Anda di halaman 1dari 14

Volume 2 Nomor 2 Tahun OKTOBER 2019

DOI: 10.26418/ekha.v2i2.32607

KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA-OBJEKTIF KARYA SASTRA SEBAGAI


DOKUMEN SOSIAL DALAM TRILOGI CERPEN PENEMBAK MISTERIUS

Suantoko
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP-Universitas PGRI Ronggolawe Tuban
Pos-el: stsuantoko109@gmail.com

Abstract
The Seno Gumira Ajidarma short story collected in the Penembak Misterius trilogy is
very interesting to read. In addition, as a social document, the collection of short stories
can be identified a social setting that actually became a place of social events occurred,
the social setting of the Penembak Misterius that occurred during the New Order era in
the 1980s. More precisely the social setting created at the party meeting officials in a
hotel, the shootings through the night, and the violence of the state apparatus. The social
context referred to by Seno Gumira Ajidarma is a mysterious shooting incident known as
"petrus" during the New Order period. It is intended to denounce the practice of legal
violence from the action of "petrus." As a social document or even a social critique of the
New Order rule, the Penembak Misterius trilogy comes as a social relation of literary
works to social reality. That is because, the silence of the conscience is very interesting
shown by the assassin. When the issue of "Petrus" is about to be removed from the
memory of society, this trilogy is present in the public. The presence of the "Petrus"
trilogy depicted in not only be seen as a social document but also a lawsuit against social
reality in the New Order era.
Keywords: Social Document, Sociology of Literature-Objective, and Penembak
Misterius Trilogy

PENDAHULUAN maksudnya. Tujuan dan maksud yang dari


Karya sastra lahir tidak dengan sendirinya, sebuah karya sastra tidak lain adalah
tetapi merupakan reaksi keadaan. Reaksi mengkontruksi realitas masyarakat.
tersebut dapat berupa reaksi spontan ataupun Dari uraian di atas, Endraswara
reaksi yang dipikirkan terlebih dahulu. Reaksi (2013a:91) menyatakan bahwa sastra itu
spontan mungkin dilakukan bersamaan dengan sebuah dokumen penting tentang zaman.
terjadinya suatu peristiwa, atau dilakukan Sebagai dokumen zaman, sastra berusaha
dengan cara menunjuk langsung kepada mencatat kejadian zaman. Tiap zaman
peristiwa itu dengan mengkongkritkannya ke memiliki keragaman kepentingan sosial.
dalam suatu karya. Dengan demikian, Sastra sebagai dokumen zaman, pernyataan
pandangan, sikap, dan nilai-nilai termasuk yang sama dikemukakan oleh Damono
kebutuhan sekarang, termasuk pengarang, (2013:4) bahwa sastra dapat dikatakan sebagai
ditimba dari sumber tata kemasyarakatan yang cermin masyarakat. Sastra dipandang sampai
ada dan berlaku. Walhasil, masyarakat sejauh mana dapat mencerminkan keadaan
merupakan faktor menentukan apa yang harus masyarakat. Lebih lanjut, konsep “cermin” i
ditulis orang, bagaimana menulisnya, untuk tentu saja kabar karena masyarakat yang
siapa karya itu ditulis, serta apa tujuan atau sebenarnya tidak sama dengan masyarakat

Jurnal Edukasi Khatulistiwa Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Vol.2 No. 2 Oktober 2019 13
yang digambarkan dalam karya sastra karena karena itu, pendekatan yang dikaji dalam
adanya intervensi pandangan dunia pengarang pembahasan ini adalah sosiologi karya sastra
(Damono, 2013:4-5; Ian Watt (1964); sebagai perwujudan sastra sebagai dokumen
Kurniawan, 2012:11). sosial atau sastra sebagai cermin masyarakat
Dengan demikian, sastra sebagai yang tercermin dalam trilogi cerpen
cermin masyarakat berarti sastra yang Penembak Misterius karya Seno Gumira
merefleksikan masyarakat atau Ajidarma. Trilogi cerpen Penembak Misterius
mempresentasikan semangat zaman. Di atau lebih populer dikenal Petrus merupakan
samping itu, karya sastra bukan semata produk cerpen yang sarat dengan dokumen-dokumen
imajinasi tetapi suatu karya yang juga terikat sosial yang mengacu pada gejolak militerisme
dan ditentukan oleh kepentingan khas sosial, masa orde baru. Oleh karena itu, studi
yaitu suasana kehidupan di masyarakat, juga sosiologi sastra-objektif dalam trilogi Petrus
lembaga-lembaga moralitas masyarakat dan sebagai dokumen sosial atau cermin
agamanya. masyarakat pada zaman itu perlu ditelaah dan
Untuk mengungkap karya sastra diungkapkan.
ditinjau dari aspek sosiologinya, Wellek dan Trilogi Penembak Misterius menjadi
Warren (1989: 111); Ratna (2011:2-3) fenomenal, lantaran ketika konteks sosial
mengemukakan tiga jenis pendekatan yaitu (1) masyarakat dibungkam oleh kekuasaan,
sosiologi pengarang yang mempermasalahkan Penembak Misterius muncul ditengah-tengah
status sosial, ideologi sosial, dan lain-lainnya masyarakat. Hal ini tentu menarik bagi
yang menyangkut pengarang sebagai Widyaningrum (2016) untuk mengkaji karya
penghasil karya sastra, (2) sosiologi karya tersebut dari aspek stilistika, Ahya (2017),
sastra yang mempermasalahkan karya sastra berusaha mengkaji Trilogi Penembak
itu sendiri, dan (3) sosiologi sastra yang Misterius dari perspektif wacana kritis, dan
mempermasalahkan pembaca dan pengaruh Putra (2012), berusaha mengkaji dari sudut
sosiologi sastra terhadap masyarakat. pandang militerisme dan kekerasan negara. Di
Selanjutnya Ian Watt (1964 dalam dalam kajian ini terfokus pada aspek dokumen
Kurniawan, 2012:11) mengemukakan tiga sosial dan konteks sosial karya sastra yang
macam pendekatan sosiologi sastra, yaitu (1) sengaja diungkapkan kembali dalam bentuk
konteks sosial pengarang, (2) sastra sebagai fiksi oleh Seno Gumira Ajidarma.
cermin masyarakat, dan (3) masyarakat apa Endraswara (2013a:95)
yang dituju oleh pengarang. mengungkapkan dokumen-dokumen tersebut
Jika dicermati dua pendapat di atas, seringkali menyajikan konteks yang tidak
yang dikemukakan Wellek dan Warren (1989) mudah ditafsirkan. Konteks itu semakin awam,
dan Ian Watt (1964) memiliki kesamaan, yaitu misterius kalau ahli sosiologi sastra diam saja.
pendekatan sosiologi meliputi pendekatan Maka studi sosiologi sastra perlu terus-
terhadap pengarang, karya sastra, dan pembaca menerus membangun konteks sosial. Ketika
sebagai individu masayarakat. Hal ini berhadapan dengan sastra, yang terpikirkan
menunjukkan bahan kajian sosiologi sastra adalah konteks sosial.
seharusnya secara komprehensif meliputi Mencermati uraian tersebut, sastra
data-data sosial. Dalam pembahasan mengimplikasikan kondisi sosial masyarakat
pendekatan sosiologi sastra ini berfokus pada sebagai cermin masyarakat maka kajian dalam
sosiologi sastra-objektif yang fokus kajiannya pembahasan ini terfokus pada analisis
pada sosiologi karya sastra atau sastra sebagai sosiologis pada karya sastra secara objektif
cermin masyarakat. atau otonom. Selanjutnya, fokus masalah
Hal ini didasarkan pada objek material dalam penelitian ini yaitu 1) konteks struktur
sastra yang memandang bahwa karya sastra karya sastra, 2) aspek sosial masyarakat yang
sebagai dokumen sosial. Menurut Endraswara diacu, dan 3) relasi sosial karya sastra dengan
(2013a:91) studi sosiologi sastra jelas perlu kenyataan sosial dalam trilogi cerpen
menemukan konteks sosial dalam karya. Oleh

