Bab 1 Pendahuluan
Bab 1 Pendahuluan
PENDAHULUAN
1
maka kerusakan lapisan lambung atau penyakit gastritis akan semakin
parah.
Salah satu alternatif terapi herbal untuk meredakan nyeri adalah dengan
teknik pemberian jus buah pepaya/ Carica papaya.
Pepaya merupakan salah satu buah tropis yang mudah dan banyak
didapatkan di seluruh pelosok nusantara. Tanaman pepaya dikenal sebagi
tanaman multiguna, karena hampir seluruh bagian tanaman mulai akar
hingga daun bermanfaat bagi manusia maupun hewan. Untuk pemakaian
luar, caranya pepaya direbus lalu airnya digunakan untuk mencuci bagian
yang sakit, atau getah dioleskan pada bagian yang sakit. Sedangkan untuk
pemakaian dalam, dapat digunakan sebanyak 200 gram bahan segar untuk
dihaluskan menjadi jus. Jus buah pepaya (Carica papaya) dapat diperoleh
dengan mengolah buah pepaya segar menjadi jus buah papaya.
Menurut penelitian Khakim, Jihan L, 2011, menunjukkan bahwa ada
pengaruh pemberian jus buah pepaya (Carica papaya) terhadap kerusakan
histologis lambung. Salah satu kandungan buah pepaya yang berperan
dalam memperbaiki masalah lambung adalah enzim papain (sejenis enzim
proteolitik) dan mineral basa lemah. Enzim papain mampu mempercepat
perombakan protein yang akan mempercepat regenerasi kerusakan sel-sel
lambung. Mineral basa lemah berupa magnesium, kalium dan kalsium
mampu menetralkan asam lambung yang meningkat. Dari hasil penelitian
tersebut juga menyatakan bahwa peningkatan pemberian dosis jus buah
pepaya (Carica papaya) dapat mengurangi dan memperbaiki kerusakan
lambung dan tidak menimbulkan efek samping yang nyata.
1.2 Perumusan masalah
a. Apakah ada pengaruh pemberian juas buah papaya terhadap nyeri pada
gastritis ?
1.3 Tujuan penelitian
1. Tujuan umum
Mengetahui pengaruh pemberian jus buah papaya terhadap tingkat
nyeri pada gastritis
2
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui tingkat nyeri pa da gastritis sebelum diberikan
jus buah papaya (Carica papaya)
b. Untuk mengetahui tingkat nyeri pada gastritis sesudah diberikan
jus buah papaya (Carica papaya)
c. Untuk pengetahui tingkat nyeri pada gastritis sebelum dan sesudah
diberikan jus buah papaya (Carica papaya)
3. Manfaat penelitian
a. Bagi peneliti
Dapat menambah pengalaman dan wawasan pengetahuan
mengenai pengaru pemberian juas buah pepaya terhadap tingat
nyeri kronis pada penyakit gastritis.
b. Bagi Pasien
Dapat meningkatkan pengetahuan klien mengenai gastritis dengan
masalah keperawatan nyeri kronis, sehingga mencegah
kekambuhan ulang.
c. Bagi tenaga kesehatan
Dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan evaluasi dalam
meningkatkan kualitas pemberian juas buah pepaya terhadap tingat
nyeri kronis pada gastritis dengan masalah keperawatan nyeri
kronis.
3
BAB II
TINJAUAN TERORITIS
Secara umum nyeri adalah suatu rasa tidak nyaman, baik ringan
maupun berat. Nyeri di definisikan sebagai suatu keadaan yang
mempengarui seseorang dan ekstensinya di ketahui bila seseorang pernah
mengalaminya (Tamsuri, 2007).
Menurut international association for study of pain (IASP) nyeri
adalah pengalaman perasaan emosional yang tidak menyenangkan akibat
terjadi kerusakan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi
terjadinya nyeri.
2.1.2 Jenis nyeri
1. Nyeri akut
Menurut NANDA (2012) nyeri akut adalah pengalaman sensorik
dan emosional yang tidak menyenangkan yang muncul akibat kerusakan
jaringan yang aktual atau potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan
jaringan; awitan yang tiba – tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga
berat dengan akhir yag dapat diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung
< 6 bulan.
2. Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap
sepanjang suatu periode waktu. Nyeri ini berlangsung di luar waktu
penyembuhan yang di perkirakan dan sering tidak dapat di kaitkan dengan
penyebab atau cidera spesifik. Nyeri kronis sering di definisikan sebagai
nyeri yang berlangsung selama enam bulan atau lebih, meskipun enam
bulan merupakan suatu periode yang dapat berubah untuk membadakan
nyeri akut dan nyeri kronis (Smeltzer dan Bare, 2002).
4
2.1.3 Mekanisme nyeri
Sistem yang terlibat dalam sitem transmisi nyeri dan persepsi
nyeri disebut nosiseptif. Sentivitas terhadap nosiseptif dapt di pengaruhi
oleh beberapa faktor dari setiap individu. Menurut Smeltzer dan Bare
(2002) faktor-faktor tersebut dapat meningkatkan sensitivitas komponen
yang berbeda dari sistem nosiseptif yang diuraiakan sebagai berikut :
a. Transmisi nyeri
1) Reseptor nyeri (Nesiseptor)
Menurut Smeltzer dan Bare (2002) reseptor nyeri adalah ujung saraf
bebas dalam kulit yang berespon hanya pada stimulus yang kuat, yang
secara potensial merusak. Stimulus tersebut sifatnya bisa mekanik, termal,
kimia, sendi, otot skelet, fasia dan tendon. Nyeri dari organ ini akan
diakibatkan dari stimuli reseptor yang kuat yang mempunyai tujuan lain
sebagai contoh inflamasi, peregangan, dan iskemia.
Reseptor nyeri merupakan jaras multi arah yang kompleks. Serabut
saraf yang bercabang sangat dekat asalnya pada kulit dan mengirimkan
cabangnya ke pembuluh lokal, sel-sel mast, polikel rambut dan kelenjar
keringat.stimulus serabut ini akan menyebabkan pelepasannya sel-sel mast
dan mengakibatkan vasdilatasi. Serabut kutaneus lebih ke arah sentral dari
cabang yang lebih jauh dan berhubungan dengan rantai simpatis
paravertebra sistem saraf dan dengan organ eksternal yang lebih besar.
Akibat dari hubungan dari saraf ini, nyeri sering disertai dengan
vasomotor, otonom, dan viseral. Contoh pasien dengan nyeri akut mungkin
mengalami penurunan atau tidak adanya peristaltik saluran gastrointestinal.
2) Mediator kimia nyeri
Menurut smeltzer dan Bare (2002) zat-zat kimia yang meningkatkan
transmisi atau persepsi nyeri meliputi histamin, bradikinin, asetilkolin, dan
subtansi dan postaglandin. Endorfin dan Enkefalin yang berfungsi sebagai
inhibitor terhadap transmisi nyeri. Endorfin dan Enkefalin ditemukan
5
dalam konsentrasi yang kuat dalam sistem saraf pusat.
Endorfin dan Enkefalin merupakan zat kimiawi endogen yang di
produksi oleh tubuh yang strukturnya serupa dengan opioid (narkotika).
Endorfin dan Enkefalin diduga dapat menghambat impuls nyeri dengan
memblok transmisi ini di dalam otak dan medula spinalis.
3) Kornu dorsalis dan jaras asenden
Menurut Smeltzer dan Bare (2002) kornu Dorsalis dari medula
spinalis dianggap sebagai tempat memproses sensori. Serabut perifer
(reseptor nyeri) berakhir disini dan perifer Traktus asenden berawal dari
sini. Traktus asenden berakhir pada otak bagian bawah dan tengah dan
impuls-impuls dipancarkan ke korteks serebri. Agar nyeri dapat diserap
secara sadar neuro pada aseden harus diaktifkan. Dalam kornus dorsalis
terdapat interkoneksi neuro yang ketika aktif menghambat atau
memutuskan transnisi informasi yang menyakitkan atau menstimulus nyeri
dalam jaras aseden. Area ini sering disebut gerbang. Teori kendali nyeri
(Wall, 1978 dalam Smeltzer & Bare, 2002) dimana interaksi antara
stimulus nyeri dan sensasi lain dan stimulasi serabut ini menghambat atau
memblok impuls nyeri melalui sirkuit gerbang penghambat. Sel-sel
inhibitori dalam kornu dorsalis medulla spinalis mengandung enkefalin
yang dapat menghambat impuls nyeri (Smetlzer & Bare, 2002).
