Anda di halaman 1dari 11

TINJAUAN PUSTAKA

A. Status Gizi
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan
penggunaan zat gizi, dimana zat gizi sangat dibutuhkan oleh tubuh sebagai sumber
energi, pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh, serta pengatur proses tubuh
(Auliya et al., 2015). Menurut (Wahyuningsih, 2014) status gizi merupakan tanda – tanda
penampilan seseorang akibat keseimbangan anatara pemasukan dan pengeluaran zat gizi
yang berasal dari pangan yang dikonsumsi pada suatu saat pangan yang dikonsumsi pada
suatu saat berdasarkan kategori dan indikator yang digunakan. Penilaian status gizi balita
dapat diukur berdasarkan pengukuran antropometri yang terdiri dari variabel umur, berat
badan (BB) dan tinggi badan (TB). Umur sangat memegang peranan dalam penentuan
status gizi, kesalahan penentuan akan menyebabkan interpretasi status gizi yang salah.
Hasil penimbangan berat badan maupun tinggi badan yang akurat, menjadi tidak berarti
bila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat. Ketentuan yang digunakan dalam
perhitungan umur adalah 1 tahun adalah 12 bulan, 1 bulan adalah 30 hari sehingga
perhitungan umur adalah dalam bulan penuh yang artinya sisa umur dalam hari tidak
diperhitungkan (Depkes, 2004).

