Anda di halaman 1dari 5

KAUM YANG TERTINDAS

PENDAHULUAN

Saat ini Indonesia sedang pada tahap klimaks atau pada titik keritis menetukan
berhasil atau tidaknya perjuangan mengapai cita-cita. Pemerintah dan seluruh
jajaranyan menetapkan dan membuat peraturan yang sekiranya dapat untuk
mewujudkan cita-cita bangsa indonesia yang tertera dalam pembukan UUD 1945
antara lain untuk memajukan kesejahteraan bersama, mencerdaskan kehidupan bangsa
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
dan keadilan sosial.

Terkusus pada bunyi UUD 1945 yaitu memajukan kesejahteraan bangsa dan mencerdasakan

kehidupan bangsa. Dari kedua itu dapat diwujudkan melalui pendidikan yang baik, hal ini tidak lepas dari peran

pendidikan sendiri sebagai penopang sumberdaya manusia untuk mempertahankan hidupnya ,dimana manusia atau

terdidik dipandang sebagai manusia seutuhnya, yang memiliki hak yang tidak dapat di gangu

keberadaannya. Dengan demikian perubahan perubahn pola pikir,kebutuhan dan tututan hidup

manusia secara otomatis mengharuskan untuk perubahan aktivitas dan sistem pendidikan.

Sistem pendidikan yang memanusiakan kembali manusia yang merupakan pemikiran


dari seorang Paulo Freire tokoh pendidikan yang sangat fenomenal di Brazil dalam
bukunya yang berjudul “ Pedagogy of The Oppressed  (Pendidikan Kaum Tertindas)”. Paulo Freire lahir

pada 19 September 1921 di Recife, sebuah kota pelabuhan di Brasil yang terletak pada bagian timur

laut negara tersebut. Wilayah Recife dapat dikatakan sebagai wilayah yang terbelakang dan

identik dengan kemiskinan.

Sejak kecil Paulo Freire sudah terbiasa hidup dan bersosialisasi bersama “kaum-kaum tertindas”,

dan berkat pergumulan sosialnya yang sangat panjang bersama “kaum- kaum tertindas” lahirlah

buah-buah pemikiran yang brilian dan kontroversial. Freire mempunyai latar belakang pendidikan

di bidang hukum dan sempat berkarier dalam jangka waktu yang pendek sebagai seorang
pengacara. Kemudian Freire menjadi guru bahasa Portugis selama 6 tahun (1941-1947). Sekitar tahun

1944 Freire menikah dengan seorang guru bernama Elza Maia Costa Olievera. Pernikahan inilah yang

memantapkan pergeseran interesnya dari bidang hukum ke bidang pendidikan.

Tahun 1959, Freire menyerahkan disertasi doktoral di Universitas Recife dengan  judul  Educacao

e Atualidade Brasileira (Pendidikan dan Keadaan Masa Kini di Brasil). Di kemudian hari, Freire bahkan

diangkat sebagai guru besar bidang sejarah dan filsafat pendidikan di universitas tersebut. Pada

tahun 1961-1964, Freire menjadi Direktur Pertama dari Departemen Perluasan Kebudayaan

Universitas Recife. Karena keberhasilannya dalam program pemberantasan buta huruf di daerah Angicos, Rio

Grande do Norte, Freire diangkat sebagai Presiden dari Komisi Nasional untuk Kebudayaan Populer.

Pada tahun 1964 terjadi kudeta militer di Brasil. Rezim yang berkuasa saat itu menganggap Freire

seorang tokoh yang berbahaya, karena itu mereka menahannya selama tujuh puluh hari sebelum

akhirnya “mempersilakan” Freire untuk meninggalkan negeri itu. Freire memulai masa lima belas

tahun pembuangannya dan tinggal untuk sementara waktu di Bolivia. Dari Bolivia Freire pindah

ke Chili dan berkerja selama lima tahun untuk organisasi internasional Christian Democratic

Agrarian Reform Movement. Dalam masa lima tahun ini, Freire dianggap sangat berjasa

menghantar Chili menjadi satu dari lima negara terbaik di dunia yang diakui UNESCO sukses

dalam memberantas buta huruf. Pada tahun 1969 Freire sempat menjadi visiting professor di

Universitas Harvard. Antara tahun 1969-1979, Freire pindah ke Jenewa dan menjadi penasihat

khusus bidang pendidikan bagi Dewan Gereja Dunia. Pada akhir tahun 1960-an inilah Freire

menulis salah satu bukunya yang paling terkenal, Pedagogy of the Oppressed. Pada tahun 1979,

Freire kembali ke Brasil dan menempati posisi penting di Universitas Sao Paulo. Tahun 1988

Freire ditunjuk menjadi Menteri Pendidikan untuk kota Sao Paulo, sebuah posisi yang

memberinya tanggung jawab untuk mereformasi dua pertiga dari seluruh sekolah negeri yang ada.

Freire meninggal pada 2 Mei 1997, dalam usia 75, akibat penyakit jantung. Selama hidupnya,

Freire menerima beberapa gelar doktor honoris causa dari berbagai universitas di seluruh dunia.

Freire juga menerima beberapa penghargaan, di antaranya: UNESCO‟s Peace Prize tahun 1987,
dan dari The  Association of Christian Educators of the United States sebagai The Outstanding Christian

Educator ,pada tahun 1985.

