrakurikuler

Model ketiga yang menawarkan pelaksanaan pendidikan karakter melalui sebuah kegiatan di luar jam
sekolah dapat ditempuh melalui dua cara. Pertama melalui suatu kegiatan ekstrakurikuler yang dikelola
oleh pihak sekolah dengan seorang penanggung jawab.Kedua, melalui kemitraan dengan lembaga lain
yang memiliki kapabilitas dalam pembinaan karakter.

Model ini memiliki kelebihan berupa pengalaman kongkret yang dialami para siswa dalam pembentukan
karakter. Ranah afektif dan perilaku siswa akan banyak tersentuh melalui berbagai kegiatan yang
dirancang. Keterlibatan siswa dalam menggali nilai-nilai kehidupan melalui kegiatan tersebut akan
membuat pendidikan karakter memuaskan dan menyenangkan. Pada tahap ini sekolah menjalin
kemitraan dengan keluarga dan masyarakat sekitar sekolah.Masyarakat dimaksud adalah keluarga,
siswa, organisasi, tetangga, dan kelompok atau individu yang berpengaruh terhadap kesuksesan siswa di
sekolah.

4. Model Kolaborasi

Model terakhir berupa kolaborasi dari semua model merupakan upaya untuk mengoptimalkan
kelebihan setiap model dan menutupi kekurangan masing-masing pada sisi lain. Dengan kata lain model
ini merupakan sintesis dari model-model terdahulu. Pada model ini selain diposisikan sebagai mata
pelajaran secara otonom, pendidikan karakter dipahami sebagai tanggung jawab sekolah bukan guru
mata pelajaran semata.Karena merupakan tanggung jawab sekolah maka setiap aktifitas sekolah
memiliki misi pembentukan karakter.Setiap mata pelajaran harus berkontribusi dalam pembentukan
karakter dan penciptaan pola pikir moral yang progresif.Sekolah dipahami sebagai sebuah miniatur
masyarakat sehingga semua komponen sekolah dan semua kegiatannya merupakan media-media
pendidikan karakter.Berbagai kegiatan diselenggarakan untuk membawa siswa ke dalam pengalaman
nyata penerapan karakter, baik sebagai kegiatan ekstrakurikuler yang terprogram maupun kegiatan
insidentil sesuai dengan fenomena yang berkembangan di masyarakat.

Keempat model di atas dapat diumpamakan wadah yang memberikan ruang gerak pada pendidikan
karakter.Selanjutnya agar gerak tersebut efektif dan efisien diperlukan pemilihan metode pembelajaran
dalam upaya pembentukan karakter positif dalam diri siswa.Apa pun metode yang dipilih, hal yang harus
digarisbawahi adalah pelibatan aspek kognitif, afektif dan perilaku siswa secara simultan.

Dalam implementasinya pendidikan karakter umumnya dintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap
mata pelajaran. Mata pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata
pelajaran perlu dikembangkan, dan dikaitkan dengan konteks kegidupan sehari-hari. Dengan demikian,
pembelajaran nila-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi,
dan pengalaman nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.
Selanjutnya Ada dua model pembelajaran pendidikan karakter yang ditawarkan oleh Dharma Kesuma,
M.Pd. Kedua model pembelajaran tersebut yaitu: Model Reflektif dan Model Pembelajaran
Pembangunan Nasional. [16]

a. Model Reflektif

Model reflektif ini berdasarkan asumsi dasar bahwa setiap manusia memiliki sisi religi/keagamaan yang
tidak dapat dipungkiri kebenarannya. Setiap manusia akan mempertanyakan mengapa dia ada dan
untuk apa dia ada. Pertanyaan tersebut menunjukkan bahwa manusia akan selalu berfikir mengenai
kondisi spiritual/batiniah di balik materi/keduniaan.

Refleksi merupakan proses seseorang untukmemahami makna dibalik suatu fakta, fenomena, informasi,
atau benda. Model reflektif dalam bagian ini adalah model pembelajaran pendidikan karakter yang
diarahkan pada pemahaman terhadap makna dan nilai yang terkandung di balik teori, fakta, fenomena,
informasi, atau benda yang menjadi bahan ajar dalam suatu mata pelajaran.

