Anda di halaman 1dari 5

MEMBOLAK-BALIK lembar catatan lusuh yang tergeletak di atas meja, Namaha terlihat tak bersemangat.

Ia telah mengkhianati janjinya sendiri untuk tak kembali ke Banda Aceh. Tiga puluh hari telah berlalu,
aroma kematian masih tercium jelas dari jendela rumah tempat ia menginap. Anjing berdengking,
menemukan sepotong tangan yang telah membusuk dan terjepit reruntuhan bangunan atau melihat
hantu-hantu yang meratap karena tak menemukan jasadnya. Lengkung sekarat sang rembulan
bertengger di langit, kekasih bumi yang terus mengelilinginya selama 4,53 miliar tahun. Entah sampai
kapan tetap setia. Nuh, kekasih Namaha, tak sesetia rembulan. Nuh lebih memilih lautan. Namaha
kembali membaca catatan lusuh itu.

Senin, 27 Des 2004, 15.30 WIB. Rumah tlh sunyi. Ank-ank kos sdh plg kpg. 2 yg msh bertahan. 1 blm
berhasil menemukan adknya. 1 blm mendapatkan tiket ke Jakarta. Lula, Amra, dan pembantu telah
kukirim dgn bus ke kpg. Nyak Wa plg kpg dng mobil mereka. Aku blh menggunakan slh 1 kamar kos yang
telah kosong. Rmh benar-benar sunyi. Ttp tenang. Aku hrs berjalan kaki sejauh 5 kilo ke Lingke, mencari
mayat si bungsu yg terlepas dr tangan pembantu, pagi kemarin. Aku tak melihat 2 penghuni kos lain.
Mungkin sdg mencari adknya. Saat gempa besar, aku mengajak klg keluar rmh. Kami berteriak
memanggil Tuhan. Tuhan tak menyahut. Sebuah rmh yang blm diplester ambruk. Kami menangis.
Kemudian gempa berhenti. Kami bersyukur pada Tuhan yg menunda akhir dunia. Tidak ada korban jiwa.
Tp itu baru permulaan. Aku hrs ke Lingke!

Setitik bening jatuh dari sudut mata Namaha. Sore itu Namaha telah berada di pengungsian. Mereka
kekurangan air bersih dan makanan. Perutnya melolong minta diisi, matanya masih mencari satu sosok
di antara orang-orang yang berlalu-lalang; Nuh, sang suami tercinta. Mereka terpisah kemarin, ketika air
laut tumpah ke darat.

Namaha dan suaminya menyewa rumah dua kamar di Punge. Tiap Minggu pagi mereka berlari-lari kecil
ke pantai Ulee Lhe untuk mandi di laut. Melihat laut menimbulkan ketenangan, membuka simpul-simpul
rumit di kepala. Pagi itu mereka sudah sampai di pantai, dunia mulai bergoyang, air laut berkecipak;
semua orang menyebut nama Tuhan. Namaha dan Nuh saling berpegangan. Gempa berakhir sepuluh
menit kemudian.

Keduanya hendak meninggalkan pantai ketika seseorang berseru, ”Air laut surut!” Anak-anak, tua-muda,
berlari mengambil ikan-ikan yang menggelepar. Namaha merasa hal buruk akan terjadi. Mungkin ia
telah melupakan gejala alam yang didapat di sekolah dulu, yang menandai sebuah bencana besar, atau
sekolah sama sekali tak pernah mengajari itu. Nuh mengajaknya pulang.
Belum seratus meter melangkah, suara pesawat tempur menderu dari laut. Begitu mereka berpaling, air
sudah naik setinggi dua pohon kelapa dan menelan apa saja. Berpegangan tangan, mereka lari, lalu
ujung ombak menyapu. Namaha tak bisa merasakan apa pun setelah itu. Saat sadar, ia sesak karena
terjepit batang-batang pohon yang terbawa air. Melihat ada yang lewat di dekatnya, Namaha berteriak.
Namun, suaranya tak keluar.

Beruntung, lelaki itu berbalik dan melihat Namaha. Lelaki itu menggeser kayu yang menjepit Namaha
dan membantunya berdiri. Perempuan itu tak ingin percaya pada penglihatannya. Pohon-pohon
tumbang, rumah-rumah roboh, seng dan kaca berserakan. Mungkin tangan malaikat jua yang menepis
benda-benda itu dari Namaha.

