Anda di halaman 1dari 30

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.

69/PUU-
XIII/2015 PERIHAL PERJNAJIAN YANG DIBUAT
DALAM IKATAN PERKAWINAN

JURNAL

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

FURQAANSYAH

NIM: 140200209

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN


PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NO.69/PUU-XIII/2015 PERIHAL PERJNAJIAN KAWIN
DALAM IKATAN PERKAWINAN

JURNAL

Diajulan untuk melengkapi tugas akhir dan memenuhi syarat-syarat guna


memperoleh gelar sarjana hukum

Oleh:
Furqaansyah
NIM : 140200209

Depatemen : Hukum Keperdataan


Program Kekhususan Hukum Perdata BW

Disetujui Oleh:
Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. Rosnidar Sembiring, SH,M.Hum

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Rosnidar Sembiring, SH,M.Hum Syamsul Rizal,SH,M.Hum

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2019
Nama Lengkap Furqaansyah

Jenis Kelamin Laki-laki f W» c* 1


Tempat, Tanggal
Lahir Jakarta, 25 Februari 1996 J
CURRICULUM VITAE
Kewarganegaraan Indonesia
Status A. Belum
Data Pribadi
Menikah
Identitas KTP No. 1271172502960001
Agama Islam
Jl. Mayjen. D.I Panjaitan No. 118
Alamat Domisili
Medan
No.Telp 081260085962

Email furqaansyah@gmail .com

Tahun Institusi Pendidikan Jurusan


2002 - 2008 SD Percobaan Negeri Medan -
2008 - 2011 SMP Swasta Syaffiatul Amaliyyah -
2011 - 2014 SMA Negeri 4 Medan IPA
2014 - 2018 Universitas Sumatera Utara Fakultas Hukum

B. Pendidikan Formal

C. Nama Ayah/Ibu : Ir. Syahrizal Juned/Cut Izzatoen Nasyiin, SH

Pekerjaan : Wirausaha / Aparatur Sipil Negara


Alamat : Jl. Mayjen. D.I Panjaitan No. 118 Medan
ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 69/PUU-XIII/2015
PERIHAL PERJNAJIAN YANG DIBUAT
DALAM IKATAN PERKAWINAN

ABSTRAK

Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara suami dan istri utuk membentuk
keluarga yang bahagian dan kekal. Ikatan Perkawinan menimbulkan akibat hukum. Sejak
terjadinya perkawinan maka dianggap telah terjadi persatauan harta kekayaan kawin.
Persatuan harta perkawinan membawa konsekuensi terhadap masing-masing harta benda
suami-istri yang seringkali menjadi masalah dikemudian hari. Untuk menghindari akibat
persatuan harta, kedua belak pihak dapat membuat perjanjian kawin yang mengatur
penyampingan tentang harta perkawinan mereka. Perjanjian kawin adalah perjanjian dibuat
antara suami dan istri untuk mengatur akibat hukum perkawinan yang pada umumnya
mengenai harta benda dalam ikatan perkawinan. Perjanjian kawin bukan merupakan hal yang
biasa, bahkan dianggap tabu dalam masyarakat Indonesia. Namun dalam beberapa kasus
perjanjian kawin diperlukan untuk mengantisipasi akibat hukum yang tidak diingikan karena
persatuan harta perkawinan. Perjanjian kawin berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang
Perkawinan hanya dapat dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan berlangsung, namun
setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015,
mereka yang telah berada dalam ikatan perkawinan dapat membuat perjanjian kawin
Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode pendekatan yuridis normatif.
Sumber data yang digunakan meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan
hukum tersier. Sedangkan cara pengumpulan datanya menggunakan studi kepustakaan
(Library Research). Metode Analisa bahan mengunakan Deskriptif Kualitatif.
Setelah dilakukan pengumpulan dan analisis data maka diketahui bahwa alasan yang
umum dijadikan landasan dibuatnya perjanjian kawin adalah UU 1/1974 ada ketentuan yang
mengatur mengenai perjanjian kawin sebelum pernikahan dilangsungkan. Kemudian pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi terdapat syarat-syarat tambahan dalam hal administratif pada
pelaporan pencatatan perjanjian kawin di dinas kependudukan dan catatan sipil. Dalam
putusan Mahkamah Konstitusi diketahui bahwa masa dibuatnya perjanjian kawin adalah pada
saat perkawinan, sebelum perkawinan dan dalam waktu ikatan perkawinan serta masa
berlakunya perjanjian kawin itu adalah saat perkawinan dilangsungkan serta suatu perjanjian
kawin tidak boleh diatur waktu berlakunya perjanjian kawin itu dikemudian hari karena
hukum perjanjian tidak mengenal asas retroaktif.

Kata Kunci: Perkawinan, Harta Kekayan Perkawinan, Perjanjian Kawin.

i
YURIDICAL ANALYSIS OF COUNSTITUTIONAL COURT DECISION
NUMBER 69/PUU-XIII/2015 CONCERNING POSTNUPTIAL AGREEMENT

ABSTACT

Marriage is an inner and outer bond between husband and wife to form a happy and
eternal family. Marriage bond inflict legal consequences. Since the occurrence of marriage, it
is considered that there has been an unity of marital wealth. The unity of marital assets has
consequences for each husband and wife property which is often cause a problem in the
future. To avoid the consequences of the unity of wealth, both parties can make an agreements
to rearrange the counsequances of theirs marital wealth. Marriage agreements are
agreements made between husband and wife to regulate legal consequence which generally
regarding to wealth property in marriage bond. Marriage agreements aren't a common thing,
even it's considered as a taboo for Indonesian people.But in some cases the marriage
agreement is needed to anticipate the legal consequences that are not desirable because of the
unity of marital wealth. Marriage agreements based on Article 29 of The Act of Marriage can
only be made at the time of marriage prosession or before marriage, but after Constitutional
Decision Number 69/PUU-XIII/2015, those who already in marriage bond can make a
marriage agreements (Postnuptial Agreements).

The method used in this paper is a normative juridical approach. The sources used
include primary legal materials, secondary legal materials and tertiary legal materials. While
the method of data collection uses library research. Material analysis methods use descriptive
qualitative.

After collecting and analyzing the data, then it's known that the general premise that
made to make a marriage agreement is because of negligence and ignorance that in Marriage
Law Act that is a provision that regulate marriage agreement can only be made before
marriage. Then after countitutional court decision there are additional conditions in terms of
administrative on registration of marriage agreements in civil registry office. In constitutional
court veredict known that the range of time to make marriage agreement is at the time of
marriage prossesion, before marriage and in time of marriage bond and also the validity of
marriage agreement can't regulate that marriage agreement time period will set be later after
it's made because in law of contract do not recognize retroactive principle.

