Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit Thalasemia merupakan salah satu penyakit genetik tersering di dunia,
Penyakit genetik ini diakibatkan oleh ketidakmampuan sumsum tulang
membentuk protein yang dibutuhkan untuk memproduksi hemoglobin (Potts &
Mandleco dalam Safitri, 2015). Hemoglobin merupakan protein kaya zat besi
yang berada di dalam sel darah merah yang berfungsi untuk mengangkut oksigen
dari paru-paru ke seluruh bagian tubuh (McPhee & Ganong dalam Safitri, 2015)
WHO ( World Heart Organization ) menyebutkan 250 juta penduduk dunia
(4,5%) membawa genetic Thalasemia. Di Indonesia sendiri jumlah penderita
Thalasemia hingga tahun 2009 naik menjadi 8,3 % , dan sayangnya 90%
penderita tersebut berasal dari kalangan kurang mampu. Angka kejadian
Thalasemia sampai saat ini belum bisa terkontrol dengan baik karena tersandung
oleh factor genetik dan belum maksimalnya tindakan screening (Yuni, 2015).
Ketua Yayasan Thalasemia Indonesia, Rinnie Amaludin, pada mei 2011, beliau
mengatakan bahwa seluruh penyandang Thalasemia di Indonesia yang tercatat di
yayasannya, jumlahnya ada lima ribuan orang. Meskipun, bukan penyakit
menular, namun penyakit ini mengalami pertumbuhan. Penderita Thalasemia
setiap tahunnya rata-rata tumbuh antara 10% sampai 13% (sukri, 2016).
dr. Chovi aktivis Thalasemia Assistance Lampung menyampaikan Di provinsi
lampung sendiri, penderita Thalasemia sebanyak 174 orang saat peringatan
world thalassemia day pada mei 2017. Karena akibat dari kelainan sintesis pada
penderita Thalasemia, sel darah merah menjadi mudah mati dan sulit bagi tubuh
untuk mempertahankan sel darah merah, hal inilah yang menyebabkan
penderita Thalasemia mengalami anemia. Thalasemia terdiri dari beberapa tipe
dimana terdapat manifestasi klinis yang bervariasi dari yang tidak bergejala
langsung sampai yang bergejala sangat fatal yaitu bisa menyebabkan kematian
(Wong, dkk, dalam Retno, 2015). Studi pendahuluan di RSUD Ahmad Yani
Metro menunjukan thalassemia merupakan penyakit kronis terbanyak dan

1
2

jumlahnya setiap tahun terus meningkat. Jumlah penderita thalassemia tahun


2013 yaitu 35 orang dan pada tahun 2014 meningkat menjadi 65 orang (Retno,
2015). Dan pada saat penulis melakukan penelitian jumlah pasien Thalasemia di
RSUD Jend Ahmad Yani Kota Metro Thaun 2018 mencapai 197 orang.
Berdasarkan penelitian rejeki, dkk (2012) menyebutkan bahwa jenis
thalasemia mayor sebanyak 76%, lebih banyak dari thalasemia minor yang
hanya 24%. Dimana jumlah penderita thalasemia laki-laki lebih banyak
dibandingkan dengan penderita wanita yaitu dengan presentase 51,6% berjenis
kelamin laki-laki dan 48,4% berjenis kelamin perempuan. Penderita thalasemia
sebagian besar adalah bukan angkatan kerja, yaitu sebanyak 92,2%. Dimana
terdiri dari anak sekolah sebanyak 56,2% , belum bekerja 28,2%, ibu rumah
tangga 4,7%, dan mahasiswa 3,1%. Usia rata-rata penderita talasemia
berdasarkan penelitian tersebut adalah 12,28 tahun, dengan usia termuda 1,3 tahun
dan usia tertua adalah 49 tahun. Jadi dari penelitian tersebut dapat disimpulkan
bahwa penderita thalasemia terbanyak adalah anak-anak.
Gejala awal yang muncul pada penderita thalasemia antara lain pucat, lemas,
dan tidak nafsu makan. Pada kasus yang lebih berat pasien thalasemia
menunjukkan gejala klinis berupa hepatosplenomegali, kerapuhan, penipisan
tulang dan anemia. Anemia pada pasien thalasemia terjadi akibat gangguan
produksi hemoglobin (Rudolph, dkk dalam Safitri, 2015). Sampai saat ini
penyakit thalasemia belum ada obatnya, penatalaksanaan penyakit thalasemia
yang dilakukan yaitu berupa terapi suportif dengan transfusi dan obat kelasi besi
secara kontinue setiap 28 hari sepanjang usia anak. Penyakit thalasemia yang
diderita anak juga berdampak pada kehidupan psikologis, emosi, sosial dan
ekonomi orang tua (Mussatto, 2006)
Keberhasilan penanganan talasemia terletak pada keberhasilan mengatasi
dampak anemia. Penatalaksanaan yang di dasari dukungan keluarga mampu
meningkatkan kualitas hidup pasien thalasemi. Tanpa penatalaksanaan yang baik,
penderita talasemia sulit mencapai usia di atas 20 tahun, 71% pasien meninggal
karena gagal jantung kongesti sebagai dampak kerusakan organ karena akumulasi
zat besi (Wahyuni dalam Safitri, 2015). Wong, dkk (2012) menyebutkan
3