Jurnal Edukasi Khatulistiwa Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Vol.2 No. 2 Oktober 2019 14
Penembak Misterius karya Seno Gumira dibangun dalam struktur tokoh, latar, dan alur.
Ajidarma. Ketiga struktur ini menjadi pusat perhatian,
karena seperti halnya kehidupan, aspek sosial
METODE dalam karya sastra berpusat pada tiga hal ini.
Pendekatan sosiologi sastra bermacam- Tokoh sebagai representasi manusia, latar
macam, tetapi tidak semua pendekatan sebagai representasi tempat, dan alur sebagai
sosiologi sastra cocok diterapkan untuk representasi waktu. Analisis sosiologi di sini
mengkaji objek yang sama. Oleh karena itu, bukanlah analisis yang memilah-milah ketiga
pendekatan yang digunakan dalam penelitian unsur tersebut, tetapi memahami hubungan-
ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra- hubungan yang terjalin antarstruktur sebagai
objektif atau otonom. Pendekatan sosiologi langkah awal untuk memahami struktur sosial
sastra-objektif (Kurniawan, 2012:12) yang lebih kompleks, yaitu struktur sosial
memandang bahwa fokus pada kajian sastra masyarakat yang sesungguhnya.
sebagai gejala pertama, yaitu objek kajian Kajian sosiologi sastra yang
terimplikasi sosial masyarakat. Dengan mengutamakan analisis struktur karya sastra
perkataan lain, sosiologi sastra objektif sebagai bahan penelaahan, kemudian
menitikberatkan pada analisis sosiologis karya digunakan untuk mengetahui gejala sosial di
sastra. Sastra dianggap memiliki hubungan luar sastra, oleh Damono (2013) disebut sastra
dialogis dan dialektis yang terbentuk antara menjadi fenomena pertama.
kehidupan sosial masyarakat. Dengan fokus Sastra dikatakan menjadi fenomena
pada karya sastra, aspek pengarang dan pertama, Luxemburg (1992:131) memaparkan
pembaca dinafikan atau hanya menjadi data bahwa dalam sebuah cerita unsur-unsur
penunjang, maka paradigmanya disebut peristiwa disajikan dengan cara tertentu.
sosiologi objektif atau sosiologi karya sastra Sedangkan hubungan antara unsur-unsur
dalam konteks sastra sebagai cermin peristiwa dan visi yang disajikan disebut
masyarakat. fokalisasi. Lebih lanjut Luxemburg (1992:153)
Sebagai dunia kehidupan imajiner memandang bahwa keterkaitan antara pelaku
yang ditampilkan dalam karya sastra dengan alur cerita disebut modul aktansi. Dari
hakikatnya adalah kehidupan yang mengacu aktansi yang disajikan itulah kehidupan sosial
pada kenyataan yang sebenarnya, yang telah masyarakat yang tercermin dalam karya sastra
dikreasikan oleh pengarang. Oleh karena itu, dapat diketahui.
karya sastra menghadirkan relasi manusia- Penelitian ini menggunakan metode
tokoh, ruang-setting, dan waktu-alur. Dengan deskriptif analitis untuk menggambarkan data
demikian karya sastra dapat dinilai dan sebagaimana adanya kemudian ditelaah.
dianalisis dengan norma-norma sosiologis. Metode deskriptif analitis adalah cara
Sedangkan analisisnya merupakan analisis pelukisan data dan analisis dalam penelaahan
unsur-unsur pembangun karya sastra yang karya sastra penelaahan karya sastra
dikaji secara sosiologis. Tujuan analisis adalah membutuhkan pelukisan data sebagaimana
mendeskripsikan kenyataan sosial dalam karya adanya (Endraswara, 2013b:176).
sastra. Ratna (2004:53) menambahkan bahwa
Analisis sosiologis berdasarkan metode deskriptif analitik dilakukan dengan
pendekatan sosiologi sastra objektif cara mendeskripsikan fakta-fakta kemudian
memandang bahwa analisis sosiologi sastra disusul dengan analisis. Sumber data
dilakukan dengan lebih dahulu menganalisis penelitian berasal dari cerpen Trilogi
struktur karya sastra, yaitu struktur pokok dari Pembunuhan Misterius karya Seno Gumira
karya sastra “fiksi” yang paling utama, yang Ajidarma terbitan Galang Press, Yogyakarta
kemudian disebut fakta cerita adalah alur, pada tahun 2007. Trilogi cerpen tersebut
tokoh, dan latar (Kurniawan, 2012:13). memuat judul yaitu Keroncong Pembunuhan,
Analisis sosiologi karya sastra adalah Bunyi Hujan di Atas Genting, dan Grhhh!,
analisis terhadap hubungan-hubungan yang Data penelitian dibagi menjadi dua bagian

