Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

INKOTENENSIA URINE

OLEH:

1. WAYAN RIYADI MEGAPUTRA (C1115024)


2. VINA AIZYAH SUTRISNO (C1115025)
3. IDA AYU PUTU MIRAH DIANTARI (C1115026)
4. PUTU AGUS ARYA SEMARA PUTRA (C1115027
5. I PT OGI PANDU PRASTHA NEGARA (C1115028)

PROGRAM STDUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BINA USADA BALI
BADUNG
2016
INKONTENENSIA URINE

LAPORAN PENDAHULUAN
1. Definisi
Inkontinensia didefinisikan sebagai berkemih ( defekasi ) di luar kesadaran,
pada waktu dan tempat yang tidak tepat, dan menyebabkan masalah kebersihan
atau social ( Watson, 1991 ). Terdapat dua aspek social yang sangat penting dalam
definisi inkontinensia ini. Inkontinensia yang diderita oleh klien mungkin tidak
menimbulkan sejumlah masalah yang nyata bagi teman atau keluarganya. Aspek
social yang lain yaitu adanya konsekuensi yang ditimbulkan inkontinensia
terhadap individu yang mengalminya, antara lain klien akan kehilangan harga diri,
juga merasa terisolasi dan depresi.
Faktor yang berkonstribusi terhadap perkembangan inkontinensia adalah
factor fisiologis dan psikologis. Faktor psikologis dapat mencakup depresi dan
apatis, yang dapat meperberat kondisi sehingga sulit untuk mengatasi masalah
kearah normal. Beberapa kondisi psikiatrik dan kerusakan otak organic seperti
demensia, dapat juga menyebabkan inkontinensia. Faktor anatomis dan fisiologis
dapat mencakup kerusakan saraf spinal, yang menghancurkan mekanisme normal
untuk berkemih dan rasa ingin menghentikannya. Penglihatan yang kurang jelas,
infeksi saluran perkemihan, dan medikasi tertentu seperti diuretic juga
berhubungan dengan inkontinensia. Selain itu, wnaita yang melahirkan dan laki –
laki dengan protatism, cenderung mengalami kerusakan kandung kemih yang
dapat menyebabkan inkotinansia, akibat trauma atau pembedahan.

2. Etiologi
Terdapat sejumlah alasan terjadinya inkontinensia, baik yang disebabkan oleh
semua factor diatas maupun masalah klinis yang berhubungan. Alasan utama pada
lansia adalah adanya “ ketidakstabilan kandung kemih “. Beberapa kerusakan
persyarafan mengakibatkan sesorang tidak mampu mencegah kontraksi otot
kandung kemih secara efektif ( otot detrusor ) dan mungkin juga dipersulit oleh
masalah lain, seperti keterbatasan gerak atau konfusi. Keinginan untuk miksi
datang sangat cepat dan sangat mendesak pada seseorang sehingga penderita tidak
sempat pergi ke toilet, akibatnya terjadi inkontinensia, kejadian yang sama
mungkin dialami pada saat tidur.
Pada wanita, kelemahan otot spingter pada outlet sampai kandung kemih
seringkali disebabkan oleh kelahiran multiple sehingga pengeluaran urine dari
kandung kemih tidak mampu dicegah selama masa peningkatan tekanan pada
kandung kemih. Adanya tekanan di dalam abdomen, seperti bersin, batuk, atau
saat latihan juga merupakan factor konstribusi.
Pembesaran kelenjar prostat pada pria adalah penyabab yang paling umum
terjadinya obstruksi aliran urine dari kandung kemih. Kondisi ini menyebabkan
inkontinensia karena adanya mekanisme overflow. Namun, inkontinensia ini
dapat juga disebabkan oleh adanya obstruksi yang berakibat konstipasi dan juga
adanya massa maligna ( cancer ) dalam pelvis yang dialami oleh pria dan wanita.
Akibat dari obstruksi, tonus kandung kemih akan menghilang sehingga disebut
kandung kemih atonik. Kandung kemih yang kondisinya penuh gagal
berkontraksi, akan tetapi kemudian menyebabkan overflow, sehingga terjadi
inkontinensia.
Apapun penyebabnya, inkontinensia dapat terjadi saat tekanan urine di dalam
kandung kemih menguasai kemampuan otot spingter internal dan eksternal ( yang
berturut – turut baik secara sadar maupun tidak sadar ) untuk menahan urine, tetap
berada dalam kandung kemih