Di Indonesia, persebaran pemikiran Freire dapat dilihat dari begitu banyaknya karyanya yang diterjemahkan ke dalam

bahasa Indonesia, terutama setelah tumbangnya Orde Baru. bukunya Buku yang berjudul Pendidikan

Kaum Tertindas ini merupakan terjemahan dari buku yang berjudul Pedagogy of The Oppressed , yang

diterbitkan oleh LP3ES. Pada buku versi bahasa Inggris, kata pengatar diberikan oleh Richard Shaull,

sedangkan pada buku terjemahannya terdapat prawacana yang diberikan oleh F Danuwinata. Pada

buku yang berjudul Pedagogy of the Oppressed inilah Freire menuangkan buah pikirannya mengenai

bagaimana seharusnya pelaksanaan pendidikan bagi kaum tertindas. Buku “Pendidikan Kaum

Tertindas” pada pembahasan buku pendidikan kaum yang tertindas ini di buat menjadi 4 bab. Bab

pertama berbicara mengenai pentingnya pendidikan bagi kaum tertindas. Untuk menyadarkan

kaum tertindas tentang betapa pentingnya merebut kembali hak-hak mereka yang telah dirampas

oleh para penindas, maka dibutuhkan suatu pendidikan bagi “kaum-kaum tertindas”.

Dengan adanya pendidikan ini, diharapkan kaum tertindas dapat mengetahui situasi yang mereka

hadapi sekarang. Menurut Paulo Freire, pendidikan kaum tertindas sebagai pendidikan para

humanis dan pembebas, terdiri dari dua tahap.

“Pada tahap pertama, kaum tertindas membuka tabir dunia penindasan dan melalui praksis

melibatkan diri untuk mengadakan perubahan. Pada tahap kedua, dimana realitas  penindasan itu sudah berubah,

pendidikan ini tidak lagi menjadi milik kaum tertindas tetapi menjadi pendidikan untuk seluruh manusia

dalam proses mencapai kebebasan yang langgeng”(hal 27-28).

Oleh karena itu dari kedua tahap tersebut bisa di simpulkan bahwa Paulo Freire ingin mengajarkan

kepada masyarakat agar berjuang untuk membebaskan diri dari kaum penindas tetapi kemudian

memanusiakan kaum penindasnya, dan tidak berlaku menjadi penindas ketika kaum tertindas

berhasil mengambil alih kekuasaan. Karena keadaan tidak akan menjadi lebih baik ketika kekuasaaan hanya

berpindah. Agar tidak berbalik menjadi penindas maka kaum tertindas yang berjuang harus

dibekali paradigma tentang kemanusiaan dan keadilan. Nilai-nilai humanis yang harus dikembangkan
dalam pendidikan, agar pendidikan dapat membawa perubahan ke arah yang lebih baik dengan

menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.

Pada bab dua, Paulo Freire menbicarakan tentang proses pendidikan yang dialami oleh “kaum-

kaum tertindas” selama ini. Paulo Freire mengatakan, “pendidikan yang dialami oleh “kaum-kaum

tertindas” selama ini tak ubahnya seperti pendidikan dengan “sistem bank”. Dalam pendidikan

“sistem bank”, dimana ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan para murid hanya terbatas pada

menerima, mencacat, dan menyimpan”, (hal 52).

Guru merupakan subyek yang memiliki pengetahuan yang diisikan kepada murid, sedangkan murid hanya sebuah

deposit belaka. Sangat jelas sekali pendidikan seperti ini tak ubahnya adalah suatu penindasan terselubung

terhadap kreatifitas murid, murid dituntut untuk mengikuti jalan pemikiran guru tanpa diberi

kesempatan untuk berpikir kritis dalam memecahkan suatu masalah yang ada. Untuk lepas dari

penindasan gaya pendidikan “sistem bank”, Paulo Freire memberikan suatu alternatif baru yaitu

dengan suatu metode yang diberinya nama metode “pendidikan hadap masalah”.

“Pendidikan yang membebaskan berisi laku-laku pemahaman (acts of cognition), bukannya pengalihan-

pengalihan informasi. Dia merupakan sebuah situasi belajar di mana obyek yang dapat dipahami (sama sekali bukan

titik akhir dari dari laku  pemahaman) menghubungkan para pelaku pemahaman, guru di satu sisi dan

murid di sisi lain, (hal 64).

Dalam bab 3 Paulo Freire menjelaskan betapa pentingnya adanya dialog di dalam pendidikan

kaum tertindas. “Jika dalam mengucapkan kata-katanya sendiri manusia dapat mengubah dunia dengan jalan

menamainya, maka dialog menegaskan dirinya sebagai sarana di mana seseorang memperoleh makna sebagai

manusia, (hal 77).

Dengan adanya dialog diharapkan tidak ada lagi keadaan dimana satu orang aktif “menabungkan” gagasannya

kepada orang lain, sementara yang lain cuma pasif menerima apa yang diberikan orang lain

kepada dirinya. Pada bab terakhir, Paulo Freire coba membandingkan antara model pendidikan

antidialogis dengan model pendidikan dialogis. Model pendidikan antidialogis selalu ditandai
dengan usaha menguasai manusia, sedangkan model pendidikan dialogis selalu bersifat kooperatif. Di dalam

buku “Pendidikan Kaum Tertindas” ini desebutkan bahwa, teori-teori tindakan antidialogis

dikenal istilah-istilah seperti penaklukan, pecah dan kuasai, manipulasi, dan serangan budaya.

Sedangkan teori-teori tindakan dialogis dikenal istilah-istilah seperti kerja sama, persatuan untuk

pembebasan, organisasi, dan sintesa kebudayaan.

Anda mungkin juga menyukai