Jurnal Edukasi Khatulistiwa Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Vol.2 No. 2 Oktober 2019 15
yaitu data primer dan skunder. Data primer 3) mengutip berbagai keterangan pendukung
diperoleh dari trilogi cerpen Penembak yang membantu terungkapnya masalah
Misterius dalam cerpen Keroncong penelitian, 4) mengkaji data sesuai dengan
Pembunuhan karya Seno Gumira Ajidarma. pendekatan dan metode atau langkah kerja
Sedangkan data skunder diperoleh dari resensi yang telah ditentukan, 5) menafsirkan data
dan kritikan dari beberapa kritikus sastra yang telah terkumpul, dan 6) menyusun
mengenai trilogi cerpen Penembak Misterius kesimpulan dan saran hasil kajian tersebut.
karya Seno Gumira Ajidarma. Data primer
dalam penelitian ini berupa kata, kalimat, dan HASIL DAN PEMBAHASAN
paragraf yang berasal dari sumber data primer Karya Sastra merupakan produk strukturasi
dalam trilogi cerpen Penembak Misterius dari subjek kolektif. Karya sastra, seperti karya
karya Seno Gumira Ajidarma. Kutipan kata- sastra mempunyai struktur yang koheren dan
kata, kalimat, dan paragraf tersebut memiliki terpadu. Dalam “The Epistemology of
keterkaitan dengan fokus penelitian, yaitu (1) Sociology” Goldmaniv (1981:55-74 dalam
konteks struktur karya sastra; (2) aspek sosial Faruk, 2010:71) mengemukakan dua pendapat
masyarakat yang diacu trilogi cerpen mengenai karya sastra pada umumnya.
Penembak Misterius karya Seno Gumira Pertama karya sastra merupakan ekspresi
Ajidarma; (3) relasi sosial karya sastra dengan pandangan dunia secara imajiner. Kedua
kenyataan sosial . dalam karya sastra diekspresikan pandangan
Teknik pengumpulan data penelitian dunia itu secara semesta, seperti tokoh-tokoh,
menggunakan teknik BSC (baca, simak, dan objek-objek, dan relasi secara imajiner.
catat), sebagaimana dikemukakan oleh Ratna Studi sosiologi sastra sudah jelas perlu
(2010:245-246) novel, cerpen, puisi, dan menemukan konteks sosial dalam karya sastra.
naskah drama, serta berbagai bentuk karya Konteks sosial itu tidak lain adalah dokumen
sastra lama, untuk memperoleh data semata- penting bagi peneliti. Konteks itu sekaligus
mata dilakukan melalui proses membaca. mencerminkan makna. Endraswara (2013a:90)
Proses membaca dengan memberikan membagi konteks sosial menjadi dua bagian,
perhatian penuh terhadap objek disebut yaitu (1) konteks sosial yang tegas, jelas
sebagai proses menyimak. Membaca dan disebutkan, dan eksplisit, dan (2) konteks
menyimak tidak cukup sebab masih terganggu sosial tersembunyi, perlu penafsiran berlapis-
dengan proses yang sedang berlangsung. lapis.
Membaca dan menyimak dilanjutkan dengan Dokumen sosial dan budaya mewarnai
mencatat, sehingga teknik yang digunakan konteks sastra. Sastra menjadi dokumen
disebut teknik baca, simak, dan catat (BSC). imajinatif kehidupan sosial. Oleh karena itu,
Teknik analisis data yang digunakan sosiologi sastra berupaya mendeskripsikan
dalam penelitian ini mencakup beberapa hal, dokumen kehidupan atas dasar konteks.
karena kajian ini memfokuskan hubungan Konteks sosial sering menyertai teks dan ada
dialektis antara karya sastra dengan kenyataan kalanya juga tersirat dalam teks.
sosial. Oleh karena itu, Kurniawanii (2012:14) Zerraffa (1973 dalam Endraswara,
analisis sosiologis yang bersifat objektif dapat 2013a:92) pandangan sosiologi sastra banyak
digambarkan dalam kerangka analisis, yaitu: berkiblat pada gagasan para ahli sosiologi yang
1) Analisis sosial struktur karya sastra dalam telah memiliki nama besar, seperti Weber dan
analisis ini, teknik analisis data menggunakan Durhkeim. Teori sosial sastra tentu tidak akan
modul aktansi sebagaimana dikemukakan oleh melupakan pemikiran kedua ahli sosiologi
Luxemburgiii, 2) Analisis sosial masyarakat yang terkenal itu. Kedua pemikiran tokoh
yang diacu karya sastra, dan 3) analisis relasi tersebut sangat menyadari keberadaan dan
sosial karya sastra dengan kenyataan sosial. perlunya metode alternative. Gagasan teoritik
Adapun prosedur dalam analisis data yaitu 1) itu untuk mewadahi berbagai konteks sosial
menelaah dan mengkaji isi pustaka, 2) dalam karya sastra.
menentukan karya sastra yang akan dianalisis,

Jurnal Edukasi Khatulistiwa Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Vol.2 No. 2 Oktober 2019 16
Sebagai dokumen sosial, sastra sering Endraswara (2013a:113)
meloncat-loncat dari dunia. Banyak pengaruh mengelompokkan pengalaman hidup menjadi
yang mewarnai hidup ini hingga sastra pun dua: (1) pengalaman tentang diri pengarang
terdesak. Sastra pun ingin mewadahi zaman, yang menjadi suara hati dalam karyanya, (2)
dan suatu ketika juga ingin lari dari zaman. pengalaman akibat desakan lingkungan sosial
Endraswara (2013a:95) memandang konteks yang keras, bertentangan dengan nurani, dan
sosial selalu menyertai setiap sastra lahir. cukup menantang.
Konteks itu melahirkan dokumen zaman yang Sastra memiliki lensa pemotret yang
patut ditelusuri. Sastra lahir terus menbangun memotret pengalaman hidup manusia.
konteks, untuk meluruskan zaman. Ketika Berbagai pita sastra akan merakam dunia
zaman sedang bobrok, sastra menjadi sosial. Selain itu, sastra juga memotret
dokumen rahasia. Pada waktu zaman edan, kejadian sosial melalui simbol-simbol yang
sastra yang mendokumentasikannya. fantastik. Oleh sebab itu, kajian sosiologi
Istilah lain diperkenalkan oleh sastra berusaha memaknai sombol itu sebagai
Vicomte de Donald (dalam Endraswara, potret diri dan sealigus gambaran kehidupan
2011:88) bahwa konteks sastra sebagai cermin sosial.
hanya merefleksikan keadaan pada saat Sastra sebuah peta pemikiran yang
tertentu. Istilah cermin ini merujuk kepada masuk akal. Logika tetap menjadi hal penting
perubahan dalam masyarakat. Hal ini dalam kehidupan sosial. Oleh sebab itu, sastra
ditegaskan kembali oleh Lowenthal (dalam meyakini bahwa yang digarap merupakan
Endraswara, 2011:88) sastra sebagai cermin bentuk gambaran nalar. Gambaran itu dapat
nilai dan perasaan, akan merujuk pada dirunut melalui studi refleksi sosial v.
tingkatan perubahan dalam masyarakat yang
berbeda dan merujuk pada tingkatan Konteks Struktur Karya Sastra Trilogi
perubahan yang terjadi dalam masyarakat yang Cerpen Penembak Misterius dalam Cerpen
berbeda dan juga cara Keroncong Pembunuhan Karya Seno
individumenyisialisasikan diri melalui struktur Gumira Ajidarma
sosial. Perubahan dan cara individu Analisis dalam perspektif sosiologi sastra
bersosialisasi biasanya akan menjadi sorotan objektif dimulai dari analisis struktur karya
pengarang yang tercermin dalam karya teks. sastra. Tentu saja analisis yang dimaksudkan
Sastra tidak dapat terlepas dari dimulai dari analisis antarstruktur yang
kehidupan sosial yang dipotret dalam karya dilakukan secara sosiologis, yaitu melihat
sastra. Dari potret-potret semacam itu, karya aspek-aspek sosial dalam karya sastra. Fokus
sastra memunculkan pengalaman, warna, dan analisisnya adalah pada relasi antarstruktur
refleksi sosial dalam karya sastra. tokoh dalam konteks latar sosial dan waktu
Sastra akan memotret fenomena sosial yang direpresentasikan dalam karya sastra
secara komprehensif. Sastra merupakan sebagai mana dikemukakan oleh Luxemburg
rekaman pengalaman sosial yang berharga. Di (1992) fokalisasi dan modul aktansi yang
jagat sastra Indonesia, Seno Gumira Aji Darma membahas keterkaitan tokoh dengan alur dan
termasuk sastrawan besar yang kaya latar sosial. Analisis ini mengungkapkan
pengalaman hidup, khususnya ketika menjadi persoalan-persoalan sosial yang muncul dalam
wartawan. Cerpen dia tentang Dilarang karya sastra.
Menyanyi di Kamar Mandi, Penembak Cerpen Keroncong Pembunuhan
Misterius, novel Trilogi Insiden, dan lain-lain, dapat diidentifikasi satu latar sosial yang
merupakan sebuah rekaman hidup. Biarpun secara nyata menjadi tempat peristiwa sosial
tidak menyatakan secara eksplisit, tentu karya terjadi, yaitu latar sosial terjadinya
Seno Gumira Ajidarma merupakan bagian penembakan misterius yang terjadi pada masa
pahit yang dialami dan getir dalam kehidupan orde baru dalam kurun tahun 1980-an.
sosial. Peristiwa tersebut menurut Hardianti (2016:5)
termasuk satu dari tujuh pelanggaran berat

