Anda di halaman 1dari 21

UNIVERSITAS INDONESIA

DEMOKRASI LOKAL (LOCAL DEMOCRACY) DALAM PEMILIHAN


KEPALA DAERAH DAN PEMEKARAN DAERAH OTONOM DI
INDONESIA

Oleh :

Akbar Arif P. 1706078932


Fauzan Fithra 1706052460
Fikri Haikal 1706079033
M. Galih Saputra 1706052523
Secio Ryan K. 1706976176

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI


PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
DEPOK
2019
DAFTAR ISI

Daftar Isi....................................................................................................... ii
Bab I Pendahuluan...................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang Masalah................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah............................................................................. 5
1.3. Tujuan Penulisan............................................................................... 6
Bab II Kerangka Teori................................................................................ 7
2.1. Reformasi Administrasi..................................................................... 7
2.1.1. Tujuan Reformasi Administrasi................................................. 7
2.1.2. Reformasi Birokrasi Indonesia................................................... 8
2.2. Pelayanan Publik................................................................................ 9
2.3. New Public Service (NPS)................................................................. 10
2.3.1. Prinsip-Prinsip NPS.................................................................... 10
Bab III Analisis............................................................................................ 12
3.1. Rencana Aksi Reformasi Birokrasi Bidang Pelayanan Publik
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi 2018-2022................................ 12
3.2. Implementasi Prinsip New Public Service (NPS) dalam Rencana
Aksi Reformasi Birokrasi Bidang Pelayanan Publik Pemerintah
Kabupaten Banyuwangi 2018-2022...................................................
16
Bab IV Penutup............................................................................................ 17
5.1 Kesimpulan.................................................................................... 17
5.2 Saran.............................................................................................. 17
Daftar Pustaka............................................................................................. 18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Indonesia merupakan salah satu dari sekian banyak negara di dunia yang
menerapkan prinsip desentralisasi terhadap daerah-daerah cakupannya.
Desentralisasi menurut Rondinelli et al (1983) adalah pembentukan dan penguatan
unit-unit pemerintahan subnasional dengan aktivitas yang secara substansial di
luar kontrol pemerintah pusat. Desentralisasi melahirkan otonomi daerah. Untuk
menjalankan otonomi daerah dibutuhkan adanya pemerintahan daerah. Otonomi
memberikan kesempatan langsung bagi daerah untuk mengatur wilayahnya tanpa
menunggu keputusan pemerintah pusat. Lahirnya model ini sekaligus
mempertegas bahwa luas wilayah Indonesia memang tidak dimungkinkan untuk
hanya memberlakukan sentralisasi saja. Pemberlakuan desentralisasi di Indonesia
didasari oleh beberapa undang-undang yang terus mengalami perubahan
paradigma seiring waktu. Desentralisasi dan otonomi diatur pada UU No. 5 Tahun
1974, UU No. 22 Tahun 1999, UU No. 32 Tahun 2004, dan yang terbaru UU No.
23 Tahun 2014. Peraturan yang terus diperbarui menandakan Indonesia masih
mencari-cari model desentralisasi yang cocok untuk diterapkan dan bagaimana
regulasinya.
Aulich dan Halligan (1998) mengatakan bahwa sejumlah negara menganut
dua model dalam menjalankan kebijakan desentralisasi berkaitan dengan skala
prioritas tujuan, yaitu demokrasi lokal dan struktural efisiensi. Model struktural
efisiensi mengedepankan skala prioritas tujuan desentralisasi kepada national
building (unity) dan tujuan efisiensi administrasi katimbang otonomisasi dan
demokratisasi pemerintahan baru kemudian nilai pembangunan sosial ekonomi;
sedangkan model demokrasi lokal mengedepankan otonomisasi dan demokratisasi
daripada national building (unity) dan efisiensi administrasi baru kemudian
pembangunan sosial ekonomi (Aulich dan Halligan, 1998). Kedua model dari
Aulich dan Halligan ini kemudian oleh Wasistiono (2010) disesuaikan dengan
kondisi yang ada di Indonesia.

