Anda di halaman 1dari 161

SKRIPSI

GAMBARAN KEBERHASILANSTRATEGI DIRECTLY OBSERVED


TREATMENT SHORT COURSE (DOTS) PADA ANAK DENGAN
TUBERKULOSIS PARU DI RUANG POLI ANAK
RSD BLAMBANGAN
TAHUN 2020

Oleh :
RINA
2016.02.033

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI
BANYUWANGI
2020
SKRIPSI

GAMBARAN KEBERHASILANSTRATEGI DIRECTLY OBSERVED


TREATMENT SHORT COURSE (DOTS) PADA ANAK DENGAN
TUBERKULOSIS PARU DI RUANG POLI ANAK
RSD BLAMBANGAN
TAHUN 2020

Untuk memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan ( S.Kep )


Program Study Ilmu Keperawatan STIKES Banyuwangi

Oleh :
RINA
2016.02.033

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI
BANYUWANGI
2020

i
LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi Dengan Judul :

GAMBARAN KEBERHASILANSTRATEGI DIRECTLY OBSERVED


TREATMENT SHORT COURSE PADA ANAK DENGAN
TUBERKULOSIS PARU DI RUANG POLI ANAK
RSD BLAMBANGAN
TAHUN 2020

RINA
2016.02.033

Skripsi telah disetujui


Pada tanggal, Juli 2020
7 Agustus 2020

Oleh:
Pembimbing I

Ns. Ninis Indriani, M.Kep, Sp. An


NIDN. 724127803

Pembimbing II

Ns. Rudiyanto, M.Kep


NIK. 06.098.0015

Mengetahui,
Ketua ProgramStudi S1 Keperawatan

Ns. Anita Dwi Ariyani, M.Kep.


NIDN. 0725118502

iii
iii
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat taufiq dan hidayah-Nya,

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Gambaran

Keberhasilan Strategi Directy Observed Treatment Short Course (DOTS) pada

Anak dengan Tuberkulosis Paru di Ruang Poli Anak RSD Blambangan Tahun

2020”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Keperawatan (S.Kep) pada program studi S1 Keperawatan STIKes Banyuwangi.

Bersama ini perkenankanlah saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya

dengan hati yang tulus kepada :

1. DR. H. Soekardjo, selaku Ketua STIKes Banyuwangi yang telah memberi izin dan

menyediakan sarana dan prasarana kepada penulis untuk melakukan penelitian

serta memberi kesempatan dan fasilitas kepada kami untuk mengikuti dan

menyelesaikan pendidikan program studi Ilmu Keperawatan STIKes Banyuwangi.

2. Ns. Anita Dwi Ariyani, S.Kep., M.Kep, selaku Ketua Program Studi S1

Keperawatan yang telah memberikan kesempatan dan dorongan kepada saya untuk

menyelesaikan Program Studi S1 Keperawatan.

3. Ns. Masroni, S.Kep., MSN, selaku PJMK Proposal dan Skripsi.

4. Ns. Ninis Indriani, M.Kep, Sp. An selaku dosen pembimbing I dalam Penelitian

dan Penyusunan skripsi yang telah memberikan bimbingan kepada penulis

sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Ns. Rudiyanto, M. Kep selaku dosen pembimbing II dalam Penelitian dan

Penyusunan skripsi yang telah memberikan bimbingan kepada penulis sehingga

dapat menyelesaikan skripsi ini.

vi
1. Kepada ibu dan almarhum ayah saya serta keluarga yang telah memberikan

dukungan baik segi moril maupun materil.

2. Kepada rekan-rekan S1 Keperawatan yang turut memberikan semangat dan

dukungan dalam menyelesaikan tugas skripsi ini.

Semoga Allah SWT membalas budi baik pihak yang telah memberikan

kesempatan, dukungan, dan bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini, saya

penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, tetapi saya berharap

skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan bagi keperawatan.

Banyuwangi, Juli 2020

Penulis

RINA

vii
ABSTRAK

GAMBARAN KEBERHASILAN STRATEGI DIRECTLY OBSERVED


TREATMENT SHORT COURSE (DOTS) PADA ANAK DENGAN
TUBERKULOSIS PARU DI RUANG POLI ANAK
RSD BLAMBANGAN
TAHUN 2020

Rina 1, Ninis Indriani 2, Rudiyanto 2


1
Mahasiswa S1 Keperawatan STIKes Banyuwangi
2
Dosen Program Studi S1 Keperawatan STIKes Banyuwangi

Kejadian Tuberkulosis Paru pada anak terus menerus mengalami peningkatan.


Upaya penanggulangan TB Paru dilakukan dengan menggunakan strategi Directly
Observed Treatment Short Course (DOTS). Strategi ini akan memutuskan penularan
TB Paru dan diharapkan menurunkan insiden di masyarakat terutama TB Paru pada
anak.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran keberhasilan strategi
DOTS pada anak dengan TB Paru. Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini
adalah Deskriptif Analitik. Penelitian ini menggunakan teknik accidental sampling.
Sampel penelitian terdiri dari 30 responden yang sesuai dengan kriteria inklusi yang
diambil dari lembar kuesioner strategi DOTS. Kemudian dilakukan scoring, tabulating
dan analisis statistik dengan Deskriptif menggunakan SPSS 25 for windows.
Semua responden yang sudah melakukan pengobatan TB Paru sebanyak 30
responden. Sebagian besar responden berhasil dalam pengobatan TB Paru dengan
program DOTS, yaitu sebanyak 27 (90%) responden dan sebanyak 3 (10%) responden
yang tidak berhasil dalam pengobatan TB Paru.
Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa 5 komponen DOTS antara
lain Komitmen politis dari pemerintah untuk menjalankan program TB nasional,
diagnosis TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis, pengobatan TB dengan
paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang diawasi langsung oleh Pengawas Minum
Obat (PMO), kesinambungan persediaan OAT dan Pencatatan dan pelaporan secara
baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB Paru
di RSD Blambangan sudah berjalan dengan baik sesuai aturan.

Kata Kunci: DOTS, TB Paru pada Anak

viii
ABSTRACT

DESCRIPTION OF SUCCESS FOR DIRECTLY OBSERVED


TREATMENT SHORTCOURSE (DOTS) STRATEGY IN CHILDREN
WITH PULMONARY TUBERCULOSIS IN PEDIATRIC WARD OF
BLAMBANGAN REGIONAL PUBLIC HOSPITAL 2020

Rina1, NinisIndriani2, Rudiyanto2


1
Student of Bachelor in Nursing Study Program, STIKES Banyuwangi
2
Lecturer of Bachelor in Nursing Study Program, STIKES Banyuwangi

Pulmonary tuberculosis in children increases continuously. The efforts to


control pulmonary tuberculosis were carried out by using Directly Observed
Treatment Short course (DOTS) strategy. This strategy will cut the transmission
of pulmonary tuberculosis and is expected to reduce it in society, especially
pulmonary Tuberculosis in children.
This study aimed to describe the success of DOTS strategy in children
with pulmonary tuberculosis. The type of research used was a descriptive
analytical. This study used accidental sampling technique. The research sample
consisted of 30 respondents who fit the inclusion criteria taken from the DOTS
strategy questionnaire sheet. Then scoring, tabulating and descriptive statistical
analysis were carried out by using SPSS 25 for windows.

There were 30 respondents who had done pulmonary Tuberculosis


treatment. 27 (90%) respondents were successful in pulmonary Tuberculosis
treatment with DOTS program, and 3 (10%) respondents did not succeed in
pulmonary Tuberculosis treatment.
Based on the research it can be concluded that the 5 components of DOTS
such as political commitment from the government to run the national TB
program, TB diagnosis through microscopic sputum examination, TB treatment
with a combination of Anti-Tuberculosis Drugs which is directly supervised by
the Drug Drinking Supervisor, continuity Anti-Tuberculosis Drugs supplies and
standard recording and reporting to facilitate monitoring and evaluation.
Pulmonary TB prevention program in Blambangan regional public hospital had
been running well based on the regulations.

Keywords: DOTS, Pulmonary Tuberculosis in Children.

ix
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL DAN PERSYARATAN GELAR ................................. i


LEMBAR PERNYATAAN ORINALITAS .................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. iii
LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI ............................................. iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ............................................ v
UCAPAN TERIMAKASIH.............................................................................. vi
ABSTRAK ......................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL.............................................................................................. xiii
DAFTAR BAGAN ............................................................................................. xiv
DAFTAR DIAGRAM ....................................................................................... xv
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................... xvi
DAFTAR LAMBANG ...................................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xviii
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 6
1.3 Tujuan .............................................................................................. 6
1.3.1 Tujuan Umum ......................................................................... 6
1.3.2 Tujuan Khusus ........................................................................ 6
1.4 Manfaat ............................................................................................ 7
1.4.1 Manfaat Teoritis...................................................................... 7
1.4.2 Manfaat Praktis ....................................................................... 7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 9
2.1 Konsep Tuberkulosis Anak .............................................................. 9
2.1.1 Definisi Tuberkulosis Paru Anak ............................................ 9
2.1.2 Etiologi Tuberkulosis Paru Anak ........................................... 10
2.1.3 Cara Penularan Tuberkulosis Paru Anak ............................... 11
2.1.4 Faktor Resiko Tuberkulosis Paru Anak ................................. 12

x
2.1.5 Faktor yang Mempengaruhi Tuberkulosis Paru Anak ............ 13
2.1.6 Patofisiologi ........................................................................... 16
2.1.7 Manifestasi Klinis .................................................................. 19
2.1.8 Diagnosa Scoring Tuberkulosis Paru Anak ........................... 24
2.1.9 Komplikasi ............................................................................. 25
2.1.10 Pemeriksaan Penunjang ........................................................ 26
2.1.11 Penatalaksanaan ................................................................... 27
2.1.12 Pencegahan ........................................................................... 31
2.1.13 Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Pengobatan ....... 32
2.1.14 Faktor yang Mempengaruhi Ketidakberhasilan Pengobatan 34
2.2 Konsep Teori Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) 34
2.2.1 Definisi DOTS ........................................................................ 34
2.2.2 Tujuan Strategi DOTS ............................................................ 36
2.2.3 Komponen Strategi DOTS ...................................................... 36
2.2.4 Pelaksanaan Strategi DOTS ................................................... 40
2.2.5 Pengawas Minum Obat .......................................................... 40
2.2.6 Tingkat Keberhasilan Strategi DOTS .................................... 41
2.2.7 Kendala Strategi DOTS ......................................................... 43
2.3 Konsep Teori Anak ......................................................................... 44
2.3.1 Definisi Anak .......................................................................... 44
2.3.2 Kebutuhan Dasar Anak ........................................................... 44
2.3.3 Definisi Pertumbuhan ............................................................. 45
2.3.4 Tahapan Pertumbuhan ............................................................ 45
2.3.5 Ciri Pertumbuhan Anak ......................................................... 48
2.3.6 Definisi Perkembangan ........................................................... 49
2.3.7 Ciri-ciri Perkembangan .......................................................... 49
2.3.8 Aspek Perkembangan ............................................................ 49
2.3.9 Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Anak ................ 51
2.3.10 Metode Perkembangan ........................................................ 55
2.4 Tabel Sintesis .................................................................................. 60
BAB 3 KERANGKA KARANGAN KONSEPTUAL .................................... 66
3.1 Kerangka Konsep ............................................................................. 66

xi
3.2 Hipotesis Penelitian .......................................................................... 61
BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN .......................................................... 68
4.1 Desain Penelitian .............................................................................. 68
4.2 Kerangka Kerja ................................................................................ 69
4.3 Populasi, Sampel dan Sampling ....................................................... 70
4.3.1 PopulasiPenelitian .................................................................. 70
4.3.2 SampelPenelitian ................................................................... 70
4.3.3 Sampling ................................................................................ 71
4.4 Identifikasi Variabel ......................................................................... 72
4.5 Definisi Operasional ......................................................................... 72
4.6 Pengumpulan dan Pengolahan Data ................................................. 73
4.6.1 Pengumpulan Data .................................................................. 73
4.6.2 Proses Pengumpulan Data ...................................................... 74
4.6.3 InstrumenPenelitian ................................................................ 75
4.6.4 Lokasi dan Waktu Peneltian ................................................... 75
4.7 Analisa Data ..................................................................................... 75
4.7.1 Langkah-langkah Analisa Data .............................................. 75
4.7.2 Uji Statistik ............................................................................. 76
4.8 Etika Penelitian ................................................................................ 77
4.8.1 Inform Consent (Persetujuan) ................................................. 77
4.8.2 Anonimity (Tanpa Nama) ........................................................ 77
4.8.3 Confidentiatly (Kerahasiaan) .................................................. 78
4.8.4 Veracity (Kejujuran) ............................................................... 78
4.8.5 Non Maleficience (Tidak Merugikan)..................................... 78
4.8.6 Respect For Respon (Menghormati Harkat dan Martabat
Manusia) ................................................................................ 78
4.8.7 Beneficience (Memanfaatkan Manfaat dan Meminimalkan
Resiko) .................................................................................... 78
4.9 Keterbatasan Penelitian .................................................................... 79
4.9.1 Teknik Pengambilan Sampel .................................................. 79
4.9.2 Pelaksanaan Pengumpulan Data ............................................. 79
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 80
5.1 Hasil Penelitian ................................................................................. 80

xii
5.1.1 Data Demografi Tempat penelitian ......................................... 80
5.2 Analisa Univariat .............................................................................. 82
5.2.1 Karakteristik Umum Responden ............................................. 82
5.2.2 Karakteristik Responden berdasarkan Variabel Yang diteliti. 86
5.3 Pembahasan ....................................................................................... 87
5.3.1 Karakteristik Umum Responden ............................................. 87
5.3.2 Gambaran Keberhasilan Strategi Directly Observed
Treatment Short Course (DOTS) Pada Anak dengan
Tuberkulosis Paru di Ruang Poli Anak RSD Blambangan
Tahun 2020 ............................................................................. 92
5.3.3 Ketidakberhasilan Strategi Directly Observed Treatment
Short Course (DOTS) Pada Anak dengan Tuberkulosis Paru
di Ruang Poli Anak RSD Blambangan Tahun 2020 ............... 99
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................102
6.1 Kesimpulan........................................................................................103
6.2 Saran .................................................................................................104
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................106
LAMPIRAN .......................................................................................................109

xiii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Tabel Diagnosa Scoring ...................................................................... 25


Tabel 2.2 Tabel Sintesis ...................................................................................... 60
Tabel 4.2 Definisi Operasional .......................................................................... 72

xiv
DAFTAR BAGAN

Bagan 3.1 Kerangka Konseptual ...................................................................... 66


Bagan 4.2 Kerangka Kerja ............................................................................... 69

xv
DAFTAR DIAGRAM

Diagram 5.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia Anak ......................... 82


Diagram 5.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ................... 83
Diagram 5.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Tinggal Bersama ............... 83
Diagram 5.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Anak .............. 84
Diagram 5.5 Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan Orang Tua ........ 85
Diagram 5.6 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Orang Tua ...... 85
Diagram 5.7 Karakteristik Responden Berdasarkan Keberhasilan DOTS .......... 86

xvi
DAFTAR SINGKATAN

TB = Tuberkulosis

DOTS = Directly Observed Treatment Short Course

OAT = Obat Anti Tuberkulosis

H = Isoniazid

R = Rimfasipin

Z = Pirazinamid

Depkes = Departemen Kesehatan

Kemenkes = Kementerian Kesehatan

PMO = Pengawas Minum Obat

TB MDR = Multidrug Resistant Tuberculosis

HIV = Human Immunodeficiency Virus

AIDS = Acquired Immuno Deficiency Syndrome

BCG = Bacillus Calmette Guerin

Riskesdas = Riset Kesehatan Dasar

BTA = Basil Tahan Asam

MT = Mantoux Test

SPSS = Statistical Product and Service Solutions

WHO = World Health Organization

RSD = Rumah Sakit Daerah

xvii
DAFTAR LAMBANG

≤ = Kurang dari sama dengan

≥ = Lebih dari sama dengan

< = Kurang dari

> = Lebih dari

= = Sama dengan

/ = Per

% = Persen

+ = Tambah

- = Kurang

() = Dalam kurung

Α = Alfa

. = Kali

= Bagi

N = Sampel

N = Jumlah populasi

D = Tingkat signifikasi

xviii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Matriks Rencana Kegiatan


Lampiran 2 Kelulusan Uji Etik
Lampiran 3 Persetujuan Pengajuan Judul Skripsi PPPM STIKes
Banyuwangi
Lampiran 4 Surat Permohonan Data Awal di Ruang Poli Anak RSD
Blambangan
Lampiran 5 Surat Balasan Permohonan Data Awal di Ruang Poli Anak
RSD Blambangan
Lampiran 6 Surat Ijin Penelitian di Ruang Poli Anak RSD Blambangan
Lampiran 7 Lembar Permohonan Menjadi Responden
Lampiran 8 Lembar Persetujuan Menjadi Responden
Lampiran 9 Lembar Kuesioner DOTS
Lampiran 10 Dokumentasi
Lampiran 11 Lembar Konsultasi Mahasiswa
Lampiran 12 Lembar Revisi Mahasiswa
Lampiran 13 Lembar Konsultasi Mahasiswa

xix
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Anak merupakan sekelompok individu yang berada pada rentang usia

antara 0–18 tahun yang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan

(Priyanto, 2015). Pada anak-anak terutama balita sangat rentan terkena

penyakit. Usia tersebut, mudah terkena penyakit terutama dari faktor

lingkungan yang tidak sehat (Yanto dkk, 2017). Tuberkulosis Paru termasuk

salah satu penyakit yang menyerang anak didunia (Waingapu dkk, 2016). TB

Paru adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri

Mycobacterium Tuberculosis dan bersifat menular (Effendi dkk, 2014).

Penularan TB Paru pada anak biasanya melalui udara dari pasien TB Paru

dewasa yang tinggal dalam satu rumah (Diani dkk, 2017). Tuberkulosis Paru

dapat menyebabkan komplikasi kesehatan yang serius pada orang dewasa

serta anak-anak kecuali terdeteksi sejak dini dan diobati.

Perawatan dasar dapat berlangsung antara beberapa minggu hingga

beberapa bulan. Namun, mungkin diperlukan waktu setidaknya enam bulan

perawatan, pengobatan dan perawatan di rumah untuk menghilangkan bakteri

sepenuhnya dari tubuh anak. Tuberkulosis Paru diobati dengan antibiotik dan

obat lain untuk melawan bakteri. Anak-anak dapat menjalani pengobatan Obat

Anti Tuberkulosis (OAT) enam hingga sembilan bulan(Herlambang dkk,

2019). Obat Anti Tuberkulosis (OAT) mempengaruhi tingkat kesembuhan TB

Paru pada anak. Selama ini OAT diberikan dalam bentuk obat racikan dengan

komponen obat berupa kategori 2(HRZ)/4(HR). Kode huruf tersebut adalah

akronim dari nama obat yang dipakai yakni : H (Isoniazid), R (Rifampisin),

1
2

dan Z (Pirazinamid). Terdiri atas kombinasi isoniazid, pirazinamid, dan

rifampisin selama 2 bulan, dan dilanjutkan dengan kombinasi isoniazid dan

rifampisin selama 4 bulan (Kautsar dkk, 2016).

Keberhasilan pengobatan TB Paru dapat dipengaruhi oleh beberapa

faktor yaitu : 1) Faktor Sarana : tersedianya obat yang cukup dan continue,

dedikasi petugas kesehatan yang baik, pemberian regiment OAT yang adekuat

2) Faktor Penderita : Pengetahuan penderita yang cukup menegenai penyakit

TB Paru. Cara pengobatan dan bahaya akibat berobat tidak adekuat, cara

menjaga kondisi tubuh yang baik dengan makanan bergizi, cukup istirahat,

hidup teratur dan tidak minum alkohol atau merokok, cara menjaga kebersihan

diri dan lingkungan dengan tidak membuang dahak sembarangan, bila batuk

menutup mulut dengan sapu tangan, jendela rumah cukup besar untuk

mendapat lebih banyak sinar matahari, kesadaran dan tekad penderita untuk

sembuh. 3) Faktor Keluarga dan masyarakat lingkungan : dukungan keluarga

sangat menunjang keberhasilan pengobatan seseorang dengan cara selalu

mengingatkan penderita agar minum obat, pengertian yang dalam terhadap

penderita yang sedang sakit dan memberi semangat agar tetap rajin berobat. 4)

Strategi DOTS : Penanggulangan TB Paru yang dikenal sebagai strategi

DOTS. Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien

dengan prioritas pasien TB Paru menular. Strategi ini akan memutuskan

penularan TB Paru dan diharapkan menurunkan insiden di masyarakat

terutama pada anak yang menderita TB Paru. Menemukan dan

menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan dan

penularan TB Paru (Depkes, 2013)


3

Sedangkan faktor ketidakberhasilan pengobatan TB Paru dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain; 1) Faktor pasien: pasien tidak

patuh minum obat anti TB (OAT), pasien pindah fasilitas pelayanan

kesehatan, dan TB nya termasuk yang resisten terhadap OAT. 2) Faktor

pengawas minum obat (PMO): PMO tidak ada, PMO ada tapi kurang

memantau. 3) Faktor obat: suplai OAT terganggu sehingga pasien menunda

atau tidak meneruskan minum obat, dan kualitas OAT menurun karena

penyimpanan tidak sesuai standar (Kemenkes RI, 2016). Dalam upaya

penanggulangan TB Paru, Indonesia telah melaksanakan strategi Directly

Observed Treatment Short Course (DOTS) sejak tahun 1995. Directly

Observed Treatment Short Course (DOTS) merupakan strategi untuk

pengendalian TB Paru yang bertujuan untuk memutuskan penularan penyakit

TB Paru sehingga menurunkan angka kesakitan dan angka kematian TB Paru

di masyarakat (Dheasabel dkk, 2019).

