Pembahasan
Adapun makna tentang pernikahan secara istilah masing-masing ulama fikih memiliki
pendapatnya sendiri antara lain :
1. Ulama Hanafiyah mengartikan pernikahan sebagai suatu akad yang membuat pernikahan
menjadikan seorang laki-laki dapat memiliki dan menggunakan perempuan termasuk
seluruh anggota badannya untuk mendapatkan sebuah kepuasan atau kenikmatan.
2. Ulama Syafi’iyah menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad dengan
menggunakan lafal ا َككنِن... ُح ح, atau ك وا ُح ج
َ كز
َ , yang memiliki arti pernikahan
menyebabkan pasangan mendapatkan kesenanagn.
3. Ulama Malikiyah menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad atau perjanjian yang
dilakukan untuk mendapatkan kepuasan tanpa adanya harga yang dibayar.
4. Ulama Hanabilah menyebutkan bahwa pernikahan adalah akad dengan menggunakan
َ ان ْن ن
lafal ا ُح ح..ك ك ِ atau ك ْن ِن و ْن حُ ج
َ yang artinya pernikahan membuat laki-laki dan
perempuan dapat memiliki kepuasan satu sama lain.
5. Saleh Al Utsaimin, berpendapat bahwa nikah adalah pertalian hubungan antara laki-laki
dan perempuan dengan maksud agar masing-masing dapat menikmati yang lain dan
untuk membentuk keluaga yang saleh dan membangun masyarakat yang bersih
1
6. Muhammad Abu Zahrah di dalam kitabnya al-ahwal al-syakhsiyyah, menjelaskan bahwa
nikah adalah akad yang berakibat pasangan laki-laki dan wanita menjadi halal dalam
melakukan bersenggema serta adanya hak dan kewajiban diantara keduanya.
a. Wajib, jika orang tersebut memiliki kemampuan untuk meinkah dan jika tidak menikah
ia bisa tergelincir perbuatan zina (baca zina dalam islam)
b. Sunnah, berlaku bagi seseorang yang memiliki kemampuan untuk menikah namun jika
tidak menikah ia tidak akan tergelincir perbuatan zina
c. Makruh, jika ia memiliki kemampuan untuk menikah dan mampu menahan diri dari zina
tapi ia memiliki keinginan yang kuat untuk menikah
d. Mubah, jika seseorang hanya menikah meskipun ia memiliki kemampuan untuk menikah
dan mampu menghindarkan diri dari zina, ia hanya menikah untuk kesenangan semata
e. Haram, jika seseorang tidak memiliki kemampuan untuk menikah dan dikhawatirkan
jika menikah ia akan menelantarkan istrinya atau tidak dapat memenuhi kewajiban
suami terhadap istri dan sebaliknya istri tidak dapat memenuhi kewajiban istri terhadap
suaminya. Pernikahan juga haram hukumnya apabila menikahi mahram atau pernikahan
sedarah.
3. Rukun Nikah
a. Mempelai pria
Mempelai pria yang dimaksud di sini adalah calon suami yang memenuhi persyaratan
sebagaimana disebutkan pula oleh Imam Zakaria al-Anshari dalam Fathul Wahab bi Syarhi
Minhaj al-Thalab (Beirut: Dar al-Fikr), juz II, hal. 42:
2
“Syarat calon suami ialah halal menikahi calon istri (yakni Islam dan bukan mahram), tidak
terpaksa, ditertentukan, dan tahu akan halalnya calon istri baginya.”
b. Mempelai wanita
Mempelai wanita yang dimaksud ialah calon istri yang halal dinikahi oleh mempelai pria.
Seorang laki-laki dilarang memperistri perempuan yang masuk kategori haram dinikahi.
Keharaman itu bisa jadi karena pertalian darah, hubungan persusuan, atau hubungan kemertuaan.
c. Wali
Wali di sini ialah orang tua mempelai wanita baik ayah, kakek maupun pamannya dari pihak
ayah (‘amm), dan pihak-pihak lainnya. Secara berurutan, yang berhak menjadi wali adalah ayah,
lalu kakek dari pihak ayah, saudara lelaki kandung (kakak ataupun adik), saudara lelaki seayah,
paman (saudara lelaki ayah), anak lelaki paman dari jalur ayah.
d. Dua saksi
Dua saksi ini harus memenuhi syarat adil dan terpercaya. Imam Abu Suja’ dalam Matan al-
Ghâyah wa Taqrîb (Surabaya: Al-Hidayah, 2000), hal. 31 mengatakan, wali dan dua saksi
membutuhkan enam persyaratan, yakni Islam, baligh, berakal, merdeka, lelaki, dan adil.”