Keywords : Marriage, Marital Wealth, Marriage Agreement.

ii
BAB I.
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia sebagai individu tak dapat lepas dari kehidupan bermasyarakat sebab hal itu
merupakan hasrat manusia yang ditakdirkan sebagai mahluk sosial.
Tuhan menciptakan manusia saling berpasang-pasangan dengan tujuan agar manusia
itu sendiri merasa tenteram dan nyaman serta mendapatkan keturunan demi kelangsungan
hidupnya. Tujuan tersebut dicapai manusia dengan membentuk sebuah lembaga perkawinan1.
Ikatan perkawinan memiliki konsekuensi terhadap segala tindakan, akibat-akibat dari
tindakan yang menjadi tanggung jawab bersama sebagai satu kesatuan dalam ikatan
perkawinan.
Perbuatan hukum kawin pasti menimbulkan akibat-akibat hukum, antara lain akibat
hukum suatu perkawinan bagi diri pribadi sebagai suami, dan istri. Akibat hukum kawin juga
menjangkau susunan harta mereka, sebagaimana diatur dalam UU Perkawinan pada pasal 35-
37.
Persoalan harta benda dalam perkawinan dalam perkawinan sangat penting karena
salah satu faktor yang cukup signifikan tentang bahagia dan sejahtera atau tidaknya kehidupan
rumah tangga terletak pada harta benda.
Harta bersama diatur dalam pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
yang mengatakan “harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”.
Jika seseorang yang hendak kawin mempunyai benda-benda yang berharga atau
mengharapkan akan memperoleh kekayaan, misalnya suatu warisan, maka adakalanya
diadakan perjanjian perkawinan (huwelijkvoorwaarden). Perjanjian demikian menurut
undang-undang diadakan sebelum pernikahan dilangsungkan dan harus diletakan dalam suatu
akte notaris.2
Perjanjian perkawinan hanya dapat dilakukan pada waktu atau sebelum perkawinan
dilangsungkan. Ketentuan ini bersifat wajib (imperative). Artinya jika ketentuan ini tidak
dipenuhi maka perjanjian perkawinan tersebut bukan tidak sah, melaikan tidak mempunyai

1
Hazairin, Tinjauan mengenai Undang-Undang Perkwinan Nomor 1 Tahun 1974, Jakarta: Penerbit Kencana,
1975, hal 8
2
R. Soebekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta : Intermasa, 2001, hal. 37

1
kekuatan hukum (no legal force) yang akibatnya secara yuridis perjanjian tersebut dinyatakan
3

tidak pernah ada (never existed).3


Perjanjian mulai berlaku antara suami dan isteri, pada saat pernikahan ditutup di depan
Pegawai Pencatatan Sipil dan mulai berlaku terhadap orang-orang pihak ketiga sejak hari
pendaftaran di kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat dimana pernikahan dilangsungkan.4
Perjanjian kawin atau huwelijkse voorwaarden merupakan hal yang dianggap tabu
dalam mayoritas masyarakat di Indonesia. Sebagian besar masyarakat di Indonesia
memandang bahwa perjanjian kawin bukan sesuatu yang lumrah, bukan sesuatu yang bahkan
patut didiskusikan dalam lembaga perkawinan karena dianggap tidak etis, egois karena ada
kecurigaan dan tidak sesuai dengan budaya dan adat masyarakat Indonesia. Karena itulah di
Indonesia tidak banyak yang membuat suatu perjanjian kawin.
Perjanjian kawin baru dianggap perlu bilamana ada seseuatu yang genting untuk
membuatnya. Perkembangan pola pikir kehidupan bermasyarakat yang khususnya dalam
masyarakat modern telah menyadarkan bahwa penting adanya perjanjian perkawinan
mengingat bahwa calon suami dan calon istri memiliki hak yang sama terhadap harta bersama
dalam ikatan perkawinan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 memberikan peluang untuk
diadakannya perjanjian kawin dalam ikatan perkawinan. Perkembangan hukum dalam wilayah
hukum perdata khususnya mengenai perjanjian kawin ini merupakan hal yang menarik. Sebab
secara konvensional sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015,
tenggang waktu dapat dibuatnya perjanjian kawin adalah pada waktu atau sebelum
perkawinan dilangsungkan.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam
skripsi ini adalah:

1. Bagaimana pengaturan perkawinan dan harta bersama dalam ikatan perkawinan?

3
H.M Anshary, Harta Bersama Perkawinan dan Permasalahanya, Bandung : CV. Mandar Maju, 2016, hal. 15
4
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta : Penerbit Intermasa, 2001, Hal. 38

2
2. Bagaimana pengaturan perkawinan campuran dan kaitanya dengan perjanjian
kawin?
3. Bagaimana analisis yuridis terhadap putusan Mahkamah Konstitusi No.69/PUU-
XII/2015 perihal perjanjian kawin yang dibuat dalam ikatan perkawinan?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari skirpsi ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan perkawinan dan harta bersama dalam
ikatan perkawinan.
2. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan perkawinan campuran dan kaitanya
dengan perjanjian kawin.
3. Untuk mengetahui bagaimana analisis yuridis terhadap putusan Mahkamah
Konstitusi No.69/PUU-XII/2015 perihal perjanjian kawin yang dibuat dalam
ikatan perkawinan.

D. Metode penelitian

1. Sifat Penelitian
Sifat penelitian dalam penulisan skripsi ini dalah deskriptif, yaitu berupa
penggambaran dan pemaparan sebagian atau keseluruhan, khususnya tentang fakta-
fakta yang ada dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi Nomor
69/PUU-XIII/2015.
2. Metode pendekatan
Metode pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan yuridis normatif yang
merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran yang tak terlepas
dari norma-norma dan asas-asas hukum yang ada. Hal ini dilakukan dengan
menganalisa bahan-bahan yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan, buku-
buku dan karya ilmiah serta bahan dari internet yang berkaitan dengan perjanjian
kawin yang dibuat dalam ikatan perkawinan.

3
BAB II
PERKAWINAN DAN HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN

A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan.