Pemahaman seseorang terhadap makna dan nilai yang terkandung dalam suatu hal memiliki tingkatan.
Tingkatan paling rendah dicirikan oleh kemampuan untuk menjelaskan mengenai apa kaitan materi
dengan makna. Hirarki yang lebih tinggi adalah menyadari adanya kekuasaan di luar manusia.Level
pemahaman yang ketiga adalah seseorang/anak termotivasi untuk melakukan sesuatu dari hasil
pemahamannya terhadap makna/nilai yang dipelajari.Level keempat adalah seorang anak mau
mempraktekkan nilai/makna yang dia pahami dalam kehidupan kesehariannya.Level kelima adalah anak
menjadi teladan bagi orang-orang di lingkungan terdekatnya.Level keenam adalah anak mau mengajak
orang-orang terdekatnya untuk melakukan makna/nilai yang dia pelajari.

Adapun prinsip-prinsip pembelajaran model reflektif adalah:

1. Dasar interaksi pembelajaran antara guru dan peserta didik adalah kasih sayang

2. Sikap dan perilaku guru harus mencerminkan nilai yang dianut atau diruuk oleh sekolah (keteladan
guru)

3. Pandangan guru terhadap peserta didik adalah subjek yang sedang tumbuh dan berkembang yang
pertumbuhan dan perkembangannya terkait dengan peran guru.

b. Model Pembelajaran Pembangunan Rasional (MPR)

Model ini didasarkan pada asumsi bahwa pada hakikatnya manusia memiliki kelebihan dibandingkan
dengan makhluk Tuhan lainnya, salah satunya karena manusia diberikan akal pikiran. Akal pikiran
merupakan karunia yang patut disyukuri keberadaannya dengan cara digunakan sebaik-baikya untuk
menjalani kehidupan ini menjadi lebih baik, di dunia maupun di akhirat.

Dengan asumsi tersebut, maka akal pikiran memiliki tugas yang cukup berat untuk memberikan
pertimbangan dalam mengambil keputusan dari setiap keputusan yang harus dibuat oleh seseorang
dalam dalam menjalani proses kehidupannya. Kelogisan (dapat dipahami)dan kerasionalan (masuk akal)
menjadi ukuran penting untuk menghasilkan keputusan seseorang. Proses inilah yang kemudian
dijadikan kebiasaan dan kekuatan/kelemahan seseorang dalam ukuran kematangan perilaku. Artinya
manusia diberikan kesempatan untuk belajar memilih dan memilah yang terbaik dari segala kondisi yang
dihadapinya.

Fokus utama dalam model ini adalah kompetensi pembangunan rasional, argumentasi, atau alasan atas
pilihan nilai yang dibuat anak. Dalam hal ini, kita harus mengasumsikan bahwa anak didik adalah anak
yang sedang berkembang proses berpikirnya. Memiliki rasional yang kokoh dan selalu diuji sepanjang
penghidupan seseorang jelas penting untuk keberfungsian akal dan pikiran manusia.Sistem karakter
yang lengkap harus mengikutsertakan aspek rasional atau kognitif ini, di samping aspek emosi atau
perasaan dan perbuatan.

Disamping memiliki keunggulan dalam membangun kesadaran moral seseorang, model pengembangan
rasional ini memiliki kelemahan. Kelemahan utamanya adalah sehubungan dengan tumpuannya yang
terlalu berat pada aspek kognitif atau rasonalitas manusia. Dalam konteks itu,manusia dapat menjadikan
dirinya sebagai tuhan sebagaimana yang telah dilakukan oleh Fir’aun. Ketika keimanan tipis atau rusak
maka individu dapat mendewakan akal, menuntut segala hal harus masuk akal.

BAB III

METODE PENULISAN

Penelitian ini memiliki lokasi di negara Indonesia yang bertemakan pemanfaatan dan
pengelolaan perairan. Jenis metode yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian
deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Hal ini sesuai dengan pendapat Arikunto, bahwa
penelitian deskriptif yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu
gejala yang ada, yaitu gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. Data tersebut
berasal dari wawancara, catatan laporan, foto, video tape, dokumen pribadi, catatan atau memo
dan dokumen resmi lainnya. Sedangkan penelitian kualitatif merupakan penelitian yang
bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya
perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lainlain, secara holistik dengan cara deskriptif dalam
bentuk kata-kata dan bahasa pada konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan
berbagai metode ilmiah.