3. Epidemiologi
Kasus inkontinensia urin cenderung tidak dilaporkan, karena penderita merasa
malu dan menganggap tidak ada yang dapat dilakukan untuk menolongnya.
Penderita juga mendapat benturan sosial yaitu kondisi masyarakat sekitar yang
akan menjauhinya bila ia diketahui menderita penyakit ini. Penelitian
epidemiologi terhadap penyakit ini pun sulit untuk dilakukan karena beragamnya
subjek penelitian, metode kuisioner dan definisi inkontinensia yang digunakan.
Namun secara umum prevalensinya meningkat sesuai dengan pertambahan umur.
Sekitar 50% lansia di instalasi perawatan kronis dan 11-30% di masyarakat
mengalami inkontinensia urin. Sedangkan berdasarkan gender, penyakit ini
cenderung lebih sering dialami oleh wanita dengan perbandingan 1,5 : 1 terhadap
pria.
Berdasarkan survei oleh Divisi Geriatri Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSCM
tahun 2002 pada 208 orang usia lanjut di lingkungan Pusat Santunan Keluarga di
Jakarta, didapati bahwa angka inkontinensia stress mencapai 32,2%. Sedangkan
survei yang dilakukan oleh Poliklinik Geriatri RSCM pada tahun 2003 terhadap
179 pasien didapati angka kejadian inkontinensia urin stress pada laki-laki sebesar
20,5% dan pada perempuan sebesar 32,5%.
Pada penelitian yang dilakukan di Australia, didapatkan 7% pria dan 12%
wanita diatas usia 70 tahun mengalami inkontinensia. Sedangkan mereka yang
dirawat, terutama di unit psiko-geriatri, 15-50% diantaranya menderita
inkontinensia. Sedangkan melalui penelitiannya, seorang ahli bernama Fonda
mendapatkan 10% pria dan 15% wanita diatas 65 tahun di Australia menderita
inkontinensia.
Pada penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat oleh National Overactive
Bladder Evaluation (NOBLE) dengan 5204 orang sebagainya sampelnya,
menyimpulkan suatu perkiraan bahwa 14,8 juta perempuan dewasa di Amerika
Serikat menderita inkontinensia urin dengan sepertiganya (34,4%) merupakan
inkontinensia urin tipe campuran.
Seorang ahli bernama Dioko serta timnya melakukan penelitian pada 1150
orang secara acak dan mendapati 434 orang diantaranya menderita inkontinensia
urin. Dari mereka yang mengalami inkontinensia urin, didapati bahwa 55,5%
diantaranya merupakan tipe campuran, 26,7% merupakan tipe stress saja, 9% tipe
urgensi saja dan 8,8% memiliki komplikasi lain.
Seringkali penderita inkontinensia berpikir dengan mengurangi asupan cairan
berupa minuman akan mengurangi frekuensi miksi. Namun hal ini akan
berbahaya karena menganggu keseimbangan cairan dan elektrolit. Kapasitas
kandung kemih pun semakin lama akan semakin menurun yang justru akan
memperberat keluhan inkontinensianya. Sebenarnya bila penyakit ini diobati
secara tepat maka inkontinensianya dapat diupayakan menjadi lebih ringan
sehingga penderita menjadi lebih nyaman dan memudahkan juga bagi yang
merawat serta mengurangi kemungkinan komplikasi serta biaya perawatan.