Perkawinan berasal dari kata kawin yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah perbuatan untuk membentuk keluarga dengan lawan jenis 5. Perkawinan atau dalam
istilah agama islam disebut dengan nikah berasal . Kata “nikah” berasal dari bahasa Arab
nakaha - yankihu - nikahan yang berarti “bergaul atau bercampur” yang dalam bahasa
Indonesia berarti “perkawinan”.6
Perkawinan atau marriage menurut Black Law Dictionary “A contract, according to
the form prescribed by law, by which a man and woman, capable of entering into such
contract. mutually engage with each other to live their whole lives together in the state at
union which ought to exist between a husband and wife 7 Yang artinya sebuah kontrak dalam
bentuk menurut apa yang ditentukan oleh hukum yang mana seorang laki-laki daan seorang
perempuan yang cakap untuk itu. Saling ikut serta satu sama lain untuk menjalani hidup
kehidupan bersama sama dalam satu kesatuan yang sepatutnya ada sebagai suami dan isteri.
1. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan merumuskan pengertian
tentang perkawinan sebagai berikut :
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorangan wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Berdasarkan pengertian tersebut, terdapat 5 (lima) unsur dalam perkawinan, yaitu : 8
1. Ikatan lahir batin
2. Antara seorang pria dengan seorang wanita

Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, https://kbbi.kemdikbud. go.id/entri/kawin .


6
Muhammad Jamhari A. Zainuddin, Al-Islam 2 :Muamalah dan Akhlak, Semarang:Pustaka Setia, 1999 , Hal
29
7
Hendry Campbell Black, Black Law Dictonary 2ND Edision, New Jersey : The Lawbook Exchange 1995, Hal
762
8
Rosnidar, Hukum Keluarga : Harta-harta Benda dalam Perkawinan, Jakarta : Rajawali Pers, 2016, Hal 43

4
3. Sebagai suami-istri
4. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
5. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Unsur pertama, Ikatan lahir batin, dimaksudkan bahwa dalam perkawian ikatan
lahirian dan ikatan bathiniah harus berjalan beriringan sebagai satu kesatuan yang tak dapat
dipisahkan sehingga tidak boleh hanya ada ikatan lahir saja ataupun ikatan batin saja tetapi
harus ada keduanya karena ikatan lahir dan batin adalah mutlak dalam hubungan perkawinan
yang sakral.

Suatu “ikatan lahir” adalah ikatan yang dapat dilihat. Mengungkapkan adanya suatu
hubungan hukum antara seorang pria dan wanita untuk hidup bersama, sebagai suami-istreri,
dengan kata lain dapat disebut “hubungan formil” Sebaliknya, suatu “ikatan Bathin” adalah
merupakan hubungan yang tidak formil, suatu ikatan yang tidak dapat dilihat. Walau tidak
dapat dilihat nyata, tapi ikatan itu harus ada. Karena tanpa adanya ikatan bathin, ikatan lahir
akan menjadi rapuh9

Unsur Kedua, antara seorang pria dengan seorang wanita dalam arti bahwa perkawinan
dilangsungkan antara insan yang berbeda jenis kelamin. Hal ini penting karena perkawinan
dimaksudkan utuk membentuk keluarga dan menghendaki adanya keturunan.

Unsur Ketiga, Sebagai suami istri , maksudnya adalah seorang pria dan /atau seorang
wanita yang telah kawin secara yuridis statusnya telah berubah. Pria berubah statusnya
sebagai suami dan wanita berubah statusnya sebagai istri

Unsur Keempat Membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal dan bahagia
merupakan tujuan dari diadakanya lembaga perkawinan. Ikatan lahir batin dalam hubungan
perkawinan yang sakral adalah ikatan lahir batin yang kekal dan tidak hanya untuk sementara
saja sehingga dapat terwujud kebahagian dalam lingkungan rumah tangga

Unsur Kelima, Berdasakan Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan unsur mutlak yang
merupakan perwujudan dari falsafah hidup bangsa berdasarkan sila pertama pancasila yang

9
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, , Jakarta : Ghalia indonesia, 2000, hal 14

5
mempertegas bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara berdasarkan
ketuhanan.

2. Pengetian Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam.

Dalam Kompilasi Hukum Islam atas dasar Inpres No. 1 Tahun 1991 memberikan
pengertian tentang perkawinan sebagai berikut:

“Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
CC

B. Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan

Syarat adalah segala hal yang harus dipenuhi menurut ketentauan peraturan
perundang-undangan. Syarat perkawinan adalah segala hal mengenai perkawinan yang harus
dipenuhi menurut ketentuan peraturan undang-undang sebelum perkawinan dilangsungkan 10.
Perkawinan yang sah tentu menimbulkan akibat hukum yang sah.

Agar suatu perkawinan mendapakan status hukum yang sah, perkawinan itu harus
memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974
dan Kompilasi Hukum Islam yang selanjutnya diringkas sebagai berikut:

Syarat perkawinan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku


di indonesia dapat dibedakan atas syarat materiil dan syarat formil. Syarat Materiil adalah
syarat yang berkaitan dengan diri pribadi seorang yang hendak mengikatkan dirinya dalam
ikatan kawin. Adapun syarat-syarat materil sebagai berikut:

1. Persetujuan kedua calon mempelai;

2. Syarat mengenai usia/umur;

3. Tidak dalam status kawin; dan

4. Adanya waktu tunggu.

10
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2002, hal 86

6
Adapun syarat materiil lainya yang merupakan syarat khusus yang merupakan syarat
menyangkut pribadi suami isteri berkenaan dengan larangan dan ijin sebagai berikut:

1. Izin untuk melangsungkan perkawinan;


2. Adanya Larangan tertentu untuk melangsungkan perkawinan.

Setelah terpenuhinya syarat materiil perkawinan yang menyangkut diri pribadi calon
mempelai, agar perkawainan sah perlu dipenuhi syarat formil perkawinan. Syarat formil
adalah syarat yang berkaitan dengan tata cara melangsungkan perkawinan meliputi proses:

1. Pemberitahuan kehendak;
2. Penelitian;
3. Pemberitahuan;
4. Penandatanganan akta perkawinan.

Selain UU Perkawinan, Kompilasi Hukum juga mengatur menagenai syarat-syarat


perkawinan. Menurut Hukum Islam, Perkawinan adalah sah apabila telah memenuhi rukun
dan syarat perkawinan. Rukun adalah unsur pokok (tiang) sedangkan syarat merupakan unsur
pelengkap dalam setiap perbuatan hukum. Rukun nikah merupakan hakekat perkawinan,
artinya bila salah satu rukun nikah tidak dipenuhi maka tidak akan terjadi suatu pernikahan.11