Fokus penelitian adalah:


1. Mengetahi potensi sumber daya perairan di Indonesia

2. Memahami pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pesisir di Indonesia

3. Mengetahui masalah masalah pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir Indonesia untuk
mencari solusi nya

Sumber data diperoleh dari sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan dan dokumentasi.
Instrumen pe-nelitian yaitu pepedoman, buku catatan lapangan dan alat tulis menulis. Analisis
data menggunakan interactive model of analisys yang dikembangkan oleh Miles dan Hubberman
(1992, h.16-20) melalui empat tahapan yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan
verifikasi.

BAB VI

PEMBAHASAN

4.1 Konsep Pendidikan Karakter Menurut Adat dan Budaya di Indonesia

Konsep pendidikan karakter selain dipahami secara universal, ternyata juga telah ada konsep pendidikan
karakter yang asli Indonesia.Konsep pendidikan tersebut dapat digali dari berbagai adat istiadat dan
budaya di Indonesi, ajaran berbagai agama yang ada di Indonesia serta praktik kepemimpinan yang telah
lama diterapkan di Indonesi.

Mengingat masyarakat Indonesia yang bersifat multi-pluralis tentu sedikit kesulitan jika seluruh adat dan
budaya di Indonesia dibahas disini. Sebagai titik tolak pembahasan, maka dalam hal ini penulis akan
membahas empat bahasa (budaya), diantaranya Batak, Jawa, Madura dan Bugis.

4.2 Adat Batak Terkait Pendidikan Karakter

Prinsip etika sosial Batak berlandaskan pada Dalihan na Tolu, artinya tungku berkaki tiga. Masayakat
Batak diumpamakan sebuah kuali dan Dalihan na Tolu adalah tungkunya. Di sini tergambar perlunya
keharmonisan dari ketiga kaki tungku tersebut yakni: hula-hula (para keturunan laki-laki dari satu
leluhur), boru (anak perempuan), dan dongan sabutuha (semua anggota laki-laki semarga). Dengan
adanya tungku itu maka kuali masayarakat Batak menjadi seimbang, harmonis, dan solidaritas. Akar dari
system nilai Dalihan na Tolu adalah kerendahan hati (humble). Orang Batak harus hormat kepada hula-
hulanya tanpa syarat, tidak peduli hula-hulanya itu miskin, tidak berpendidikan dan sebagainya.
Dengan Dalihan na Tolu, muncullah demokrasi kekeluargaan dalam masyarakat Batak. Demokrasi
kekeluargaan ini dibina dengan cara musyawarah mufakat dengan esensi hasil sebagai berikut:

a) Pembicaraan perseorangan tidak diterima, pendapat umumlah yang menentukan.

b) Jangan disimpan di dalam hati,baiknya dikeluarkan saja.

c) Mayoritas bergembira, jika sudah tidak ada minoritas yang mengeluh.

d) Putusan yang diharapkan, yaitu putusan yang dapat diterima semua orang.

e) Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, sangat bergantung kepada kemasyarakatan.

Pada esensi demokrasi di atas tergambar sifat spontanitas, terbuka, langsung, tenggang rasa dan
consensus (dos ni roha sibaen na saut, musyawarah untuk mufakat). Hal lain yang dominan terkait
karakter suku Batak adalah falsafah horja. Horja dimaknai oleh masyarakat Batak lebih dari sekedar kerja,
tetapi menjurus pada aktivitas yang melibatkan tanggung jawab secara lahir dan batin. Itulah sebabnya
dalam pekerjaan umumnya masyarakat Batak siap bekerja keras dan kerja tuntas.

4.3 Adat Jawa Terkait Pendidikan Karakter

Banyak sekali nilai karakter Jawa yang sepatutnya dianut dan dikembangkan oleh masyarakat Jawa.
Menurut Ki Tyasno Sudarto , Ketua Umum Majelis Hukum Taman Siswa (2007) seperti yang dikutip oleh
Prof Dr.Muchlas Samani, bahwa dasar filosofis karakter adalah Tri Rahayu (tiga kesejahteraan) yang
merupakan nilai-nilai luhur (supreme values) dan merupakan pedoman hidup, diantaranya:

· Mamayu hayuning salira (bagaimana hidup untukmeningkatkan kualitas diri pribadi)

· Mamayu hayuning bangsa ( bagaimana berjuang untuk Negara dan bangsa)

· Mamayu hayuning bawana (bagaimana membangun kesejahteraan dunia)

Sementara itu ajaran dari Ki Ageng Soerjomentaram mengatakan bahwa dalam menjalani hidup ini
sebaiknya manusia tidak melakukan tigal hal, yaitu: ngangsa-angsa (ambisius), ngaya-aya (terbutu-buru,
tidak teliti), dan golek benere dhewe (mau menang sendiri).

