Anda di halaman 1dari 13

RINGKASAN DAN TANGGAPAN

TRANSISI POLITIK MENUJU


DEMOKRASI

Politik Hukum
Pengajar: Prof. Dr. Satya Arinanto, S. H., M. H

Muyassar Nugroho
2006496091
28
Hukum Ekonomi A/Pagi/Regular
Pascasarjan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia

2020
Transisi Politik Menuju Demokrasi

A. Ringkasan

1. Transisi Politik Menuju Demokrasi

Semenjak tahun 1970-aan, telah terdapat gelombak pasang yang dari

demokrasi-demokrasi baru yang muncul dari negara-negara yang masa

lalunya bersifat otoriter atau totaliter. Dimulai dari bagian selatan Eropa

(Yunani dan Spanyol), ke Amerika Latin (Argentina, Chile, Brazil, dan

Urugay), kemudia ke bagian Timur Eropa (Polandia, Jerman Timur, dan

Hongaria), dan Afrika Selatan serta negara-negara lainnya, beberapa

pemimpin demokrasi baru telah memandang masa depan mereka dengan

penuh pengharapan.

Hakekat totaliterisme dengan tepat dilukiskan oleh George Orwell

dalam bukunya Animal Farm. Penguasa totaliter tidak hanya mau

memimpin tanpa gangguan dari bawah; ia tidak hanya mau memiliki

monopoli kekuasaan. Ia justru mau secara aktif menentukan bagaimana

masyarakat hidup dan mati; bagaimana mereka bangun dan tidur, makan,

belajar dan bekerja. Ia juga mau mengontrol apa yang mereka pikirkan;

dan siapa yang tidak ikut, akan dihancurkan.

Menurut Huntington, sesungguhnya semua rezim otoritarian,

apapun tipenya, mempunyai kesamaan dalam satu hal: hubungan sipil-

militer mereka tidak begitu diperhatikan. Hampir semua tidak memiliki

karakteristik hubungan sipil-militer sebagaimana yang ada di negara

2
industrial yang demokratis, yang disebutnya dengan istilah “control sipil

obyektif (Objective Civilian Control). Istilah ini mengandung hal-hal

sebagai berikut: (1) profesionalisme militer yang tinggi dan pengakuan

dari pejabat militer akan batas-batas profesionalisme yang menjadi bidang

mereka; (2) subordinasi yang efektif dari militer kepada pemimpin politik

yang membuat keputusan pokok tentang kebijakan luar negeri dan militer;

(3) pengakuan dan persetujuan dari pihak pemimpin politik tersebut atas

kewenangan professional dan otonomi bagi militer; dan akibatnya (4)

minimalisasi intervensi militer dalam politik dan minimalisasi intervensi

dalam militer.

Dalam negara-negara maju seperti di Amerika Utara dan Eropa

Barat, pemetaan kedua fungsi-militer dan sipil – tersebut sudah bias

berjalan seimbang. Masing-masing bias berperan sesuai dengan

fungsinya, tidak tumpeng tindik dan intervensi.

Di Spanyol, dan sekurang-kurangnya dalam konteks tertentu di

Polandia, rezim-rezim demokrasi baru telah mencari suatu kebijakan

untuk menjadikan mereka sebagai suatu “negara bersih”, yakni, pencarian

untuk mengubur masa lalunya dan untuk mendahulukan segala bentuk

pertanggungjawaban terhadap masalah tersebut.

Chile, pemerintah telah memilih sarana yang berbeda untuk

berhubungan dengan masa lalu nya (negara otoriter), misalnya, dengan

membuka kebenaran dari pelanggaran-pelanggaran HAM dan dorongan

terhadap suatu pengakuan public akan kejahatan-kejahatan dan bahkan

3
suatu pemerintahan permintaan maaf terhadap para korban.

Dalam konteks wacana tentang transisi politik ini (Demiliterisasi

tidah hanya berkaitan dengan militer), salah satu hal yang paling

fundamental ialah yang berkaitan dengan perubahan imaj terhadap

kedudukan dan peranan militer, yang kemudian menjadi suatu institusi

yang secara optimal diarahkan untuk mengabdi kepada kepentingan

bangsa, suatu konsepsi yang kemudian banyak dinyatakan dalam

penyusunan konstitusi tertulis dari beberapa negara.