3
e. Shighat
Shighat di sini meliputi ijab dan qabul yang diucapkan antara wali atau perwakilannya dengan
mempelai pria.
Pernikahan memiliki beberapa jenis, sebagaimana digambarkan oleh Rasulullah dalam sabdanya
yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, bahwa Aisya ra menyebutkan adanya empat jenis nikah
pada masa jahiliyah (sebelum nabi Muhammad SAW menjadi rasul);
Pernikahan Pinang, yaitu seorang pria datang meminang seorang wanita, baik itu secara
langsung atau melalui wali si wanita, kemudian menikahinya dengan mahar.
Pernikahan Gadai/Pinjam, yaitu seorang istri yang diperintah suaminya untuk berkumpul
dengan pria lain hingga hamil, demi mendapatkan keturunan atau perbaikan keturunan.
Poliandri, yaitu sejumlah pria (biasanya kurang dari 10 orang) secara bergilir
mencampuri seorang wanita dengan kesempatan bahwa jika wanita itu hamil dan
melahirkan, maka kesemua pria tersebut harus ridha bila kemudian salah satu dari
merekalah yang ditunjuk oleh si wanita sebagai ayah dari anak tersebut.
Pada masa Muhammad SAW telah diangkat menjadi rasul, muncul pula jenis-jenis nikah dalam
bentuk lain;
1. Nikah Syigar
Nikah syigar adalah ketika seorang wali menikahkan putrinya kepada seorang pria dnegan syarat
pria trsebut menikahkannya kepada putrinya, saudara perempuannya atau putrinya, atau
perwaliannya dengan mahar atau tanpa mahar.
2. Nikah Mut’ah
4
Nikah mut’ah adalah pria yang menikahi seorang wanita untuk jangka waktu tertentu, nikah
inilah yang disebut oleh Sayyid Sabiq sebagai nikah sementara atau nikah terputus karena laki-
lakinya menikahi seorang perempuan hanya untuk sehari atau seminggu atau sebulan.
“Diriwayatkan dari Sabrah bin Ma’bad al Juhaini, sesungguhnya Rasulullah SAW telah
mengharamkan mut’ah terhadap wanita (HR. Abu Daud, no. 2073)
3. Nikah Muhallil
Nikah muhallil adalah seorang pria yang menyuruh/membayar (muhallal) seorang pria (muhallil)
untuk menikahi wnaita yang pernah dinikahi dan ditalak sebanyak tiga kali agar dapat
dinikahinya setelah diceraikan oleh pria suruhannya tersebut.
yaitu seorang pria mukmin yang menikahi wanita ahlul kitab. Ahl Al-Kitab berasal dari dua kata
bahasa Arab yang tersusun dalam bentuk Idhafah yaitu ahlu dan Al-Kitab. Ahlu berarti pemilik,
ahli. Sedangkan Al-Kitab berarti kitab suci. Jadi, Ahl al-Kitab berarti pemilik kitab suci, yakni
para umat nabi yang diturunkan kepada mereka kitab suci (wahyu Allah SWT).
Nikah secara bahasa berarti ‘adh dhomm’ atau ‘al jam’i = mengumpulkan. Secara istilah syar’i,
nikah adalah istilah dari akad yang masyhur yang terdiri dari rukun dan syarat.
Nikah sendiri jika dimutlakkan bisa bermakna akad dan bermakna menyetubuhi (mencampuri)
istri. Inilah makna secara bahasa. Al Azhari berkata bahwa asal kata nikah dalam bahasa Arab
adalah al wath’u atau menyetubuhi. Ada pula yang menyebut nikah untuk akad pernikahan
karena akad inilah yang menyebabkan halalnya persetubuhan. (Lihat Kifayatul Akhyar, 2: 33).