Dave (2016) menyatakan bahwa angka kejadian TB di dunia sebanyak

53.110 kasus, sedangkan pada anak sebanyak 3.219 dimana angka

keberhasilan pengobatan TB paru pda anak sebesar 94% dan sisanya masih

belum sembuh. Setiap tahunnya angka keberhasilan pengobatan TB di

Indonesia belum mencapai target yang telah ditetapkan. Dari data 3 tahun

terakhir, hanya pada tahun 2015 angka keberhasilan pengobatan TB yang

mencapai target (Kemenkes, 2016). Angka keberhasilan pengobatan TB di

Indonesia tahun 2015 sudah mencapai target nasional, yaitu 85% (Kemenkes,

2015). Pada tahun 2016 terjadi penurunan keberhasilan pengobatan pada

kasus TB anak menjadi 75,4%. Sedangkan target nasional keberhasilan


4

pengobatan TB pada tahun 2016 adalah 88% (Kemenkes, 2016). Kenaikan

keberhasilan pengobatan TB pada anak terjadi pada tahun 2017 menjadi

83,5%, namun masih tetap belum bisa mencapai target nasional, yaitu 90%

(Kemenkes, 2017).

Di Jawa Timur tahun 2017 jumlah kasus TB paru pada anak sebesar

2.930 yang mengikuti pengobatan lengkap 44,84% Keberhasilan pengobatan

pada tahun 2017 70,72%. Menurut Dinas Kesehatan Banyuwangi (2017)

Kota Banyuwangi menjadi salah satu kabupaten/kota dengan angka

keberhasilan pengobatan terendah yaitu 60,5 %. Kabupaten Banyuwangi

belum bisa mencapai target yang telah ditetapkan nasional. Berdasarkan Studi

Pendahuluan yang dilakukan di Ruang Poli Anak RSD Blambangan pada

bulan Januari 2019-Februari 2020 terdapat 72 pasien Anak dengan

Tuberkulosis Paru yang sudah menjalani pengobatan selama 6-9 bulan. Dari

data tersebut didapatkan 72 pasien yang mengikuti program DOTS 66 pasien

dinyatakan sembuh dan 5 pasien dinyatakan Drop Out sedangkan 1 pasien

dinyatakan tidak sembuh.

Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ertati Suarni, dkk

(2013) yang berjudul Implementasi Terapi DOTS (Directly Observed

Treatment Short Course) Pada TB Paru di RS Muhammadiyah Palembang di

dapatkan hasil pasien yang dinyatakan sembuh sebanyak 90% (76,92%)

artinya, terdapat hubungan yang signifikan antara pelaksanaan program

DOTS dengan keberhasilan pengobatan TB Paru. Berdasarkan penelitian

mengenai Evaluasi Pelaksanaan program DOTS Terhadap Angka Konversi,

Angka Kesembuhan, dan Angka Drop Out pada pasien TB Paru BTA Positif
5

Instalasi Rawat Jalan RSUD DR. Sadjito Yogyakarta oleh Shinta (2017)

didapatkan dari 18 pasien yang melaksanakan strategi DOTS terdapat 2

pasien sembuh, 15 pasien drop out serta 1 pasien gagal pengobatan atau tidak

sembuh, artinya terdapat tidak terdapat hubungan yang signifikan antara

Program DOTS dengan angka konversi dan angka kesembuhan TB.

Rendahnya pengetahuan tentang pengobatan TB Paru dan Strategi DOTS

membuat penderita menganggap remeh.

Berdasarkan data diatas keberhasilan pengobatan TB Paru belum

memenuhi target nasional. Masalah utama kegagalan pengobatan disebabkan

putusnya pengobatan akibat kurangnya pengawasan dan kerjasama penderita

yang menimbulkan gagalnya pengobatan dan terjadinya resistensi ganda

terhadap OAT(Risiko dkk, 2017). Dampak dari ketidakberhasilan dalam

pengobatan TB Paru yaitu pasien TB yang putus berobat dan gagal akan tetap

menjadi sumber penularan. Pasien itu berisiko menjadi pasien TB MDR

(Multidrug Resistant Tuberculosis) yang membutuhkan pengobatan lebih

lama dan lebih mahal, dengan angka keberhasilan lebih rendah (Rintiswati,

2017) .

Peran perawat dan tenaga kesehatan sangatlah diperlukan terutama

dalam bentuk promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif untuk mencegah

terjadinya resiko penularan dan komplikasi lebih lanjut seperti infeksi

sekunder atau perdarahan, sampai dengan kematian. Peran perawat hendaknya

memberikan pendidikan kesehatan tentang penyakit TB Paru kepada pasien

dan Pengawas Minum Obat (PMO) saat awal pengobatan. Preventif misalnya

menganjurkan pasien yang terkena TB Paru untuk selalu menggunakan


6

masker saat berbicara dengan keluarga atau orang lain. Kuratif misalnya

melakukan pengobatan rutin selama enam bulan menyembuhkan penderita TB

Paru dengan menggunakan strategi Directly Observed Treatment Short Course

(DOTS). Rehabilitatif misalnya melakukan re-evaluasi kembali kondisi klien

ke rumah sakit atau tenaga kesehatan (Wahyudi, 2017).Upaya pengendalian

TB secara nasional dilakukan dengan menerapkan strategi DOTS yang telah

disahkan oleh WHO sejak tahun 1995. Directly Observed Treatment

Shortcourse (DOTS) merupakan strategi untuk pengendalian TB Paru yang

bertujuan untuk memutuskan penularan penyakit TB Paru sehingga

menurunkan angka kesakitan dan angka kematian TB di masyarakat

(Dheasabel dkk, 2019).

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana Gambaran Keberhasilan Strategi Directly Observed

Treatment Short Course (DOTS) pada Anak dengan Tuberkulosis Paru di

Ruang Poli Anak RSD Blambangan tahun 2020?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui Gambaran Keberhasilan Strategi Directly Observed

Treatmen Short Course (DOTS) pada Anak dengan Tuberkulosis Paru

di Ruang Poli Anak RSD Blambangan tahun 2020.

1.3.2 Tujuan Khusus

1) Mengidentifikasi keberhasilan strategi DOTS di Ruang Poli Anak

RSD Blambangan Tahun 2020.


7

2) Mengidentifikasi ketidakberhasilan strategi DOTS di Ruang Poli

Anak RSD Blambangan Tahun 2020.

3) Menganalisa gambaran keberhasilan startegi Directly Observed

Treatment Short Course (DOTS) pada Anak dengan Tuberkulosis

Paru di Ruang Poli Anak RSD Blambangan Tahun 2020.

1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat Teoritis

Dengan diadakannya penelitian ini diharakan dapat memberikan

wawasan/informasi yang menyangkut tentang keberhasilan strategi

DOTS pada pasien TB Paru Anak.

1.4.2 Manfaat Praktis

1) Manfaat Bagi Keperawatan

Diharapkan penelitian ini memberikan masukan bagi profesi

keperawatan untuk melihat keberhasilan strategi DOTS yang telah

diterapkan dan menjadi motivator kesehatan masyarakat agar

memberi pengetahuan masyarakat tentang pentingnya pengobatan

Tuberkulosis Paru.

2) Manfaat Bagi Instansi Pelayanan Kesehatan

Memberi rujukan bagi pelayanan kesehatan untuk melakukan

pengobatan TB Paru dengan cara yang benar dan sesuai standar

pengobatan serta menambah kepedulian pelayanan kesehatan

terhadap penanggulangan TB Paru.


8

3) Manfaat Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai

keberhasilan strategi DOTS pada anak dalam pentingnya melakukan

pengobatan TB Paru.

4) Manfaat Bagi Responden

Hasil penelitian diharapkan mampu memotivasi pasien dan

menjalankan pengobatan strategi DOTS dengan patuh dan benar

agar berhasil dalam pengobatan TB Paru pada anak.

5) Manfaat Bagi Keluarga

Memberikan pengetahuan tentang penyakit Tuberkulosis Paru

untuk memotivasi pasien yang menjalani pengobatan pada pasien

Tuberkulosis Paru dengan mengacu pada strategi DOTS pada anak

dengan TB Paru dan memberikan pengetahuan kepada keluarga

pasien untuk meminimalisir penularan yang terjadi.

6) Manfaat Bagi Peneliti Selanjutnya

Sebagai masukan data dan sumbangan pemikiran

perkembangan pengetahuan tentang gambaran keberhasilan strategi

DOTS pada anak dengan TB Paru.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Tuberkulosis Anak

2.1.1 Definisi

Tuberkulosis Anak adalah penyakit akibat infeksi Mycobacterium

tuberculosis yang menyerang anak bersifat sistemik sehingga dapat

mengenai hampir semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru

yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer (Fatah dkk, 2017).

Tuberkulosis Anak merupakan penyakit yang disebabkan oleh

infeksi Mycobacterium tuberculosis. Umumnya setelah masuk ke dalam

tubuh melalui rongga pernapasan, bakteri ini akan menuju ke paru.

Tetapi bukan hanya di paruparu, bakteri ini juga dapat menuju organ

tubuh lain, seperti ginjal, limpa, tulang, dan otak (Dheasabel dkk,

2018).

Penyakit Tuberkulosis pada Anak merupakan salah satu penyakit

infeksi menular dan bersifat kronis serta bisa menyerang siapa saja

(laki-laki, perempuan, tua, muda, miskin, kaya dan sebagainya).

Penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan

merupakan faktor penting dari kesakitan dan kematian terutama di

negara berkembang (Waingapu dkk, 2016).

Tuberkulosis pada Anak merupakan penyakit menular kronik yang

disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang telah menginfeksi

hampir sepertiga penduduk dunia dan merupakan penyebab kematian

kedua setelah HIV (Husna dkk, 2016).

9
10

Tuberkulosis Anak adalah penyakit menular langsung akibat

Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar Mycobacterium

tuberculosis menyerang anak akibat kontak langsung dengan penderita

TB Paru dewasa(Rintiswati, 2017).

Tuberkulosis Paru pada Anak berbeda dengan TB Paru orang

dewasa. TB Paru pada anak sulit dikenali dan sulit untuk dianalisa

mengingat anak sulit untuk mengeluarkan dahak. Sebagian orang

menganggap dan mengenal TB Paru pada anak dengan istilah Flek

Paru-paru.

2.1.2 Etiologi

Tuberkulosis disebabkan oleh bakteri batang Gram positif,

Mycobacterium tuberculosis. Reaksi terhadap infeksi TB Paru terdiri

atas reaksi non spesifik (primer) yang dimulai sejak adanya infeksi

sampai terjadi fagositosis bakteri oleh makrofag dan reaksi spesifik

(sekunder) yang dimulai dengan adanya aktifasi sel limfosit T sampai

pelepasan sitokin dan pembentukan granuloma (Fatah dkk, 2017) .

Menurut Febrian, M. A. (2015) menjelaskan bahwa faktor-faktor

yang dapat menyebabkan penularan Tuberkulosis pada anak yaitu

karena status gizi, penderita TB Paru disekitar lingkungan dan status

imunisasi BCG.

Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular langsung yang

biasanya menyerang paru-paru disebabkan oleh Mycobacterium

tuberculosis, bakteri ini berbentuk batang, tidak membentuk spora dan

termasuk bakteri aerob. Pada pewarnaan Ziehl Neelsen maka warna


11

tersebut tidak dapat dihilangkan dengan asam, karena Mycobacterium

tuberculosis mempunyai lapisan dinding lipid yang tahan terhadap

asam dan asam mycolat yang mengikat warna carbol fuchsin saat

pewarnaan Ziehl Neelsen. Oleh karena itu, disebut pula sebagai Basil

Tahan Asam (BTA).

Mycobacterium tuberculosis dapat mati jika terkena cahaya

matahari langsung selama 2 jam. Karena kuman ini tidak tahan terhadap

sinar ultra violet. Mycobacterium tuberculosis mudah menular,

mempunyai daya tahan tinggi dan mampu bertahan hidup beberapa jam

ditempat gelap dan lembab. Oleh karena itu, dalam jaringan tubuh

kuman ini dapat dormant (tidur), tertidur lama selama beberapa tahun.

Basil yang ada dalam percikan dahak dapat bertahan hidup 8-10 hari

(Depkes, 2014).

2.1.3 Cara Penularan Penyakit Tuberkulosis

Mycobacterium tuberculosis merupakan penyakit menular, artinya

orang yang tinggal serumah dengan penderita atau kontak erat dengan

penderita yang mempunyai risiko tinggi untuk tertular baik pada orang

dewasa maupun pada anak. Sumber penularannya adalah pasien TB

Paru dengan BTA positif, terutama pada waktu batuk atau bersin dan

berbicara, dimana pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk

percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan

sekitar 3000 percikan dahak dan umumnya penularan terjadi dalam

ruangan, dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama.


12

Adanya ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara

keberadaan sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan

dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan gelap dan lembab.

Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang

dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil

pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang

memungkinkan seorang terjangkit kuman TB Paru ditentukan oleh

konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara

tersebut (Depkes, 2014).Anak-anak dengan kekebalan tubuh buruk

paling rentan tertular dari orang dewasa yang positif TB Paru tetapi TB

Paru tidak menular antara sesama anak.

TB pada anak memang berbeda dengan TB Paru pada orang

dewasa. TB pada anak menginfeksi primer di parenkim paru yang tidak

menyebabkan refleks batuk, sehingga jarang ditemukan gejala khas TB

Paru seperti batuk berdahak. Pada parenkim paru ini juga kuman

cenderung lebih sedikit, maka TB Paru tidak menular antara sesama

anak (Saswito, 2016).

2.1.4 Faktor Resiko Tuberkulosis Paru

Faktor risiko terjadinya Tuberkulosis paru pada adalah (Depkes RI,

2015):

1) Anak yang status gizinya rendah

2) Anak yang belum mendapat imunisasi BCG sama sekali

3) Bayi dan anak-anak yang kontak erat dengan pasien TB BTA positif

4) Anak yang memiliki penyakit HIV dan AIDS


13

2.1.5 Faktor yang Berpengaruh dengan Kejadian TB Paru pada Anak

1) Umur

Infeksi pada anak tidak mengenal usia, tetapi sebagian

besar kasus terjadi pada usia antara 1-4 tahun. Bayi dan anak pada

kedua jenis kelamin memiliki daya tahan yang lemah. Sampai

berusia dua tahun, infeksi terutama dapat berakibat paling fatal.

Sesudah usia satu tahun sampai sebelum masa pubertas, seorang

anak yang terinfeksi dapat berkembang menjadi TB Millier atau

meningitis, atau salah satu bentuk Tuberkulosis kronis yang lebih

meluas terutama mengenai kelenjar getah bening, tulang atau

penyakit persendian (WHO, 2016).

2) Status Gizi

Defisiensi gizi dapat dihubungkan dengan kejadian infeksi

melalui beberapa cara, misalnya dengan memengaruhi nafsu makan

anak, kehilangan bahan makanan karena diare dan muntah

memengaruhi metabolisme makanan. Gangguan defisiensi gizi

merupakan awal gangguan sistem kekebalantubuh. Oleh karena itu

pengobatan dan pencegahan infeksi adalah status gizi yang baik pada

anak (Achmadi, 2014).

3) Status Imunisasi BCG

BCG adalah vaksin yang terdiri dari basil hidup yang

dihilangkan virulensinya, (basil ini berasal dari suatu strain TB bovin

yang dibiakkan selama beberapa tahun dalam laboratorium). BCG

merangsang kekebalan, meningkatkan daya tahan tubuh tanpa


14

menyebabkan kerusakan. Sesudah vaksinasi BCG, TB Paru dapat

memasuki tubuh, tetapi dalam kebanyakan kasus daya pertahanan

tubuh yang meningkat akan mengendalikan atau membunuh bakteri

tersebut (Crofton dkk, 2013). Meskipun terdapat kontroversi

terhadap pemberian vaksin BCG, terutama kemampuannya terhadap

serangan infeksi TB, ada kesepakatan bahwa pemberian vaksin BCG

dapat mencegah timbulnya komplikasi seperti radang otak atau

meningitis yang disebabkan oleh TB pada anak (WHO, 2015).

4) Faktor Lingkungan

Menurut Achmadi (2017), lingkungan rumah yang

berpengaruh terhadap kejadian TB pada umumnya. Lingkungan

rumah yang buruk (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan

berpengaruh pada penyebaran penyakit menular termasuk penyakit

TB paru. Hal yang perlu diperhatikan pada faktor lingkungan

kepadatan rumah ataupun lingkungan tempat tinggal, ventilasi

rumah, pencahayaan rumah, kelembapan yang merupakan sarana

baik untuk pertumbuhan mikroorganisme, dan ketinggian wilayah

tempat tinggal. Oleh karenanya diperlukan upaya penyehatan antara

lain:

Bila kelembaban kurang dari 40% maka:

(1) Menggunakan alat untuk meningkatkan kelembaban seperti

Humidifier (alat pengatur kelembaban udara)

(2) Membuka jendela rumah

(3) Menambah jumlah dan luas jendela rumah


15

(4) Memodifikasi fisik bangunan (meningkatkan pencahayaan,

sirkulasi udara)

Bila kelembaban udara lebih dari 60%, maka dapat dilakukan upaya

penyehatan antara lain:

(1) Memasang genteng kaca

(2) Menggunakan alat untuk menurunkan kelembaban seperti

Humidifier (alat pengatur kelembaban udara)

5) Penyakit Penyerta

Beberapa penyakit penyerta seperti leukemia dan penyakit

infeksi lainnya, HIV, dan beberapa penyakit lainnya akan

melemahkan sistem pertahanan tubuh terhadap serangan kuman

Mycobacterium Tuberculosis. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan

luas sitem daya tahan tubuh sehingga jika terjadi infeksi oportunistik

seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit

parah bahkan mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi

HIV meningkat, maka jumlah penderita TB paru akan meningkat.

Dengan demikian penularan TB paru di masyarakat akan meningkat

pula (Harnanik, 2016).

6) Kontak dengan penderita/ riwayat penyakit keluarga

Kedekatan dan kontak yang terus menerus merupakan

penyebab utama dan resiko transmisi infeksi tersebut dan orang-

orang yang tinggal dengan serumah dengan penderita mempunyai

resiko lebih tinggi dari orang dengan kontak biasa. Percikan dahak

penderita merupakan media sumber penularan yang penting. Bakteri


16

penyebab TB paru dapat menyebar ke udara pada saat penderita

berbicara, batuk atau bersin sehingga orang yang berada disekitar

penderita dapat tertular karena mengirup udara yang mengandung

basil tuberkulosis. Oleh karenanya penderita harus menutup mulut

bila batuk atau bersin, jangan membuang dahak di sembarangan

tempat (Yulistyaningrum dkk, 2019).

2.1.6 Patofisiologi

Berbeda dengan TB Paru pada orang dewasa, TB Paru pada anak

tidak menular. Pada TB Paru anak, kuman berkembang biak di kelenjar

paru-paru. Jadi, kuman ada di dalam kelenjar, tidak terbuka. Sementara

pada TB Paru dewasa, kuman berada di paru-paru dan membuat lubang

untuk keluar melalui jalan napas. Pada saat batuk, percikan ludahnya

mengandung kuman. Ini yang biasanya terisap oleh anak-anak, lalu

masuk ke paru-paru (Wirjodiardjo, 2018).

Proses penularan tuberkulosis dapat melalui proses udara atau

langsung, seperti saat batuk. Terdapat dua kelompok besar penyakit ini

diantaranya adalah sebagai berikut: tuberkulosis paru primer dan

tuberkulosis post primer. Tuberkulosis primer sering terjadi pada anak,

proses ini dapat dimulai dari proses yang disebut droplet nuklei, yaitu

statu proses terinfeksinya partikel yang mengandung dua atau lebih

kuman tuberkulosis yang hidup dan terhirup serta diendapkan pada

permukaan alveoli, yang akan terjadi eksudasi dan dilatasi pada kapiler,

pembengkakan sel endotel dan alveolar, keluar fibrin serta makrofag ke

dalam alveolar spase. Tuberkulosis post primer, dimana penyakit ini


17

terjadi pada pasien yang sebelumnya terinfeksi oleh kuman

Mycobacterium Tuberculosis (Hidayat, 2018).

Sebagian besar infeksi tuberkulosis menyebar melalui udara

melalui terhirupnya nukleus droplet yang berisikan mikroorganisme

basil tuberkel dari seseorang yang terinfeksi. Tuberkulosis

adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas yang

diperantarai oleh sel dengan sel elektor berupa makrofag dan limfosit

(biasanya sel T) sebagai sel imuniresponsif. Tipe imunitas ini

melibatkan pengaktifan makrofag pada bagian yang terinfeksi oleh

limfosit dan limfokin mereka, responya berupa reaksi hipersentifitas

selular (lambat). Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolar

membangkitkan reaksi peradangan yaitu ketika leukosit digantikan oleh

makrofag. Alveoli yang terlibat mengalami konsolidasi dan timbal

pneumobia akut, yang dapat sembuh sendiri sehingga tidak terdapat

sisa, atau prosesnya dapat berjalan terus dengan bakteri di dalam sel-sel

(Price dkk, 2016).

Drainase limfatik basil tersebut juta masuk ke kelenjar getah

bening regional dan infiltrasi makrofag membentuk tuberkel sel

epitelloid yang dikelilingi oleh limfosit. Nekrosis sel menyebabkan

gambaran keju (nekrosis gaseosa), jaringan grabulasi yang disekitarnya

pada sel-sel epitelloid dan fibroblas dapat lebih berserat, membentuk

jatingan parut kolagenosa, menghasilkan kapsul yang mengeliligi

tuberkel. Lesi primer pada paru dinamakan fokus ghon, dan kombinasi

antara kelenjar getah bening yang terlibat dengan lesi primer disebut
18

kompleks ghon. Kompleks ghon yang mengalami kalsifikasi dapat

terlihat dalam pemeriksaan foto thorax rutin pada seseorang yang sehat

(Price dkk, 2016).

