Kajian Kualitas Belanja APBD - 2011 PDF
Kajian Kualitas Belanja APBD - 2011 PDF
Laporan Akhir
Kajian Kualitas Belanja Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
LAPORAN AKHIR
Tim Penyusun:
Wariki Sutikno
Antonius Tarigan
Daryll Ichwan Akmal
Taufiq Hidayat Putra
Asep Saepudin
Sudira
Mohammad Roudo
Ervan Arumansyah
Alen Ermanita
Sukarso
Betti Nurbaiti
Luh Nyoman Dewi Triandayani
Perdana Nusawan
Tim Pendukung :
Mira Berlian
Bakat Supradono
Suharyono
Diterbitkan Oleh :
Direktorat Otonomi Daerah,
Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah,
Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)
Jl. Taman Suropati No. 2 Jakarta 10310
Telp/Fax : 021 – 31935289
Budhi Santoso
LAMPIRAN ..................................................................................................
Tabel 3.1. Deskripsi Ringkas APBD 2011 Per Lokasi Kajian .................................. III – 4
Tabel 3.2. Proporsi PAD Terhadap Prendapatan Per Lokasi Kajian ...................... III – 5
Tabel 3.3. Proporsi Belanja Langsung Dan Tidak Langsung ................................. III – 6
Tabel 3.4. Proporsi Dana Bagi Hasil Terhadap Dana Perimbangan ...................... III – 7
Halaman
Gambar 1.1. PAD Provinsi 2011 ........................................................................... I – 2
Gambar 3.3. Proporsi Dana Bagi Hasil Dan Dana Perimbangan ............................ III – 7
Kualitas belanja daerah dan APBD selama ini dianggap masih lemah dengan salah satu
indikasi belanja tidak langsung selalu lebih besar dari belanja langsung. Dengan latar
belakang seperti itu, kajian ini menganalisis bagaimana dan mengapa kualitas belanja
daerah dan APBD masih dianggap rendah. Dengan mengambil sampel delapan daerah,
masing-masing empat daerah provinsi dan empat daerah kabuapten/kota, dan dengan
analisis deskriptif, hasil kajian ini menunjukkan bahwa kriteria kualitas belanja daerah dan
APBD ternyata tidak seragam. Hasil kajian menunjukkan bahwa semua lokasi kajian tidak
mempunyai kualitas belanja daerah dan APBD yang mendekati sempurna tingginya,
melainkan masing-masing daerah mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Provinsi
D.I. Yogyakarta cenderung efisien dan akuntable, sedangkan Kabupaten Kutai Kartanegara
cenderung akuntabel dan responsif. Kabupaten Sleman cenderung akuntabel, sedangkan
Provinsi Sumatera Utara cenderung efektif. Kota Medan cenderung efisien, akuntabel dan
responsif. Provinsi Kalimantan Timur cenderung adil dan akuntabel sedangkan Provinsi
Sulawesi Utara cenderung akuntabel, kurang lebih mirip dengan Kabupaten Wakatobi.
Jika lokasi kajian kualitas belanja daerah dan APBD-nya cenderung ekonomis, efisien, dan
atau efektif, maka permasalahan atau kelemahannya ada pada tataran keadilan, dan atau
akuntabilitas dan atau responsivitas, maka hal ini bersifat politis, yakni berkaitan dengan
kinerja legislatif. Namun jika lokasi kajian cenderung adil, akuntabel dan atau responsif,
maka kelemahannya ada pada tataran ekonomi dan atau efisien dan atau efektif, maka
hal ini lebih bersifat tekhnis-operasional atau sumberdaya manusia birokrasinya, yakni
berkaitan dengan kemampuan birokrasi.
BAB 1
PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
Pendaan pembangunan melalui transfer ke daerah merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari pendanaan pembangunan pembangunan secara nasional. Dana transfer
ke daerah terdiri dari dana perimbangan dan dana otonomi khusus serta dana
penyesuaian. Alokasi dana transfer ke daerah dari wakru ke waktu mengalami
peningkatan seiring pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.
Pengelolaan pendanaan transfer ke daerah senantiasa didorong untuk memenuhi
pelaksanaan tata kelola keuangan yang baik, memiliki kinerja terukur dan memiliki
akuntabilitas terhadap masyarakat. Hasil akhir yang diharapkan adalah adanya
peningkatan pelayanan publik.