Dalil disyari’atkannya nikah,
ِ َوأَن ِكحُوا ْاألَيَا َمى ِمن ُك ْم َوالصَّالِ ِحينَ ِم ْن ِعبَا ِد ُك ْم َوإِ َمآئِ ُك ْم إِن يَ ُكونُوا فُقَ َرآ َء يُ ْغنِ ِه ُم هللاُ ِمن فَضْ لِ ِه َوهللاُ َو
اس ٌع َعلِي ٌم
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
5
perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan
Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur: 32). Disebutkan
dalam hadits bahwa Allah akan senantiasa menolong orang yang ingin menjaga kesucian dirinya
lewat menikah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda tentang tiga golongan yang pasti mendapat pertolongan Allah. Di antaranya,
ََوالنَّا ِك ُح الَّ ِذي ي ُِري ُد ْال َعفَاف
“… seorang yang menikah karena ingin menjaga kesuciannya.” (HR. An Nasai no. 3218, At
Tirmidzi no. 1655. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Ahmad bin Syu’aib Al
Khurasani An Nasai membawakan hadits tersebut dalam Bab “Pertolongan Allah bagi orang
yang nikah yang ingin menjaga kesucian dirinya”.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ ْصنُ لِ ْلفَر
ج َو َم ْن لَ ْم يَ ْست َِط ْع فَ َعلَ ْي ِه بِالصَّوْ ِم فَإِنَّهُ لَهُ ِو َجا ٌء َ ْص ِر َوأَح
َ َب َم ِن ا ْستَطَا َع ِم ْن ُك ُم ْالبَا َءةَ فَ ْليَتَ َز َّوجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِ ْلب
ِ يَا َم ْع َش َر ال َّشبَا
“Wahai para pemuda, barangsiapa yang memiliki baa-ah , maka menikahlah. Karena itu lebih
akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu,
maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.” (HR. Bukhari no. 5065 dan
Muslim no. 1400).
Namun manusia terbagi menjadi dua golongan:
Pertama: Yang butuh nikah (taa-iq ilan nikaah), ada yang punya kesiapan atau tidak. Jika butuh
nikah dan punya kesiapan, maka dianjurkan untuk menikah. Menurut ulama Syafi’iyah dan
ulama yang mumpuni lainnya, hukum nikah di sini sunnah, termasuk pula menjadi pendapat
Imam Nawawi. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
َ َفَا ْن ِكحُوا َما ط
اب لَ ُك ْم ِمنَ النِّ َسا ِء
“Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi” (QS. An Nisa’: 3). Di sini dikaitkan
dengan yang pilihan atau yang kita sukai dan perintah wajib tidaklah dikatakan demikian.
Sedangkan menurut Imam Ahmad, wajib menikah ketika khawatir terjatuh dalam zina.
Sedangkan yang butuh nikah tetapi tidak mampu akan nafkah seperti mahar, maka ia tidak
menikah dan hendaklah menahan syahwatnya dengan banyak berpuasa. Jika tidak bisa tertahan
dengan cara seperti itu, maka hendaklah ia memilih untuk menikah, moga saja Allah
memberinya kecukupan dengan karunia-Nya.
Kedua: Tidak ada kebutuhan untuk nikah (ghoirut taa-iq ilan nikaah), ada dua keadaan: (1) tidak
punya kesiapan, maka dimakruhkan untuk menikah karena jika diwajibkan sama saja membebani
6
yang ia tidak mampu tanpa ada kebutuhan; (2) ia mendapati kesiapan finansial untuk menikah
namun ia tidak butuh menikah, maka dimakruhkan pula untuk menikah.
(Kifayatul Akhyar, 2: 35-36).