1
Wasistiono (2010) menyebutkan bahwa masing-masing peraturan
perundang-undangan memiliki paradigma yang berbeda mengenai model
desentralisasi yang diterapkan. Model desentralisasi yang diterapkan pada masa
UU No. 5 Tahun 1974 adalah struktural efisiensi, kepala daerah berperan secara
dominan dibandingkan institusi lainnya. Pada masa itu Indonesia menerapkan
sentralisasi yang berdampak penyelenggaraan pemerintah yang lebih stabil
namun kurang demokratis. Penyelenggaraan pemerintahan tergantung figur dari
kepala daerah karena tidak adanya pengawasan dari masyarakat. Perbedaan sangat
jelas nampak pada UU No. 22 Tahun 1999 yang menerapkan model demokrasi
lokal dengan kepala daerah yang dipilih oleh DPRD. Model ini lebih demokratis
namun pengambilan keputusan menjadi lebih lambat karena menunggu
persetujuan DPRD (Wastitiono, 2010). Arah pembangunan menjadi tidak
konsisten karena berganti arah sesuai dengan keinginan partai pemenang Pilkada
yang berakibat terjadinya konflik politik sehingga memperlambat pembangunan.
Cara pemilihan kepala daerah ini yang kemudian diatur kembali oleh UU No. 32
Tahun 2004 yang memadukan model struktural efisiensi dan demokrasi lokal.
Undang-undang tersebut mengatur bahwa kepala daerah dipilih oleh rakyat. Tidak
banyak perubahan yang terdapat di dalam UU No. 23 Tahun 2014 mengenai
penyelenggaraan pilkada.
Pelaksanaan demokrasi lokal selain dari adanya pilkada langsung, juga
terdapat pada peraturan pemekaran bagi daerah-daerah yang ada di Indonesia.
Peraturan mengenai pemekaran ini diatur secara jelas melalui UU No. 32 Tahun
2004 dan lalu disempurnakan oleh UU No. 23 Tahun 2014. Dalam UU No. 23
Tahun 2014 menyebutkan bahwa tujuan dilakukannya penataan daerah adalah
mewujudkan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, mempercepat
peningkatan kesejahteraan masyarakat, mempercepat peningkatan pelayanan
publik, meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan, meningkatkan daya saing
daerah dan daya saing nasional, dan memelihara keunikan adat istiadat, tradisi,
dan budaya daerah (Kambuno, 2017). Berkaitan dengan pemekaran daerah, Pasal
33 Ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 menentukan bahwa pemekaran daerah berupa
pemecahan daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota untuk menjadi 2 (dua)
daerah atau lebih daerah baru atau penggabungan bagian daerah dari daerah yang

2
bersanding dalam 1 (satu) daerah provinsi menjadi satu daerah. Pelaksanaan
model desentralisasi demokrasi lokal memungkinkan masyarakat dalam
berpartisipasi di dalam daerahnya, serta juga memungkinkan daerah untuk lebih
leluasa dalam mengatur daerahnya sendiri.

1.2. Perumusan Masalah


Perkembangan demokrasi lokal pasca reformasi telah menjadi suatu
tuntutan masyarakat luas dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di
Indonesia, dimana diantaranya melalui pemilihan kepala daerah (pilkada) dan
pemekaran daerah otonom. Oleh karena, itu rumusan masalah dari penulisan ini,
yaitu: Bagaimana pelaksanaan demokrasi lokal (local democracy) dalam
pemilihan kepala daerah dan pemekaran daerah otonom di Indonesia?

1.3. Tujuan Penulisan


Penulisan ini bertujuan untuk menganalisis pelaksanaan demokrasi lokal
(local democracy) dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) dan pemekaran
daerah otonom di Indonesia.

3
BAB II
KERANGKA TEORI

2.1. Model Pemerintahan Daerah


Model atau pendekatan dalam pelaksanaan pemerintahan daerah pada
umumnya terbagi menjadi dua sesuai dengan tujuannya. Sebagaimana dengan
pernyataan Prasojo dkk dalam Kurniawan (2007) bahwa secara umum tujuan
tersebut dapat diklasifikasi menjadi dua variabel, diantaranya peningkatan
efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan (yang merupakan
pendekatan structural efficiency model) serta peningkatan partisipasi masyarakat
dalam pemerintahan dan pembangunan (yang merupakan pendekatan local
democracy model) (Kurniawan, 2007).
Kedua model ini bersifat sebagai sebuah kontinum yang berarti akan terus
mengalami pergeseran dari satu model ke model lainnya. Pada dasarnya,
penggunaan model demokrasi lokal akan menjauhi prinsip efisiensi namun masih
tetap mengakomodasi beberapa prinsipnya dengan kadar yang berbeda-beda.
Begitu pula juga dengan penggunaan model efisiensi struktural akan menjauhi
prinsip demokrasi dalam pemerintahan daerah meskipun dalam praktek seringkali
pula mengakomodasi prinsip demokrasi lokal (Muluk, 2009).
Hal ini terjadi karena pada dasarnya pertimbangan efisiensi dan efektivitas
pemerintahan merupakan sebuah keharusan yang harus dipenuhi oleh setiap
negara di dunia karena keterbatasan sumber daya pemerintah untuk memenuhi
seluruh kebutuhan masyarakat. Pertimbangan demokrasi lokal juga mendesak
diberlakukan karena kebutuhan pelibatan masyarakat dalam pemerintahan daerah
menjadi kecenderungan kuat di hampir semua negara di dunia ini (Muluk, 2009).

