Pengertian Fa’il
Fa’il adalah isim marfu’ yang terletak setelah fi’il ma’lum untuk menunjukkan pelaku
dari suatu pekerjaan.
Contoh:
َ ب َعلِ ٌّي ْال َك ْل
ب َ ض َر
َ (Ali telah memukul anjing)
سَ ْ( يَ ْكتُبُ ُم َح َّم ٌد الدَّرMuhammad sedang menulis pelajaran)
Contoh:
(جاءزيدtelah datang Zaid)
Ket: جاءadalah fi'il madhi dan زيدmenjadi fa'ilnya yang di rafa’kan oleh dhammah sebab
lafaz tersebut isim mufrad.
جاءازيدون (dua zaid telah datang)
Ket: ازيدان menjadi fai’l yang dirafa’kan dengan alif sebab isim tatsniyah.
جاءازيدون (zaid-said itu telah datang)
Ket: ازيدونmenjadi fai’l yang dirafa’kan dengan wawu, sebab jamak mudzakkar.
(جاءازيودzaid-zaid itu telah datang)
Ket: ازيود menjadi fa’il yang di rafa’kan dengan Dhammah sebab jamak taksir).
Ketentuan-Ketentuan Fa’il:
1. Fa’il adalah isim yang marfu’
Contoh:
a. ص َر زَ ْي ٌد ُم َح َّمدًا
َ َ( نZaid menolong Muhammad)
زَ ْي ٌدadalah sebagai fa’ilnya karena dia merupakan isim yang marfu’
ُم َح َّمدًاbukan sebagai fa’il karena dia manshub
ِ َْب ال َّر ُج ُل إِلَى السُّو
b. ق َ ( َذهLaki-laki itu pergi ke pasar)
ال َّر ُج ُلadalah sebagai fai’ilnya karena dia merupakan isim yang marfu’
ق
ِ ْ السُّوbukan sebagai fa’il karena dia majrur
2. Fa’il harus diletakkan setelah fi’il. Apabila ada isim marfu’ yang terletak di depan /sebelum
fi’il maka dia bukan fa’il
Contoh:
َ ْ( ُم َح َّم ٌد يَ ْكتُبُ الدَّرMuhammad sedang menulis pelajaran)
a. س
ُم َح َّم ٌدbukan sebagai fa’il. Hal ini karena ia terletak di depan fi’il.
Fa’ilnya adalah berupa dhomir mustatir yang terdapat pada fi’il ُ يَ ْكتُبyang taqdirnya adalah
ه َُو.
3. Fi’il yang dipakai adalah fi’il ma’lum. Apabila ada isim mar’fu’ yang terletak setelah fi’il
majhul, maka ia bukan sebagai fa’il.
Contoh:
a. ب َعلِ ٌّي
َ ضُر
ِ (Ali dipukul)
َعلِ ٌّيbukanlah sebagai fa’il karena fi’il yang dipakai adalah fi’il majhul.
4. Fi’il yang dipakai harus selalu dalam bentuk mufrod
Contoh:
َ َْب ْال ُم ْسلِ ُم الدَّر
a. س َ ( َكتSeorang muslim itu menulis pelajaran)
َ َْب ْال ُم ْسلِ َما ِن الدَّر
b. س َ ( َكتDua orang muslim itu menulis pelajaran)
َ َْب ْال ُم ْسلِ ُموْ نَ الدَّر
c. س َ ( َكتOrang-orang muslim itu menulis pelajaran)
5. Bila fa’ilnya mudzakkar, maka fi’ilnya mufrod mudzakkar. Bila failnya muannats maka
fi’ilnya mufrod muannats.
Contoh:
a. َب ُم َح َّم ٌد اللَّبَن َ ( َش ِرMuhammad telah minum susu)
b. َت َمرْ يَ ُم اللَّبَن ْ َ( َش ِربMaryam telah minum susu)
c. َ( يَ ْش َربُ ُم َح َّم ٌد اللَّبَنMuhammad sedang minum susu)
d. َ( تَ ْش َربُ َمرْ يَ ُم اللَّبَنMaryam sedang minum susu)
Catatan Fa’il:
1. Fa’il tidak harus terletak secara langsung dibelakang fi’ilnya.
Contoh:
a. ُ َر َج َع ِمن ْال َجا ِم َع ِة الطَّالِب (Mahasiswa itu telah pulang dari kampus)
َ ب ْال َك ْل
b. ب َعلِ ٌّي َ ض َر
َ (Ali memukul anjing)
2. Apabila fa’il tidak terletak secara langsung dibelakang fi’ilnya, maka untuk fa’il yang
muannats, fi’ilnya boleh berbentuk mufrod muannats atau mufrod mudzakkar.