Besaran dana transfer dan dekonsentrasi ke daerah yang optimal masih dapat
diperdebatkan, tergantung kerangka penglihatan kita. Lebih rumit lagi, apabila dikaitkan
dengan sebaran prestasi IPM di Indonesia, tingkat kemiskinman dan pertumbuhan
ekonomi, tidak semua daerah dengan jumlah dana transfer per kapita besar memiliki
kinerja yang bagus pada aspek-aspek tersebut.
Terkait dengan kualitas belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
ini masih ditemui beberapa permasalahan yang sering muncul di antaranya masih
rendahnya kualitas perencanaan di daerah. Di samping itu, belum terintegrasinya
perencanaan dan penganggaran di daerah juga masih merupakan permasalahan yang
umum di setiap daerah.Permasalahan tersebut diikuti oleh permasalahan lain yaitu porsi
terbesan APBD ada pada belanja tidak langsung bukan pada belanja langsung.
Berdasarkan kondisi dan permasalahan tersebut, Direktorat Otonomi Daerah
merasa perlu untuk mengkaji Kualitas Belanja APBD.
Lima fungsi pokok dari negara adalah democratic and civil society; national and
international responsibilities, human needs and development, economic and fiscal
management, dan regulation of markets, firms, and organizations. Ke lima fungsi ini tidak
ada yang lebih penting, atau dengan kata lain, ke lima fungsi ini sama pentingnya.
Mullins (2007) menyebutkan bahwa tidak ada model penganggaran daerah yang
dianggap paling baik karena pada dasarnya proses penganggaran daerah merupakan
refleksi dari berbagai tradisi, kapasitas dan institusi yang ada pada masing-masing daerah
secara historis. Sebagaimana dikatakan sebagai berikut. (Danielr Mullins, Local Budget
Process, dalam Anwar Shah (Ed.), 2007, Local Budgeting (Public Sector Governance And
Accaoountability Series), The International Bank for Reconstruction and
Development/The World Bank):
“Local budget systems, processes, and structures within and among nations reflect
historical tradition and diversity in culture, capacity, national governance, and institutions.
Thus, no single model of local government budgeting is best. That said, all effective
subnational budget systems must contain certain elements that advance the three key
objectives of public expenditure management: fiscal discipline/expenditure control,
prioritized/strategic resource allocation, and operational (managerial) efficiency/
effectiveness (Schiavo-Campo and Tommasi 1999: chapter 1).”
· transparency in the definition of roles and responsibilities and decision making, the
availability of information, openness of the budget process, and assurances of
budgetary integrity
· comprehensiveness in the incorporation of all revenues and expenditures and full
accounting of all budgetary transactions
· processes and methods to establish policy and priorities, including an outward-looking
fiscal framework, focus on service outputs and outcomes, and a classification system
that links expenditures to organizational units and purposes
· expenditure planning based on established priorities, relating spending to service levels
and allowing flexibility in the use of resource inputs
· managerial efficiency supported by accountability for service levels and outputs and
discretion in the relative use of inputs
· accountability and control reinforced by comprehensiveness; prioritization; and
systematic budget and expenditure reviews, execution controls, and post-execution
reporting and auditing (Mikesell and Mullins 2001: 564) Each of these interrelated
elements supports the accomplishment of the other elements. The functions important
at the sub national level in a developing context are the fundamental functions of all
budgeting systems. According to Schick (2004: 84–85), these include
· establishing a fiscal framework that is sustainable over the medium term and beyond
allocating resources to programs on the basis of governmental priorities and program
effectiveness operating government and delivering public services efficiently
· ensuring that the budget reflects citizen preferences
· ensuring that spending units are accountable for their actions In defining the essential
elements of the local budget process, the National Advisory Council on State and Local
Budgeting emphasizes decision making related to an assessment of needs and
priorities, programmatic planning and management strategies directed at goal
achievement, a process for constructing and adopting a consistent and realistic budget,
and mechanisms to make adjustments and monitor and evaluate performance (NACSLB
1998). This implies the ability to make meaningful policy and managerial choices
· The process is considered from the perspective of the most critical issues that shape it
and its outcomes: the level and distribution of local authority, the importance of the
local budget in a multitiered intergovernmental framework, coordination and
cooperation mechanisms, planning and priority setting, participatory processes, and
accountability and responsiveness.