B. Indikator dan Klasifikasi Status Gizi


Status gizi balita diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan
(TB). Untuk memperoleh data berat badan dapat digunakan timbangan dacin ataupun
timbangan injak yang memiliki presisi 0,1 kg. Timbangan dacin atau timbangan anak
digunakan untuk menimbang anak sampai umur 2 tahun atau selama anak masih bisa
dibaringkan/duduk tenang. Panjang badandiukur dengan length-board dengan presisi 0,1
cm dan tinggi badan diukur dengan menggunakan microtoise dengan presisi 0,1 cm.
Variabel BB dan TB anak ini dapat disajikan dalam bentuk tiga indikator antropometri,
yaitu: berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat
badan menurut tinggi badan (BB/TB).
Dalam menilai status gizi anak, angka berat badan dan tinggi badan setiap anak
dikonversikan ke dalam bentuk nilai terstandar (Z-score) dengan menggunakan baku
antropometri WHO 2005. Selanjutnya berdasarkan nilai Z-Score masing-masing
indikator tersebut ditentukan status gizi balita dengan batasan sebagai berikut:
1. Berdasarkan indikator BB/U Berat badan merupakan parameter yang memberikan
gambaran massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan perubahan
yang mendadak, seperti adanya penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau
menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat badan adalah parameter
antropometri yang sangatlabil. Dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan
baik dan keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat
badan berkembang mengikuti pertambahan umur. Sebaliknya dalam keadaan yang
abnormal, terdapat 2 kemungkinan perkembangan berat badan, yaitu dapat
berkembang cepat atau lebih lambat badan menurut umur digunakan sebagai salah
satu cara pengukuran status gizi. Mengingat karakteristik berat badan yang labil,
maka indeks BB/Ulebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini. Berikut ini
merupakan klasifikasi status gizi berdasarkan indikator BB/U:
− Gizi buruk : Z-score< -3,0
− Gizi kurang : Z-score ≥ -3,0 s/d Z-score< -2,0
− Gizi baik : Z-score ≥ -2,0 s/d Z-score ≤ 2,0
− Gizi lebih : Z-score> 2,0
Pemantauan pertumbuhan normal anak berdasarkan indeks antropometri berat
badan menurut umur dapat dilakukan dengan menggunakan kurva pertumbuhan pada
kartu menuju sehat (KMS). Dengan KMS gangguan pertumbuhan atau risiko
kekurangan dan kelebihan gizi dapat diketahui lebih dini, sehingga dapat dilakukan
tindakan pencegahansecara lebih cepat sebelum masalah lebihbesar. Status
pertumbuhan anak dapat diketahui dengan dua cara yaitu dengan menilai garis
pertumbuhannya, atau dengan menghitung kenaikan berat badan anak dibandingkan
dengan kenaikan berat badan minimum. Kesimpulan dari penentuan status
pertumbuhan dikatakan naik jika grafik BB mengikuti garis pertumbuhan atau
kenaikan BBsama dengan KBM(kenaikan BBminimal) atau lebih. Tidak naik jika
grafik BB mendatar atau menurun memotong garis pertumbuhan di bawahnya atau
kenaikan BB kurang dari KBM. Berat badan balita di bawah garis merah menunjukan
adanya gangguan pertumbuhan pada balita yang membutuhkan konfirmasi status gizi
lebih lanjut (Kemenkes RI, 2010).
2. Berdasarkan indikator TB/U Tinggi badan merupakan antropometri yang
menggambarkan keadaanpertumbuhanskeletal.Dalamkeadaannormal,pertumbuhan
tinggi badan sejalan dengan pertambahan umur. Tidak seperti berat badan,
pertumbuhan tinggi badan relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi
dalam waktu yang pendek. Sehingga pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi
badan akan nampak dalam waktu yang relatif lama. Dengan demikian maka indikator
TB/Ulebih tepatuntuk menggambarkan pemenuhan gizi pada masa lampau. indikator
TB/U sangat baik untuk melihat keadaan gizi masa lalu terutama yang berkaitan
dengan keadaan berat badan lahir rendah dan kurang gizi pada masa balita. Selain itu
indikator TB/U juga berhubungan erat dengan status sosial ekonomi dimana indikator
tersebut dapat memberikan gambaran keadaan lingkungan yang tidak baik,
kemiskinan serta akibat perilaku tidak sehat yang bersifat menahun. Berikut ini
merupakan klasifikasi status gizi berdasarkan indikator TB/U:
- Sangat pendek : Z-score< -3,0
- Pendek : Z-score ≥ -3,0 s/d Z-score< -2,0
- Normal : Z-score ≥ -2,0
- Tinggi : Z-score > 2,0
3. Berdasarkan indikator BB/TB BB/TB merupakan indikator pengukuran antropometri
yang paling baik, karena dapat menggambarkan status gizi saat ini dengan lebih
sensitif dan spesifik. Berat badan berkorelasi linier dengan tinggi badan, artinya
perkembangan berat badan akan diikuti oleh pertambahan tinggi badan. Olehkarena
itu, berat badan yang normal akan proporsional dengan tinggi badannya.Berikut ini
merupakan klasifikasi status gizi berdasarkan indikator BB/TB:
- Sangat kurus : Z-score< -3,0
- Kurus : Z-score ≥ -3,0 s/d Z-score< -2,0
- Normal : Z-score ≥ -2,0 s/d Z-score ≤ 2,0
- Gemuk : Z-score > 2,0
Berdasarakan indikator-indikator tersebut, terdapat beberapa istilah terkait status gizi
balita yang sering digunakan (Kemenkes RI, 2011).
1. Gizi kurang dan gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada indeks berat
badan menurut umur (BB/U) yang merupakan padanan istilah underweight (gizi
kurang) dan severely underweight (gizi buruk).
2. Pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks panjang
badan menurut umur (PB/U) atau tinggi badan menurut umur (TB/U) yang
merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan severely stunted(sangat pendek).
3. Kurus dan sangat kurus adalah status gizi yang didasarkan pada indeks berat
badan menurut panjang badan (BB/PB) atau berat.