6
Nyeri ringan Sedang hebat sangat
hebat
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak
nyeri nyeri
paling
hebat
7
Pengukuran nyeri terdiri dari pengukuran komponen sensorik
(intensitas nyeri) dan pengukuran komponen afektif (toleransi
nyeri).
1. Pengukuran komponen sensorik
Ada 3 metode yang umumnya digunakan untuk
memeriksa intensitas nyeri yaitu Verbal Rating Scale (VRS),
Visual Analogue Scala (VAS), dan Numerical Rating Scale
(NRS).
VRS adalah alat ukur yang menggunakan kata sifat untuk
menggambarkan level intensitas nyeri yang berbeda, range dari
“no pain” sampai “nyeri hebat” (extreme pain). VRS merupakan
alat pemeriksaan yang efektif untuk memeriksa intensitas nyeri.
VRS biasanya diskore dengan memberikan angka pada setiap kata
sifat sesuai dengan tingkat intensitas nyerinya. Sebagai contoh,
dengan menggunakan skala 5-point yaitu none (tidak ada nyeri)
dengan skore “0”, mild (kurang nyeri) dengan skore “1”,
moderate (nyeri yang sedang) dengan skore “2”, severe (nyeri
keras) dengan skor “3”, very severe (nyeri yang sangat keras)
dengan skore “4”. Angka tersebut berkaitan dengan kata sifat
dalam VRS, kemudian digunakan untuk memberikan skore untuk
intensitas nyeri pasien.
Beberapa keterbatasan VRS adalah adanya
ketidakmampuan pasien untuk menghubungkan kata sifat yang
cocok untuk level intensitas nyerinya, dan ketidakmampuan
pasien yang buta huruf untuk memahami kata sifat yang
digunakan.
Numeral Rating Scale adalah suatu alat ukur yang
meminta pasien untuk menilai rasa nyerinya sesuai dengan level
intensitas nyerinya pada skala numeral dari 0 – 10 atau 0 – 100.
Angka 0 berarti “no pain” dan 10 atau 100 berarti “severe pain”
(nyeri hebat). Dengan skala NRS-101 dan skala NRS-11 point,
8
dokter/terapis dapat memperoleh data basic yang berarti dan
kemudian digunakan skala tersebut pada setiap pengobatan
berikutnya untuk memonitor apakah terjadi kemajuan.
VAS adalah alat ukur lainnya yang digunakan untuk
memeriksa intensitas nyeri dan secara khusus meliputi 10-15 cm
garis, dengan setiap ujungnya ditandai dengan level intensitas
nyeri (ujung kiri diberi tanda “no pain” dan ujung kanan diberi
tanda “bad pain” (nyeri hebat). Pasien diminta untuk menandai
disepanjang garis tersebut sesuai dengan level intensitas nyeri
yang dirasakan pasien. Kemudian jaraknya diukur dari batas kiri
sampai pada tanda yang diberi oleh pasien (ukuran mm), dan
itulah skorenya yang menunjukkan level intensitas nyeri.
Kemudian skore tersebut dicatat untuk melihat kemajuan
pengobatan/terapi selanjutnya.
Secara potensial, VAS lebih sensitif terhadap intensitas
nyeri daripada pengukuran lainnya seperti VRS skala 5-point
karena responnya yang lebih terbatas.
Nyeri merupakan salah satu gangguan yang sering kita
rasakan, namun sedikit yang tau apakah nyeri kita termasuk
ringan atau berat. Biasanya seorang dokter akan menanyakan
tingkat nyeri yang kita rasakan merdasarkan urutan angka dari 0-
10, sehinga terapi yang diberikan akan tepat pada sasaran, dan
tidak melebihi dosis yang dibutuhkan.
Berikut ini ukuran skala nyeri dari 0-10
SKALA NYERI
0 Tidak nyeri
1 Seperti gatal, tersetrum / nyut-nyut
2 Seperti melilit atau terpukul
3 Seperti perih
4 Seperti keram
5 Seperti tertekan atau tergesek
6 Seperti terbakar atau ditusuk-tusuk
9
7–9 Sangat nyeri tetapi dapat dikontrol oleh klien
dengan aktivitas yang biasa dilakukan.