Namaha harus menemukan Nuh. Ia berjalan tertatih di antara tubuh-tubuh sekarat yang tergeletak
dalam lumpur. Orang-orang akan datang menolong mereka, membantu menemukan Nuh. Seluruh
tubuh Namaha terasa nyeri, perutnya mual. Ia kemudian memuntahkan cairan hitam. Seorang lelaki
membantu Namaha yang terhuyung dan membopongnya berjalan di antara puing-puing, menuju ke
depan sebuah masjid. Lelah dan takut, Namaha sejenak lupa kepada Nuh, bahkan lupa menanyai nama
penolongnya. Ia hanya ingin selamat.

Namaha menghapus air matanya. Ia kemudian mengambil kertas lusuh lainnya dengan acak.

Kamis pg, 30 Des 2004. Sgt lapar. Dr kemarin tak makan. Aku akan pergi ke pendopo. Mungkin di sana
ada dapur umum. Aku harus bertahan sampai besok.

Catatan yang sangat pendek. Ada lingkaran-lingkaran tak beraturan di bawahnya. Namaha menghela
napas. Hari keempat pascabencana, ia telah berada di Bandara Sultan Iskandar Muda, bersiap evakuasi
ke Medan. Para pengungsi datang dari berbagai arah, ingin cepat-cepat meninggalkan tanah terkutuk
ini.

Ketakutan kembali menghantui ketika Namaha duduk di bangku pesawat. Satu hari sebelumnya,
pesawat yang hendak terbang menabrak seekor kerbau. Kecelakaan itu menghambat kepergian dan
kedatangan pesawat lainnya. Beruntung, Hercules yang ditumpangi Namaha lepas landas tanpa kendala.
Sesampai di Kualanamu, Namaha mendengar azan Asar. Ia berjalan ke musala bandara dan merasa ada
yang salah dengan orang-orang yang sudah berdiri untuk sembahyang. Matanya melirik panah yang
menunjuk arah kiblat, orang-orang itu salat menghadap timur. Dan Namaha ikut berdiri di belakang
mereka. Hatinya berkata, ia tidak akan kembali ke Banda Aceh.

Namaha mengambil kertas lainnya sambil menebak-nebak umur anak yang masih digendong oleh
pembantu di rumah yang kamarnya ia sewa. Bocah itu pasti belum berumur 2 tahun.

Selasa sore, 28 Des 2004. Aku br kembali dr Lingke. Rmhku msh dipenuhi lumpur. Mayat-mayat yg
kulihat sebelumnya masih ada di sana; telanjang. Tdk ada yg memindahkan atau menguburkan. Setiap
org sibuk dgn urusan masing-masing. Di jln yg air bah tdk sampai; mobil, becak, sepeda motor dibiarkan
begitu sj, tak ada bensin. Aku dokter, tp blm pernah melihat mayat sebanyak itu. Aku tidak menemukan
mayat ankku. Oh, ankku yg sdh bisa memanggil ayah. Aku mencari dengan tangan dan kaki ke tiap sudut
ruangan. Mungkin bsk hrs kucari di luar rmh. Aku kehabisan makanan, makanan terakhir cukup untuk
makan mlm. Aku ingin memeluk ankku sekali lagi, Tuhan!

Lelaki yang menulis catatan-catatan ini ternyata seorang dokter. Namaha menyewa kamar ini selama
satu minggu dengan harga sangat mahal dari pemilik rumah yang telah kembali.

Pada hari yang sama, Namaha berada di tenda pengungsian di depan masjid. Beruntung, cederanya
tidak berat. Namaha melihat kematian-kematian di dekatnya karena tak sengaja meminum air laut
bercampur lumpur. Juga karena terlambat mendapat pertolongan akibat patah tulang rusuk dan cedera
berat lainnya.

Mereka dibaringkan di tenda di halaman masjid dengan pengobatan seadanya. Ia mendengar bahwa RS
terendam lumpur. Listrik mati. Orang-orang mengantre untuk segera ditangani. Sementara jalur
telekomunikasi terputus. Belum ada kabar dari Nuh, meski Namaha sudah bertanya kepada orang-orang
yang ia kenal dan orang-orang yang tidak ia kenal di sekitar tenda.

