Anda di halaman 1dari 4

Tatalaksana

Tujuan pengobatan pada pasien sindrom koroner akut adalah untuk mengontrol
simptom dan mencegah progresifitas dari SKA, atau setidaknya mengurangi tingkat
kerusakan miokard. Terapi untuk SKA sebagai berikut :
1. Terapi untuk mengurangi area infark pada miokard
Terapi ini bertujuan untuk mencegah meluasnya area infark pada miokard.
Terapi dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain dengan pemberian :
a. Aspirin
Aspirin berfungsi sebagai penghambat aktivitas cyclooxygenase (COX)
pada platelets. Akibatnya platelet tidak dapat menghasilkan thromboxane A2
sehingga menghambat agregasi platelet. Selain itu aspirin juga berpengaruh pada
proses perjalanan penyakit unstable angina. Dosis yang diberikan kepada pasien
sekitar 75 – 300 mg/hari. Aspirin memiliki efek samping berupa gangguan pada
gastrointestinal.
b. Clopidogrel
Clopidogrel merupakan thienooyridine yang menghambat adenosine
diphospate – mediated platelet activation. Obat anti platelet jenis ini bersinergi
dengan aspirin karena sama – sama bekerja pada jalur asam arakhidonat.
Clopidogrel direkomendasikan sebagai pilihan antiplatelet pada pasien yang tidak
toleran terhadap aspirin, dan juga digunakan sebagai agen antiplatelet adjunctive
selain aspirin (terapi antiplatelet ganda).
Pada percobaan menunjukkan bahwa penambahan clopidogrel pada terapi
aspirin mengurangi kejadian kematian kardiovaskular, infark miokard, atau stroke.
Clopidogrel kurang efektif dalam mencegah perdarahan, sehingga kurang tepat
diberikan pada pasien pasca operasi seperti CABG. Dosis awal diberikan 300mg
dilanjutkan dengan 75 mg/hari.
c. Glikoprotein Iib/Iiia (Gp Iib/Iiia)
GP IIB/IIIA merupakan reseptor yang bekerja mengaktivasi membrane
platelet. GP IIB/IIIA juga menghambat agregasi platelet terutama setelah dilakukan
PCI.
d. Heparin
Prinsip penghambatan oleh heparin terjadi pada tahap koagulasi. Dimana
pada saat itu terjadi penghambatan thrombin yang mengaktivasi factor V dan
VIII.Pada penderita angina tak stabil dan NSTEMI dapat di berikan unfractionated
heparin untuk dosis awal 60 U per kg (maksimum 4000-5000 U) dilanjutkan
dengan infus awal 12-15 U per kg per jam (maksimum 1000 U/JAM). Target
normogram terapi adalah aPTT adalah1,5 – 2,5 kali nilai aPTT normal atau tingkat
optimal 50-75 detik. Sangat dibutuhkan pencapaian target terapi ini. pengukuran
dilakukan berulang jika terdapat perubahan dosis UFH, biasanya setelah 6 jam
pemberuan UFH dengan dosis baru. Selama pemeberian UFH sebainya dilakukan
pemeriksaan darah lengkap untuk pengawasan terjadinya anemia dan
trombositopenia. Salah satu kontra indikasi obat ini adalah bila ada riwayat
heparin induced thrombocytopenia

2. Terapi untuk tanda dan gejala iskemik yang muncul


Gejala iskemik yang muncul pada kasus NSTEMI sering berupa unstable
angina. Untuk mengurangi angina dapat diberikan beberapa obat berikut :
a. Nitrogliserin
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg
dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain mengurangi
nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan
menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara
dilatasi pembuluh koroner yang terkena infark atau pembuluh kolateral. Jika nyeri
dada terus berlangsung dapat diberikan NTG intravena. NTG intravena juga
diberikan untuk mengendalikan hipertensi atau edema paru. Terapi nitrat harus
dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik < 90mm Hg atau pasien yang
dicurigai menderita infark ventrikel kanan (infark inferior pada EKG, JVP
meningkat, paru bersih dan hipotensi).

Pertama kali diberikan nitrogliserin sublingual jika pasien mengalami nyeri


dada, jika nyeri dada menetap maka diberikan nitrogliserin iv (mulai 5-
10ug/menit). Laju infus dapat ditingkatkan 10ug/menit tiap 3-5menit sampai
keluhan menghilang.
b. Beta blocker
Beta blockers menurunkan kebutuhan oksigen otot jantung dengan cara
menurunkan frekuensi denyut jantung, tekanan darah dan kontraktilitas. Suplai
oksigen meningkat karena penurunan frekuensi denyut jantung sehingga perfusi
koroner membaik saat diastol.
Pada penderita STEMI ketika berada di ruang emergensi, jika morfin tidak
berhasil mengurangi nyeri dada pemberian β-bloker secara intravena mungkin
efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5mg setiap 2-5 menit
sampai total 3 dosis, dengan syarat, frekuensi jantung >60 menit, tekanan darh
sistolik >100mmHg, interval PR <0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10cm dari
diagfragma. 15 menit setelah dosis intravena terakhir di lanjutkan dengan
metoprolol oral dengan dosis 50mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan
100mg tiap 12 jam.
c. Calsium Channel Blocker
Pada angina tak stabil antagonis kalsium dapat di gunakan sebagai
tambahan, karena efek relaksasi terhadap vasospasme pembuluh darah pada angina
tak stabil. Pada penderita NSTEMI antagonis kalsium dapat menghilangkan
keluhan pada pasien yang sudah mendapat nitrat dan β-bloker; juga berguna pada
pasien dengan kontra indikasi β-bloker.
Selain terapi diatas dapat juga diberikan terapi berupa Coronary Artery
Bypass Grafting (CABG) atau Percutaneus Coronary Intervention (PCI).

Komplikasi
Keadaan NSTEMI dapat berkembang menjadi keadaan STEMI, sehingga
menimbulkan komplikasi seperti :
 Aritmia

 Disritmia

 Defek septum ventrikel

 Ruptur jantung

 Aneurisma ventrikel

 Tromboembolisme

 Gagal jantung
Hasil iskemia jantung akut pada gangguan kontraktilitas ventrikel (disfungsi
sistolik) dan kekakuan miokard meningkat (disfungsi diastolik), yang keduanya dapat
menyebabkan gejala gagal jantung. Selain itu, remodelling ventrikel, aritmia, dan
komplikasi mekanik MI akut (dijelaskan di bawah) dapat berujung pada gagal jantung.
Tanda dan gejala dekompensasi tersebut meliputi dyspnea, rales paru, dan suara jantung
ketiga (S3).
 Shock kardiogenik
Syok kardiogenik adalah kondisi dari output jantung sangat menurun dan
hypotension (tekanan darah sistolik <90 mmHg) dengan perfusi jaringan perifer tidak
memadai, yang terjadi ketika lebih dari 40% dari massa LV telah infark. Hal ini juga dapat
mengikuti komplikasi mekanik parah MI dijelaskan di bawah ini :
1. Hipotensi menyebabkan perfusi koroner menurun, yang memperburuk kerusakan
iskemik
2. Menurunnya stroke volume meningkatkan ukuran LV dan karena itu menambah
kebutuhan oksigen miokard. Meskipun perlakuan agresif, angka kematian pasien dalam
syok kardiogenik lebih besar dari 70%.

Anda mungkin juga menyukai