Jurnal Edukasi Khatulistiwa Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Vol.2 No. 2 Oktober 2019 17
HAM di Indonesia. Latar belakangnya adalah Tokoh sentral tersebut memiliki relasi
permintaan presiden Soeharto untuk dengan seorang wanita. Wanita tersebut adalah
memberantas kriminalitas dan menekan pengontrak tokoh utama untuk menghabisi
penyebarannya. Bentuk penekanannya adalah seseorang. Tokoh wanita itu terlibat dalam
pemberantasan preman yang diduga pembunuhan.
meresahkan masyarakat tanpa melalui proses
hukum. Wanita bersuara halus yang
Beberapa peristiwa yang digambarkan memerintahku itupun tentu cantik. Aku
dalam trilogi Penembak misterius, lebih tak mengira seorang wanita akan
tepatnya latar sosial yang tercipta pada saat terlibat dalam pembunuhan seperti ini
pesta pertemuan para pejabat di sebuah hotel. (Ajidarma, 2007:4-5).
Sebagaiamana kutipan berikut ini.
Dalam masa kontrak penembakan
Mereka terserak di bawah sana, di tersebut, relasi kedua tokoh awalnya berjalan
sekitar kolam renang, tapi tampaknya harmonis. Ada sebuah kesepakatan antara
tak banyak yang mendengarkan lagu tokoh aku (lirik) dengan seorang wanita
keroncong itu dengan sungguh- pengontrak. Wanita itu merupakan tokoh
sungguh. pengontrak pengendali perintah, sedangkan
Lewat teleskop pada senapan ini, aku tokoh aku (lirik) adalah eksekutor
memperhatikan mereka satu per satu, penembakan.
seolah-olah aku berada di antara
mereka. Sebuah pesta yang meriah. “Siapa sasaranku?” tanyaku minggu
Ada kambing guling. Hmmm… lalu, ketika dia memesan penembakan
(Ajidarma, 2007:3). ini. Dilakukan lewat telepon seperti
... itu, tentu wajahnya hanya bisa kukira-
Dari teras hotel lantai 7 hotel ini, aku kira saja.
masih mengintip lewat teleskop “Kau tidak perlu tahu, ini bagian dari
(Ajidarma, 2007:4). kontrak kita.” (Ajidarma, 2007:5)
Relasi yang terbentuk melalui
Dengan mengidentifikasi latar sosial, tindakan sosial di antara dua tokoh tersebut,
dapat ditemukan fenomena sosial yang ada awalnya memiliki misi yang sama. Antara
pada saat itu. Pada masa orde baru, fokus tokoh aku (lirik) dengan wanita sama-sama
persoalan adalah penyalahgunaan wewenang memiliki kesepakatan untuk menumpas
untuk melanggengkan kekuasaan. Dengan penghianat negara. Juru tembak menerima
memahami persoalan melalui latar sosial, dengan senang hati kontrak yang diberikan
maka dapat diidentifikasi relasi sosial yang wanita itu. Dia merasa menjadi pahlawan
terjadi antartokoh, kemudian memunculkan apabila dapat menghabisi penghianat negara.
persoalan sosial yang menjadi konflik sosial
dalam cerpen Keroncong Pembunuhan. “Tapi satu hal kau boleh tahu.”
Tokoh sentral dalam cerpen ini adalah “Apa?”
tokoh aku (lirik), yaitu seorang pembunuh “Orang itu penghianat.”
bayaran kontrak. Sebagaimana dalam kutipan “Penghianat?”
berikut ini. “Ya, pengkhianat bangsa dan
Negara.”
Kontrak semacam ini memang sering Jadi sasaranku adalah seorang
terjadi. Aku dibayar hanya menembak, penghianat bangsa dan negara.
siapa yang jadi sasran bukanlah Apakah aku termasuk pahlawan jika
urusanku (Ajidarma, 2007:5). menembaknya? (Ajidarma, 2007:5)

Jurnal Edukasi Khatulistiwa Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Vol.2 No. 2 Oktober 2019 18
… Namun sungguh mati, aku akan dapat dipahami dan dikaitkan dengan potret
sangat berbahagia kalau korbanku sosial pemerintahan yang melegalkan segala
kali ini adalah yang memuakkan. cara untuk melanggengkan kekuasaan pada
Penghianatbangsa dan Negara pasti waktu itu. konflik cerita, tokoh aku lirik
memuakkan (Ajidarma, 2007:6) menentang kontrak secara sepihak. Nuraninya
mengatakan bahwa sasaran tembak bukanlah
Dari pikiran bangga apabila sasaran yang sebenarnya. Belum tentu sasaran
menembak penghianat Negara itulah, akhirnya tembak itu benar-benar penghianat negara.
tokoh aku lirik menemukan disharmoni Sang algojo itu sebenarnya tak pernah peduli
dengan pekerjaannya sebagai juru tembak. Dia dengan nilai yang diberikan oleh orang lain
merasa bersalah jika yang ditembak salah atas pekerjaannya. Yang penting baginya
sasaran, karena ini sebuah politik. Gejolak- adalah ia selalu bisa, dan nyatanya selalu bisa,
gejolak jiwa dalam tokoh aku lirik muncul. menyelasaikan pekerjaan berdasarkan kontrak.
Antara kontrak menjadi algojo pembunuhan Namun, saat kontrak penembakan dengan
tidak sejalan dengan pikirannya. Pikiran dan wanita muda, nuraninya terusik ketika ia
realitas sosial tokoh aku lirik terjadi sedang melakukan pekerjaan itu.
disharmoni.
… “Kau tidak keliru? Benarkah ia
“Penghianat yang bagaimana? seorang penghianat.”
Kenapa tidak diadili saja?” “Tidak usah bertanya-tanya, tembak
“Apa urusanmu tolol? Tembak dia sekarang!” (Ajidarma, 2007:11)
sekarang, atau kontrak kubatalkan!” …
Perasaan aneh tiba-tiba merasuki “Katakan kesalahannya.”
diriku. Aku malah mengarahkan “Ia penghianat, ia menjelek-jelekkan
senapan pada wanita itu (Ajidarma, nama bangsa dan negara kiat di luar
2007:11) negeri.”
“Cuma itu?”
Atau dalam kutipan di bawah ini. “Ia meresahkan masyarakat dengan
“Kamu sudah melanggar kontrak.” pernyataan-pernyataan tidak benar.”
“Aku tidak mau menembak orang “Lantas?”
yang bersalah.”(Ajidarma, 2007:11) “Kau mau apa? Aku tidak tahu
banyak.”
Dari kutipan di atas dapat diperoleh “Aku ingin tahu, apakah semua itu
gambaran bahwa muncul konflik antartokoh merupakan alasan yang cukup untuk
yang menyebabkan disharmonis di antara membunuhnya?”
hubungan antartokoh. Selain itu, “Itu bukan urusanmu, ini politik.”
memunculkan dua persepsi mengenai toko- (Ajidarma, 2007:12)
tokoh yang dibangun dalam cerpen Keroncong
Pembunuhan. Tokoh aku dalam akhir cerita
Mencermati persoalan sosial cerpen mengarahkan senapannya pada seseorang yang
ini muncul karena bertemunya dua kelompok seharusnya dibunuh. Hal ini ditutup dengan
sosial yang direprsentasikan tokoh aku lirik dialog di bawah ini.
dan wanita. Tokoh aku lirik merepresentasikan
bagian dari masyarakat yang tidak menyukai “Jangan tembak aku! Aku tidak tahu
penghianat bangsa dan negara. Sedangkan apa-apa.”
tokoh wanita merepresentasikan tokoh sebagai “Siapa yang menyuruhmu?”
pelaku politik yang berkecamuk pada masa “Aku tidak tahu apa-apa.”
orde baru. …
Dengan melihat konflik sosial dalam “Ia ada di depan orang yang harus
cerpen Keroncong Pembunuhan, konflikn kamu tembak.”