[3] Allah Ta’ala berfirman,
َ اب لَ ُك ْم ِمنَ النِّ َسا ِء َم ْثنَى َوثُاَل
ث َو ُربَا َع َ َفَا ْن ِكحُوا َما ط
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,
tiga atau empat.” (QS. An Nisa’: 3)
Al Harits bin Qois berkata, “Aku berislam dan saat itu aku memiliki 8 istri, maka aku
menyebutkan hal itu pada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, kemudian beliau bersabda,
اختَرْ ِم ْنه َُّن أَرْ بَعًا
ْ
“Pilihlah empat di antara mereka.” (HR. Abu Daud no. 2241 dan Ibnu Majah no. 1953, shahih)
Ada dua syarat lagi yang tidak disebutkan oleh Abu Syuja’: (3) tidak ada lagi wanita muslimah
atau wanita ahli kitab yang merdeka yang nantinya digauli dan (4) budak wanita tadi beragama
Islam karena seorang pria muslim tidak boleh menikahi wanita budah yang ahli kitab. Jika
seorang pria merdeka telah menikahi seorang budak lantas ia mendapatkan kemudahan
menikahi wanita merdeka, maka pernikahan dengan budak tadi tidaklah batal. (Fathul Qorib,
hal. 225)
Sedangkan dalil boleh menikahi budak muslimah adalah,
ض ُك ْمُ ت َوهَّللا ُ أَ ْعلَ ُم بِإِي َمانِ ُك ْم بَ ْع
ِ ت أَ ْي َمانُ ُك ْم ِم ْن فَتَيَاتِ ُك ُم ْال ُم ْؤ ِمنَاْ ت فَ ِم ْن َما َملَ َكِ ت ْال ُم ْؤ ِمنَا َ َْو َم ْن لَ ْم يَ ْستَ ِط ْع ِم ْن ُك ْم طَوْ اًل أَ ْن يَ ْن ِك َح ْال ُمح
ِ صنَا
ِ ْت أَ ْخدَا ٍن فَإ ِ َذا أُح
َص َّن فَإ ِ ْن أَتَ ْين ِ ت َواَل ُمتَّ ِخ َذا ٍ ت َغ ْي َر ُم َسافِ َحا ٍ صنَا َ ُْوف ُمح ِ ُوره َُّن بِ ْال َم ْعرَ ْض فَا ْن ِكحُوه َُّن بِإ ِ ْذ ِن أَ ْهلِ ِه َّن َوآَتُوه َُّن أُج
ٍ ِم ْن بَع
ك لِ َم ْن َخ ِش َي ْال َعنَتَ ِم ْن ُك ْم َوأَ ْن تَصْ بِرُوا خَ ْي ٌر لَ ُك ْم َوهَّللا ُ َغفُو ٌر َر ِحي ٌم َ ِب َذلِ ت ِمنَ ْال َع َذا َ ْبِفَا ِح َش ٍة فَ َعلَ ْي ِه َّن نِصْ فُ َما َعلَى ْال ُمح
ِ صنَا
“Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk
mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-
budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari
sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah
maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri,
bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan
apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang
keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang
bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada
7
kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik
bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa’: 25)
8
ٍ ىال ُم ْت َع ِة ثَالَثَةَ أَي
ا..ََّـام ثُ َّم نَهَى َع ْنه ْ ِس ف
ٍ َمـا َم اَوْ طَا.م.ص َرسُوْ ُل هللاِ ص
َ َر َّخ: ـال
َ َض َي هللاُ ق ٍ ع َْن َسلَ َمةَ ْب ِن ْاالَ ْك َو
ِ ع َر
)(رواه مسلم
“Dari Salamah bin al-Akwa, r.a, ia berkata: Pernah Rasulullah S.a.w membolehkan perkawinan
mut’ah pada hari (peperangan) authas selama tiga hari, kemudian sesudah itu Ia larang”. (H.R.
Muslim)
Melihat dari sejarah di atas, maka Golongan syi’ah mengartikan dan menyimpulkan
bahwa nikah mut’ah itu boleh di lakukan bagi umat Islam, sesuai apa yang telah diperbolehkan
tanpa memahami setelah itu Rasul melarangnya. Di sini akan dibahas sedikit di kalangan Syi’ah
tentang nikah mut’ah.
Pembenaran pemahaman mut’ah didasarkan atas tafsir keliru, yaitu penggunaan ke-24
dari surat an-Nisa’, yang artinya : “Kalau kamu melakukan nikah mut’ah, maka bayarlah mahar
mereka sebagai suatu kewajiban”. Ayat ini sengaja dipenggal supaya maknanya tidak sama
dengan tafsiran jumhur ulama Sunni. Padahal ayat ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan
nikah mut’ah, akan tetapi membicarakan soal mahar bagi istri yang sah di nikahi.