Tuberkulosis paru termasuk insidias. Sebagian besar pasien

menunjukkan demam tingkat rendah, keletihan, anorexia, penurunan

berat badan, berkeringat malam, nyeri dada dan batuk menetal. Batuk

pada awalnya mungkin nonproduktif, tetapi dapat berkembang ke arah

pembentukan sputum mukopurulen dengan hemoptisis. Tuberculosis

dapat mempunyai manifestasi atipikal pada anak seperti perilaku tidak

biasa dan perubahan status mental, demam , anorexia dan penurunan

berat badan. Basil tuberkulosis dapat bertahan lebih dari 50 tahun dalam

keadaan dorman (Smeltzer dkk, 2014).

Menurut Admin (2014) patogenesis penyakit tuberkulosis pada anak

terdiri atas:

1) Infeksi Primer

Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali

dengan kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya,

sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus, dan

terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap disana.

Infeksi dimulai saat kuman TB Paru berhasil berkembang biak

dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan

peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman TB

Paru ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai

kompleks primer predileksinya disemua lobus, 70% terletak


19

subpleura. Fokus primer dapat mengalami penyembuhan sempurna,

kalsifikasi atau penyebaran lebih lanjut. Waktu antara terjadinya

infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4-6

minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya

perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif.

Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya

kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas

seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat

menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada

beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau

dormant (tidur). Kadang kadang daya tahan tubuh tidak mampu

menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa

bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita TB. Masa

inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai

menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan.

2) TB Pasca Primer (Post Primary TB)

TB pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau

tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh

menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas

dari TB pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan

terjadinya kavitas atau efusi.


20

2.1.7 Manifestasi Klinis

Menurut Wirjodiardjo (2018) gejala TB pada anak tidak serta-

merta muncul. Pada saat-saat awal, 4-8 minggu setelah infeksi, biasanya

anak hanya demam sedikit. Beberapa bulan kemudian, gejalanya mulai

muncul di paru-paru. Anak batuk-batuk sedikit. Tahap berikutnya (3 - 9

bulan setelah infeksi), anak tidak nafsu makan, kurang gairah, dan berat

badan turun tanpa sebab. Terdapat pembesaran kelenjar di leher,

sementara di paru-paru muncul gambaran flek. Pada saat itu,

kemungkinannya ada dua, apakah akan muncul gejala TB Paru yang

benar-benar atau sama sekali tidak muncul. Ini tergantung kekebalan

anak. Kalau anak kebal (daya tahan tubuhnya bagus), TB Paru tidak

muncul. Tapi bukan berarti sembuh. Setelah bertahun-tahun, bisa saja

muncul, bukan di paru-paru lagi, melainkan di tulang, ginjal, otak, dan

sebagainya. Ini yang berbahaya dan butuh waktu lama untuk

penyembuhannya.

Riwayat penyakit TB Paru pada anak sulit dideteksi

penyebabnya, penyebab TB Paru adalah kuman TB Paru

(mycobacterium tuberculosis). Sebetulnya, untuk mendeteksi bakteri

TB (dewasa) tidak begitu sulit. Pada orang dewasa bisa dideteksi

dengan pemeriksaan dahak langsung dengan mikroskop atau dibiakkan

dulu di media. Mendeteksi TB Paru pada anak sangat sulit, karena tidak

mengeluarkan kuman pada dahaknya dan gejalanya sedikit. Diperiksa

dahaknya pun tidak akan keluar, sehingga harus dibuat diagnosis baku

untuk mendiagnosis anak TB Paru sedini mungkin. Yang harus


21

dicermati pada saat diagnosis TB Paru pada anak adalah riwayat

penyakitnya. Apakah ada riwayat kontak anak dengan pasien TB Paru

dewasa. Jika ini ada, kemungkinan anak positif TB (Wirjodiardjo,

2018).

Gejala-gejala lain untuk diagnosa antara lain (Wirjodiardjo, 2018):

1) Apakah anak sudah mendapat imunisasi BCG semasa kecil. Atau

reaksi BCG sangat cepat.Misalnya, bengkak hanya seminggu setelah

diimunisasi BCG. Ini juga harus dicurigai TB, meskipun jarang.

2) Berat badan anak turun tanpa sebab yang jelas, atau kenaikan berat

badan setiap bulan berkurang.

3) Demam lama atau berulang tanpa sebab. Ini juga jarang terjadi.

Kalaupun ada, setelah diperiksa, ternyata tipus atau demam berdarah.

4) Batuk lama, lebih dari 3 minggu. Ini terkadang tersamar dengan

alergi. Kalau tidak ada alergi dan tidak ada penyebab lain, baru

dokter boleh curiga kemungkinan anak terkena TB.

5) Pembesaran kelenjar di kulit, terutama di bagian leher, juga bisa

ditengarai sebagai kemungkinan gejala TB, yang sekarang sudah

jarang adalah adanya pembesaran kelenjar di seluruh tubuh,

misalnya di selangkangan, ketiak, dan sebagainya.

6) Mata merah bukan karena sakit mata, tapi di sudut mata ada

kemerahan yang khas.

7) Pemeriksaan lain juga dibutuhkan diantaranya pemeriksaan

tuberkulin (Mantoux Test/MT) dan foto. Pada anak normal, Mantoux

Test positif jika hasilnya lebih dari 10 mm. Tetapi, pada anak yang
22

gizinya kurang, meskipun ada TBC, hasilnya biasanya negatif,

karena tidak memberikan reaksi terhadap MT.

Menurut Supriyatno (2019) skrining tuberkulosis pada anak

antara lain: Sesungguhnya mendiagnosa tuberkulosis pada anak,

terlebih pada anak-anak yang masih sangat kecil, sangat sulit. Diagnosa

tepat TB Paru tak lain dan tak bukan adalah dengan menemukan

adanya Mycobacterium Tuberculosis yang hidup dan aktif dalam

tubuh suspect TB atau orang yang diduga TB. Caranya adalah dengan

melakukan tes dahak. Pada orang dewasa, hal ini tak sulit dilakukan.

Tapi pada anak-anak karena mereka, apalagi yang masih usia balita,

belum mampu mengeluarkan dahak, karenanya, diperlukan alternatif

lain untuk mendiagnosa TB pada anak.

Kesulitan lainnya, tanda-tanda dan gejala TB Paru pada anak

seringkali tidak spesifik (khas). Cukup banyak anak

yang overdiagnosed sebagai pengidap TB, padahal sebenarnya tidak,

atau underdiagnosed, maksudnya terinfeksi atau malah sakit TB tetapi

tidak terdeteksi sehingga tidak memperoleh penanganan yang tepat.

Diagnosa TB Paru pada anak tidak dapat ditegakkan hanya dengan 1

atau 2 tes saja, melainkan harus komprehensif, karena tanda-tanda dan

gejala TB Paru pada anak sangat sulit dideteksi, satu-satunya cara untuk

memastikan anak terinfeksi oleh kuman TB, adalah melalui uji

Tuberkulin (tes Mantoux). Tes Mantoux ini hanya menunjukkan apakah

seseorang terinfeksi Mycobacterium Tuberculosis atau tidak, dan sama

sekali bukan untuk menegakkan diagnosa atas penyakit TB. Sebab,


23

tidak semua orang yang terinfeksi kuman TB Paru lalu menjadi sakit

TB.

Sistem imun tubuh mulai menyerang bakteri TB Paru, kira-kira 2-

8 minggu setelah terinfeksi. Pada kurun waktu inilah tes Mantoux

mulai bereaksi. Ketika pada saat terinfeksi daya tahan tubuh orang

tersebut sangat baik, bakteri akan mati dan tidak ada lagi infeksi dalam

tubuh. Namun pada orang lain, yang terjadi adalah bakteri tidak aktif

tetapi bertahan lama di dalam tubuh dan sama sekali tidak menimbulkan

gejala, atau pada orang lainnya lagi, bakteri tetap aktif dan orang

tersebut menjadi sakit TB.

Uji ini dilakukan dengan cara menyuntikkan sejumlah kecil (0,1

ml) kuman TB, yang telah dimatikan dan dimurnikan, ke dalam lapisan

atas (lapisan dermis) kulit pada lengan bawah. Lalu, 48 sampai 72 jam

kemudian, tenaga medis harus melihat hasilnya untuk diukur, yang

diukur adalah indurasi (tonjolan keras tapi tidak sakit) yang terbentuk,

bukan warna kemerahannya (erythema). Ukuran dinyatakan dalam

milimeter, bukan centimeter. Bahkan bila ternyata tidak ada indurasi,

hasil tetap harus ditulis sebagai 0 mm.

Secara umum, hasil tes Mantoux ini dinyatakan positif bila

diameter indurasi berukuran sama dengan atau lebih dari 10 mm.

Namun, untuk bayi dan anak sampai usia 2 tahun yang tanpa faktor

resiko TB, dikatakan positif bila indurasinya berdiameter 15 mm atau

lebih. Hal ini dikarenakan pengaruh vaksin BCG yang diperolehnya

ketika baru lahir, masih kuat. Pengecualian lainnya adalah, untuk anak
24

dengan gizi buruk atau anak dengan HIV, sudah dianggap positif bila

diameter indurasinya 5 mm atau lebih.

Namun tes Mantoux ini dapat memberikan hasil yang negatif

palsu (anergi), artinya hasil negatif padahal sesungguhnya terinfeksi

kuman TB. Anergi dapat terjadi apabila anak mengalami malnutrisi

berat atau gizi buruk (gizi kurang tidak menyebabkan anergi), sistem

imun tubuhnya sedang sangat menurun akibat mengkonsumsi obat-obat

tertentu, baru saja divaksinasi dengan virus hidup, sedang terkena

infeksi virus, baru saja terinfeksi bakteri TB, tata laksana tes Mantoux

yang kurang benar. Apabila dicurigai terjadi anergi, maka tes harus

diulang
25

2.1.8 Diagnosa Scoring Tuberkulosis Anak

Tabel 2.1 Tabel Diagnosa Scoring Tuberkulosis Anak

Diagnosis TB pada anak dengan sistem skoring sebaiknya

ditegakkan oleh dokter. Apabila di fasilitas pelayanan kesehatan tidak

ada dokter, pelimpahan wewenang terbatas dapat diberikan kepada

petugas kesehatan lainnya. Namun demikian, seharusnya hanya

kepada petugas yang sudah dilatih tentang strategi DOTS, untuk

menegakkan diagnosis dan tatalaksana TB Paru pada anak. Dalam

sistem skoring ini, anak didiagnosis TB jika jumlah skor ≥ 6, dengan

skor maksimal 13. Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari poin

kontak dengan pasien BTA positif dan hasil uji tuberkulin positif,
26

Anak tersebut dilakukan observasi atau diberi INH profilaksis,

tergantung dari umur anak.

Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis

yang meragukan, maka pasien tersebut dirujuk ke fasilitas pelayanan

kesehatan rujukan, untuk evaluasi lebih lanjut . Anak dengan skor 5

yang terdiri dari poin kontak BTA positif dan 2 gejala klinis lain, pada

fasilitas pelayanan kesehatan yang tidak tersedia uji tuberkulin, maka

dapat didiagnosis, diterapi ,dan dipantau sebagai TB anak.

Pemantauan dilakukan selama 2 bulan terapi awal, dan apabila

terdapat perbaikan klinis, maka terapi OAT dilanjutkan sampai selesai

6 bulan. Semua bayi dengan reaksi cepat (<2 minggu) setelah

pemberian imunisasi BCG, seharusnya dicurigai telah terinfeksi TB,

dan harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak (Pedoman

Nasional Tuberkulosis Anak, UKK Pulmonologi PP IDAI, 2015).

2.1.9 Komplikasi

Menurut Depkes RI (2002), merupakan komplikasi yang dapat

terjadi pada penderita tuberkulosis paru stadium lanjut yaitu:

1) Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat

mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau karena

tersumbatnya jalan napas.

2) Atelektasis (paru mengembang kurang sempurna) atau kolaps dari

lobus akibat retraksi bronchial.


27

3) Bronkiektasis (pelebaran broncus setempat) dan fibrosis

(pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif)

pada paru.

4) Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian,

dan ginjal.

2.1.10 Pemeriksaan Penunjang

1) Pemeriksaan Laboratorium

(1) Uji Mantoux atau Tuberkulin

Ada 2 macam tuberkulin yaitu Old tuberkulin dan Purified

Protein Derivat (PPD). Caranya adalah dengan menyuntikkan

0,1 ml tuberkulin PPD intrakutan di volar lengan bawah.

Hasilnya dapat dilihat 48 – 72 jam setelah penyuntikan.

Berniai positif jika indurasi lebih dari 10 mm pada anak

dengan gizi baik atau lebih dari 5 mm pada anak dengan gizi

buruk.

(2) Reaksi cepat BCG

Bila dalam penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat (dalam 3-7

hari) berupa kemerahan lebih dari 5 mm, maka anak dicurigai

terinfeksi Mycobaterium tuberculosis.

(3) Laju Endap Darah

Pada TB, terdapat kenaikan Laju Endap Darah (LED).

(4) Pemeriksaan mikrobiologis

Pemeriksaan BTA pada anak dilakukan dengan pemeriksaan

TCM (Tes Cepat Molekuler)


28

2) Pemeriksaan Radiologis

(1) Gambaran x-foto dada pada TB paru.

2.1.11 Penatalaksanaan

1) Terapi farmakologis Tuberkulosis Paru (Depkes, 2013) :

(1) OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macamobat

dan untuk mencegah terjadinya resistan obat dan untuk

membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler. Pengobatan

TB dibagi dalam 2 tahap yaitu tahap awal/intensif (2 bulan

pertama) dan sisanya sebagai tahap lanjutan. Prinsip dasar

pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat pada fase

awal/intensif (2 bulan pertama) dan dilanjutkan dengan 2

macam obat pada fase lanjutan (4 bulan, kecuali pada TB

berat). OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap

intensif maupun tahap lanjutan. Untuk menjamin ketersediaan

OAT untuk setiap pasien, OAT disediakan dalam bentuk paket.

Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk satu masa

pengobatan. Paket OAT anak berisi obat untuk tahap intensif,

yaitu Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z);

sedangkan untuk tahap lanjutan, yaitu Rifampisin (R) dan

Isoniazid (H).

Dosis :

a) Isoniazid: 5-15 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 300 mg/hari

b) Rifampisin: 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600

mg/hari
29

c) Pirazinamid: 15-30 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 2000

mg/hari

d) Etambutol: 15-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1250

mg/hari

e) Streptomisin: 15–40 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1000

mg/hari

Untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani

pengobatan yang relatif lama dengan jumlah obat yang banyak,

paduan OAT disediakan dalam bentuk Kombinasi Dosis Tetap

= KDT (Fixed Dose Combination = FDC). Tablet KDT untuk

anak tersedia dalam 2 macam tablet, yaitu:

a) Tablet RHZ yang merupakan tablet kombinasi dari R

(Rifampisin), H (Isoniazid) dan Z (Pirazinamid) yang

digunakan pada tahap intensif.

b) Tablet RH yang merupakan tablet kombinasi dari R

(Rifampisin) dan H (Isoniazid) yang digunakan pada tahap

lanjutan.

Jumlah tablet KDT yang diberikan harus disesuaikan dengan

berat badan anak dan komposisi dari tablet KDT tersebut.

(2) Waktu pengobatan TB pada anak 6-9 bulan. Pemberian obat

jangka panjang selain untuk membunuh kuman juga untuk

mengurangi kemungkinan kekambuhan


30

(3) Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap:

a) Tahap intensif, selama 2 bulan pertama. Pada tahap

intensif diberikan minimal 3 macam obat, tergantung hasil

pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit

b) Tahap lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung

hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya

pemeriksaan. Selama tahap intensif dan lanjutan OAT

diberikan setiap hari untuk mengurangi ketidakteraturan

minum obat yang dapat sering terjadi jika obat tidak

diminum setiap hari.

c) Panduan OAT untuk anak yang digunakan oleh program

nasional pengendalian tuberkulosis di Indonesia adalah:

(a) Kategori anak dengan 3 macam obat : 2HRZ/4HR

(b) Kategori anak dengan 4 macam obat : 2HRZE(S)/4-

10HR

d) Panduan OAT kategori anak diberikan dalam bentuk

paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT).

Obat OAT-KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 3 jenis

obat dalam 1 tablet, dosisnya disesuaikan dengan berat

badan pasien. Panduan ini dikemas dalam satu paket

untuk satu pasien

e) OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk

OAT kombipak untuk digunakan dalam pengobatan

pasien yang mengalami efek samping OAT-KDT


31

(4) Penderita TB Paru Anak dinyatakan sembuh apabila penderita

telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap, dan

pemeriksaan laboratorium seperti uji tuberkulin atau mauntox

(follow-up) paling sedikit dua kali berturut-turut hasilnya

negatif (yaitu pada satu pemeriksaan follow-up sebelumnya)

(Depkes,2013)

2) Terapi non farmakologi penyakit Tuberculosis Paru :

Menurut Rasti (2016), terapi non faramakologi diuraikan sebagai

berikut :

(1) Mengkonsumsi makanan bergizi

Salah satu penyebab munculnya penyakit TBC adalah

kekurangan gizi seperti mineral dan vitamin. Maka dari itu

akan sangat penting bilamana penderita secara rutin

mengkonsumsi makanan bergizi, makanan bergizi tersebut

seperti buah, sayur dan ikan laut. Akan tetapi hindari buah

yang banyak mengandung lemak jahat atau gas seperti buah

nangka, buah durian, dondong dan buah nanas.

(2) Tinggal di lingkungan sehat

Lingkungan yang sehat akan membantu penderita penyakit

Tuberkulosi untuk segera sembuh. Karena penyakit ini

disebabkan oleh virus sehingga jika penderita berada di

lingkungan yang kotor maka akan menyebabkan virus

tersebut semakin berkembang.


32

(3) Olahraga secara rutin

Mungkin hampir semua penyakit dapat ditangani dengan

melakukan olahraga secara rutin, dan begitu juga untuk

penyakit TB Paru ini. Jika penderita bisa olahraga secara

rutin misal jogging atau senam, maka akan membantu

peredaran darah dan metabolisme dalam tubuh menjadi

lancar. Sehingga virus penyebab TB Paru tidak akan mampu

berkembang.

(5) Mengurangi makanan natrium dan kafein

Penyakit TB Paru akan semakin parah apabila penderita

masih secara rutin mengkonsumsi makanan yang banyak

mengandung natrium dan kafein. Makanan yang banyak

mengandung natrium antara lain seperti junkfood, kerang,

saus instan.Dengan menghindari makanan natrium atau

kafein tinggi maka penyembuhan penyakit TBC dapat

berjalan dengan baik.

(6) Mengurangi dan berhenti Merokok

TB Paru pada perokok lebih menular daripada penderita TB

Paru yang tidak merokok, kebiasaan merokok juga

merupakan faktor dalam progresivitas tuberkulosis paru dan

terjadinya fibrosis.
33

2.1.12 Pencegahan

Menurut Suhartono (2016) Pencegahan TB Paru Anak sebagai

berikut:

1) Imunisasi BCG pada anak balita, Vaksin BCG sebaiknya diberikan

sejak anak masih kecil agar terhindar dari penyakit tersebut.

2) Bila ada yang dicurigai sebagai penderita TBC maka harus segera

diobati sampai tuntas agar tidak menjadi penyakit yang lebih berat

dan terjadi penularan.

3) Jangan minum susu sapi mentah dan harus dimasak.

4) Bagi penderita untuk tidak membuang ludah sembarangan.

5) Pencegahan terhadap penyakit TB Paru dapat dilakukan dengan

tidak melakukan kontak udara dengan penderita, minum obat

pencegah dengan dosis tinggi dan hidup secara sehat. Terutama

rumah harus baik ventilasi udaranya dimana sinar matahari pagi

masuk ke dalam rumah.

6) Tutup mulut dengan sapu tangan bila batuk serta tidak

meludah/mengeluarkan dahak di sembarangan tempat dan

menyediakan tempat ludah yang diberi lisol atau bahan lain yang

dianjurkan dokter dan untuk mengurangi aktivitas kerja serta

menenangkan pikiran.
34

2.1.13 Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilanpengobatan

Tuberkulosis Paru

Menurut Amira (2015), factor yang mempengaruhi keberhasilan

pengobatan sebagaimana diuraikan dibawah ini :

1) Faktor sarana

(1)Tersedianya obat yang cukup dan kontinu

(2)Dedikasi petugas kesehatan yang baik

(3)Pemberian regiment OAT yang adekuat

2) Faktor Penderita

(1) Pengetahuan penderita yang cukup mengenai penyakit

Tuberkulosis Paru. Cara pengobatan dan bahaya akibat

berobat tidak adekuat

(2) Cara menjaga kondisi tubuh yang baik dengan

makananbergizi, cukup istirahat, hidup teratur dan tidak

minum alcohol atau merokok

(3) Cara menjaga kebersihan diri dan lingan dengan tidak

membuang dahak sembarangan, bila batuk menutup mulut

dengan saputangan, jendela rumah cukup besar untuk

mendapat lebih banyak sinar matahari

(4) Kesadaran dan tekad penderita untuk sembuh

3) Faktor keluarga dan masyarakat lingkungan

Dukungan keluarga sangat menunjang keberhasilan pengobatan

seseorang dengan cara selalu mengingatkan enderita agar minum


35

obat, pengertian yang dalam terhadap penderita yang sedang sakit

dan memberi semangat agar tetap rajin berobat

4) Strategi Directly Observed Treatment Short Course (DOTS)

Penanggulangan Tuberkulosis Paru yang dikenal sebagai strategi

DOTS. Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan

pasien, dengan prioritas pasien TB Paru menular. Strategi ini akan

memutuskan penularan TB dan diharapkan menurunkan insiden di

masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan

cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB (Depkes,

2015).

2.1.14 Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakberhasilan pengobatan

Tuberkulosis Paru

Ketidakberhasilan pengobatan TB Paru dipengaruhi oleh beberapa

faktor, antara lain :

1) Faktor pasien: pasien tidak patuh minum obat anti TB (OAT),

pasien pindah fasilitas pelayanan kesehatan, dan TB nya termasuk

yang resisten terhadap OAT.

2) Faktor pengawas minum obat (PMO): PMO tidak ada, PMO ada

tapi kurang memantau.

