Anda di halaman 1dari 11

Proses Dalam Peradilan Islam

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
serta karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah
dengan judul “ Proses Dalam Peradilan Islam” dengan lancar.
Tentunya, makalah ini tidak dapat terselesaikan tanpa pengarahan dari guru
pembimbing serta semangat dari rekan-rekan seperjuangan. Oleh karenanya, penulis
mengucapkan terima kasih kepada guru pembimbing yang telah memberikan pengarahan
dalam pembuatan makalah. Tak lupa pula penulis ucapkan terimakasih kepada rekan – rekan
yang telah memberikan segenap pemikiran yang bersifat membangun. Secara khusus penulis
juga mengucapkan terimakasih kepada Ayah dan Bunda tercinta yang selalu mencurahkan
Do’a restunya kepada penulis.
Makalah ini merupakan pokok- pokok pemikiran penulis selaku siswa, tentunya
makalah ini masih mengandung berbagai kekurangan. Kekurangan yang ada akan selalu
dilengkapi terus – menerus dalam waktu – waktu yang akan datang. Oleh karena itu, masukan
dari berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung akan sangat kami harapkan. Hal –
hal yang belum tercantum dalam makalah ini akan diatur kemudian.
Besar harapan penulis agar makalah yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi
masyarakat luas serta menjadi ilmun yuntafa’un bihi.
Amin yaa robbal ‘alamin

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Warga negara biasa di Indonesia sering kali merasa frustrasi ketika berusaha
mendapatkan keadilan, karena ruwetnya proses hukum yang berlaku di sini. Meskipun vonis
sudah ditetapkan, para pihak masih bisa mengajukan banding ke pengadilan tinggi sehingga
putusan hukum harus tertunda. Ketika pengadilan tinggi sudah mengambil keputusan, para
pihak masih bisa lagi mengajukan kasasi. Maka putusan hukum kembali tertunda. Akibatnya,
dalam sistem peradilan warisan penjajah Belanda ini ribuan kasus tertunda dan mengantri di
Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, sementara kasus-kasus baru terus bertambah setiap
hari. Realitas semacam ini hanya akan mendorong para pelaku kejahatan, yang mengerti
selukbeluk sistem peradilan, mengulur-ulur putusan hukum. Sebab, sekalipun vonis sudah
dijatuhkan, mereka masih bisa mengajukan banding dan kasasi, sehingga keputusan hukum
bisa ditunda. Wajar bila dalam kasus sengketa tanah, misalnya, bisa memakan waktu lebih dari
20 tahun untuk sampai keputusan di tingkat kasasi MA. Itupun masih ada lagi upaya hukum
yang disebut PK atau peninjauan kembali. Jadi kapan keadilan itu akan datang? Daulah
Khilafah akan mengakhiri sistem yang berbelit-belit dan bertele-tele ini. Dalam sistem
peradilan Islam, putusan hukum yang dibuat oleh qadhi atau hakim adalah putusan yang final.
Tidak ada lagi mahkamah banding. Jadi, tidak ada satu pun pihak yang dapat merubah putusan
qadhi itu. Kecuali jika vonis tersebut bertentangan dengan syariah Islam yang pasti (qath’iy),
yang tidak ada ikhtilaf di dalamnya; atau ketika hakim mengabaikan fakta yang pasti, tanpa
alasan yang jelas. Bila terjadi penyimpangan-penyimpangan seperti itu, maka kasus tersebut
bisa dibawa ke Mahkamah Madzalim. Dengan cara inilah, publik bisa mendapatkan keadilan
dalam waktu yang singkat, dan tidak membebani pengadilan dengan antrian kasus yang sangat
panjang. Para pelaku kejahatan pun tidak bisa lepas dari rasa takut, karena vonis yang
ditetapkan pengadilan akan segera dieksekusi.