manifestasi klinis thalasemia β adalah terjadinya tanda-tanda hipoksia kronis


dengan keluhan sakit kepala, nyeri precordial dan tulang, penurunan toleransi
terhadap olahraga, kegelisahan dan anoreksia. Tanda dan gejala yang ditimbulkan
pasien thalassemia seperti mengeluh sesak nafas saat beraktivitas, mudah lelah,
penurunan toleransi terhadap olahraga merupakan batasan karakteristik untuk
menegakkan diagnosa intoleransi aktivitas.
Pada masa anak-anak terdapat fase pertumbuhan dan perkembangan yang
harus dilewati seorang anak, baik dengan rentang waktu yang cepat maupun
lambat. Pertumbuhan dan perkembangan dapat terjadi apabila adanya stimulus
tertentu. Pemberian stimulus dilakukan dengan meggunakan suplai energi dan
oksigen yang cukup. Hal ini sangat bertolak belakang dengan anak yang terkena
penyakit thalasemia karena anak dengan penyakit thalassemia mengalami
defisiensi pada kecepatan produksi rantai globin yang spesifik dalam hemoglobin.
Mengakibatkan sebagian besar anak dengan penyakit thalasemia harus dibatasi
aktivitasnya. Sehingga kita tidak bisa mengabaikan gangguan intoleransi aktivitas
yang terjadi pada anak Karena apabila gangguan intoleransi aktivitas tidak segera
diatasi maka bisa saja akan mengakibatkan gangguan lain yaitu masalah tumbuh
kembang anak ataupun mempengaruhi kualitas dan performa anak itu sendiri
dilingkungan sekolah maupun lingkungan sebayanya.
Dan aktivitas berpengaruh terhadap perkembangan motorik baik kasar maupun
halus. Dimana motorik kasar adalah bagian dari aktivitas motorik yang
mencangkup keterampilan otot-otot besar, yang dipengaruhi oleh usia, berat
badan, dan perkembangan anak secara fisik seperti merangkak, duduk, dan
berjalan. Sedangkan untuk motorik halus bagian dari aktivitas motorik yang
mencangkup keterampilan otot-otot kecil seperti mengambil benda kecil,
menggambar, dan menulis (Nevvy, 2013). Pada aktivitas motorik halus dapat
dilakukan anak penderita thalasemia baik dirumah maupun, saat anak sedang
berada di rumah sakit. Sehingga anak tersebut mendapatkan pemenuhan
kebutuhan aktivitas yang bermanfaat bagi tumbuh kembangnya, dan gangguan
pada pemenuhan aktivitas dapat menyebabkan kondisi intoleransi terhadap
aktivitas.
4

Intoleransi aktivitas merupakan ketidakcukupan energi untuk melakukan


aktivitas sehari-hari (SDKI, 2016). Intoleransi akivitas pada dasarnya memang
bukan merupakan suatu masalah yang utama pada anak dengan thalasemia. Pada
keperawatan gangguan intoleransi aktivitas banyak ditemukan pada pasien
penderita Anemia, gagal ginjal kronis,gangguan jantung, kardiak aritmia,
obstruksi pernafasan kronis, dan gangguan neuromuskular. Dari data tersebut
intoleransi aktivitas berpengaruh pada pasien Anemia yang bisa disebabkan oleh
penyakit Thalasemia, sebab Penderita Thalasemia menyebabkan gangguan pada
aktivitas yaitu mudah lelah, lemah, dan terlihat pucat (Yuni, 2015). Dan kondisi
tersebut memiliki proses serta pengobatan terhadap penderita intoleransi aktivitas
pada penyakit Thalasemia.
Dan upaya terapi yang dilakukan pada masalah intoleransi yaitu dengan
membantu pasien dalam melakukan dan meningkatkan aktivitas sesuai
kemampuan, dan membantu melakukan latihan ROM aktif dan pasif sesuai
kondisi yang bertujuan agar kelemahan berkurang serta mempertahankan
kemampuan aktivitas seoptimal mungkin (Tarwoto dan Wartonah, 2015). Dalam
kondisi gangguan kebutuhan intoleransi aktivitas pada Thalasemia perlu
dilakukan dengan tindakan medik dan keperawatan. Penatalaksanaan dapat
dilakukan dengan melakukan asuhan keperawatan mulai dari melakukan
pengkajian, merumuskan diagnosa keperawatan, menyusun rencana asuhan
keperwatan, melakukan tindakan keperawatan serta melakukan evaluasi tindakan
keperawatan yang telah dilakukan. Penatalaksanaan tersebut dilakukan dengan
sebaik mungkin sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) keperawatan
yang baik dalam melaksanakan proses keperawatan.
Penyusunan rencana keperawatan atau intervensi merupakan langkah ketiga
dalam proses keperawatan (Setiadi,2008). Pada langkah ini, perawat menetapkan
tujuan dan hasil yang diharapkan bagi klien, dan merencanakan intervensi
keperawatan. Penyusunan rencana keperawatan atau intervensi ini dapat dilakukan
dengan melihat, merujuk pada NANDA NIC-NOC ,SDKI, dan SIKI.
Sesuai dengan penjelasan dan pernyataan diatas, bahwa penulis berminat untuk
membuat laporan tugas akhir yang berjudul “Asuhan Keperawatan Dengan
5

