Anda di halaman 1dari 45

Republik Indonesia

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/


Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

Laporan Akhir
Kajian Kualitas Belanja Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Direktorat Otonomi Daerah


Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
Tahun 2011
BAPPENAS

LAPORAN AKHIR

KAJIAN KUALITAS BELANJA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH


(APBD)

DIREKTORAT OTONOMI DAERAH,


DEPUTI BIDANG PENGEMBANGAN REGIONAL DAN OTONOMI DAERAH
2011
Pengarah:
Budhi Santoso

Tim Penyusun:
Wariki Sutikno
Antonius Tarigan
Daryll Ichwan Akmal
Taufiq Hidayat Putra
Asep Saepudin
Sudira
Mohammad Roudo
Ervan Arumansyah
Alen Ermanita
Sukarso
Betti Nurbaiti
Luh Nyoman Dewi Triandayani
Perdana Nusawan

Tim Pendukung :
Mira Berlian
Bakat Supradono
Suharyono

Diterbitkan Oleh :
Direktorat Otonomi Daerah,
Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah,
Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)
Jl. Taman Suropati No. 2 Jakarta 10310
Telp/Fax : 021 – 31935289

Kajian Kualitas Belanja APBD i


Sebagai bagian dari pelaksanaan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) utama
Kementerian PPN/Bappenas, Direktorat Otonomi Daerah, Deputi Bidang Pengembangan
Regional dan Otonomi Daerah-Bappenas, melaksanakan kegiatan pengkajian (studi) yang
pada tahun anggaran 2011 mengambil tema “Kajian Kualitas Belanja Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (ABPD)”. Kegiatan ini sebagaimana berdasarkan
Peraturan Menteri PPN/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor :
PER:01/M.PPN/09/2005.
Buku Laporan kegiatan Kajian Kualitas Belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (ABPD) ini disusun dalam rangka untuk mengidentifikasi permasalahan penyebab
rendahnya kualitas belanja APBD, termasuk proporsi belanja langsung ddan tidak
langsung yang ada di daerah yang akan menjadi masukan bagi perumusan kebijakan-
kebijakan yang terkait dengan desentralisasi dan otonomi daerah ke depannya.
berdasarkan hasil analisis terhadap isu-isu, permasalahan, dan tantangan yang sedang
dan akan dihadapi.
Buku Laporan Akhir kegiatan Kajian Kualitas Belanja Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (ABPD)ini terdiri dari 5 (lima) bab yang meliputi Pendahuluan, Tinjauan
Teoretis dan Metodologi, Deskripsi Lokal Kajian dan APBD, Analisis Kualitas Belanja
Daerah dan APBD, serta bab Kesimpulan dan Rekomendasi. Kami berharap studi ini dapat
menjadi bahan masukan bagi perumusan kebijakan strategis di bidang desentralisasi dan
otonomi daerah, khusus terkait dengan pengembangan kapasitas dan keuangan daerah.
Selain itu, kajian ini dilakukan dengan mengelaborasi isu dan permasalahan di
tingkat pusat serta dengan memperhatikan perkembangan dan aspirasi di daerah dalam
pelaksanaan otonomi daerah. Hal ini karena stakeholders proses desentralisasi dan
otonomi daerah tidak hanya pemerintah pusat. Diharapkan hasil dari kegiatan kajian ini
dapat memberikan masukan yang bermanfaat, terutama yang berkaitan dengan analisis
dan gambaran ringkas mengenai kualitas belanja daerah dan proses perumusan APBD di
daerah-daerah lokasi kajian pada khususnya dan pengembangan kapasitas dan keuangan
daerah pada umumnya.

Kajian Kualitas Belanja APBD ii


Kami menyadari masih terdapat beberapa kekurangan dan keterbatasan dalam hal
format/tampilan, maupun kelengkapan datanya (daerah dan waktu-time series). Namun
demikian, diharapkan laporan akhir kajian ini dapat memberikan manfaat dalam
mendukung kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah ke depan. Selanjutnya kami
sangat mengharapkan saran dan masukan dari semua pihak untuk perbaikan laporan ini
di masa yang akan datang. Saran dan masukan tersebut dapat disampaikan kepada
Sekretariat Direktorat Otonomi Daerah Bappenas, Jln. Taman Suropati No. 2 Jakarta
10310; tel./fax : (021) 31935289.

Jakarta, Desember 2011


Direktur Otonomi Daerah, Bappenas

Budhi Santoso

Kajian Kualitas Belanja APBD iii


Kualitas belanja daerah dan APBD selama ini dianggap masih lemah dengan salah satu
indikasi belanja tidak langsung selalu lebih besar dari belanja langsung. Dengan latar
belakang seperti itu, kajian ini menganalisis bagaimana dan mengapa kualitas belanja
daerah dan APBD masih dianggap rendah. Dengan mengambil sampel delapan daerah,
masing-masing empat daerah provinsi dan empat daerah kabuapten/kota, dan dengan
analisis deskriptif, hasil kajian ini menunjukkan bahwa kriteria kualitas belanja daerah dan
APBD ternyata tidak seragam. Hasil kajian menunjukkan bahwa semua lokasi kajian tidak
mempunyai kualitas belanja daerah dan APBD yang mendekati sempurna tingginya,
melainkan masing-masing daerah mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Provinsi
D.I. Yogyakarta cenderung efisien dan akuntable, sedangkan Kabupaten Kutai Kartanegara
cenderung akuntabel dan responsif. Kabupaten Sleman cenderung akuntabel, sedangkan
Provinsi Sumatera Utara cenderung efektif. Kota Medan cenderung efisien, akuntabel dan
responsif. Provinsi Kalimantan Timur cenderung adil dan akuntabel sedangkan Provinsi
Sulawesi Utara cenderung akuntabel, kurang lebih mirip dengan Kabupaten Wakatobi.
Jika lokasi kajian kualitas belanja daerah dan APBD-nya cenderung ekonomis, efisien, dan
atau efektif, maka permasalahan atau kelemahannya ada pada tataran keadilan, dan atau
akuntabilitas dan atau responsivitas, maka hal ini bersifat politis, yakni berkaitan dengan
kinerja legislatif. Namun jika lokasi kajian cenderung adil, akuntabel dan atau responsif,
maka kelemahannya ada pada tataran ekonomi dan atau efisien dan atau efektif, maka
hal ini lebih bersifat tekhnis-operasional atau sumberdaya manusia birokrasinya, yakni
berkaitan dengan kemampuan birokrasi.

Kajian Kualitas Belanja APBD iv


TIM PENYUSUN .... ................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ................................................................................................. ii
ABSTRAK .............................................................................................................. iv
DAFTAR ISI ............................................................................................................. v
DAFTAR TABEL ....................................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR................................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. I–1


1.1. Latar Belakang ............................................................................ I–1
1.2. Tujuan dan Sasaran ..................................................................... I–3
1.3. Hasil yang Diharapkan . ................................................................ I–3
1.4. Ruang Lingkup Kegiatan .............................................................. I–4
1.5. Sistematika Penulisan .................................................................. I–4

BAB II TINJAUAN TEORETIS DAN METODOLOGI ......................................... II – 1


2.1. Tinjauan Teoretis ......................... ................................................ II – 1
2.1.1. Konsep Anggaran Daerah (Local Budgeting) ..................... II – 1
2.1.2. Proses Penganggaran Daerah ........................................... II – 3
2.1.3. Kualitas Penganggaran: Nilai-nilai dalam Penganggaran ... II – 5
2.2. Metodologi. ................................................................................. II – 6
2.2.1. Lokasi Kajian ..................................................................... II – 6
2.2.2. Fokus Kajian ..................................................................... II – 7
2.2.3. Instrumen Kajian (Pedoman Wawancara dan FGD)........... II – 7
2.2.4. Metode Kajian .................................................................. II – 8

BAB III DESKRIPSI LOKASI KAJIAN DAN APBD ............................................. III – 1


3.1. Deskripsi Lokasi Kajian ................................................................ III – 1
3.1.1. Provinsi Sumatera Utara ................................................... III – 1
3.1.2. Kota Medan...................................................................... III – 1
3.1.3. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ............................... III – 1
3.1.4. Kabupaten Sleman ........................................................... III – 2
3.1.5. Provinsi Kalimantan Timur................................................ III – 2
3.1.6. Kabupaten Kutai Kartanegara ........................................... III – 2
3.1.7. Provinsi Sulawesi Tenggara .............................................. III – 3
3.1.8. Kabupaten Wakatobi ........................................................ III – 3
3.2. Deskripsi APBD............................................................................. III – 3

Kajian Kualitas Belanja APBD v


BAB IV ANALISIS KUALITAS BELANJA DAERAH DAN APBD ............................ IV – 1
4.1. Proses Perumusan APBD .............................................................. IV – 1
4.1.1. Dimensi Waktu ................................................................ IV – 1
4.1.2. Dimensi Substansi ........................................................... IV – 2
4.1.3. Dimensi Pelaku ................................................................ IV – 5
4.2. Kulaitas Perumusan APBD ............................................................ IV – 5
4.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi .............................................. IV – 9

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI................................................... V – 1


5.1. Kesimpulan ................................................................................. V – 1
5.2. Rekomendasi ............................................................................. V – 2

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................

LAMPIRAN ..................................................................................................