2.1.1. Model Structural Efficiency


Model Structural Efficiency ini sebagaimana dikatakan oleh Lehmann dkk.
dalam Kertapraja (2003) menekankan pada pentingnya untuk menyediakan
pelayanan secara efisien kepada masyarakat, sebagai konsekuensinya model ini
akan cenderung untuk mendorong intervensi yang lebih tinggi dari pemerintah
pusat untuk mengendalikan pemerintahan daerah dalam rangka menjaga efisiensi

4
dan pertumbuhan ekonomi. Model ini juga memberikan penekanan pada
"uniformity and conformity" atau nilai keseragaman dan kesesuaian, tetapi
mengabaikan nilai lokal dan keberagaman daerah (Kertapradja, 2003).

2.1.2. Model Local Democracy


Lehmann dkk. dalam Kertapraja (2003) menyatakan bahwa model local
democracy memberikan penekanan kepada nilai-nilai demokratis dan nilai lokal
dibandingkan nilai efisiensi. Terlebih lagi, model demokrasi lokal ini lebih
menghargai perbedaan dan keragaman kedaerahan, karena pemerintah daerah
memiliki kapasitas dan kekuasaan untuk memberikan atau menghimpun local
choice (pilihan lokal) dan local voice (suara lokal) (Kertapradja, 2003).
Sedangkan Muluk (2009) mendefinisikan penerapan model demokrasi
lokal sebagai penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah yang menuntut
akan adanya partisipasi dan kemandirian dari masyarakat lokal (daerah) tanpa
mengabaikan prinsip persatuan negara bangsa. Partisipasi dan kemandirian disini
berkaitan dengan adanya kemampuan daerah untuk menyelenggarakan
pemerintahan dan pembangunan atas prakarsa sendiri yang berdampak pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Muluk kemudian melanjutkan bahwa, pada umumnya terdapat beberapa
ciri dari model local democracy diantaranya adalah;
1. Jumlah dan ragam urusan yang didesentralisasi amatlah besar dan
diserahkan dengan cara general competence principle.
2. Kontrol pemerintah pusat terhadap pemerintahan daerah lebih
mencerminkan kebebasan daerah untuk mengambil keputusan
karena digunakannya kontrol yang bersifat represif. Artinya
daerah dapat mengambil keputusan dan menerapkannya tanpa
persetujuan pemerintah pusat terlebih dahulu. Jika di kemudian
hari kebijakan tersebut dianggap bermasalah, pemerintah pusat
dapat membatalkan kebijakan tersebut.
3. Ketiga, keuangan daerah yang menyangkut dua hal, yakni
kemampuan keuangan daerah yang sebagian besar berasal dari
kapasitas fiskal daerah itu sendiri sehingga kemandirian fiskal

5
daerah lebih terjamin dan ketergantungan pada pemerintah pusat
melemah. Daerah juga memiliki kewenangan untuk mengatur dan
mengurus sendiri keuangan daerahnya.
4. Keempat, kepegawaian daerah dikelola dengan prinsip pemisahan
(separated) antara pegawai pemerintah pusat dan pegawai
pemerintah daerah. Daerah memiliki pegawai sendiri yang
terpisah dengan pengelolaan kepegawaian nasional sehingga
pengelolaan (Muluk, 2009).
Sisk (2002) dalam Al-Hamdi (2011) menjelaskan lebih lanjut, bahwa
terdapat empat hal yang harus diperhatikan dalam memahami konsep demokrasi
lokal antara lain;
1) Partisipasi Masyarakat.
Peran serta masyarakat lokal merupakan fondasi utama dalam
gagasan modern mengenai kewarganegaraan agar supaya
demokrasi dapat terwujud, dimana suara individu didengarkan oleh
pemerintah.
2) Adanya Proses Musyawarah.
Demokrasi tidak sekadar Pemilu, tetapi juga mencakup dialog yang
bermuara pada pencarian solusi bagi permasalahan yang dihadapi
masyarakat. Jadi, pemerintah harus berani berhadapan dengan
warganya dan menerima masukan bahkan kritikan sekalipun.
3) Perlunya Pendidikan Politik.
Demokrasi lokal memberikan fasilitas bagi tiap-tiap individu
masyarakat untuk dapat memperoleh informasi mengenai semua
urusan publik. Warga yang terdidik juga membuat demokrasi
menjadi lebih efektif, termasuk juga peran masyarakat berarti
mengurangi konflik vertikal antara elit lokal dengan warga
masyarakat.
4) Pemerintah yang baik dan kesejahteraan sosial.
Demokrasi yang baik harus menciptakan hubungan yang baik
antar-warganya serta dapat membangun masyarakat yang mandiri
dan memiliki semangat sosial (Al-Hamdi, 2011).

6
BAB III
ANALISIS

Pemilihan kepala daerah atau disingkat sebagai Pilkada—yang dilakukan


secara langsung—dan pemekaran daerah merupakan suatu instrumen demokrasi
bagi rakyat Indonesia, khususnya pada tingkat daerah. Perkembangan otonomi
daerah sejak era reformasi setidaknya telah mendorong kedua poin instrument ini
untuk berkembang dalam mewadahi kebutuhan masyarakat daerah akan local
democracy atau demokrasi lokal di Indonesia.