Makanan semakin langka, beberapa orang berhasil membawa pulang bungkus mi yang terbawa
gelombang. Sementara air minum semakin berkurang, PDAM mati, bayi-bayi menangis kelaparan.
Menurut salah satu korban yang juga kehilangan rumah, besok mereka harus berjalan ke bandara.
Kerusakan akibat bencana sangat parah sehingga tempat itu susah diakses. Dalam hatinya, Namaha
berharap keluarganya di kampung aman. Tapi, tak satu pun dari mereka yang datang menemuinya.
Namaha tersadar dari lamunan dan kembali membaca kertas lusuh lainnya.

Rabu, 29 Des 2004. Aku berusaha ttp waras. Td di jln, seorg laki-laki memotong jari mayat dan
mengambil cincinnya. Aku ingat wajah pencuri itu. Tapi tak berusaha mencegahnya. Mungkin roh wanita
malang itu tlh mengutukku. Aku blm berhasil menemukan mayat putraku. Plngnya, aku melihat seorang
pemuda mengendarai motor sambil mengikat mayat ke badannya.Mungkin itu abg, adk, atau ayhnya….

Namaha pernah mendengar kepiluan dan kejahatan pada hari-hari setelah tsunami. Ia mencoba
mengingat-ingat. Tanggal 29 Desember, ia sudah merasa lebih baik dan mulai berpikir untuk mencari
Nuh. Ia keluar dari tenda pengungsian, menyusuri jalan menuju pantai. Belum seberapa jauh melangkah,
ia melihat pemandangan yang membuatnya kembali teringat pada bencana Minggu pagi. Sampah-
sampah dan mayat-mayat masih berada di jalan dan perempuan itu merasa air laut kembali akan naik, ia
menjadi sulit bernapas dan duduk di atas trotoar kotor. Sebuah tangan menyodorkan air mineral,
Namaha meminumnya beberapa teguk. Kemudian, sebuah mobil datang membagi-bagikan air mineral
dan mi instan. Tangan pertama yang berhasil memegang kardus langsung memeluk barang itu dan
membawanya pergi, abai pada mata-mata lain yang juga kehausan dan kelaparan. Saat yang lain saling
berebut air mineral dan mi instan, Namaha segera meninggalkan tempat itu.

Tengah malamnya di pengungsian, mereka mendengar seseorang berteriak, ”Air laut naik lagi!” Orang-
orang berlarian tanpa arah, mengulangi apa yang mereka lakukan Minggu pagi lalu. Salah seorang
relawan berusaha menenangkan mereka dan mengatakan bahwa teriakan itu dilontarkan orang tak
bertanggung jawab. Para pengungsi mengabaikannya. Mereka kembali berlari. Berlari ke arah bandara.
Namaha salah satu dari orang-orang yang panik dan ikut berlari. Mereka terus berlari, abai pada lecet
dan rasa sakit, sampai mata mereka melihat pintu gerbang Bandara Iskandar Muda.

Namaha menyusun kertas-kertas lusuh tersebut sesuai tanggal penulisan. Tetapi tetap tak berhasil
menemukan kertas bertanggal 31 Desember 2004. Padahal, pada 30 Desember 2004 lelaki itu
mengatakan akan bertahan sampai besok. Mungkin ia lelah atau sudah menemukan mayat anaknya.

Tangan Namaha meletakkan kembali kertas-kertas lusuh catatan lelaki yang sempat tinggal di kamar itu.
Ia naik ke tempat tidur dan memejamkan mata. Betapa berat hari-hari yang dilalui keluarganya saat
mencari keberadaan Namaha dan suaminya sebulan lalu. Rumah yang mereka sewa sudah tak berbekas.
Tersisa pohon mangga di sudut halaman sebagai penanda. Keluarga Namaha tinggal di Nagan.
Sementara keluarga suaminya tinggal di Kaju, salah satu daerah yang diratakan tsunami. Besok pagi
Namaha akan pergi ke pantai Ulee Lhe, di mana kali terakhir ia melihat suaminya. Seperti sang nabi,
Nuh telah pergi mengarungi laut dengan membawa serta seluruh keluarga, kecuali istrinya

Anda mungkin juga menyukai