Konsepsi seperti ini dikaitkan dengan ideology-ideolgy “Keamanan

Nasional”, yang mengimplikasikan bahwa kekuatan militer harus memiliki

monopoli yang tidak dapat dipersengketakan tentang hal-hal apa yang

menjadi kepentingan pihak mereka, dan kapan dan bagaimana hal-hal itu

dapat menjadi ancaman. Harold Crouch, menyatakan bahwa kondisi baru

yang mengarah kea rah demokratisasi di Indonesia telah memaksa TNI

untuk mengubah doktrin fundamentalnya, termasuk Dwifungsi, yang

selama ini dijadikan landasan melegitimasikan kekuasaan politiknya.

Lima langkah TNI mengimplementasikan “Paradigma Baru”,

sebagai berikut: (1) Pengurangan dalam perwakilan TNI-Polri (ABRI) di

lembaga-lembaga perwakilan; (2) Penghapusan kekaryaan (pengalihan

sementara para perwira TNI ke posisi-posisi sipil); (3) “Netralitas” Politik;

(4) Pemisahan Polisi dari TNI; dan (5) Orientasi pertahanan.

2. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik

Pada tanggal 12 September 1977 Steven Biko, pendiri dari

4
Gerakan Kesadaran Kaum Kulit Hitam (Black Consciousness Movement)

meninggal dengan sangat tragis di Afrika Selatan, selanjut PBB

memberika suatu lebel itu adalah suatu kejahatan terhadap kemanusian.

Dua puluh tahun kemudia, lima orang dari kelompok polisi membunuh

Biko mengajukan permohonan pengampunan (Amnesty) kepada Komisi

Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan, dengan persyaratan ia

harus membeberkan atau membuka sepenuhnya semua fakta yang

relevan, sebagai pembebsan dari hukuman. Namun Konstitusi Afrika

Selatan 1993 telah secara eksplisit mengakui adanya suatu amnesti yang

lebih kuat dan bertanggung jawab secara positif. Selanjutnya pada

tanggal 16 Februari 1999, Komisi dan Rekonsiliasi Afrika Selatan

menyatakan menolak untuk memberikan amnesti terhadap para

pembunuh Steven Biko, yang di ajukan oleh Ntsiki Biko.

Dalam perspektif Hukum Internasional Negara-negara akan

menghukum kejahatan hak asasi manusia tertentu yang dilakukan dalam

yurisdiksi teritorial Merek. Pada prinsipnya menentang pemberian ganti

rugi, karena pemerintah berada di bawah kewajiban hukum internasional

mengadili mereka yang telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia

yang paling serius, termasuk pembunuhan

3. Keadilan Transisional: Pemutusan Kaitan dengan Masa Lalu,

Pencarian Jalan Baru.

Masyarakat di seluruh dunia sedang berupaya untuk memutuskan kaitan

5
dengan pemerintahan otoriter dan mulai membangun demokrasi. Hal ini

menggunakan Konsepsi Keadilan Transisional (Transisional Justice)

menggunakan pendekatan interdisipliner yang menantang terminology

perdebatan kontemporer.

Menurut Daan Bronkhorst, dalam konteks keadilan dalam masa

transisi dalam konteks keadilan transisional. Pertama, adalah kata

kebenaran, yang diambilnya dari nama Komisi yang telah didirikan di

Chile-uamg serupa dengan nama Komisi yang juga pernah didirikan di

berbagai negara lainnya – yakni Truth and Reconciliation Commission

atau Komisi Kebenaran dan Rekonsisiliasi; Kedua, adalah kata

rekonsiliasi, dengan alasan bahwa setiap masyarakat yang menjadi

korban tindakan represif harus dipulihkan dari pengalaman masa

lampaunya itu; dan Ketiga, adalah kata Keadilan.