B.     Rumusan Masalah


1.       Apakah pengertian pengadilan ?
2.       Apakah fungsi peradilan ?
3.       Apa saja hikmah yang dapat diambil dalam peradilan ?
4.       Apakah yang dimaksud dengan hakim ?
5.       Bagaimana cara menjatuhkan hukuman dalam peradilan
6.       Bagaimana kedudukan hakim wanita dalam islam ?
7.       Apa bukti keabsahan dalam peradilan ?

C.    Tujuan Masalah


1.      Menjelaskan pengertian tentang peradilan.
2.      Mengetahui fungsi dalam peradilan.
3.      Mengetahui apa saja hikmah dalam peradilan.
4.      Menjelaskan pengertian tentang hakim.
5.      Memahami bagaimana cara menjatuhkan hukuman dalam peradilan.
6.      Memahami kedudukan hakim wanita dalam islam .
7.      Mengerti bukti keabsahan dalam peradilan.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    PERADILAN
1.      Pengertian Peradilan
Kata peradilan merupakan terjemahan dari bahasa arab ’qada’ jamaknya aqdiya’ yang
berarti ketetapan, keputusan, penyelesaian. Sedangkan menurut istilah peradilan merupakan
suatu lembaga pemerintah atau negara yang ditugaskan untuk menyelesaikan atau menetapkan
keputusan atas perkara dengan adil berdasarkan hukum yang berlaku.
Sedangkan pengertian pengadilan merupakan tempat untuk mengadili suatu perkara dan
orang yang bertugas mengadili suatu perkara disebut Qodhi(Hakim).
2.      Fungsi Peradilan
Sejak zaman dahulu sudah ada yang namanya Peradilan.Peradilan sangat penting dalam
kehidupan kita.Karna Peradilan berfungsi sebagai tempat untuk memutuskan perkara dan
penyelesainnya dan Peradilan Islam bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan umat dengan
tetap tegaknya hukum islam .
Dasar dibentuknya Peradilan memiliki 3 prinsip yaitu:
1.    Bahwa penerapan hukum-hukum Islam dalam setiap kondisi adalah wajib.
2.    Bahwa dilarang mengikuti syari’ah lain selain Islam.
3.    Syari’ah selain Islam adalah kufur dan batil (taghut).
Dengan kerangka seperti ini, sistem Peradilan Negara Islam dijalankan dan berdasarkan
pemahaman ini,maka definisi Peradilan dibangun berdasarkan syari’ah sehingga definisi dan
tujuan Peradilan adalah memberikan putusan-putusan yang sah untuk menetapkan berbagai
pendapat yang muncul terhadap hukum Allah dalam berbagai situasi, dengan kewenangan
untuk memaksa mereka.
Adapun fungsi peradilan islam adalah sebagai berikut :
1.    Mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa.
2.    Menciptakan ketertiban dan ketentraman masyarakat yang dibina melalui tegaknya supremasi
hukum.
3.    Mengayomi masyarakat dari ketidakadilan.
4.    Melindungi jiwa, harta, dan kehormatan masyarakat.
5.    Menciptakan kemaslahatan umat dengan tetap tegaknya hukum islam.
6.    Menegakkan amar makruf dan nahi mungkar, yaitu menyampaikan hak kepada orang yang
harus menerimanya dan menghalangi orang yang zalim dari perbuatannya.
Allah SWT Berfirman :

Artinya :
58. dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil.
3.      Hikmah Peradilan
Sesuai dengan tujuan dan fungsi perdilan,maka terdapat beberapa hikmah,diantaranya
adalah :
1.    Terciptanya keadilan bagi seluruh masyarakat ,Karena haknya dihargai.
2.    Dapat menciptakan perdamaian,karena semua perkara diputuskan dengan berlandaskan pada
kebenaran dan keadilan
3.    Terwujudnya aparatur pemerintah yang jujur,bersih,dan berwibawa
4.    Dapat mewuudkan suasana yag mendorong untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah swt
bagi semua pihak
B.     HAKIM
4.      Pengertian Hakim
Hakim menurut bahasa berarti orang yang menetapkan hukum,sedangkan menurut
istilah adalah orang yang diangkat pemerintah untuk menyelesikan persengketaan diantara
pihak dan memutuskan dengan hukum yang adil.