3) Faktor obat: suplai OAT terganggu sehingga pasien menunda atau

tidak meneruskan minum obat, dan kualitas OAT menurun karena

penyimpanan tidak sesuai standar (Kemenkes RI, 2016).


36

2.2 Konsep Teori DOTS Directly Observed Treatment Short Course (DOTS)

2.2.1 Definisi Directly Observed Treatment Short Course (DOTS)

Directly Observed Treatment Short-Course (DOTS) merupakan

suatu pengawasan langsung menelan obat jangka pendek setiap hari

oleh pengawas menelan obat (PMO) (WHO, 2014). Directly Observed

Treatment Short-Course (DOTS) dapat diartikan dengan keharusan

setiap pengelola program untuk memberi direct attention dalam usaha

menemukan penderita. Pengertian lain adalah setiap pasien harus

diobservasi dalam meminum obatnya, setiap obat yang ditelan pasien

harus di depan seorang pengawas. Hal inilah yang disebut DOTS, yang

merupakan salah satu komponen dari konsep DOTS secara keseluruhan

(Yoga Tjandra, 2015).

Strategi DOTS adalah strategi pengobatan yang komprehensif

yang digunakan oleh pelayanan kesehatan primer di dunia untuk

mendeteksi dan menyembuhkan penderita TB paru. Strategi DOTS

diartikan sebagai berikut (Wahab, 2015) :

1) D (Directly)

Dilakukan pemeriksaan dengan mikroskop untuk menentukan

apakah ada kuman TB atau tidak. Jadi, penderita dengan

pemeriksaan sputum BTA positif langsung diobati sampai sembuh.

2) O (Observed)

Ada observer yang mengamati pasien dalam minum obatd dengan

dosis tepat, dapat berupa seorang tenaga kesehatan atau kader.


37

3) T (Treatment)

Pasien disediakan pengobatan lengkap serta dimonitor. Pasien harus

diyakinkan bahwa mereka akan sembuh setelah pengobatan selesai.

Alat monitor berupa buku laporan yang merupakan bagian dari

sistem dokumen kemajuan dalam penyambuhan.

4) S (Short-Course)

Pengobatan TB dengan kombinasi dan dosis yang benar. Pengobatan

harus dilakukan dalam jangka waktu yang benar selama 6 bulan.

2.2.2 Tujuan Strategi Directly Observed Treatment Short Course (DOTS)

Menurut WHO (2016) tujuan strategi DOTS adalah mendeteksi

dan menyembuhkan TB, menyembuhkan TB dengan cepat, biaya untuk

pengobatan lebih ekonomis, dapat menghasilkan angka kesembuhan

sebesar 95%, mencegah infeksi baru dan perkembangan resistensi

ganda TB, dan efisiensi waktu untuk pasien dalam berobat ke rumah

sakit.

2.2.3 Komponen Strategi Directly Observed Treatment Short Course

(DOTS)

WHO telah memperkenalkan strategi DOTS sebagai pendekatan terbaik

untuk menanggulangi TB. Sistem DOTS terdiri dari 5 komponen, yaitu:

1) Komiten Politis Pemerintah dengan Peningkatan dan Penjaminan

Pendanaan

Salah satu unsur penting dalam penerapan DOTS adalah komitmen

yang kuat dari pimpinan, termasuk dukungan adminitrasi dan

operasionalnya. Kecukupan 22 anggaran masih harus didukung


38

oleh SDM di bidang kesehatan khususnya pengelola program TB di

semua tingkat pelayanan kesehatan yang harus dipenuhi tidak

hanya dalam jumlah dan pemerataan penyebarannya, tetapi

kompetensi dan motivasinya. Guna mencukupi kebutuhan

diperlukan anggaraan mulai pendidikan tenaga kesehatan,

rekrutmen, peningkatan kapasitas yaitu pelatihan fungsional dan

penggajiannya. Program hanya bisa berjalan jika digerakkan oleh

manusia dan semuanya membutuhkan dana yang cukup dan

berkesinambungan di semua level dan jejaring sistem kesehatan

(Muljono, 2015).

2) Penemuan Kasus Melalui Pemeriksaan Dahak Mikroskopis

Pemeriksaan biasanya dilakukan yaitu pemeriksaanlaboratorium

untuk menemukan BTA positif. Metodepemeriksaan dahak

sewaktu, pagi, sewaktu (SPS) denganpemeriksaan mikroskopis

biasanya menggunaan pewarnaan panas dengan metode Ziehl

Neelsen (ZN). Dahak yang baik untuk diperiksa adalah dahak yang

kental dan purulen berwarna hijau kekuning-kuningan dengan

volume 3-5 ml tiap pengambilan. Untuk menegakkan diagnosa TB

paru dibutuhkan 3 spesimen dahak yaitu dahak SPS dan sebaliknya

dikumpulkan dua hari kunjungan yang berurutan. Untuk dapat

melihat BTA dalam dahak penderita, maka dibuat sediaan hapusan

lalu difiksasi selama 3-5 menit. Hapusan dahak yang telah difiksasi

tersebut harus dilanjutkan dengan pewarnaan metode Ziehl

Neelsen.
39

Cara pewarnaannya adalah sebagai berikut:

(1) Menyediakan dahak yang telah difiksasi diteteskan Carbol

Fuchsin 0, 3% sampai menutupi seluruh permukaan sediaan.

(2) Memanaskan dengan nyala api sampai keluar uap selama 3-5

menit zat warna tidak boleh mendidih atau kering yang

mengakibatkan Carbol Fuchsin 0,3% akan terbentuk kristal

yang dapat terlihat seperti bakteri TB, diamkan selama 5

menit.

(3) Membilas dengan air mengalir pelan hingga zat pewarna yang

bebas terbuang, lalu teteskan HCL Alkohol 3% sampai warnaa

merahh Fuchsin hilang.

(4) Membilas dengan air mengalir pelan, lalu tetskan Methylene

Blue 0,3% hingga menutupi seluruh permukaan dan diamkan

10-20 detik.

(5) Membilas dengan air mengalir pelan, lalu keringkan di atas rak

pengering di udara terbuka (jangan di bawah matahari

langsung).

(6) Sediaan siap untuk dibaca di bawah mikroskop (Kemenkes,

2014)

3) Pengobatan yang Standar dengan Supervisi dan Dukungan Pasien

Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan

pengawasmenelan obaat (PMO). Persyaratan PMO adalah seseorang

yangdikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas

kesehatanmaupun pasien, selain itu harus disegani dan pasien,


40

seseorangyang tinggal dekat dengan pasien, bersedia membantu

pasiendengan sukarela, bersedia dilatih atau mendapat

penyuluhanbersama-sama dengan pasien.Tugas PMO adalah

mengawasi pasien TB Paru agar menelanobat secara teratur sampai

selesai pengobatan, memberidorongan kepada pasien agar mau

berobat teratur, mengingatkanpasien untuk periksa ulang dahak pada

waktu yang telahditentukanmemberi penyuluhan pada anggota

keluarga pasienTB Paru yang 24 mempunyai gejala-gejala

mencurigakan TBParu untuk memeriksakan diri ke Puskesmas

(Kemenkes, 2014).

4) Pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif

Pencapaian angka keberhasilan pengobatan sangat bergantung pada

efektivitas sistem logistik dalam menjamin ketersediaanobat (untuk

obat lini pertama dan kedua) dan logistik non-obat secara kontinyu.

Berbagai intervensi yang dikembangkan untuk meningkatkan

efektivitas sistem logistik dalam program pengendalian TB

mencakup memfasilitasi perusahaan obat lokal dalam proses pra-

kualifikasi (white listing), memastikan ketersediaan obat dan logistik

non-OAT yang kontinyu, tepat waktu dan bermutu di seluruh

fasilitas pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan DOTS,

termasuk di fasilitas yang melayani masyarakat miskin dan rentan,

menjamin sistem penyimpanan dan distribusi obat TB yang efektif

dan efisien termasuk kemungkinan untuk bermitra dengan pihak lain,

menjamin distribusi obat yang efisien dan efektif secara berjenjang


41

sesuai kebutuhan, menjamin terlaksananya sistem informasi

manajemen untuk obat TB Paru.

5) Monitoring, pencatatan, dan pelaporan yang mampu memberikan

penilaan terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program

Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu elemen yang sangat

penting dalam sistem informasi penanggulangan TB paru.

Monitoring dan evaluasi program tidak mungkin dapat dilakukan

tanpa adanya keseragaman dalam pencatan dan pelaporan. Oleh

karena itu,semua unit pelaksana TB harus dapat melaksanakan

sistem pencatatan dan pelaporan yang baku (Depkes RI, 2013).

2.2.4 Pelaksanaan Directly Observed Treatment Short Course (DOTS)

Untuk meningkatkan pelaksanaan DOTS, saat ini telah terdapat 6

elemen kunci dalam strategi stop TB yang direkomendasikan oleh

WHO dan IUALTD (WHO, 2016) yaitu :

1) Peningkatan dan ekspansi DOTS yang bermutu, meningkatkan

penemuan kasus dan penyembuhan melalui pendekatan yang efektif

terhadap seluruh pasien terutama pasien tidak mampu

2) Memberikan perhatian pada kasus TB-HIV, MDR-TB, dengan

aktiviti gabungan TB-HIV, DOTS-PLUS dan pendekatan yang

relevan

3) Kontribusi pada system kesehatan, dengan kolaborasi bersama

program kesehatan yang lain dan pelayanan umum


42

4) Melibatkan seluruh praktisi kesehatan, masyarakat, swasta dan

non-pemerintah dengan pendekatan berdasarkan Public Private

Mix (PPM) untuk mematuhi International Standards of TB Care

5) Mengikutsertakan pasien dan masyarakat yang berpengaruh untuk

berkontribusi pada pemeliharaan kesehatan yang efektif

6) Memungkinkan dan meningkatkan penelitian untuk pengembangan

obat, alat diagnostic dan vaksin

2.2.5 Pengawas Minum Obat

Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan panduan OAT jangka

pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan

pengobatan diperlukan seorang PMO. Persyaratan PMO antara lain :

1) Seorang yang dikenal, dipercayai dan disetujui, baik oleh petugas

kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati

oleh pasien

2) Bersedia dilatih dan mendapat penyuluhan bersama pasien

PMO merupakan kunci dari keberhasilan DOTS tersebut, PMO

memiliki beberapa tugas yaitu :

1) Mengawasi pasien TB agar minum obat secara teratur sampai

pengobatan selesai

2) Memberi dorongan dan semangat kepada pasien berupa nasehat

3) Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang

telah ditentukan ataupun bila terdapat indikasi lain


43

4) Memberi penyuluhan kepada pasien dan keluarga pasien mengenai

penyakit TB Paru dan mengawasi keluarga pasien yang mempunyai

gejala mencurigakan TB Paru agar melakukan pemeriksaan

5) Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien

mengambil obat dari unit pelayanan kesehata (Depkes,2015)

2.2.6 Tingkat Keberhasilan Strategi Directly Observed Treatment Short

Course (DOTS)

Menurut WHO (2015), pengobatan TB Paru dengan strategi DOTS

di nilai berhasil bila memenuhi kriteria yaitu :

1) Pasien selalu diawasi minum obat oleh PMO

Motivasi PMO dan keluarga sangat penting untuk keberhasilan

pengobatan penderita TB Paru. Peran Pengawas Minum Obat

(PMO) adalah penting untuk melakukan pengawasan terhadap

pasien dalam hal menelan obat, mengingatkan pasien untuk

pemeriksaan ulang dahak sesuai dengan jadwal yang ditentukan,

memberikan dorongan terhadap pasien untuk berobat secara teratur

hingga selesai, menasehati pasien agar tetap mau menelan obat

secara teratur hingga selesai.

2) Pasien minum obat secara teratur

Pasien TB Paru bisa sembuh dari penyakitnya asalkan pasien teratur

menjalani pengobatannya selama 6 bulan dan sesuai dosis yang

dianjurkan
44

3) Pasien tidak putus berobat (drop out)

Pasien tidak boleh putus berobat, karena jika pasien putus berobat

akan menjadi lebih berat penyakitnya kemungkinan bakteri akan

menjadi kebal bahkan bisa meninggal

4) Mendapatkan penjelasan tentang TB Paru sehingga pasien sembuh

di lihat dalam pemeriksaan dahak hasilnya TB (-)

5) Adanya perbaikan klinis berupa hilangnya batuk, penambah nafsu

makan, dan berat badan

Tingkat keberhasilan program DOTS merupakan hal yang sangat

penting diperhatikan. Nilai ini akan menunjukkan apakah strategi

DOTS tersebut berhasil atau gagal dilaksanakan. Program DOTS telah

meningkatkan pemkaian obat ke seluruh dunia (Price, 2015).

Menurut laporan WHO (2014), keberhasilan DOTS antara 1995

sampai 2014 adalah 56 juta orang berhasil diobati karena TB dan

menyelamatkan sekitar 22 juta jiwa

2.2.7 Kendala strategiDirectly Observed Treatment Short Course(DOTS)

Menurut Murti (2015), kendala dalam pelaksanaan DOTS

merupakan faktor yang mempersulit dalam pemberantasan TB.

Beberapa kendala yang dapat mempersulit dalam pemberantasan TB

yaitu :

1) Kepatuhan para dokter, spesialis, dan RS Swasta masih rendah

dalam menerapkan prosedur standar diagnosis, pengobatan, maupun

pencatatan dan pelaporan pasien TB


45

2) Angka putus berobat dan ketidakefektifan pengawas minum obat

mempengaruhi angka kesembuhan

3) Dukungan pemerintah daerah dan DPRD belum memadai dalam

pembiayaan program penanggulangan TB

4) Pengawasan yang kurang dari PMO, dokter ataupun petugas

kesehatan

5) Pasien merasa bosan dengan pengobatan yang sangat lama sehingga

menolak untuk minum obat lagi

Hal ini seharusnya bisa diatasi dengan pemberian penjelasan dari

awal pengobatan, ketersediaan obat juga salah satu kendala pengobatan

khususnya pada daerah yang sulit terjangkau (Fahmy, 2016).

Jika penderita TB Paru melaksanakan kelima strategi DOTS yang

dianjurkan secara benar, terjadinya resistensi terhadap obat TB juga

dapat diperlambat (Silviana 2013).

2.3 Konsep Teori Anak

2.3.1 Pengertian Anak

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk

anak yang masih dalam kandungan terdapat dalam Undang-undang

No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal tersebut

menjelaskan bahwa, anak adalah siapa saja yang belum berusia 18

tahun dan termasuk anak yang masih didalam kandungan, yang berarti

segala kepentingan akan pengupayaan perlindungan terhadap anak


46

sudah dimulai sejak anak tersebut berada didalam kandungan hingga

berusia 18 tahun (Pudjiati, 2014).

2.3.2 Kebutuhan Dasar Anak

Kebutuhan dasar untuk tumbuh kembang anak secara umum

digolongkan menjadi kebutuhan fisik-biomedis (asuh) yang meliputi,

pangan atau gizi, perawatan kesehatan dasar, tempat tinggal yang

layak, sanitasi, sandang, kesegaran jasmani atau rekreasi. Kebutuhan

emosi atau kasih sayang (Asih), pada tahun-tahun pertama kehidupan,

hubungan yang erat, mesra dan selaras antara ibu atau pengganti ibu

dengan anak merupakan syarat yang mutlak untuk menjamin tumbuh

kembang yang selaras baik fisik, mental maupun psikososial.

Kebutuhan akan stimulasi mental (Asah), stimulasi mental merupakan

cikal bakal dalam proses belajar (pendidikan dan pelatihan) pada anak.

Stimulasi mental ini mengembangkan perkembangan mental

psikososial diantaranya kecerdasan, keterampilan, kemandirian,

kreaktivitas, agama, kepribadian dan sebagainya (Agus, 2015).

2.3.3 Definisi Pertumbuhan

Pertumbuhan menurut Potter dan Perry (2005) merupakan

suatu perubahan yang dapat diukur dengan perubahan pada aspek

fisik yang mengalami peningkatan akibat penambahan jumlah sel.

Wong (2008) mendefinisikan pertumbuhan sebagai perubahan jumlah

dan ukuran sel di seluruh tubuh dengan cara membelah diri dan

sintesis protein, sehingga menghasilkan perubahan jumlah dan berat

sel. Opini peneliti menyimpulkan bahwa pertumbuhan merupakan


47

perubahan secara kuantitatif dari tubuh akibat pembelahan sel dan

sintesis protein yang hasilnya dapat diukur. Pada anak dengan TB

Paru akan menyebabkan gangguan pada pertumbuhannya.

2.3.4 Tahapan Pertumbuhan

Pertumbuhan fisik memiliki pola yang terarah menurutHidayat

(2006), yang terdiri dari:

1) Masa Neonatus (0-28 hari)

Masa ini merupakan masa awal hidup di luar uterus atau

biasa disebut ekstrauterin. Fase ini terjadi adaptasi oleh seluruh

organ tubuh.Penyesuaian lingkungan dimulai dari organ

pernafasan dengan dimulainya pertukaran gas dengan frekuensi

35-50 kali per menit, mengembangnya ukuran jantung, adanya

reflek gerakan untuk memenuhi kebutuhan gizinya seperti

menghisap dan menelan.Fase penyesuaian selanjutnya adalah

pengeluaran feses serta mekonium.Penyesuaian pada organ ginjal

ditandai dengan urin anak masih berwarna merah muda karena

masih adanya senyawa urat.Penyesuaian organ hati juga belum

optimal yang ditandai dengan terbentuknya faktor pembekuan

darah, karena belum adanya flora usus yang membantu penyerapan

vitamin K (Hidayat, 2006). Berat badan anak akan meningkat 150-

200 gram per minggu. Tinggi badan anak akan meningkat 2,5 cm

per bulannya, lingkar kepala anak meningkat 1,5 cm per bulannya

(Sujono dan Sukarmin, 2009).


48

2) Masa Bayi (29 hari - 12 bulan)

Pertumbuhan anak pada masa ini ditandai dengan

peningkatan berat badan pada usia 1-4 bulan berat badan bayi

meningkat antara 700-1000 gram per bulan, saat bayi berumur 4-8

bulan peningkatan berat badan hanya berkisar 500-600 gram per

bulan, dan saat bayi berumur 8-12 bulan peningkatan berat badan

hanya sebesar 250-450 gram per bulannya. Pertumbuhan tinggi

badan cukup stabil dan tidak mengalami perubahan yang cepat

dalam pertumbuhan tinggi badan. Tinggi badan bayi hingga usia

12 bulan diperkirakan mencapai 75 cm. Pertumbuhan di atas dapat

terjadi secara normal apabila kebutuhan bayi terpenuhi dengan

optimal (Hidayat, 2006).

Fontanel posterior bayi mulai menutup, bayi juga

mengeluarkan saliva berlebih karena belum adanya koordinasi

menelan saliva. Saat anak berusia 6-7 bulan mulailah tumbuh gigi

susu bayi. Pada usia 8-9 bulan anak sudah mulai dapat duduk, anak

lebih sering memasukkan tangan ke mulut, bayi juga mulai

tengkurap dan merangkak (Sujono dan Sukarmin, 2009).

3) Masa Toddler (12-36 bulan)

Pertumbuhan anak pada usia ini ditandai dengan

pertambahan berat badan rata-rata 1,8-2,7 kg per tahun.

Pertumbuhan tinggi badan juga mengalami peningkatan rata-rata

7,5 cm per tahun. Lingkar kepala anak pada tahun kedua

mengalami peningkatan 2,5 cm dan sama dengan lingkar dada


49

anak. Masa todler juga memiliki karakteristik penonjolan

abdomen, hal ini dikarenakan otot abdomen yang kurang

berkembang.Jumlah gigi primer 20 buah saat anak berusia 30

bulan (Rahmawati, 2008).

Hidayat (2006) mengemukakan bahwa peningkatan berat

badan anak saat berusia 24 bulan mencapai 4 kali berat badan lahir

dan tinggi badan anak mencapai setengah tinggi badan orang

dewasa. Saat anak mencapai 36 bulan anak mengalami

peningkatan berat badan 2-3 kg per tahunnya, dan peningkatan

tinggi badan 6-8 cm per tahunnya, lingkar kepala anak menjadi

sekitar 50 cm.

4) Masa Prasekolah (37-72 bulan)

Masa ini anak mengalami pertambahan berat badan sebesar

2 kg per tahun. Tinggi badan anak juga mengalami pertambahan

rata-rata 6,75-7,5 cm setiap tahun. Masa ini anak mengalami

perubahan pola makan dan umumnya anak mengalami kesulitan

makan (Hidayat, 2006). Postur tubuh anak pra sekolah tidak lagi

menyerupai anak todler, anak usia pra sekolah mulai bertubuh

langsing dan tegap, namun pertumbuhan otot dan tulang pada masa

ini masih belum matur. Pada masa ini sebagian besar anak telah

mulai belajar toilet training (Wong, 2008).


50

2.3.5 Ciri Pertumbuhan Anak

1) Berat Badan

Pada umur 3 tahun berat badan meningkat 4 x berat badan

lahir.Berat badan ideal untuk anak umur 1-3 tahunadalah 11-18 kg.

2) Tinggi Badan

Berdasarkan data yang dikeluarkan Direktorat Kesehatan Gizi

Kemenkes RI untuk anak usia1-3 tahun tahun tanpa dibedakan

jenis kelaminnya, pada usia tersebut harus memiliki tinggi badan

ideal dengan plus minus 2 standar deviasi.Tinggi badan ideal untuk

anak umur 1-3 tahunadalah 88-103 cm.

3) Lingkar kepala

Pertambahan ukuran lingkar kepala meliputi:

(1) Pada tahun ke-2 menjadi 46,9 - 49,5 cm ( + 2,5 cm)

(2) Pada tahun ke-3 menjadi 47,7 - 50,8 cm ( + 1,25 cm)

Berat otak sebesar 1/8 berat total bayi paling pesat berkembang

pada usia 2 tahun. Berat otak kecil sebesar 3x berat badan setelah

bayi berusia 2 tahun.Pengukuran lingkar kepala dipakai untuk

mengetahui pertumbuhan dan perkembangan otak anak.