Disamping ajaran para leluhur, karakter yang diinginkan oleh manusia Jawa sering ditemukan dalam
tembang-tembang Jawa. Misalnya dalam tembang “gundhul-gundhul pacul”yang liriknya sebagai berikut:

Gundhul-gundhul pacul, gembelengan

Nyunggi-nyunggi wakul,gembelengan

Wakul glimpang segane dadi sak rattan

Makna dari lagu tersebut merupakan peringatan agar jika menjadi pemimpin dalam menerima amanah
(Nyunggi wakul) tidak sembrono (gembelengan), tidak seenaknya sendiri.Akibatnya nanti seluruh
tatanan dan aturan masyarakat dapat menjadi rusak, kondisi Negara tidak terkendali.
Sementara dalam pergaulan sehari-hari, berbeda jelas dengan adat Batak yang terus terang, orang jawa
suka menggunakan perumpamaan atau simbol-simbol. Perumpamaan yang sering dijumpai dalam
masyarakat Jawa yaitu:

a) Mikul dhuwur, mendhem jero (menjunjung tinggi-tinggi, memendam dalam-dalam). Sikap hormat
kepada orang tua dimana ketika orang tua sudah tidak ada seluruh kebaikannya dijunjung tinggi,
sedangkan segala kekurangannya dipendam dalam-dalam.

b) Ngono ya ngono, ning aja ngono (begitu ya begitu, tetapi jangan begitu). Suatu peringatan agar
dalam bersikap, berbicara, bertindak tidak berlebihan.

c) Aja dumeh (Jangan mentang-mentang). Maksudnya jangan sombong, jangan suka memamerkan diri,
jangan meremehkan atau menghina orang lain.

4.4 Adat Madura Terkait Pendidikan Karakter

Konsep pendidikan karakter dalam adat Madura terkandung dalam lagu-lagu daerah berbahasa
Madura.Diantaranya lagu-lagu tersebut adalah Pa’ opa’ Iling yang syairnya sebagai berikut:

Pa’ opa’ iling dang dang asoko randhi,

Reng towana tar ngaleleng,

Ajhara ngajhi babana cabbhi,

Le ollena gheddang bighi.

Lagu ini mengandung makna bahwa masyarakat Madura mewajibkan anaknya untuk mengaji sejak
dini.Ngaji di sini bukan sekedar mengaji al-qur’an, tetapi juga kegiatan mencari ilmu dunia bagi bekal
kehidupan di masa mendatang. Untuk memberikan jaminan agar anak-anak mereka dapat dan lulus
mengaji (mencari ilmu) para orang tua harus bekerja keras walaupun kadang-kadang hasilnya tidak
seberapa (reng towana tar ngaleleng, le olena geddhang bighi).

4.5 Adat Bugis Terkait Pendidikan Karakter

Kita mendapat banyak pengetahuan tentang adat Bugis karena petuah-petuah luhur yang dinyatakan
dalam tulisan. Sistem dan norma adat tertulis yang merupakan wujud kebudayaan tersebut disebut
dengan pangngaderreng. Sistem pangngadereng terdiri dari 5 unsur pokok, yaitu:

a) Ade’, tata tertib yang bersifat normatif

b) Bicara, aturan formal yang menyangkut peradilan dalam arti luas

c) Rappang, aturan tak tertulis untuk mengokohkan Negara dengan segenap undang-undang dan
hukumnya
d) Wari’, ketentuan dari bagian ade’ yang mengatur batas-batas hak dan kewajiban setiap orang dalam
hidup bermasyarakat

e) Sara’, berasal dari syariat agama Islam

Pangngaderreng membangun martabat dan harkat insan karena diantara kandungan isinya mengatur
manusia agar apabila hendak berbuat sesuatu:

