Anda di halaman 1dari 9

BAB XI

PERILAKU KOLEKTIF DAN GERAKAN SOSIAL

Perilaku
Perilaku atau aktivitas mempunyai pengertian yang luas, yaitu perlaku
yang menampak (overt behavior) dan perilaku yang tidak menampak (innert
behavior). Perilaku pada individu itu tidak timbul dengan sendirinya, tetapi
sebagai akibat dari stimulus yang diterima oleh seseorang baik eksternal maupun
internal. Namun berdasarkan temuan para ahli psikologi sosial perilaku seseorang
banyak disebabkan oleh pengaruh eksternal.
Meskipun perilaku dipengaruhi oleh stimulus dari luar, sesungguhnya
dalam diri seseorang ada kemampuan untuk menentukan perilaku yang
diambilnya. Hubungan stimulus dan respons tidak berlangsung secara otomatis,
tetapi individu mengambil peranan dalam menentukan perilakunya.
Skinner (1976) dalam Walgito (2003) membedakan perilaku menjadi (a)
perilaku alami (innate behavior), (b) perilaku operan (operant behavior). Perilaku
alami adalah perilaku yang dibawa sejak seseorang dilahirkan, yang berupa
refleks-refleks dan insting, sedangkan perilaku operan adalah perilaku yang
dibentuk melalui proses belajar. Ada yang mengatakan perilaku alami adalah
perilaku yang reflektif, karena begitu stimulus diterima langsung timbul respons.
Contohnya reaksi kedip mata bila mata kena sinar yang kuat, menarik jari bila jari
terkena api. Pada perilaku operan yang non-reflektif, perilaku dikendalikan oleh
pusat kesadaran atau otak. Proses yang terjadi dalam otak ini yang disebut proses
psikologis dan pada manusia perilaku inilah yang dominan, karena sebagian besar
perilaku manusia dibentuk melalui proses belajar.

Perilaku Kolektif
Perilaku sejumlah warga masyarakat yang tidak berpedoman pada institusi-
institusi yang ada dalam sosiologi dinamakan perilaku kolektif, yaitu perilaku
yang: (1) dilakukan bersama oleh sejumlah orang, (2) tidak bersifat rutin dan (3)
merupakan tanggapan terhadap rangsangan tertentu. Perilaku kolektif merupakan
perilaku menyimpang yang dipicu oleh suatu rangsangan yang sama yang dapat
terdiri dari suatu peristiwa, benda atau ide.

Perilaku Kerumunan
Perilaku kolektif selalu melibatkan perilaku sejumlah orang yang
berkerumun. Menurut Le Bon (1966) istilah kerumunan berarti sekumpulan orang
yang mempunyai ciri-ciri baru yang semula tidak dijumpai pada masing-masing
anggotanya.
Blumer membuat suatu klasifikasi jenis-jenis kerumunan dengan
membedakan antara kerumunan sambil lalu (casual crowd), kerumunan
konvensional (conventional crowd), kerumunan ekspresif (expressive crowd) dan
kerumunan bertindak (acting crowd). Contoh kerumunan sambil lalu, sekumpulan
orang yang mengamati pedagang kaki lima menjual obat, kebakaran, kecelakaan
lalu lintas, kampanye calon legislatif yang para anggota kerumunannya akan
mengamati secara sambil lalu dan interaksi antar anggota sangat terbatas.
Contoh kerumunan konvensional adalah penumpang yang berkumpul di
terminal bis, pengunjung toko, penonton olahraga, peserta rapat. Jenis kerumunan
ini mempunyai tujuan yang sama sesuai dengan aturan yang berlaku. Suatu
kerumunan konvensional dapat berubah sifatnya manakala para anggotanya
menyatakan perasaan mereka secara meluap-luap dan menampilkan perilaku yang
biasanya tidak ditampilkan di tempat lain. Para suporter sepakbola menyatakan
rasa kesetiakawanannya dengan bernyanyi-nyani, berteriak. Penonton
pertunjukkan musik yang terbawa oleh suasana musik akan ikut menyanyi dan
melambaikan tangan. Kerumunan-kerumunan seperti ini disebut kerumunan
ekspresif.
Pada Oktober 1989 tersebar desas desus tentang adanya wanita berjilbab
yang menyebarkan racun. Pada saat itu ada seorang sarjana peneliti berjilbab
diarak, dipukuli massa dan dibawa ke pos keamanan. Perilaku kerumunan ini
dikalsifikasikan sebagai kerumunan bertindak.
Faktor Penyebab terjadinya Kerumunan
Le Bon menyebutkan ada tiga faktor penyebab terjadinya kerumunan:
(1) karena kebersamaannya dengan orang lain individu memperoleh perasaan
kekuatan luar biasa yang mendorongnya untuk tunduk pada dorongan naluri
(2) dalam suatu kerumunan tiap perasaan dan tindakan bersifat menular
(3) dalam kerumunan individu mudah dipengaruhi, percaya, taat.