Menurut Teitel, masalah keadilan transisional muncul di dalam

konteks yang khusus dari transisi – suatu pergeseran dalam tata

pemerintahan.

Berdasarkan sebagian besar pada kasus-kasus empiris dari

demokratisasi di Selatan Eropa dan Amerika Selatan, embrio dari ilmu

pengetahuan consolidology telah memberikan pelajaran pada kita bahwa

hal ini merupakan sesuatu yang mungkin (namun mungkin tidak mudah)

untuk berpindah dari berbagai tipe otokrasi keberbagai tipe demokrasi

tanpa mengindahkan seperlunya prakondisi-prakondisi atau syarat-syarat

bahwa ilmu politik telah lama dipertimbangkan sebagai hal yang sangat

6
dibutuhkan untuk suatu tugas yang sedemikian besar dan sulit.

Sekumpulan refleksi yang dimaksud meliputi tujuh hal sebagai berikut:

Pertama, tanpa kekerasan atau penghilangan fisik dari para pemain

utama dari otokrasi sebelumnya; Kedua, tanpa banyak mobilisasi massa

yang membawa kejatuhan dari ancient regime dan penentian waktu dari

transisi; Ketiga, tanpa mendapatkan suatu tingkat yang tinggi dari

pembangunan ekonomi; Keempat, tanpa menyebabkan suatu distribusi

kembali dari pendapatan yang substansial atau kekayaan; Kelima, tanpa

kehadiran sebelumnya dari para borjouis nasional; Keenam, tanpa budaya

kewarganegaraan; dan Ketujuh, tanpa (banyak)democrat.

4. Konteks Internasional pada Waktu Transisi

Penyelesaian masalah keadilan transisional telah meningkat

menjadi suatu sumber yang saling mempengaruhi antara pemerintahan-

pemerintahan baru yang menggantikan dan mereka-mereka yang berada

di luar negeri.

Isu-isu mengenai keadilan transisional menjadi suatu pembangkit

titik nyala api yang tinggi di berbagai negara yang baru bangkir dari

represi politik, dengan luka-luka dimasyarakat yang masih menganga dan

membutuhkan perawatan. Setelah mempertimbangkan bahwa jalan

dimana dilemma-dilema ini diselesaikan dapat secara langsung

mempengaruhi jangka pendek – dan jangka panjang – stabilitas dari

transisi di berbagai negara, para penyusun kebijakan politik luar

negeriakan disarankan untuk menjaga lensa ini sebagai focus saat

7
mereka melakukan monitor, mengantisipasi, dan merespon ke transisi-

transisi di seluruh dunia.

Konsep penengah yang lain dari aturan hukum transisional adalah

hukum internasional. Hukum internasional menempatkan institusi-institusi

dan proses-proses yang melampaui hukum dan politik domestic. Hukum

internasional pun berperan seagai konsep penengah untuk mengurangi

dilemma dari aturan hukum yang dilontarkan oleh keadilan pengganti

dalam waktu transisi dan untuk menjustifikasi legalitas dari Pengadilan

Nurmberg berkaitan dengan perdebatan mengenai prinsip retroaktif atau

berlaku surut atau ex post facto (suatu hukum yang mengubah

konsekuensi hukum terhadap tindakan yang dilakukan atau status hukum

fakta-fakta dan hubungan yang ada sebelum suatu hukum diberlakukan

atau diundangkan). Prinsip-prinsip hukum internasional berperan untuk

merekonsiliasikan dilemma ambang (the threshold dilemma) dari hukum

dalam periode tranformasi politik.

5. Keadilan dalam Masa Transisi Politik

Tentang konsepsi keadilan dalam masa transisi politik masih belum

dapat terselesaikan. “Keadilan Transisional” pada umumnya dibingkai

oleh masalah normative bahwa beberapa respon hukum harus dievaluasi

berdasarkan prospek mereka terhadap demokrasi. Dalam perdebatan

tentang hubungan hukum dan keadilan dengan adanya liberalisasi,

terdapat 2 (dua) pandangan yang saling berhadapan, yakni pendangan

kelompok realis versus kelompok idealis, dalam kaitannya dengan

8
kenyataan bahwa hukum harus menunjang pembangunan demokrasi.