Pengukuran dilakukan pada diameter occipitofrontal dengan

mengambil rerata 3 kali pengukuran sebagai standar.

4) Pertumbuhan Gigi
Gigi susu yang berjumlah 20 buah biasanya telah tumbuh

seluruhnya pada umur 3 th.


51

2.3.6 Definisi Perkembangan

Perkembangan merupakan proses perluasan kemampuan

melalui proses belajar dan maturasi (Wong, 2008). Rahmawati (2008)

mengemukakan bahwa perkembangan adalah perubahan dalam diri

seseorang yang bersifat progresif dan berkesinambungan dari lahir

hingga meninggal. Opini peneliti perkembangan merupakan sebuah

proses perubahan yang dimulai sejak lahir hingga meninggal untuk

mencapai maturasi atau kematangan.

2.3.7 Ciri-ciri Perkembangan

Ciri-ciri dari perkembangan menurut Rahmawati (2008) adalah:

1) Terjadi perubahan pada fisik(adanya perubahan tinggi badandan

berat badan) dan psikis (semakin bertambahnya kosakata, dan

kematangan pemikiran dan imajinasi kreatif) seseorang.

2) Adanya perubahan proporsi

3) Mulai menghilangnya tanda-tanda lama dan mulai diperolehnya

tanda-tanda baru

2.3.8 Aspek perkembangan

1) Motorik kasar (gross motor) merupakan keterampilan yang

meliputi aktivitas otot yang besar seperti gerakan lengan dan

berjalan (Santrock, 2011, hlm 210). Perkembangan motorik

kasar pada masa prasekolah, diawali dengan kemampuan untuk

berdiri dengan satu kaki selama 1-5 detik, melompat dengan satu

kaki, membuat posisi merangkak dan lain-lain (Hidayat, 2009,

hlm.25).
52

2) Motorik halus (fine motor Skills) merupakan keterampilan

fisik yang melibatkan otot kecil dan koordinasi meta dan tangan

yang memerlukan koordinasi yang cermat (Papilia, Old &

Feldman, 2010, hlm. 316). Perkembangan motorik halus mulai

memiliki kemampuan menggoyangkan jari -jari kaki,

menggambar dua atau tiga bagian, menggambar orang, mampu

menjepit benda, melambaikan tangan dan sebagainya (Hidayat,

2009, hlm.26).

3) Bahasa (language) adalah kemampuan untuk memberikan

respon terhadap suara, mengkuti perintah dan dan berbicara

spontan. Pada perkembangan bahasa diawali mampu menyebut

hingga empat gambar, menyebut satu hingga dua warna,

menyebutkan kegunaan benda, menghitung, mengartikan dua kata,

meniru berbagai bunyi, mengerti larangan dan sebagainya

(Hidayat, 2009, hlm.26).

4) Prilaku sosial (personal social) adalah aspek yang

berhubungan dengan kemampuan mandiri, bersosialisasi dan

berinteraksi dengan lingkungannya. Perkembangan adaptasi sosial

pada anak prasekolah yaitu dapat berrmain dengan permainan

sederhana, mengenali anggota keluarganya, menangis jika

dimarahi, membuat permintaan yang sederhana dengan gaya

tubuh, menunjukan peningkatan kecemasan terhadapa

perpisahan dan sebagainya (Hidayat, 2009, hlm.26). Untuk

menilai perkembangan anak yang dapat dilakukan adalah


53

dengan wawancara tentang faktor kemungkinan yang

menyebabkan gangguan dalam perkembangan, kemudian

melakukan tes skrining perkembangan anak (Hidayat, 2009,

hlm. 38).

2.3.9 Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Anak

Menurut Wong (2008) perkembangan anak dipengaruhi oleh

beberapa faktor, yaitu:

1) Keturunan

Adanya hubungan erat karakteristik orang tua yang diturunkan

pada anak, seperti tinggi badan, berat badan dan laju pertumbuhan

(Wong, 2008). Potter dan Perry (2005) menyatakan bahwa genetik

orang tua yang diturunkan kepada anak meliputi pembawaan jenis

kelamin, ras, rambut, warna mata, pertumbuhan fisik, sikap tubuh,

beberapa keunikan psikologis yang lebih mendalam. Karakteristik

fisik (bentuk tubuh, gambaran diri, keganjilan fisik) juga

diturunkan dari orang tua.Hal tersebut dapat mempengaruhi

pertumbuhan dan interaksi anak dengan lingkungannya (Wong,

2008).Ras atau suku bangsa juga mempengaruhi tumbuh kembang

anak, hal ini dapat dilihat dari suku tertentu memiliki ciri tertentu,

seperti orang Eropa memiliki postur tubuh lebih besar dan tinggi

dibandingkan orang Asia (Hidayat, 2006).

2) Nutrisi

Nutrisi merupakan faktor penting yang mempengaruhi

pertumbuhan (2008).Anak sangat membutuhkan nutrisi dalam


54

masa tumbuh kembangnya, diantaranya zat gizi tersebut adalah

protein, karbohidrat, lemak, mineral, vitamin, dan air. Kebutuhan

nutrisi yang tidak terpenuhi atau kurang terpenuhi dapat membuat

proses tumbuh kembang anak terhambat (Hidayat, 2006).

3) Hubungan Interpersonal

Hubungan anak dengan orang terdekat akan mempengaruhi

perkembangan intelektual, emosi, dan kepribadian anak. Orang

terdekat yang memberikan stimulus kuat pada anak diantaranya

pengasuh, keluarga, saudara kandung, dan teman sebaya.Pengasuh

adalah individu yang sangat berpengaruh di awal kehidupan

anak.Pengasuh dapat memberikan seluruh kebutuhan dasar bayi

diantaranya makanan, kehangatan, kenyamanan, dan kasih sayang

(Wong, 2008).

Keluarga juga memberikan pengaruh pada anak melalui nilai,

kepercayaan, adat istiadat, dan interaksi dan komunikasi antar

anggota keluarga, sehingga membentuk hubungan interpersonal

yang baik dan memberikan pengaruh pada perkembangan anak

dengan lingkungan sosialnya (Potter dan Perry, 2005). Saudara

kandung merupakan teman sebaya pertama dari anak yang akan

membantu anak belajar berhubungan dan berinteraksi dengan

kelompok sebaya di luar keluarga pada periode selanjutnya (Wong,

2008). Teman sebaya akan memberikan lingkungan yang baru dan

berbeda bagi anak (Potter dkk, 2005).


55

4) Faktor Neuroendokrin

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa pusat pertumbuhan

terletak di bagian hipotalamus yang mengatur pertumbuhan secara

genetik.Adanya hubungan fungsional yang diyakini mempengaruhi

pertumbuhan yang terletak di antara hipotalamus dan sistem

endokrin. Data sebuah penelitian menunjukkan bahwa sistem saraf

perifer juga dapat mempengaruhi pertumbuhan, hal tersebut

ditunjukkan dari otot yang kurang mendapat suplai saraf perifer

akan mengalami degenerasi otot. Namun, penelitian ini tidak

dijelaskan secara tuntas terkait efek dari ketiadaan suplai darah

(Wong, 2008).

5) Tingkat Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi keluarga mempengaruhi proses tumbuh

kembang anak data ini berdasarkan sebuah penelitian (Wong,

2008). Anak dari keluarga yang berstatus ekonomi tinggi maka

kebutuhan gizi akan terpenuhi dibandingkan dengan anak dari

keluarga berstatus ekonomi rendah (Hidayat, 2006).

6) Penyakit

Sejumlah gangguan genetik mengakibatkan perubahan

pertumbuhan dan perkembangan pada anak (Wong, 2008). Potter

dan Perry (2005) menyatakan bahwa sakit atau luka menyebabkan

gangguan pada pertumbuhan dan perkembangan anak. Sifat dan

durasi penyakit yang berkepanjangan akan mengakibatkan


56

ketidakmampuan pemenuhan tugas perkembangan pada tahap

selanjutnya.

7) Bahaya Lingkungan

Bahaya lingkungan merupakan hal yang sangat dikhawatirkan oleh

pengasuh terhadap kesehatan dan keamanan anak (Wong,

2008).Lingkungan tersebut terdiri dari lingkungan prenatal dan

pascanatal. Lingkungan prenatal yang berbahaya bagi anak adalah

faktor gizi ibu hamil, zat kimia, obat-obatan yang dikonsumsi ibu,

kebiasaan merokok ibu saat hamil, radiasi dari luar yang merusak

jaringan otak janin, infeksi dalam kandungan, stres yang dialami

ibu, dan hormon-hormon yang berpengaruh pada pertumbuhan

janin seperti, somatotropin, plasenta, tiroid, dan insulin (Hidayat,

2006).

Lingkungan pascanatal adalah lingkungan ekstrauterin.

Lingkungan pascanatal yang berbahaya bagi anak diantaranya

radiasi dan zat kimia yang berbahaya seperti air, udara, dan

makanan yang terkontaminasi zat berbahaya seperti asap rokok,

boraks, dan air yang terkontaminasi limbah (Wong, 2008).

Lingkungan pascanatal yang juga dapat mempengaruhi

pertumbuhan dan perkembangan anak diantaranya budaya di

lingkungan, kesehatan tempat tinggal, posisi anak dalam keluarga,

dan kebiasaan berolahraga (Hidayat, 2006).


57

8) Stres pada Masa Anak-anak

Anak yang tidak mampu memenuhi tuntutan lingkungan sosialnya

akan mengalami stres. Kemampuan anak dalam mengatasi stres

dipengaruhi oleh usia, temperamen, situasi kehidupan, dan status

kesehatan anak. Stres berlebihan yang dialami oleh anak akan

menimbulkan dampak serius pada kesehatan dan perilaku anak.

Pengasuh atau orang tua harus mengenali tandatanda anak stres,

sehingga pengasuh dapat melakukan antisipasi terhadap stres anak

dengan memberikan kontak fisik dan menenangkan anak (Wong,

2008).

9) Pengaruh Media Masa

Media memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan

anak.Media memberikan berbagai macam informasi pada anak,

sehingga anak juga memiliki pengetahuan luas di luar lingkungan

keluarganya.Isi dari media tersebut dapat mempengaruhi secara

langsung persepsi, sehingga banyak terjadi dampak kurang baik

akibat media seperti perilaku kekerasan atau kriminalitas.Anak-

anak juga lebih mudah mengidentifikasi orang dan karakter yang

digambarkan melalui buku, film, video, program televisi, dan iklan

yang ada di berbagai media (Wong, 2008).


58

2.3.10 Periode Perkembangan

Periode usia perkembangan menurut Wong (2008) adalah :

1) Periode Pranatal

Periode ini terjadi mulai fase konsepsi hingga bayi lahir berusia

dua minggu. Periode ini merupakan periode yang sangat penting

karena kesehatan bayi sangat tergantung semuanya dari kesehatan

ibu.

2) Masa Bayi

Periode ini terjadi saat bayi telah lahir hingga berusia satu tahun.

Masa ini merupakan masa penyesuain bagi bayi di lingkungan

ekstrauterin dan bagi orang tua mulai menyesuaikan diri dengan

peran baru. Bayi mulai membentuk rasa percaya pada orang-orang

yang berada disekitarnya dan menjadi dasar hubungan

interpersonal dengan orang sekitarnya. Fase ini merupakan

peningkatan kemampuan afeksi, kognitif, dan psikomotor bayi.

3) Masa Kanak-Kanak Awal

Fase ini dilalui oleh anak berusia 1-3 tahun.Anak mulai memiliki

aktivitas sendiri di luar dengan temannya, sehingga anak

memerlukan keterampilan bahasa.Anak mulai belajar mandiri dan

membentuk konsep diri.Perkembangan psikomotor pada fase ini

terus berlanjut semakin pesat.

4) Masa Kanak-Kanak Pertengahan

Fase ini dimulai pada saat anak berusia 6-11 tahun atau biasa

disebut dengan fase usia sekolah. Fase ini mengharuskan anak


59

berinteraksi lebih banyak dengan teman sebayanya dibandingkan

dengan keluarga, sehingga dalam fase ini merupakan fase krisis

pembentukan dan perkembangan konsep diri anak.

5) Masa Kanak-Kanak Akhir

Fase ini biasa disebut dengan fase pubertas yaitu saat anak berusia

1119 tahun. Anak mengalami masa transisi antara periode anak

dan usia dewasa. Anak mengalami maturasi fisik dan kepribadian

yang disertai dengan kematangan emosional yang tidak stabil.

Remaja pada fase ini lebih menonjolkan dan berfokus pada diri

sendiri bukan pada identitas kelompok lagi.


2.4 Tabel Sintesis

Tabel 2.2 Tabel Sintesis Gambaran Keberhasilan Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) pada Anak dengan
Tuberkulosis Paru di Poli Anak RSD Blambangan Tahun 2020

No. Penulis Desain Penelitian Analisa Data Variabel dan Alat Hasil Kesimpulan
dan Sampel Ukur
1. Nurmady, 1. Desain yang chi- square. 1. Variabel independent 1. Dapat diketahui Pelaksananaan
Irvan digunakan dalam penelitian ini bahwa sebagian komitmen oleh petugas
Medison, dalam penelitian adalah strategi besar responden kesehatan dengan hasil
Hafni ini adalah studi pelaksanaan Directly adalah laki-laki. pengobatan TB paru di
Bachtiar, korelational/ Observed Treatment Lebih dari separuh Puskesmas Padang Pasir.
2011 cross sectional Short Course. Alat responden termasuk Terdapat hubungan yang
dan ukur dari penilitian kelompok usia bermakna antara
menggunakan ini menggunakan produktif. pelaksanaan
Teknik simple lembar kuesioner pemeriksaan dahak
random 2. Diketahui dari 44 dengan hasil pengobatan
sampling. 2. Variabel dependent responden yang di Puskesmas Padang
dalam penelitian ini diteliti pada Pasir.
2. N = 44 pasien adalah keberhasilan umumnya Tidak terdapat hubungan
baru TB paru pengobatan keberhasilan yang bermakna
dewasa yang tuberculosis paru pengobatan antara peranan PMO
telah menjalani pada anak Puskesmas Padang dengan hasil pengobatan
pengobatan Pasir sudah baik, TB paru di Puskesmas
selama 6 bulan hampir seluruh Padang Pasir.
responden Terdapat hubungan
menyatakan bermakna antara
pelaksanaan ketersediaan OAT yang

60
komitmen petugas berkesinambungan
baik, sebagian besar dengan hasil pengobatan
responden TB paru di Puskesmas
menyatakan Padang Pasir.
pelaksanaan Tidak terdapat hubungan
komiten sudah baik, yang bermakna
sebagian responden antara pencatatan dan
menyatakan pelaporan penderita TB
peranan PMO sudah paru dengan hasil
baik, pada pengobatan di
umumnya Puskesmas Padang Pasir.
responden
menyatakan
ketersediaan OAT
sudah baik, dan
pada umumnya
responden
menyatakan
pencatatan dan
pelaporan TB sudah
baik.

3. Dapat dilihat bahwa


dari hasil uji
statistik terdapat
hubungan antara
pelaksanaan

61
komitmen oleh
petugas kesehatan,
pemeriksaan dahak,
ketersediaan OAT
dengan hasil
pengobatan TB
(p<0,005).
2. Sitti Ridha 1. Desain yang uji 1. Variabel 1. Kelamin laki-laki Menyimpulkan bahwa
Khairani digunakan dalam PearsonChi independent dalam dan 21 sampel kadar IFN-γ tidak
Fatah, penelitian ini square penelitian ini adalah (70,0%) perempuan, dipengaruhi oleh jumlah
Mohamma adalah studi Kadar Interferon hal ini menunjukkan skor TB, semakin tinggi
d Juffrie, korelational Alat ukur dari bahwa laki-laki dan jumlah skor TB tidak
Amalia /cross sectional penilitian ini perempuan menunjukkan bahwa
Setyati, dan menggunakan mempunyai risiko derajat lesi paru yang
2017 menggunakan lembar kuesioner yang sama untuk ada makin berat. Data
observasional ELISA terkena infeksi TB. penelitian dianalisis
dengan regresi linier
2. N = anak usia 2. Variabel dependent 2. Data kasus TB paru multiple. Disimpulkan
kurang dari 15 dalam penelitian ini dikelompokkan bahwa terdapat
tahun yang adalah tuberculosis berdasarkan perbedaan rerata kadar
menderita TB paru pada anak komponen skor TB. IFN-γ serum pasien TB
Paru sebanyak 30 Pengelompokan ini anak berdasarkan derajat
pasien guna mengetahui lesi paru minimal,
apakah ada sedang, dan luas,
hubungan antara walaupun secara statistik
komponen skor TB tidak bermakna.
dengan derajat lesi
paru.

62
3. Memperlihatkan
nilai rerata kadar
IFN-γ pasien TB
paru dengan derajat
lesi paru minimal
lebih tinggi
(8,37±3,25)
dibandingkan nilai
rerata kadar IFN-γ
pada lesi paru
sedang (3,52±1,75)
dan lesi paru luas
(4,83±2,78).
4. Pengelompokan ini
guna mencari
hubungan antara
skor TB dengan
sistem imun pasien
TB paru yang dalam
hal ini dicerminkan
melalui kadar IFN-γ.
menunjukkan bahwa
secara statistik tidak
terdapat perbedaan
kadar IFN-γ yang
signifikan (p=0,542)
berdasarkan skor

63
TB.Berdasarkan
hasil uji Fisher’s
Exact Test diatas
menyatakan tidak
ada hubungan yang
bermakna antara
status gizi dan
perkembangan anak
taman kanak-kanak
(p=0,463)

3. Dheasabel, 1. Pendekatan Analisa data 1. Variabel 1. Terdapat hubungan Berdasarkan hasil


Gita deskriptif. Kualitatif independent dalam yang signifikan penelitian dan pembahasan
Azinar, penelitian ini antara tingkat dapat disimpulkan sebagai
Muhamma 2. N = Informan adalah kepatuhan dengan berikut, tenaga pelaksana
d dalam penelitian Penanggulangan hasil pemeriksaan DOTS sudah terdiri atas
Biostatisti ini dibagi Tuberkulosis Paru dahak secara dokter, perawat/petugas
ka, 2019 menjadi dua Alat ukur dari mikroskopis setelah TB, dan petugas
kategori yaitu penilitian ini pengobatan laboratorium. Semua
informan utama menggunakan tenaga telah mendapatkan
dan informan lembar observasi pelatihan meskipun masih
triangulasi. 2. Variabel dependent terdapat tugas rangkap
Informan utama dalam penelitian sehingga pelaksanaan
yang menjadi ini adalah strategi DOTS belum mencapai
narasumber dari DOTS hasil yang maksimal.
penelitian ini
antara lain 4
orang pelaksana

64
di fasyankes
yang terdiri dari
kepala
puskesmas,
petugas
koordinator TB,
dokter, dan
petugas
laboratorium.

65
BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

Faktor – Faktor Yang


Memengaruhi TB Paru
Anak :
TB Anak
1. Umur Faktor-Faktor Yang
2. Status gizi Mempengaruhi
3. Status imunisasi Ketidakberhasilan
BCG Pengobatan TB Paru :
4. Faktor lingkungan
5. Penyakit Penyerta Pengobatan TB Paru Anak : 1. Faktor Pasien
6. Kontak dengan 2. Faktor pengawas
Penderita TB 1. Non Farmakologis minum obat
Dewasa a. Mengkonsumsi (PMO)
makanan bergizi 3. Faktor Obat
b. Tinggal di lingkungan
sehat
c. Berolahraga secara Faktor-Faktor Yang
rutin Mempengaruhi
d. Mengurangi makanan Keberhasilan
bernatrium dan kafein Pengobatan TB Paru :
e. Mengurangi dan
berhenti merokok 1. Faktor Sarana
2. Farmakologis Terapi OAT 2. Faktor Penderita
a. 2HRZ/4HR 3. Factor Keluarga
b. 2HRZE(S)/4-10HR dan Masyarakat
4. Strategi DOTS

1. Berhasil = 25% -
62%
Keterangan : 2. Tidak Berhasil =
63% - 100%
: Variabel yang diteliti

: Variabel yang tidak diteliti

Bagan 3.1 : Kerangka Konseptual Gambaran KeberhasilanStrategi Drectly


Observed Treatment Short Course (DOTS) pada Anak dengan
Tuberkulosis Paru di Poli Anak RSD Blambangan Tahun 2020

66
67

3.1 Hipotesis

Menurut Nursalam (2016), hipotesis adalah jawaban sementara

dari rumusan masalah atau pertanyaan peneliti. Hipotesis dari penelitian

ini adalah : “Tergambarkan Keberhasilan Strategi Drectly Observed

Treatment Short Course (DOTS) pada Anak dengan Tuberkulosis Paru di

Poli Anak RSD Blambangan Tahun 2020’’.


BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Rancangan penelitian adalah sesuatu yang sangat penting dalam

penelitian, yang memungkinkan pengontrolan maksimal beberapa faktor yang

dapat memengaruhi akurasi suatu hasil. Rancangan penelitian merupakan

hasil akhir dari suatu tahap keputusan yang dibuat oleh peneliti berhubungan

dengan bagaimana suatu penelitian bisa diterapkan (Nursalam, 2016).

Jenis penelitian adalah strategi untuk mencapai tujuan penelitian yang

telah berperan sebagai pedoman atau penentuan penelitian atau penuntun

peneliti pada seluruh proses penelitian. Jenis penelitian yang digunakan

dalam penelitian ini adalah Deskriptif Analitik. Deskriptif analitik merupakan

jenis penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan (memaparkan)

peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada masa kini. Deskripsi peristiwa

dilakukan secara sistematis dan lebih menekankan pada data faktual dari pada

penyimpulan (Nursalam, 2016).

Dalam penelitian ini penulis menggunakan rancangan penelitian

retrospektif yaitu jenis penelitian berupa pengamatan terhadap peristiwa-

peristiwa yang telah terjadi bertujuan untuk mencari faktor yang berhubungan

dengan penyebab (Nursalam, 2016).

68
69

4.2 Kerangka Kerja

Kerangka kerja merupakan bagan kerja terhadap rancangan

kegiatan penilitian yang akan dilakukan.