Gambaran Le Bonn mengenai anggota kerumunan sebagai orang-orang


yang hanya mengikuti naluri, tidak rasional dan tidak mampu mengendalikan
perilaku ditolak oleh banyak ilmuwan sosial. Turner dan Killian, mengemukakan
bahwa dalam kerumunanpun muncul aturan-aturan baru. Horton, Hunt, Light,
Keller dan Calhoun mengatakan interaksi yang tidak ada aturannya sering muncul
aturan-aturan baru yang diikuti para anggota kerumunan. Tidak semua anggota
kerumunan sepenuhmya tertular oleh perilaku dan perasaan orang lain ataupun
taat pada aturan yang muncul. Dalam tiap kerumunan selalu ada anggota yang
hanya menjadi pengamat saja.

Horton dan Hunt mengemukakan bahwa kerumunan muncul dari sejumlah


orang yang mempunyai dorongan, maksud, kebutuhan serupa yang dikenal
dengan teori konvergensi (convergency theory). Dengan demikian kita bisa
memahami mengapa di Jakarta terjadi huru-hara saat ada pertunjukan musik rock
tetapi tidak pada pertunjukan musik jazz. Musik rock lebih banyak diminati oleh
pemuda, musik jazz lebih disukai kalangan usia dewasa-tua.

Sikap
Thurstone (1957) dalam Walgito (2003) memandang sikap sebagai suatu
tingkatan afeksi baik yang bersifat positif maupun negatif dalam hubungannya
dengan objek-objek psikologis. Thurstone belum mengkaitkan sikap dengan
perilaku. Rokeach (1968) dalam Walgito (2003) memberikan pengertian bahwa
sikap telah mengandung komponen kognitif dan konatif, yaitu sikap merupakan
predisposing untuk merespons, untuk berperilaku. Ini berarti sikap berkaitan
dengan perilaku.
Menurut Gerungan (2004) attitude (sikap) dapat diterjemahkan dengan
sikap terhadap objek tertentu yang dapat merupakan sikap pandangan atau sikap
perasaan, tetapi sikap tersebut disertai dengan kecenderungan untuk bertindak
sesuai dengan sikap objek itu. Jadi, attitude bisa diterjemahkan dengan dengan
tepat sebagai sikap dan kesediaan beraksi terhadap suatu hal. Attitude (sikap)
senantiasa terarahkan kepada sesuatu hal, suatu objek. Tidak ada attitude (sikap)
tanpa ada objeknya.

Dari beberapa pendapat diatas Walgito (2004) menyimpulkan bahwa sikap


itu merupakan organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai objek atau
situasi yang relatif ajeg, yang disertai adanya perasaan tertentu, dan memberikan
dasar kepada orang tersebut untuk membuat respons atau berperilaku dalam cara
yang tertentu yang dipilihnya.

Manusia tidak dilahirkan dengan sikap pandangan ataupun sikap perasaan


tertentu, tetapi sikap tersebut terbentuk sepanjang perkembangannya. Gerungan
(2004) menulis bahwa attitude (sikap) dalam kehidupan manusia berperan besar,
sebab apabila sudah dibentuk pada diri manusia, maka sikap itu akan turut
menentukan tingkah lakunya terhadap objek-objek attitude-nya. Adanya attitude-
attitude menyebabkan bahwa manusia akan bertindak secara khas terhadap
obyeknya.

Sikap dibedakan menjadi sikap individual dan sikap sosial. Sikap individu
dimiliki oleh orang seorang berkenaan dengan objek-objek yang bukan
merupakan objek perhatian sosial.Sikap sosial terbentuk berkaitan dengan situasi
rangsangan yang bersifat sosial. Sikap sosial menyebabkan terjadinya tingkah
laku yang khas dan berulang-ulang terhadap objek sosial, dan karenanya maka
sikap sosial turut merupakan suatu faktor penggerak dalam pribadi individu untuk
bertingkah laku secara tertentu sehingga sikap sosial dan sikap pada umumnya
mempunyai sifat-sifat dinamis yang merupakan salah satu penggerak internal di
dalam pribadi orang yang mendorongnya berbuat sesuatu dengan cara tertentu
(Gerungan, 2004 hlm 162-163).
Sikap dan Perilaku
Krech dan Crutchfield (1954) dalam Walgito (2003) mengatakan bahwa
perilaku seseorang akan dilatarbelakangi oleh sikap yang ada pada orang yang
bersangkutan. Namun pendapat ini bertolak belakang dengan pandangan La Piere.
La Piere (1987) dalam Walgito (2003) mengatakan bahwa perilaku akan lepas
dari sikap seseorang. Pandangan La Piere ini berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Leon Festinger pada tahun 1964 (Walgito, 2003, hlm.124).