Imam al-Qurthubi, seorang ulama Sunni menulis dalam tafsirnya bahwa Q.S. an-Nisa’ :
24, dipahami oleh mayoritas ulama sebagai izin melakukan nikah mut’ah, tetapi itu pada awal
masa Islam dan izin tersebut telah di cabut atau dibatalkan. Memang sekian banyak hadits sahih
yang membuktikan bahwa nikah mut’ah pernah di lakukan oleh para sahabat Nabi dan beliau
tidak melarangnya, namun kemudian dibatalkan.
9
Hukum Nikah Mut’ah yang terdapat dalam Nas al-Qur’an
1. Q.S. al-Baqarah [2] : 241
)241 : (البقراة َُوف َحقًّا َعلَى ْال ُمتَّقِين
ِ ع بِ ْال َم ْعر ِ َولِ ْل ُمطَلَّقَا
ٌ ت َمتَا
“Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut`ah menurut
yang ma`ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa.” (Q.S. al-Baqarah : 24).
2. Q.S. an-Nisa’ [4] : 24
وا بِأ َ ْم َوالِـ ُك ْم..ا َو َرا َء َذ ِلـ ُك ْم أَ ْن تَ ْبتَ ُغ.. َّل لَـ ُك ْم َم.اب هللاِ َعلَ ْي ُك ْم َوأُ ِح.
َ .َت أَ ْي َمانُ ُك ْم ِكت
ْ َات ِمنَ النِّ َسا ِء إِالَّ َما َملَـ َك
ُ صن َ َْو ْال ُمح
َ َاح َعلَ ْي ُك ْم فِي َما ت ََر
ِه ِم ْن. ِم ب.ُْاض ْيت َ يضةً َوالَ ُجن َ صنِينَ َغ ْي َر ُم َسافِ ِحينَ فَ َما ا ْستَ ْمتَ ْعتُ ْم بِ ِه ِم ْنه َُّن فَآتُـوه َُّن أُجُو َره َُّن فَ ِر ِ ُْمح
)24 : ض ِة إِ َّن هللاَ َكانَ َعلِي ًما َح ِكي ًما (النـساء َ بَ ْع ِد ْالفَ ِري
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang
kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan
dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk
dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara
mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban;
dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya,
sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana. (Q.S. an-Nisa : 24)
10
ِري َْر ٍة ثُ َّم.اس َش َ ِة لِ َح.في ْال ُم ْت َع
ْ ان.. ٍة َك.اج
ِ ََّت بِالـن َ إِنَّ َمـا َر َّخ: ال
ِ .م.ص َرسُوْ ُل هللاِ ص َ َْر السَّـا ِع ِدى ق
ٍ ع َْن َسه ِْل ْب ِن َسع
)نَهَى َع ْنهَابَ ْع ُر (رواه حسن الطبرا نى
“Dari Sahal bin Sa’ad as-Sa’idi, ia berkata : “tidak lain Nabi memberi kelonggaran tentang
mut’ah itu melainkan karena satu keperluan yang sangat mengenai orang-orang, lalu sesudah
itu Nabi larang”. (H.R. Hasan, Thabrani)
2. H.R Thabrani
ت (رواه َ َرا ٌم ثَال.
ٍ رَّا.ث َم ِّ ُ يَـوْ َم فَ ْت ُح َم َّكةَ يَقُوْ ُل ُم ْت َعـة.م.ْت النَّبِ ُّي ص
َ .النـ َسا ِء َح ُ َس ِمع: َزيَّةَ قَـا َل
ِ ث ب ِْن غ ِ َع ِن ْال َح
ِ ار
)الطبرانى
“Dari Harits bin Ghaziyah, ia berkata : Aku dengar Nabi S.a.w berkata pada hari menaklukkan
Makkah, kawin mut’ah dengan wanita haram (Beliau berkata begitu) tiga kali” (H.R. Thabrani)
3. H.R Ahmad dan Muslim
11
Ulama Sunni menilai walaupun terdapat perbedaan tentang masalah dibatalkannya,
namun yang jelas bahwa keseluruhan riwayat tersebut sepakat menyatakan dilarangnya nikah
mut’ah, dengan demikian tidak perlu dipersoalkan lagi tentang waktu pelarangannya, yang
penting adalah larangannya.