Kompilasi Hukum Islam megatur perihal rukun dan syarat dari pasal 14 sampai
dengan pasal 38. Dalam pasal 14 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa untuk
melaksanakan perkawinan harus ada :

a. Calon Suami
b. Calon isteri
c. Wali nikah
d. Dua orang saksi
e. Ijab dan Kabul

11
Neng Djubaidah, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Jakarta : Hesca Publishing, 2005, hal 61.

7
C. Akibat Hukum Adanya Ikatan Perkawinan

Akibat hukum ialah akibat dari suatu tindakan yang dilakukan untuk memperoleh

suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang diatur oleh hukum. Tindakan ini

dinamakan dengan tindakan hukum. Jadi dengan lain perkataan, akibat hukum adalah akibat

dari tindakan hukum.12

Akibat hukum yang terjadi sebagai konsekuensi terhadap adanya ikatan perkawinan

meliputi:

1. Lahinya hak dan kewajiban antara suami dan istri;

2. Akibat hukum berkaitan dengan anak melipui kedudukan anak, hak dan kewajiban

orangtua terhadap anak dan lahirnya kekuasaan orang tua terhadap anak;

3. Akibat hukum terhadap harta benda dalam ikatan perkawinan.

D. Harta Bersama Dalam Ikatan Perkawinan.

Harta bersama di Indonesia populer dengan istilah harta gono-gini yang berasal dari
bahasa jawa “gana-gini” dalam tradisi jawa berarti “anak yang hanya dua bersaudara, laki-laki
dan perempuan (dari satu ayah dan satu ibu)”. Harta bersama atau harta gono-gini dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia secara hukum artinya” harta yang berhasil dikumpulkan
selama berumah tangga sehingga menjadi hak berdua suami dan istri”.

Secara lesikal harta bersama merupakan kata majemuk yang terdiri atas dua kata, yaitu
harta dan bersama. Dua kata ini dalam tema yang dimaksud adalah merupakan satu kesatuan
13
kata yang tidak dapat dipisahkan, kedua baru bermakna setelah menjadi satu kata.13

Tentang harta bersama terdapat dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun
1974 tentang Perkawinan yang menyatakan “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan
menjadi harta bersama”. Dari defenisi menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dapat
ditarik kesimpulan bahwa harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama

12
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2007, hal 295
13
Hasan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, Jakarta : Ictihar Baru, 1984, hal 1263

8
perkawinan. Kemudian dalam pasal 35 ayat (2) yang menyatakan “Harta bawaan dari
masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai
hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain.” memberi penegasan tentang batasan atau cakupan harta bersama dalam
perkawinan.

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 huruf (f) yang menyatakan bahwa “Harta
kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri
ataupun bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut
dengan harta besama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun”. Sedangkan dalam
Pasal 119 KUHPerdata menyatakan “Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum
berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri, sekedar mengenai itu dengan
perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain.

Adapun pengertian tentang harta besama menurut para ahli adalah sebagai berikut:
Menurut Sayuti Thalib S.H dalam bukunya menyatakan bahwa “Harta bersama adalah
harta yang diperoleh selama perkawinan diluar hadiah atau warisan”14

Menurut Dr. Rosnidar Sembiring, S.H.,M.Hum dalam bukunya yang mengatakan


bahwa “Pengertian mengenai harta besama adalah harta yang diperoleh setelah suami -
istri tersebut berada di dalam hubungan perkawinan atas usaha mereka berdua atau
salah satu pihak dari mereka. Harta bersama ini juga disebut harta pencarian”15

14
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta : UI Press 1986 , hal 89
15
Rosnidar Sembiring, Op.Cit. hal 88

9
BAB III.
PERKAWINAN CAMPURAN DAN PERJANJIAN KAWIN

A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan Campuran.

Ketentuan hukum mengenai perkawinan campuran diatur di dalam Bab XII pada Pasal
57 sampai dengan Pasal 60. Perihal pengertian perkawinan campuran, pada Pasal 57
memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan perkawinan campuran
sebagaimana bunyi Pasalnya bahwa “ Yang dimaksud dengan perkawinan campiran dalam
Undang-Undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di indonesia tunduk pada hukum
yang berlainan , karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan
Asing dan salah satu pihak berkewarganegaran indonesia”. Dapat dipahami bahwa dalam UU
Perkawinan yang dimaksud dengan perkawinan campuran adalah perkawinan antara warga
negara indonesia dan warga negara asing yang tunduk pada hukum yang berbeda.

Perkawinan campuran, yang dilakukan di Indonesia dilakukan menurut UU


Perkawinan, hal ini sesuai pada Pasal 59 ayat (2) yang menyatakan bahwa undang-undang
perkawinan juga tetap mengakui perkawinan campuran yang dilakukan di luar negeri, asalkan
memenuhi ketentuan yang terdapat dalam Pasal 56 Undang-undang perkawinan, yaitu:

(1) Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang WNI atau seorang
WNI dengan warga negara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang
berlaku di negara mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak
melanggar ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini.

(2) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali di Wilayah Indonesia, surat
bukti perkawinan merekaharus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal
mereka.

10
Pendaftaran perkawinan campuran tersebut harus dilakukan ketika kembali ke
Indonesia, hal ini sebagai sarana kontrol Pemerintah untuk mengawasi warganya. Apabila
tidak dilakukan pendaftaran seperti di maksud, perkawinan tetap sah, tetapi tidak mempunyai
kekuatan hukum.16

B. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Kawin.

Perjanjian kawin yang diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan tidak memberi pengertian yang jelas tentang perjanjian perkawinan
termasuk tentang isi dari perjanjian perkawinan. Hanya pada Pasal 29 ayat (2) diterangkan
tentang batasan yang tidak boleh dilanggar dalam membuat perjanjian perkawinan. Bahwa
suatu perjanjian perkawinan tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum,
agama dan kesusilaan.

Adapun perjanjian kawin menurut para ahli antaralain sebagai beritkut:

Menurut Prof. Mahadi, mengatakan bahwa, perjanjian perkawinan adalah suatu jenis
perjanjian . Ia merupakan species dari genus perjanjian. Dengan demikian harus memenuhi
syarat-syarat dari genusnya dan disamping itu ia mengandung pula sesuatu unsur yang
menjadikanya sebagai species.17

Menurut Prof. Sudikno Mertukusumo, mengatakan bahwa, perjanjian perkawinan


adalah suatu perjanjian yang dibuat sebelum pernikahan dilangsungkan dan mengikat kedua
belah pihak calon pengantin yang akan menikah dan berlaku selama pernikahan
dilangsungkan.18

Menurut Prof. Tan Kamelo, mengatakan bahwa, perjanjian kawin adalah suatu
kesepakatan tertulis yang dibuat oleh calon suami istri sebelum atau pada saat perkawinan

16
Hukum Online, 2010, Tanya Jawab Hukum Perkawinan dan Perceraian, Jakarta: Kataelha, hal 21
17
Mahadi, Perjanjian Perkawinan, Medan : Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1986,
hal 16.
18
Sudikno Mertukusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Yogyakarta : Liberty, 1988, hal 97.