a) Lihatlah kesudahan perbuatan itu, barulah mengerjakannya

b) Takutlah kepada orang yang jujur

c) Jangan mengingkari janji

d) Jangan takut mendengar berita, justru dengarkanlah, berita itu jadilah pertimbangan

e) Jangan enggan dinasehati

f) Janganlah memulai pekerjaan yang sulit, jangan pula berkata-kata kepada orang tentang hal yang
tidak menyenangkan

g) Rajinlah meminta pertimbangan dariorang-orang yang dekat di sekelilingmu

Sedangkan dalam pergaulan hidup harus dilandasi oleh empat macam, yaitu:

a) Kasih sayang dalam keluarga

b) Saling memaafkan

c) Tidak segan saling menolong dan melakukan pengorbanan demi keluhuran

d) Saling memberi nasihat untuk berbuat kebajikan.

Selain hal tersebut di atas ada beberapa pameo yang dapat dijumpai dalam bahasa Bugis yang
menggambarkan karakter orang bugis, yaitu:

a) Aju maluruemi riala parewa bola (sifat pemimpin harus lurus)

b) Ade’e temmakke anak temmakke-epo (Adil dan tidak boleh pilih kasih)

c) Ajak mapoloi alona tauwe (tidak mengambil hak orang lain).


BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1.Konsep pendidikan tersebut dapat digali dari berbagai adat istiadat dan budaya di Indonesi, ajaran
berbagai agama yang ada di Indonesia serta praktik kepemimpinan yang telah lama diterapkan di
Indonesi.

2. Prinsip etika sosial Batak berlandaskan pada Dalihan na Tolu, artinya tungku berkaki tiga. Masayakat
Batak diumpamakan sebuah kuali dan Dalihan na Tolu adalah tungkuny

3. Pendidikan karakter adat Jawa dasar filosofis karakter adalah Tri Rahayu (tiga kesejahteraan) yang
merupakan nilai-nilai luhur (supreme values) dan merupakan pedoman hidup

4.Konsep pendidikan karakter dalam adat Madura terkandung dalam lagu-lagu daerah berbahasa
Madura.Diantaranya lagu-lagu tersebut adalah Pa’ opa’ Iling yang bercerita tentang kebaikan dan
kebudayaan saling menghargai antar sesama di setiap tempat

5.entang adat Bugis karena petuah-petuah luhur yang dinyatakan dalam tulisan. Sistem dan norma adat
tertulis yang merupakan wujud kebudayaan tersebut disebut dengan pangngaderreng

5.2 Saran

Saran dengan ada malah Tetang pendidikan karakter menurut adat dan budaya di Indonesia ini agar
pendidikan karakter di Indonesia bisa lebih baik dan lebih berkembang selain itu saran untuk
pemerintah agar bisa menggunakan metode ini agar pendidikan karakter bisa lebih di pahami olah
peserta didik Karan dengan menggunakan pendidikan karakter menurut ada dan Budaya di Indonesia
peserta didik bisa lebih paham dan mengerti akan pentingnya pendidikan karakter di lingkungan Karana
pendidikan karakter menurut adat dan budaya di Indonesia bisa lebih dekat dengan kehidupan sehari-
hari di lingkungan nya dan di tempat nya berada
Daftar Pustaka

Gunawan, Heri.Pendidikan Karakter Konsep dan Impementasi.Bandung : Alfabeta, 2012.

Purwanto, Ngalim. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis.Bandung : PT Remaja Rosdakarya , 2007.

Sutan. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Karya Utama,2002.

Samani, Muchlas & Hariyant.Konsep dan Model Pendidikan Karakter.Bandung : PT Remaja Rosdakarya,
2012

Syam, Yunus Anis.Quranic Quetient. Yogyakarta: Progresif Books, 2006.

Tobroni.Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Islam.Jakarta: Bumi Aksara, 2010.

Yunus, Mahmud. Pokok-pokok Pendidikan & Pengajaran.Jakarta : PT Hidakarya Agung.

Zuhairini.FilsafatPendidikan Islam.Jakarta : Bumi Aksara, 1995.

Zuriah, Nurul.Pendidikan Moral & Budi Pekerti dalam perspektif Perubahan. Jakarta: Bumi Aksara, 2007.

Anda mungkin juga menyukai