Pengertian kualitas penganggaran, jika mengacu pada model terbaik maka tidak ada
satu model yang dapat dikatakan paling berkualitas. Jika mengacu pada nilai-nilai yang
akan dicapai, juga tidak ada nilai-nilai tunggal yang paling penting. Dalam hal ini, Lewis
(2007) menyebutkan adanya enam nilai pokok yang sama pentingnya dalam menilai
“kualitas” anggaran, yaitu ekonomi, efisiensi, efektifitas, keadilan, akuntabiulitas, dan
responsivitas, sebagaimana disebutkan sebagai berikut. (Carol W. Lewis, How to Read a
Local Budget and Assess Government Performance, dalam Anwar Shah (Ed.), 2007, Local
Budgeting (Public Sector Governance And Accaoountability Series), The International
Bank for Reconstruction and Development/The World Bank):
Dengan demikian, mengacu pada pendapat Lewis yang relative “lengkap”, maka
kualitas anggaran daerah berkaitan dengan pemenuhan nilai-nilai ekonomi, efisiensi,
efektifitas, equity atau keadilan, akuntabilitas, dan responsivitas. Ekonomi berarti
anggaran tersebut selalu meningkat jumlahnya; Efisien berarti alokasi anggaran sesuai
dengan hasil yang didapatkan; Efektif berarti alokasi anggaran sesuai dengan tujuan yang
direncanakan; Equiry atau Adil berarti alokasi dan hasilnya sesuai dengan nilai keadilan;
Responsif berarti proses aenganggaran sesuai dengan aspirasi masyarakat.
1) Lokasi Institusi Pusat untuk berbagai informasi yang relevan dengan kebijakan
penganggaran nasional. Dalam kaitannya dengan kualitas belanja dan perumusan
APBD, maka lokasi institusi pusat adalah: Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam
Negeri, Badan Pusat Statistik (BPS), dan Kementerian Perencanaan pembangunan
Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), yang semuanya
ada di Jakarta.
2) Lokasi Institusi Lokal untuk mendapatkan gambaran yang realistik pada tataran
penganggaran lokal atau APBD. Institusi lokal ini terdiri dari institusi Pemerintahan
Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota, yaitu Tim Anggaran Pemerintah Daerah
(TAPD) dan Sekretariat DPRD Provinsi dan kabupaten/kota. Selain itu guna
mendapatkan data dan informasi pembanding, juga dilakukan kunjungan ke kalangan
akademisi/LSM setempat.
Wilayah
Lokasi
Barat Utara Selatan Timur
Sumatera Kalimantan D.I. Yogyakarta Sulawesi
Provinsi
Utara Timur Tenggara
Kota Medan Kutai Kabupaten Kabupaten
Kabupaten/Kota
Kartanegara Sleman Wakatobi
Metode yang digunakan dalam kajian ini kiranya dapat dijelaskan sebagai berikut.
Sebagai provinsi sampel untuk wilayah barat Indonesia, provinsi ini memiliki luas
wilayah 71.680.680 ha. Dengan jumlah penduduk sebanyak 13.248.388 jiwa. Provinsi
Sumatera Utara termasuk provinsi yag besar, terutama dari dimensi wilayahnya, provinsi
ini terdiri dari 29 wilayah kabupaten/kota (tahun 2010). Jumlah pegawainya mencalai
227.172 pegawai pemerintah (daerah 222.848 pegawai dan pusat 4.324 pegawai).
Dengan jumlah pegawai sebanyak itu, pendapatan dalam APBD (2011)-nya adalah
4.480.782 juta rupiah, untuk belanja pegawai tidak langsung dan langsung sebanyak
643.508 juta rupiah dan 168.042 juta rupiah dari total belanja tidak langsung dan
langsung sebannyak 2.031.752 juta rupiah dan 2.546.109 juta rupiah.
Sebagai salah satu pusat pemerintahan dari provinsi Sumatera Utara, Kota Medan
mempujnyai luas wilayah 265.100 ha mempunyai penduduk sebanyak 2.097.610 jiwa.