Rasulullah SAW bersabda :
Artinya :
Apabila seorang hakim duduk ditempatnya ( sesuai dengan kedudukan hakim adil
) maka malaikat membenarkan, menolong dan menunjukannya, selam tidak menyeleweng.
Apabila menyeleweng, maka kedua malaikat meningggalkannya (HR . Baihaqi)
Dengan kata lain Hakim adalah orang yang mengadili,karena itu hakim disebut juga
dengan nama “Qodhi” yang berarti memutuskan,mengakhiri dan menyel esaikan
masalah.Kedudukan hakim sangat mulia selama ia berlaku sangat adil.
Syarat syarat hakim
1.    Beragama islam
2.    Baligh dan berakal
3.    Berlaku adil
4.    Sehat jasmani maupun rohani
5.    Merdeka bukan hamba sahaya
6.    Seorang laki-laki(perempuan tidak diperbolehkan menjadi hakim)
7.    Dapat membaca dan menulis,terutama dalam bahasa arab
8.    Memahami hukum dalam Al Qur’an, Al Hadist,Ijma dan Qiyas
Ada 3 macam hakim dalam Islam, yaitu:
1.    Qodli ‘Aam: bertanggung jawab untuk menyelesaikan perselisihan ditengah-tengah
masyarakat, misalnya masalah sehari-hari yang terjadi didarat, tabrakan mobil, kecelakaan-
kecelakaan, dsb.
2.    Qodli Muhtasib: bertanggung jawab menyelesaikan perselisihan yang timbul diantara ummat
dan beberapa orang, yang menggangu masyarakat luas, misalnya berteriak dijalanan, mencuri
di pasar, dsb.
3.    Qodli Madzaalim: yang mengurusi permasalahan antara masyarakat dengan pejabat negara.
Dia dapat memecat para penguasa atau pegawai pemerintah termasuk khalifah.
5.      Tata cara menjatuhkan hukuman
Peradilan dalam menjatuhkan suatu hukuman, seorang hakim harus melakukan proses
dengan melalui berbagai tahapan, seperti mendengarkan dakwaan dari pendakwa atau
penuduh,memberikan kesempatan terdakwa untuk menanggapi dakwaan, memeriksa kebenaran
dakwaan melalaui bukti atau pun saksi, dan seterusnya.
Untuk lebih jelasnya gambaran dari proses tersebut, yaitu :
1.    Pendakwa atau penuduh diberikan kesempatan secukupnya untuk menyampaikan tuduhannya
sampai selesai.
2.    Terdakwa atau tertuduh diminta untuk mendengarkan, agar dapat menilai benar atau tidaknya
dakwaan tersebut.
3.    Hakim tidak boleh bertanya kepada terdakwa, sebelum dakwaan atau tuduhan selesai
disampaikan,sebab dikhawatirkan dapat memberikan pengaruh positif maupun negatife pada
terdakwa.
4.    Hakim memeriksa tuduhan-tuduhan tersebut dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang
dianggap penting, untuk menguatkan dakwaannya. Apabila terdakwa menolak, maka ia harus
bersumpah.
5.    Pendakwa harus menunjukkan bukti-bukti yang benar, untuk menguatkan dakwaannya.
Sabda Nabi saw.yang artinya “orang yang mendakwa harus menunjukan bukti dan
orang yang terdakwa harus bersumpah”(HR. Baihaqi).