Kajian Kualitas Belanja APBD vi


Halaman
Tabel 1.1. PAD Kabupaten/Kota tahun 2011 ...................................................... I – 3

Tabel 2.1. Lokasi Kajian ..................................................................................... II – 7

Tabel 3.1. Deskripsi Ringkas APBD 2011 Per Lokasi Kajian .................................. III – 4

Tabel 3.2. Proporsi PAD Terhadap Prendapatan Per Lokasi Kajian ...................... III – 5

Tabel 3.3. Proporsi Belanja Langsung Dan Tidak Langsung ................................. III – 6

Tabel 3.4. Proporsi Dana Bagi Hasil Terhadap Dana Perimbangan ...................... III – 7

Tabel 4.1. Skedul Normatif Perumusan APBD..................................................... IV – 2

Tabel 4.2. Prioritas Penganggaran Per Lokasi Kajian ........................................... IV – 3

Tabel 4.3. Kualitas Penganggaran Daerah .......................................................... IV – 8

Halaman
Gambar 1.1. PAD Provinsi 2011 ........................................................................... I – 2

Gambar 1.2. Total Pendapatan Provinsi 2011 ...................................................... I – 2

Gambar 1.3. Total Belanja Provinsi 2011 ............................................................. I – 2

Gambar 1.4. PAD Kabupaten/Kota 2011 .............................................................. I – 2

Gambar 3.1. Proporsi PAD Terhadap Pendapatan................................................ III – 5

Gambar 3.2. Proporsi Belanja Langsung Dan Tidak Langsung............................... III – 6

Gambar 3.3. Proporsi Dana Bagi Hasil Dan Dana Perimbangan ............................ III – 7

Kajian Kualitas Belanja APBD vii


ABSTRAK

Kualitas belanja daerah dan APBD selama ini dianggap masih lemah dengan salah satu
indikasi belanja tidak langsung selalu lebih besar dari belanja langsung. Dengan latar
belakang seperti itu, kajian ini menganalisis bagaimana dan mengapa kualitas belanja
daerah dan APBD masih dianggap rendah. Dengan mengambil sampel delapan daerah,
masing-masing empat daerah provinsi dan empat daerah kabuapten/kota, dan dengan
analisis deskriptif, hasil kajian ini menunjukkan bahwa kriteria kualitas belanja daerah dan
APBD ternyata tidak seragam. Hasil kajian menunjukkan bahwa semua lokasi kajian tidak
mempunyai kualitas belanja daerah dan APBD yang mendekati sempurna tingginya,
melainkan masing-masing daerah mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Provinsi
D.I. Yogyakarta cenderung efisien dan akuntable, sedangkan Kabupaten Kutai Kartanegara
cenderung akuntabel dan responsif. Kabupaten Sleman cenderung akuntabel, sedangkan
Provinsi Sumatera Utara cenderung efektif. Kota Medan cenderung efisien, akuntabel dan
responsif. Provinsi Kalimantan Timur cenderung adil dan akuntabel sedangkan Provinsi
Sulawesi Utara cenderung akuntabel, kurang lebih mirip dengan Kabupaten Wakatobi.
Jika lokasi kajian kualitas belanja daerah dan APBD-nya cenderung ekonomis, efisien, dan
atau efektif, maka permasalahan atau kelemahannya ada pada tataran keadilan, dan atau
akuntabilitas dan atau responsivitas, maka hal ini bersifat politis, yakni berkaitan dengan
kinerja legislatif. Namun jika lokasi kajian cenderung adil, akuntabel dan atau responsif,
maka kelemahannya ada pada tataran ekonomi dan atau efisien dan atau efektif, maka
hal ini lebih bersifat tekhnis-operasional atau sumberdaya manusia birokrasinya, yakni
berkaitan dengan kemampuan birokrasi.
BAB 1
PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang
Pendaan pembangunan melalui transfer ke daerah merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari pendanaan pembangunan pembangunan secara nasional. Dana transfer
ke daerah terdiri dari dana perimbangan dan dana otonomi khusus serta dana
penyesuaian. Alokasi dana transfer ke daerah dari wakru ke waktu mengalami
peningkatan seiring pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.
Pengelolaan pendanaan transfer ke daerah senantiasa didorong untuk memenuhi
pelaksanaan tata kelola keuangan yang baik, memiliki kinerja terukur dan memiliki
akuntabilitas terhadap masyarakat. Hasil akhir yang diharapkan adalah adanya
peningkatan pelayanan publik.
Besaran dana transfer dan dekonsentrasi ke daerah yang optimal masih dapat
diperdebatkan, tergantung kerangka penglihatan kita. Lebih rumit lagi, apabila dikaitkan
dengan sebaran prestasi IPM di Indonesia, tingkat kemiskinman dan pertumbuhan
ekonomi, tidak semua daerah dengan jumlah dana transfer per kapita besar memiliki
kinerja yang bagus pada aspek-aspek tersebut.
Terkait dengan kualitas belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
ini masih ditemui beberapa permasalahan yang sering muncul di antaranya masih
rendahnya kualitas perencanaan di daerah. Di samping itu, belum terintegrasinya
perencanaan dan penganggaran di daerah juga masih merupakan permasalahan yang
umum di setiap daerah.Permasalahan tersebut diikuti oleh permasalahan lain yaitu porsi
terbesan APBD ada pada belanja tidak langsung bukan pada belanja langsung.
Berdasarkan kondisi dan permasalahan tersebut, Direktorat Otonomi Daerah
merasa perlu untuk mengkaji Kualitas Belanja APBD.

Laporan Akhir Kajian Kualitas Belanja APBD I- 1


Gambar 1.1. PAD Provinsi 2011

Gambar 1.2. Total Pendapatan Provinsi 2011

Gambar 1.3. Total Belanja Provinsi 2011

Laporan Akhir Kajian Kualitas Belanja APBD I- 2


Gambar 1.4. PAD Kabupaten/Kota 2011 Pendapatan

Tabel 1.1. PAD Kabupaten/Kota 2011


PAD KABUPATEN/KOTA 2011
Kurang Antara Antara Antara Antara Antara Antara Antara Antara Antara Lebih
dari 100 100 - 200 - 300 - 400 - 500 - 600 - 700 - 800 - 900 - 1.000
m. 200 m. 300 m. 400 m. 500 m. 600 m. 700 m. 800 m. 900 m. 1000 m. m
412 45 11 6 4 1 1 - 1 - 5

1.2. Tujuan Dan Sasaran Kegiatan


Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengidentifikasi permasalahan penyebab
rendahnya kualitas belanja APBD, termasuk proporsi belanja langsung ddan tidak
langsung yang ada di daerah..

1.3. Hasil Yang diharapkan


Diharapkan hasil dari kegiatan kajian ini dapat memberikan masukan yang
bermanfaat, terutama yang berkaitan dengan analisis dan gambaran ringkas mengenai
kualitas belanja daerah dan proses perumusan APBD di daerah-daerah lokasi kajian.
Secara lebih spesifik, kajian ini diharapkan dapat memberikan analisis tentang: (a)
penyebab porsi belanja tidak langsung yang lebih besar daripada belanja langsung dalam
APBD; (b) Analisis permasalahan penyebab rendahnya kualitas belanja daerah; dan (c)
Rekomendasi kebijakan terkait peningkatan kualitas belanja daerah.

Laporan Akhir Kajian Kualitas Belanja APBD I- 3


1.4. Ruang Lingkup Kegiatan
Ruang Lingkup kegiatan studi ini meliputi:
1. Melakukan kajian literatur terhadap isu-isu kualitas belanja daerah;
2. Melakukan inventarisasi dan tinjauan pustaka mengenai kualitas belanja daerah
sehingga dapat dihasilkan pemetaan permasalahan mengenai hal tersebut;
3. Melakukan survey pengumpulan data dan informasi;
4. Melakukan diseminasi kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk
menangkap persoalan di lapangan dan menghimpun isu-isu dan aspirasi dari
stakeholders, baik di kalangan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah;
5. Menyusun sintesa hasil kajian dan rekomendasi sesuai maksud dan tujuan kegiatan
ini;
6. Melaksanakan FGD tentang hasil yang dicapai pada setiap tahapan pelaksanaan
kegiatan kajian meliputi hasil desk-study, diseminasi dan penjaringan aspirasi di
tingkat pusat dan daerah sample, hasil evaluasi, serta hasil seluruh kajian dan
rekomendasi. FGD dilaksanakan secara terbatas dengan staf Direktorat Otonomi
Daerah untuk mendapatkan masukan penyepurnaan bagi penyusunan laporan
kegiatan.
7. Seminar/Lokakarya mengenai hasil kajian dan rekomendaasi yang telah dihasilkan
kepada stakeholders terkait baik dari Pusat maupun Daerah.

1.5. Sistematikan Penulisan


Laporan kajian ini disusun dengan sistematika sebagai berikut.
· BAB 1 Pendahuluan, berisi tentang uraian ringkas fakta-fakta yang menjadi
permasalahan kajian, serta tujuan dari dilaksanakannya kajian ini, termasuk ruang
lingkup kegiatan kajian ini.
· BAB 2 Tinjauan Teoretis Dan Metodologi, berisi tentang hasil penelusuran konsep-
konsep yang relevan dengan kajian ini serta metodologi yang digunakan. Konsep-
konsep tersebut adalah konsep anggaran daerah (local budgeting), proses
penganggaran daerah, dan kualitas penganggaran, terutama nilai-nilai yang ada dalam
penganggaran. Sedangkan metodologi yang digunakan meliputi penentuan lokasi

Laporan Akhir Kajian Kualitas Belanja APBD I- 4


kajian, fokus kajian, instrumen kajian, dan pendekatan yang digunakan da;am kajian
ini.
· BAB 3 Deskripsi Lokasi Kajian Dan APBD, berisi gambaran ringkas tentang lokasi
kajian yang terdiri dari sisi geografis dan demografisnya dan proses perumusan APBD
yang ada di masing-masing lokasi kajian. Termasuk di dalamnya identifikasi faktor-
faktor yang mempengaruhi kualitas belanja dan APBD-nya.
· BAB 4 Analisis Kualitas Belanja Daerah Dan APBD, berisi tentang uraian masing-
masing indikator dari kualitas belanja, yaitu ekonomi, efisiensi, efektivitas,
equity/keadilan, akuntabilitas, dan responsivitas dalam proses dan hasil masing-
masing APBD.
· BAB 5 Kesimpulan Dan Rekomendasi, berisi tentang kesimpulan kualitas belanja dan
proses APBD masing-masing lokasi kajian, termasuk faktor-faktor yang dianggap
mempengaruhi kualitas belanja tersebut. Sedangkan rekomendasi merupakan
konsekuensi logis dari kesimpulan yang dikemas dalam bahasa kebijakan dalam
bentuk usulan kebijakan yang selayaknya diambil oleh pemangku kepentingan yang
relevan dengan perumusan APBD.