4. KLASIFIKASI
Terdapat beberapa macam klasifikasi inkontinensia urine, di sini hanya dibahas
beberapa jenis yang paling sering ditemukan yaitu :
a. Inkontinensia stres (Stres Inkontinence)
Inkontinensia stres biasanya disebabkan oleh lemahnya mekanisme
penutup. Keluhan khas yaitu mengeluarkan urine sewaktu batuk, bersin,
menaiki tangga atau melakukan gerakan mendadak, berdiri sesudah
berbaring atau duduk. Gerakan semacam itu dapat meningkatkan tekanan
dalam abdomen dan karena itu juga di dalam kandung kemih. Otot uretra
tidak dapat melawan tekanan ini dan keluarlah urine. Kebanyakan keluhan
ini progresif perlahan-lahan; kadang terjadi sesudah melahirkan.
Akibatnya penderita harus sering menganti pakaian dalam dan bila perlu
juga pembalut wanita. Frekuensi berganti pakaian, dan juga jumlah
pembalut wanita yang diperlukan setiap hari, merupakan ukuran
kegawatan keluhan inkontinensia ini.
Biasanya dalam pemeriksaan badan tidak dijumpai kelainan pada
ginjal dan kandung kemih. Pada pemeriksaan vulva ternyata bahwa
sewaktu mengejan dapat dilihat dinding depan vagina. Informasi yang
penting bisa diperoleh dengan percobaan Marshall-Marchetti. Penderita
diminta untuk berkemih di WC sampai habis. Dalam posisi ginekologis
dimasukan kateter ke dalam kandung kemih. Ditentukan jumlah urine
yang tersisa. Kemudian diikuti oleh pengisian kandung kemih dengan air
sampai penderita merasa ingin berkemih. Dengan demikian ditentukan
kapasitas kandung kemih. Normalnya seharusnya 400-450 ml. Kemudian
dicoba menirukan stres yang mengakibatkan pengeluaran urine dengan
meminta penderita batuk. Jika pada posisi berbaring tidak terjadi
pengeluaran urine, maka percobaan diulang pada posisi berdiri dengan
tungkai dijauhkan satu sama lain.
Pada inkontinensia stres sejati, harus terjadi pengeluaran urine
pada saat ini. Kemudian dicoba dengan korentang atau dengan dua jari
menekan dinding depan vagina kanan dan kiri sedemikian rupa ke arah
kranial sehingga sisto-uretrokel hilang. Penderita diminta batuk lagi. Bila
sekarang pengeluaran urine terhenti maka ini menunjukkan penderita akan
dapat disembuhkan dengan operasi kelainan yang dideritanya.
b. Inkontinensia desakan (Urgency Inkontinence)
Inkontinensia desakan adalah keluarnya urine secara involunter
dihubungkandengan keinginan yang kuat untuk mengosongkannya
(urgensi). Biasanya terjadi akibat kandung kemih tak stabil. Sewaktu
pengisian, otot detusor berkontraksi tanpa sadar secara spontan maupun
karena dirangsang (misalnya batuk). Kandung kemih dengan keadaan
semacam ini disebut kandung kemih tak stabil. Biasanya kontraksinya
disertai dengan rasa ingin miksi. Gejala gangguan ini yaitu urgensi,
frekuensi, nokturia dan nokturnal enuresis.
Penyebab kandung kemih tak stabil adalah idiopatik, diperkirakan
didapatkan pada sekitar 10% wanita, akan tetapi hanya sebagian kecil yang
menimbulkan inkontinensia karena mekanisme distal masih dapat
memelihara inkontinensia pada keadaan kontraksi yang tidak stabil. Rasa
ingin miksi biasanya terjadi, bukan hanya karena detrusor (urgensi
motorik), akan tetapi juga akibat fenomena sensorik (urgensi sensorik).
Urgensi sensorik terjadi karena adanya faktor iritasi lokal, yang sering
dihubungkan dengan gangguan meatus uretra, divertikula uretra, sistitis,
uretritis dan infeksi pada vagina dan serviks. Burnett, menyebutkan
penyebabnya adalah tumor pada susunan saraf pusat, sklerosis multipel,
penyakit Parkinson, gangguan pada sumsum tulang, tumor/batu pada
kandung kemih, sistitis radiasi, sistitis interstisial. Pengobatan ditujukan
pada penyebabnya. Sedang urgensi motorik lebih sering dihubungkan
dengan terapi suportif, termasuk pemberian sedativa dan antikolinegrik.
Pemeriksaan urodinamik yang diperlukan yaitu sistometrik.
c. Inkontinensia luapan (Overflow Incontinence)
Inkontinensia luapan yaitu keluarnya urine secara involunter ketika
tekanan intravesikal melebihi tekanan maksimal maksimal uretra akibat
dari distensi kandung kemih tanpa adanya aktifitas detrusor. Terjadi pada
keadaan kandung kemih yang lumpuh akut atau kronik yang terisi terlalu
penuh, sehingga tekanan kandung kemih dapat naik tinggi sekali tanpa
disertai kontraksi sehingga akhirnya urine menetes lewat uretra secara
intermitten atau keluar tetes demi tetes.
Penyebab kelainan ini berasal dari penyakit neurogen, seperti
akibat cedera vertebra, sklerosis multipel, penyakit serebrovaskular,
meningomyelokel, trauma kapitis, serta tumor otak dan medula spinalis.
Corak atau sifat gangguan fungsi kandung kemih neurogen dapat berbeda,
tergantung pada tempat dan luasnya luka, koordinasi normal antara
kandung kemih dan uretra berdasarkan refleks miksi, yang berjalan
melalui pusat miksi pada segmen sakral medula spinalis. Baik otot
kandung kemih maupun otot polos dan otot lurik pada uretra dihubungkan
dengan pusat miksi.
Otot lurik periuretral di dasar panggul yang menjadi bagian penting
mekanisme penutupan uretra juga dihubungkan dengan pusat miksi sakral.
Dari pusat yang lebih atas di dalam otak diberikan koordinasi ke pusat
miksi sakral. Di dalam pusat yang lebih atas ini, sekaligus masuk isyarat
mengenai keadaan kandung kemih dan uretra, sehingga rasa ingin miksi
disadari. Refleks miksi juga dipengaruhi melalui pleksus pelvikus oleh
persarafan simpatis dari ganglion yang termasuk L 1, L2, L3. Pada lesi,
dapat terjadi dua jenis gangguan pada fungsi kandung kemih yaitu :
1)Lesi Nuklear (tipe LMN)
Pada lesi di pusat sakral yang menyebabkan rusaknya lengkung
refleks terjadi kelumpuhan flasid pada kandung kemih dan dasar
panggul. Sehingga miksi sebenarnya lenyap.
2) Lesi Supranuklear (Tipe UMN)
Lesi terjadi di atas pusat sakral, dengan pusat miksi sakral dan
lengkung refleks yang tetap utuh, maka hilangnya pengaruh pusat
yang lebih atas terhadap pusat miksi. Miksi sakral menghilangkan
kesadaran atas keadaan kandung kemih. Terjadi refleks kontraksi
kandung kemih yang terarah kepada miksi yang otomatis tetapi
tidak efisien karena tidak ada koordinasi dari pusat yang lebih atas.
Sering kontraksi otot dasar panggul bersamaan waktunya dengan
otot kandung kemih sehingga miksi yang baik terhalang. Juga
kontraksi otot kandung kemih tidak lengkap sehingga kandung
kemih benar-benar dapat dikosongkan.
d. Fistula urine
Fistula urine sebagian besar akibat persalinan, dapat terjadi
langsung pada waktu tindakan operatif seperti seksio sesar, perforasi dan
kranioklasi, dekapitasi, atau ekstraksi dengan cunam. Dapat juga timbul
beberapa hari sesudah partus lama, yang disebabkan karena tekanan kepala
janin terlalu lama pada jaringan jalan lahir di tulang pubis dan simfisis,
sehingga menimbulkan iskemia dan kematian jaringan di jalan lahir.
Operasi ginekologis seperti histerektomi abdominal dan vaginal,
operasi plastik pervaginam, operasi radikal untuk karsinoma serviks uteri,
semuanya dapat menimbulkan fistula traumatik. Tes sederhana untuk
membantu diagnosis ialah dengan memasukan metilen biru 30 ml kedalam
rongga vesika. Akan tampak metilen biru keluar dari fistula ke dalam
vagina.
Untuk memperbaiki fistula vesikovaginalis umumnya dilakukan