10 Sangat nyeri dan tidak dapat dikontrol oleh
klien.
Keterangan : 1–3 (Nyeri ringan)
4–6 (Nyeri sedang)
7–9 (Nyeri berat)
10 (sangat nyeri)
10
2.2 Konsep buah pepaya
2.2.1 Pepaya
Pepaya merupakan salah satu buah tropis yang kaya dengan antioksidan,
antara lain vitamin C dan beta-karoten yang merupakan penawar kuat terhadap
senyawa oksigen reaktif (ROS) dan menstimulasi kemampuan tubuh untuk
mengubah substansi toksik menjadi senyawa yang tidak berbahaya.
Pepaya merupakan tanaman buah berupa herba dari famili Caricaceae
yang berasal dari Amerika Tengah dan Hindia Barat bahkan kawasan sekitar
Mexico dan Costa Rica. Tanaman pepaya banyak ditanam orang, baik di
daerah tropis maupun sub tropis, di daerah-daerah basah dan kering atau di
daerah-daerah dataran dan pegunungan (sampai 1000 m dpl). Buah pepaya
merupakan buah meja bermutu dan bergizi tinggi.
Pepaya bangkok bukan tanaman asli Indonesia. Jenis pepaya ini
didatangkan dari Thailand sekitar tahun 70-an. Pepaya bangkok diunggulkan
karena ukurannya paling besar dibanding jenis pepaya lainnya. Beratnya dapat
mencapai 3,5 kg per buahnya. Selain ukuran, keunggulan lainnya ialah rasa
dan ketahanan buah. Daging buahnya berwarna jingga kemerahan, rasanya
manis segar dan teksturnya keras sehingga tahan dalam pengangkutan.
Rongga buahnya kecil sehingga dagingnya tebal. Permukaan kulit buah kasar
dan tidak rata
2.2.2 Kandungan Kimia
Adapun kandungan buah pepaya masak (100 gr) adalah : kalori 46 kal,
vitamin A 365 SI, vitamin B1 0,04 mg, vitamin C 78 mg, kalsium 23 mg,
hidrat arang 12,2 gram, fosfor 12 mg, besi 1,7 mg, protein 0,5 mg, air 86,7
gram. Sedangkan kandungan buah pepaya muda (100 gr) adalah : kalori 26
kalori, lemak 0,1 gram, protein 2,1 gram, hidrat arang 4,9 gram, kalsium 50
mg, fosfor 16 mg, besi 0,4 mg, vitamin A 50 SI, vitamin B1 0,02 mg, vitamin
C 19 mg, air 92,4 gram. Disamping itu buah pepaya juga mengandung unsur
antibiotik, yang dapat digunakan untuk pengobatan. Buah pepaya juga
mengandung unsur yang dapat membuat pencernaan makanan lebih sempurna
Sedangkan menurut Riana (2000), 100 gram buah pepaya mengandung
kalsium 24 mg, besi 0,1 mg, magnesium 10 mg, phospor 5 mg, potassium 257
11
mg, seng 0,07 mg, tembaga 0,016 mg, mangan 0,011mg,dan selenium 0,6 mg.
Pepaya mengandung papain yaitu sejenis enzim yang dapat membantu dalam
pencernaan protein (enzim protease). Jus pepaya sangat manjur untuk
menurunkan kadar keasaman lambung karena kandungan mineralnya.
2.2.3 Manfaat
Tanaman pepaya dikenal sebagai tanaman multiguna, karena hampir
seluruh bagian tanaman mulai dari akar hingga daun bermanfaat bagi manusia
maupun hewan. Tanaman pepaya dapat dimanfaatkan sebagai makanan,
minuman, obat, bahan kecantikan maupun sebagai pakan ternak. Adapun
penggunaan pepaya sebagai obat, untuk pemakaian luar, caranya pepaya
direbus lalu airnya digunakan untuk mencuci bagian yang sakit, atau getah
dioleskan pada bagian yang sakit. Sedangkan untuk pemakaian dalam,
digunakan 30- 60 gram bahan segar yang direbus atau dihaluskan menjadi jus.
