XII. Mipa- 3
Kelompok 6 :
Fitriyani Khasanah
A. Pengertian Pernikahan
Pernikahan berasal dari kata dasar nikah. Kata nikah memiliki persamaan dengan kata
kawin. Menurut bahasa Indonesia, kata nikah berarti berkumpul atau bersatu. Menurut istilah
syarak, nikah itu berarti melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bertujuan untuk menghalalkan hubungan
kelamin antara keduanya dengan dasar suka rela demi terwujudnya keluarga bahagia yang
diridhoi oleh Allh SWT.
Nikah adalah fitrah yang berarti sifat asal dan pembawaan manusia sebagai makhluk
Allah SWT. Setiap manusia yang sudah dewasa dan sehat jasmani dan rohaninya pasti
membutuhkan teman hidup yang berlawanan jenis kelaminnya. Teman hidup yang dapat
memenuhi kebutuhan biologis, yang dapat mencintai dan dicintai, yang dapat mengasihi dan
dikasihi, serta yang dapat bekerja sama untuk mewujudkan ketentraman, kedamaian, dan
kesejahteraan dalam hidup berumah tangga.
Nikah termasuk perbuatan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. atau
sunnah Rasul. Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda:
Dari Anas bin Malik ra.,bahwasanya Nabi saw. memuji Allah SWT dan menyanjung-Nya,
beliau bersabda: “Akan tetapi aku shalat, tidur, berpuasa, makan, dan menikahi wanita,
barang siapa yang tidak suka perbuatanku, maka bukanlah dia dari golonganku”. (HR. Al-
Bukhari dan muslim)
B. Hukum Pernikahan
1. Hukum Asal Nikah adalah Mubah
Menurut sebagian besar ulama, hukum asal nikah adalah mubah, artinya boleh
dikerjakan boleh ditinggalkan. Dikerjakan tidak ada pahalanya dan ditingkalkan
tidak berdosa. Meskipun demikian, ditinjau dari segi kondisi orang yang akan
melakukan pernikahan, hukum nikah dapat berubah menjadi sunnah, wajib,
makruh atau haram.
2. Nikah yang Hukumnya Sunnah
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa pada prinsipnya nikah itu sunnah.
Alasan yang mereka kemukakan bahwa perintah nikah dalam berbagai Al-Qur’an
dan hadits hanya merupakan anjuran walaupun banyak kata-kata amar dalam ayat
dan hadits tersebut. Akan tetapi, bukanlah amar yang berarti wajib sebab tidak
semua amar harus wajib, kadangkala menunjukkan sunnah bahkan suatu ketika
hanya mubah. Adapun nikah hukumnya sunnah bagi orang yang sudah mampu
memberi nafkah dan berkehendak untuk nikah.
3. Nikah yang Hukumnya Wajib
Nikah menjadi wajib menurut pendapat sebagian ulama dengan alasan bahwa
diberbagai ayat dan hadits sebagaimana tersebut diatas disebutkan wajib.
Terutama berdasarkan hadits riwayat Ibnu Majah seperti dalam sabda Rasulullah
saw., “Barang siapa yang tidak mau melakukan sunnahku, maka tidaklah
termasuk golonganku”.
Selanjutnya nikah itu wajib sesuai dengan faktor dan situasi. Jika ada sebab dan
faktor tertentu yang menyertai nikah menjadi wajib. Contoh: jika kondisi
seseorang sudah mampu memberi nafkah dan takut jatuh pada perbuatan zina,
dalam situasi dan kondisi seperti itu wajib nikah. Sebab zina adalah perbuatan keji
dan buruk yang dilarang Allah SWT. Rasulullah saw. bersabda sebagai berikut.
Dari Aisyah ra., Nabi saw. besabda: “Nikahilah olehmu wanita-wanita itu, sebab
sesungguhnya mereka akan mendatangkan harta bagimu”. (HR. Al-Hakim dan
Abu Daud)
4. Nikah yang Hukumnya Makruh
Hukum nikah menjadi makruh apabila orang yang akan melakukan
perkawinan telah mempunyai keinginan atau hasrat yang kuat, tetapi ia belum
mempunyai bekal untuk memberi nafkah tanggungannya.
5. Nikah yang Hukumnya Haram
Nikah menjadi haram bagi seseorang yang mempunyai niat untuk menyakiti
perempuan yang dinikahinya.
Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. pernah bersabda:
“Barangsiapa yang tidak mampu menikah hendaklah dia puasa karena dengan
puasa hawa nafsunya terhadap prempuan akan berkurang”. (HR. Jamaah Ahli
Hadits)
Firman Allah di dalam Al-Qur’an:
Maka nikahilah wanita yang engkau senangi. (QS.An-Nisa/4:3)
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain)
yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu
miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
(QS.An-Nisa/4:3)
Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga
orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki
dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada
mereka dengan kemampuan-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), Maha
Mengetahui. (QS.An-Nur/24:32)
Berpijak dari firman Allah dan hadits sebagaimana tersebut di atas, maka
bahwa dapat dijelaskan bahwa hukum menikah itu akan berubah sesuai dengan
faktor dan sebab yang menyertainya. Dalam hal ini setiap mukalaf penting untuk
mengetahuinya. Misalnya, orang-orang yang belum baligh, seorang pemabuk, atau
sakit gila, maka dalam situasi dan kondisi semacam itu seseorang haram uinutuk
menikah. Sebab, jikja mereja menikah dikhawatirkan hanya akan menimbulkan
mudharat yang lebih besar pada orang lain.