operasi melalui vagina (transvaginal), karena lebih mudah dan komplikasi
kecil. Bila ditemukan fistula yang terjadi pasca persalinan atau beberapa
hari pascah bedah, maka penanganannya harus ditunda tiga bulan. Bila
jaringan sekitar fistula sudah tenang dan normal kembali operasi baru
dapat dilakukan.
5. PATOFISIOLOGI
Inkontinensia urine bisa disebabkan oleh karena komplikasi dari penyakit
infeksi saluran kemih, kehilangan kontrol spinkter atau terjadinya perubahan
tekanan abdomen secara tiba-tiba. Inkontinensia bisa bersifat permanen misalnya
pada spinal cord trauma atau bersifat temporer pada wanita hamil dengan struktur
dasar panggul yang lemah dapat berakibat terjadinya inkontinensia urine.
Meskipun inkontinensia urine dapat terjadi pada pasien dari berbagai usia,
kehilangan kontrol urinari merupakan masalah bagi lanjut usia.
Proses berkemih normal merupakan proses dinamis yang memerlukan
rangkaian koordinasi proses fisiologik berurutan yang pada dasarnya dibagi
menjadi 2 fase. Pada keadaan normal selama fase pengisian tidak terjadi
kebocoran urine, walaupun kandung kemih penuh atau tekanan intra-abdomen
meningkat seperti sewaktu batuk, meloncat-loncat atau kencing dan peningkatan
isi kandung kemih memperbesar keinginan ini. Pada keadaan normal, dalam hal
demikian pun tidak terjadi kebocoran di luar kesadaran. Pada fase pengosongan,
isi seluruh kandung kemih dikosongkan sama sekali. Orang dewasa dapat
mempercepat atau memperlambat miksi menurut kehendaknya secara sadar, tanpa
dipengaruhi kuatnya rasa ingin kencing. Cara kerja kandung kemih yaitu sewaktu
fase pengisian otot kandung kemih tetap kendor sehingga meskipun volume
kandung kemih meningkat, tekanan di dalam kandung kemih tetap rendah.
Sebaliknya otot-otot yang merupakan mekanisme penutupan selalu dalam keadaan
tegang. Dengan demikian maka uretra tetap tertutup. Sewaktu miksi, tekanan di
dalam kandung kemih meningkat karena kontraksi aktif otot-ototnya, sementara
terjadi pengendoran mekanisme penutup di dalam uretra. Uretra membuka dan
urine memancar keluar. Ada semacam kerjasama antara otot-otot kandung kemih
dan uretra, baik semasa fase pengisian maupun sewaktu fase pengeluaran. Pada
kedua fase itu urine tidak boleh mengalir balik ke dalam ureter (refluks).
Proses berkemih normal melibatkan mekanisme dikendalikan dan tanpa
kendali. Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada dibawah control
volunter dan disuplai oleh saraf pudenda, sedangkan otot detrusor kandung kemih
dan sfingter uretra internal berada di bawah kontrol sistem safar otonom,yang
mungkin dimodulasi oleh korteks otak. Kandung kemih terdiri atas 4 lapisan,
yakni lapisan serosa, lapisan otot detrusor, lapisan submukosa dan lapisanmukosa.
Ketika otot detrusor berelaksasi, pengisian kandung kemih terjadi dan bila otot
kandung kemih berkontraksi pengosongan kandung kemih atau proses berkemih
berlangsung. otot detrusor adalah otot kontraktil yang terdiri atas beberapa lapisan
kandung kemih. Mekanisme detrusor meliputi otot detrusor,saraf pelvis, medula
spinalis dan pusat saraf yang mengontrol berkemih. Ketikakandung kemih
seseorang mulai terisi oleh urin, rangsangan saraf diteruskan melalui saraf pelvis
dan medula spinalis ke pusar saraf kortikal dan subkortikal. Pusat subkortikal
(pada ganglia basal dan serebelum) menyebabkan kandung kemih berelaksasi
sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk
berkemih. Ketika pengisian kandung kemih berlanjut,rasa penggebungan kandung
kemih disadari, dan pusat kortikal (pada lobusfrontal), bekerja menghambat
pengeluaran urin. Gangguan pada pusat kortikaldan subkortikal karena obat atau
penyakit dapat mengurangi kemampuan menunda pengeluaran urin. Komponen
penting dalam mekanisme sfingter adalah hubungan urethra dengan kandung
kemih dan rongga perut. Mekanisme sfingter berkemih memerlukan agulasi yang
tepat antara urethra dan kandung kemih.Fungsi sfingter urethra normal juga
tergantung pada posisi yang tepat dari urethra sehiingga dapat meningkatkan
tekanan intra-abdomen secara efektif ditrasmisikan ke uretre. Bila uretra pada
posisi yang tepat, urin tidak akan keluar pada saat tekanan atau batuk yang
meningkatkan tekanan intra-abdomen. Mekanisme dasar proses berkemih diatur
oleh refleks-refleks yang berpusat dimedula spinalis segmen sakral yang dikenal
sebagai pusat berkemih. Pada fase pengisian kandung kemih, terjadi peningkatan
aktivitas saraf otonom simpatis yang mengakibatkan penutupan leher kandung
kemih, relaksasi dinding kandung kemih serta penghambatan aktivitas
parasimpatis dan mempertahankan inversisomatik pada otot dasar panggul. Pada
fase pengosongan, aktivitas simpatis dan somatik menurun, sedangkan
parasimpatis meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan pembukaan
leher kandung kemih. Proses reflek ini dipengaruhi oleh sistem saraf yang lebih
tinggi yaitu batang otak, korteks serebri dan serebelum. Pada usia lanjut biasanya
ada beberapa jenis inkontinensia urin yaitu ada inkontinensia urin tipe stress,
inkontinensia tipe urgensi, tipe fungsional dan tipe overflow.
Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain:
Fungsi sfingter yang terganggu menyebabkan kandung kemih bocor bila batuk
atau bersin. Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran kandung
kemih, urine banyak dalam kandung kemih sampai kapasitas berlebihan. Seiring
dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi
organ kemih, antara lain : melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan
berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan
seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan)
abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru
terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih. Penyebab Inkontinensia
Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah,
efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan
kemampuan/keinginan ke toilet. Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa
karena infeksi. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urine
berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes
melitus, yang harus terus dipantau
Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi akibat
kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan
(obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina.
Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan
melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses
persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot
dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan
risiko terjadinya inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen
pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus
otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan
terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau
kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga berisiko mengakibatkan
inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar kemungkinan mengalami
inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot
dasar panggul.