(Wijayakusuma, 2015).
Buah pepaya tidak hanya untuk mengobati sembelit. Buah pepaya kaya
akan karoten, vitamin C, dan flavonoid, sehingga dapat berfungsi sebagai zat
antikanker. Buah ini mengandung sejumlah mineral seperti kalium dan
magnesium, yang sangat dibutuhkan tubuh, terutama untuk menetralisir asam
lambung
2.2.4 Kandungan buah pepaya yang memperbaiki kerusakan lambung
Enzim papain yang terkandung dalam buah pepaya mempunyai beberapa
fungsi. Enzim ini antara lain berfungsi memecah serat makanan sisa, sehingga
mempermudah buang air besar, selain itu papain pada pepaya juga bermanfaat
untuk mengobati lambung dan mengurangi panas tubuh.
Papaya juga dapat memecah makanan yang mengandung protein hingga
terbentuk berbagai senyawa asam amino yang bersifat autointoxicating atau
otomatis menghilangkan terbentuknya substansi yang tidak diinginkan akibat
pencernaan yang tidak sempurna. Papain tidak selalu dapat mencegahnya,
namun setidaknya dapat meminimalkan efek negatif yang muncul. Yang jelas
papain dapat membantu mewujudkan proses pencenaan makanan yang lebih
baik papain yang terdapat dalam buah pepaya dapat membantu mempercepat
penyembuhan luka lambung, karena menurut Fitriani (2016) di dalam papain
12
terkandung 11,6 % potassium benzylglukosinolate. Sehingga enzim papain
dapat membantu untuk mengatasi gejala dispepsia (seperti : mual, kembung)
& gastritis kronik karena papain bekerja pada saluran cerna.
Pepaya mengandung berbagai mineral basa lemah, antara lain magnesium,
kalium dan kalsium. Umumnya antasid merupakan mineral basa lemah yang
berguna menetralkan asam sehingga bermanfaat menghilangkan nyeri tukak
peptik
2.3 Konsep Gastristis
2.3.1 Definisi Gastritis
Gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan submukosa
lambung.gastritis merupakan gangguan kesehatan yang paling sering di
jumpai di klinik, karena diagnosisnya sering hanya berdasarkan gejala klinkk
bukan pemeriksaan histopatologi (Hirlan; Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, K, &
Setiati, 2009). Gastritis adalah inflamasi dari mukosa lambung. Gambaran
klinis yang ditemukan berupa dispepsia atau indigesti Mansjoer, 2001;
Hartono 2012).
Gastritis adalah proses inflamasi pada lapisan mukosa dan submukosa
lambung sebagai mekanisme proteksi mukosa apabila terdapat akumulasi
bakteri atau bahan iritan lain. Proses inflamasi dapat bersifat akut, kronis,
difus, atau lokal.
2.3.2 Klarifikasi
1. Gastritis Akut
13
epitel di sekitar cekungan lambung. Kasus yang lebih parah juga mengenai
kelenjar- kelenjar pada mukosa yang lebih dalam, hal ini biasanya
berhubungan dengan atrofi kelenjar (gastritis atrofi kronis) dan metaplasia
intestinal.
Klasifikasi menurut Nuari (2015)
1. Gastritis Akut
2.1.3 Etiologi
Infeksi kuman Helicobacter pylori merupakan gastritis yang amat
penting. Di negara berkembang prevalensi infeksi Helicobacter pylori pada
orang dewasa mendekati 90%. Sedangkan pada anak-anak prevalensi infeksi
Helicobacter pylori lebih tinggi lagi. Hal ini menunjukkan pentingnya infeksi
pada masa balita. Di Indonesia, prevalensi infeksi kuman Helicobacter pylori
yang dinilai dengan urea breath test pada pasien dispepsi dewasa,
menunjukkan tendensi menurun. Di negara maju, prevalensi infeksi kuman
Helicobacter pylori pada anak sangat rendah. Diantara orang dewasa
prevalensi infeksi kuman Helicobacter pylori lebih tinggi dari pada anak-anak
14
tetapi lebih rendah dari pada di Negara berkembang yakni sekitar 30%.