Pemilihan Kepala Daerah


Pemilihan kepala daerah atau biasa disebut dengan pilkada telah banyak
mengalami dinamika dan perkembangan yang cukup jauh seiring dengan
berkembang dan meningkatnya tuntutan masyarakat serta perubahan iklim politik
yang terjadi di Indonesia pada setiap era. Sebagai negara penganut sistem
demokrasi, pemilihan umum (pemilu) menjadi salah satu alat bagi Indonesia
dalam mewujudkannya. Pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat
yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil
(luberjurdil) dalam tatanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang
didasarkan pada Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, begitu pula dengan pemilihan kepala daerah yang saat ini telah
menjadi salah satu sarana mewujudkan demokrasi rakyat pada tingkat daerah.
Peristiwa reformasi setidaknya dapat dikatakan membawa semangat baru
bagi perkembangan sistem pemilihan umum yang dilaksanakan di Indonesia
kearah yang lebih demokratis. Salah satu tuntutan reformasi diantaranya yaitu
dilakukannya perubahan sistem pemilihan umum (pemilu) dari demokrasi
perwakilan menjadi demokrasi langsung, dimana masyarakat dapat memilih
langsung presiden dan wakil presiden pada tingkat nasional, hingga gubernur,
bupati, dan walikota pada tingkat daerah.
Perlu diketahui, pemilihan umum di Indonesia sendiri pertama kali
dilaksanakan pada tahun 1955 untuk memilih anggota DPR dan DPRD, yang saat

7
itu setidaknya diikuti oleh 118 partai politik, organisasi, golongan, dan
perorangan. Kemudian, pada era orde baru atau era pemerintahan Presiden
Soeharto, pemilihan umum dilaksanakan pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987,
1992, dan 1999. Pemilihan tersebut juga dilaksanakan untuk memilih anggota
DPR dan DPRD. Nantinya wakil-wakil rakyat yang telah terpilih tersebut yang
akan memilih presiden, gubernur, bupati, dan walikota. Sistem inilah yang dikenal
sebagai sistem demokrasi perwakilan (Hutapea, 2015).
Pasca peristiwa reformasi, perkembangan desentralisasi di Indonesia
terlihat sangat signifikan. Otonomi daerah terbuka dan menjadi pijakan awal bagi
perkembangan pemerintahan daerah serta demokrasi pada tingkat daerah/lokal.
Namun pada pelaksanaannya, demokrasi langsung pada tingkat lokal belum juga
sepenuhnya dilakukan. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang justru hanya sebatas memberikan kekuasaan yang
lebih besar bagi parlemen lokal (DPRD) dalam pemilihan kepala daerah (pilkada).
Sehingga, dapat dikatakan desentralisasi yang dilaksanakan hanya terbatas pada
tingkat pemerintahan daerah, belum mencapai pada keikutsertaan masyarakat
pada pemerintahan sebagaimana mestinya. Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999 hanya menekankan pada desentralisasi, namun tidak membawa
demokratisasi pada masyarakat tingkat daerah. Tommi A. Legowo (Djojosoekarto
& Hauter, 2006) menyebutkan, Desentralisasi yang dilakukan tanpa disertai
demokratisasi pada akhirnya cenderung hanya menghasilkan otonomi
pemerintahan, bukan otonomi masyarakat daerah/lokal (Hutapea, 2015).
Hal tersebut tentu dapat dikatakan tidak sejalan dengan konsep local
democracy atau demokrasi lokal, sebagaimana disebutkan oleh Muluk (2009)
yaitu demokrasi lokal merupakan bentuk penyelenggaraan desentralisasi dan
otonomi daerah yang menuntut akan adanya partisipasi dan kemandirian dari
masyarakat lokal (daerah) tanpa mengabaikan prinsip persatuan negara bangsa.
Terlihat bahwa Pada pelaksanaannya, partisipasi masyarakat daerah/lokal belum
juga sepenuhnya terwadahi dalam proses pemerintahan, terlebih pada sistem
pemilihan kepala daerah. Sebagai informasi, pemilihan umum yang dilakukan
pada era reformasi dilaksanakan untuk memilih DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan
DPRD Kota/Kabupaten.