6. Manifestasi Klinis
a. Inkontinensia stress : Keluarnya urin selama batuk, mengedan, dan
sebagainya. Gejala-gejala ini sangat spesifik untuk inkontinensia stress.
b. Inkontinensia urgensi : ketidak mampuan menahan keluarnya urin dengan
gambaran seringnya terburu-buru untuk berkemih.
c. Enuresis nocturnal : 10% anak usian 5 tahun dan 5% anak usia 10 tahun
mengompol selama tidur. Mengompol pada anak yang lebih tua merupakan
sesuatu yang abnormal dan menunjukan adanya kandung kemih yang tidak
stabil.
d. Gejala infeksi urine (frekuensi, disuria, nokturia), obstruksi(pancara lemah,
menetes), trauma (termasuk pembedahan, misalnya reseksi
abdominoperineal), fistula (menetes terus menerus), penyakit neurologis
(disfungsi seksual atau usus besar) atau penyakit sistemik (misalnya diabetes)
dapat menunjukan penyakit yang mendasari.
e. Ketidak nyamanan daerah pubis.
f. Distensi vesika urinaria.
g. Ketidak sanggupan untuk berkemih.
h. Sering berkemih, saat vesika urinaria berisi sedikit urine (20-50 ml)
i. Ketidak seimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan asupannya.
j. Meningkatkan keresahan dan keinginanan berkemih.
k. Adanya urine sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih.
l. Tidak merasakan urine keluar.
m. Kandung kemih terasa penuh walaupun telah buang air kecil.