Daerah ini merupakan daerah terpadat di provinsi tersebut. Jumlah pegawainya tercatat
sebanyak 21.087 dengan perincian 19.619 peggawai daerah dan 2.468 pegawai daerah.
Adapun jumlah pendapatan APBD untuk Tahun 2011 ini sebanyak 2.628.101 juta rupiah
dan untuk belanja pegawainya tidak langsung dan langsung adalah 1.266.946 juta rupiah
dan 268.708 juta rupiah.
Provinsi D.I. Yogyakarta merupakan salah satu provinsi yang relative kecil dengan
luas wilayah 3.182,80 ha dan jumlah penduduk sebanyak 3.452.390 jiwa. Provinsi D.I.
Sebagai salah satu provinsi terkaya dibanding lokasi kajian yang lain, Provinsi
Kalimantan Timur mempunyai wilayah yang juga paling luas dibanding lokasi kajian
lainnya mempunyai wilayah seluas 204.534.340 ha. dengan jumlah penduduk hanya
3.550.586 jiwa. Provinsi ini mempunyai pendapatan dalam APBD 2011-nya sebanyak
6.449.635 juta rupiah dengan belanja pegawai tidak langsung dan langsung sebanyak
777.745 juta rupiah dan 302.387 juta rupiah.
Sebagai salah satu kabupaten terluas dan terkaya dari semua lokasi kajian,
Kabupaten Kutai Kartanegarta mempunyai luas wilayah 27.265.100 ha. dengan jumlah
penduduk hanya sebanyak 626.286 jiwa. Kabupaten ini mempunyai pegawai daerah
(2009) sebanyak 16.775 pegawai dengan pendapatan dalam APBD 2011-nya sebanyak
Secara ringkas, deskripsi APBD 2011 delapan lokasi kajian dapat diperiksa pada
table-tabel berikut ini.
Lokasi
Deskripsi Kutai
DIY Sleman Sumut Medan Kaltim Kartanegar Sultra Wakatobi
a
Belanja Tidak
849,118 712,782 2,031,752 1,457,820 3,620,579 1,592,892 742,385 177,864
Langsung
Belanja Pegawai 443,440 633,067 643,506 1,266,946 777,745 1,023,683 378,701 150,903
Belanja Langsung 741,667 360,533 2,646,109 1,473,572 3,637,056 3,039,352 663,445 211,417
Belanja Pegawai 90,164 78,751 168,042 268,708 302,387 332,242 40,523 26,693
Belanja
501,330 171,000 1,155,518 666,304 1,340,776 972,399 210,936 81,988
Barang/Jasa
Belanja Modal 150,174 110,782 1,322,549 538,560 1,993,893 1,734,711 411,987 102,736
Dana
714,542 743,880 1,271,127 1,315,146 3,798,311 3,495,440 799,080 321,608
Perimbangan
Dana Bagi Hasil 74,240 69,049 347,432 266,019 3,708,676 3,443,809 64,439 19,436
Kutai
DIY Sleman Sumut Medan Kaltim Kartanegara Sultra Wakatobi
Sementara itu, untuk proporsi Belanja Langsung dan Tidak Langsung dari total
belanja daerah dapat diperiksa pada table 3.3 berikut. Nampak bahwa Kabupaten Kutai
Kartanegara merupakan kabupaten dengan proporsi belanja langsung yang jauh lebih
tinggi dari belanja langsung-nya, yaitu sekitar 65,61% dibanding 34,39%. Sedangkan untuk
Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Kalimantan Timur, meskipun lebih tinggi belanja
langsung disbanding belanja tidak langsung, namun angkanya sekitar 56,57% berbanding
43,43% dan 50,01% berbanding 49,99%. Sebaliknya, Kabupaten Sleman belanja langsung
33,59% berbanding 66,41% dan Provinsi DI Yogyakarta serta Provinsi Sulawesi Tenggara
masing-masing belanja langsung 46,62% berbanding 53,38% dan 47,19% berbanding
52,81%. Dengan demikian, Kabupaten Kutai Kartanegara merupakan Kabupaten dengan
belanja langsung yang paling besar.