Laporan Akhir Kajian Kualitas Belanja APBD I- 5


BAB 2
TINJAUAN TEORETIS DAN METODOLOGI

2.1. Tinjauan Teoretis


2.1.1. Konsep Anggaran Daerah (Local Budgeting)
Pengertian Anggaran Daerah mengacu pada alokasi dana untuk membiayai apa
yang akan dilakukan pada waktu yang akan datang. Proses penganggaran, dengan
demikian, merupakan proses menentukan apa yang akan dilakukan dan bagaimana
pembiayaan kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan tersebut pada tahun-tahun yang akan
datang, sebagaimana dikatakan oleh Mikesel:
“Budgeting is the process of planning, adopting, executing, monitoring, and auditing the
fiscal program for the government for one or more future years. There are certain
fundamental principles for the design of a modern local budget system” (Johnl. Mikesel,
Fiscal Administration in Local Government: An Overview, , dalam Anwar Shah (Ed.), 2007,
Local Budgeting (Public Sector Governance And Accountability Series), The International
Bank for Reconstruction and Development/The World Bank):
a. The budget process is comprehensive, including all fiscal entities associated with or
connected to the government, and there are no extrabudgetary funds to interfere with
fiscal discipline, transparency, accountability, and the struggle against corruption.
b. The budget minimizes the use of earmarked funds that reduce the capacity to allocate
resources to areas of highest priority.
c. The budget is intended to be an operations guide and to be executed as it was
enacted.
d. The budget process is an annual one, to maintain control, but is adoptedin a multiyear
financial framework to facilitate planning.
e. The budget is based on a realistic forecast of revenues and of the operating
environment.
f. The budget serves as a statement of local policy.
g. Expenditures in the budget are classified according to the administrative unit that is
legally responsible for the funds and according to the basic purpose (or program) of
the spending.
h. The budget is provided in an intelligible format as a communication device with the
public, both while it is considered and after it has been adopted.
i. The budget process is focused on performance results, not only on inputs purchased by
the government.

Laporan Akhir Kajian Kualitas Belanja APBD II - 1


j. The budget process incorporates incentives for lawmakers to respond to citizen
demands for services and for agencies to economize on use of resources.

Sementara itu, Whitfield (2001) mengidentifikasi sepuluh kewajiban baru


pemerintah untuk masyarakat sebagai berikut.
“The following ten-part plan, together with Public Service Management, could radically
transform public services and the welfare state for the twenty-first century”.(Dexter
Whitfield, 2001, Public Services or Corporate Welfarez: Rethinking the Nation State in the
Global Economy, Pluto Press, London).
A New Public Order:
a. Extending democratic accountability with new models of governance–the local state
b. Taxation of income, consumption and corporate profits
c. Reversing marketisation and privatisation
d. New financial and regulatory architecture to control capital
e. Promoting civil society, citizenship and the social economy
f. Maintaining universal welfare systems
g. Reducing poverty through empowerment, redistribution, equalities, regeneration and
control of development
h. Creating jobs and quality employment
i. Imposing corporate governance and social accountability
j. Maintaining macroeconomic stability and investment

A political economy approach is based on meeting social, equity, democratic,


environmental and economic objectives. In this model the state has five core functions:
democratic and civil society, national and international responsibilities, human needs and
development, economic and fiscal management and the regulation of markets, firms and
organizations.. A range of other functions, activities and services are grouped under each
core function, none of which are in any order of priority.

Lima fungsi pokok dari negara adalah democratic and civil society; national and
international responsibilities, human needs and development, economic and fiscal
management, dan regulation of markets, firms, and organizations. Ke lima fungsi ini tidak
ada yang lebih penting, atau dengan kata lain, ke lima fungsi ini sama pentingnya.

Laporan Akhir Kajian Kualitas Belanja APBD II - 2


The core functions of the state

2.1.2. Proses Penganggaran Daerah

Mullins (2007) menyebutkan bahwa tidak ada model penganggaran daerah yang
dianggap paling baik karena pada dasarnya proses penganggaran daerah merupakan
refleksi dari berbagai tradisi, kapasitas dan institusi yang ada pada masing-masing daerah
secara historis. Sebagaimana dikatakan sebagai berikut. (Danielr Mullins, Local Budget
Process, dalam Anwar Shah (Ed.), 2007, Local Budgeting (Public Sector Governance And
Accaoountability Series), The International Bank for Reconstruction and
Development/The World Bank):
“Local budget systems, processes, and structures within and among nations reflect
historical tradition and diversity in culture, capacity, national governance, and institutions.
Thus, no single model of local government budgeting is best. That said, all effective
subnational budget systems must contain certain elements that advance the three key
objectives of public expenditure management: fiscal discipline/expenditure control,
prioritized/strategic resource allocation, and operational (managerial) efficiency/
effectiveness (Schiavo-Campo and Tommasi 1999: chapter 1).”

Laporan Akhir Kajian Kualitas Belanja APBD II - 3


Persyaratan bagi penganggaran yang efektif adalah penganggaran yang
menekankan pada beberapa hal sebagai berikut.
Prescriptions for effectiveness include systems and processes that emphasize

· transparency in the definition of roles and responsibilities and decision making, the
availability of information, openness of the budget process, and assurances of
budgetary integrity
· comprehensiveness in the incorporation of all revenues and expenditures and full
accounting of all budgetary transactions
· processes and methods to establish policy and priorities, including an outward-looking
fiscal framework, focus on service outputs and outcomes, and a classification system
that links expenditures to organizational units and purposes
· expenditure planning based on established priorities, relating spending to service levels
and allowing flexibility in the use of resource inputs
· managerial efficiency supported by accountability for service levels and outputs and
discretion in the relative use of inputs
· accountability and control reinforced by comprehensiveness; prioritization; and
systematic budget and expenditure reviews, execution controls, and post-execution
reporting and auditing (Mikesell and Mullins 2001: 564) Each of these interrelated
elements supports the accomplishment of the other elements. The functions important
at the sub national level in a developing context are the fundamental functions of all
budgeting systems. According to Schick (2004: 84–85), these include
· establishing a fiscal framework that is sustainable over the medium term and beyond
allocating resources to programs on the basis of governmental priorities and program
effectiveness operating government and delivering public services efficiently
· ensuring that the budget reflects citizen preferences
· ensuring that spending units are accountable for their actions In defining the essential
elements of the local budget process, the National Advisory Council on State and Local
Budgeting emphasizes decision making related to an assessment of needs and
priorities, programmatic planning and management strategies directed at goal
achievement, a process for constructing and adopting a consistent and realistic budget,
and mechanisms to make adjustments and monitor and evaluate performance (NACSLB
1998). This implies the ability to make meaningful policy and managerial choices
· The process is considered from the perspective of the most critical issues that shape it
and its outcomes: the level and distribution of local authority, the importance of the
local budget in a multitiered intergovernmental framework, coordination and
cooperation mechanisms, planning and priority setting, participatory processes, and
accountability and responsiveness.

Laporan Akhir Kajian Kualitas Belanja APBD II - 4


2.1.3. Kualitas Penganggaran: Nilai-nilai dalam Penganggaran

Pengertian kualitas penganggaran, jika mengacu pada model terbaik maka tidak ada
satu model yang dapat dikatakan paling berkualitas. Jika mengacu pada nilai-nilai yang
akan dicapai, juga tidak ada nilai-nilai tunggal yang paling penting. Dalam hal ini, Lewis
(2007) menyebutkan adanya enam nilai pokok yang sama pentingnya dalam menilai
“kualitas” anggaran, yaitu ekonomi, efisiensi, efektifitas, keadilan, akuntabiulitas, dan
responsivitas, sebagaimana disebutkan sebagai berikut. (Carol W. Lewis, How to Read a
Local Budget and Assess Government Performance, dalam Anwar Shah (Ed.), 2007, Local
Budgeting (Public Sector Governance And Accaoountability Series), The International
Bank for Reconstruction and Development/The World Bank):

Budget Addressing Central Values and Questions

Dengan demikian, mengacu pada pendapat Lewis yang relative “lengkap”, maka
kualitas anggaran daerah berkaitan dengan pemenuhan nilai-nilai ekonomi, efisiensi,
efektifitas, equity atau keadilan, akuntabilitas, dan responsivitas. Ekonomi berarti
anggaran tersebut selalu meningkat jumlahnya; Efisien berarti alokasi anggaran sesuai
dengan hasil yang didapatkan; Efektif berarti alokasi anggaran sesuai dengan tujuan yang
direncanakan; Equiry atau Adil berarti alokasi dan hasilnya sesuai dengan nilai keadilan;
Responsif berarti proses aenganggaran sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Laporan Akhir Kajian Kualitas Belanja APBD II - 5


2.2. Metodologi
2.2.1. Lokasi Kajian
Kajian akan dilakukan di Institusi Pusat (Jakarta) dan Institusi Lokal (Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota), dengan pertimbangan sebagai berikut:

1) Lokasi Institusi Pusat untuk berbagai informasi yang relevan dengan kebijakan
penganggaran nasional. Dalam kaitannya dengan kualitas belanja dan perumusan
APBD, maka lokasi institusi pusat adalah: Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam
Negeri, Badan Pusat Statistik (BPS), dan Kementerian Perencanaan pembangunan
Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), yang semuanya
ada di Jakarta.