Jurnal Edukasi Khatulistiwa Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Vol.2 No. 2 Oktober 2019 19
“Berkaca mata?” Dampak langsung yang nyata dari
“Ya.” (Ajidarma, 2007:12) “petrus” memang dirasakan segera oleh
masyarakat, yaitu menurunnya angka
Kuarahkan senapanku ke sana. Dan kriminalitas. Ini berarti aktivitas “petrus”
aku melihat orang itu. Ia sedang bercerita mendapatkan pengakuan sosial. Hal ini berarti
berapi-api. Tangannya bergerak kian kemari, pula, politik kekuasaan dengan melibatkan
mengepal dan memukul-mukulkan tinjunya militer dalam mengatasi masalah kejahatan
pada telapak tangan yang lain. Wajahnya licik dengan menggunakan kekerasan di luar
dan penuh tipu daya. Sangat memuakkan. prosedur hukum, dianggap legal.
Padahal ia pun sudah tua. Dari sini Berbeda dengan pendapat umum,
menggambarkan keberhasilan Seno Gumira Budiwan dalam catatan “petrus” (Ajidarma,
Ajidarma dalam membangun konflik cerita 2007:186) sejumlah kecil pengacara seperti:
melalui persoalan-persoalan sosial terutama Adnan Buyung Nasution, T. Mulya Lubis, dan
politik kekuasaan yang terjadi pada masa orde lain-lain, mengecam “petrus” sebagai tindak
baru. kekerasan negara. Kecaman terhadap “petrus”
ternyata tidak hanya dari kalangan praktisi
hukum, tetapi juga dari anggota Dewan
Aspek Sosial Masyarakat yang Diacu Perwakilan Rakyat (DPR). Kecaman “petrus”
Trilogi Cerpen Penembak Misterius dalam juga datang dari luar negeri, seperti: protes dari
Cerpen Keroncong Pembunuhan Karya pemerintah Amerika Serikat, Kanada, Inggris,
Seno Gumira Ajidarma VAtikan, Australia, dan dari amnesty
Menurut catatan Budiwan (Ajidarma, internasional. Di mata mereka, “petrus”
2007:185; Hardianti, 2016:4) dalam sejarah merupakan satu bentuk pelanggaran hak azasi
Indonesia masa Orde Baru, militer secara manusia yang sangat brutal dan transparan.
tersembunyi pernah mengatakan perang Dari kecaman-kecaman semacam
teerhadap kejahatan, yang semestinya itulah, kemudian masyarakat merasa cemas
merupakan urusan polisi dan lembaga- setelah melihat efek samping dari “petrus”,
lembaga peradilan. Pernyataan perang itu pers Indonesia kemudian melancarkan kritik
muncul dalam bentuk pembinasaan para terhadap praktik penumpasan kejahatan secara
pelaku atau yang disangka sebagai pelaku legal itu. kini pendapat umum berbalik: dari
tindak kejahatan. mendukung menjadi mengecam.
Pembinasaan tersembunyi yang Melihat pendapat umum yang tidak
berlangsung pada tahun 1980-an, konon mendukung, pada Agustus 1983 pemerintah
menelan korban lebih dari 10.000 jiwa melarang pers mengangkat isu “petrus”.
(Tempo, 21 Mei 1994:27), ini lazim disebut Pelarangan ini dimaksudkan untuk menghapus
“penembak (an) misterius” atau “petrus”. memori masyarakat tentang “petrus”,
Tahun 1983 setelah terjadi arus sementara praktik “petrus” tetap berlangsung
migrasi masyarakat pedesaan ke perkotaan hingga awal 1985. Pelarangan tersebut tidak
tidak terkendali. Hal ini megakibatkan dengan sendirinya membuat isu “petrus”
pengangguran, kriminalitas, dan angka hilang dari perbincangan public.
kejahatan di kota sangat tinggi. Kriminalitas Perbincangann tetap berlangsung. Isu “petrus”
yang terjadi pada waktu itu, yang bentuknya tetap ampil di media massa dalam betuk karya
semakin mengarah pada kejahatan dengan sastra yakni cerpen. Salah seorang cerpenis,
kekerasan, semakin meresahkan masyarakat. yang kebetulah juga wartawan, yang
Rasa tidak aman kian merasuk dalam mengangkat isu “petrus” ke dalam cerpen
kehidupan sehari-hari masyarakat perkotaan. adalah Seno Gumira Ajidarma. Ada tiga
Dengan situasi semacam ini, masyarakat cerpen Seno tentang “petrus”, yaitu Keroncong
meyambut “petrus” secara positif. Ada pembunuhan (Kompas, 3 Februari 1985),
dukungan masyarakat umum terhadap Bunyi Hujan di Atas Genting (Kompas, 28 Juli
“petrus”. 1985), dan Grhhh! (Kompas, 18 Januari 1987).

Jurnal Edukasi Khatulistiwa Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Vol.2 No. 2 Oktober 2019 20
Mengamati cerpen Keroncong Kuarahkan senapanku ke sana. Dan
Pembunuhan, cerpen ini berkisah tentang aku melihat orang itu. Ia sedang bercerita
seorang pembunuh bayaran yang dikontrak berapi-api.
untuk menghilangkan nyawa seseorang. ...
Kubidikkan garis silang teleskopku ke
“Kontrak semacam ini memang sering jantungnya, sementara itu, ditelingaku
terjadi. Aku dibayar hanya untuk mengiang suara penyanyi itu, yang
menembak, siapa yang jadi sasasran memulai lagu keroncong, lagu
bukanlah urusanku (Ajidarma, kesenangan orang-orang tua
2007:5) (Ajidarma, 2007:13).