Kawin kontrak pada zaman sekarang masih ada keberadaanya, mereka menyewa hotel dan villa
untuk kawin kontrak dengan pribumi untuk mengisi liburannya, biasanya orang tersebut adalah
orang dari Timur tengah.
Alasan mereka lebih memilih kawin kontrak karena mas kawin lebih murah dan persyaratannya
lebih mudah. Pelaksanaan kawin kontrak dilaksanakan tanpa penghulu melainkan saksi. bahkan
saksinya sendiri pun terkadang orang lain yang mereka temui di jalan. Bahkan calon isterinya
pun mereka dapat dari seorang calo.
Dapat kita lihat nikah mutah dizaman dahulu, Rasul memperbolehkan adanya Nikah mut’ah
dikarenakan dalam keadaan darurat pada saat berperang, dikarenakan masyarakat islam pada
waktu itu masih dalam transisi (masa peralihan dari jahiliyah kepada islam). Sedang perzinaan
pada masa jahiliyah suatu hal yang biasa. Maka setelah islam datang dan menyeru pada
pengikutnya untuk pergi berperang. Karena jauhnya mereka dari istri mereka adalah suatu
penderitaan yang berat. Sebagian mereka ada yang kuat imannya dan adapula yang sebagian
tidak kuat imannya. Bagi yang lemah imannya akan mudah untuk berbuat zina yang merupakan
sebagai berbuatan yang keji dan terlarang. Dan bagi yang kuat imannya berkeinginan untuk
mengkebiri dan mengipotenkan kemaluannya. Seperti apa yang dikatakan oleh Ibn Mas'ud :
أال نستخصى؟ فنهانا رسول هللا صام عن ذالك: وليس معنا نساء فقلنا صام كنا نغزوا مع رسول هللا: عن بن مسعود قال.
Artinya :
“Dari mas'ud berkata : waktu itu kami sedang perang bersama Rasulullah SAW dan tidak
bersama kami wanita, maka kami berkata : bolehkah kami mengkebiri (kemaluan kami). Maka
12
Raulullah SAW melarang kami melakukan itu. Dan Rasulullah memberikan keringanan kepada
kami untuk menikahi perempuan dengan mahar baju sampai satu waktu”
Tetapi rukhshah yang diberikan nabi kepada para shabat hanya selama tiga hari setelah itu
Beliau melarangnya, seperti sabdanya :
ثم نهى عنها (رواه مسلم, ثالثة أيام, رخص رسول هللا صلى هللا عليه وسلم عام أوطاس فى المطعة: وعن سلمة بن األكوع قال
)
Artinya :
“Dari Salamah bin Akwa' berkata : Rasulullah SAW memberikan keringanan nikah muth'ah pada
tahun authas (penaklukan kota Makah) selama 3 hari kemudian beliau melarangnya” (HR
Muslim)
Adanya perbedaan dalam kawin kontrak yang sekarang di Indonesia dan nikah mut’ah karena:
· Adanya nikah mut’ah karena dahulu masih zaman jahiliah sehingga orang masih awam
dalam masalah agama, sedangkan sekarang masyarakat sudah pintar dan beragama
· Dan sekarang seharusnya kawin kontrak ini dihapuskan karena sudah ada dalil yang
menasakh adanya hukum nikah mut’ah tersebut. Sedangkan dahulu belum ada dalil yang
menasakhnya.
Persamaanya nikah mut’ah dengan kawin kontrak yaitu mengawini perempuan untuk beberapa
waktu saja.
13
1. Kawin seperti ini tidak sesuai dengan perkawinan yang dimaksud oleh Al-Quran, juga tidak
sesuai dengan talak, iddah dan pusaka.
3. Umar ketika menjadi khalifah dengan berpidato diatas mimbar mengharamkannya dan para
sahabat pun menyetujuinya.
4. Al- Khattabi berkata: haramnya kawin mut’ah itu sudah ijma’, kecuali oleh beberapa
golongan syiah.
5. Kawin mut’ah sekedar bertujuan untuk melampiaskan syahwat dan bukan untuk
mendapatkan anak dan memelihara anak, yang keduanya merupakan maksud pokok dari
perkawinan.