C. Pengertian Gizi Buruk


Gizi buruk adalah masalah kesehatan yang memiliki dampak serius pada
peningkatan angka kesakitan dan kematian pada balita. Gizi buruk ditentukan
berdasarkan indikator BB/TB dengan skor Z kurang dari -3 SD (Rini, 2017).
D. Faktor Penyebab Gizi Buruk
Faktor penyebab gizi buruk dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu penyebab
langsung dan makanan yang tidak memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi yang
memenuhi syarat gizi seimbang yaitu beragam, sesuai kebutuhan, bersih dan aman
sehingga akan berakibat secara langsung terhadap pertumbuhan dan perkembangan
balita. Faktor penyakit infeksi berkaitan dengan tingginya kejadian penyakit perpanasan
akut (ISPA). Faktor kemiskinan sering disebut sebagai akar dari kekurangan gizi, yang
mana faktor ini erat kaitannya terhadap daya beli pangan di rumah tangga sehingga
berdampak terhadap pemenuhan zat gizi.
Riwayat berat badan lahir rendah (BBLR) juga merupakan faktor yang dapat
berpengaruh terhadap kejadian gizi buruk. Hal ini dikarenakan bayi yang mengalami
BBLR akan mengalami komplikasi penyakit karena kurang matangnya organ,
menyebabkan gangguan pertumbuhan fisik dan gangguan gizi saat balita. Faktor
pendidikan Ibu erat kaitannya dengan pengetahuan Ibu mengenai gizi sehingga akan
berakibat terhadap buruknya pola asuh balita.
Status gizi buruk pada balita dapat menimbulkan pengaruh yangdapat
menghambat pertumbuhan fisik, mental maupun kemampuan berpikir. Balita yang
menderita gizi buruk dapat mengalami penurunan kecerdasan (IQ) hingga sepuluh
persen. Dampak paling buruk dari gizi buruk yaitu kematian pada umur yang sangat dini
(Oktavia, 2017).

E. Masalah utama penyebab gizi buruk

Kemiskinan, Kurangnya pendidikan, Pola Asuh orang tua serta ketersediaan


pangan yang kurang memadai merupakan penyebab utama gizi buruk. Kurangnya
konsumsi zat gizi pada makanan yang dimakan itu tidak memiliki nutrisi yang cukup
untuk tubuh juga infeksi penyakit akibat kesehatan lingkungan yang tidak sehat juga
merupakan masalah penyebab gizi buruk. Akibat dari kondisi tersebut anak mengalami
gizi buruk marasmus yang ditandai dengan tubuh tampak kurus, cengeng atau rewel,
perut cekung serta kulit keriput (tulang terbungkus kulit). (handayani, 2017)

Berikut ada faktor lain yang masih menjadi masalah utama dalam penyebab gizi buruk.
diantara nya :

Pola Asuh Ibu : Menurut handayani bahwa dalam hal ini tidak terlaksananya pola
asuh ibu diantaranya dalam pemenuhan kebutuhan dasar anak seperti pemberian makanan
yang hygienis bebas dari bakteri, selain itu jarang melakukan monitoring kesehatan si
anak, menyediakan obat, dan merawat serta membawanya ke tempat pelayanan
kesehatan. Disini perlunya ibu agar lebih dapat meluangkan waktu untuk memberikan
suatu pola asuh yang lebih baik serta lebih berarti untuk mendukung terhadap status gizi
yang lebih baik dimiliki oleh anak ibu.

Faktor sosial : yang dimaksud di sini adalah rendahnya kesadaran masyarakat


akan pentingnya makanan bergizi bagi pertumbuhan anak. Sehingga banyak anak yang
diberi makan “sekadarnya” atau asal kenyang padahal miskin gizi. (anisa, 2018)

Kemiskinan : sering dituding sebagai biang keladi munculnya penyakit ini di


negara-negara berkembang. Rendahnya pendapatan masyarakat menyebabkan kebutuhan
juga tidak terpenuhi dengan baik, contohnya kebutuhanpangan yang sering tidak
terpenuhi. Kemiskinan merupakan penyebab pokok atau akar masalah gizi buruk.Selain
itu proporsi anak malnutrisi berbanding terbalik dengan pendapatan. Makin kecil
pendapatan penduduk, makin tinggi persentasi anak yang kekurangan gizi. (anisa, 2018)
Laju pertambahan penduduk : laju pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi
dengan bertambahnya ketersediaan bahan pangan akan menyebabkan krisis pangan. Ini
pun menjadi penyebab gizi buruk. (anisa, 2018)