Penggunaan antibiotika, terutama untuk infeksi paru dicurigai
mempengaruhi penularan kuman dikomunitas karena antibiotika tersebut
mampu mengeradikasi infeksi Helicobacter pylori, walaupun presentase
keberhasilannya rendah. Pada awal infeksi oleh kuman Helicobacter pylori
mukosa lambung akan menunjukkan respons inflamasi akut. Secara
endoskopik sering tampak sebagai erosi dan tukak multipel antrum atau lesi
hemorogik. Gastritis akut akibat Helicobacter pylori sering diabaikan oleh
pasien sehingga penyakitnya berlanjut menjadi kronik.
Gangguan fungsi sistem imun dihubungkan dengan gastritis kronik
setelah ditemukan autoantibodi terhadap terhadap faktor intristik dan terhadap
secretory canalicular structure sel parietal pada pasien dengan anemia
pernisiosa. Antibodi terhadap sel parietal mempunyai korelasi yang lebih baik
dengan gastritis kronik korpus dalam berbagai gradasi, dibandingkan dengan
antibodi terhadap faktor intristik. Pasien gastritis kronik yang mengandung
antibodi sel parietal dalam serumnya dan menderita anemia pernisiosa,
mempunyai ciri-ciri khusus sebagai berikut: menderita gastritis kronik yang
secara histologik menunjukkan gambaran gastritis kronik atropik, predominasi
korpus dan pada pemeriksaan darah menunjukkan hipergastrinemia. Pasien-
pasien tersebut sering juga menderita penyakit lain yang diakibatkan oleh
gangguan fungsi sistem imun. Masih harus dibuktikan bahwa infeksi kuman
Helicobacter pylori dapat menjadi pemacu reaksi imunologis tersebut.
Kecurigaan terhadap peran infeksi Helicobacter pylori diawali dengan
kenyataan bahwa pasien yang terinfeksi oleh kuman Helicobacter pylori
mempunyai antibodi terhadap secretory canalicular structure sel parietal jauh
lebih tinggi dari pada mereka yang tidak terinfeksi.
Terdapat beberapa jenis virus yang dapat menginfeksi mukosa lambung
misalnya enteric rotavirus dan calicivirus. Kedua jenis virus tersebut dapat
menimbulkan gastroenteritis, tetapi secara histopatologi tidak spesifik. Hanya
cytomegalovirus yang dapat menimbulkan gambaran histopatologi yang khas
infeksi cytomegalovirus pada gaster biasanya merupakan bagian dari infeksi
pada banyak organ lain, terutama pada organ muda dan
15
immunocompromized(Hirlan; Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, K, & Setiati, 2009).
Jamur Candida species, Histoplasma capsulatum dan Mukonaceae dapat
menginfeksi mukosa gaster hanya pada pasien immunocompromized. Pasien
yang sistem imunnya baik biasanya tidak dapat terinfeksi oleh jamur. (Hirlan;
Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, K, & Setiati, 2009).
Obat anti-inflamasi nonsteroid merupakan penyebab gastropati yang
amat penting. Gastropati akibat OAINS bervariasi sangat luas, dari hanya
berupa keluhan nyeri uluhati sampai pada tukak peptik dengan komplikasi
perdarahan saluran cerna bagian atas (Hirlan; Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, K, &
Setiati,2009).
Sedangkan penyebab gastritis menurut Nuari (2015) adalah sebagai berikut:
a. Infeksi bakteri
Sebagian besar populasi di dunia terinfeksi oleh bakteri H. Pylori yang
hidup di bagian dalam lapisan mukosa yang melapisi dinding lambung.
Walaupun tidak sepenuhnya dimengerti bagaimana bakteri tersebut dapat
ditularkan, namun diperkirakan penularan tersebut terjadi melalui jalur oral
atau akibat memakan makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh
bakteri ini. Infeksi H. Pylori sering terjadi pada masa kanak-kanak dan dapat
bertahan seumur hidup jika tidak dilakukan perawatan. Infeksi H. Pylori ini
sekarang diketahui sebagai penyebab utama terjadinya peptic ulcer dan
penyebab tersering terjadinya gastritis. Infeksi dalam jangka waktu yang lama
akan menyebabkan peradangan menyebar yang kemudian mengakibatkan
perubahan pada lapisan pelindung dinding lambung. Salah satu perubahan itu
adalah atrophic gastritis, sebuah keadaan dimana kelenjar-kelenjar penghasil
asam lambung secara perlahan rusak.