11
berlangsung dengan tujuan untuk mengatur aklibat perkawinan yang berhubungan dengan
harta kekayaan.19

Dari pendapat para ahli hukum maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perjanjian
kawin adalah suatu perjanjian tertulis yang dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan
dilangsungkan dengan suatu akta notaris untuk itu dengan tujuan untuk mengatur akibat-
akibat hukum perkawinan, yang pada umunya mengenai harta benda dalam ikatan
perkawinan.

C. Syarat Sahnya Perjanjian Kawin.

Semua Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka

yang membuatnya. Sebagaimana diketahui perjanjian kawin merupakan genus dari spesies

perjanjian pada umumnya. Maka syarat sahnya perjanjian kawin juga meliputi syarat sahnya

suatu perjanjian pada umunya sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata yang bila

dikatikan dengan perjanjian kawin akan didapakan syarat sebagai berikut:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

Secara mutlak harus ada kesepakatan antara calon suami dan calon istri berdasarkan
kehendak bebas setuju akan mengadakan perjanjian kawin tanpa adanya paksaan atau
penipuan ataupun juga kekhilafan

2. Kecakapan untuk membuat suatu Perikatan;

Para pihak harus cakap menurut hukum untuk membuat suatu perjanjian. Untuk

membuat suatu perjanjian, para pihak yang mengadakan perjanjian mempunyai wewenang

19
Tan dan Syarifah Lisa Andrianti, Hukum Perdata : Hukum Orang & Keluarga, Medan: USU Press,

2015,

Hal 63.

12
dan berhak untuk melakukan suatu tindakan hukum seperti yang diatur dalam perundang-

undangan yang berlaku.

Perihal kecakapan seseorang untuk menjadi pihak dalam suatu perjanjian secara umum
diatur dalam Pasal 1329 yang menyebutkan bahwa “Setiap orang adalah cakap untuk
membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap.

3. Suatu hal tertentu;

Perjanjian kawin itu secara jelas harus mengatur hal tertentu yang akan diperjanjiakan
dalam perjanjian perkawinan. Hal-hal tertentu yang diatur dalam perjanjian kawin umumnya
mengatur tentang harta bawaan dalam perkawinan, kewenagan istri dalam mengurus hartanya,
segala hutang yang dibawa dalam perkawinan, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan hak dan
kewajiban dalam ikatan perkawinan.

4. Suatu sebab yang halal.

Hal-hal yang diatur dalam perjanjian kawin tidak boleh bertentangan dengan batas-
batas hukum, kesusilaan dan norma agama. Menurut ketentuan Pasal 29 ayat (2) Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan disebutkan “Perjanjian Kawin tidak dapat
disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan”.

D. Macam-Macam Perjanjian Kawin.

Para calon suami-istri dapat memperjanjikan segala bentuk pengecualian atas


persatuan atas harta kekayaan yang diinginkan, antara lain dapat diatur perjanjian pisah harta
sama sekali dan perjanjian perkawinan yang merupakan campuran kekayaan secara terbatas
yaitu persatuan untung dan rugi dan persatuan hasil dan pendapatan .

a. Pisah harta sama sekali.

Dalam ketuntuan Pasal 144 KUHPerdata yang menyatakan “Ketiadaan persatuan

harta kekayaan tidak berarti tidak adanya persatuan untung rugi, kecuali jika ini pun kiranya

13
dengan tegas ditiadakanya. Dalam pasal ini “pisah persatuan harta kekayaan” dimaksudkan

agar harta mereka sepanjang perkawinan terpisah sama sekali, maka para pihak di dalam

perjanjian kawin harus menyatakan, bahwa antara mereka calon suami-istri secara tegas

menyatakan pemisahan persatuan untung rugi.

b. Persatuan Untung dan Rugi.

Perjanjian perkawinan dengan persatuan atau kebersamaan keuntungan dan kerugian


terjadi bilamana calon suami-istri menyatakan dengan tegas-tegas bahwa mereka
menghendaki bentuk perjanjian itu dalam akta perjanjian perkawinan.20

c. Perjanjian Persatuan dan Pendapatan.


Dalam KUHPerdata peraturan yang mengatur perjanjian perkawinan dengan
kebersamaan atau persatuan penghasilan dan pendapatan hanya ada dalam satu pasal saja
yaitu Pasal 164. Disamping itu terdapat tiga pasal yang mengatur baik tentang persatuan
untung dan rugi maupun tentang persatuan hasil dan pendapatan, yaitu Pasal 165 sampai
dengan Pasal 167.

E. Bentuk dan Isi Perjanjian Kawin.

Suatu perjanjian perkawinan sepatutnya dibuat dalam bentuk tertulis sebagaimana


ditentukan dalam pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No. 1Tahun 1974 dalam frasa
“Megadakan perjanjian tertulis”. Kemudian dalam pasal 147 KUHPerdata disebutkan bahwa
“atas ancaman kebatalan, setiap perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris
sebelum perkawinan dilangsungkan. Adapun syarat ini dimaksudkan agar :21

1. Perjanjian perkawinan tersebut dituangkan dalam bentuk akta otentik yang


mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat;
2. Memberikan kepastian hukum tentang hak dan kewajiban suami-Isteri atas harta
benda mereka, mengingat perjanjian perkawinan mempunyai akibat yang luas.
Untuk membuat perjanjian perkawinan dibutuhkan seseorang yang benar-benar
menguasai hukum harta perkawinan dan dapat merumuskan semua syarat dengan
teliti. Hal ini berkaitan dengan ketentuan bahwa bentuk harta perkawinan harus
20
Soetojo Prawirohamijojo dan Asis Safiodin, Hukum Orang dan Keluarga, Bandung : Alumni, 1987 hal 88.
21
Tan Thong Kie, Studi Notariat Serba-Serbi Praktek Notaris, Jakarta : Ichtiar Baru, 2000, hal 77

14
tetap sepanjang perkawinan tersebut. Suatu kekeliruan dalam merumuskan syarat
dalam perjanjian perkawinan tidak dapat diperbaiki lagi sepanjang perkawinan.