Contoh:
a. ت اللَّبَنَ َمرْ يَ ُم
ْ َ َش ِربAtau: ب اللَّبَنَ َمرْ يَ ُم
َ َش ِر
3. Apabila fa’ilnya berupa jamak taksir, maka fi’ilnya boleh berbentuk mufrod mudzakkar atau
mufrod muannats.
Contoh:
ِ ب األَوْ الَ ُد أَ َما َم ْال َمس
1. ْج ِد َ لَ ِعAtau: ت األَوْ الَ ُد أَ َما َم ْال َم ْس ِج ِد
ْ َلَ ِعب
( أَ ْن َوا ُع ا ْلفَا ِعلMacam-Macam Fa’il)
1. Fa’il yang berupa isim mu’rob
ِ ن ََج َح ْال ُمجْ تَ ِه ُد فِي ا ِال ْمتِ َح
ان
2. Fa’il yang berupa isim mabni
ن ََج َح الَّ ِذي اِجْ تَهَ َد فِي ا ِال ْمتِ َحا ِن
ان ِ ن ََج َح هَ َذا ْال ُمجْ تَ ِه ُد فِي
ِ اال ْمتِ َح
ان ِ نَ َج َح فِي
ِ اال ْمتِ َح
ُيَ ْكتُب: Fa’ilnya adalah dhomir mustatir yang taqdirnya هُ َو
يَ ْكتُبَا ِن: Fa’ilnya adalah alif
َيَ ْكتُبُوْ ن: Fa’ilnya adalah wawu
ُتَ ْكتُب: Fa’ilnya adalah dhomir mustatir yang taqdirnya ِه َي
تَ ْكتُبَا ِن: Fa’ilnya adalah alif
ْنzَ يَ ْكتُب: Fa’ilnya adalah nun
ُتَ ْكتُب: Fa’ilnya adalah dhomir mustatir taqdirnya َأَ ْنت
تَ ْكتُبَا ِن: Fa’ilnya adalah alif
َتَ ْكتُبُوْ ن: Fa’ilnya adalah wawu
ْنzَ تَ ْكتُبِي: Fa’ilnya adalah ya’
تَ ْْكتُبَا ِن: Fa’ilnya adalah alif
ْنzَ تَ ْكتُب: Fa’ilnya adalah nun
ُأَ ْكتُب: Fa’ilnya adalah dhomir mustatir yang taqdirnya أَنَا
ُنَ ْكتُب: Fa’ilnya adalah dhomir mustatir yang taqdirnya ُنَحْ ن
Contoh:
َ ُم َح َّم ٌد يَرْ َكبُ ْال ِح
a. َصان
Fa’il dari kalimat ini adalah dhomir mustatir yang taqdirnya هُ َو
b. ات يَ ْد ُخ ْلنَ ْال ُم ْستَ ْشفَى
ُ ضَ ْال ُم َم ِّر
Fa’il dari kalimat ini adalah nun
c. َنَ ْكتُبُ الرِّ َسالَة
Fa’il dari kalimat ini adalah dhomir mustatir yang taqdirnya ُنَحْ ن
ْاُ ْكتُب: Fa’ilnya adalah dhomir mustatir yang taqdirnya َأَ ْنت
اُ ْكتُبَا: Fa’ilnya adalah alif
اُ ْكتُبُوْ ا: Fa’ilnya adalah wawu
اُ ْكتُبِ ْي: Fa’ilnya adalah ya’
اُ ْكتُبَا: Fa’ilnya adalah alif
َاُ ْكتُ ْبن: Fa’ilnya adalah nun
Contoh:
َ ْاُ ْكتُبْ الدَّر
a. س
Fa’il dari kalimat ini adalah dhomir mustatir yang taqdirnya َأَ ْنت
b. َاِحْ فَظُوْ ا ْالقُرْ َءان
Fa’il dari kalimat ini adalah wawu
c. اِرْ ِج ْعنَ إِلَى بُيُوتِ ُك َّن
Fa’il dari kalimat ini adalah nun
ب الفَا ِع ِل
ُ ِ( نَائNaibul Fa’il)
ِ َب الف
Pengertian اع ِل ُ ِ( نَائNaibul Fa’il)
Naibul fa’il adalah isim marfu’ yang terletak setelah fi’il majhul untuk menunjukkan
orang yang dikenai pekerjaan.