Jika si pendakwa dapat memberikan bukti-bukti yang kuat maka Qadhi(Hakim) harus
menerima bukti-bukti tersebut dan sekaligus membenarkan pendakwa,meskipun terdakwa
menolak dan tidak menerima bukti-bukti tersebut.Tetapi jika terbukti bahwa bukti-bukti
tersebut lemah atau tidak masuk akal ,maka Hakim(Qadhi) harus menerima sumpah terdakwa
sekaligus membenarkan terdakwa.
Selain itu qâdhi juga harus berada dalam kondisi yang normal seperti tidak dalam
keadaan marah, lapar atau dalam tekanan pihak-pihak tertentu sehingga mengganggu
konsentrasinya dalam memutuskan perkara.
Jangan memutuskan hokum dalam keadaan berikut :
1.    Sedang marah
2.    Sedang sangat lapar dan haus
3.    Sedang sanmgat susah atau sangat gembira
4.    Sedang sakit
5.    Sedang Manahan buang air yang sangat
6.    Mengantuk.
7.    Tidak boleh menerima pemberian dari orang yang sedang berperkara yang ada kaitannya
dengan perkara yang sxedang ditangani.
8.    Hakim tidak boleh menunjukkan cara berdakwa dan cara membela
Keputusan hukum atas dua pihak yang bersengketa tidak dapat diputuskan sebelum
diajukan ke pengadilan. Hal ini didasarkan pada riwayat Abdullah bin Zubair ra. yang berkata:
Rasulullah saw bersabda: menetapkan bahwa dua pihak yang bersengketa didudukkan
di depan qâdhi (HR al-Hakim dan menurutnya sahih. Namun, Albani men-dhâ’îf-kannya).
Cara memeriksa terdakwa yang tidak hadir dan hadir dalam persidangan:
1.      Memeriksa terdakwa
Jika si perdakwa dapat memberikan bukti-bukti yang kuat maka Qadhi(Hakim) harus
menerima bukti-bukti tersebut dan sekaligus membenarkan pendakwa,meskipun terdakwa
menolak dan tidak menerima bukti-bukti tersebut.Tetapi jika terbukti bahwa bukti-bukti
tersebut lemah atau tidak masuk akal ,maka Hakim(Qadhi) harus menerima sumpah terdakwa
sekaligus membenarkan terdakwa
2.      Terdakwa yang Tidak Hadir di Persidangan
Menurut Imam Hanafi, jika terdakwa tidak mau hadir karena membangkang atau tidak hadir
tetapi menerima apa pun keputusan hakim, hakim boleh memutuskan perkaranya dengan cara “
Verstek” atau “In absentia” (terdakwa tidak hadir). Demikian pula boleh mendakwa orang yang
telah meninggal yang tidak ada ahli warisnya dan anak kecil yang tidak ada walinya.
Sedangkan menurut Imam Syafi’I tidak boleh memutuskan dengan cara-cara verstek.
Untuk membuktikan benar atau tidaknya dakwaan pendakwa terhadap terdakwa maka
proses pembuktian merupakan perkara yang amat menentukan. Oleh karena itu, Islam telah
menetapkan jenis pembuktian yang diakui legalitasnya yaitu: pengakuan pelaku (QS 2: 225),
sumpah (QS 2: 84), saksi dan dokumen tertulis (QS 2: 282) :
1.      Pengakuan
Jika seseorang telah mengaku telah melakukan suatu tindakan kriminal di pengadilan maka
qâdhi tidak serta merta menerima pengakuan itu hingga ia yakin bahwa pengakuan tersebut
lahir dari kesadaran orang tersebut.
Hal ini didasarkan pada sikap Rasulullah saw. yang tidak langsung menerima pengakuan
Maiz yang mengaku telah berzina. Abu Abdullah bin Buraidah meriwayatkan: Maiz bin Malik
al-Aslami mendatangi Rasulullah saw. dan berkata, “Ya Rasul, saya telah menzalimi diri saya
dan telah berzina. Saya berharap Anda bersedia mensucikan saya.” Namun, Rasul menolaknya.