7. PENCEGAHAN
a. Menjaga diri agar terhindar dari penyakit yang dapat menyebabkannya.
b. berhenti merokok dan jauhi asap rokok orang lain.
c. Makan tinggi serat agar terhindari dari sembelit.
d. Berhenti mengkonsumsi alkohol.
e. Mengurangi konsumsi caffein dan minuman bersoda.
f. Menjadi pribadi yang aktif secara fisik dan rutin berolah raga.
g. Mengontrol berat badan agar tidak menjadi kegemukan.
h. Jangan menahan-nahan keinginan untuk BAK.
i. Untuk wanita: jangan terlalu sering hamil dan melahirkan.

8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIC
a. Urinallisis, digunakan untuk melihat apakan ada bakteri, darah dan glukosa
dalam urine.
b. Uroflowmetry digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan
menunjukkan obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju
aliran ketika pasien berkemih.
c. Cysometri digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuscular kandung kemih
dengan mengukur efisiensi reflex otot detrusor, tekanan dan kapasitas
intravesikal dan reaksi kandung kemih terhadap rangsangan panas.
d. Urografi ekskretorik, disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk
mengevaluasi struktur dan fungsi ginjal, ureter, dan kandung kemih.
e. Volding cystourethrography digunakan untuk mendeteksi ketidaknormalan
kandung kemih dan uretra serta mengkaji hipertrofi lobus prostat, striktur
uretra, dan tahap gangguan uretra prostatic stenosis ( pada pria ).
f. Uretrografi retrograde, digunakan hampir secara ekslusif pada pria,
membantu diagnosis striktur dan obstruksi orifisium uretra.
g. Elektromiografi sfingter pada pasien pria dapat menunjukkan pembesaran
prostat atau nyeri, kemungkinan menanndakan hipertrofi prostat jinak atau
infeksi. Pemeriksaan tersebut juga dapat menunjukkan impaksi yang mungkin
menyebabkan inkontinensia.
h. Pemeriksaan vagina dapat memperlihatkan kekeringan vagina atau vaginitis
atrofi, yang menandakan kekuranagn estrogen.
i. Katerisasi residu pescakemih digunakan untuk menentukan luasnya
pengosongan kandung kemih dan jumlah urine yang tersisa dalam kandung
kemih setelah pasien berkemih.