Contoh:
a. ُب ْال َك ْلب
َ ُر
ِ ( ضAnjing itu telah dipukul)
b. ُ( يُ ْكتَبُ الدَّرْ سPelajaran sedang ditulis)
Fa’il berasal dari kata fa’ala yang artinya secara etimologi adalah yang
melakukan perbuatan. Dan menurut terminologi adalah isim marfu yang terletak
setelah fi’il ma’lum atau yang semakna dengan fi’il ma’lum dan isim ini menunjukan
dialah yang melakukan perbuatan atau yang mensifatinya (Zakaria, 2009:1). Sungguh
para ulama sangat banyak sekali di dalam memberikan pengertian fa’il, akan tetapi
pengertian-pengertian itu menunjukan batasan yang sama yakni berbeda lapas tetapi
maknanya satu. Diantaranya apa yang dikatakan oleh syaikh al Gulayain : fa’il adalah
isim yang dirofakan yang terletak setelah fi’il ma’lum atau didahului oleh apa-apa
yang semakna dengan fi’il ma’lum. Dan yang dimaksud dengan didahului oleh apa-
apa yang semakna dengan fi’il ma’lum adalah isim fa’il, mashdar, isim tafdil, shifat
musyabbahat, mubalagoh isim fa’il dan isim fi’il maka semua ini bisa merofakan fa’il
sebagaimana fi’il ma’lum (al Gulayain, 2005:334).
Dari pengertian diatas, dapat difahami tidaklah disebut fa’il jika tidak terletak
setelah amil-amilnya dan tidaklah disebut fa’il jika tidak menunjukan sesuatu yang
melakukan perbuatan atau mensifati perbuatan tersebut. Berkata Doktor Abdulloh Bin
Abdil Muhsin at Turki : fa’il adalah isim yang menunjukan pelaku dari suatu
perbuatan, dan keadaan fa’il marfu. Keadaan fa’il marfu dengan dhommah jika fa’il
berupa isim mufrod, jika fa’il berupa jamak mu’annats salim, jika fa’il berupa jamak
taksir, jika fa’il berupa isim goir munsorif. Keadaan fa’il marfu tanda rofanya dengan
huruf alif, jika fa’il berupa isim mutsanna. Keadaan fa’il marfu tanda rofanya dengan
huruf wawu, jika fa’il berupa jamak muzakar salim, jika fa’il berupa isim-isim lima.
Keadaan fa’il marfu dengan dommah muqoddaroh jika fa’il berupa isim manqush, jika
fa’il berupa isim maqshur (Abdulloh, 2013:205; Zakaria, 2009:13). Tanda rofa ini
berlaku apabila fa’il berupa isim yang nampak maka tanda i’robnya pun jelas nampak
terlihat, adapun apabila fa’il berupa isim mabni seperti isim domir, isim isyaroh dan
lain-lain maka tanda rofanya pun tetap mabni dan tanda i’robnya adalah i’rob
mahalli/menempati (al Gulayain, 2005:22-23).