Pagi harinya ia datang lagi dan berkata, “Ya Rasul, saya telah berzina.” Lalu ia ditolak lagi.
Rasul kemudian mengirim utusan kepada kaumnya dan bertanya, “Apakah kalian mengetahui
ada yang buruk pada akal Maiz dan kalian mengingkarinya?” Mereka menjawab, “Kami tidak
mengetahui kecuali akalnya sama dengan orang shalih di antara kami.” Lalu Maiz datang
ketiga kalinya. Rasul mengutus lagi utusan untuk mengetahui akalnya, namun tidak ada yang
ganjil darinya.
Tatkala ia datang keempat kalinya maka Rasul membuatkan lubang untuknya dan
memerintah-kan orang-orang untuk merajamnya. Lalu ia pun dirajam (HR Muslim) .
2.      Sumpah
Adapun yang dimaksud sumpah adalah suatu pernyataan yang diucapkan pada waktu
perjanjian dengan nama Allah yang disertai huruf qosam(sumpah).Tujuan sumpah adalah
memberikan keterangan guna meyakinkan bahwa sesuatu yang demikian itu benar atau salah.
Orang yang melakukan sumpah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut ;
1.      Mukallaf yaitu orang yang mampu bertindak secara hokum atau memberikan kuasanya kepada
orang lain
2.      Tidak terpaksa yaitu atas kehendak dan kemauan sendiri untuk bersumpah
3.      Disengaja yaitu ketika bersumpah dalam keadaan sadar dan menyadari sepenuhnya tentang
perbuatan bersumpah dan segala resiko hukum yang kan dijatuhkan kepadanya jika ternyata
sumpahnya palsu.
4.    Menyebut atau menggunakan kata Allah
Pelanggaran Sumpah.
Orang yang telah bersumpah atas nama Alloh dan tidak menepatinya termasuk perbuatan
melanggar sumpah. Orang yang melanggar sumpah wajib membayar denda/kafarat. Untuk
membayar kafarat ini Islam membebaskannya agar memilih salah satu dari tiga ketentuan jenis
denda yang sudah jelas yakni memberikan makan 10 orang fakir miskin, memberikan 10 orang
pakaian, atau memerdekakan budak. Atau puasa selama 3 hari.
3.      Kesaksian
Saksi adalah seseorang yang mengetahui dan melihat kejadian perkara kemudian dibutuhkan
oleh pengadilan untuk dimintai keterangan dan memberikan keterangan yang berkaitan dengan
suatu perkara demi tegaknya hukum dan tercapainya kebenaran dan keadilan dalam pengadilan.
Kejujuran dan kesaksian dari seorang saksi sangat dibutuhkan.Oleh karena itu
Saksi harus terjaga dari pengaruh,intimidasi dan atau tekanan dari pihak-pihak yang
bersengketa baik di dalam persidangan maupun tidak.
Allah SWT berfirman :
Artinya :
2. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu
tegakkan kesaksian itu karena Allah.
Syarat-syarat saksi:
1.    Islam
2.    Baligh
3.    Berakal
4.    Merdeka
5.    Bukan musuh terdakwa
6.    Bukan anak atau bapak
7.    Adil
Adapun orang orang yang ditolak kesaksiannya adalah :
1.    Saksi yang tidak adil
2.    Saksi seorang musuh tehadap pada musuhnya
3.    Saksi orang tua pada anaknya atau sebaliknya
4.    Saksi seorang istri pada anaknya atau sebaliknya
Menurut imam Malik dan imam Ahmad berpendapat bahwa kesaksian orang dapat diterima
asal dapat mendengar suara,namum kesaksian ini hanya dibatasi oleh permasalahan-
permasalahan seperti pernikahan,perceraian,wakaf dan sebagainya.Terhadap kejadian seperti
perzinaan,pencurian maka kesaksian orang ini tidak dapat diterima.