Infeksi : Tak dapat dipungkiri memang ada hubungan erat antara infeksi dengan
malnutrisi. Infeksi sekecil apa pun berpengaruh pada tubuh. Sedangkan kondisi
malnutrisi akan semakin memperlemah daya tahan tubuh yang pada giliran berikutnya
akan mempermudah masuknya beragam penyakit. (anisa, 2018)

Pendidikan : Pada keluarga dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang


rendah seringkali anaknya harus puas dengan makanan seadanya yang tidak memenuhi
kebutuhan gizi anak karena ketidaktahuan. Anak tidak cukup mendapat makanan bergizi
seimbang. Makanan alamiah terbaik bagi bayi yaitu Air Susu Ibu, dan sesudah usia 6
bulan banyak anak tidak mendapat Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat, baik
jumlah dan kualitasnya akan berkonsekuensi terhadap status gizi bayi. MP-ASI yang baik
tidak hanya cukup mengandung energi dan protein, tetapi juga mengandung zat besi,
vitamin A, asam folat, vitamin B serta vitamin dan mineral lainnya. MP-ASI yang tepat
dan baik dapat disiapkan sendiri di rumah, oleh karena itu dibutuhkan dasar pengetahuan
ibu untuk dapat memenuhi kebutuhan gizi anaknya. (handayani 2017)

Pola Asuh yang salah : Hasil studi “positive deviance” mengemukakan bahwa
dari sekian banyak bayi dan anak-anak di suatu desa miskin hanya sebagian kecil yang
gizi buruk, padahal orang tua mereka semuanya petani miskin. Dari studi ini diketahui
bahwa pola pengasuhan anak berpengaruh pada timbulnya gizi buruk. Anak yang diasuh
ibunya sendiri dengan kasih sayang, apalagi ibunya berpendidikan yang mengerti tentang
pentingnya ASI, manfaat posyandu dan kebersihan, meskipun sama-sama miskin ternyata
anaknya lebih sehat. Sebagian anak yang gizi buruk ternyata diasuh oleh nenek atau
pengasuh yang juga miskin dan tidak berpendidikan. Selain itu banyaknya perempuan
yang meninggalkan desa untuk mencari kerja di kota bahkan menjadi TKI, kemungkinan
juga dapat menyebabkan anak menderita gizi buruk. (anisa, 2018)

Adat istiadat /kebiasaan : Mitos ataupun kepercayaan Adat istiadat masyarakat


tertentu yang tidak benar dalam pemberian makan akan sangat merugikan anak. Misalnya
kebiasaan memberi minum bayi hanya dengan air putih, memberikan makanan padat
terlalu dini, berpantang pada makanan tertentu ( misalnya tidak memberikan anak-anak
daging, telur, santan dll). Hal ini menghilangkan kesempatan anak untuk mendapat
asupan lemak, protein maupun kalori yang cukup. (anisa, 2018)

F. Pencegahan terjadinya gizi buruk

Tindak pencegahan otomatis sudah dilakukan bila faktor-faktor penyebabnya


dapat dihindari. Misalnya ketersediaan pangan yang tercukupi, daya beli masyarakat
untuk dapat membeli bahan pangan, serta pentingnya sosialisasi makanan bergizi bagi
bayi. Dalam masa pengasuhan lingkungan pertama yang berhubungan dengan anak
adalah orang tua. Anak tumbuh dan berkembang dibawah asuhan dan perawatan orang
tua, oleh karena itu orang tua merupakan dasar pertama bagi pembentukan pribadi anak.
Melalui orang tua anak beradaptasi dengan lingkungannya untuk mengenal dunia
sekitarnya serta pola pergaulan hidup yang berlaku dilingkungannya. Dengan demikian
dasar pengembangan dari seorang individu telah dipraktekkan oleh orang tua melalui
praktek pengasuhan anak sejak ia masih bayi. hal ini didukung oleh penelitian Tenny
didapatkan nilai p value : 0,004 (p> 0,005) bahwasanya antara pola asuh ibu sangat
berhubungan dengan status gizi pada anak. (handayani, 2017)