Ia sebenarnya sudah terbiasa dibayar Awal cerita yang dinarasikan Seno


hanya untuk menembak, tidak peduli siapa bahwa penembak bayaran dengan senang hati
yang menjadi sasarannya. Namun kali ini, oleh menerima kontrak, karena yang dibunuh
seorang wanita muda yang disuruh seseorang adalah penghianat bangsa dan negara. Namun
untuk mengontraknya, ia diberitahu bahwa pada akhir cerita, justru pengontraknya yang
orang yang harus ia bunuh adalah penghianat dibunuh. Hal ini sebagai bentuk kecaman
bangsa dan negara. Mendengar hal itu, sang “petrus” yang melegalkan segala cara untuk
pembunuh bayaran, dalam hal ini tokoh aku menumpas kejahatan.
lirik bertanya-tanya, “Apakah aku termasuk
pahlawan jika menembaknya?” Relasi Sosial Karya Sastra dengan
Kenyataan yang ada pembunuh Kenyataan Sosial Trilogi Cerpen Penembak
bayaran itu mengikuti nuraninya. Ia tidak jadi Misterius dalam Cerpen Keroncong
menembak orang yang menjadi sasarannya, Pembunuhan Karya Seno Gumira
namun senapannya mengarah kepada orang Ajidarma
yang menyuruh mengontrak pembunuh Setelah latar sosial ditemukan, analisis
bayaran. selanjutnya adalah mencari hubungan
persoalan dalam sastra dengan realitas
“Jangan tembak aku! Aku tidak tahu masyarakat secara komprehensif. Karya sastra
apa-apa!” digunakan sebgai fenomena cultural untuk
“Siapa yang menyuruhmu?” memahami kenyataan-kenyataan sosial dalam
“Aku tidak tahu apa-apa.” masyarakat (Kurniawan, 2012:34).
... Ketika isu “petrus” hendak dihapus
“Ah, jangan, jangan tembak! dari memori masyarakat, trilogi ini hadir di
Please...” tengah-tengah publik. Oleh karena betapa
“Siapa?” sangat berharga trilogi ini sebagai dokumen
“Aku... aku bisa celaka.” (Ajidarma, sosial masyarakat. Kehadiran trilogi “petrus”
2007:13) yang digambarkan dalam cerpen Keroncong
Pembunuhan tidak hanya dipandang sebagai
Dari hal inilah, sebenarnya bentuk dokumen sosial tetapi juga gugatan terhadap
kecaman penulis terhadap konteks sosial realitas sosial pada masa orde baru.
masyarakat yang bekembang pada saat itu.
Dengan kalimat lain cerpen Keroncong Jadi, sasaranku adalah penghianat
Pembunuhan mengacu konteks sosial bangsa dan negara. Apakah termasuk
masyarakat yang berkembang pada waktu itu. pahlawan jika menembaknya?
Kugerakkan lagi senapanku. Dari
“Ia ada di depan orang yang harus balik teleskop kuteliti orang-orang
kamu tembak?” yang makin banyak saja berdatangan
“Berkaca mata?” (Ajidarma, 2007:5)
“Ya”

Jurnal Edukasi Khatulistiwa Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Vol.2 No. 2 Oktober 2019 21
Sebagai dokumen sosial atau bahkan pada orang yang sebenarnya telah
kritik sosial terhadap kekuasaan orde baru, mengontraknya, tetapi pada bagian ending,
cerpen Keroncong Pembunuhan hadir sebagai Seno menutup cerpen ini dengan kata-kata,
relasi sosial karya sastra dengan kenyataan “Inilah keroncong fantasi.” Artinya ilusi
sosial. Hal itu disebabkan, bungkamnya hati mengharapkan para penembak misterius mau
nurani dengan sangat menarik diperlihatkan membiarkan nurani mereka bicara, sebab
oleh pembunuh bayaran. mereka dilatih untuk selalu berkata pada diri
mereka sendiri bahwa mereka “tidak
Memang wajah mereka adalah wajah membunuh orang,” tetapi “hanya membidik
orang baik-baik, tetapi entahlah apa dan menekan pelatuk.” Betapa tragisnya bila
yang kurang enak di sana. Namun, pembunuhan telah dipandang bukan sebagai
sungguh mati, aku akan sangat pembunuhan, tetapi sekadar peristiwa hiburan,
berbahagia kalau korbanku kali ini layaknya hiburan yang mengalun dari lagu
adalah seseorang yang memuakkan. keroncong dalam cerpen Keroncong
Penghianat bangsa dan negara pasti Pembunuhan.
sangat memuakkan (Ajidarma, Di dalam Keroncong Pembunuhan
2007:5-6). digambarkan betapa alunan keroncong
membuai itu, yang membuat orang-orang tua
Dalam cerpen ini, Seno menggunakan terkenang-kenang akan masa lalu, telah
trik ironi atas realitas sosial masyarakat pada menyuburkan sebuah tidak kepedulian
waktu itu. Semula algojo pembunuh baya ran terhadap nasib tragis yangb menimpa si anak
dikesan sebagai pembunuh berdarah dingin, manusia yang menjadi korban sebuah ambisi
yang selalu melaksanakan pekerjaannya secara untuk menciptakan apa yang diyakini sebagai
professional. Namun sang algojo itu keamanan dan ketertiban. Dari sudut pandang
digambarkan sempat terasuki keraguan, ketika ini, relasi cerpen Keroncong Pembunuhan
menangkap mata “penghianat bangsa dan dengan realitas sosial sebagai gugatan pada
negara” lewat teleskop senapannya. masalah eksistensi kemanusiaan yang secara
serius terancam oleh sebuahb proyek
“Kau tidak perlu? Benarkah ia kekuasaan yang berambisi menegakkan apa
seorang penghianat” yang diyakini sebagai kewibawaan bangsa dan
“Tidak usah tanya-tanya, tembak negara.
sekarang!” Eksistensi kemanusiaan yang
Aku menatap lagi matanya, terancam itu sebenarnya tidak hanya terjadi
penghianat yang bagaimana? pada korban pembunuhan misterius, tetapi
“Penghianat yang bagaimana? juga pada para pembunuh itu sendiri. Dengan
Kenapa tidak diadili saja?” dikondisikan hidup tanpa hari nurani, para
“Apa urusanmu tolol? Tembak dia pembunuh bayaran itu sebenarnya telah tidak
sekarang, atau kontrak atau kontrak menjadi manusia yang multidimensional.
kibatalkan! Mereka telah dikondisikan menjadi manusia
Dalam teleskop kulihat wajahnya yang patuh pada kontrak untuk membunuh,
mendongak, ke arahku dengan kaget. apapun motif yang mendasari kontrak itu.
“Katakan padaku,” katakan lagi,
“Apakah kesalahan orang itu?” “Siapa sasaranku?” tanyaku minggu
“Tembak dia sekarang tolol, atau lalu, ketika dia memesan penembakan
kamu akan mati!” ini. Dilakukan lewat telepon seperti
“Justru kamu yang segera mati.” itu,tentu wajahnya hanya bisa kukira-
(Ajidarma, 2007:11). kira saja.
“Kau tak perlu tahu, ini bagian dari
Keraguan itupun berubah menjadi kontrak kita.”
ketidakyakinan, sehingga senapan ia bidikkan