Kutai
DIY Sleman Sumut Medan Kaltim Kartanegara Sultra Wakatobi
Belanja 1,590,786 1,073,315 4,677,861 2,931,392 7,257,635 4,632,244 1,405,830 389,281
Belanja
Tidak 849,118 712,782 2,031,752 1,457,820 3,620,579 1,592,892 742,385 177,864
Langsung
Belanja
741,667 360,533 2,646,109 1,473,572 3,637,056 3,039,352 663,445 211,417
Langsung
Sedangkan untuk proporsi dana bagi hasil terhadap dana perimbangan dapat
diperiksa pada table 3.4. berikut ini. Nampak bahwa Kabupaten Kutai Kartanegara dan
Provinsi Kalimantan Timur merupakan wilayah dengan dana bagi hasil yang sangat besar,
yaitu masing-masing 98,52% dan 97,64%. Hal ini menunjukkan dua wilayah ini memang
kaya akan sumberdaya alam dan sudah mengeksploitasinya dengan optimal. Sebaliknya,
Provinsi Sulawesi Tenggara dan Kabupaten Wakatobi mempunyai proporsi dana bagi hasil
hanya sekitar 8,06% dan 6,04% dari dana perimbangan. Hal ini menunjukkan dua daerah
ini bellum mampu mengeksploitasi sumberdaya alamnya secara optimal.
Kutai
DIY Sleman Sumut Medan Kaltim Kartanegara Sultra Wakatobi
Dana
714,542 743,880 1,271,127 1,315,146 3,798,311 3,495,440 799,080 321,608
Perimbangan
Dana Bagi 74,240 69,049 347,432 266,019 3,708,676 3,443,809 64,439 19,436
Hasil (10,03%) (9,28%) (27,33%) (20,23%) (97,64%) (98,52%) (8,06%) (6,04%)
Bulan Ke
No. Kegiatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1. Musrenbangda
2. Penyusunan RKPD
3. Penyampaian KUA dan PPAS
oleh Ketua TAPD kepada
kepala daerah
4. Penyampaian KUA dan PPAS
oleh kapala daerah kepada
DPRD
5. KUA dan PPAS disepakati
antara kepala daerah dan
DPRD
6. Surat Edaran kepala daerah
perihal pedoman RKA-PPKD
7. Penyusunan dan pembahasan
RKA-SKPD dan RKA-PPKD
serta penyusunan Rancangan
APBD
8. Penyampaian Rancangan
APBD kepada DPRD
9. Pengambilan persetujuan
bersama DPRD dan kepala
daerah
10. Hasil evaluasi rancangan
SPBD
11. Penetapan Perda APBD dan
Perkada Penjabaran APBD
sesuai dengan hasil evaluasi
Sumber: Permendagri No. 22 Tahun 2011, diolah dengan hasil wawancara.
Prio- Kutai
DIY Sleman Sumut Medan Kaltim Sultra Wakatobi
ritas Kartanegara
1 Perbaikan Pengelolaan Peningkatan Peningkatan Legalisasi t.d. Pemantapan Mengembangkan
iklim bencana dan kualitas pelayanan Rencana Reformasi kualitas
investasi dan percepatan pendidikan administrasi Tata Ruang Birokrasi sumberdaya
iklim usaha pemulihan dan kependudukan, Wilayah manusia yang
pasca kesehatan menuju system Provinsi dan bertumpu pada
bencana yang identitas Kabupaten/K kualitas iman dan
terjangkau tunggal ota Se taqwa serta ilmu
Kalimantan pengetahuan dan
Timur teknologi serta
seni
2 Peningkatan Penanggulan Peingkatan Peningkatan Peningkatan t.d. Peningkatan Melakukan
akses dan gan kualitas efektivitas Upaya Usaha Ekonomi pemberdayaan
kualitas kemiskinan infrastruktur kelembagaan Mitigasi dan Masyarakat dan masyarakat dan
pendidikan dan pendukung dan pelayanan Adaptasi Pengembangan seluruh kekuatan
penganggura pembanguna kepegawaian Perubahan Investasi ekonomi daerah
n n ekonomi daerah Iklim Swasta dengan
mengoptimalkan
potensi daerah
melalui
penerapan
prinsip-prinsip
pengelolaan
lingkungan hidup
3 Peningkatan Menjaga Penguatan Peningaktan Pembangun t.d. Pembangunan Meningkatkan
kualitas dan stabilitas pembanguna aksesibilitas an dan
pelayanan publik
kuantitas ketahanan n pertanian daerah, Infrastruktur Peningkatan
infrastruktur pangan yang ketersediaan (Trans Infrastruktur dan menerapkan
berdaya dan kualitas Kalimantan/J Dasar Wilayah
tata
saing infrastruktur alan/Jembat
serta utilitas an/Free pemerintahan
kota, khususnya Way/Pelabu
yang baik serta
infrastruktur han
jalan, drainase Udara/Pelab menegakkan
dan uhan
hukum dan
perhubungan Laut/Permuki
man) perlindungan
terhadap hak
asasi manusia.