Dalam suatu lafadz yang diriwayatkannya oleh Ibnu Majah, Rasulullah telah mengharamkan
kawin mut’ah dengan sabdanya:
“wahai Manusia! Saya telah pernah mengizinkan kamu kawin mut’ah. Tetapi sekarang
ketahuilah bahwa Allah telah mengharamkannya sampai hari kemudian.”
“Dari Ali, Rasulullah saw, telah melarang kawin mut’ah pada waktu perang Khaibar dan
melarang makan daging keledai penduduknya.”
Dan ada beberapa seorang shabat dan tabiin yang meriwayatkan bahwa kawin mut’ah itu halal,
yang dikenal sebagi riwayat dari Ibnu Abbas dalam kitah “Tahdzibus Sunnan” ditegaskan bahwa
Ibnu Abbas membolehkan kawin mut’ah ini bila diperlukan dalam keadaan darurat dan bukan
membolehkan secara mutlak.
14
Tetapi pendapat ini kemudian beliau cabut lagi ketika beliau mengetahui banyak orang yang
melakukan berlebih-lebihan. Jadi kawin mut’ah tetap haram bagi orang yang tidak ada alsan
yang sah.
Al-Khattabi berkata: Said bin Jubair berkata: saya pernah bertanya kepada Ibnu Abbas: Tahukah
Anda apa yang anda perbuat dan anda fatwakan? Kini para kafilah telah mengikuti fatwa tuan
dan para ahli syair bersajak.
Jawab saya: mereka berkata: aku berkata kepada Syaikh yang telah alam meninggalkan isterinya,
“wahai Saudara! Tahukah anda fatwanya Ibnu Abbas? Tahukan anda yang kawin mut’ah itu
boleh. Anda boleh bersenang-senang sampai kafilah pulang balik.
Ibnu Abbas menjawab: Inna Lillah wainna ilaihi raji’un. Demi Allah saya tidak berfatwa begitu,
dan tidak pula bermaksud begitu. Kalau toh aku mengahalalkan, maka adalah seperti Allah
menghalalkan bangakai, darah, dan daging babi, yang barang-barang itu tidak halal kecuali bagi
orang yang terpaksa. Dan kawin mut’ah itu ibarat bangkai, darah, dan daging babi.
Iran atau Negeri Persia terkenal sebagai negara Islam beraliran Syiah. Sebagaimana negara-
negara Islam lain di dunia, seluruh sistem dan aspek kehidupan masyarakatnya mengacu pada
hukum syariah atau hukum moral yang berlaku dalam agama Islam. Namun begitu, semua
persepsi itu terbantahkan ketika menilik kenyataan yang berlangsung di negara bermoral
tersebut.
Sudah sejak lama, diketahui bahwa prostitusi merupakan profesi sekaligus bisnis ilegal di Iran.
Akan tetapi, kegiatan ilegal itu bisa menjadi legal dalam sekejap ketika pasangan mesum terikat
dalam sebuah pernikahan.
Mengkaji Hukum keluarga Islam di Indonesia ataupun di negara lain yang mayoritas
penduduknya beragama Islam memiliki daya tarik tersendiri.Dalam hukum keluarga itulah yang
15
paling mendapatkan prioritas dan terdapat jiwa wahyu Ilahi dan sunnah Rasulillah, sedangkan
pada hukum lain, pada umumnya jiwa tersebut mengalami penurunanyang signifikan.
Di Indonesia perkembangan hukum keluarga Islam cukup terbuka, hal ini antara lain disebabkan
oleh adanya Undang-Undang Dasar, juga Kompilasi Hukum Islam.Konstitusi sendiri memang
mengarahkan terjadinya pembaharuan atau pengembangan hukum keluarga, agar kehidupan
keluarga yang menjadi sendi dasar kehidupan masyarakat, terutama kehidupan wanita, istri, ibu
dan anak-anak di dalamnya dapat terlindungi dengan adanya kepastian hukum.
Di Indonesia sendiri ada beberapa Undang-Undang yang sumbernya berasal dari Hukum Islam,
misalnya: Undang-Undang No. 1/1974 mengenaiperkawinan, dan Undang-Undang no.41/2004
tentang Wakaf. Peranan hukum Islam dalam persoalan perkawinan bagi muslim Indonesia
dengan jelas tercantum dalam pasal 2 ayat (1) yang berbunyi: Perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu.