Jurnal Edukasi Khatulistiwa Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Vol.2 No. 2 Oktober 2019 22
Kontrak semacam ini memang sering melalui fakta-fakta sosial yang ada dalam
terjadi. Aku dibayar hanya untuk karya sastra.
menembak, siapa yang jadi sasaran Relasi sosial dalam karya sastra
bukanlah urusanku (Ajidarma, hubungannya dengan realitas sosial juga
2007:5). terdapat dalam cerpen Bunyi di Atas Genting.
Cerpen tersebut menceritakan tentang
Sebagai manusia, mereka telah ketakutan dan trauma yang mendalam sebagai
dikondisikan untuk tidak berpikir tentang dampak dari penculikan dan pembunuhan
kebebasan memilih. Mereka sekadar menjadi misterius.
instrument untuk melegalkan segala cara untuk
menciptakan “keamanan dan ketertiban.” Di Rumahnya memang terletak di sudut
sinilah Keroncong Pembunuhan mulut gang itu. Pada malam hari,
memperlihatkan yang kelihatan mengancam kadang-kadang ia bisa mendengar
itu sebenarnya juga sedang terancam semacam letupan den bunyi mesin
kemanusiaannya. Baik yang membunuh kendaraan yang menjauh. Namun tak
maupun yang dibunuh sebenarnya korban dari jarang pula ia tak mendengar apa-
sebuah sistem yang hanya mengenal dua kata: apa, meskipun sesosok mayat bertato
ini perintah! tetap saja menggeletak di mulut gang
setiap kali hujan reda pada malam
“Justru kamu yang bisa segera mati.” hari (Ajidarma, 2007:15).
“Omong kosong! Kamu tak tahu di
mana aku.” Setiap hujan mulai menitik, Sawitri
“Kamu memakai cheongsam dengan mulai gemeteran. Hal ini dikarenakan setiap
belahan di paha, kamu ada di belakang orkes. hujan mereda selalu ada mayat yang tergeletak
Dan kulihat wajahnya pucat di mulut gang. Apa yang dialami Sawitri
(Ajidarma, 2007:11) meruakan realitas sosial dalam karya sastra.
Realitas tersebut, mengacu pada kenyataan
Dengan pembahasan ini terlihat bahwa sosial yang terjadi pada tahun 1980-an, di
cerpen Keroncong Pembunuhan karya Seno mana banyak orang yang tiba-tiba menghilang,
Gumira Ajidarma merefleksikan persoalan lantaran mengkritik pemerintahan orde baru.
pemerintahan dan kondisi sosial masyarakat Budiawan dalam Epilog Petrus
zaman orde baru. Hal ini terjadi, sekitar tahun (Ajidarma, 2007:225), di mata sistem
1980-an dengan adanya “petrus” sebagai cara kekuasaan “militerisme” manusia dipandang
untuk mengambil alih kekuasan “keamanan dengan kacamata dikotomistik yang sangat
dan ketertiban negara” tanpa memandang kasar:baik atau jahat, kawan atau lawan, patuh
sebuah kekerasan atau tidak. atau pembangkang. Setelah seorang telah
Sebagai catatan akhir, bahwa cerpen divonis maka vonis mati telah dijatuhkan. Tak
Keroncong Pembunuhan merupakan gugatan ada kesempatan untuk bertobat dan
terhadap suatu sistem kekuasaan “anarkis”, memperbaiki diri. Bahkan ada yang divonis di
karena itu perlu dihindari. Cerpen ini dalam luar prosedur hukum itu pun telah tidak lagi
trilogi Penembak Misterius berusaha untuk dipandang sebagai manusia. Itulah sebabnya,
mendobrak sistem kekuasaan yang mayat tergeletak di mana-mana, sebagaimana
menghegemoni masyarakat atau menguasai ditunjukkan dalam cerpen Bunyi Hujan di Atas
kesadaran masyarakat. Akan tetapi dalam Genting.
Keroncong Pembunuhan setidak-tidaknya Kekerasan dalam kenyataan sosial
telah berupaya untuk keluar dari terkaman yang diacu dalam cerpen Bunyi Hujan di Atas
hegemoni kesadaran masyarakat atas Genting menjadi sesusatu yang
kekuasaan. Dengan memahami hal ini, berarti sah.militerisme telah mempora-porandakan
melalui karya sastra dapat dipahami persoalan- aspek-aspek kemanusiaan.
persoalan sosial yang direpresentasikan

Jurnal Edukasi Khatulistiwa Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Vol.2 No. 2 Oktober 2019 23
Dulu mayat-mayat itu Mayat-mayat adalah korban petrus itu
bergelimpangan hampir setiap saat. kini bangkit menjadi monster atau
Pagi saing sore malam mayat-mayat zombie, yang menyebarkan bau busuk,
menggelateak di sudut-sudut pasar, dan membuat kehidupan kota kacau.
terapung di kali, terbenam di got, atau Berbagai jenis senjata telah
terkapar di jalan tol. Setiap hari dikerahkan untuk memusnahkan
koran-koran memuat potret mayat- zombi-zombi yang selalu
mayat bertato dengan luka tembakan mengeluarkan suara serak berbunyi
ditengkuk, di jidat, di jantung, atau di Grhhh! Grhhh! Grhhh! Senapan
antara kedua mata (Ajidarma, kaliber 22 tidak mempan (Ajidarma,
2007:23) 2007:196).
Bagaimanapun juga, petrus sebagai
Potret yang dimunculkan dalam potret militarisme menuai dampak yang luar
cerpen Bunyi Hujan di atas Genting biasa. Bahkan generasi selanjutnya terdampak
meruapkan realitas yang terjadi ketika cerpen dengan adanya petrus. Reserse Sarman sebagai
itu mengacu pada kenyataan sosial. Di mana, tokoh utama ditugaskan untuk membasmi
orang-orang yang dianggap pembangkang zombi, mengatakan bahwa pembantaian itu
terhadap penguasa. Mayat-mayat bertato adalah kesalahan besar. Para korban petrus
bertebaran di mana-mana. Bagi penguasa, tersebut, tidak diperlalukan sebagaimana
mayat-mayat itu adalah hal biasa. Berita pun manusia pada umumnya.
menyebar di koran-koran dan majalah
nasional. Akan tetapi, berita itu pun cepat “Pembantaian ini merupakan
menghilang. Akan tetapi, mayat-mayat itu kesalahan besa, Pak! Generasi kita
tetap bergeletakan. kena getahnya! Mereka tidak rela
mati!mereka membalas dendam,
Potret mayat-mayat itu kemudian Pak!”
menghilang dari koran-koran. Tapi “Sembahnyangkan mereka, Pak!
mayat bertato masih bermunculan Harus dilakukan penyembahyangan
dengan ciri yang sama. Tangan dan massal, Pak! Rudal kita Cuma
kai mereka terikat (Ajidarma, seratus! Tidak cukup untuk membasmi
2007:23). mereka! Sembahyangkan mereka,
Pak! Supaya rohnya santai!”
Cerpen Bunyi Hujan di Atas Genting (Ajidarma, 2007:197)
berusaha menggugat kenyataan sosial yang
tercermin pada masa orde baru. Akan tetapi Permintaan reserse Sarman kepada
dalam cerpen tersebut, dobrakan terhadap atasannya, tentu beraslasan. Pembantaian
penguasa akhirnya dimentahkan sendiri dalam korban petrus, sebelumnya tidak diperlakukan
cerpen ini. sebagaimana mayat pada umumnya. Mereka
Dari sudut pandang yang berbeda, dibiarkan tergeletak begitu saja di depan gang,
cerpen Grhhh berusaha mengungkap sudut di atas jembatan, bahkan di lempar di atas jalan
pandang yang berbeda. Cerpen ini mengambil tol. Mereka tidak dihormati sebagai mayat
sudut pandang penegak keamanan dan yang mulia, tidak disembahyangkan, dan tidak
stabilitas negara, Reserse Sarman. Bagi aparan dimakamkan dengan sempurna. Tokoh reserse
keamanan, seperti Reserse Sarman, menumpas Sarman dalam cerpen Grhhh merupakan
mayat-mayat yang bangkit di segala sudut kota penggambaran atas pendobrakan dan kritik
sebagai akibat dari “Petrus” digambarkan terhadap sistem yang bertahan. Akan tetapi,
menjadi usaha yang sia-sia. Dampak Petrus sesuatu yang digugat dan didobrak dari cerpen
menyebarkan penyakit sosial yang luar biasa ini sebagaimana digambarkan melalui tokoh
hingga kehidupan kota kacau. reserse Sarman, bukan pusatnya tetapi