Populasi: Anak yang menderita TB Paru yang melakukan pengobatan
pada bulan januari 2019 – februari 2020 di Ruang Poli Anak
RSD Blambangan, sebanyak 72 responden

Sampling: Accidental Sampling

Sampel: Sebagian anak yang menderita TB Paru yang melakukan


pengobatan selama pada bulan januari 2019 – februari 2020
di Ruang Poli Anak RSD Blambangan, sebanyak 30
responden

Desain Penelitian :Deskriptif Retrospektif

Informed consent

Pengumpulan data dilakukan dengan Lembar Kuesioner

Pengolahan data dan Analisis data: Coding, Scoring, Tabulating, dan


Uji statistik Deskriptif denganSPSS 25.0 for windows 8

Laporan Penelitian

Hasil penelitian dan kesimpulan

Bagan 4.2 Kerangka Kerja :Gambaran Keberhasilan Strategi Directly Observed


Treatment Short Course (DOTS) pada Anak dengan Tuberkulosis Paru di
Ruang Poli Anak RSD Blambangan Tahun 2020.

69
70

4.3 Populasi, Sampel, dan Sampling

4.3.1 Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian adalah subjek (misalnya manusia,

klien) yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan (Nursalam,

2016). Populasi dalam Penelitian ini adalah anak yang menderita TB

Paru yang melakukan pengobatan pada bulan januari 2019 – februari

2020 di Ruang Poli Anak RSD Blambangan. Jumlah populasi dalam

penelitian ini sebanyak 72 responden.

4.3.2 Sampel Penelitian

Sampel terdiri atas bagian populasi terjangkau yang dapat

dipergunakan sebagai subjek penelitian melalui sampling. Pada

dasarnya ada dua syarat yang harus dipenuhi saat menetapkan sampel

yaitu representatif (mewakili) dan sampel harus cukup banyak

(Nursalam, 2016). Sampel yang digunakan untuk penelitian ini adalah

sebagian anak yang menderita TB Paru yang sudah melakukan

pengobatan pada bulan januari 2019 – februari 2020 di Poli Anak

RSD Blambangan.Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 30

responden.

1) Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah karakteristik umum sebjek penelitian dari

suatu populasi target yang terjangkau dan akan diteliti (Nursalam,

2016).

Kriteria inklusi dalam penelitian ini terdiri dari :

(1) Anak atau orang tua yang bersedia menjadi responden


71

(2) Anak dengan TB Paru yang melakukan pengobatan pada bulan

Januari 2019 – februari 2020

2) Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subjek

yang tidak memenuhi kriteria inklusi dari studi karena berbagai

sebab (Nursalam, 2016).

Kriteria eksklusi dalam penelitian ini terdiri dari :

(1) Anak yang pindah pengobatan dari poli Anak RSD

Blambangan

(2) Anak dengan TB Paru yang memiliki penyakit penyerta

(komplikasi)

4.3.3 Sampling

Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk

dapat mewakili populasi. Teknik sampling merupakan cara-cara yang

ditempuh dalam pengambilan sampel, agar memperoleh sampel yang

benar-benar sesuai dengan keseluruhan subjek penelitian (Nursalam,

2016).

Sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah non

probability sampling. Pendekatan teknik non probability sampling

yang digunakan adalah accidental sampling yaitu suatu teknik

penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu konsumen yang secara

kebetulan/incidental bertemu dengan peneliti dapat digunakan sampel,

bila dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai

sumber data (Nursalam, 2016).


72

4.4 Identifikasi Variabel

Variabel penelitian suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, obyek atau

kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Nursalam, 2016).

Dalam penelitian ini hanya terdapat satu variabel (variabel tunggal) yaitu

keberhasilan strategi Directly Observed Treatment Short Course (DOTS).

4.5 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang

diamati dari sesuatu yang didefinisikan tersebut. Karakteristik yang dapat

diamati (diukur) itulah yang merupakan kunci definisi operasional. Dapat

diamati artinya memugkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau

pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena yang

kemudian dapat diulangi lagi oleh orang lain (Nursalam, 2016).

Tabel 4.2 Definisi Operasional: Gambaran keberhasilan strategi Directly


Observed Treatment Short Course pada anak dengan tuberkulosis
paru di Ruang Poli Anak RSD Blambangan Tahun 2020 .

Definisi Alat
Variabel Indikator Skala Skor
Operasional ukur
Variabel Strategi yang 1) Komitmen Lembar Nomin 1) Berhasil
independen: dilakukan dalam politik dari al
Kuesione = 63% –
Strategi menanggulangi para
Directly kasus pengambil r 100%
Observed Tuberkulosis keputusan
2) Tidak
Treatment Paru dengan termasuk
Short program dukungan Berhasil
Course pengobatan 6 dana
= < 63%
(DOTS) bulan 2) Penemuan
penderita
dengan
pemeriksaan
dahak secara
mikroskopis
3) Pengobatan
dengan
73

panduan Obat
Anti
Tuberkulosis
(OAT) jangka
pendek
dengan
pengawasan
langsung oleh
Pengawas
Minum Obat
(OAT)
4) Jaminan
tersedianya
OAT secara
teratur,
menyeluruh
dan tepat
waktu dengan
mutu terjamin
5) Sistem
pencatatan
dan pelaporan
secara baku
untuk
memudahkan
pemantauan
dan evaluasi
program
penanggulang
an TB Paru

4.6 Pengumpulan Data dan Pengolahan Data

4.6.1 Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada

subjek dan proses pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan

dalam suatu penelitian. Lagkah-langkah dalam pengumpulan data

tergantung pada rancangan penelitian dan teknik instrumen yang

digunakan (Nursalam, 2016).


74

4.6.2 Proses Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini cara pengumpulan data yang digunakan

adalah dengan meminta surat pengantar kepada penanggungjawab

PPPM (Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat) STIKes

Banyuwangi terkait permohonan surat pengantar ke Direktur RSD

Blambangan. Setelah surat tersebut sampai ke Direktur RSD

Blambangan, bila ada ijin untuk melakukan pengumpulan data maka

peneliti akan melakukan pengumpulan data di ruang yang telah dituju.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah menggunakan lembar kuesioner. Dalam pengumpulan data

menggunakan lembar kuesioner peneliti melakukan langkah-langkah

sebagai berikut:

1) Peneliti memberikan inform consent mengenai penelitian yang

akan di lakukan.

2) Peneliti memberikan penjelasan tentang cara prosedur atau

pelaksanaan kegiatan.

3) Peneliti memberikan lembar kuesioner yang berisi tentang

keberhasilan strategi Directly Observed Treatment Short Course

(DOTS).

4) Peneliti memberikan waktu kepada responden untuk mengisi

lembar kuesioner selama 10 menit

5) Hasil yang di dapatkan kemudian dikumpulkan dan dianalisa


75

4.6.3 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar

observasi untuk menganalisis strategi Directly Observed Treatment

Short Course (DOTS) pada anak dengan Tuberkulosis Paru.

4.6.4 Lokasi dan Waktu Penelitian

1) Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah tempat melakukan penelitian. Penelitian

ini dilakukan di Rumah responden yang sudah melakukan

pengobatan TB Paru pada bulan Januari 2019-Februari 2020 di

RuangPoli Anak RSD Blambangan.

2) Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai April-Juni 2020.

4.7 Analisa Data

4.7.1 Langkah-langkah Analisa Data

Analisa data merupakan kegiatan dalam penelitian dengan

melakukan analisa data yang meliputi; persiapan, tabulasi, dan aplikasi

data. Selain itu pada tahap analisa data dapat menggunakan uji statistik

yang digunakan dalam penelitian bila data tersebut harus diuji dengan

uji statistik (Hidayat, 2011).

Pengelolaan data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut

(Notoadmodjo, 2014):

1) Penyutingan Data (Editing)

Hasil penelitian yang diperoleh atau dikumpulkan melalui Lembar

Kuesioner ini sudah dilakukan penyuntingan.


76

2) Membuat lembar kode (Coding Sheet)

Lembaran atau kode adalah instrumen berupa kolom-kolom untuk

merekam data secara manual.

Coding untuk variabel strategi DOTS

(1) Berhasil : 63% - 100%

(2) Tidak Berhasil : < 63%

3) Memasukkan data

Yaitu mengisi kolom-kolom atau kotak-kotak lembar kode atau kartu

kode sesuai dengan jawaban masing-masing pertanyaan.

4) Tabulasi

Yaitu membuat tabel-tabel data sesuai dengan tujuan penelitian atau

yang diinginkan oleh peneliti.

4.7.2 Uji Statistik

Penelitian ini merupakan penelitianStatistik Deskriptif, statistik

deskriptif memberikan gambaran atau deskriptif suatu data yang

dilihat dari nilai rata-rata (mean), standar deviasi, varian, maksimum,

minimum, sum, kurtosis dan skewness(Sugiyono, 2010).

Uji ini bertujuan untuk mengetahui Gambaran Keberhasilan

Strategi Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) pada

Anak dengan Tuberkulos is Paru di Poli Anak RSD Blambangan.

Dari data yang telah terkumpul dilakukan uji statistik terkait

Gambaran Keberhasilan Strategi Directly Observed Treatment Short

Course (DOTS) pada Anak dengan Tuberkulosis Paru di Ruang Poli

Anak RSD Blambangan menggunakan uji Deskriptif Analitik sehingga


77

peneliti dapat mengetahui berapa banyak responden yang berhasil dan

tidak berhasil setelah mengikuti program DOTS.

Peniliti dalam mengolah data menggunakan perangkat

SPSS (Statistic Programme for Social Scient) version 25 for windows.

4.8 Etika Penelitian

Dalam melaksanakan penelitian ini peneliti menunjukkan permohonan

ijin kepada Direktur RSD Blambangan untuk mendapatkan persetujuan

pengambilan data dan setelah disetujui peneliti melakukan observasi kepada

subjek yang diteliti dengan menekankan pada permasalahan data.

4.8.1 Inform Consent (Persetujuan)

Inform consent adalah informasi yang harus diberikan kepada

subjek secara lengkap tentang tujuan penelitian yang akan dilaksanakan

dan mempunyai hak untuk bebas berpartisipasi atau menolak menjadi

responden (Nursalam, 2016).

1) Sebelum melakukan penelitian telah mendapat ijin dari re sponden

2) Bila bersedia menjadi responden penelitian harus ada bukti

persetujuan yaitu dengan tanda tangan

3) Bila responden tidak bersedia menjadi subjek penelitian, peneliti

tidak boleh memaksa.

4.8.2 Anonimity (Tanpa Nama)

Subjek tidak perlu mencantumkan namanya pada lembar

pengumpulan data cukup menulis nomor atau kode saja untuk

menjamin kerahasiaan identitasnya. Apabila sifat peneliti memang

menuntut untuk mengetahui identitas subjek, ia harus memperoleh


78

persetujuan terlebih dahulu serta mengambil langkah-langkah dalam

menjaga kerahasiaan dan melindungi jawaban tersebut (Wasis, 2010).

4.8.3 Confidentiatly (Kerahasiaan)

Kebiasaan informasi yang diperoleh dari subjek akan dijamin

kerahasiaannya oleh peneliti. Pengujian data dari hasil penelitian hanya

ditampilkan dalam forum akademik.

4.8.4 Veracity (Kejujuran)

1) Jujur saat pengumpulan data, pustaka, metode, prosedur penelitian,

hingga publikasi hasil.

2) Jujur pada kekurangan atau kegagalan proses penelitian.

3) Tidak mengakui pekerjaan yang bukan pekerjaannya.

4.8.5 Non Maleficience (Tidak Merugikan)

Non malaficience adalah suatu prinsip yang mempunyai arti

bahwa setiap tindakan yang dilakukan seseorang tidak menimbulkan

kerugian secara fisik maupun mental (Abrori, 2016).

4.8.6 Respect For Respon (Menghormati Harkat dan Martabat Manusia)

Juice adalah suatu bentuk terapi adil terhadap orang lain yang

menjunjung tinggi prinsip moral, legal, dan kemanusiaan. Prinsip

keadilan juga ditetapkan pada pancasila Negara Indonesia pada sila ke 5

yakni keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia (Abrori, 2016).

4.8.7 Beneficience (Memanfaatkan Manfaat dan Meminimalkan Resiko)

Keharusan secara etika untuk mengusahakan manfaat sebesar-

besarnya dan memperkecil kerugian atau resiko bagi subjek dan

memperkecil kesalahan peneliti. Dalam hal ini penelitian harus


79

dilakukan dengan tepat dan akurat, serta responden terjaga keselamatan

dan kesehatan.

4.9 Keterbatasan Penelitian

Penelitian yang telah dilakukan sesuai dengan proposal yang telah

dibuat tetapi masih ada beberapa keterbatasan di keduanya seperti teknik

pengambilan sampel dan dalam pelaksanaan pengumpulan data.

4.9.1 Teknik Pengambilan Sampel

Penentuan sampel dalam penelitian ini berbeda dengan proposal

yang telah dibuat, dimana teknik pengambilan sampel yang digunakan

adalah accidental sampling. Sehingga jumlah sampel yang digunakan

adalah setengah dari rencana semula, yaitu 30 responden. Hal ini karena

kondisi lingkungan yang tidak kondusif karena pandemi covid-19.

Namun, jumlah sampel masih memenuhi aturan dari salah satu

teori batas sampel minimum dari Roscoe (1975). Untuk mengatasinya

peneliti, peneliti mengubah teknik pengambilan sampel dari purposive

sampling ke accidental sampling dengan tetap selaras dengan teori

yang ada.

4.9.2 Pelaksanaan Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini berbeda dengan proposal

yang telah dibuat, dimana teknik pengumpulan data menggunakan

google form yang rencana semula menggunakan teknik door to door

rumah responden. Peneliti tidak melakukan teknik door to door karena

kondisi lingkungan yang tidak memungkinkan untuk melakukan

penelitian secara langsung akibat dari covid-19.


BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada Bab ini akan diuraikan mengenai hasil dan pembahasan dari

penelitian tentang “Gambaran Keberhasilan Strategi Directly Observed

Treatment Short Course (DOTS) pada Anak dengan Tuberkulosis Paru di

Ruang Poli Anak RSD Blambangan Tahun 2020”. Hasil penelitian ini akan di

bagi dalam dua bagian yaitu data umum dan data khusus. Data umum akan

menampilkan karakteristik tempat penelitian, karakteristik responden serta data

khusus tentang strategi Directly Observed Treatment Short Course (DOTS)

pada anak dengan tuberkulosis paru di ruang Poli Anak RSD Blambangan Tahun

2020.

5.1 Hasil Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 20 Mei 2020. Pengumpulan

data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan lembar Google

Form keberhasilan strategi Directly Observed Treatment Short Course

(DOTS) pada anak dengan tuberkulosis Paru di Ruang Poli Anak RSD

Blambangan Tahun 2020 sejumlah 30 responden.

5.1.1 Data Demografi Tempat Penelitian

1) Gambaran umum tempat penelitian

1. Data Wilayah Rumah Sakit

a. Nama Rumah Sakit : RSD Blambangan

80
81

b. Kecamatan : Banyuwangi

c. Kabupaten : Banyuwangi

d. Provinsi : Jawa Timur

e. Alamat : Jl. Letkol Istiqlah No. 49

f. Telepon : 0333 421 118

g. Email : rsudblambangan.bwi@gmail.com

2) Sejarah RSD Blambangan

RSD Blambangan kini naik tingkat menjadi rumah sakit tipe

B. Perubahan tipe ini terjadi karena adanya peningkatan kualitas dan

mutu layanan yang diberikan RSD Blambangan kepada masyarakat.

Dan saat ini dokter spesialis di RSD Blambangan terus bertambah.

Pelayanan juga bertambah (ada jam sore). Dan pada masa ini, RSD

Blambangan dipimpin oleh dr. Indah Sri Lestari, M.MRS.

Fasilitas pelayanan di RSD Blambangan memang sangat

beragam. Pelayanan ini bertujuan untuk memberikan fasilitas terbaik

bagi masyarakat . RSD Blambangan memiliki lebih dari 15 Klinik

yang bisa dikunjungi oleh masyarakat sesuai dengan keluhan

masing-masing guna untuk mendapatkan pengobatan yang tepat.

Klinik di RSD Blambangan diantaranya Klinik Anak, Klinik

Anastesi, Klinik Bedah Orthopedi, Klinik Bedah Umum, Klinik

Beda Syaraf, Klinik FNAB, Klinik Gigi dan Mulut, Klinik Gizi,
82

Klinik Jantung, Klinik Jiwa, Klinik Kulit dan Kelamin, Klinik Mata,

Klinik Obgyn, Klinik Paru, Klinik Penyakit Dalam, Klinik Psikologi,

Klinik Rehab Medik, Klinik Spesialis Syaraf, Klinik THT, Klinik

Urologi, dan Klinik VCT.

5.2 Analisa Univariat

5.2.1 Karakteristik Umum Responden

Karakteristik umum responden yang terlibat dalam penelitian ini

dapat diketahui melalui tabel sebagai berikut:

1. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia Anak


3 (10,0%) 3 (10,0%)

13 (43,3%) 11 (36,7%)

Diagram 5.1 Distribusi frekuensi responden TB Paru pada Anak

berdasarkan Usia Anak di Ruang Poli Anak RSD

Blambangan tahun 2020.

Berdasarkan karakteristik Usia Anak dapat diketahui bahwa yang

berkunjung di Ruang Poli Anak RSD Blambangan beberapa anak

yang menderita TB Paru terbanyak pada anak usia sekolah (6-12

tahun) sebanyak 13 (43,3%)


83

2. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

13 (43,3%) 17 (56,7%)

Diagram 5.2 Distribusi frekuensi responden TB Paru pada Anak

berdasarkan Jenis Kelamin di Ruang Poli Anak RSD

Blambangan tahun 2020.

Berdasarkan karakteristik Jenis Kelamin responden dapat diketahui

sebagian besar jenis kelamin responden laki-laki sebanyak 17

(56,7%) responden.

3. Karakteristik Responden Berdasarkan Tinggal Bersama


1 (3,3%)

29 (96,7%)

Diagram 5.3 Distribusi frekuensi responden TB Paru pada Anak

berdasarkan Tinggal Bersama di Ruang Poli Anak

RSD Blambangan tahun 2020.


84

Berdasarkan karakteristik Tinggal bersama, dapat diketahui

sebagian besar responden tinggal bersama orang tua sebanyak 29

(96,7%) responden.

4. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Anak


1 (3,3%) 1 (3,3%)

17 (56,7%) 11 (36,7%)

Diagram 5.4 Distribusi frekuensi responden TB Paru pada Anak

berdasarkan Pendidikan Anak di Ruang Poli Anak

RSD Blambangan tahun 2020.

Berdasarkan karakteristik Pendidikan Anak, dapat diketahui

sebagian besar responden masih berpendidikan SD/MI/Sederajat

sebanyak 17 (56,7%) responden.


85

5. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan Orang Tua


2 (6,7%) 1 (3,3%)
2 (6,7%)

4 (13,4%)

21 (70,0%)

Diagram 5.5 Distribusi frekuensi responden TB Paru pada Anak

berdasarkan Pekerjaan Orang Tua di Ruang Poli Anak

RSD Blambangan tahun 2020.

Berdasarkan karakteristik Pekerjaan Orang tua responden dapat

diketahui sebagian besar pekerjaan orang tua sebagai wiraswasta

sebanyak 21 (70,0%) responden.

6. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Orang Tua

1 (3,3%)

3 (10,0%)

19 (63,3%) 7 (23,3%)
86

Diagram 5.6 Distribusi frekuensi responden TB Paru pada Anak

berdasarkan Pendidikan Anak di Ruang Poli Anak

RSD Blambangan tahun 2020.

Berdasarkan karakteristik Pendidikan Orang tua responden dapat

diketahui sebagian besar pendidikan orang tua responden yaitu

SMA/MA/Sederajat sebanyak 19 (63,3%) responden.

5.2.2 Karakteristik Responden berdasarkan variabel yang diteliti

Karakteristik responden berdasarkan variabel yang diteliti dalam

penelitian ini dapat diketahui melalui diagram sebagai berikut :

1. Karakteristik Responden Berdasarkan Keberhaslan Strategi

DOTS pada dengan TB Paru

3 (10,0%)

27 (90,0%)

Diagram 5.7 Distribusi frekuensi responden TB Paru pada Anak

berdasarkan Keberhasilan strategi DOTS pada Anak

di Ruang Poli Anak RSD Blambangan tahun 2020.


87

Berdasarkan karakteristik Keberhasilan Directly Observed Treatment

Short Course (DOTS) di Ruang Poli Anak RSD Blambangan tahun

2020 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden berhasil dalm

pengobatam TB Paru dengan Program DOTS yaitu sebanyak 27

(90%) responden dan sebanyak 3 (10%) responden yang tidak

berhasil dalam pengobatan TB Paru.

5.3 Pembahasan

5.3.1 Karakteristik Umum Responden

1) Berdasarkan karakteristik Usia Anak

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa di Ruang Poli Anak

RSD Blambangan terdapat beberapa anak yang menderita TB Paru

terbanyak pada anak usia sekolah (6-12 tahun) sebanyak 13 (43,3%)

responden. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Pertiwi (2014) bahwa pasien TB Paru pada anak

terbanyak terdapat pada anak kelompok usia 6-12 tahun yaitu

(86,7%) pasien. Usia anak sekolah merupakan usia yang beresiko

besar terhadap penularan TB Paru karena pasien mudah berinteraksi

dengan orang lain dan mobilitas yang tinggi serta lingkungan tempat

tinggal (Ramzie, 2012).

Anak usia sekolah lebih beresiko terkena penyakit menular.

Hal ini karena anak-anak belum memiliki sistem daya tahan tubuh

yang kuat seperti orang dewasa. Mereka juga mungkin belum

memiliki kebiasaan sehat atau harus selalu diingatkan oleh orang


88

dewasa, seperti kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dan cara

batuk yang benar.