Terhadap orang bisu tidak dapat dijadikan saksi meskipun dapat menggunakan bahasa
isyarat,sebab bahasa isyarat ini dapat mengandung berbagai penafsiran.Menurut Imam Abu
Hanifah orang bisu dapat dijadikan saksi asalkan dengan menggunakan bahasa tulisan.
4.      Dokumen tertulis.
Penggunaan dokumen tertulis menjadi landasan yang tak terpisahkan dalam perkembangan
tsaqâfah Islam, seperti pada ilmu fiqih dan hadist. Demikian juga pada masa Rasulullah hingga
Khalifah dan qâdhi setelahnya juga banyak bertumpu pada dokumen.dari sekitar 9 Dokumen
yang ada setidaknya ada tiga jenis dokumen yang banyak divunakan, yaitu dokumen yang
bertandatangan, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara dan dokumen yang tidak
bertanda tangan.
1.      Dokumen bertanda tangan
Pada dasarnya dokumen ini adalah sama statusnya dengan pengakuan dengan lisan. Oleh
karena itu, dokumen tersebut membutuhkan penetapan. Jika seseorang mengakui bahwa tanda
tangan yang tertera dalam sebuah dokumen adalah miliknya maka dokumen tersebut sah
dijadikan bukti. Namun, jika ia mengingkarinya maka dokumen tersebut tertolak.
2.      Dokumen resmi
Adapun untuk dokumen resmi yang dikeluarkan pemerintah seperti surat nikah dan akte
kelahiran maka ia tidak membutuhkan adanya penetapan terhadap keabsahannya. Oleh karena
itu, dokumen langsung dapat dijadikan sebagai bukti.
3.      Dokumen tidak bertanda tangan
Adapun dokumen tertulis yang tidak bertanda tangan seperti surat, pengakuan utang, faktur
belanja dan sebagainya maka statusnya sama dengan dokumen yang bertanda tangan, yaitu
membutuhkan penetapan bahwa orang tersebut yang menulis atau memerintahkan menulis atau
mendiktekan tulisan tersebut.
Dokumen yang dianggap valid menjadi alat bukti bagi pendakwa hanya diterima jika
dihadirkan di pengadilan. Jika pendakwa tidak mampu menghadirkan dokumen yang dijadikan
bukti tersebut maka ia dianggap tidak ada. Namun demikian, jika dokumen tesebut berada di
tangan negara maka qâdhi memerintahkan untuk dihadirkan.
Jika dokumen tersebut dinyatakan penggugat ada pada tergugat dan diakui oleh tergugat
maka tergugat harus menghadirkannya. Jika ia menolak untuk menghadirkannya maka
dokumen tersebut dianggap ada. Jika tergugat menolak bahwa dokumen tersebut ada padanya
maka ia dibenarkan kecuali jika penggugat memiliki salinan atas dokumen tersebut maka ia
harus mampu membuktikan bahwa dokumen tersebut ada pada pada tergugat. Jika tidak dapat
dibuktikan maka tergugat harus disumpah bahwa ia tidak memilikinya. Jika ia menolak
bersumpah maka salinan dokumen tersebut dianggap benar dan menjadi alat bukti bagi
pendakwa.
6.      Kedudukan hakim wanita
Madzhab imam Syafi’i,Maliki dan Hambali berpendapat bahwa wanita tidak
diperbolehkan diangkat manjadi hakim,Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah
memperbolehkan wanita menjadi hakim dalam segala perkara, kecuali tentang masalah had dan
qishosh.Seangkan menurut Ibnu Jarir At Thobari wanita boleh menjadi hakim,dengan alasan
tidak ada larangan untuk memberikan fatwa dalam segala hal.