Jurnal Edukasi Khatulistiwa Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Vol.2 No. 2 Oktober 2019 24
lembaga apa pun yang mengontrol 2. Konteks sosial yang diacu karya sastra
pemerintahan. Keroncong Pembunuhan, salah satu bagian
Melalui trilogi tersebut, penulis dari trilogi Penembak Misterius adalah
mencoba berkonvergensi dengan sstem yang peristiwa penembakan misterius atau
coba digugatnya: mencurigai anarkhi dan dikenal “petrus” pada masa orde baru. Hal
mewaspadai revolusi. Pada titik inilah, trilogi ini dimaksudkan untuk mengecam praktik
tersebut mencoba keluar dari terkaman kekerasan legal dari aksi “petrus.”
hegemoni kekuasaan itu. Sebagaiamana Ahya 3. Sebagai dokumen sosial atau bahkan kritik
(2017) representasi fakta sosial yang sosial terhadap kekuasaan orde baru, cerpen
didalamnya terdapat nilai pengalaman merujuk Keroncong Pembunuhan hadir sebagai
pada ideologi yang menenntang relasi sosial karya sastra dengan kenyataan
dan mengkritik sistem pemerintahan Orba sosial. Hal itu disebabkan, bungkamnya
serta segala bentuk pelanggaran HAM. Pada hati nurani dengan sangat menarik
praktik kewacanaan khususnya pada proses diperlihatkan oleh pembunuh bayaran.
produksi teks, Penembak Misterius: Trilogi Ketika isu “petrus” hendak dihapus dari
lahir dari sebuah obsesi penulis untuk memori masyarakat, trilogi ini hadir di
menyuarakan gagasannya melalui wacana tengah-tengah publik. Oleh karena betapa
sastra. Selanjutnya pada praktik sosiokultural sangat berharga trilogi ini sebagai dokumen
yang dominan adalah konteks sosial politik sosial masyarakat. Kehadiran trilogi
yakni sebuah sistem pemerintahan otoriter “petrus” yang digambarkan dalam cerpen
dengan beberapa kebijkannya absurd yang Keroncong Pembunuhan tidak hanya
menjadikan Penembak Misterius: Trilogi dipandang sebagai dokumen sosial tetapi
berbeda dengan karya lain. juga gugatan terhadap realitas sosial pada
masa orde baru.
SIMPULAN
Sebagai dokumen sosial, cerpen-cerpen Seno
Gumira Ajidarma yang terkumpul dalam trilgi DAFTAR RUJUKAN
Penembak Misterius sangat menarik untuk Ajidarma, S.G. 2007. Penembak Misterius:
dibaca. Selain itu, perlu dipahami kritik-kritik Kumpulan Cerita Pendek. Yogyakarta:
sosial yang ada dalam karya sastra tersebut. Galang Press.
Setelah mencermati pembahasan dapat Ahya, A.S. 2017. Antologi Cerpen Penembak
disimpulkan sebagaimana berikut ini Misterius Karya Seno Gumira
1. Cerpen Keroncong Pembunuhan dapat Ajidarma: Analisis Wacana Kritis.
diidentifikasi satu latar sosial yang secara Sastranesia: Jurnal Pendidikan Bahasa
nyata menjadi tempat peristiwa sosial dan Sastra Indonesia, STKIP PGRI
terjadi, yaitu latar sosial terjadinya Jombang, Volume 1 Nomor 1 Tahun
penembakan misterius yang terjadi pada 2017.
masa orde baru dalam kurun tahun 1980-an. Damono, S.D. 2013. Sosiologi Sastra
Lebih tepatnya latar sosial yang tercipta Pengantar Ringkas. Yogyakarta:
pada saat pesta pertemuan para pejabat di Editum.
sebuah hotel. Hal ini dapat digambarkan Endraswara, S. 2011. Metodologi Penelitian
melalui dua tokoh sentral. Relasi yang Sastra. Yogyakarta:CAPS
terbentuk melalui tindakan sosial di antara Endraswara, S. 2013a. Sosiologi Sastra Studi,
dua tokoh tersebut, awalnya memiliki misi Teori, dan interpretasi. Yogyakarta:
yang sama. Antara tokoh aku (lirik) dengan Ombak.
wanita sama-sama memiliki kesepakatan Endraswara, S. 2013b. Metode Kritik Sastra.
untuk menumpas penghianat negara. Yogyakarta: Ombak.
Namun pada akhirnya, hati nurani Faruk. 2010. Sosiologi Sastra. Yogyakarta:
penembak bayaran berlawanan dengan Pustaka Pelajar.
pekerjaan yang dilakukan.

Jurnal Edukasi Khatulistiwa Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Vol.2 No. 2 Oktober 2019 25
Faruk. 2013. Metode Penelitian Sastra. Wellek, R. & Warren, A. 1989. Teori
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kesusastraan. Jakarta: Gramedia
Kurniawan, H. 2012. Teori, Metode, dan Pustaka Utama.
Aplikasi Sosiologi Sastra, Yogyakarta: Putra, E. 2012. Kekerasan Negara dalam
Graha Ilmu Trilogi Cerpen Penembak Misterius
Ratna, N.K. 2004. Teori, Metode, dan Teknik karya Seno Gumira Ajidarma.
Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka http://journal.unpad.ac.id/ejournal/articl
Pelajar. e/viewFile/903/949
Ratna, N.K. 2010. Metodologi Penelitian Widyaningrum, H.K. 2016. Kajian Stlistika
Kajian Budaya dan Ilmu Sosial dalam Cerpen Berjudul Penembak
Humaniora pada Umumnya. Misterius karya Seno Gumira
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ajidarma. Edutama: Jurnal
Ratna, N.K.. 2011. Paradigma Sosiologi Pendidikan IKIP PGRI Bojonegoro.
Sastra. Yogyakarta:Pustaka Pelajar Volume 2 Nomor 2 Tahun 2016
Luxemburg, J.V., (et al). 1992. Pengantar Ilmu
Sastra. Jakarta: PT. Gramedia. Hardianti, D. Dkk. 2016. Tanggung Jawab
Sariban. 2009. Teori dan Penerapan Negara Menyelesaikan Kasus
Penelitian Sastra. Surabaya: Lentera Pelanggaran Berat HAM Masa Lalu
Cendikia Melalui Proses Rekonsiliasi di
Teeuw, A. 2003. Sastra dan Ilmu Sastra. Indonesia. Diponegoro Law Journal:
Jakarta: Dunia Pustaka Jaya Universitas Diponegoro, Volume 5,
Tempo, 1994. Ia berbicara Soal Petrus. Nomor 3 tahun 2016. https://www.
Jakarta: Penerbit Majalah Tempo ejournal –
s1.undip.ac.id/index.php/dlr/

Jurnal Edukasi Khatulistiwa Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Vol.2 No. 2 Oktober 2019 26

Anda mungkin juga menyukai