2) Berdasarkan karakteristik Jenis Kelamin responden

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa di RSD Blambangan

dapat diketahui sebagian besar penyakit TB Paru menyerang pada

anak yang berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 17 (56,7%)

responden. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Widhi Rahardiyanti (2016) diketahui bahwa dari 36

penderita Tuberkulosis anak yang diteliti, yang berjenis kelamin

laki-laki sebanyak (53%) penderita, lebih besar daripada yang

berjenis kelamin perempuan sebanyak (47%) penderita.

Anak laki-laki akan mudah terserang penyakit karena anak

laki-laki sering bermain di luar rumah, lingkungan di luar rumah

cenderung tidak sehat maka anak-anak akan mudah terekspos

dengan kuman karena mereka tidak menyadari dan biasanya anak

laki-laki menghiraukan kebersihan diri sehingga akan lebih mudah

terserang penyakit menular seperti TB Paru (Suwitno, 2015).

Jumlah pasien anak laki-laki yang menderita Tuberkulosis

Paru lebih banyak dari pada anak perempuan karena pada anak laki-

laki cenderung aktifitas dan mobilitas lebih tinggi contohnya anak

laki-laki lebih sering bermain di luar rumah sehingga kemungkinar

terpapar menjadi lebih besar.


89

3) Berdasarkan karakteristik Tinggal bersama

Dapat diketahui sebagian besar responden tinggal bersama

orang tua sebanyak 29 (96,7%) responden. penelitian ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Asra Septia (2013) Distribusi

frekuensi karakteristik responden berdasarkan tinggal bersama di

Ruangan Anak dan Poli Paru Rumah Sakit Umum Daerah Arifin

Achmad (n= 38) didapatkan 35 orang tinggal bersama orang tua

(92,10%), 3 orang tinggal bersama pengasuh (7,8%) dan 1 orang

tinggal bersama nenek/kakek (2,6%). Mayoritas responden pada

penelitian ini tinggal bersama orang tua.

Dukungan emosional orang tua pada penderita TB pada anak

sangat dibutuhkan karena tugas orang tua adalah memberikan

dorongan kepada penderita agar mau berobat secara teratur. Dengan

kinerja orang tua yang baik, pasien lebih termotivasi untuk menjalani

pengobatan dengan teratur (Doanita, 2015).

Selain itu peran orang tua yang dapat dilakukan dalam

perawatan TB pada anak dirumah yaitu sebagai PMO (Pengawas

minum obat). Dukungan orang tua terhadap anak yang menderita TB

Paru akan memotivasi anak untuk sembuh. Akan tetapi jika orang

tua tidak menjadi PMO yang baik misalnya orang tua yang sibuk

bekerja tidak peduli terhadap waktu saat minum obat, dosis obat, dan

cara minum obat maka anak yang dalam menjalani pengobatan akan

lama untuk sembuh.


90

4) Berdasarkan karakteristik Pekerjaan Orang tua responden

Dapat diketahui sebagian besar pekerjaan orang tua sebagai

wiraswasta sebanyak 21 (70,0%) responden, PNS 4 (13,4%)

responden dan buruh 2 (6,7%) responden. Adapun penelitian yang

dilakukan oleh Ratih Amanda (2013) didapatkan hasil penelitian

bahwa pekerjaan orang tua sebagai PNS sebanyak (2,9%), Buruh

(7%), Guru/Dosen sebanyak (0,6%) dan Wiraswasta sebanyak

(89,5%).

Wiraswasta merupakan memiliki pribadi kuat, produktif, dan

kreatif yang biasanya bekerja dalam kemandirian. Melaksanakan ide

nya secara sendiri, kemudian mengembangkan kegiatannya dengan

merekrut tenaga orang lain dan selalu berpegang teguh pada nilai

nilai disiplin dan kejujuran yang tinggi. Kebanyakan pekerjaan

wiraswasta bekerja dirumah dan tidak mendapat tekanan dari orang

lain sehingga bisa juga mengurus kondisi rumah (Aditama, 2014).

Orang tua yang bekerja wiraswasta ataupun tidak bekerja

akan lebih optimal dalam mengurus anak khususnya mengurus anak

yang menderita TB Paru. Orang tua bekerja bisa juga memantau

kondisi anak contohnya waktu minum obat, minum obat secara

teratur dan memberikan gizi yang seimbang. Sehingga anak akan

sembuh dalam waktu 6 bulan. Selain itu pada ibu yang pekerja di

luar rumah cenderung lupa untuk memantau pengobatan anak

sehingga anak akan lama untuk sembuh berbeda dengan ibu yang

tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga sehingga waktu untuk
91

dapat merawat anak dapat lebih intensif dibandingkan dengan ibu

yang pekerja.

5) Berdasarkan karakteristik Pendidikan Orang tua

Dapat diketahui sebagian besar pendidikan orang tua

responden yaitu SMA/MA/Sederajat sebanyak 19 (63,3%)

responden, SMP/MTS/Sederajat sebanyak 7 (23,3%) responden dan

SD/MI/Sederajat sebanyak 3 (10,0%). Adapun penelitian yang

dilakukan oleh Ratih Amanda (2013) didapatkan hasil penelitian

bahwa pendidikan orang tua pada anak yang menderita TB Paru

yaitu Tamat TK/SD sebanyak 2 (0,6%), tamat SMP sebanyak 23

(13,4%), tamat SMA sebanyak 32 (18,6%) dan tamat D3/S1/S2

sebanyak 29 (16,9%).

Pendidikan SMP dan SMA dalam Undang-undang No. 33

Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan di Indonesia dinyatakan

sebagai pendidikan yang dasar dan menengah, artinya orang yang

telah menempuh pendidikan tersebut telah memiliki kemampuan

daya nalar yang baik terhadap informasi. Tingkat pendidikan yang

dimiliki oleh seseorang berhubungan dengan kemampuan orang

tersebut dalam memaknai dan meresapi informasi informasi yang

diterimanya (Sulistyowati, 2015).

Hal tersebut demikian pula terjadi pada pasien TB paru di

Ruang Poli Anak RSD Blambangan. Orang tua responden sebagian

besar pendidikannya SMA/MA/Sederajat tersebut mampu mencerna

informasi tentang TB paru yang ia terima baik dari tenaga kesehatan


92

menjadi bentuk pengetahuan. Sehingga lebih peduli terhadap

pengobatan anak dibandingkan dengan orang tua yang berpendidikan

SD/MI/Sederajat karena kurangnya pengetahuan membuat sulit

untuk memahami informasi.

5.3.2 Gambaran Keberhasilan strategi Directly Observed Treatment Short

Course (DOTS) pada Anak dengan Tuberkulosis Paru di Ruang

Poli Anak RSD Blambangan tahun 2020

Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa

sebagian besar responden berhasil dalam melakukan pengobatan

Tuberkulosis paru pada anak dengan menggunakan strategi DOTS,

yaitu sebanyak 27 (90,0%) responden.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Siti Septin

Maulina (2014) hasil penelitiannya menunjukkan dari 149 pasien TB

Paru anak di Rumah Sakit Palembang Januari 2013-Desember 2013

didapatkan pasien dinyatakan sembuh dengan menggunakan strategi

DOTS sebanyak (67,8%) pasien. Sedangkan pada penelitian wahab

(2015) hasil penelitiannya menunjukkan dari 98 pasien TB Paru pada

anak didapatkan pasien dinyatakan sembuh dengan menggunakan

strategi DOTS sebanyak (87,7%) pasien.

Faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan TB Paru

dengan strategi DOTS yaitu pasien yang selalu diawasi minum obat

oleh PMO, pasien minum obat secara teratur, pasien tidak putus

berobat (drop out), mendapatkan penjelasan tentang TB Paru sehingga


93

pasien sembuh di lihat dalam pemeriksaan dan hasilnya TB (-),

adanya perbaikan klinis berupa hilangnya batuk, penambah nafsu

makan, dan berat badan bertambah (Saipul, 2014).

Ada lima komponen dalam strategi DOTS yaitu: Komponen

pertama yaitu Komitmen politis dari pemerintah untuk menjalankan

program TB nasional: Hasil penelitian di RSD Blambangan di ruang

Poli Anak bahwasanya Dinas Kesehatan melakukan kerja sama

dengan RSD Blambangan yaitu pasien mendapatkan terapi OAT

(Obat Anti Tuberkulosis) secara gratis dan pasien melakukan

pemeriksaan TB Paru Gratis. Penelitian ini sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Muhammad Mansyur dkk (2015) yang

mengatakan bahwa komitmen politis dari pemerintah sudah berjalan

dengan baik yang ditunjukkan oleh terjalinnya kerjasama lintas sektor

dan lintas program dalam penanggulangan TB paru, sumber

pendanaan dari APBD dipergunakan untuk pertemuan komunitas

PPM, peningkatan diagnosa, dan supervisi. Ketersediaan OAT di

puskesmas selalu ada dan mencukupi. Pencatatan dan pelaporan

formulir TB paru sudah baik dan tepat waktu.

Komitmen politik pemerintah dalam mendukung pengawasan

tuberkulosis adalah penting terhadap keempat unsur lainnya untuk

dijalankan dengan baik. Komitmen ini seyogyanya dimulai dengan

keputusan pemerintah untuk menjadikan tuberkulosis sebagai

perioritas penting/utama dalam program kesehatan. Untuk

mendapatkan dampak yang memadai maka harus dibuat program


94

nasional yang menyeluruh yang diikuti dengan pembuatan buku

petunjuk (guideline) yang menjelaskan bagaimana DOTS dapat

diimplementasikan dalam program/sistem kesehatan umum yang ada.

Begitu dasar-dasar ini telah diletakkan maka diperlukan dukungan

pendanaan serta tenaga pelaksana yang terlatih untuk dapat

mewujudkan program menjadi kegiatan nyata di masyarakat

(Kemenkes, 2014).

Salah satu pencapaian dalam keberhasilan DOTS yaitu watak

dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor seperti komitmen.

Sama halnya komitmen politik bahwa diperlukan adanya keputusan

pemerintah dalam mendukung program penanggulangan tuberculosis

dengan membuat suatu program nasional yang menyeluruh dalam

mengimplementasikan program penanggulangan TB Paru dengan

strategi DOTS.

Komponen yang kedua yaitu Diagnosis TB melalui

pemeriksaan dahak secara mikroskopis : Hasil penelitian di RSD

Blambangan di ruang Poli Anak bahwasanya pasien dilakukan

pemeriksaan uji tuberculin, dahak secara mikroskopis dan foto

rontgen dengan hasil BTA (+) atau (-) kemudian pasien dilakukan

pemeriksaan kembali ketika 2 bulan setelah melakukan pengobatan.

Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Adistha Eka Noveyani Dkk, 2014 yang menyimpulkan bahwa proses

penemuan kasus di Puskesmas Tanah Kalikedinding yang efektif

didukung oleh penjaringan suspek yang sesuai gejala utama TB oleh


95

petugas yang telah mengikuti pelatihan sesuai standart WHO, dan

pasien didiagnosis sesuai alur diagnosa TB Depkes RI berdasarkan

gambaran klinis klasik, Mantoux test atau tuberculin skin test (TST),

pemeriksaan foto rontgen dada dan sputum BTA,. Sesuai dengan

capaian indikator utama TB yaitu angka penemuan kasus (CDR) 85

112,4% sudah memenuhi target minimal yaitu ≥ 70%. CDR mencapai

target menandakan dengan penemuan kasus efektif dapat

meminimalisir penyebaran penyakit tuberkulosis di wilayah kerja

Puskesmas Tanah Kalikedinding.

Pendektesian diagnosis TB pada anak menggunakan sistem

skoring yang disusun Kementerian Kesehatan bersama dengan IDAI

(Ikatan Dokter Anak Indonesia). Sistem skoring TB anak merupakan

pembobotan terhadap gejala, tanda klinis, dan pemeriksaan penunjang

yang dapat dilakukan di Sarana Pelayanan Terbatas. Masing-masing

gejala sistem skoring harus dianalisis. Parameter skoring adalah

sebagai berikut Kontak anak dengan penderita TB, uji

tuberkulin/mantoux, berat badan/keadaan gizi anak, batuk kronik, dan

foto toraks (Siswanto, 2016).

Pendeteksian kasus TB paru di Rumah sakit Blambangan di

bantu oleh petugas kesehatan. Pada tahap awal akan dilakukan

pemeriksaan uji tuberkulin dan foto thoraks setelah hasil pemeriksaan

sudah ada baru biasanya diberikan OAT sesuai dengan hasil dari

pemeriksaan. Setelah pengobatan selesai dan tuntas petugas kesehatan

melakukan pemeriksaan ulang sampai benar-benar BTA negative.


96

Komponen yang ketiga yaitu Pengobatan TB dengan paduan

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang diawasi langsung oleh Pengawas

Minum Obat (PMO): Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien di

RSD Blambangan ruang Poli Anak melakukan pengobatan OAT

sebagian besar diawasi oleh Orang Tua.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Nurmadiyah 2014 dari hasil penelitian diketahui bahwa lebih dari

separuh responden menyatakan bahwa peranan Orang tua dalam

mengawasi menelan obat sangat baik yaitu 82,7%. Penelitian yang

dilakukan oleh Nomi (2010) juga medapatkan hasil yang sama

terdapat 84% pelaksanaan kinerja Orang tua sebagai PMO sudah baik

dan 16% dengan kinerja yang kurang baik.

Kinerja Orang Tua sebagai PMO yang baik akan memotivasi

penderita untuk menjalani pengobatan secara taratur sehingga

keberhasilan pengobatan dapat tercapai. Sebaliknya jika kinerja PMO

buruk dimungkinkan akan mempengaruhi pengobatan pendeita TB

menjadi tidak patuh. Maka dari itu kinerja PMO perlu ditingkatkan

terutama dalam hal memberikan informasi pada anggota keluarga

dengan TB, karena jika informasi tidak disampaikan dikhawatirkan

akan menyebabkan penularan TB (Aditama, 2016).

Pengawas minum obat yang dilakukan di RSD Blambangan

tersebut telah sesuai dengan pedoman nasional pemberantasan

tuberculosis bahwa yang bisa di jadikan pengawas minum obat pada

pasien TB Anak sebaiknya orang tua, karena pada anak cenderung


97

lebih dekat dengan orang tua terutama ibu sehingga keberhasilan

pengobatan TB Paru sangat baik.

Komponen yang ke empat yaitu kesinambungan persediaan

OAT: Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang berobat di

RSD Blambangan ruang Poli Anak melakukan pengobatan

menggunakan panduan OAT dan ketersediaan OAT di Ruang Poli

Anak sudah baik. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

Nurmadyah, 2013 hasil, (81,8%) responden menyatakan ketersediaan

OAT di Puskesmas Padang Pasir sudah baik. Dari hasil penelitian

didapatkan persentase responden yang tidak berhasil pengobatannya

lebih tinggi pada ketersediaan OAT yang kurang baik dibandingkan

dengan yang baik.

Penggunaan regiment standard dan paling efektif serta dosis

tetap obat untuk menfasilitasi kepatuhan terhadap pengobatan dan

untuk mengurangi resiko terjadinya resistensi obat. Agar mencapai

tingkat kesembuhan yang tinggi, pengobatan pasien TB membutuhkan

penggunaan obat TB secara rasional oleh tenaga kesehatan dan

dukungan yang memadai dari berbagai pihak terhadap pasien TB dan

pengawasan minum obat (PMO) serta mempermudah akses pasien

terhadap pelayanan kesehatan yang telah tersedia (Kemenkes, 2012).

Pendistribusian obat TB Paru pada anak yang dilakukan di

RSD Blambangan tersebut sudah baik. Ketersediaan obat mencukupi.

selama pengobatan OAT akan di berikan secara bertahap dan berkala,

OAT biasanya di berikan kepada PMO. Jika sampai 6 bulan pertama


98

penderita belum sembuh maka akan diberikan pengobatan lanjutan.

Selama ini ketersediaan dan pendistribusian obat di Rumah Sakit

Blambangan belum pernah mengalami kendala dan kekurangan karna

koordinasi yang baik dan berkesinambungan antara petugas Ruang

Poli Anak dengan petugas PMK di Dinas Kesehatan.

Komponen yang kelima yaitu pencatatan dan pelaporan secara

baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program

penanggulangan TB Paru: Hasil penelitian menunjukkan sistem

pencatatan dan pelaporan yang dilakukan di Ruang Poli Anak RSD

Blambangan sudah baik. Ini terlihat data suspect dan penderita sudah

sangat lengkap dan di perbaharui setiap tahun. Sistem yang digunakan

dalam pencatatan dan pelaporan berupa SITT (Sistem Informasi

Tuberculosis Terpadu) dengan cara online maupun offline.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Adistha Eka Noveyani (2016) yang menyatakan bahwa Pencatatan

dan pelaporan di menggunakan sistem pelaporan tuberkulosis dengan

sistem elektronik dan puskesmas Tanah Kalikedinding cukup lengkap

karena telah dilaporkan secara online bernama SITT (Sistem

Informasi Terpadu Tuberkulosis).

Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu elemen yang

sangat penting dalam sistem informasi penanggulangan TB paru.

Monitoring dan evaluasi program tidak mungkin dapat dilakukan

tanpa adanya keseragaman dalam pencatan dan pelaporan. Oleh


99

karena itu,semua unit pelaksana TB harus dapat melaksanakan sistem

pencatatan dan pelaporan yang baku (Depkes RI, 2013).

Sistem pencatatan dan pelaporan yang dilakukan di RSD

Blambangan sudah baik. salah satu pencapaian dalam keberhasilan

pengobatan TB Paru yaitu petugas kesehatan yang dapat melingkupi

seluruh kelompok masyarakat dengan kualitas maupun kuantitas yang

baik, serta bagaimana kemampuan petugas kesehatan yang akan

mengaplikasikan kebijakan yang memadai jumlahnya, tingkat

pemahaman terhadap tujuan dan sasaran serta aplikasi detail program.

Sama halnya dengan pencatatan dan pelaporan petugas kesehatan

menferivikasi kualitas informasi dan mengatasi masalah kinerja,

sistem pencatatan dan pelaporan digunakan untuk sistematika evaluasi

kemajuan pasien dan hasil pengobatan TB Paru. Sistem yang

digunakan pada saat ini dalam pencatatan dan pelaporan berupa SITT

(Sistem Informasi Tuberculosis Terpadu) dengan cara online maupun

offline.

5.4.3 Ketidakberhasilan strategi Directly Observed Treatment Short

Course (DOTS) pada Anak dengan Tuberkulosis Paru di Ruang

Poli Anak RSD Blambangan tahun 2020

Berdasarkan karakteristik ketidakberhasilan Directly Observed

Treatment Short Course (DOTS) di ruang Poli Anak RSD

Blambangan tahun 2020 dapat diketahui pasien yang tidak berhasil

dalam pengobatan TB Paru sebanyak 3 (10%) responden, pasien

pertama dan pasien kedua tidak berhasil dikarenakan ketidakpatuhan


100

minum obat, dan pasien ketiga tidak berhasil dikarenakan Peran PMO

yang kurang dan jarak rumah dengan rumah sakit yang terlalu jauh.

Ketiga faktor tersebut menjadi penyebab ketidakberhasilan

pasien dalam pengobatan TB Paru anak. Faktor yang pertama yaitu

ketidakpatuhan minum obat sejalan dengan penelitian Baharuddin

(2016) hasil penelitiannya tentang ketidakpatuhan Minum obat dengan

kegagalan pengobatan pengobatan pasien TB Anak di Puskesmas

Makassar menunjukkan (40,5%) respon den tidak patuh berobat.

Ketidakpatuhan minum obat menyebabkan meningkatnya risiko

morbiditas, mortalitas dan resistensi obat baik pada pasien maupun

pada masyarakat luas. Ketidakpatuhan pasien TB pada Anak minum

obat tidak teratur dan tidak tepat waktu akan mengakibatkan resistensi

terhadap kuman dan akan membuat pengobatan lebih lama (Syofiana,

2018).

Pemakaian OAT (Obat Anti Tuberkulosis) yang tidak tepat

atau tidak teratur dapat mengakibatkan resistensi Mycobacterium

Tuberculosis terhadap obat. Sehingga sangat penting untuk pasien TB

minum obat secara teratur, dengan minum obat secara teratur

penderita akan terhindar dari resiko resistensi yaitu penderita gagal

menjalankan pengobatan dan akan kembali berobat dari awal

pengobatan, sehingga akan membuat jangka waktu pengobatan lebih

lama.

Faktor yang kedua peran PMO yang kurang baik sejalan

dengan penelitian yang dilakukan Permadi (2012), menyimpulkan


101

bahwa kegagalan konversi pada pasien TB Anak disebabkan oleh

kepatuhan dan dukungan PMO yang tidak baik. Kurang maksimalnya

peran PMO terhadap pengobatan penderita, karena sebagian besar

PMO tidak memberikan penyuluhan dan motivasi kepada penderita

(Sugiyono, 2015).

Motivasi sangat penting untuk penderita dalam menyelesaikan

pengobatan secara teratur, jika tidak diberikan penyuluhan maupun

motivasi maka pasien akan merasa kurang diperhatikan sehingga drop

out dalam pengobatan. Pada pasien TB Anak PMO peran PMO yang

baik sangat penting karena pada anak belum bisa menerima informasi

dengan baik sehingga kepedulian PMO sangat penting untuk

mengaplikasikan informasi yang diterima untuk anak yang menjalani

pengobat sehingga pasien TB Anak akan cepat sembuh sesuai dengan

waktu pengobatan.

Faktor yang ketiga yaitu jarak rumah yang terlalu jauh dengan

rumah sakit penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Siti Septin Maulina (2014) hasil penelitiannya menunjukkan

bahwa kegagalan konversi pada pasien TB disebabkan karena jarak

rumah yang terlalu jauh dengan pelayanan kesehatan. Jarak yang

terlalu jauh antara rumah penderita dengan tempat pelayanan

kesehatan dipengaruhi oleh ketidaksediaan akses transportasi menuju

tempat pelayanan kesehatan (Nandang, 2013).