Secara normatif, pelaku utama dalam perumusan APBD adalah Eksekutif (terdiri
dari Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dengan Bupati) dan DPRD. Namun dari
kajian di lapangan, ternyata unsur keterlibatan masyarakat bervariasi. Pada umumnya,
masyarakat tidak langsung terlibat dengan proses perumusan APBD karena secara
normatif juga tidak dimungkinkan. Masyarakat dapat terlibat dalam proses perumusan
APBD terutama pada saat Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di
tingkat desa dan kecamatan. Setelah Musrenbang Kabupaten/Kota yang diketemukan
dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang dimanifestasikan dalam Rencana
Kerja Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD), maka praktis masyarakat tidak lagi terlibat.
Meskipun demikian, ada dua lokasi yang membuka akses cukup lebar bagi keterlibatan
masyarakat secara langsung melalui surat, baik konvensional (paper based) maupun
elektronik (internet dan short massage service (sms). Dua lokasi tersebut adalah Kota
Medan dan terutama Kabupaten Kutai Kartanegara.
b. Efisiensi
Nilai efisiensi dalam belanja daerah dan perumusan APBD berkaitan dengan apa yang
dapat dihasilkan dari belanja tersebut dan berapa alokasi biaya untuk itu, terrmasuk
alokasi waktu untuk perumusan APBD.
Dari hasil kajian di lapangan, ternyata pada masing-masing lokasi kajian tidak
ditemukan adanya hasil yang dapat dibanggakan atau berkesan dari alokasi belanja
yang ada. Sedangkan dari proses perumusan APBD ternyata alokasi waktu yang
disediakan secara normative tidak dapat digunakan secara tepat, akan tetapi hampir
semua lokasi mengalami keterlambatan. Kota Medan menjadi salah satu lokasi yang
relative tepat waktu dalam perumusan APBD, sedangkan D.I. Yogyakarta menjadi
satu-satunya lokasi kajian yang sudah menggunakan analisis standar belanja (ASB).
Oleh karena itu, dari nilai efisiensi, Kota Medan dan Provinsi D.I.Yogyakarta
merupakan yang terbaik.
c. Efektivitas
Nilai efektivitas dalam belanja daerah dan perumusan APBD berkaitan dengan apa
yang dapat dihasilkan dari belanja tersebut dan apakah yang dihasilkan tersebut
memuaskan bagi stakeholders yang ada.
Dari hasil kajian di lapangan, ternyata semua lokasi kajian tidak mendapatkan satu
hasil belanja daerah yang dianggap memuaskan. Semua lokasi kajian menganggap
belanja daerah sebagai sesuatu yang biasa saja seperti hal rutin yang tidak perlu
Laporan Akhir Kajian Kualitas Belanja APBD IV - 6
diingat, apalagi belanja untuk pegawai, meskipun dibeberapa tempat ada kenaikan
tunjangan, namun kenaikan tersebut tetap dianggap masih kurang. Belanja modal
pun demikian, tidak dianggap sebagai sesuatu yang patut diingat, menjadi sesuatu
yang biasa saja. Hanya Kota Medan yang menganggap belanja daerah menjadi
sesuatu yang penting dan menjadi target bahwa tahun 2011 ini belanja langsung
lebih tinggi dari belanja tidak langsung, dan tercapai.
d. Equity/Keadilan
Nilai keadilan atau equity dalam belanja daerah dan perumusan APBD berkaitan
dengan alokasi anggaran yang memihak pada masyarakat yang lemah atau miskin
dan melalui prosedur yang dianggap adil.