C. Rukun Nikah
Rukun nikah adalah unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk melangsungkan
suatu pernikahan. Rukun nikah terdiri atas:
1. Calon suami, syaratnya antara lain beragama Islam, benar-benar pria, tidak karena
terpaksa, bukan mahram (perempuan calon istri), tidak sedang ihram haji atau
umrah, dan usia sekurang-kurangnya 19 tahun.
2. Calon istri, syaratnya antara lain beragama Islam, benar-benar perempuan, tidak
karena terpaksa, halal bagi calon suami, tidak bersuami, tidak sedang ihram haji
atau umrah, dan usia sekurang-kurangnya 16 tahun.
3. Sigat akad, yang terdiri atas ijab dan kabul. Ijab dan kabul ini dilakukan olehy
wali mempelai perempuan dan mempelai laki-laki. Ijab diucapkan wali mempelai
perempuan dan kabul diucapkan wali mempelai laki-laki.
4. Wali mempelai perempuan, syaratnya laki-laki, beragama islam, baligh (dewasa),
berakal sehat, merdeka (tidak sedang ditahan), adil, dan tidak sedang ihram haji
atau umrah. Wali inilah yang menikahkan mempelai perempuan atau mengizinkan
pernikahannya.
Sabda Nabi Muhammad saw.:
Dari Aisyah ra., Rasulullah saw. bersbda: “perempuan mana saja yang menikah
tanpa izin walinya, maka pernikahan itu batal (tidak sah)”. (HR. Al-Arba’ah
kecuali An-Nasa’i)
Mengenai susunan dan urutan yang menjadi wali adalah sebagai berikut:
Bapak kandung, bapak tiri tidak sah menjadi wali.
Kakek, yaitu bapak dari bapak mempelai perempuan.
Saudara laki-laki kandung.
Saudara laklaki sebapak.
Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung.
Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak.
Paman (saudara laki-laki bapak).
Anak laki-laki paman.
Hakim. Wali hakim berlaku apabila wali yang tersebut di atas semuanya
tidak ada, sedang berhalangan, atau menyerahkan kewaliannya kepada
hakim. .
5. Dua orang saksi, syaratnya laki-laki, beragama islam, baligh (dewasa), berakal
sehat, merdeka (tidak sedang ditahan), adil, dan tidak sedang ihram haji atau
umrah. Pernikahan yang dilakukan tanpa saksi adalah tidak sah.
Sabda Nabi Muhammad saw.:
Dari Aisyah ra., Rasulullah saw. bersabda: “Tidak sah nikah melainkan dengan
wali dan dua orang saksi yang adil.” (HR. Ibnu Hiban)
D. Pernikahan Terlarang
Pernikahan yang terlarang aalah pernikahan yang di haramkan oleh agama Islam.
Adapun penikahan yang terlarang adalah sebagai berikut:
1. Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah adalah pernikahan yang diniatkan dan diakadkan untuk sementara
waktu saja (hanya untuk bersenang-senang), misalnya seminggu, satu bulan, atau
dua bulan. Masa berlakunya pernikahan dinyatakan terbatas. Nikah mut’ah telah
dilarang oleh rasulullah saw. sebagaimana dijelaskan dalam suatu hadits:
Dari Rabi’ bin Sabrah al-Juhani bahwasannya bapaknya meriwayatkan, ketika dia
bersama rasulullah saw., beliau bersabda: “wahai sekalian manusia, dulu pernah
aku izinkan kepada kamu sekalian perkawinan mut’ah, tetapi ketahuilah
sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat”. (HR. Muslim)
2. Nikah Syigar
Nikah syigar adalah apabila seorang laki-laki mengawinkan anak perempuannya
dengan tujuan agar seorang laki-laki lain menikahkan anak perempuannya kepada
laki-laki (pertama) tanpa mas kawin (pertukaran anak perempuan). Perkawinan ini
dilarang dengan sabda Rasulullah saw.
Dari Ibnu Umar ra., sesungguhnya Rasulullah saw. melarang perkawinan syigar.
(HR. Muslim)
3. Nikah Muhallil
Nikah muhallil adalah pernikahan yang dilakukan seorang laki-laki terhadap seorang
perempuan yang tidak ditalak ba’in, dengan bermaksud pernikahan tersebut
membuka jalan bagi mantan suami (pertama) untuk nikah kembali dengan bekas
istrinya tersebut setelah cerai dan habis masa idah.