2) Lokasi Institusi Lokal untuk mendapatkan gambaran yang realistik pada tataran
penganggaran lokal atau APBD. Institusi lokal ini terdiri dari institusi Pemerintahan
Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota, yaitu Tim Anggaran Pemerintah Daerah
(TAPD) dan Sekretariat DPRD Provinsi dan kabupaten/kota. Selain itu guna
mendapatkan data dan informasi pembanding, juga dilakukan kunjungan ke kalangan
akademisi/LSM setempat.

3) Dengan pertimbangan penyebaran wilayah geografis Indonesia, maka secara random


dipilih sesuai mata angin, dari barat, utara, selatan, dan timur. Untuk wilayah barat
Indonesia, dipilih secara adalah Provinsi Sumatera Utara dan Kota Medan. Untuk
wilayah utara Indonesia, dipilih adalah Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten
Kutai Kartanegara. Untuk wilayah selatan Indonesia, dipilih adalah Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Kabupaten Sleman. Sedangkan untuk wilayah timur
Indonesia, dipilih adalah Provinsi Sulawesi Tenggara dan Kabupaten Wakatobi.
Dengan demikian diharapkan juga dapat menggambarkan dimensi kewilayahan di
Indonesia.

Laporan Akhir Kajian Kualitas Belanja APBD II - 6


Tabel 2.1. Lokasi Kajian

Wilayah
Lokasi
Barat Utara Selatan Timur
Sumatera Kalimantan D.I. Yogyakarta Sulawesi
Provinsi
Utara Timur Tenggara
Kota Medan Kutai Kabupaten Kabupaten
Kabupaten/Kota
Kartanegara Sleman Wakatobi

2.2.2. Fokus Kajian


Berdasarkan pada tinjauan konsep dan teoretis, maka Kajian ini difokuskan pada:
1) Proses Penggaran Daerah (Proses perumusan APBD)
2) Kualitas Penganggaran Daerah/APBD, teridiri dari pemenuhan nilai-nilai:
a) Ekonomi
b) Efisiensi
c) Efektivitas
d) Akuntabilitas
e) Equity/Keadilan
f) Responsibilitas
3) Determinan Kualitas Penganggaran Daerah/APBD

2.2.3. Instrumen Kajian (Pedoman Wawancara dan FGD)

1) Proses Penganggaran Daerah (Proses perumusan APBD), yaitu bagaimana proses


perumusan APBD dilokasi penelitian, apakah sudah sesuai dengan prosedur resmi
yang diatur oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri, kalau tidak sesuai, mengapa.
2) Kualitas Belanja dan Penganggaran Daerah, yaitu bagaimana proses dan hasil
perumusan APBD sesuai dengan nilai-nilai ekonomi, efisiensi, efektivitas,
equity/keadilan, akuntabilitas, dan responsivitas.
3) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Penganggaran Daerah, atau determinan,
yaitu identifikasi faktor-faktor yang menurut informen penelitian berhubungan
dengan proses dan hasil perumusan APBD tersebut.

Laporan Akhir Kajian Kualitas Belanja APBD II - 7


2.2.4. Metode Kajian

Metode yang digunakan dalam kajian ini kiranya dapat dijelaskan sebagai berikut.

1) Pendekatan Penelitian dan Keterbatasan


Kajian ini menggunakan pendekatan studi kasus dengan unit analisis pada pemerintah
lokal atau pemerintah daerah. Pendekatan studi kasus ini dengan pertimbangan
bahwa masing-masing lokasi penelitian merupakan kasus yang independen dan
spesifik, sehingga generalisasi dari studi ini relatif terbatas.
2) Data Yang Dibutuhkan
Kajian ini membutuhkan data primer dan sekunder.
a) Data primer, terdiri dari persepsi informan tentang pemahaman dan
pengalamannya dalam proses penganggaran, khususnya belanja pemerintah
daerah.;
b) Data sekunder, terdiri dari berbagai dokumen yang relevan dengan proses
penganggaran daerah.
3) Sampling
Untuk lokasi, menggunakan area sampling secara (quota) random dengan
pertimbangan penyebaran geografis sehingga dipilih empat lokasi sample secara acak
untuk mewakili Pemerintah Daerah se Indonesia, dengan perincian sebagai berikut.

Institusi pusat, yaitu Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian


Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Badan Pusat Statistik; Sedangkan Institusi
Lokal: Kota Medan dan Provinsi Sumatera Utara; Kabupaten Sleman dan Provinsi
D.I.Yogyakarta; Kabupaten Wakatobi dan Provinsi Sulawesi Tenggara; dan Kabupaten
Kutai Kartanegara dan Provinsi Kalimantan Timur. Untuk mendapatkan sumber data
primer dan sekunder, dipilih secara purposif pada masing-masing unit pemerinta
daerah, yaitu unit-unit yang relevan dengan penganggaran pada masing-masing lokasi.
Dalam hal ini, sumber data primer dan sekunder adalah masing-masing Tim Anggaran
Pemerintah Daerah (TAPD), legislatif, dan akademisi yang relevan.

4) Teknik Pengumpulan Data


Pengumpulan data pada kajian ini terdiri dari:

Laporan Akhir Kajian Kualitas Belanja APBD II - 8


a) Desk-study, yaitu analisis dokumen dan pustaka yang relevan dengan substansi
kajian. Analisis ini dilakukan sepanjang bulan April sampai dengan September
Oktober 2011 yang difokuskan pada APBD masing-masing lokasi kajian dalam
konteks APBD secara nasional.
b) Wawancara terstruktur (sesuai fokus kajian) dengan informan, baik di institusi
pusat maupun institusi di daerah. Di institusi pusat dilakukan pada bulan Aperil
sampai dengan Juli 2011 berkaitan dengan kualitas anggaran daerah. Sedangkan di
tingkat lokal, dilakukan sepanjang Bulan September-Oktober 2011 di delapan
lokasi.
c) FGD, baik di tingkat pusat maupun daerah. Di tingkat Pusat dilakukan pada Bulan
Oktober sedangkan di tingkat lokal dilakukan pada bulan September-Oktober
2011.
5) Teknik Analisis Data
Analisis data akan menggunakan teknik deskriptif, baik verbal maupun numerik, atau
dengan kata lain, deskriptif-kualitatif maupun deskriptif-kuantitatif. Instrumen untuk
analisis, baik kuantitatif maupun kualitatif, terutama menggunakan tabel-silang,
sehingga dari konfigurasi semua fokus penelitian selanjutnya dapat diambil
kesimpulan.

Laporan Akhir Kajian Kualitas Belanja APBD II - 9


BAB 3
DESKRIPSI LOKASI KAJIAN DAN APBD

3.1. Deskripsi Lokasi Kajian

3.1.1. Provinsi Sumatera Utara

Sebagai provinsi sampel untuk wilayah barat Indonesia, provinsi ini memiliki luas
wilayah 71.680.680 ha. Dengan jumlah penduduk sebanyak 13.248.388 jiwa. Provinsi
Sumatera Utara termasuk provinsi yag besar, terutama dari dimensi wilayahnya, provinsi
ini terdiri dari 29 wilayah kabupaten/kota (tahun 2010). Jumlah pegawainya mencalai
227.172 pegawai pemerintah (daerah 222.848 pegawai dan pusat 4.324 pegawai).
Dengan jumlah pegawai sebanyak itu, pendapatan dalam APBD (2011)-nya adalah
4.480.782 juta rupiah, untuk belanja pegawai tidak langsung dan langsung sebanyak
643.508 juta rupiah dan 168.042 juta rupiah dari total belanja tidak langsung dan
langsung sebannyak 2.031.752 juta rupiah dan 2.546.109 juta rupiah.

3.1.2. Kota Medan

Sebagai salah satu pusat pemerintahan dari provinsi Sumatera Utara, Kota Medan
mempujnyai luas wilayah 265.100 ha mempunyai penduduk sebanyak 2.097.610 jiwa.
Daerah ini merupakan daerah terpadat di provinsi tersebut. Jumlah pegawainya tercatat
sebanyak 21.087 dengan perincian 19.619 peggawai daerah dan 2.468 pegawai daerah.
Adapun jumlah pendapatan APBD untuk Tahun 2011 ini sebanyak 2.628.101 juta rupiah
dan untuk belanja pegawainya tidak langsung dan langsung adalah 1.266.946 juta rupiah
dan 268.708 juta rupiah.

3.1.3. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Provinsi D.I. Yogyakarta merupakan salah satu provinsi yang relative kecil dengan
luas wilayah 3.182,80 ha dan jumlah penduduk sebanyak 3.452.390 jiwa. Provinsi D.I.

Laporan Akhir Kajian Kualitas Belanja APBD III - 1


Yogyakarta mempunyai pegawai pemerintah sebanyak 93.864 pegawai dengan perincian
pegawai daerah sebanyak 65.264 dan pegawai pusat sebanyak 28.800 pegawai. Provinsi
ini mempunyai pendapatan dalam APBD 2011 sebanyak 1.419.475 juta rupiah untuk
belanja pegawai, tidak langsung dan langsung, sebanyak 443.440 juta rupiah dan 90.164
juta rupiah.

3.1.4. Kabupaten Sleman

Sebagai salah satu kabupaten yang tertinggi APBD-nya di D.I. Yogyakarta,


Kabupaten Sleman mempunyai luas wilayah 674,82 ha. dengan jumlah penduduk
sebanyak 1.090.587 jiwa. Jumlah pegawai yang ada tercatat (2010) 25.466 pegawai
dengan perincian pegawai daerah sebanyak 13.176 dan pegawai pusat sebanyak 12.200
pegawai. Kabupaten ini mempunyai pendapatan dalam APBD 2011-nya sebanyak
1.026.877 juta rupiah untuk belanja pegawai, tidak langsung dan langsung, sebanyak
633.067 juta rupiah dan 78.751 juta rupiah.