Peran keluarga terutama ibu dalam mengasuh anak akan menentukan tumbuh
kembang anak, perilaku ibu dalam menyusui atau memberi makan, cara makan yang
sehat, memberi makanan yang bergizi dan mengontrol besar porsi yang dihabiskan akan
meningkatkan status gizi anak. Anak yang diasuh dengan baik oleh ibunya akan lebih
berinteraksi secara positif dibandingkan bila diasuh oleh selain ibunya. Selain itu ketika
anak di asuh oleh orang tuanya sendiri seperti ibunya maka akan mendekatkan sang anak
secara emosional kepada ibu nya, selain itu anak juga akan lebih mendapatkan kasih
sayang seutuhnya dari sang ibu yang juga dapat mempengaruhi kesehatannya. Peran
keluarga pun dapat menjadi salah satu faktor pencegah terjadinya gizi buruk pada anak.
(Hidayat, 2005)

Menurut Penelitian yang berkaitan dengan pemenuhan nutrisi pada


bayi menyatakan Pengetahuan Ibu dapat menentukan sikap Ibu. Hal ini disebabkan
karena pengetahuan Ibu mempunyai hubungan dengan sikap dalam pemenuhan nutrisi.
Pemberian Informasi mengenai pemenuhan nutrisi pada bayi akan menambah
pengetahuan ibu dan proses pemenuhannya, karena pengetahuan ibu
memegang peranan penting untuk menentukan sikap dalam pemenuhan nutrisi pada
anak. (Manurung, 2015).

Upaya-upaya yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa


Tengah dalam pencegahan gizi buruk antara lain pemantauan pertumbuhan
anak, penjaringan dan rujukan perawatan gizi buruk baik ke puskesmas maupun ke
rumah sakit, pemberian PMT kepada semua bayi umur 6 - 11 bulan di Jateng
terutama dari keluarga miskin, pendidikan gizi kepada masyarakat baik
langsung melalui Posyandu, Puskesmas maupun melalui media massa, pemberian
bantuan dana pemberdayaan keluarga gizi buruk, memanfaatkan koordinasi lintas
sektor melalui forum Tim Kewaspadaan Pangan dan Gizi (KPG), melakukan
pelatihan secara berjenjang “Tata Laksana Gizi Buruk” dan penanggulangan gizi buruk
kepada semua petugas Kabupaten/Kota. (Dinkes Prov Jateng, 2005)

G. Pengobatan atau perawatan gizi buruk


Untuk memperbaiki masalah gizi buruk salah satu upaya yang dilakukan adalah
dengan pemberian makanan tambahan pemulihan yang selanjutnya disebut PMT-P
bagi bayi dan balita. Program PMT-P merupakan kegiatan pemberian makanan zat
gizi yang bertujuan memulihkan gizi balita dengan jalan memberikan makanan
dengan kandungan gizi yang cukup sehingga kebutuhan gizi balita dapat
terpenuhi. Program ini ditujukan untuk sasaran kelompok yang rawan
terhadap masalah gizi meliputi balita gizi buruk, balita gizi kurang dengan usia 6-
59 bulan. (Kemenkes RI, 2017). Penanganan masalah gizi kurang pada balita
tersebut salah satunya adalah dengan memberikan makanan tambahan pemulihan.
program tersebut berpengaruh terhadap status gizi balita karena kualitas
makanan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan sasaran untuk
meningkatkan status gizinya (Wang, 2017).
Berdasarkan pedoman penyelenggaraan PMT-P dari Kementerian Kesehatan
RI tahun 2011, disebutkan bahwa pelaksanaan program pemberian makanan
tambahan pemulihan terdiri dari 4 tahap.

