JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS JAMBI 2020 “Menyebutkan Hakikat Cinta Dan Fitrah Manusia Untuk Menikah” Alasan saya mengambil point pertama karena: Cinta seorang laki-laki kepada wanita dan sebaliknya adalah perasaan yang manusiawi yang bersumber dari fitrah yang diciptakan Allah SWT di dalam jiwa manusia, yaitu kecenderungan kepada lawan jenisnya ketika telah mencapai kematangan pikiran dan fisiknya (Q.S. al-Rum:21). Cinta pada dasarnya bersifat netral. Ia dapat bernilai positif, tapi juga dapat menjadi negatif, tergantung pada bentuk penyalurannya. Oleh karena itulah, Islam memberikan aturan dan pedoman agar cinta mengalir tepat pada muaranya, yakni membawa dampak positif bagi manusia. Menurut ajaran Islam, perasaan cinta akan membawa kebaikan pada manusia bila disalurkan hanya dalam bingkai pernikahan. Hal ini karena dalam pernikahan, hampir semua bentuk interaksi antara laki-laki dan perempuan menjadi halal, bahkan bernilai pahala bila dilakukan karena Allah. Terkait dengan orang yang sedang “jatuh” cinta, umum diketahui bahwa mereka seringkali menyalurkan perasaan cintanya dengan cara selalu berada dekat dengan sang pujaan hati, saling memandang, berbicara berdua, bahkan mungkin lebih dari itu. Semua aktivitas ini secara tegas oleh Islam terlarang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang bukan suami-istri, karena dapat menimbulkan dampak negatif bagi individu, keluarga, maupun masyarakat. Permasalahannya adalah, orang yang sedang “jatuh” cinta – disebabkan dominasi gelora perasaan cinta atas akalnya– cenderung tidak mampu menghindari aktivitas-aktivitas tersebut meskipun mereka tahu bahwa hal tersebut terlarang. Menikah atau lebih tepatnya “keberpasangan” adalah naluri seluruh mahluk, termasuk manusia. Al-Qur’an beberapa kali mengulang tabiat ini antara lain dalam surat al-Dzariat:49, as-Syura:11, dan Yasin:36. Dalam Q.S. Yasin:36 disebutkan: “Maha suci Allah yang telah menciptakan semua pasangan, baik dari apa yang tumbuh di bumi, dan dari jenis mereka (manusia) maupun dari mahluk-mahluk yang tidak mereka ketahui.” Banyak analogi yang bisa dipakai untuk menggambarkan keterpasangan laki-laki dan perempuan. Perumpamaan yang sederhana dan mudah difahami adalah burung dengan sepasang sayapnya. Jika laki-laki dan perempuan dianggap sebagai diri yang satu dalam dua raga yang berbeda (Q.S. an-Nisa’:1), maka keterpasangan keduanya dimisalkan dengan burung dengan kedua sayapnya. Badan burung hanya akan dapat terbang bila memiliki sayap kanan dan kiri. Kedua sayap ini saling membutuhkan agar badan burung dapat terbang. Analogi lain yang lebih rumit adalah kunci. Secara fungsi, yang disebut kunci adalah gabungan antara anak kunci dan lubang kunci. Anak kunci harus aktif bergerak agar bisa membuka lubang kunci yang pasif tidak bergerak. Bila anak kunci dan lubang kunci sama- sama aktif bergerak, maka kunci tersebut rusak karena lubang kunci tidak bisa dibuka (Ayu, 1998:63-64). Setiap manusia, laki-laki maupun perempuan, wajar menginginkan memiliki pasangan. Sebelum dewasa, dorongan ini umumnya sudah timbul, dan menjadi amat kuat saat manusia mencapai kedewasaannya. Penyaluran naluri berpasangan pada manusia dapat terwujud dalam berbagai bentuk; adakalanya dalam bentuk hubungan dengan ikatan longgar (pacaran), hidup serumah tanpa ikatan resmi (sering disebut kumpul kebo), atau hubungan dengan ikatan resmi (pernikahan). Masing-masing bentuk hubungan keberpasangan laki-laki dan perempuan yang terdapat di masyarakat tersebut memiliki dampak positif dan negatif yang berbeda satu sama lain.