b. Pemakaian obat penghilang nyeri secara terus-meneru
Obat analgesik anti inflamasi nonsteroid (AINS) seperti aspirin, ibuprofen
dan naproxen dapat menyebabkan peradangan pada lambung dengan cara
mengurangi prostaglandin yang bertugas melindungi dinding lambung. Jika
pemakaian obat-obat tersebut hanya sesekali maka kemungkinan terjadinya
masalah lambuung kan kecil. Tapi jika pemakaiannya dilakukan secara terus
menerus atau pemakaian yang berlebihan dapat mengakibatkan gastritis dan
16
peptic ulce.
c. Penggunaan alkohol secara berlebihan
Alkohol dapat mengiritasi dan mengikis mukosa pada dinding lambung
dan membuat dinding lambung lebih rentan terhadap asam lambung walaupun
pada kondisi normal.
d. Penggunaan kokain
Kokain dapat merusak lambung dan menyebabkan pendarahan dan gastritis.
e. Stress fisik
Stress fisik akibat pembedahan besar, luka trauma, luka bakar atau infeksi
berat dapat menyebabkan gastritis dan juga borok serta pendarahan pada
lambung.
f. Kelainan autoimmune
Autoimmune atrophic gastritis terjadi ketika sistem kekebalan tubuh
menyerang sel-sel sehat yang berada dalam dinding lambung. Hal ini
mengakibatkan peradangan dan secara bertahap menipiskan dinding lambung,
menghancurkan kelenjar-kelenjar penghasil asam lambung dan mengganggu
produksi faktor intrinsic (yaitu sebuah zat yang membantu tubuh
mengabsorbsi vitamin B-12).
Kekurangan B-12, akhirnya dapat mengakibatkan pernicious anemia,
sebuah kondisi serius ynag jika tidak dirawat dapat mempengaruhi seluruh
sistem dalam tubuh. Autoimmune atrophic gastritis terjadi terutama pada
orang tua.
g. Crohn’s disease
Walaupun penyakit ini biasanya menyebabkan peradangan kronis pada
dinding saluran cerna, namun kadang-kadang dapat juga menyebabkan
peradangan pada dinding lambung. Ketika lambung terkena penyakit ini,
gejala- gejala dari Crohn’s disease (yaitu sakit perut dan diare dalam bentuk
cairan) tampak lebih menyolok dari pada gejala-gejala gastritis.
2.1.4 Patofisiologi
a. Gastritis Akut
Gastritis akut dicirikan dengan kerusakan sawar mukosa oleh iritan lokal.
Kerusakan ini memungkinkan asam hidroklorat dan pepsin mengalami kontak
17
dengan jaringan lambung, yang menyebabkan iritasi, inflamasi, dan erosi
superfisial. Mukosa lambung dengan cepat beregenerasi untuk memulihkan
kondisi mukosa sehingga gastritis akut mereda sendiri, dengan penyembuhan
yang biasanya muncul dalam beberapa hari.
Minum aspirin atau agens NSAID, kortikosteroid, alkohol, dan kafein
biasanya dikaitkan dengan terjadinya gastritis akut. Ingesti alkali korosif tak
sengaja atau yang disengaja (seperti amonia, lye (larutan alkali/air sabun),
lysol, dan agens pembersih lain) atau asam yang menyebabkan peradangan
berat dan kemungkinan nekrosis lambung. Perforasi lambung, hemoragi, dan
peritonitis dapat terjadi. Penyebab iatrogenik dari gastritis akut meliputi terapi
radiasi dan pemberian agens kemoterapeutik lain.
b. Gastritis Erosif
Bentuk parah dari gastritis akut, gastritis erosif (yang diinduksi oleh stres)
terjadi sebagai komplikasi dari kondisi yang mengancam hidup seperti syok,
trauma berat, pembedahan mayor, sepsis, luka bakar, atau cedera kepala. Jika
erosi ini terjadi setelah mengalami luka bakar, erosi ini disebut dengan ulkus
Curling (yang ditemukan oleh Thomas Curling seorang dokter Inggris pada
tahun 1842). Jika ulkus stres terjadi setelah mengalami cedera kepala atau
pembedahan SSP, ulkus ini disebut ulkus Cushing (yang ditemukan oleh
Harvey Cushing, seorang dokter bedah AS).