Mengenai isi perjanjian kawin dalam KUHPerdata dan Undang-Undang No.1 tahun
1974 tentang Perkawinan tidak terdapat ketentuan mengenai hal apa saja yang dapat diatur
dalam suatu perjanjian kawin. Hal yang diatur dalam KUHPerdata dan Undang-Undang No.1
tahun 1974 tentang Perkawinan tentang perkawinan yang berikatan dengan isi perjajian kawin
hanyalah batasan-batasan atau tentang hal apa saja tidak boleh diperjanjikan dalam suatu
perjanjian kawin. Pada asasnya perjanjian kawin bebas mengatur mengenai apa saja asal tidak
bertentangan dengan batas-batas hukum, norma agama dan norma kesusilaan. Perjanjian
kawin erat kaitanya dengan perakara harta benda dalam perkawinan. Namun apa yang diatur
dalam perjanjian kawin tidak hanya pada perkara harta benda perkawinan saja, tetapi juga
dapat mengatur hal lain.

F. Masa Dibuatnya Perjanjian Kawin Dalam Kaitanya Dengan Perkawinan

Campuran.

Dalam KUHPerdata pasal 147 menyebutkan bahwa perjanjian kawin harus dibuat
sebelum perkawinan dilangsungkan. Ketentuan dalam pasal ini berhubungan erat dengan
ketentuan dalam Pasal 149 KUHPerdata yang menyatakan bahwa setelah perkawinan
dilangsungkan, dengan cara bagaimanapun tidak dapat dirubah.
Ketentuan pasal 147 dan pasal 149 merupakan penjabaran dari asas yang terdapat
dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu bahwa selama perkawinan berlangsung
termasuk kalau perkawinan tersebut disambung kembali setelah terputus karena perceraian,
bentuk harta perkawinan harus tetap tidak berubah Hal tersebut dimaksudkan demi
perlindungan terhadap pihak ketiga (kreditur) supaya tidak dihadapkan kepada situasi yang
berubah-ubah, yang dapat merugikan dirinya (dalam arti jaminan harta debitur atas piutang
kreditur).22

22
J. Satrio, J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, , Bandung : Citra Aditiya Bakti, 1993, Hal 28.

15
Berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan yaitu pada Pasal 29 ayat (1), menentukan bahwa perjanjian kawin dapat dibuat
sebelum perkawinan dilangsungkan atau pada saat perkawinan dilangsungkan. Maka
demikian, dengan telah adanya atau ditentukannya saat pembuatan perjanjian kawin tersebut
maka tidak diperbolehkan membuat perjanjian kawin setelah perkawinan berlangsung apabila
23
sebelum atau pada saat perkawinan tidak telah diadakan perjanjian perkawinan.23

Perjanjian kawin pisah harta secara keseluruhan adalah suatu keharusan bagi pelaku
perkawinan campur karena pada asasnya hanya warga negara Indonesia yang dapat memiliki
hak milik sebagaimana ditentukan dalam Pasal 21 ayat (1) UUPA. Apabila pelaku perkawinan
campur tidak membuat perjanjian kawin maka dianggap telah terjadi pencampuran harta
sebagaimana ditentutkan dalam Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan. Karena dianggap telah
terjadi pencampuran harta mengakibat warga negara Indonesia tersebut tidak dapat memiliki
hak milik dan hak-hak lain berkaitan dengan asas nasionalisme sebagaimana disebutkan dalam
UUPA.

23
Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Surabaya :
Airlangga Press, 1994, hal 61.

16
BAB IV.

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI


NO.69/PUU-XIII/2015 PERIHAL PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT DALAM
IKATAN PERKAWINAN.

A. Kasus Posisi.

Latar belakang lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015


karena adanya permohonan tentang uji materil (judicial review) yang diajukan oleh Ny. Ike
Farida sebagai Pemohon yang merasa terlanggar hak asasinya sebagai Warga Negara
Indonesia. Ny. Ike Farida yang merupakan pelaku perkawinan campur dengan warga negara
Jepang. Pada bulan September tahun 2012, ketika melakukan perjanjian pembelian rumah
susun di Jakarta, setelah membayar lunas rumah susun tersebut, penggembang membatalkan
akad pembelian dengan sepihak. Pengembang berdalih bahwa Putusan itu telah sesuai Pasal
36 ayat (1) UUPA dan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan, seorang perempuan WNI yang
menikah dengan WNA dilarang membeli rumah dengan status HGB, sehingga pengembang
membatalkan perjanjian jual beli rumah susun Ny. Ike Farida. Hal ini dikuatkan oleh
penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada November 2014 dengan dalih tidak
memenuhi syarat perjanjian sesuai Pasal 1320 KUHPerdata karena terjadi pelanggaran Pasal
36 ayat (1) UUPA, meski pemohon tetap memilih WNI.
Pemohon mengajukan permohonan uji materiil atas dasar adanya hak konstitusional
sebagai Warga Negara Indonesia yang dianggap telah terlanggar oleh adanya ketentuan Pasal
21 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (1) UUPA, Pasal 29 ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan Pasal 35 ayat
(1) UU Perkawinan. Pemohon berdalih bahwa karena dibelakukanya ketentuan Pasal 21 ayat
(1) dan Pasal 36 ayat (1) UUPA, Pasal 29 ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan Pasal 35 ayat (1) UU
Perkawinan menyebabkan tersanderanya hak-hak pemohon untuk memiliki sebuah tempat
tinggal. Bahwa pemohon sangat menderita karena Hak Konsititusional Pemohon untuk
bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik telah dirampas selamanya.
Setiap orang pasti ingin memiliki dan memberikan bekal bagi diri dan anak-anaknya untuk

17
masa depan. Salah satunya dengan membeli tanah dan bangunan, selain sebagai tempat
24
24
tinggal, tempat berlindung, juga sebagai tabungan/bekal dimasa depan.
Putusan hakim atas permohonan pemohon menyatakan bahwa Pasal 29 ayat(1), ayat
(3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dalam pertimbangannya
menjelaskan bahwa pada frasa Pasal 29 “...pada waktu atau sebelum perkawinan
diangsungkan” dan dalam Pasal 29 ayat (3) pada frasa “.sejak perkawinan dilangsungkan”
juga dalam Pasal 29 ayat (4) yang membatasi kebabasan 2 (dua) orang individu untuk
melakukan atau kapan akan melakukan “perjanjian”, sehinggan bertentangan dengan pasal
28E ayat (2) UUD 1945 sebagaimana didalilkan pemohon. Dengan demikian, frasa ”pada
waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan” dalam pasal 29 ayat (1) dan frasa “selama
perkawinan berlangsung” dalam pasal 29 ayat (4) UU 1/1974 adalah bertentangan dengan
UUD 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai termasuk pula selama dalam ikatan
perkawinan.25