7.      Bukti keabsahan Peradilan
Landasan Sistem Peradilan dan hukum-hukumnya berasal dari Al-Qur`an dan As-
Sunnah. Mengenai Al-Qur`an, Allah SWT Berfirman dalam beberapa surat , diantaranya dalam
QS. 4:105 dan QS. 5:48. Ayat-ayat ini dengan jelas menyatakan bahwa adalah sah untuk
menghukumi antar manusia dan bahkan wajib melaksanakan hal tersebut, yaitu dengan hanya
merujuk kepada sistem Allah SWT.
Mengenai As-Sunnah, Rosululloh SAW sendiri memimpin Sistem Peradilan ini dan
beliaulah yang menghukumi umat. Muslim menceritakan hal yang disampaikan Aisyah (ra),
istri Rosululloh SAW bahwa beliau berkata, Sa’ad Ibn Abi Waqqash dan Abd Zama’a
berselisih satu sama lain mengenai seorang anak laki-laki. Sa’ad berkata: “Rosululloh SAW,
(ini)adalah anak dari saudaraku Utbah Ibn Abi Waqqash yang secara itu dia menganggap
sebagai anaknya. Lihatlah kemiripan wajahnya.”. Abd Ibn Zama’a berkata: “Rosululloh, dia
adalah saudaraku karena dia lahir diatas tempat tidur ayahku dari hamba sahayanya. Rosululloh
lalu melihat persamaan itu dan beliau mendapati kemiripan yang jelas dengan Utbah.
Tapi beliau bersabda, “Dia adalah milikmu wahai Abd Ibn Zama’a, karena seorang anak
akan dihubungkan dengan seseorang yang pada tempat tidurnya ia dilahirkan, dan hukum
rajam itu adalah untuk pezina.” Hal ini membuktikan bahwa Rosululloh SAW menghukumi
umat dan bahwa keputusannya memiliki otoritas untuk dilaksanakan.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Tujuan dibalik pelaksanaan peradilan dalam Islam adalah bertindak sebagai pencegah, untuk
merubah sikap para pelanggar dan untuk menyelamatkan masyarakat. Sebagaimana diketahui,
sifat dari hukuman-hukuman tersebut dalam sistem Peradilan Islam memastikan bahwa tujuan-
tujuan tersebut tercapai. Sejarah telah memberi kesaksian akan hal ini dimana hanya sekitar
200 orang tercatat yang dipotong tangannya dari keseluruhan sejarah Negara Islam. Tetapi di
Barat, 70% narapidana kembali melakukan kesalahan sesaat setelah dibebasklan, dan angka
kejahatan tidak menunjukkan sebuah pencegahan yang berhasil. Salah satu problem mendasar
yang ada di Barat adalah komplitnya pertentangan idiologi yang disandarkan kepada kehendak
masyarakat. Di satu sisi, dinyatakan bahwa kebebasan adalah hak asasi individu. Dan hal inilah
yang membuka peluang terhadap tindak kejahatan. Bila hal ini dihubungkan dengan konsep
demokrasi, kontradiksi akan muncul sebab demokrasi adalah sebuah sistem untuk membuat
undang-undang sebagai alat untuk membatasi kebebasan. Dan hasil dari konsep “amburadul”
ini adalah kekacauan!.
Sementara, keadilan yang dijalankan oleh sistem Peradilan Islam akan menentramkan jiwa
anda, aman dan yakin bahwa hak-hak anda tidak akan disalahgunakan. Setelah
mempertimbangkan adanya ketakwaan personal dan opini umum, tingkat peraturan terakhir
adalah Sistem Peradilan Islam menjamin bahwa dunia akan terbebas dari eksploitasi dan
korupsi hukum buatan manusia dan juga tindak kriminal yang menyertainya.
B.     Saran
Penulisan makalah ini menunjukan hal yang berkaitan dengan apa-apa saja mengenai proses
peradilan dalam islam, sehingga dapat mendorong munculnya penulisan makalah yang sejenis
dalam pemberian informasi, Yang lebih baik lagi tentang hal-hal yang berkaitan dengan
hubungan peradilan dalam islam.

Anda mungkin juga menyukai