3.1.5. Provinsi Kalimantan Timur.

Sebagai salah satu provinsi terkaya dibanding lokasi kajian yang lain, Provinsi
Kalimantan Timur mempunyai wilayah yang juga paling luas dibanding lokasi kajian
lainnya mempunyai wilayah seluas 204.534.340 ha. dengan jumlah penduduk hanya
3.550.586 jiwa. Provinsi ini mempunyai pendapatan dalam APBD 2011-nya sebanyak
6.449.635 juta rupiah dengan belanja pegawai tidak langsung dan langsung sebanyak
777.745 juta rupiah dan 302.387 juta rupiah.

3.1.6. Kabupaten Kutai Kartanegara

Sebagai salah satu kabupaten terluas dan terkaya dari semua lokasi kajian,
Kabupaten Kutai Kartanegarta mempunyai luas wilayah 27.265.100 ha. dengan jumlah
penduduk hanya sebanyak 626.286 jiwa. Kabupaten ini mempunyai pegawai daerah
(2009) sebanyak 16.775 pegawai dengan pendapatan dalam APBD 2011-nya sebanyak

Laporan Akhir Kajian Kualitas Belanja APBD III - 2


4.151.286 juta rupiah dengan belanja pegawai tidak langsung dan langsung sebanyak
1.023.683 juta rupiah dan 332.242 juta rupiah.

3.1.7. Provinsi Sulawesi Tenggara

Sebagai wakil wilayah timur Indonesia, Provinsi Sulawesi Tenggara mempunyai


luas wilayah (daratan) 3.814.000 ha. dengan jumlah penduduk sebanyak 2.118.300 jiwa.
Provinsi ini mempunyai pendapatan dalam APBD 2011-nya sebanyak 1.220.581 juta
rupiah dengan belanja pegawai tidak langsung dan langsung sebanyak 378.701 juta rupiah
dan 40.523 juta rupiah.

3.1.8. Kabupaten Wakatobi

Kabupaten Kepulauan, sebagai satu-satunya dalam kajian ini, mempunyai luas


wilayah (daratan) 42.297 ha. dengan jumlah penduduk sebanyak 103.423 jiwa yang
terkonsentrasi di empat pulau besar: Pulau Wangi Wangi, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia,
dan Pulau Binongko (Akronim dari nama empat pulau tersebut menjadi nama kabupaten,
yaitu Wakatobi). Kabupaten ini mempunyai pendapatan dalam APBD 2011-nya sebanyak
387.306 juta rupiah dengan belanja pegawai tidak langsung dan langsung sebanyak
150.903 juta rupiah dan 26.693 juta rupiah.

3.2. Deskripsi APBD

Secara ringkas, deskripsi APBD 2011 delapan lokasi kajian dapat diperiksa pada
table-tabel berikut ini.

Laporan Akhir Kajian Kualitas Belanja APBD III - 3


Tabel 3.1. Deskripsi Ringkas APBD 2011 Per Lokasi Kajian

Lokasi

Deskripsi Kutai
DIY Sleman Sumut Medan Kaltim Kartanegar Sultra Wakatobi
a

APBD ( 2011) ( 2011) ( 2011 (2011) (2011) (2011) (2011) (2011)

Pendapatan 1,419,475 1,026,877 4,480,782 2,628,101 6,449,635 4,151,286 1,220,581 387,306

PAD 700,339 198,720 3,181,900 829,794 2,641,234 130,300 421,500 14,671

Belanja 1,590,786 1,073,315 4,677,861 2,931,392 7,257,635 4,632,244 1,405,830 389,281

Belanja Tidak
849,118 712,782 2,031,752 1,457,820 3,620,579 1,592,892 742,385 177,864
Langsung

Belanja Pegawai 443,440 633,067 643,506 1,266,946 777,745 1,023,683 378,701 150,903

Belanja Langsung 741,667 360,533 2,646,109 1,473,572 3,637,056 3,039,352 663,445 211,417

Belanja Pegawai 90,164 78,751 168,042 268,708 302,387 332,242 40,523 26,693

Belanja
501,330 171,000 1,155,518 666,304 1,340,776 972,399 210,936 81,988
Barang/Jasa

Belanja Modal 150,174 110,782 1,322,549 538,560 1,993,893 1,734,711 411,987 102,736

Dana
714,542 743,880 1,271,127 1,315,146 3,798,311 3,495,440 799,080 321,608
Perimbangan

DAU 620,812 632,181 894,557 967,533 51,447 1,366 700,837 271,441

DAK 19,490 42,651 29,138 81,595 38,188 50,266 33,805 30,731

Dana Bagi Hasil 74,240 69,049 347,432 266,019 3,708,676 3,443,809 64,439 19,436

Sumber: APBD Masing-masing lokasi kajian, diolah.

Berikut ini perhitungan proporsi PAD terhadap Total Pendapatan masing-masing


lokasi kajian. Ternyata Provinsi Sumatera Utara merupakan provinsi yang mempunyai PAD
relative paling tinggi, yaitu sebesar 71,01% dari total pendapatan dalam APBD pe=rovinsi
tersebut pada tahun 2011. Sebaliknya, Kabupaten Kutsai Kartanegara, Kabup[aten
Wakatobi, dan Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan wilayah yang mempunyai proporsi
PAD sangat kecil, yaitu dibawah 4% dari total pendapatan dalam APBD 2011-nya.

Laporan Akhir Kajian Kualitas Belanja APBD III - 4


Tabel 3.2. Proporsi PAD Terhadap Prendapatan Per Lokasi Kajian

Kutai
DIY Sleman Sumut Medan Kaltim Kartanegara Sultra Wakatobi

Pendapatan 1,419,475 1,026,877 4,480,782 2,628,101 6,449,635 4,151,286 1,220,581 387,306

PAD 700,339 198,720 3,181,900 829,794 2,641,234 130,300 421,500 14,671

Proporsi 49,39% 19,35% 71,01% 31,57% 40,95% 3,14% 3,45% 3,79%

Gambar 3.1. Proporsi PAD Terhadap Pendapatan

Sementara itu, untuk proporsi Belanja Langsung dan Tidak Langsung dari total
belanja daerah dapat diperiksa pada table 3.3 berikut. Nampak bahwa Kabupaten Kutai
Kartanegara merupakan kabupaten dengan proporsi belanja langsung yang jauh lebih
tinggi dari belanja langsung-nya, yaitu sekitar 65,61% dibanding 34,39%. Sedangkan untuk
Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Kalimantan Timur, meskipun lebih tinggi belanja
langsung disbanding belanja tidak langsung, namun angkanya sekitar 56,57% berbanding
43,43% dan 50,01% berbanding 49,99%. Sebaliknya, Kabupaten Sleman belanja langsung
33,59% berbanding 66,41% dan Provinsi DI Yogyakarta serta Provinsi Sulawesi Tenggara
masing-masing belanja langsung 46,62% berbanding 53,38% dan 47,19% berbanding
52,81%. Dengan demikian, Kabupaten Kutai Kartanegara merupakan Kabupaten dengan
belanja langsung yang paling besar.

Laporan Akhir Kajian Kualitas Belanja APBD III - 5


Tabel 3.3. Proporsi Belanja Langsung Dan Tidak Langsung

Kutai
DIY Sleman Sumut Medan Kaltim Kartanegara Sultra Wakatobi
Belanja 1,590,786 1,073,315 4,677,861 2,931,392 7,257,635 4,632,244 1,405,830 389,281
Belanja
Tidak 849,118 712,782 2,031,752 1,457,820 3,620,579 1,592,892 742,385 177,864
Langsung
Belanja
741,667 360,533 2,646,109 1,473,572 3,637,056 3,039,352 663,445 211,417
Langsung

Gambar 3.2. Proporsi Belanja Langsung Dan Tidak Langsung

Sedangkan untuk proporsi dana bagi hasil terhadap dana perimbangan dapat
diperiksa pada table 3.4. berikut ini. Nampak bahwa Kabupaten Kutai Kartanegara dan
Provinsi Kalimantan Timur merupakan wilayah dengan dana bagi hasil yang sangat besar,
yaitu masing-masing 98,52% dan 97,64%. Hal ini menunjukkan dua wilayah ini memang
kaya akan sumberdaya alam dan sudah mengeksploitasinya dengan optimal. Sebaliknya,
Provinsi Sulawesi Tenggara dan Kabupaten Wakatobi mempunyai proporsi dana bagi hasil
hanya sekitar 8,06% dan 6,04% dari dana perimbangan. Hal ini menunjukkan dua daerah
ini bellum mampu mengeksploitasi sumberdaya alamnya secara optimal.

Laporan Akhir Kajian Kualitas Belanja APBD III - 6


Tabel 3.4. Proporsi Dana Bagi Hasil Terhadap Dana Perimbangan

Kutai
DIY Sleman Sumut Medan Kaltim Kartanegara Sultra Wakatobi

Dana
714,542 743,880 1,271,127 1,315,146 3,798,311 3,495,440 799,080 321,608
Perimbangan

Dana Bagi 74,240 69,049 347,432 266,019 3,708,676 3,443,809 64,439 19,436
Hasil (10,03%) (9,28%) (27,33%) (20,23%) (97,64%) (98,52%) (8,06%) (6,04%)

Gambar 3.3. Proporsi Dana Bagi Hasil Dan Dana Perimbangan

Laporan Akhir Kajian Kualitas Belanja APBD III - 7


BAB 4
ANALISIS KUALITAS BELANJA DAERAH DAN APBD

4.1. Proses Perumusan APBD


Dalam perumusan APBD semua daerah di Indonesia merujuk pada Peraturan
Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 21 dan No. 22 Tahun 2011 tentang Pedoman
Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam Permendagri ini,
skedul penyusunan APBD secara normatif dapat diperiksa pada skema sebagai berikut.
Dalam satu tahun anggaran, dari Januari sampai dengan desember kegiatan perumusan
APBD harus berlangsung sesuai skedul yang ada. APBD dimulai dengan pelaksanaan
Musrenbang, selanjutnya dirumuskan dalam Kebijakan Umum Anggaran (KUA) - Prioritas
dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) dan diakhiri dengan pengesahan RAPBD menjadi
APBD melalui sidang pleno DPRD yang bersangkutan.