8
Pada perkembangannya, dikeluarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai bentuk penyempurnaan undang-
undang sebelumnya, salah satunya yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999.
Pemilihan kepala daerah secara langsung kemudian menjadi pemahaman baru
sistem pemilihan demokratis yang ada di Indonesia. Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 ini membuka ruang terhadap demokratisasi dan transparansi dalam
pemerintahan daerah, yang salah satunya diwujudkan melalui pemilihan kepala
daerah (pilkada) secara langsung oleh masyarakat daerah/lokal. Pemilihan kepala
daerah (pilkada) langsung menjadi representasi dari demokrasi yang ada pada
tingkat lokal, dengan memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh rakyat
daerah itu sendiri. Selain itu juga, pemilihan kepala daerah secara langsung juga
merupakan upaya mewujudkan pemerintahan daerah yang akuntabel terhadap
masyarakatnya.
Apa yang diatur dan diimplementasikan Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 ini sejalan dengan aspek yang harus diperhatikan dalam konsep demokrasi
lokal menurut Sisk (2002), diantaranya mulai terbukanya partisipasi masyarakat
daerah dalam proses demokrasi di daerah melalui kegiatan pemilihan kepala
daerah secara langsung, kemudian adanya upaya membangun pemerintahan yang
akuntabel atas masyarakat sehingga kedepannya mampu membuka ruang
musyawarah antara masyarakat dengan pemerintah daerah dalam mengatasi
urusan daerah sekaligus mendorong terciptanya hubungan yang baik antara
pemerintah daerah dengan masyarakat. Melalui pemilihan kepala daerah (pilkada)
secara langsung ini juga menjadi ajang pendidikan politik bagi masyarakat
daerah/lokal untuk dapat terlibat dalam proses demokrasi, bukan hanya pada saat
pemilihan melainkan juga terlibat dalam jalannya proses pemerintahan.
Berselang beberapa waktu, kembali dikeluarkan undang-undang yang
mengatur perihal pemilihan kepala daerah (pilkada), yaitu Undang-undang Nomor
22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Pihak Dirjen
Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri menyatakan bahwa penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung nyatanya membutuhkan dana
yang cukup besar dan berpotensi pada peningkatan korupsi, Rilis data pihaknya
menunjukkan terdapat 290 kasus korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah

9
dalam kurun waktu tahun 2004-2012 (Viva.co.id, 2014). Sementara disisi lain,
pihak Komisi Pemberantasan Korupsi justru membantah jika tidak terdapat
keterkaitan langsung antara pemilihan kepala daerah secara langsung dengan
terjadinya kasus korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah. Menurut pihaknya,
sekitar 81 persen kasus yang ditangani KPK dari total 52 kasus dari tahun 2004-
2014 justru berkaitan dengan perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan
kewenangan, tindak korupsi lainnya yang terjadi usai pemilihan kepala daerah
langsung (Detik.com, 2014).
Namun akibatnya, Undang-undang Nomor 22 Tahun 2014 ini merubah
kembali mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung oleh
rakyat menjadi pemilihan langsung oleh DPRD Provinsi untuk gubernur dan
DPRD Kabupaten/Kota untuk Bupati dan Walikota dengan berasas bebas,
terbuka, jujur, dan adil, serta dimaksudkan pada mekanisme yang demokratis dan
menguatkan tata kelola pemerintahan daerah yang efektif dan efisien berdasarkan
asas desentralisasi. Berdasarkan hal tersebut, terlihat adanya upaya
mengimplementasikan unsur structural efficiency kembali dalam sistem pemilihan
kepala daerah serta pemerintahan daerah itu sendiri.
Perubahan pada sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) yang semula
sudah dilakukan secara langsung oleh masyarakat kemudian diubah kembali
menjadi pemilihan secara langsung oleh DPRD tentu menuai banyak protes dan
penolakan dari masyarakat luas. Perubahan sistem tersebut dinilai tidak
mencerminkan wujud demokrasi, terlebih pada demokrasi lokal pada masyarakat
daerah. Oleh karenanya, undang-undang tersebut dicabut dan digantikan oleh
Peraturan Pemerintah Pengganti Perundang-undangan Nomor 1 Tahun 2014 yang
kemudian disahkan menjadi Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Setidaknya, dalam undang-undang tersebut terlihat perubahan kembali
dalam hal sistem pemilihan yang dilakukan secara langsung oleh rakyat dengan
berasas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Serta tetap pula
mensyaratkan adanya uji publik kompetensi dan integritas bagi para peserta
pemilihan. Selanjutnya, beberapa ketentuan yang dinilai masih berkendala, seperti
penyelenggaraan pemilihan, pasangan calon, persyaratan calon perseorangan,

10
penetapan calon terpilih, persyaratan calon dan pemungutan suara serentak
disempurnakan kembali pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 (Hutapea,
2015).