B. Alasan Dibuatnya Perjanjian Kawin Dalam Ikatan Perkawinan.

Adapun Alasan yang dijadikan untuk dibuatnya perjanjian kawin selama dalam ikatan

perkawinan menurut Hakim Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut:

“Alasan yang umunya dijadikan landasan dibuatnya perjanjian setelah perkawinan

adalah adanya kealpaan dan ketidaktahuan bahwa dalam UU 1/1974 ada ketentuan yang

mengatur mengenai perjanjian kawin sebelum pernikahan dilangsungkan. Menurut Pasal 29

UU 1/1974, Perjanjian Perkawinan dapat dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan

dilangsungkan. Alasan lainya adalah adanya resiko yang mungkin timbul dari harta bersama

dalam perkawinan karena pekerjaan suami adan isteri memiliki konsekuensi dan tangguang

24
Putusan Mahkamah Konstitusi NO.69/PUU-XIII/2015, hal 19
25
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015 , hal 154

18
jawab pada harta pribadi, sehingga masing-masing harta yang diperoleh dapat tetap menjadi

milik pribadi.”26

C. Syarat Sahnya Perjanjian Kawin Yang Dibuat Dalam Ikatan Perkawinan Pasca

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015.

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi terdapat pelbagai masalah mengenai pendaftaran


perjanjian kawin selama dalam ikatan perkawinan karena tidak adanya prosedur mengenai hal
pencatatan itu di pegawai pencatat perkawinan. Untuk terlaksananya tertib administrasi,
dalam upaya menindaklanjuti Putusan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-
XIII/2015 pemerintah melalui surat Direktur Jendral Kependudukan dan Pencatatan Sipil No.
472.2/5876/Dukcapil Pada tanggal 19 Mei 2017 yang ditujukan kepada Kepala Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia Pencatatan Sipil
Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia pada lampiran I.

Lampiran I angka 1 surat Direktur Jendral Kependudukan dan Pencatatan Sipil No.
472.2/5876/Dukcapil.

1. Pencatatan pelaporan perjanjian perkawinan dilakukan dengan memperhatikan:


a. Perjanjian perkawinan dibuat pada waktu atau sebelum dilangsungkan perkawinan;
b. Perjanjian perkawinan dibuat selama dalam ikatan perkawinan;
c. Perjanjian perkawinan dibuat di Indonesia dan pencatatan perkawinannya dilakukan
di Negara lain;
d. Perubahan atau pencabutan perjanjian perkawinan.

Lampiran I angka 2 surat Direktur Jendral Kependudukan dan Pencatatan Sipil No.
472.2/5876/Dukcapil.

2. Pencatatan pelaporan perjanjian perkawinan sebagaimana dimaksud pada angka 1


huruf a dilakukan dengan persyaratan:
a. Foto copy KTP-el;
b. Foto copy KK;

26
Putusann Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, hal 153

19
c. Akta notaris perjanjian perkawinan yang telah dilegalisir dengan menunjukan
aslinya.

D. Masa Dibuatnya Perjanjian Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor


69/PUU-XIII/2015.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 terhadap masa waktu


dibuatnya perjanjian kawin selama dalam ikatan perkawinan merupakan hal yang baru di
ranah hukum perdata. Sebab perjanjian kawin sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi
ini hanya dapat dilakukan pada waktu atau sebelum perkawinan sebagaimana telah ditentukan
dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.Perkembangan hukum di ranah
hukum perdata khususmya mengenai perjanjian kawin merupakan kebutuhan untuk
mengakomodir pihak-pihak yang hendak membuat perjanjian selama dalam ikatan
perkawinan.

Adapun masa dibuatnya perjanjian kawin pasca putusan Mahkamah Konstitusi


sebagaimana dalam penafsiran Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 oleh
hakim Mahkamah Konstitusi sebagai berikut:

“Pada Waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua
belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh
pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak
ketiga”27

Dengan adanya penafsiran Mahkamah Konstitusi tersebut maka jelas sudah masa
waktu dibuatnya perjanjian kawin adalah sebelum perkawinan, pada saat perkawinan dan
selama dalam ikatan perkawinan.

E. Waktu Berlakunya Perjanjian Kawin yang Dibuat Selama Dalam Ikatan


Perkawinan Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015

27
Putusan Mahkamah Konsitutsi No. 69/PUU-XIII/2015, hal 156

20
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Berlakunya perjanjian kawin menurut Undang-Undang No.1 tahun 1974
dalam pasal 29 ayat (3) yang menyatakan bahwa:
“Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan”
Bila dibandingkan dengan pasal 29 ayat (3) UU Perkawinan berdasarkan penafsiran
Mahkamah Konstitusi yang berbunyi:
“Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan
lain dalam Perjanjian Perkawinan”
Maka terdapat perbedaan. Dalam pasal 29 ayat (3) UU Perkawinan berdasarkan
penafsiran Mahkamah Konstitusi terdapat penambahan frasa “kecuali ditentukan lain dalam
perjanjian kawin”. Mahkamah Konstitusi tidak tidak memberikan penjelasan secara khusus
sehubungan dengan penambahan frasa ini. Penambahan frasa “kecuali ditentukan lain dalam
Perjanjian Perkawinan” bila dipahami memang dibutuhkan untuk mengakomodir frasa
“selama dalam ikatan perkawinan” dalam pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan berdasarkan
penafsiran Mahkamah Konstitusi. Hal yang perlu dipahami bahwa dengan adanya frasa
“Kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan” sebagaimana penafsiran Mahkamah
Konstitusi pada pasal 29 ayat (3) UU Perkawinan, berlaku juga bagi perjanjian kawin bagi
perjanjian kawin yang dibuat pada waktu atau sebelum perjanjian kawin dilangsungkan.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa berlakunya perjanjian kawin pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 dengan adanya frasa ”Kecuali ditentukan
lain dalam perjanjian kawin” sebagaimana penafsiran Mahkamah Konstitusi secara logis
membuka peluang bagi pihak-pihak yang hendak membuat perjanjian boleh mengatur tentang
kapan berlakunya perjanjian kawin.
Namun secara hukum hal ini tak boleh terjadi karena akibat hukum perjanjian kawin
apabila mengatur tentang kapan berlakunya perjanjian kawin atau dalam kata lain perjanjian
kawin itu berlaku surut dapat merugikan pihak ketiga. Pada dasarnya hukum perdata
khususnya mengenai hukum perikatan tidak mengenal asas retroaktif. Asas retroaktif
sebagaimana ketentuan pasal 2 Algemene Bepalingen van wetgeving voor Indonesie yang
menyatakan bahwa “Undang-Undang hanya berlaku untuk waktu kemudian dan tidak berlaku
surut”.