4.1.1. Dimensi Waktu


Berdasarkan hasil kajian lapangan, maka dari dimensi waktu hampir semua lokasi
kajian mengalami keterlambatan sesuai dengan ketetapan waktu normatifnya, hanya
Kota Medan yang relatif tepat waktu. Meskipun demikian, semua APBD lokasi kajian
berhasi ditetapkan sebelum tahun anggaran berjalan. Hanya ada satu kasus, Provinsi
Sulawesi Tenggara, yang tidak berhasil menetapkan APBD Tahun 2010 sehingga
menggunakan APBD Tahun 2009. Hal ini terutama karena tidak diperolehnya kesepakatan
antara eksekutif dengan legislatif atau DPRD-nya.

Laporan Akhir Kajian Kualitas Belanja APBD IV - 1


Tabel 4.1. Skedul Normatif Perumusan APBD

Bulan Ke
No. Kegiatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1. Musrenbangda
2. Penyusunan RKPD
3. Penyampaian KUA dan PPAS
oleh Ketua TAPD kepada
kepala daerah
4. Penyampaian KUA dan PPAS
oleh kapala daerah kepada
DPRD
5. KUA dan PPAS disepakati
antara kepala daerah dan
DPRD
6. Surat Edaran kepala daerah
perihal pedoman RKA-PPKD
7. Penyusunan dan pembahasan
RKA-SKPD dan RKA-PPKD
serta penyusunan Rancangan
APBD
8. Penyampaian Rancangan
APBD kepada DPRD
9. Pengambilan persetujuan
bersama DPRD dan kepala
daerah
10. Hasil evaluasi rancangan
SPBD
11. Penetapan Perda APBD dan
Perkada Penjabaran APBD
sesuai dengan hasil evaluasi
Sumber: Permendagri No. 22 Tahun 2011, diolah dengan hasil wawancara.

4.1.2. Dimensi Substansi


Dalam perumusan KUA – PPAS, masing-masing daerah mempunyai prioritas yang
disesuaikan dengan prioritas nasional. Berdasarkan RPJMN 2011 - 2015, prioritas
pembangunan nasional tersebut adalah sebagai berikut.
(1) Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola;
(2) Pendidikan;
(3) Kesehatan;
(4) Penangguangan Kemiskinan;
(5) Ketahanan Pangan;
(6) Infrastruktur;
(7) Iklim Investasi dan Usaha;
(8) Energi;

Laporan Akhir Kajian Kualitas Belanja APBD IV - 2


(9) Lingkungan Hidup dan Bencana;
(10) Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluas, dan Pasca Konflik;
(11) Kebudayaan, Kreativitas, dan Inovasi Teknologi;
(12) Prioritas lainnya: (a) Bidang Politik, Hukum, dan Kemanan; (b) Bidang
Perekonomian; dan (c) Bidang Kesejahteraan Rakyat.

Selanjutnya, dari identifikasi di lokasi kajian, maka prioritas-prioritas tersebut


sebagai berikut.

Tabel 4.2. Prioritas Penganggaran Per Lokasi Kajian

Prio- Kutai
DIY Sleman Sumut Medan Kaltim Sultra Wakatobi
ritas Kartanegara
1 Perbaikan Pengelolaan Peningkatan Peningkatan Legalisasi t.d. Pemantapan Mengembangkan
iklim bencana dan kualitas pelayanan Rencana Reformasi kualitas
investasi dan percepatan pendidikan administrasi Tata Ruang Birokrasi sumberdaya
iklim usaha pemulihan dan kependudukan, Wilayah manusia yang
pasca kesehatan menuju system Provinsi dan bertumpu pada
bencana yang identitas Kabupaten/K kualitas iman dan
terjangkau tunggal ota Se taqwa serta ilmu
Kalimantan pengetahuan dan
Timur teknologi serta
seni
2 Peningkatan Penanggulan Peingkatan Peningkatan Peningkatan t.d. Peningkatan Melakukan
akses dan gan kualitas efektivitas Upaya Usaha Ekonomi pemberdayaan
kualitas kemiskinan infrastruktur kelembagaan Mitigasi dan Masyarakat dan masyarakat dan
pendidikan dan pendukung dan pelayanan Adaptasi Pengembangan seluruh kekuatan
penganggura pembanguna kepegawaian Perubahan Investasi ekonomi daerah
n n ekonomi daerah Iklim Swasta dengan
mengoptimalkan
potensi daerah
melalui
penerapan
prinsip-prinsip
pengelolaan
lingkungan hidup
3 Peningkatan Menjaga Penguatan Peningaktan Pembangun t.d. Pembangunan Meningkatkan
kualitas dan stabilitas pembanguna aksesibilitas an dan
pelayanan publik
kuantitas ketahanan n pertanian daerah, Infrastruktur Peningkatan
infrastruktur pangan yang ketersediaan (Trans Infrastruktur dan menerapkan
berdaya dan kualitas Kalimantan/J Dasar Wilayah
tata
saing infrastruktur alan/Jembat
serta utilitas an/Free pemerintahan
kota, khususnya Way/Pelabu
yang baik serta
infrastruktur han
jalan, drainase Udara/Pelab menegakkan
dan uhan
hukum dan
perhubungan Laut/Permuki
man) perlindungan
terhadap hak
asasi manusia.

4 Pemantapan Menjaga Pemberdaya Peningkatan Revitalisasi/ t.d. Peningkatan Meningkatkan


reformasi kualitas an ekonomi kedudukan, Peningkatan Kualitas sarana prasarana
birokrasi dan kesehatan kerakyatan fungsi dan Daya Sumberdaya kewilayahan dan
tata-kelola dan dan peranan Listrik/Penge Manusia mengembangkan
pemerintaha pendidikan peningkatan UMKMK dalam mbangan teknologi
n kualitas perekonomian Energi komunikasi dan
keerjahteraa kota Alternatif informatika untuk
n rakyat meningkatkan
miskin daya saing
wilayah.
5 Peningaktan Pengingkata Peningkatan Peningkatan Percepatan t.d. Mengembangkan
Ketahanan n ekonomi kualitas tata- kesempatan Pengentasan hubungan
pangan masyarakat pemerintaha kerja dan kemiskinan kerjasama

Laporan Akhir Kajian Kualitas Belanja APBD IV - 3


yang n yang baik lapangan kerja dengan pihak luar
berbasis dan yang saling
potensi local keikutsertaa menguntungkan
n partisipasi dalam
masyarakat mengeksplorasi
dalam dan
pemabnguna meningkatkan
n nilai tambah
sumberdaya alam
baik Lokal,
Regional,
Nasional maupun
Internasional
6 Perbaikan Peningkatan Peningkatan Peningkatan t.d.
akses dan tata-kelola ketentraman dan
mutu pemerintaha masyarakat dan Perluasan
lesehatan n yang baik ketertiban kesempatan
untuk umum Kerja
meningkatka
n kualitas
pelayanan
publik
7 Penanggulan Menjaga Peningkatan Ketahanan t.d.
gan kualitas penataan ruang dan
kemiskinan sarana dan kualitas Kemandirian
prasarana lingkungan Pangan
public, hidup,
sumberdaya khususnya di
alam dan bidnag
lingkungan kebersihan,
hidup. taman dan
ruang terbuka
public lainnya
8 Peningkatan Menjaga Penanggulanga Pembangun t.d.
kualitas stabilitas n kemiskinan, an Kawasan
lingkungan keamanan dengan Perbatasan,
hidup dan dan mengintegrasik Pedalaman
pengelolaan ketertiban, an program dan Daerah
bencana dan nasional dan Tertinggal
lokal
9 Kebudayaan, Peningkatan Peningkatan Peningkatan t.d.
kreativitas peran pe- taraf pendidikan Mutu
dan inovasi rempuan dlm masyarakat Pendidikan
teknologi pembanguna
n dan
perlindungan
anak
10 penanganan Peningkatan Peningkatan t.d.
daerah akses dan Mutu
tertinggal kualitas Pelayanan
kesehatan Kesehatan
masyarakat
11 Peningaktan Peningkatan t.d.
sumberdaya Daya Saing
energi dan Investasi
(Pengemban
gan
Komoditas
Unggulan)
12 Reformasi t.d.
Birokrasi dan
Tata Kelola
Pem.-an
Sumber: PPAS masing-masing lokasi kajian, diolah.

Dari table tersebut, nampak bahwa masing-masing daerah mempunyai prioritas


yang berbeda dengan prioritas nasional. Meskipun demikian, ada sinkronisasi antara

Laporan Akhir Kajian Kualitas Belanja APBD IV - 4


prioritas nasional dengan prioritas daerah sehingga masing-masing prioritas diupayakan
mendukung prioritas nasional.