Pemekaran Daerah Otonom


Menurut Brata Kusumah (2004:387) bahwa pemekaran wilayah adalah”
pemecahan wilayah provinsi, wilayah kabupaten/kota dan wilayah kelurahan/desa
menjadi lebih dari satu wilayah di luar wilayah induk yang telah ada. Sehingga
pemekaran wilayah lebih kepada perluasan hubungan yang sifatnya lebih muda
atau dengan memudakan jalur birokrasi masyarakat dengan pemerintah.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan
daerah yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007
tentang tata cara pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah,
diisyaratkan bahwa dalam pembentukan pemerintah daerah yang baru didasari
kepada persyaratan administratif, teknis dan fisik kewilayahan, termasuk
kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik,
kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, tingkat kesejahteraan
masyarakat, rentang kendali, dan faktor lain yang memungkinkan
terselenggaranya otonomi daerah. Secara administratif paling sedikit 5 (lima)
kabupaten/kota untuk pembentukan suatu provinsi dan paling sedikit 5 (lima)
kecamatan untuk pembentukan suatu kabupaten, dan 4 (empat) kecamatan untuk
pembentukan kota termasuk lokasi calon ibu kota, sarana, dan prasarana
pemerintahan
Pemekaran daerah di Indonesia menurut UU no. 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah adalah pembentukan wilayah administratif baru di tingkat
provinsi maupun kota dan kabupaten dari induknya. Dalam hal pembentukan
wilayah administratif baru, desentralisasi merupakan salah satu aspek penting
dalam melakukan kebijakan dan otnomi daerah seperti pembentukan daerah yang
baru dengan dasar untuk meningkatkan pelayanan publik agar mempercepat
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kesejahteraan daerah itu sendiri.
Pemekaran wilayah atau pembentukan daerah otonomi baru semakin
marak sejak disahkannya UU No 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang

11
kemudian direvisi menjadi UU No 32 Tahun 2004. Hingga Desember 2008 telah
terbentuk 215 daerah otonom baru yang terdiri dari tujuh provinsi, 173 kabupaten,
dan 35 kota. Dengan demikian total jumlahnya mencapai 524 daerah otonom yang
terdiri dari 33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota. (Kemendagri.go.id)
Kementerian Dalam Negeri menetapkan 11 daerah otonomi baru yang
terdiri atas satu provinsi dan 10 kabupaten, pada Senin, 22 April 2013
(tempo.co, 2013). Bersama dengan penetapan itu, Menteri Dalam Negeri
Gamawan Fauzi melantik kepala daerah masing-masing. Sebelumnya juga sudah
dilaksanakan Rapat paripurna DPR pada tanggal, 25 Oktober 2012 mensahkan 5
Daerah Otonom Baru (DOB) yang sudah disepakati oleh pemerintah dan DPR
dalam pembicaraan tingkat I antara Komisi II dengan Menteri Dalam Negeri
(Detik, 2012). Salah satunya adalah satu provinsi baru yaitu Kalimantan Utara.
Penambahan Provinsi Kalimantan Utara merupakan hasil pemekaran Provinsi
Kalimantan Timur. Bersamaan dengan pembentukan Provinsi tersebut Provinsi
Kalimantan memiliki lima daerah induk yaitu Kab. Bulungan, Kab. Nunukan,
Kab. Malinau, Kab. Tana Tidung, Kota Tarakan.
Pembentukan provinsi Kaltara yang berasal dari Kalimantan Timur ini
diharapkan untuk membentuk keamanan dan mencegah pencaplokan pulau-pulau
di sekitar indonesia yang berdekatan dengan Malaysia. Pengesahan ini dilakukann
atas kesepakatan oleh Komisi II DPR atas dasar studi dan persetujuan dari
kemendagri. Pengesahan ini juga turut dihadiri sekitar 50 orang masyarakat
Kalimantan Utara untuk menyaksikan langsung pengesahan provinsi mereka yang
sudah lama di perjuangkan
Perjuangan untuk pemisahan diri dari Kalimantan Timur ini didasarkan
oleh dua alasan utama yaitu keadaan daerah dan harapan terhadap daerah untuk
berkembang. Berangkat dari keresahan tersebut diadakan lah pertemuan antara
Yurnalis Ngayoh selaku Ketua Dewan Pembina Dewan Adat Dayak (DAD)
Kaltim, Ketua Tim Pembentukan Provinsi Kaltara Jusuf SK, dan Ketua DAD
Kaltim Edy Gunawan Arex bersama dengan Presiden Majelis Adat Dayak
Nasional (MADN) Agustin Teras Narang di Istana Isen Mulan- Palangkaraya
untuk membahas mengenai isu ini dan pertimbangan dan saran yang muncul
terhadap adanya gagasan untuk melakukan pemisahan diri dari Kalimantan Timur