Undang-undang Perkawinan juga mengatur hal ihwal tentang perkawinan dengan norma, kaidah,
dan prinsip hukum Islam seperti dalam masalah menentukan calon, khitbah, akad nikah, nafkah,
perceraian, rujuk, dan sebagainya.Jika kita melihat undang-undang tersebut, maka sesungguhnya
sebagian undang-undang perkawinan di Indonesia sama dengan apa yang ada dalam fikih klasik,
walaupun “mungkin” ada yang berbeda dari apa yang ada dalam fikih klasik.
Akan tetapi, jika kita meninjau ulang apa yang ada dalam fikih klasik, hampir semua Madzhab
berbeda pendapat.Maka dari itu, jika ada undang-undang Hukum Keluarga di Indonesia yang
berbeda dengan fikih klasik bukan berarti undang-undang tersebut tidak dibenarkan “menurut
Islam”. Asalkan undang-undang tersebut berdasar pada kaidah-kaidah hukum Islam
(sebagaimanahal tersebut dapat dianggap maslahat ataupun yang lain), maka undang-undang
tersebut walaupun terlihat tidak sama dengan dengan fikih klasik, akan tetapi bisa saja undang-
undang tersebut mengacu pada tujuan syariat “al-Maqosidas-Syari’ah”, asalkan undang-undang
tersebut dibuat untuk kemaslahatan rakyat dan bukan atas dasar politik semata, serta
kemaslahatan pemimpin.
Fikih bukanlah Al-Qur’an, akan tetapi fikih merupakan kitab hukum yang penggalian hukumnya
bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadist. Jika kita melihat pengertian pernikahan dalam undang-
16
undang di Indonesia dan kita bandingkan dengan apa yang ada dalam Al-Qur’an, kita akan
melihat suatu kesamaan. Pengertian perkawinan dalam Undang-Undang di Indonesia adalah:
Pasal 1 UU Perkawinan disebutkan:Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa[4].
ٍ َم َو َّدةً َو َرحْ َمةً ِإ َّن فِي َذلِكَ آليَا لَ ُك ْم ِم ْن أَ ْنفُ ِس ُك ْم أَ ْز َواجًا لِتَ ْس ُكنُوا إِلَ ْيهَا َو َج َع َل بَ ْينَ ُك ْم ق
َت لِقَوْ ٍم يَتَفَ َّكرُون َ ََو ِم ْن آيَاتِ ِه أَ ْن خَ ل
“Dan di antara ayat-ayat-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri,
supaya kamu merasa nyaman kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu mawadah dan
rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berpikir” [Ar-Rum 21].
Jika kita mengamati ayat tersebut dan pengertian perkawinan pada undang-undang di Indonesia,
maka kita akan melihat kesamaannya, yaitu sama-sama bertujuan untuk menentramkan, serta
untuk mencapai kebahagiaan.
Secara umum, cakupan dari Hukum Keluarga Jika kita mengacu pada definisi Hukum Keluarga
“al-ahwal al-syakhsiyah” dari Wahbah az-Zuhaili dan Abdul Wahhab Khallaf, yaitu:
Jika kita melihat pendapat para ahli di bidang hukum Islam terutama di bidang hukum keluarga,
memang disini banyak sekali perbedaan pendapat terhadap ruang lingkup/cakupan hukum
keluarga Islam, ada yang berpendapat cakupan hukum keluarga hanya tiga pokok bahasan
17
(Perkawinan, perceraian dan warisan), ada juga yang menambahkan wakaf dalam
cakupannya,dan ada juga yang menambahkan perwalian di dalamnya.
Akan tetapi, jika kita melihat pendapat umumnya ahli Hukum Islam (fuqaha’) maka kita bisa
melihat bahwasanya cakupan atau ruang lingkup Hukum Keluarga Islam tidak hanya sebatas
hukum perkawinan dan warisan saja, akan tetapi mencakup semua aspek-aspek hukum
keluarga/kekeluargaan, dan disitu termasuk juga hukum yang menjelaskan tentang wanita dan
juga tentang anak (perwalian, dan hadlonah misalanya)
18