21
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN.

1. Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Dasar hukum perkawinan adalah Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
2. Ketentuan hukum mengenai perkawinan campuran diatur di dalam Bab XII pada Pasal 57
sampai dengan Pasal 60 UU Perkawinan. Perjanjian kawin merupakan hal yang penting
bagi pelaku perkawinan campur.
3. Setelah dilakukan analisis terhadap Putusan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor
69/PUU-XIII/2015 dapat diketahui bahwa alasan yang umumnya dijadikan landasan untuk
membuat perjanjian kawin selama dalam ikatan perkawinan ialah karena adanya kealpaan
dan ketidaktahuan bahwa perjanjian kawin hanya dapat dibuat sebelum perkawinan.
Kemudian Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi terdapat pelbagai masalah mengenai
pendaftaran perjanjian kawin selama dalam ikatan perkawinan karena tidak adanya
prosedur mengenai hal pencatatan itu di pegawai pencatat perkawinan. Untuk
terlaksananya tertib administrasi, dalam upaya menindaklanjuti Putusan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 pemerintah melalui surat Direktur
Jendral Kependudukan dan Pencatatan Sipil No. 472.2/5876/Dukcapil Pada tanggal 19
Mei 2017 yang ditujukan kepada Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota di seluruh
Indonesia yang pada pokonya menentukan tentang persyaratan dan tata cara pelaporan
perjanjian kawin. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015 yang
memberikan penafsiran pada pasal 29 ayat(1) dalam frasa “Selama dalam ikatan
perkawinan”, meberikan peluang bagi pasangan suami-istri untuk membuat perjanjian
kawin selama dalam ikatan Perkawian. Dengan demikian pasca putusan Mahkamah
Konstitusi dikenal ada 3 (tiga) masa dibuatnya pejanjian kawin, yaitu pada waktu
perkawinan. Penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap pasal 29 ayat (3) Undang-Undang

22
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa ”Perjanjian tersebut mulai berlaku
sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian kawin”. Bila
ditelaah dalam frasa “kecuali ditentukan lain dalam perjanjian kawin” dapat dipahami
bahwa secara logis dapat dipahami bahwa perjanjian kawin itu dapat dapat berlaku surut.
Mahlamah Konsitusi tidak memberikan pertimbangan hukum secara khusus yang
mengakibatkan suatu perjanjian kawin dapat diatur kapan mulai berlakunya perjanjian
kawin itu. Padahal hukum perjanjian tidak mengenal asas retroaktif sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 2 Algemene Bepalingen van wetgeving voor Indonesie yang
menyatakan bahwa “Undang-Undang hanya berlaku untuk waktu kemudian dan tidak
berlaku surut”.

B. SARAN.
1. Perlu diadakan peraturan lebih lanjut mengenai hal sahnya perkawinan berkaitan dengan
agama dan kepercayaan sebagaimana dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan
mengingat bahwa Indonesia merupakan negara yang sangat beragam dalam hal
kepercayaan.
2. Pemerintah perlu mengadakan sosialisasi kepada pelaku perkawinan campur tentang
pentingnya untum membuat perjanjian kawin dalam hal ini dilakukan oleh Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil.
3. Untuk mewujudkan kepastian hukum terhadap para pihak dan juga pihak ketiga apabila
terkait dalam perjanjian kawin, lembaga perwakilan rakyat perlu mengadakan peraturan
lebih lanjut tentang akibat hukum perjanjian kawin yang dibuat selama dalam ikatan
perkawinan dan tata cara intervensi pihak ketiga bilamana perjanjian kawin yang dibuat
dalam ikatan perkawinan itu berpotensi merugikan pihak ketiga yang terkait.

23
DAFTAR PUSTAKA

Anshary, H.M, 2016, Harta Bersama Perkawinan dan Permasalahanya, CV. Mandar Maju,
Bandung
A. Zainuddin, 1999, Muahammad Jamhari, Al-Islam 2 :Muamalah dan Akhlak, CV Pustaka
Setia, Semarang
Black, Hendry Campbell, 1995, Black Law Dictonary 2ND Edision, The Lawbook Exchange,
New Jersey
Djubaidah, Neng, 2005, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Hesca Publishing, Jakarta

Hazairin, 1975, Tinjauan mengenai Undang-Undang Perkwinan Nomor 1 Tahun


1974,Penerbit Kencana, Jakarta
J. Satrio, 1993, Hukum Harta Perkawinan, Citra Aditiya Bakti, Bandung

------,Hukum Online, 2010, Tanya Jawab Hukum Perkawinan dan Perceraian, Kataelha,
Jakarta

Kamello, Tan dan Syarifah Lisa Andrianti, 2015, Hukum Perdata : Hukum Orang &
Keluarga, USU Press, Medan

Kie, Tan Thong, 2000, Studi Notariat Serba-Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru, , Jakarta
Mahadi, 1986, Perjanjian Perkawinan, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, Medan
Mertukusumo, Sudikno, 1988, Hukum Acara Perdata di Indonesiat Liberty, Yogyakarta
Prawirohamijojo, Soetojo dan asis safiodin, 1987, Hukum Orang dan Keluarga, Pernerbut
Alumni, Bandung
Prawirohamidjojo, 1994, Soetojo Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di
Indonesia,Airlangga Press, Surabaya
R. Soeroso, 2007, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta
Rosnidar, 2016, Hukum Keluarga : Harta-harta Benda dalam Perkawinan, Rajawali Pers,
Jakarta
Saleh, K. Wantjik, 2000 Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia indonesia, Jakarta
Shadily, Hasan, Ensiklopedi Indonesia, Jakarta : Ictihar Baru, 1984

24
Thalib, Sayuti, 1986 , Hukum Kekeluargaan Indonesia, UI Press, Jakarta

Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/kawin . Anshary, H.M, 2016, Harta Bersama
Perkawinan dan Permasalahanya, CV. Mandar Maju, Bandung.

Putusan Mahkamah Konsitutsi No. 69/PUU-XIII/2015

25

Anda mungkin juga menyukai