Gangguan Pemenuhan Kebutuhan Aktivitas Pada Pasien Thalasemia di Ruang


Anak RSUD Jend. Ahmad Yani Kota Metro Provinsi Lampung tahun 2019”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas penulis mengambil rumusan masalah
sebagai berikut “ Bagaimanakah pelayanan Asuhan Keperawatan Dengan
Gangguan Pemenuhan Kebutuhan Aktivitas Pada Pasien Thalasemia di Ruang
Anak RSUD Jend. Ahmad Yani Kota Metro Provinsi Lampung Tahun 2019?”.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Menerapkan asuhan keperawatan pemenuhan kebutuhan aktivitas pada
dua pasien thalasemia diruang anak RSUD Jend. Ahmad Yani Kota
Metro Provinsi Lampung.
2. Tujuan Khusus
a. Menjelaskan pelaksanaan pengkajian Asuhan keperawatan dengan
gangguan pemenuhan aktivitas pada pasien thalasemia di ruang anak
RSUD Jend. Ahmad Yani Kota Metro Provinsi Lampung.
b. Menegakkan diagnosa Asuhan keperawatan dengan gangguan
pemenuhan aktivitas pada pasien thalasemia di ruang anak RSUD
Jend. Ahmad Yani Kota Metro Provinsi Lampung.
c. Menentukan rencana Asuhan keperawatan dengan gangguan
pemenuhan aktivitas pada pasien thalasemia di ruang anak RSUD
Jend. Ahmad Yani Kota Metro Provinsi Lampung.
d. Menjelaskan pelaksanaan tindakan Asuhan keperawatan dengan
gangguan pemenuhan kebutuhan aktivitas pada pasien thalasemia
diruang anak RSUD Jend. Ahmad Yani Kota Metro Provinsi
Lampung.
e. Melakukan evaluasi Asuhan keperawatan dengan gangguan
pemenuhan kebutuhan aktivitas pada pasien thalassemia diruang
anak RSUD Jend. Ahmad Yani Kota Metro Provinsi Lampung.
6

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Bagi penulis
Menambah pengetahuan dan pegalaman tentang cara merawat klien
dengan intoleransi aktivitas yang bisa bermanfaat untuk menghadapi
dunia kerja yang kemungkinan akan menemukan pasien anak dengan
thalassemia, dengan gangguan kebutuhan aktivitas yaitu intoleransi
aktivitas.
b. Bagi Pendidik
Menguji dan membimbing teori-teori yang ada tentang pelaksanaan
asuhan keperawatan dengan gangguan pemenuhan kebutuhan aktivitas
pada pasien Thalasemia di RSUD Ahmad Yani kota Metro.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Penulis
1) Meningkatkan kemampuan aplikasi terhadap tindakan-tindakan
keperawatan dalam upaya pemenuhan kebutuhan intoleransi aktivitas
pada pasien Thalasemia.
2) Menambah kepercayaan diri bagi penulis dalam melakukan praktek
keperawatan dengan gangguan pemenuhan kebutuhan intoleransi
aktivitas.

b. Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan


Dapat dijadikan sebagai salah satu contoh hasil dalam melakukan asuhan
keperawatan pemenuhan kebutuhan oksigenasi pada pasien dengan
gangguan sistem hematologi.
E. Ruang Lingkup
7

Ruang lingkup penulisan laporan tugas akhir ini meliputi asuhan keperawatan
dengan gangguan pemenuhan aktivitas pada pasien thalasemia yang dilakukan
di Ruang Anak Rumah Sakit Umum Daerah Jend. Ahmad Yani Kota Metro
Provinsi Lampung pada tahun 2019
Penulis membatasi ruang lingkup penelitian dalam laporan akhir berupa
asuhan keperawatan pada anak yang berfokus pada gangguan kebutuhan aktivitas
khususnya intoleransi aktivitas dengan subjek adalah 2(dua) sample anak
penderita thalasemia yang memiiki batasan karakteristik sesuai dengan masalah
yaitu intoleransi aktivitas.

Anda mungkin juga menyukai