Pandangan-pandangan tersebut adalah sebagai berikut: apakah

perubahan politik dianggap penting untuk mendahului penegakkan aturan-

aturan hukum, atau sebaliknya, beberapa langkah hukum justru harus

dilakukan mendahului perubahan politik.

Menurut Teitel, dilemma awal dimulai dari konteks keadilandalam

transformasi politik: Hukum dicerna sebagai suatu fenomena yang terletak

di antara masa lalu dan masa yang akan datang, antara pandangan ke

masa lalu (backward looking) dan pandangan ke masa yang akan datang

( forward looking), antara retrospektif dan prospektif, antara individual dan

kolektif. Dengan demikian, keadilan transisional adalah keadilan yang

diasosiakan dengan konteks ini dan keadaan-keadaan politik. Transisi

mengimplikasikan pergeseran-pergeseran paradigm dalam konsepsi

keadilan; karenanya, fungsi hukum menjadi secara mendalam dan secara

inheren berlawanan asas (paradoxical). Dalam fungsi sosialnya yang

umum, hukum berfungsi untuk memberikan ketertiban dan stabilitas;

namu dalam masa pergolakan politik yang luar biasa, hukum berfungsi

menjaga ketertiban disamping ia juga memungkin transformasi.

Berdasarkan uraian di atas, pada masa transisi, institusi-institusi yang ada

pada umumnya dan predikat-predikat mengenai hukum tidak berlaku.

Dalam periode dinamis dari keadaan politik yang mengalami perubahan

terus-menerus, respon-respon hukum membangkitkan suatu paradigm

Sui Generis dari hukum yang transformative.

9
Desakan-desakan politik dan kelembagaan, untuk mencari keadilan

dalam masa transisional dengan cara mengeluarkan produk politik yaitu

hukum sebagai penyeimbangan kekuasaan.

B. Tanggapan

Tanggapan saya mengenai transisi politik demokrasi di Indonesia bukan

berbicara mengenai cara menuju kesana, tapi bagaimana Indonesia tetap

berapa dalam jalurnya yaitu demokrasi. Teringat teori cylus Polybius Indonesia

telah berada dalam siklus demokrasi jangan sampai ia mengalama degradasi

baik menuju okhlokrasi maupun oligarki.

Kunci menjaga demokrasi ialah adanya harmonisasi antara pemerintah

dengan masyarakat, Dalam konsep Islam kepemimpinan itu wajib adanya, baik

secara syar’i maupun secara ‘aqli. Adapun secara syar’i tersirat dari firman Allah

tentang doa orang-orang yang selamat: “Dan jadikanlah kami sebagai imam

(pemimpin) bagi orang-orang yang bertaqwa” [QS Al-Furqan: 74]. Demikian pula

dalam firman Allah: “Taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul

dan para ulil amri diantara kalian” [QS An-Nisaa’: 59].

Bahkan, Rasulullah SAW sendiri bersabda dalam sebuah hadits yang sangat

terkenal: “Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan setiap dari kalian akan ditanya

tentang kepemimpinannya”.

Terdapat pula sebuah hadits yang menyatakan wajibnya menunjuk

seorang pemimpin perjalanan diantara tiga orang yang melakukan suatu

10
perjalanan. Adapun secara ‘aqli, suatu tatanan tanpa adanya kepemimpinan

pasti akan menjadi rusak dan porak poranda jadinya.

Selain itu, makna kepemimpinan dalam islam adalah sebuah amanah, titipan

Allah SWT, dan bukanlah sesuatu yang diminta apalagi dikejar dan

diperebutkan.

Sebab kepemimpinan melahirkan kekuasaan dan wewenang yang

gunanya semata-mata untuk memudahkan dalam menjalankan tugas dan

tanggung jawab melayani rakyat. Semakin tinggi kekuasaan seseorang,

hendaknya semakin meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

Bukan sebaliknya, digunakan sebagai peluang untuk memperkaya diri,

bertindak zalim dan sewenang-wenang. Balasan dan upah seorang pemimpin

sesungguhnya hanya dari Allah swt di akhirat kelak, bukanlah berupa kekayaan

dan kemewahan di dunia.