9. PENATALAKSANAAN
Ada beberapa cara untuk menangani pasien dengan kasus inkontinensia urin.
Umumnya dapat berupa tatalaksana farmakologis, non-farmakologis maupun
pembedahan. Prinsipnya adalah penderita inkontinensia tidak dapat ditangani
hanya dengan satu modalitas terapi, tetapi melalui serangkaian terapi yang
dilakukan secara simultan. Spektrum modalitas terapi yang dilakukan
meliputi:
a. Terapi non farmakologis, yaitu:
1) Terapi suportif non-spesifik (edukasi, manipulasi lingkungan, pakaian
dan pads tertentu)
2) Intervensi tingkah laku (latihan otot dasar panggul, latihan kandung
kemih, penjadwalan berkemih)
b. Terapi medika mentosa
c. Operasi
d. Kateterisasi
Keberhasilan penanganan pasien inkontinensia sangat bergantung pada
ketepatan diagnosis dalam penentuan tipe inkontinensia, faktor yang berkontribusi
secara reversibel dan problem medik akut yang dialami.
Intervensi pada tingkah laku pasien sangat memerlukan kerja sama yang baik
dari pasien tersebut. Secara umum yang dapat kita lakukan ialah meliputi edukasi
pada pasien dan pengasuhnya. Intervensi perilaku yang dapat meliputi bladder
training, habit training, prompted voiding dan latihan dasar otot panggul.
Sedangkan teknik yang menggunakan alat seperti stimulasi elektrik, biofeedback
dan neuromodulasi dapat melengkapi teknik perilaku ini.
Apa saja intervensi tingkah laku yang dapat dilakukan? Berikut adalah daftar
hal yang dapat dilakukan dalam terapi non farmakologis ini.
1) Bladder training
Merupakan suatu jenis terapi yang cukup efektif dibanding teknik non
farmakologik lainnya. Terapi ini bertujuan memperpanjang interval
berkemih yang normal sehingga hanya mencapai 6-7 kali sehari atau 3-4
jam sekali. Pasien diharapkan dapat menahan sensasi untuk berkemih.
Misalnya awalnya interval waktu satu jam, kemudian ditingkatkan
perlahan hingga 2-3 jam. Agar tidak lupa, dapat dibuat catatan harian
untuk berkemih. Apabila pasien tidak mampu lagi menahan sensasi
kemihnya, maka ia diperbolehkan berkemih sebelum waktunya namun
akan dicatat dalam catatan hariannya. Sebisa mungkin catat volume urin
yang keluar pada saat miksi dan jumlah urin yang bocor.Fakta yang
menarik yang penulis dapatkan ialah bila seseorang tergoda untuk segera
ke kamar kecil untuk muncul dorongan berkemih, maka kandung
kemihnya dapat terangsang dengan gerakan yang tergesa-gesa tersebut.
Latihan kandung kemih ini terbukti efektif terhadap inkontinensia tipe
stress maupun tipe urgensi.
2) Latihan dasar otot panggul
Merupakan suatu jenis latihan yang dikembangkan oleh Arnold Kegel
pada tahun 1884. Berdasarkan penelitiannya, Arnold Kegel menemukan
tingkat perbaikan dan kesembuhan pada 84% subjek penelitian yaitu
wanita yang menderita inkontinensia berbagai tipe. Latihan yang
dilakukan oleh Arnold Kegel ini sekarang lebih dikenal dengan nama
Senam Kegel.
Seperti yang kita ketahui bersama, otot pelvis seperti otot lainnya
dapat mengalami kelemahan akibat bertambahnya usia,. Latihan pada otot
pelvis dapat memperkuat otot-otot yang lemah di sekitar kandung kemih.
Secara sederhana latihan yang dapat dilakukan dideskripsikan mirip
dengan usaha otot kita sewaktu menahan untuk tidak flatus.
Latihan ini dapat dilakukan beberapa kali sehari dengan waktu 10
menit untuk tiap kali latihan. Dapat dipraktikkan dimana saja, paling baik
saat berbaring di tempat tidur. Pada saat melakukan latihan, usahakan
bernapas dengan normal dan tidak menggunakan otot paha, betis dan
perut. Setelah melakukan latihan ini selama 4-6 minggu, diharapkan akan
ada perbaikan kondisi yaitu berkurangnya kebocoran urin.
3) Latihan untuk menahan dorongan berkemih
Untuk mengurangi rasa ingin berkemih, cara ini dapat digunakan bila
dorongan tersebut muncul:
a) Berdiri tenang maupun duduk diam, lebih baik jika kaki
disilangkan agar mencegah rangsang berlebihan dari kandung
kemih.
b) Tarik napas teratur dan relaks.
c) Kontraksikan otot dasar panggul beberapa kali. Ini akan
membantu penutupan uretra dan menenangkan kandung kemih.
d) Bila rangsang berkemih sudah menurun, jangan ke toilet
sebelum tiba waktunya.
Latihan yang ada diatas membutuhkan waktu yang cukup lama. Namun
bila dilakukan dengan sabar, hasilnya cukup memuaskan. Sedangkan terapi
biofeedback dapat digunakan agar pasien mampu menahan kontraksi
involunter otot detrusor dari kandung kemih. Stimulasi elektrik menggunakan
kejutan kontraksi otot pelvis dengan alat bantu pada vagina dan rektum.
Neuromodulasi merupakan terapi yang menggunakan stimulasi saraf sakral.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa neuromodulasi merupakan salah
satu cara yang dapat menangani kandung kemih yang hiperaktif dengan baik.
Terapi yang menggunakan obat (farmakologis) merupakan terapi yang
terbukti efektif terhadap inkontinensia urin tipe stress dan urgensi. Terapi ini
dapat dilaksanakan bila upaya terapi non-farmakologis telah dilakukan namun
tidak dapat mengatasi masalah inikontinensia tersebut.

Berikut adalah obat-obat yang dapat digunakan pada pasien dengan inkontinensia
urin:
Obat Yang Digunakan Untuk Inkontinensia Urin
Obat Dosis Tipe Inkontinensia Efek Samping
Hyoscamin 3 x 0,125 Urgensi atau Mulut kering, mata kabur,
mg campuran glaukoma, derilium,
konstipasi
Tolterodin 2 x 4 mg Urgensi atau OAB Mulut kering, konstipasi
Imipramin 3 x 25-50 Urgensi Derilium, hipotensi
mg ortostatik
Pseudoephedrin 3 x 30-60 Stress Sakit kepala, takikardi,
mg hipertensi
Topikal Urgensi dan Stress Iritasi lokal
estrogen
Doxazosin 4 x 1-4 mg BPH dengan Hipotensi postural
Urgensi
Tamsulosin 1 x 0,4-0,8
mg
Terazosin 4 x 1-5 mg