Pada umumnya pemberantasan kemiskinan merupakan prioritas belanja daerah,
namun tetap saja alokasi belanja untuk pemberantasan kemiskinan terkendala
dengan kemampuan keuangan daerah. Hal ini diperberat dengan beban belanja
pegawai di hampir semua lokasi penelitian, kecuali Provinsi Kalimantan Timur dan
Kabupaten Kutai Kartanegara. Terutama untuk Provinsi Kalimantan Timur yang
relative besar mengalikasikan bagi kelompok miskin atau program pemberantassan
kemiskinan.
e. Akuntabilitas
Nilai akuntabilitas dalam belanja daerah dan perumusan APBD berkaitan dengan
kelengkapan dan kebenaran dokumen yang relevan dalam belanja dan proses
perumusan APBD, termasuk kemungkinan penelusuran semua proses belanja dan
perumusan APBD.
Dari hasil kajian pada umumnya semua lokasi tidak didapat kasus hukum
penyimpangan prosedur perumusan APBD, kecuali ada kasus yang sedang diproses
secara hukum yang berkaitan dengan APBD. Dokumentasi belanja dan proses
perumusan APBD di semua lokasi kajian tersedia dan dapat ditelusuri. Oleh karena
itu, pada nilai ini, hanya Provinsi Sumatera Utara yang dapat dianggap relatif kurang
akuntabel.
No. Instrumen DIY Sleman Sumut Medan Kaltim KuKar Sultra Wakatobi
1. Ekonomi
2. Efisiensi
3. Efektifitas
4. Equity
5. Akuntabilitas
6 Responsivitas
Rendah
Sedang
Tinggi
Hasil dari FGD dan wawancara di daerah dalam kajian ini dapat mengidentifikasi
beberapa faktor yang menentukan kualitas belanja dan anggaran daerah sebagai berikut.
a. Faktor SDM
Sebagian besar lemahnya SDM ditengarai dengan lemahnya kemampuan untuk
mengidentifikasi potensi pendapatan daerah. Banyaknya pegawai juga membuat
belanja tidak langsung menjadi selalu lebih besar dari belanja langsung. Mengingat
perencanaan dan penganggaran idealnya terintegrasi, maka faktor kemampuan
(kapasitas) SDM menjadi penting, termasuk kemampuan untuk mengidentifikasi
prioritas pembangunan yang riil sesuai potensi dan kebutuhan masyarakat dan
sinkron dengan prioritas nasional. Lemahnya SDM juga ditengarai dengan sebagian
besar posisi TAPD di masing-masing lokasi kajian relative tidak stabil, rata-rata dua
tahun sudah dirotasi ke tempat atau posisi lain sehingga posisi TAPD hampir selalu
diisi dengan pegawai-pegawai yang relatif baru dan harus belajar kembali dalam
proses penganggaran.
b. Faktor SDA
Luasnya wilayah dianggap menjadi beban bagi daerah dalam mengelola kepentingan
dan fasilitas publiknya, meskipun sebenarnya potensi yang tersimpan di dalamnya
sangat besar untuk dapat dieksploitasi. Dalam hal ini, luas wilayah menjadi
penghambat, namun sebenarnya dapat dibalik menjadi potensi yang besar. Potensi
alam yang ada di masing-masing lokasi kajian merupakan faktor positif bagi proses
penganggaran karena jika dieksploitasi dengan optimal akan menghasilkan
pendapatan yang relatif tidak terbatas.
c. Faktor Kebijakan
Ada kebijakan pusat yang tidak memungkinkan daerah untuk menggali pendapatan
daerah secara lebih leluasa. Potensi SDA yang besar yang tereksploitasi pun tidak
dapat langsung dinikmati oleh daerah karena ternyata kewenangan daerah untuk itu
relatif terbatas. Kasus Provinsi Sulawesi Tenggara yang sangat kaya akan hasil
tambang juga tidak dapat langsung berkontribusi bagi pendapatan daerahnya. Dalam
d. Faktor Lain
Komitmen pemerintahan daerah untuk memprioritaskan kepentingan publik
terutama berkaitan dengan pengentasan kemiskinan juga ikut menentukan kualitas
belanja daerah. Komitmen ini dapat terbangun dengan sendirinya sesuai dengan
kapasitas pemerintahan di daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu, kapasitas
legislatif juga sangat menentukan kualitas anggaran dan belanja daerah. Legislatif
yang komit dengan nilai-nilai keadilan akan menghasilkan penganggaran yang lebih
adil, legislatif yang komit dengan demokratisasi akan menghasilkan belanja dan proses
penganggaran yang responsif terhadap masukan dari masyarakatnya.