Myers (1983) dalam Walgito (2003) menyatakan bahwa pendapat


Festinger merupakan antitesa terhadap tesa, yaitu pendapat bahwa adanya kaitan
antara sikap dan perilaku. Hegel dalam Walgito (2003) mengatakan bahwa adanya
tesa, antitesa, maka ada pula sintesanya dan ini dilakukan oleh Myers. Myers
(1983) dalam Walgito (2003) berpendapat bahwa perilaku itu merupakan sesuatu
yang dipengaruhi oleh lingkungan. Demikian pula sikap yang diekspresikan
(expressed attitudes) juga merupakan sesuatu yang dipengaruhi oleh keadaan
sekitarnya. Sedangkan (expressed attitudes) adalah merupakan perilaku. Orang
susah mengukur sikap secara langsung, maka yang diukur adalah sikap yang
menampak, yang disebut perilaku. Oleh karena itu jelas bahwa sikap mempuyai
kaitan dengan perilaku. Perilaku dan sikap saling berinteraksi, saling
memengaruhi seperti dalam gambar dibawah ini:

other influence

expressed attitudes

attitudes

behavior

other influence
Pengukuran Sikap
Secara garis besar, pengukuran sikap dilakukan secara langsung dan tak
langsung. Pengukuran secara langsung, subyek diminta pendapat sikapnya atas
sesuatu masalah yang dihadapkan padanya. Pengukuran secara langsung ada yang
tidak berstruktur yaitu mengukur sikap dengan wawancara bebas, dengan
pengamatan langsung atau survei. Pengukuran secara langsung berstruktur, yaitu
pengukuran sikap dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang telah
disusun sedemikian rupa dalam suatu alat yang telah ditentukan, dan langsung
diberikan kepada subyek yang diteliti. Sedangkan pengukuran sikap secara tidak
langsung dilakukan dengan menggunakan tes.

Hampir sebagian survey yang dilakukan BPS dalam mengukur sikap


memakai pengukuran secara langsung dan berstruktur. Sebagai contoh, pemakaian
pengukuran sikap model Likert yang dikenal dengan pengukuran skala Likert.
Skala Likert dikenal sebagai summated ratings method. Dalam menciptakan alat
ukur Likert menggunakan pernyataan-pernyataan, dengan menggunakan lima
alternatif jawaban atau tanggapan atas pernyataan-pernyataan tersebut. Subyek
yang diteliti disuruh memilih salah satu dari lima alternatif jawaban yang
disediakan. Lima alternatif jawaban yang dikemukakan oleh Likert adalah:
- sangat setuju (strongly approve)
- setuju (approve)
- tidak mempunyai pendapat (undecided)
- tidak setuju (disapproved)
- sangat tidak setuju (strongly disapproved)

Gerakan Sosial
Gerakan sosial merupakan perilaku kolektif yang ditandai kepentingan
bersama dan tujuan jangka panjang, yaitu untuk merubah ataupun
mempertahankan masyarakat atau intitusi yang ada didalamnya. Ciri lain dari
gerakan sosial ialah penggunaan cara-cara yang berada di luar institusi-institusi
yang ada.
Dengan menggunakan kriteria tipe perubahan yang dikehendaki dan
besarnya perubahan yang diinginkan David Aberle membedakan empat macam
gerakan sosial:
TIPE PERUBAHAN YANG DIKEHENDAKI
perubahan perubahan
perorangan sosial
BESARNYA
PERUBAHAN sebagian Alterative Reformative movement
YANG DIKE- movement
HENDAKI Redemptive Transformative

menyeluruh movement movement

Alterative movement merupakan gerakan yang bertujuan merubah


sebagian perilaku perorangan. Dalam kategori ini dapat kita masukkan berbagai
kampanye untuk merubah perilaku tertentu, seperti misalnya tidak merokok, tidak
minum minuman keras. Ruang lingkup redemptive movement lebih luas dari
alterative movement, karena yang hendak dicapai adalah perubahan menyeluruh
pada perilaku perorangan. Gerakan ini kebanyakan terdapat di bidang agama,
misalnya perorangan diharap untuk bertobat dan merubah cara hidupnya sesuai
ajaran agama.

Pada reformative movement yang ingin diubah bukan perorangan tetapi


masyarakat, namun ruang lingkup yang hendak diubah hanya segi-segi tertentu
masyarakat. Misalnya, gerakan kaum homoseks yang ingin memperoleh
pengakuan terhadap gaya hidup mereka. Sedangkan transformative movement
merupakan gerakan untuk merubah masyarakat secara menyeluruh. Gerakan kaum
Khmer Merah untuk menciptakan masyarakat komunis di Kamboja – suatu proses
seluruh penduduk kota dipindahkan ke desa dan lebih dari satu juta orang
Kamboja kehilangan nyawa mereka karena dibunuh kaum Khmer Merah,
menderita kelaparan atau sakit – merupakan contoh ekstrim dari gerakan sosial
semacam ini.
Komblum membuat klasifikasi gerakan sosial sesuai dengan tujuan yang
ingin dicapai: revolutionary movement, reformist movement, conservative
movement, dan reactionary movement.