Mekanisme utama yang mengarah pada gastritis erosif muncul dalam
bentuk iskemia mukosa lambung yang diakibatkan oleh vasokonstriksi
simpatis, dan cedera jaringan karena asam lambung. Akibatnya, erosi
superfisial multipel dari mukosa lambung pun muncul. Dengan
mempertahankan pH lambung lebih dari 3,5 dan menghambat sekresi asam
lambung melalui terapi, gastritis erosif dapat dicegah. (Lemone, Burke &
Bauldoff, 2015).
2.1.5 Kerangka teori
19
BAB III
METODE PENELITAN
20
3.4 Tempat dan waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Puskesmas tembung pasar 7, Kabupaten
deli serdang, Provinsi sematera utara .
Waktu penelitian ini dilakukan sejak bulan Maret sampai Mei 2017
21
oleh ringan)
peningkatan 4-6 = (nyeri
asam sedang)
Lambung dan = 7-9 (nyeri
Berlangsung berat)
lebih dari 6 10 = (nyeri
bulan berat)
3.6 Tingkat Nyeri Kronis Sebelum (Pre) dan Setelah (Post) Pemberian Jus
Buah Pepaya (Carica papaya) Pada Kelompok Intervensi
22
Tabel 3. Perbedaan Rata-Rata Tingkat Nyeri Kronis Sebelum (Pre) dan Setelah (Post)
Pada Kelompok Intervensi
23
Pengukuran tingkat nyeri yang digunakan dalam penelitian ini, menggunakan
skala tidak nyeri, nyeri ringan dan nyeri sedang. Dalam hal ini asumsi peneliti
dengan skala nyeri ringan dan nyeri sedang masih dapat dilakukan dengan
menggunakan terapi komplementer yang dapat dipraktikkan secara mandiri.
Pemberian jus buah pepaya dapat digunakan untuk mengatasi nyeri pada
lambung dan rasa panas pada lambung. Pada penelitian Jihan (2011), yang
menjelaskan buah pepaya kaya akan nutrisi seperti betakaroten, vitamin C,
vitamin B, mineral, serat, lycopene dan flavonoid, sehingga dapat berfungsi
sebagai zat antikanker. Buah pepaya mengandung sejumlah mineral basa
lemah seperti kalium, kalsium dan magnesium, yang sangat dibutuhkan tubuh,
terutama untuk menetralisir asam lambung. Hal ini juga didukung oleh penelitian
Joanne (2016) yang menyebutkan bahwa pepaya juga mempunyai kandungan
enzim papain yang mampu mempercepat pemecahan protein didalam lambung
karena pada saat terjadi gastritis enzim pepsin yang berperan dalam pemecahan
protein mengalami penurunan fungsi.
24
DAFTAR PUSTAKA
Megawati, A., & Nosi, H. H. (2014). Beberapa faktor yang berhubungan dengan
kejadian gastritis pada pasien yang di rawat di rsud labuang baji Makassar,
Nursalam. (2008). Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu keperawatan. Edisi 2.
Putri, R., dkk. (2010). Hubungan Pola Makan Dengan Timbulnya Gastritis Pada
PAsien Di Universitas Muhammadiyah Malang Medical Center (UMC). Jurnal
Keperawatan, ISSN: 2086-3071
Rahma, N., dkk (2013). Hubungan Antara Pola Makan Dan Stres Dengan
Kejadian Penyakit Gastritis Di Rumah Sakit Umum Massenrempulu Enrekang.
Jurnal STIKES Nani Hasanudin.
25
Sastroasmoro, S. (2011). Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis Edisi Ke-4.
Jakarta: Sagung Seto.
Setiadi. (2007). Konsep & Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Suketi, K., Poerwanto, R., & Sujiprihati, S. (2010). Karakter Fisik dan Kimia
Buah Pepaya pada Stadia Kematangan Berbeda Physical and Chemical
Characteristics of Papaya at Different Maturity Stages,
Tjay. (2007). Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya. Edisi ke VI.
26
27