5.1. Kesimpulan
1) Belanja daerah masih didominasi oleh belanja tidak langsung, terutama untuk belanja
pegawai. Kecuali untuk lokasi yang mempunyai pendapatan relatif tinggi seperti
Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Untuk lokasi kajian
lainnya, beban pegawai cukup menguras belanja daerah selama ini. Meskipun
Pendapatan Asli Daerah (PAD) bukan dimaksdukan untuk menjadi tulang-punggung
APBD, namun tetap saja bahwa kemandirian daerah sangat ditentukan oleh
pendapatan daerah. Oleh karena itu, alternatif lain adalah eksploitasi sumberdaya
alam agar daerah memperoleh pendapatan bagi hasil yang signifikan sehingga dapat
membiayai belanja pegawai.
2) Kualitas belanja daerah dan perumusan APBD ternyata bukan satu ukuran yang
homogen karena ternyata hasil kajian ini menunjukkan bahwa daerah yang
mendapatkan skor kualitas yang sama ternyata mempunyai karakteristik yang
berbeda. Misalnya, Kabupaten Sleman dengan Provinsi Sumatera Utara mendapatkan
skor kualitas penganggaran sama-sama 2 indikator baik dan 4 indikator sedang,
namun karakteristik dua lokasi ini berbeda. Kabupaten Sleman cenderung akuntabel
sedangkan Provinsi Sumatera Utara cenderung efktif. Demikian pula untuk Provinsi
D.I. Yogyakarta dan Kabupaten Kutai Kartanegara, sama-sama mendapatkan skor 3
indikator baik dan 3 indikator sedang, namun dua daerah tersebut karakteristiknya
berbeda. Provinsi D.I. Yogyakarta cenderung efisien sedangkan Kabupaten Kutai
Kartanegara cenderung responsif.
5.2. Rekomendasi
1) Bagi daerah yang mempunyai kualitas belanja daerah dan perumusan APBD
cenderung ekonomi dan atau efisien dan atau efktif, maka sebaiknya di lokasi tersebut
dikembangkan komitmen legislatif bagi perumusan APBD yang lebih adil, akuntabel,
dan responsif. Termasuk juga meninjau ulang regulasi pusat yang menghambat
daerah mendapatkan hasil-hasil eksploitasi sumberdaya alam secara lebih adil.
2) Bagi daerah yang mempunyai kualitas belanja daerah dan perumusan APBD
cenderung adil dan atau akuntabel dan atau responsive, maka sebaiknya di daerah
tersebut dikembangkan keahlian tekhnis sumberdaya manusia dalam menggali
potensi sumberdaya alam dan mengelolanya secara lebih efisien dan efektif.
Termasuk dalam hal ini adalah kebijakan kepala daerah dalam merotasi dan memutasi
pegawai harus memperhatikan keahlian teknis pegawai yang bersangkutan. Dengan
kata lain, kepala daerah tidak terlalu sering merotasi dan memutasi pegawai yang
memiliki keahlian teknis, khsususnya dalam penganggaran.
3) Bagi Pemerintah Pusat, upaya untuk meningkatkan kualitas belanja daerah dan
perumusan APBD tidak cukup hanya dengan pelatihan kemampuan tekhnis dalam
perencaan dan penganggaran saja, namun sebaiknya lebih disesuaikan dengan
karakteristik kualitas belanja daerah dan perumusan APBD-nya sebagaimana diuraikan
pada dua poin di atas. Pelatihan dapat ditujukan bagi eksekutif (TAPD) dan dapat pula
bagi legislatif untuk membangun komitmen yang lebih tinggi dalam pemenuhan nilai-
nilai kualitas belanjda daerah dan perumusan APBD.
4) Bagi Pemeritah Pusat, peninjauan kembali regulasi yang berkaitan dengan hak-hak
daerah dalam mengelola sumberdaya alam dimaksudkan agar daerah menjadi lebih
besar kewenangannya sehingga memperoleh pendapatan dari eksploitasi sumberdaya
alamnya secara lebih adil.