Apabila gerakan sosial bertujuan merubah institusi dan stratifikasi


masyarakat, maka gerakan tersebut merupakan gerakan revolusioner
(revolutionary movement). Revolusi sosial merupakan suatu transformasi
menyeluruh tatanan sosial, termasuk di dalamnya institusi pemerintah dan sistim
stratifikasi. Revolusi di Rusia tahun 1917, di Cina tahun 1949 dapat dimasukkan
dalam kategori ini, karena di kedua masyarakat tersebut sistim budaya, sosial,
politik dan ekonomi dirombak menjadi sistim komunis.

Giddens membedakan antara revolusi dengan gerakan sosial. Sesuatu


dikatakan revolusi jika memenuhi tiga kriteria:
(1) melibatkan gerakan sosial secara masal
(2) menghasilkan proses reformasi atau perubahan
(3) melibatkan ancaman atau penggunaan kekerasan
Giddens juga membedakan antara revolusi dengan kudeta (coup d’ etat)
dan pemberontakan, karena kudeta hanya melibatkan penggantian pimpinan dan
tidak merubah institusi politik sedangkan pemberontakan tidak membawa
perubahan nyata meskipun melibatkan ancaman atau penggunaan kekerasan.

Jika suatu gerakan hanya bertujuan merubah sebagian institusi dan nilai,
maka Komblum menamakannya gerakan reformis (reformist movement). Contoh
di Indonesia pendirian Boedi Oetomo pada tahun 1908 yang bertujuan
memberikan pendidikan Barat formal kepada putera-puteri pribumi. Gerakan yang
berupaya mempertahankan nilai dan institusi masyarakat disebut gerakan
konservatif (conservative movement). Di Amerika Serikat, misalnya, usaha kaum
feminis di tahun 80-an untuk melakukan perubahan pada konstitusi demi
menjamin persamaan hak lebih besar antara pria dan wanita (ERA atau Equal
Rights Amandemen) ditentang dan akhirnya digagalkan oleh gerakan konservatif
wanita STOP-ERA – suatu gerakan antifeminis yang melihat perjuangan kaum
feminis sebagai ancaman terhadap peranan wanita dalam keluarga sebagai istri
dan ibu.
Suatu gerakan disebut gerakan reaksioner (reactionary movement)
manakala tujuannya untuk kembali ke institusi dan nilai di masa lampau dan
meninggalkan institusi dan nilai masa kini. Contoh ialah gerakan Ku Klux Klan di
Amerika Serikat yang berusaha mengembalikan keadaan di AS ke masa lampau di
kala institusi-institusi sosial mendukung asas keunggulan orang kulit putih atas
orang-orang kulit hitam.

Faktor-faktor Penyebab adanya Gerakan Sosial


Giddens, Komblum, Light, Keller dan Calhoun mengaitkan gerakan sosial
dengan deprivasi ekonomi dan sosial, seperti kondisi kehilangan, kekurangan,
penderitaan atas hilangnya peluang untuk dapat memenuhi kebutuhan pokoknya:
pangan, sandang, papan.
James Davies mengatakan bahwa gerakan sosial muncul justru pada saat
masyarakat menikmati kemajuan di bidang ekonomi (depreviasi relatif).
Meskipun tingkat kepuasan masyarakat meningkat terus, tetapi mungkin saja
terjadi kesenjangan antara harapan masyarakat dengan keadaan nyata yang
dihadapi. Jika kesenjangan relatif ini semakin melebar melewati batas toleransi
masyarakat, maka revolusi akan tercetus.
Keberhasilan gerakan sosial bergantung pada faktor-faktor manusia
seperti: kepemimpinan, organisasi dan keterlibatan serta faktor-faktor sumber
daya lain seperti dana dan sarana. Deprivasi yang dialami Indonesia pada tahun
1966 – tingkat inflasi tinggi, ketidakpuasan terhadap kebijakan politik dalam
kepemimpinan nasional- menurut teori ini tidak akan menghasilkan gerakan sosial
berupa “Angkatan 1966” apabila tidak ditunjang dengan pengerahan sumber daya
seperti kepemimpinan, organisasi dan keterlibatan mahasiswa dan pelajar,
dukungan moril dan materiil kekuatan-kekuatan dalam ABRI, dukungan berbagai
kalangan masyarakat, dan peliputan oleh media massa dalam dan luar negeri.

Anda mungkin juga menyukai