4.1.3. Dimensi Pelaku

Secara normatif, pelaku utama dalam perumusan APBD adalah Eksekutif (terdiri
dari Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dengan Bupati) dan DPRD. Namun dari
kajian di lapangan, ternyata unsur keterlibatan masyarakat bervariasi. Pada umumnya,
masyarakat tidak langsung terlibat dengan proses perumusan APBD karena secara
normatif juga tidak dimungkinkan. Masyarakat dapat terlibat dalam proses perumusan
APBD terutama pada saat Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di
tingkat desa dan kecamatan. Setelah Musrenbang Kabupaten/Kota yang diketemukan
dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang dimanifestasikan dalam Rencana
Kerja Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD), maka praktis masyarakat tidak lagi terlibat.
Meskipun demikian, ada dua lokasi yang membuka akses cukup lebar bagi keterlibatan
masyarakat secara langsung melalui surat, baik konvensional (paper based) maupun
elektronik (internet dan short massage service (sms). Dua lokasi tersebut adalah Kota
Medan dan terutama Kabupaten Kutai Kartanegara.

Arsip SMS M-GOV Kutai Kartanegara


Kirimkan saran, pendapat atau kritik anda kepada Pemerintah Kabupaten Kutai
Kartanegara melalui SMS, ketik: kukar (spasi) pesan dan kirim ke nomor 6468 (khusus
pelanggan Telkomsel). Layanan
Arsip SMS ini Kutai
M-GOV terselenggara atas kerjasama Bagian Humas &
Kartanegara
Protokol Setkab Kukar dengan PT Telkomsel Regional Kalimantan dan
KutaiKartanegara.com.

yth.bpk bupati kukar,tolong diusut RS.SAMBOJA .Karena banyak terjadi penyimpangan

4.2. Kualitas Perumusan APBD

Sebagaimana diuraikan dalam tinjauan teoretis dan metodologi, kualitas belanja


dan perumusan APBD dapat diketahui dari pemenuhan nilai-nilai ekonomi, efisiensi,
efketivitas, equity/keadilan, akuntabilitas, dan responsivitas. Berikut ini hasil kajian
lapangan melalui fgd dan wawancara mendalam dengan narasumber di masing-masing
lokasi kajian. Kualitas Perumusah APBD dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut:

Laporan Akhir Kajian Kualitas Belanja APBD IV - 5


a. Ekonomi
Nilai ekonomi dalam belanja daerah dan perumusan APBD berkaitan dengan jumlah
pengeluaran yang selalu meningkat sehingga dianggap APBD tersebut semakin tinggi
cakupan belanjanya.
Dari kajian di lapangan, semua belanja dan APBD di masing-masing lokasi kajian
mengalami kenaikan sekitar 5% sampai 10% dibanding tahun sebelumnya. Oleh
Karen itu, semua lokasi kajian dianggap memenuhi nilai ekonomi ini. Tidak ada satu
lokasi kajian pun yang alokasi belanja dan nilai APBD-nya tetap, apalagi menurun.
Kecuali untuk Provinsi Sulawesi Tenggara yang menggunakan APBD Tahun 2009
untuk Tahun anggaran 2010 karena RAPBD tahun 2010 tidak diperoleh kesepakatan
dengan legislatif (DPRD).

b. Efisiensi
Nilai efisiensi dalam belanja daerah dan perumusan APBD berkaitan dengan apa yang
dapat dihasilkan dari belanja tersebut dan berapa alokasi biaya untuk itu, terrmasuk
alokasi waktu untuk perumusan APBD.
Dari hasil kajian di lapangan, ternyata pada masing-masing lokasi kajian tidak
ditemukan adanya hasil yang dapat dibanggakan atau berkesan dari alokasi belanja
yang ada. Sedangkan dari proses perumusan APBD ternyata alokasi waktu yang
disediakan secara normative tidak dapat digunakan secara tepat, akan tetapi hampir
semua lokasi mengalami keterlambatan. Kota Medan menjadi salah satu lokasi yang
relative tepat waktu dalam perumusan APBD, sedangkan D.I. Yogyakarta menjadi
satu-satunya lokasi kajian yang sudah menggunakan analisis standar belanja (ASB).
Oleh karena itu, dari nilai efisiensi, Kota Medan dan Provinsi D.I.Yogyakarta
merupakan yang terbaik.

c. Efektivitas
Nilai efektivitas dalam belanja daerah dan perumusan APBD berkaitan dengan apa
yang dapat dihasilkan dari belanja tersebut dan apakah yang dihasilkan tersebut
memuaskan bagi stakeholders yang ada.
Dari hasil kajian di lapangan, ternyata semua lokasi kajian tidak mendapatkan satu
hasil belanja daerah yang dianggap memuaskan. Semua lokasi kajian menganggap
belanja daerah sebagai sesuatu yang biasa saja seperti hal rutin yang tidak perlu
Laporan Akhir Kajian Kualitas Belanja APBD IV - 6
diingat, apalagi belanja untuk pegawai, meskipun dibeberapa tempat ada kenaikan
tunjangan, namun kenaikan tersebut tetap dianggap masih kurang. Belanja modal
pun demikian, tidak dianggap sebagai sesuatu yang patut diingat, menjadi sesuatu
yang biasa saja. Hanya Kota Medan yang menganggap belanja daerah menjadi
sesuatu yang penting dan menjadi target bahwa tahun 2011 ini belanja langsung
lebih tinggi dari belanja tidak langsung, dan tercapai.

d. Equity/Keadilan
Nilai keadilan atau equity dalam belanja daerah dan perumusan APBD berkaitan
dengan alokasi anggaran yang memihak pada masyarakat yang lemah atau miskin
dan melalui prosedur yang dianggap adil.
Pada umumnya pemberantasan kemiskinan merupakan prioritas belanja daerah,
namun tetap saja alokasi belanja untuk pemberantasan kemiskinan terkendala
dengan kemampuan keuangan daerah. Hal ini diperberat dengan beban belanja
pegawai di hampir semua lokasi penelitian, kecuali Provinsi Kalimantan Timur dan
Kabupaten Kutai Kartanegara. Terutama untuk Provinsi Kalimantan Timur yang
relative besar mengalikasikan bagi kelompok miskin atau program pemberantassan
kemiskinan.

e. Akuntabilitas
Nilai akuntabilitas dalam belanja daerah dan perumusan APBD berkaitan dengan
kelengkapan dan kebenaran dokumen yang relevan dalam belanja dan proses
perumusan APBD, termasuk kemungkinan penelusuran semua proses belanja dan
perumusan APBD.
Dari hasil kajian pada umumnya semua lokasi tidak didapat kasus hukum
penyimpangan prosedur perumusan APBD, kecuali ada kasus yang sedang diproses
secara hukum yang berkaitan dengan APBD. Dokumentasi belanja dan proses
perumusan APBD di semua lokasi kajian tersedia dan dapat ditelusuri. Oleh karena
itu, pada nilai ini, hanya Provinsi Sumatera Utara yang dapat dianggap relatif kurang
akuntabel.

Laporan Akhir Kajian Kualitas Belanja APBD IV - 7


f. Responsivitas
Nilai Responsivitas dalan belanja daerah dan perumusan APBD berkaitan dengan
keterbukaan dalam belanda daerah dan perumusan APBD sehingga memungkinkan
semua unsur masyarakat berpartisipasi atau memberikan masukan yang relevan.
Pada dasarnya semua proses perumusan APBD di lokasi kajian memungkinkan
keterlibatan masyarakat melalui Musrenbang dan sidang terbuka DPRD. Meskipun
demikian, ada dua lokasi kajian yang memiliki beberapa pilihan akses keterlibatan
masyarakat dalam perumusan APBD, seperti adanya hotline (SMS, Kabupaten Kutai
Kartanegara dan Kota Medan).

Dengan kriteria rendah, sedang, dan tinggi, indikator-indikator tersebut dapat


diadaptasikan dengan kondisi masing-masing lokasi kajian ini sebagaimana tabel berikut.
Jika diambil rata-rata secara kuantitatif, maka Kota Medan menjadi Daerah yang kualitas
belanja dan anggarannya terbaik karena mendapat empat kriteria indicator yang baik.
Namun tidak dapat dirata-rata seperti itu, penelitian ini justru menemukan tipikal dari
masing-masing lokasi sebagaimana tabel berikut.

Tabel 4.3. Kualitas Penganggaran Daerah

No. Instrumen DIY Sleman Sumut Medan Kaltim KuKar Sultra Wakatobi

1. Ekonomi
2. Efisiensi
3. Efektifitas
4. Equity
5. Akuntabilitas
6 Responsivitas

Rendah
Sedang
Tinggi

Laporan Akhir Kajian Kualitas Belanja APBD IV - 8


4.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi

Hasil dari FGD dan wawancara di daerah dalam kajian ini dapat mengidentifikasi
beberapa faktor yang menentukan kualitas belanja dan anggaran daerah sebagai berikut.

a. Faktor SDM
Sebagian besar lemahnya SDM ditengarai dengan lemahnya kemampuan untuk
mengidentifikasi potensi pendapatan daerah. Banyaknya pegawai juga membuat
belanja tidak langsung menjadi selalu lebih besar dari belanja langsung. Mengingat
perencanaan dan penganggaran idealnya terintegrasi, maka faktor kemampuan
(kapasitas) SDM menjadi penting, termasuk kemampuan untuk mengidentifikasi
prioritas pembangunan yang riil sesuai potensi dan kebutuhan masyarakat dan
sinkron dengan prioritas nasional. Lemahnya SDM juga ditengarai dengan sebagian
besar posisi TAPD di masing-masing lokasi kajian relative tidak stabil, rata-rata dua
tahun sudah dirotasi ke tempat atau posisi lain sehingga posisi TAPD hampir selalu
diisi dengan pegawai-pegawai yang relatif baru dan harus belajar kembali dalam
proses penganggaran.

b. Faktor SDA
Luasnya wilayah dianggap menjadi beban bagi daerah dalam mengelola kepentingan
dan fasilitas publiknya, meskipun sebenarnya potensi yang tersimpan di dalamnya
sangat besar untuk dapat dieksploitasi. Dalam hal ini, luas wilayah menjadi
penghambat, namun sebenarnya dapat dibalik menjadi potensi yang besar. Potensi
alam yang ada di masing-masing lokasi kajian merupakan faktor positif bagi proses
penganggaran karena jika dieksploitasi dengan optimal akan menghasilkan
pendapatan yang relatif tidak terbatas.