1. Persiapan, terdiri dari penentuan bayi/balita sasaran, menentukan makanan


membentuk kelompok ibu bayi/balita sasaran, sosialisasi program
dan penyuluhan.

2. Pelaksanaan, terdiri dari pendistribusian dan konseling.

3. Pemantauan dengan melakukan pengukuran berat badan dan tinggi


badan terhadap bayi/balita gizi buruk untuk mengetahui perkembangan status
gizinya dan memastikan bahwa paket makanan dikonsumsi oleh bayi/balita
gizi buruk.

4. Pencatatan dan pelaporan, dilakukan mulai dari orangtuaanak, bidan desa


dan petugas gizi puskesmas kemudian hasil pencatatan dilaporkan dari
bidan desa ke puskesmas, dari puskesmas ke dinas kesehatan setiap bulan.
Sarana dan prasarana yang memadai akan mendukung pelaksanaan
program PMT-P di masyarakat. Sarana dan prasarana program PMT-P
meliputi semua alat yang digunakan dalam pelaksanaan program PMT-P
Pelaksanaan program PMT-P setidaknya memerlukan gudang yang sesuai
sebagai tempat menyimpan makanan tambahan dan alat transportasi untuk
mendistribusikan makanan tambahan (Kemenkes RI, 2011)
DAFTAR PUSTAKA

Aryani, N. A., & Wahyono, B. (2020). Program Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan
(PMT-P) untuk Penderita Balita Gizi Buruk. HIGEIA (Journal of Public Health Research
and Development), 4(3), 460-470.
DepkesRI.2005.Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 1611/MENKES/SK/XI/2005 tentang
Pedoman Pelayanan anak Gizi Buruk. Jakarta:DinkesRI.
Handayani, R. (2017). Faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi pada anak
balita. Jurnal Endurance, 2(2), 217-224.

Hidayat A. (2005). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 1. Selemba. Jakarta

Kadir, Annisa. (2018)."MASALAH KEKURANGAN GIZI MASYARAKAT


PESISIR1."Makassar

Kemenkes RI. 2011. Penyelenggaraan Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan Bagi


Balita Gizi Kurang. Jakarta: Kemenkes RI.
Kemenkes RI. 2017. Hasil Pemantauan Status Gizi ( PSG ) Tahun 2017. Jakarta: Kemenkes
RI.

Manurung, S. S. (2015). Penelitian HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU DENGAN SIKAP


DALAM PEMENUHAN NUTRISI PADA BALITA (0-5 TAHUN) DI DUSUN
REJO SARI DESA KWALA BEGUMIT KECAMATAN STABAT KABUPATEN
LANGKAT TAHUN 2012. Jurnal Ilmiah Keperawatan IMELDA, 1(1), 1–7.

Partini, S., & Sensussiana, T. (2016). PERAN PERAWAT TERHADAP PENCEGAHAN GIZI
BURUK PADA BALITA DI KABUPATEN KLATEN. STIKES DUTAGAMA
KLATEN, 8(2).

Siregar, Y. (2020). GAMBARAN PENGETAHUANIBU TENTANG PENCEGAHAN GIZI


BURUK DENGAN PEMENUHAN NUTRISI DI LINGKUNGAN V KELURAHAN
MEDAN LABUHAN. Jurnal Ilmiah Keperawatan Imelda, 6(1), 86-92.
Wang, J. 2017. Effectiveness of Community-Based Complementary Food Supplement
( Yingyangbao ) Distribution in Children Aged 6-23 Months in Poor Areas in
China. PlOs ONE, 50(3): 1–14

Rini, 2017

Kemenkes, 2011

Kemenkes, 2010

Auliya et al., 2015

Wahyuningsih, 2014

Oktavia, 2017

Depkes 2004

Anda mungkin juga menyukai