Istilah “fungsi” yang digunakan dalam kajian ini mengacu kepada apa yang
disebut oleh Pike & Pike (1977) sebagai slot, yaitu salah satu dari empat ciri sebuah
tagmem, ciri tagmem yang lainnya ialah kelas (class), peran (role), dan kohesi
(cohesiaon). Istilah fungsi (Elson & Pickett, 1962:57; Cook, 1970:15; Verhaar,
1982:124) disebut juga fungsi sintaksis (Dik, 1981:13; Kridalaksana, 1990:42) atau
unsur fungsional (Ramlan, 1987:90), yakni “a position in a construction frame”
(Cook, 1970:15). Fungsi boleh dibayangkan sebagai “tempat kosong” yang diisi oleh
kategori (atau kelas) dan peran. Fungsi bersifat relasional, artinya fungsi yang satu
tidak dapat dibayangkan tanpa dihubungkan dengan fungsi yang lainnya. Oleh karena
itu, hubungan antar fungsi itu bersifat struktural karena fungsi semata-semata hanya
sekedar kerangka organisasi sintaksi yang formal (Verhaar, 1982:70-82). Di dalam
klausa, unsur fungsional itu dapat berupa subjek, predikat, objek, pelengkap, dan
keterangan (Ramlan, 1987:90-97).
Unsur fungsional biasanya diisi oleh kategori atau kelas. Unsur kategorial
merupakan tataran kedua yang tingkat keabstrakannya lebih rendah dari pada fungsi
(Verhaar, 1982:83-87). Unsur kategorial di sini adalah kategori sintaksis, yakni
klasifikasi satuan-satuan gramatikal berdasarkan bentuk sifat, serta perilakunya dalam
sebuah kontruksi (Alwi, et al., 1993:36-37). Kategori sintaksis pada tataran kata lazim
disebut kelas kata atau jenis kata. Di samping berupa kata, kategori sintaksis bisa
berupa frase dan klausa. Kategori frase dan klausa lazim didasarkan pada kategori
kata (O’Grady et al., 1989:237). Frase memilki tipe dan kategori tertentu. Di samping
diisi oleh kategori, unsur fungsional diisi oleh unsur semantis atau peran semantis.
Unsur semantis mengacu pada istilah makna atau peran (Verhaar, 1982:88-93). Yakni
tataran ketiga dan terendah tingkat keabstrakannya di dalam sintaksis, jika
dibandingkan dengan fungsi maupun kategori. Peran bersifat relasional, artinya peran
yang satu hanya ditemukan jika dihubungakan dengan peran yang lain.
Peran semantis yang disebut juga fungsi semantis (Dik, 1981:13) merupakan
peran yang dipegang oleh suatu kata atau frase dalam sebuah klausa atau kalimat
(Alwi et al., 1993:40). Unsur fungsional klausa berupa ruas atau posisi dalam suatu
konstruksi, yang diisi oleh kategori dari segi bentuk dan peran dari segi makna.
Klausa itu sendiri merupakan pemadu kalimat yang bersifat predikatif, yakni terdiri
atas unsur fungsional subjek dan predikat, baik disertai objek, pelengkap, dan
keterangan maupun tidak. Pada uraian di atas beberapa kali disinggung ihwal unsur
fungsional klausa yang berupa subjek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan.
Kehadiran objek, pelengkap, dan keterangan sangat bergantung pada bentuk dan jenis
predikat. Dengan kata lain, unsur pendamping (argumen) di sebelah kanan merupakan
konstituen yang berfungsi melengkapi verba predikat. Oleh karena itu, konstituen
pendamping kanan itu (O, Pel, dan Ket) disebut juga konstituen pemerlengkapan.
Predikat bersama pemerlengkapannya membuat predikasi terhadap subjek (Alwi et al.,
1993:364). Menurut Chafe (1970:96), di dalam struktur semantis, verba (sebagai
predikat) merupakan konstituen sentral, sedangkan nomina (sebagai subjek, objek, dan
pelengkap) sebagai konstituen periferial. Artinya, verba (sebagai predikat)
menentukan kehadiran nomina. Di dalam tata bahasa fungsional, subjek, objek,
(langsung dan tidak langsung), dan pelengkap merupakan pendamping (argumen),
yang bersama-sama predikat sebagai satuan (term) merupakan predikasi inti (nuclear
predication). Keterangan yang disebut satelit (satellite) juga merupakan satuan, yang
bersama-sama merupakan predikasi membentuk predikasi luasan (extended
predication) (Dik, 1981:25-26).