Ketidakpatuhan pasien dalam berobat adalah asumsi orang tua

mereka bahwa pengobatan itu memerlukan biaya, guna keperluan


102

transportasi karena jarak yang terlalu jauh dengan pelayanan

kesehatan sehingga akses menuju ke pelayanan kesehatan tidak ada

atau memerlukan biaya yang lebih. Maka akan membuat orang tua

malas untuk mengambil obat.


BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan dan pembahasan diatas, maka

kesimpulannya sebagai berikut :

1) Dapat diketahui bahwa sebagian besar responden berhasil dalam

melakukan pengobatan Tuberkulosis paru pada anak dengan

menggunakan strategi DOTS, yaitu sebanyak 27 (90,0%) responden.

2) Dapat diketahui pasien yang tidak berhasil dalam pengobatan TB Paru

sebanyak 3 (10%) responden.

3) Dapat diketahui faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan

antara lain pasien selalu diawasi minum obat oleh PMO, minum obat

teratur, pasien tidak putus berobat (drop out). Sedangkan

ketidakberhasilan pengobatan dengan menggunakan strategi DOTS antara

lain faktor PMO dan Jarak rumah yang terlalu jauh dengan rumah sakit.

103
104

6.2 Saran

Berdasarkan hasil pertimbangan tentang Gambaran Keberhasilan

strategi Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) pada anak

dengan Tuberkulosis Paru di Ruang Poli Anak RSD Blambangan Tahun

2020.

1. Bagi Profesi Keperawatan

Diharapkan untuk terus meningkatkan kinerjanya dalam program

penanggulangan TB Paru pada Anak agar keberhasilan pengobatan TB

Paru pada Anak terus meningkat. Pada profesi keperawatan tidak hanya

dalam Aspek Kuratif akan tetapi profesi keperawatan dapat berperan

dalam aspek preventif dan rehabilitatif.

2. Bagi Instansi Pelayanan Kesehatan

Diharapkan bagi pelayanan kesehatan untuk melakukan pengobatan

TB Paru dengan cara yang benar dan sesuai standar pengobatan serta

menambah kepedulian pelayanan kesehatan terhadap penanggulangan TB

Paru pada Anak.

3. Bagi Masyarakat

Diharapkan bagi masyarakat lebih peduli terhadap program pemerintah

salah satunya program DOTS untuk meningkatkan keberhasilan

pengobatan TB Paru.

4. Bagi Responden

Diharapkan bagi responden patuh terhadap perintah dari PMO atau

orang tua responden terhadap pengobatan TB Paru agar responden

berhasilan dalam pengobatannya dengan menggunakan strategi DOTS.


105

5. Bagi Keluarga

Diharapkan memotivasi pasien, memberi dukungan, serta

mengingatkan pasien yang menjalani pengobatan pada pasien

Tuberkulosis Paru pada anak selama beberapa waktu dengan mengacu

pada strategi DOTS pada anak.

6. Bagi peneliti yang akan datang

Diharapkan kepada mahasiswa dapat melakukan penelitian lebih

lanjut terhadap penanggulangan TB Paru dalam cakupan yang lebih luas.

Misalnya bisa menggunakan intervensi dan menguji dengan variabel lain.


106

DAFTAR PUSTAKA

Aris, M., 2016.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penularan Tuberkulosis Paru


di Kabupaten Tabalong Propinsi Kalimantan Selatan.Tesis. Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada
Achmadi, UF. (2009) Manajemen penyakit berbasis wilayah, Penerbit Buku
Kompas, Jakarta
Aditama, (2014). Pyscho Islamic Smart Parenting (Pola Asuh Cerdas Pembentuk
Jiwa Besar, Optimis, dan Positif Anak-Anak Anda). Yogyakarta: Diva Press.
Amira, p. (2015).Pemberantasan penyakit TB paru dan strategi DOTS. Sumatra
Utara: Bagian Paru Fakultas Kedokteran
Amril, Y., 2016. Keberhasilan Directly Observed Therapy (DOT) Pada
Pengobatan TB Paru Kasus Baru di BP4 Surakarta. Tesis.Jakarta : Bagian
Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI
Dheasabel, G., Azinar, M., Biostatistika, E., Ilmu, J., & Masyarakat, K. (2019).
Penanggulangan Tuberkulosis Paru dengan Strategi DOTS Samhatul. 2(2),
331–341.
Diani, A., Setyanto, D. B., & Nurhamza, W. (2017). Proporsi Infeksi Tuberkulosis
dan Gambaran Faktor Risiko pada Balita yang Tinggal dalam Satu Rumah
dengan Pasien Tuberkulosis Paru Dewasa. Sari Pediatri, 13(1), 62.
Dave, P. V., Shah, A. N., Nimavat, P. B., Modi, B. B., Pujara, K. R., Patel, P.,
Kumar, A. M. V. (2016). Direct observation of treatment provided by a
family member as compared to non-family member among children with new
tuberculosis: A pragmatic, non-inferiority, cluster-randomized trial in
Gujarat, India. PLoS ONE, 11(2), 1–15.
Di, S., Puskesmas, S., Kabupaten, D. I., Apriliasari, R., Hestiningsih, R., &
Udiyono, A. (2018). Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Tb Paru
Pada Anak (Studi Di Seluruh Puskesmas Di Kabupaten Magelang).Jurnal
Kesehatan Masyarakat (e-Journal), 6(1), 298–307.

Dinkes Banyuwangi. 2018. Profil Kesehatan 2018. Banyuwangi.


DEPKES RI. Pedoman penanggulangan tuberkulosis. DEPKES RI;2013
DEPKES RI. Pedoman faktor resiko tuberkulosis paru. DEPKES RI;2015
Doanita, 2015. PAUD Pendidikan Anak Usia Dini. Diva Press. Yogyakarta
Effendi, N., & Widiastuti, H. (2014). Jurnal Kesehatan. Jurnal Kesehatan, 7(2),
353–360.
Fatah, S. R. K., Juffrie, M., & Setyati, A. (2017). Perbedaan Kadar Interferon
Gamma pada Tuberkulosis Anak. Sari Pediatri, 18(5), 385.
107

Herlambang, G., Widjaja, S. L., Hafidh, Y., & Salimo, H. (2019). Hubungan rasio
netrofil limfosit dengan hipertensi arteri pulmonal pada anak dengan
penyakit jantung bawaan asianotik. Sari Pediatri, 21(2), 96.
Husna, C. A., Yani, F. F., & Masri, M. (2016). Gambaran Status Gizi Pasien
Tuberkulosis Anak di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan
Andalas, 5(1), 228–232. Retrieved from

Harnanik. 2016. Analisis Faktor- faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan


Pengobatan TB Paru di Puskesmas Purwodadi II Kabupaten Grobogan.
Yogyakarta: Program Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan ‘Aisyiyah
Hidayat, A. A. (2018). Konsep penularan tuberkulosis. Jakarta: Salemba
Hidayat.(2011). Metode Penelitian dan Teknik Analisa Data. Jakarta: Salemba
Medica.
Kautsar, A. P., & Intani, T. A. (2016). Complience and Effectiveness of Single
Tuberculosis Drugs and Fixed Dose Combination (FDC) on Pediatric
Patients in a Hospital in Bandung. Indonesian Journal of Clinical Pharmacy,
5(3), 215–224.
Kemeskes, RI. 2016. Hail Utama Riset Kesehatan Dasar tahun 2016. Jakarta.
Kemeskes, RI. 2015. Hail Utama Riset Kesehatan Dasar tahun 2015. Jakarta.
Kemeskes, RI. 2017. Hail Utama Riset Kesehatan Dasar tahun 2017. Jakarta.
Mansyur, S., 2018.The Pattern of Antituberculosis Drugs in Pulmonary
Tuberculosis Patients, Tuberculosis Outpatients Clinic Pesahabatan
Hospital.Jakarta : Jurnal Respirologi Indonesia. 21 : 24 - 26
Nursalam. (2016). Metode Penelitian Ilmu Keperawatan: Pendekatan Praktis Edisi
4. Jakarta: Salemba Medika.
Priyanto, A. (2015). Pengembangan Kreativitas Pada Anak Usia Dini Melalui
Aktivitas Bermain. Jurnal Ilmiah Guru Caraka Olah Pikir Edukatif, 0(2).
Price SA, Lorraine MW.Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit.Buku
2 Edisi ke-4. Jakarta: EGC; 2011.
Pudjiati (2014). Bermain Bagi AUD dan Alat Permainan yang Sesuai Usia Anak.
Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini Direktorat
Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal dan Informal Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan
Potter dan Perry. 2009. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses
dan Praktik, Edisi Keempat. Jakarta: EGC
Ramzie (2012). Tumbuh Kembang Anak Edisi 2. Jakarta : Buku Kedokteran
108

EGCRintiswati, N. (2017). Faktor risiko kegagalan pengobatan ulang pasien


tuberkulosis di Yogyakarta. 433–438.
Risiko, F., Konversi, G., Penderita, P., Paru, T., & Intensif, F. (2017). Faktor
Risiko Gagal Konversi Pengobatan Penderita Baru Tuberkulosis Paru Fase
Intensif (Studi di Kota Bandar Lampung). 1(2).
Isbaniah, F. (2011). Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di
Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
Sujono & Sukarmin.2009. Asuhan Keperawatan Pada Anak, Yogyakarta
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda C. Bare.(2009). Keperawatan Medikal
Bedah.Edisi 8. Volume I. Jakarta: EGC.
Supriyatno B, dan Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi Anak.Edisi-1. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI;2010.h.194-211.
Suhartono, 2016.Pencegahan dan Pengobatan TB Paru.Dalam : Kumpulan
Naskah Temu Ilmiah Respirologi. Surakarta : Lab. Paru FK UNS
Sulistyowati, 2009. Metode Penelitian Pendidikan. Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Suwitno, (2015). Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC.
Waingapu, P., Sumba, K., Timur, P. N., Gizi, S., & Hunian, K. (2016). Faktor-
faktor yang mempengaruhi infeksi tb pada anak yang tinggal serumah
dengan penderita tb. 56–63.
Wahab.Sistem Imun Imunisasi dan penyakit imun, Cetakan pertama, Widya
Medika, Jakarta: 2012
World Health Organization (WHO).Global Tuberculosis Report 2015.
Switzerland. 2014.
Wasis. 2010. Pedoman Riset Praktis Untuk Profesi Perawat. Jakarta: ECG.
Yanto, B. F., Werdiningsih, I., & Purwanti, E. (2017). Aplikasi Sistem Pakar
Diagnosa Penyakit Pada Anak Bawah Lima Tahun Menggunakan Metode
Forward Chaining.Journal of Information Systems Engineering and Business
Intelligence, 3(1), 61. https://doi.org/10.20473/jisebi.3.1.61-67
Yulistyaningrum, & Rejeki, D. S. S. (2019). Hubungan Riwayat Kontak Penderita
Tuberkulosis Paru (TB) dengan Kejadian TB Paru Anak di Balai
Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Purwokerto. Kesehatan Masyarakat,
43-48
Yoga Tjandra. 2015. Rokok dan tuberkulosis Paru. Jakarta: Bagian Pulmonologi
dan Kedokteran Respirasi FKUI/RS Persahabatan.
Lampiran 1

MATRIK PENYUSUNAN PROPOSAL PENELITIAN DAN SKRIPSI MAHASISWA PRODI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI
TAHUN 2019/2020

Oct Nov Des Jan Feb Maret April Mei Juni


NO KEGIATAN
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Sosialisasi kegiatan proposal dan skripsi
2 Pembagian pembimbing proposal dan skripsi
3 Pembagian buku panduan penulisan skripsi
4 Proses bimbingan proposal penelitian
5 Pengumpulan Proposal penelitian sebelum ujian
6 Persiapan pelaksanaan teknis ujian proposal penelitian
7 Pelaksanaan ujian proposal penelitian
8 Revisi proposal penelitian
9 Pengajuan Uji layak Etik Penelitian
10 Pengambilan data penelitian dan Proses bimbingan penyusunan skripsi
11 Pengumpulan skripsi sebelum ujian
12 Pembagian skripsi ke penguji
13 Persiapan pelaksanaan teknis ujian skripsi
14 Pelaksanaan ujian skripsi
15 Revisi Skripsi
16 Pengumpulan skripsi yang sudah acc
17 Yudisium

Mengetahui., Kaprodi S1 Banyuwangi, Oktober 2019


Keperawatan Koordinator Skripsi

Anita Dwi Ariyani., S.Kep., Ns., M.Kep. Masroni, S.Kep., Ns., M.S. (in Nursing)
NIK. 06.058.0510 NIK. 06.077.0612

109
110
111
112
113
114

SURAT PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN

(Informed Consent)

Kepada : Yth.

Calon Partisipan Penelitian

Di Tempat

Dengan hormat,

Yang bertanda tangan di bawah ini adalah mahasiswa

Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Banyuwangi.

Nama : RINA

Alamat : Jl. Letkol Istiqlah No. 109 Giri Banyuwangi

Nim : 2016.02.033

Pada kesempatan ini akan melakukan penelitian dengan


judul “Gambaran Keberhasilan Strategi Directly Observed
Treatment Short Course pada Anak dengan Tuberkulosis Paru di
Ruang Poli Anak RSD Blambangan Tahun 2020”

Adapun tujuan, manfaat dan kerugian dari penelitian ini


diantaranya adalah :

1. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
gambaran keberhasilan strategi DOTS pada anak dengan TB Paru
di Ruang Poli Anak RSD Blambangan
2. Manfaat
Berkontribusi dalam teridentifikasinya Keberhasilan
strategi DOTS pada anak dengan TB Paru di Ruang Poli Anak
RSD Blambangan
115

3. Kerugian
Dalam penelitian ini tidak ada bahaya dan kerugian bagi
responden, karena penelitian ini hanya dengan proses pengisian
kuesioner dan tidak ada perlakuan-perlakuan khusus bagi
responden

Kerahasiaan semua informasi yang diberikan akan dijaga


dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Apabila saudara
tidak bersedia menjadi responden maka tidak ada konsekuensi
apapun bagi saudara karena bersifat sukarela
Jika saudara telah menjadi responden maka ada hak dan
kewajiban sebagai responden yaitu :
1. Hak Responden
Setelah dilakukan penjelasan (Informed Consent) maka
responden berhak untuk tidak mau jadi responden, dan jika
responden sudah menyetujui maka responden berhak
mengundurkan diri menjadi responden
2. Kewajiban Responden
Kewajiban responden setelah menandatangani lembar
persetujuan adalah mematuhi apa yang sudah ditentukan oleh
peneliti, misalnya mengisi semua pertanyaan yang di berikan
telah diberikan oleh peneliti dan responden harus memberikan
jawaban yang benar tanpa dimanipulasi
Banyuwangi, Maret 2020
Hormat saya,

RINA
116

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini, menyatakan bersedia untuk


menjadi partisipan penelitian mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Banyuwangi yang berjudul “Gambaran Keberhasilan Strategi Directly Observed
Treatment Short Course (DOTS) pada Anak dengan Tuberkulosis Paru di Ruang
Poli Anak RSD Blambangan Tahun 2020” saya mengerti bahwa penelitian ini
tidak menimbulkan dampak yang berbahaya dan data-data yang mengenai saya
dalam penelitian ini akan dirahasiakan. Hanya peneliti yang dapat mengetahui
kerahasiaan data.

Demikian, secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun saya
bersedia berperan serta dalam penelitian ini.

Banyuwangi, Maret 2020

Responden
117

KUESIONER DATA DEMOGRAFI

A. Kuisioner Data Demografi Responden

1. Usia : ……… Tahun

2. Jenis Kelamin : ( ) Laki laki ( ) Perempuan

3. Tinggal bersama orang tua : ( ) Orang Tua ( ) Pengasuh

( ) Nenek/Kakek ( ) Keluarga Lainnya

4. Pendidikan Anak : ( ) Belum Sekolah ( ) SD/MI/Sederajat

( ) SMP/MTS/Sederajat ( ) SMA/MA/Sederajat

5. Pekerjaan Orang Tua : ( ) Tidak Bekerja ( ) PNS

( ) Wiraswasta ( ) Lainnya

6. Pendidikan Orang Tua : ( ) Tidak Sekolah ( ) SD/MI/Sederajat

( ) SMP/MTS/Sederajat ( ) SMA/MA/Sederajat

B. Petunjuk Pengisian Skala

Berikut ini terdapat beberapa pernyataan yang berupaya membantu


Anda memahami keadaan diri Anda. Bacalah setiap pernyataan dengan
seksama, kemudian pilihlah salah satu dari empat pilihan berikut ini:
SS : Apabila peryataan tersebut sangat sesuai dengan diri Anda
S : Apabila peryataan tersebut sesuai dengan diri Anda
TS : Apabila peryataan tersebut tidak sesuai dengan diri Anda
STS : Apabila peryataan tersebut sangat tidak sesuai dengan diri Anda
Berilah tanda contreng (  ) pada lembar tanggapan yang Anda pilih di
bagian kanan pernyataan. Pada pernyataan ini tidak ada yang salah. Semua
jawaban benar jika Anda isi pernyataan tersebut sesuai dengan keadaan diri
Anda.
Kerahasiaan jawaban Anda dijamin oleh etika akademik penelitian
dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab peneliti. Periksalah kembali
118

pekerjaan Anda dan jangan sampai ada nomor yang kosong. Selamat
mengerjakan dan terimakasih atas bantuan dan partisipasi Anda.

Petunjuk Pengisian: Berilah tanda checklist (√) pada pernyataan yang menurut
anda benar pada kolom : STS, TS, S, SS.

Keterangan Kuesioner :
STS = Sangat Tidak Setuju
TS = Tidak Setuju
S = Setuju
SS = Sangat Setuju

NO PERNYATAAN STS TS S SS
I Komitmen politik dari para pengambil
keputusan termasuk dukungan dana:
Pernyataan:
1. Saya diberitahu petugas Rumah Sakit bahwa di
Rumah Sakit ini ada program penanggulangan
TB Paru.
2. Dahak saya diperiksa secara gratis di Rumah
Sakit ini.
3. Saya mendapatkan obat TB Paru secara gratis
di Rumah Sakit.
II Penemuan penderita dengan pemeriksaan
dahak secara mikroskopis:
Pernyataan:
4. Saya memeriksakan dahak ke Rumah Sakit.
5. Dahak saya diambil sebanyak tiga kali untuk
diperiksa.
6. Dahak saya diperiksa untuk mengetahui
apakah saya menderita TB Paru
III Pengobatan dengan paduan Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan
pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan
Obat (PMO):
Pernyataan:
7. PMO (Pengawas Menelan Obat) langsung
mengawasi saya ketika menelan obat.
8. Orang yang menjadi PMO bisa saja adalah
keluarga, tetangga, petugas Rumah Sakit, dan
pemuka masyarakat yang sudah ditunjuk.
9. Saya harus makan obat TB Paru selama enam
bulan dengan pengawasan PMO.
10.Saya selalu diingatkan oleh PMO agar teratur
makan obat setiap hari.
11.Jika saya tidak dapat mengambil sendiri obat
saya ke Rumah Sakit, maka PMO akan
119

membantu mengambilkan obat saya ke Rumah


Sakit.
IV Jaminan tersedianya OAT secara teratur,
menyeluruh dan tepat waktu dengan mutu
terjamin:
Pernyataan:
12. Saya diwajibkan oleh petugas Rumah Sakit
untuk mengambil obat secara teratur setiap
10 hari sekali.
13. Di Rumah Sakit ini selalu tersedia obat TB
Paru jika saya datang untuk mengambil obat
lanjutan.

14. Petugas kesehatan memberikan obat TB Paru


dengan lengkap dan tidak rusak
V Sistem pencatatan dan pelaporan secara baku
untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi
program penanggulangan TB Paru:
Pernyataan:
15. Petugas kesehatan memberikan kartu tanda
berobat TB Paru yang berwarna kuning
kepada saya untuk mencatat pengobatan.
16. Petugas kesehatan selalu mengingatkan saya
agar selalu membawa kartu berobat ketika
datang untuk mengambil obat lanjutan agar
pencatatan sesuai dengan jadwal.
17. Saya harus selalu membawa kartu berobat
jika saya pergi agar dapat mengambil obat di
Rumah Sakit lain jika obat saya habis.
18. Petugas Rumah Sakit selalu memantau
kondisi saya dan selalu membuat catatan
tentang perkembangan kondisi saya.
120

https://forms.gle/jYHCn1atb2HCBFQBA
121
122
123
124
125
126
127
128
129
130
131
132
133
134
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI
(Institute of Health Science)
Jl. Letkol Istiqlah No. 109 Telp.(0333) 421610 / Fax. (0333) 425270
BANYUWANGI
Website : http://stikesbanyuwangi.ac.id/

LEMBAR REVISI MAHASISWA


NAMA : Rina
NIM : 2016.02.033
PRODI : S1 Keperawatan
PEMBIMBING : DR. H. Soekardjo
NIK/NIDN : 9907159603
JUDUL : GAMBARAN KEBERHASILAN STRATEGI DIRECTLY
OBSERVED TREATMENT SHORT COURSE (DOTS) PADA
ANAK DENGAN TUBERKULOSIS PARU DI RUANG POLI
ANAK RSD BLAMBANGAN BANYUWANGI TAHUN 2020
TANDA
NO HARI/TANGGAL BAB
HASIL KONSULTASI TANGAN
1 1-4 1. Penulisan
2. Teridentifikasi diganti
mengidentifikasi
3. Hipotesis
4. Penulisan tabel sintesis
diperbaiki
136
137
138
139
140

LEMBAR REVISI MAHASISWA

Nama : Rina
NIM : 2016.02.033
Program Studi: S1 Keperawatan
Penguji 1 : DR. H. Soekardjo
NUPN : 9907159603
Judul : GAMBARAN KEBERHASILAN STRATEGI DIRECTLY OBSERVED
TREATMENT SHORT COURSE (DOTS) PADA ANAK DENGAN
TUBERKULOSIS PARU DI RUANG POLI ANAK RSD
BLAMBANGAN BANYUWANGI TAHUN 2020
No Hari/Tanggal BAB Keterangan Tanda Tangan
1. 7 Agustus 2020 1. ditambahkan yang
berkunjung di ruang poli
anak rsd blambangan

2. perbesar diagramnya

Anda mungkin juga menyukai