Kepemimpinan dalam islam juga menuntut adanya penegakan keadilan.

Keadilan adalah lawan dari suatu bentuk penganiayaan, penindasan dan pilih

kasih. Keadilan harus dirasakan oleh semua pihak dan golongan.

Diantara bentuknya adalah dengan mengambil keputusan atau kebijakan

yang adil di antara dua pihak yang sedang berselisih, mengurus dan melayani

semua lapisan masyarakat tanpa memandang agama, etnis, budaya, dan latar

belakang atau tidak boleh berlaku diskriminatif.

Bahkan, dalam kepemimpinan islam kriteria menjadi seorang pemimpin

sangatlah penting. Hal itu sekaitan dengan istilah yang digunakan dalam Islam

dimana pemimpin itu disebut sebagai Khalifah. Khalifah adalah wakil, pengganti

11
atau duta).

Sedangkan secara istilah Khalifah adalah orang yang bertugas

menegakkan syariat Allah SWT, memimpin kaum muslimin untuk

menyempurnakan penyebaran syariat Islam dan memberlakukan kepada seluruh

kaum muslimin secara wajib, sebagai pengganti kepemimpinan Rasulullah

SAW .Kriteria pemimpin menurut Islam adalah, beriman dan beramal shaleh,

memiliki niat yang lurus, tidak meminta jabatan, berpegang teguh pada hukum

Allah, memutuskan perkara dengan adil, tidak menerima hadiah, tegas dalam

memimpin dan bersifat lemah lembut.

Dari pengertian tersebut jelas bahwa pemimpin menurut pandangan Islam

tidak hanya menjalankan roda pemerintahan begitu saja, namun seorang

pemimpin harus mewajibkan kepada rakyatnya untuk dapat melaksanakan apa

saja yang terdapat dalam syariat Islam walaupun bukan beragama Islam.

Sedikit meluruskan mengingat bahwa Indonesia terdiri dari beberapa

agama tidak cuma islam, maka cukuplah pemimpin tersebut Seorang pemimpin

islam haruslah memiliki sifat-sifat, seperti ; shiddiq (selalu berkata dan bersikap

jujur dan benar). Bukan hanya perkataannya yang benar, akan tetapi

perbuatannya juga harus benar yang artinya, harus sejalan dengan ucapannya.

Shiddiq sebagai modal dasar dalam memimpin sebab kalau tidak maka

akan merusak semuanya. Selain itu, bersifat amanah (dapat dipercaya) : Jika

satu urusan diserahkan kepadanya, maka niscaya orang percaya bahwa urusan

itu akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Tidak pernah menggunakan wewenang dan otoritasnya sebagai

12
pemimpin untuk kepentingan pribadinya atau kepentingan kelompok dan

keluarganya. Kemudian, bersifat fathonah (cerdas dan bijaksana) maka seorang

calon pemimpin haruslah memiliki kecerdasan, baik secara emosional (EQ),

spiritual (SQ) maupun intelektual (IQ).

Dan terakhir bersifat tabligh (penyampai) dapat berkomunikasi dengan

baik : artinya menyampaikan kebenaran kepada masyarakat sebagai bentuk

tanggungjawab untuk menunjukkan jalan kebenaran agar masyarakat terhindar

dari fitnah dan dengki.

Akhir dari persoalan tersebut di atas, maka mari kita lebih cermat dan

berhati-hati dalam menentukan setiap yang akan menjadi imam atau pemimpin

kita.

Karena apapun akibat yang dilakukannya, maka kita pun akan turut

bertanggung jawab terhadapnya. Jika kepemimpinannya baik, maka tentu saja

kita akan merasakan pula kebaikannya. Sebaliknya, apabila kepemimpinannya

menjadi buruk, maka tentu saja kita pun akan merasakan kerusakan dan

keburukan dari kepemimpinannya tersebut.

13

Anda mungkin juga menyukai