Dilihat dari segi semantik, predikat memliki fungsi semantis atau peran yang
berupa tindakan (action), proses (proccess), keadaan (state), dan posisi (position) (Dik,
1981:36-39). Dilihat dari ketegori sintaksisnya, predikat dalam klausa (atau kalimat
tunggal) dapat dibedakan atas (a) predikat verbal dan (b) predikat non-verbal (Tarigan,
1985:75-84). Predikat non-verbal mencakupi beberapa jenis, yakni (a) predikat
adjektival, (b) predikat nominal, (c) predikat numeral (Alwi et al., 1993:380-398). Di
samping itu dikenal pula adanya (d) predikat preposisional atau depan (Ramlan,
1987:141; Sudaryat, 1991:84-90), dan (e) predikat keterangan atau adverbial
(Prawirasumantri et al., 1987:141-154) istilah predikat keterangan dapat dimasukan
sebagai predikat nominal, karena kata keterangan (adverbia waktu) dapat digolongkan
sebagai subkelas nomina (Kridalaksana, 1990:68). Predikat verbal dapat pula
dibedakan berdasarkan dua hal yakni, :
(a) Hubungan aktor-aksi, yang melahirkan klausa: aktif, pasif, medial, resiprokal;
(b) Jumlah pendamping, yang menghasilkan klausa: intransitif, monmotransitif,
bitransitif, dan semitransitif.
2. Fa’il/Subjek.
Di dalam kajian sintaksis, subjek sering dibatasi dari empat konsep, yakni (1)
konsep gramatikal, (2) konsep kategorial, (3) konsep semantis, dan (4) konsep
pragmatis. Batasan tradisional mengenai istilah subjek, yaitu “tentang apa yang
diperkatakan” (Chafe, 1976:43), merupakan sorotan subjek dari segi semantis,
sedangkan pengidentikan subjek dengan nomina oleh kebanyakan tata bahasawan
(Hollander, 1893; Lyons, 1968; Alisjahbana, 1976) atau pengidentikan subjek dengan
frase nomina (Comsky, 1953; Quirk, et al., 1987), merupakan sorotan subjek dari segi
kategorial, serta pemakaian istilah topik (Hockett, 1958:301) meruapakan sorotan
subjek dari segi pragmatis atau organisasi penyajian informasi. Dari segi pragmatis,
gramatikal, dan semantis muncul istilah subjek psikologis, subjek gramatikal, dan
subjek logis (Halliday, 1985:35).
Di samping itu subjek dapat pula menempati posisi kanan predikat, jika
berada dalam kalimat yang mempunyai (i) struktur pasif, (ii) striktur inversi, dan (iii)
predikat verba eksistif atau ada (Sugono, 1995:35). Subjek dapat berupa (i) kata, (ii)
frase, dan (iii) klausa. Subjek (I) dan (ii) oleh kebanyakan tata bahasawan (Comsky,
1965:69; Lyons, 1968; Keenan, 1976; Pike & Pike, 1977) dikategorikan sebagai frase
nominal (FN) dan subjek (iii) sebagai klausa nominal (Quirk, 1985:724). Di dalam
bahasa Indonesia pengisi fungsi subjek tidak hanya berupa nomina, tetapi dapat juga
berupa verba atau adjektiva (Sugono, 1995:43). Dilihat dari segi semantis, subjek
dapat memiliki peran semantis tertentu. Chafe (1970:96) bahwa dalam struktur
semantis, verba berfungsi sebagai sentral dan nomina sebagai periferal. Verba sebagai
predikat menentukan kehadiran nomina, misalnya, sebagai pelaku (agent), pengalami
(experiencer), petanggap (patient), pemanfaat (recifient), alat (instrument), pelengkap
(complement), dan tempat (location). Fillmore (1971) menyebut patient dengan istilah
goal dan object. Ada sembilan kasus yang disebut oleh Fillmore, yakni pelaku, alat,
pengalami, objek, tempat, asal (source), sasaran, waktu, dan pemanfaat. Ramlan
(1987:135) menyebut sepuluh peran semantis subjek, yakni pelaku, alat, sebab,
penderita, hasil, tempat, penerima, pengalam, dikenal, dan terjumlah. Menurut Dik
(1983) terdapat sebelas peran semantis subjek, yakni (i) pelaku, (ii) sasaran (goal),
(iii) pemanfaat, (iV) prosseced, (V) positioner, (Vi) force, (Vii) alat, (Viii) item, (iX)
tempuhan, (X) tempat, (Xi) waktu (Sugono, 1991:36).