Penggunaan fenilpropanolamin sabagai obat inkontenensia urin tipe


stress sekarang telah dihentikan karena hasil uji klinik yang menunjukkan
adanya resiko stroke pasca penggunaan obat ini. Sebagai gantinya digunakan
pseudoefedrin. Namun penggunaan pseudoefedrin pun jarang ditemukan pada
usia lanjut karena adanya masalah hipertensi, aritmia jantung dan angina.
Pembedahan merupakan langkah terakhir yang dilakukan untuk masalah
inkontinensia bila terapi secara farmakologis dan non-farmakologis tidak
berhasil dilakukan. Pembedahan yang sering dilakukan ialah berupa
pemasangan kateterisasi yang menetap. Namun penggunaan kateterisasi ini
harus benar-benar dibatasi pada indikasi yang tepat. Misalnya adanya ulkus
dekubitis yang terganggu penyembuhannya karena adanya inkontinensia urin
ini. Komplikasi yang dapat timbul sebagai efek dari penggunaan kateter ialah
timbulnya batu saluran kemih, abses ginjal bahkan proses keganasan pada
saluran kemih.
Pada laki-laki dengan obstruksi saluran kemih akibat hipertrofi prostat
dapat dilakukan pembedahan untuk mencegah timbulnya inkontinensia tipe
overflow di kemudian hari. Selain itu, ada pula teknik pembedahan yang
bertujuan melemahkan otot detrusor misalnya dengan menggunakan
pendekatan postsakral maupun paravaginal. Teknik pembedahan ini
contohnya ialah transeksi terbuka kandung kemih, transeksi endoskopik,
injeksi penol periureter dan sitolisis.

10. DIAGNOSA BANDING


a. Inkontinensia Urin Akut Reversibel
Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tak dapat pergi
ke toilet sehingga berkemih tidak pada tempatnya. Bila delirium teratasi
maka inkontinensia urin umumnya juga akan teratasi. Setiap kondisi yang
menghambat mobilisasi pasien dapat memicu timbulnya inkontinensia urin
fungsional atau memburuknya inkontinensia persisten, seperti fraktur
tulang pinggul, stroke, arthritis dan sebagainya.
Resistensi urin karena obat-obatan, atau obstruksi anatomis dapat
pula menyebabkan inkontinensia urin. Keadaan inflamasi pada vagina dan
urethra (vaginitis dan urethritis) mungkin akan memicu inkontinensia urin.
Konstipasi juga sering menyebabkan inkontinensia akut.
Berbagai kondisi yang menyebabkan poliuria dapat memicu
terjadinya inkontinensia urin, seperti glukosuria atau kalsiuria. Gagal
jantung dan insufisiensi vena dapat menyebabkan edema dan nokturia
yang kemudian mencetuskan terjadinya inkontinensia urin nokturnal.
Berbagai macam obat juga dapat mencetuskan terjadinya inkontinensia
urin seperti Calcium Channel Blocker, agonist adrenergic alfa, analgesic
narcotic, psikotropik, antikolinergik dan diuretic. Untuk mempermudah
mengingat penyebab inkontinensia urin akut reversible dapat dilihat tabel
akronim di samping ini.

b. Inkontinensia Urin Persisten


Inkontinensia urin persisten dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara,
meliputi anatomi, patofisiologi dan klinis. Untuk kepentingan praktek
klinis, klasifikasi klinis lebih bermanfaat karena dapat membantu evaluasi
dan intervensi klinis.

11. PROGNOSIS
Inkontinensia urin tipe stress biasanya dapat diatasi dengan latihan otot dasar
panggul, prognesia cukup baik. Inkontinensia urin tipe urgensi atau overactive
blader umumnya dapat diperbaiki dengan obat – obat golongan
antimuskarinik, prognosis cukup baik. Inkontinensia urin tipe overflow,
tergantung pada penyebabnya (misalnya dengan mengatasi sumbatan / retensi
urin).

LAMPIRAN
PATHWAY
LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA

Wirautami,adisty.” Laporan pendahuluan Inkontinensia”. Jumat,25 september


2015.http://adistywirautami.blogspot.co.id/2015/09/laporan-pendahuluan-
inkontinensia.html

Nurhasanah,Dewi.” INKONTINENSIA URIN”.8 januari


2014.http://dewinrhasanah.blogspot.co.id/2014/01/inkontinensia-urin.html

Hidayah,Nur. ” Inkontinensia Urine”. 16 september


2012.http://askephidayah.blogspot.co.id/2012/09/inkontinensia-urine.html

https://id.scribd.com/doc/198771799/Penatalaksanaan-Dan-Pencegahan-
Inkontinensia-Urine

Setianingsih, Nur oktif.” ASUHAN KEPERAWATAN INKONTINENSIA


URIN”. 4 september 2015.
http://materiilmuankeperawatan.blogspot.co.id/2015/09/asuhan-
keperawatan-inkotenensia-urin.html

Anda mungkin juga menyukai