c. Faktor Kebijakan
Ada kebijakan pusat yang tidak memungkinkan daerah untuk menggali pendapatan
daerah secara lebih leluasa. Potensi SDA yang besar yang tereksploitasi pun tidak
dapat langsung dinikmati oleh daerah karena ternyata kewenangan daerah untuk itu
relatif terbatas. Kasus Provinsi Sulawesi Tenggara yang sangat kaya akan hasil
tambang juga tidak dapat langsung berkontribusi bagi pendapatan daerahnya. Dalam

Laporan Akhir Kajian Kualitas Belanja APBD IV - 9


hal ini, factor kebijakan menjadi factor negative yang menghambat kemungkinan
daerah untuk meningkatkan kualitas penganggarannya.

d. Faktor Lain
Komitmen pemerintahan daerah untuk memprioritaskan kepentingan publik
terutama berkaitan dengan pengentasan kemiskinan juga ikut menentukan kualitas
belanja daerah. Komitmen ini dapat terbangun dengan sendirinya sesuai dengan
kapasitas pemerintahan di daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu, kapasitas
legislatif juga sangat menentukan kualitas anggaran dan belanja daerah. Legislatif
yang komit dengan nilai-nilai keadilan akan menghasilkan penganggaran yang lebih
adil, legislatif yang komit dengan demokratisasi akan menghasilkan belanja dan proses
penganggaran yang responsif terhadap masukan dari masyarakatnya.

Laporan Akhir Kajian Kualitas Belanja APBD IV - 10


BAB 5
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis kualitas belanja dan proses perumusan APBD


sebagaimana diuraikan pada Bab 4 di muka, maka dapat disimpulkan bahwa:

1) Belanja daerah masih didominasi oleh belanja tidak langsung, terutama untuk belanja
pegawai. Kecuali untuk lokasi yang mempunyai pendapatan relatif tinggi seperti
Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Untuk lokasi kajian
lainnya, beban pegawai cukup menguras belanja daerah selama ini. Meskipun
Pendapatan Asli Daerah (PAD) bukan dimaksdukan untuk menjadi tulang-punggung
APBD, namun tetap saja bahwa kemandirian daerah sangat ditentukan oleh
pendapatan daerah. Oleh karena itu, alternatif lain adalah eksploitasi sumberdaya
alam agar daerah memperoleh pendapatan bagi hasil yang signifikan sehingga dapat
membiayai belanja pegawai.

2) Kualitas belanja daerah dan perumusan APBD ternyata bukan satu ukuran yang
homogen karena ternyata hasil kajian ini menunjukkan bahwa daerah yang
mendapatkan skor kualitas yang sama ternyata mempunyai karakteristik yang
berbeda. Misalnya, Kabupaten Sleman dengan Provinsi Sumatera Utara mendapatkan
skor kualitas penganggaran sama-sama 2 indikator baik dan 4 indikator sedang,
namun karakteristik dua lokasi ini berbeda. Kabupaten Sleman cenderung akuntabel
sedangkan Provinsi Sumatera Utara cenderung efktif. Demikian pula untuk Provinsi
D.I. Yogyakarta dan Kabupaten Kutai Kartanegara, sama-sama mendapatkan skor 3
indikator baik dan 3 indikator sedang, namun dua daerah tersebut karakteristiknya
berbeda. Provinsi D.I. Yogyakarta cenderung efisien sedangkan Kabupaten Kutai
Kartanegara cenderung responsif.

Laporan Akhir Kajian Kualitas Belanja APBD V- 1


3) Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas belanja daerah dan perumusan APBD
terdiri dari factor sumberdaya manusia, sumberdaya alam, kebijakan pusat, dan factor
politik, dalam hal ini legislatif.
a. Faktor sumberdaya manusia berkaitan dengan kemampuan alokasi anggaran dan
penggalian potensi daerah. Faktor ini cenderung berkaitan dengan indicator
ekonomi, efisiensi dan efektivitas;
b. Faktor sumberdaya alam berkaitan dengan potensi yang ada dan oleh karena itu,
asumsi dasarnya adalah bahwa semua lokasi mempunyai sumberdaya alam yang
sama potensinya. Faktor ini juga berkaitan dengan indicator ekonomi, efisiensi
dan efktivitas.
c. Faktor kebijakan pusat berkaitan dengan regulasi pusat dalam pengelolaan
sumberdaya alam di daerah. Faktor ini cenderung berkaitan dengan indicator
equity/keadilan, akuntabilitas dan responsivitas.
d. Faktor komitmen legislatif berkaitan dengan kesadaran dan keinginan legislatif
untuk merumuskan anggaran daerah yang lebih baik. Faktor ini cenderung
berkaitan dengan indicator equity/keadilan, akuntabilitas dan responsivitas.

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kualitas belanja


daerah dan perumusan APBD ternyata bervariasi dan tidak dapat disama-ratakan antar
daerah. Oleh karena itu, karakteristik kualitas belanja daerah dan perumusan APBD harus
menjadi pertimbangan dalam upaya untuk meningkatkan kualitas tersebut. Demikian pula
dengan determiana atau faktor-faktor yang ada yang mempengaruhi kualitas belanja
daerah dan perumusan APBD juga tidak selalu sama antar daerah dengan karakteristik
kualitas yang berbeda.

5.2. Rekomendasi

Berdasarkan kesimpulan tersebut di muka, maka rekomendasi dari kajian ini


terutama adalah bahwa untuk meningkatkan kualitas belanja daerah dan perumusan
APBD-nya harus disesuaikan dengan karakteristik kualitas belanja daerah dan perumusan
APBD-nya. Dengan demikian, untuk peningkatan kualitas belanja daerah dan perumusan
APBD-nya, rekomendasi bagi satu daerah akan berbeda dengan rekomendasi bagi daerah

Laporan Akhir Kajian Kualitas Belanja APBD V- 2


yang lain sesuai dengan karakteristik kualitas belanja daerah dan perumusan APBD yang
bersangkutan.

1) Bagi daerah yang mempunyai kualitas belanja daerah dan perumusan APBD
cenderung ekonomi dan atau efisien dan atau efktif, maka sebaiknya di lokasi tersebut
dikembangkan komitmen legislatif bagi perumusan APBD yang lebih adil, akuntabel,
dan responsif. Termasuk juga meninjau ulang regulasi pusat yang menghambat
daerah mendapatkan hasil-hasil eksploitasi sumberdaya alam secara lebih adil.

2) Bagi daerah yang mempunyai kualitas belanja daerah dan perumusan APBD
cenderung adil dan atau akuntabel dan atau responsive, maka sebaiknya di daerah
tersebut dikembangkan keahlian tekhnis sumberdaya manusia dalam menggali
potensi sumberdaya alam dan mengelolanya secara lebih efisien dan efektif.
Termasuk dalam hal ini adalah kebijakan kepala daerah dalam merotasi dan memutasi
pegawai harus memperhatikan keahlian teknis pegawai yang bersangkutan. Dengan
kata lain, kepala daerah tidak terlalu sering merotasi dan memutasi pegawai yang
memiliki keahlian teknis, khsususnya dalam penganggaran.

3) Bagi Pemerintah Pusat, upaya untuk meningkatkan kualitas belanja daerah dan
perumusan APBD tidak cukup hanya dengan pelatihan kemampuan tekhnis dalam
perencaan dan penganggaran saja, namun sebaiknya lebih disesuaikan dengan
karakteristik kualitas belanja daerah dan perumusan APBD-nya sebagaimana diuraikan
pada dua poin di atas. Pelatihan dapat ditujukan bagi eksekutif (TAPD) dan dapat pula
bagi legislatif untuk membangun komitmen yang lebih tinggi dalam pemenuhan nilai-
nilai kualitas belanjda daerah dan perumusan APBD.

4) Bagi Pemeritah Pusat, peninjauan kembali regulasi yang berkaitan dengan hak-hak
daerah dalam mengelola sumberdaya alam dimaksudkan agar daerah menjadi lebih
besar kewenangannya sehingga memperoleh pendapatan dari eksploitasi sumberdaya
alamnya secara lebih adil.

Laporan Akhir Kajian Kualitas Belanja APBD V- 3


DAFTAR PUSTAKA

1. Johnl. Mikesel, Fiscal Administration in Local Government: An Overview, dalam Anwar


Shah (Ed.), 2007, Local Budgeting (Public Sector Governance And Accountability Series),
The International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank.
2. Dexter Whitfield, 2001, Public Services or Corporate Welfarez: Rethinking the Nation
State in the Global Economy, Pluto Press, London.
3. Danielr Mullins, Local Budget Process, dalam Anwar Shah (Ed.), 2007, Local Budgeting
(Public Sector Governance And Accaoountability Series), The International Bank for
Reconstruction and Development/The World Bank.
4. Carol W. Lewis, How to Read a Local Budget and Assess Government Performance,
dalam Anwar Shah (Ed.), 2007, Local Budgeting (Public Sector Governance And
Accaoountability Series), The International Bank for Reconstruction and
Development/The World Bank.
5. Bappenas, 2001, Buku Pegangan 2011 Penyelenggaraan Pemerintahan dan
Pembangunan Daerah: Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Yang Berkeadilan Dan
Penguatan Peran Gubernur.
6. Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2011, Pelengkap Buku Pegangan
Penyelenggaraan Pemerintahan Dan Pembangunan Daerah 2011: Peningkatan Kualitas
Hubungan Keuangan Pusat Dan Daerah Dalam Mendorong Pertumbuhan Ekonomi.

Anda mungkin juga menyukai