12
.
Alasan utama yang dipertimbangkan dalam pengesahan kebijakan
pemekaran ini adalah untuk memperpendek alur birokrasi dan memudahkan
kendali pemerintah kepada masyarakat di Kalimantan Utara dan juga wilayah
yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Diharapkan pencaplokan yang terjadi
pada tahun 2002 tidak akan terulang kembali. Tidak hanya itu, hasil dari
kebijakan ini adalah pembentukan pemerintahan daerah baru di provinsi
Kalimantan Utara ini untuk membentuk pelayanan publik yang optimal dan
ketahanan wilayah perbatasan dengan adanya pusat pemerintahan yang baru.
Dengan adanya pusat pemerintahan daerah baru diharapkan adanya
percepatan peningkatan kesejahteraan rakyat yang mencakup 6 tujuan utam yaitu
peningkatan di pelayanan, kemanan dan ketertiban, potensi ekonomi daerah,
hubungan dengan pusat, percepatan pelaksanaan pembangunan serta pertumbuhan
demokrasi
Dalam melakukan pemekaran daerah Provinsi Kalimantan Utara ini
dilakukan pengkajian oleh Komisi II DPR RI yang juga bertindak sebagai
lembaga legislatif berperan untuk mengesahkan RUU pemekaran daerah tersebut
yang diajukan oleh Kemendagri. Kemendagri awalnya menerima proposal
pengajuan pemekaran wilayah dari DPRD Provinsi Kalimantan Timur yang
kemudian dianalisis dan dinilai segala persyaratan yang dibutuhkan untuk
membentuk Daerah Otonom Baru. Kemendagri selanjutnya memiliki kewenangan
untuk menentukan proposal tersebut layak untuk diajukan ke DPR melalui
berbagai pertimbangan.
Kemendagri memiliki kewenangan yang cukup besar dalam proses
kebijakan pemekaran daerah ini yaitu melakukan inisiatif perumusan kebijakan
yang lebih komprehensif dan menggunakan sumber daya manusianya untuk
mempersiapkan peraturan perundang-undangan untuk memastikan proses
pengesahan berjalan lancar dan jika adanya keperluan peninjauan kebijakan.
Setelah itu, Kemendagri bertugas memberikan saran dan pertimbangan-
pertimbangan terhadap presiden untuk melaksanakan kebijakan pembentukan
Provinsi Kalimantan Utara tesebut. Selanjutnya presiden melakukan
penandatanganan yang dalam hal ini ditandatangani oleh Presiden Susilo

13
Bambang Yudhoyono dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2012 tentang
pembentukan Provinsi Kalimantan Utara
Dalam hal empat aspek menurut Sisk (20020 yang diperhatikan dalam
konsep demokrasi lokal yang pertama adalah partisipasi masyarakat. Dalam kasus
ini, partisipasi masyarakat dalam hal ini dibuktikan dengan dilakukan perundingan
oleh tokoh masyarakat dan juga keinginan masyarakat untuk berpisah menjadi
provinsi tersendiri merupakan salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam hal
demokrasi lokal. Partisipasi ini juga dilakukan oleh masyarakat kaltara untuk
mengawasi perkembangan pembentukan daerah otonom tersebut yang di buat oleh
lembaga eksekutif dan legislatif.
Aspek selanjutnya yaitu adanya proses musyawarah. Proses ini dilakukan
baik oleh masyarakat maupun lembaga pemerintahan. Yang pertama setelah
melihat kondisi daerah mereka sendiri para tokoh masyarakat melakukan
perundingan untuk mencanangkan pemekaran daerah mereka agar menjadi
provinsi tersendiri dan diajukan kepada pemerintah pusat. Setelah itu pemerintah
pusat dalam hal ini kemendagri maupun Komisi II DPR RI bertugas melihat
kondisi di lapangan serta melakukan studi kelayakan dan dampak yang muncul
jika dilakukan pemekaran daerah Kalimantan Utara. Setelah melihat berbagai
pertimbangan dan studi kelayakan, barulah kemendagri mengusulkan kepada
presiden dan DPR agar disahkan pemekaran tersebut.
Disini aspek pendidikan politik dinilai baik dalam hal pemekaran daerah
Kalimantan Utara tersebut dikarenakan dinilai banyak manfaat yang bisa didapat
jika dilakukan pemekaran ini sehingga masyarakat banyak yang mendukung
keputusan untuk melakukan pemekaran daerah ini agar membawa kesejahteraan
kepada daerah mereka.
Terakhir, pemerintahan yang baik dan kesejahteraan sosial. Aspek ini
merupakan tujuan akhir dari pelaksanaan pemekaran daerah tersebut karena
dinilai gagasan ini bertujuan untuk membuat pemerintahan pusat di daerah
Kalimantan Utara agar menjaga keamanan wilayah yang berbatasan dengan
malaysia dan meningkatkan pelaksanaan pembangunan daerah serta memangkas
alur birokrasi dari daerah ke pemerintahan pusat.

14
15
BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, pelaksanaan demokrasi lokal (local democracy)
dalam pemilihan kepala daerah dan pemekaran daerah otonom di Indonesia dapat
disarikan sebagai berikut. Sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) di Indonesia
banyak mengalami perubahan dalam beberapa waktu belakangan. Pasca
reformasi, otonomi daerah berkembang signifikan di Indonesia tetapi tidak
disertai dengan sistem pemilihan kepala daerah yang secara penuh menekankan
pada demokratisasi masyarakat daerah/lokal sebagai pemilih. Tuntutan akan
demokrasi dalam masyarakat daerah menjadi pendorong dalam perubahan sistem
yang kembali dilakukan dan menghasilkan sistem pemilihan kepala daerah secara
langsung oleh masyarakat dengan memperhatikan aspek-aspek local democracy.
Namun, pada perkembangannya terjadi perubahan kembali dalam sistem
pemilihan kepala daerah, yaitu dengan memasukan aspek-aspek structural
efficiency dalam pelaksanannya.
Perkembangan selanjutnya, yaitu pemekaran daerah yang semakin marak
dilakukan, saat ini terdapat 524 daerah otonom yang terdiri dari 33 provinsi, 398
kabupaten, dan 93 kota. Tuntutan dari pencaplokan wilayah yang terjadi pada
wilayah perbatasan mendorong pemberlakuan kebijakan tersebut, sehingga tidak
akan terjadi lagi hal serupa. Selain itu, pemerintah tetap mengacu pada enam arah
kebijakan utama dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan ini
dinilai berhasil, sebab daerah baru hasil dari pemekaran dinilai berhasil dan
mengalami kemajuan dibanding ketika masih menjadi bagian dari wilayah
induknya.

4.2. Saran
Untuk demokrasi lokal ini, pemilihan kepala daerah menjadi sebuah faktor
penting. Keberhasilan suatu daerah bergantung pada figur kepala daerah tersebut,
dalam hal ini dibutuhkan sosok kepala daerah dengan visi yang baik, tegas, berani,
dan inovatif dalam upaya menyejahterakan rakyatnya. Partai politik juga menjadi

16
peran penting, di mana kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, yang
pencalonannya diusung oleh parpol. Dalam hal ini, dibutuhkan kepala daerah
yang tidak mementingkan kepentingan elite, tetapi bertujuan untuk membangun
daerah.

17
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Brata kusuma, Dkk. 2002. Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Jakarta. PT.Gramedia Pustaka Utama.
Halligan, J., & Aulich, C. (1998). Reforming Australian Government: Impact and
Implications for Local Public Administration” dalam. Reforming
Government: New Concepts and Practices in Local Public Administration.

Jurnal
Al-Hamdi, R. (2011). Praktek Demokrasi Lokal di Indonesia: Studi Kasus di
Kabupaten Lampung Tengah. Jurnal Studi Pemerintahan, 331-352.
Hutapea, B. (2015). Dinamika Hukum Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia.
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, 4(1), 1-20.
Kambuno, H. 2017. Pemekaran Daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor 23
Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Legal Opinion, 5(2).
Kertapradja, E. K. (2003). POLICY IMPLEMENTATION OF THE REGIONAL
AUTONOMY AND ITS IMPACT ON THE PROSPECT OF LOCAL
DEMOCRACY IN INDONESIA. Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume
5 No.1, 23-42.
Kurniawan, T. (2007). Pergeseran paradigma Administrasi Publik: dari Perilaku
Model Klasik dan NPM ke Good Governance. Jurnal Ilmu Administrasi
Negara, Vol 7, 52-70.
Muluk, M. K. (2009). Relasi Politik Dan Administrasi Dalam Kepegawaian
Daerah. Civil Service Journal.
Rondinelli, D. A., Nellis, J. R., & Cheema, G. S. (1983). Decentralization in
developing countries. World Bank staff working paper, 581.
Wasistiono, S. (2010). Menuju Desentralisasi Berkeseimbangan. Jurnal Ilmu
Politik, Edisi, 21.
Yeheskiel. (2017). Dampak terbentuknya provinsi kalimantan utara dalam
pembangunan fisik di kabupaten bulungan. eJournal Ilmu Pemerintahan,
2017: 1483-1496.

18
Media Elektronik
detikNews. (2012). DPR Sahkan 5 Daerah Otonom Baru. Oktober 25, 2012.
https://news.detik.com/berita/2072672/dpr-sahkan-5-daerah-otonom-baru?
9922032=. Diakses pada 12/05/2019.
detikNews. (2014). Data KPK, Korupsi Kepala Daerah Tak Berhubungan
Langsung dengan Pilkada. September 25 2014.
https://m.detik.com/news/berita/d-2701103/data-kpk-korupsi-kepala-daerah-
tak-berhubungan-langsung-dengan-pilkada. Diakses pada 12/05/2019.
Republika. (2012). Provinsi Kalimantan Utara disahkan. Desember 13, 2012.
https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/12/13/meyx8t-
provinsi-kalimantan-utara-disahkan. Diakses pada 12/05/2019.
Tempo.co. (2013). 1 Provinsi dan 10 Kabupaten Baru diresmikan. April 22, 2013.
https://nasional.tempo.co/read/475016/1-provinsi-dan-10-kabupaten-baru-
diresmikan/full&view=ok. Diakses pada 12/05/2019.
VIVA. (2014). 2004-2014, KPK Tangani 52 Kasus Korupsi Kepala Daerah.
September 26, 2014. https://www.viva.co.id/berita/politik/542087-2004-
2014-kpk-tangani-52-kasus-korupsi-kepala-daerah. Diakses pada
12/05/2019.

Sumber Lainnya

19

Anda mungkin juga menyukai