Dikatakan muhallil karena dianggap membuat halal bekas suami yang menalak ba’in
untuk mengawini bekas istrinya. Pernikahan ini dilarang oleh rasulullah saw. dengan
hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud:
Dari Ibnu Abbas ra., Rasulullah saw. melaknat muhallil (yang mengawini setelah
ba’in) dan muhallil lalu (bekas suami pertama yang akan mengawini kembali). (HR.
Al-Kamsah kecuali Nasai)
4. Kawin dengan pezina
Seorang laki-laki yang baik-baik tidak diperbolehkan (haram) mengawini perempuan
pezina. Wanita pezina hanya diperbolehkan kawin dengan laki-laki pezina, kecuali
kalau perempuan itu benar-benar bertobat.
Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an.
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau
perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan
oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu
diharamkan atas orang-orang yang mu'min” (Q.S An-Nur/24:3)
Akan tetapi, kalau perempuan pezina tersebut sudah bertobat, halallah perkawinan
yang dilakukannya. Sesuai dengan sabda Rasulullah saw.:
Dari Abu Ubaidah bin abdullah dari ayahnya berkata: “Bersabda rasulullah saw.:
Orang yang bertobat dari dosa tidak ada lagi dosa baginya.” (HR. Ibnu Majah)
Dengan demikian, secara lahiriah perempuan pezina kalau benar-benar bertobat,
maka dapat kawin dengan laki-laki yang bukan pezina (baiuk-baik).
E. Hikmah Pernikahan
Pernikahan adalah ikatan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami
istri. Ia merupukan pintu gerbang kehidupan berkeluarga yang mempunyai pengaruh
terhadap keturunan dan kehidupan masyrakat. Keluarga yang kokoh dan baik menjadi
syarat penting bagi kesejahteraan masyarakat dan kebahagiaan umat manusia pada
umumnya.
Agama mengajarkan bahwa pernikahan adalah sesuatu yang suci, baik, dan
mulia. Pernikahan menjadi dinding kuat yang memelihara manusia dari kemungkinan
jatuh ke lembah dosa yang disebabkan oleh nafsu birahi yang tak terkendalikan.
Banyak sekali hikmah yang terkandung dalam pernikahan, antara lain sebagai
kesempurnaan ibadah, membina ketentraman hidup, menciptakan ketenangan batin,
kelangsungan keturunan, terpelihara dari noda dan dosa, dan lain-lain. Di bawah ini
dikemukakan beberapa hikmah pernikahan.
1. Pernikahan dapat Menciptakan Kasih Sayang dan Ketentraman
Manusia sebagai makhluk yang mempunyai kelengkapan jasmaniah dan
rohaniah sudah pasti memerlukan ketenangan jasmaniah dan rohaniah. Kenutuhan
jasmaniah perlu dipenuhi dan kepentingan rohaniah perlu mendapat perhatian.
Ada kebutuhan pria yang pemenuhnya bergantung kepada wanita. Demikian juga
sebaliknya. Pernikahan merupakan lembaga yang dapat menghindarkan
kegelisahan. Pernikahan merupakan lembaga yang ampuh untuk membina
ketenangan, ketentraman, dan kasih sayang keluarga.
Allah berfirman:
Karena itu nikahilah mereka dengan izin tuannya dan berilah mereka maskawin
yang pantas,karena mereka adalah perempuan-perempuan yang memelihara diri,
bukan pezina dan bukan (pula) perempuan yang mengambil laki-laki sebagai
piarannya. (QS. An-Nisa/4:25)
5. Pernikahan Dapat Menjauhkan Perzinahan
Setiap orang, baik pria maupun wanita, secara naluriah memiliki nafsu seksual.
Nafsu ini memerlukan penyaluran dengan baik. Saluran yang baik, sehat, dan sah
adalah melalui pernikahan. Jika nafsu birahi besar, tetapi tidak mau nikah dan
tetap mencari penyaluran yang tidak sehat, dan melanggar aturan agama, maka
akan terjerumus ke lembah perzinahan atau pelacuran yang dilarang keras oleh
agama.
Firman Allah dalam Surah Al-isra ayat 32:
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al-Isra/17:32)
G. Iddah
1. Definisi Iddah
Secara bahasa berasal dari kata “adda” yang artinya menghitung. Maksudnya
adalah masa menunggu atau menanti yang dilakukan wanita yang baru diceraikan
oleh suaminya, dimana ia tidak boleh menikah atau kawin dengan orang lain
sebelum habis waktu menunggu tersebut. Hal ini sesuai dengan tuntunan Allah
Swt. dalam firman-Nya, ”Wanita – wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru’ (suci haidh).”
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.
Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-
suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami)
menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai
satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana. (Q.S. Al – Baqarah: 228)
2. Hikmah Iddah
a) Menjaga nasab dan keturunan, sehingga keteraturan kehiduan manusia
menjadi terpelihara.
b) Penegasan apakah wanita yang dicerai itu hamil atau tidak.
c) Memberi kesempatan dan peluang kepada suami dan istri yang telah bercerai
untuk rujuk kembali dan memperbaiki hubungan.
d) Kasih sayang Allah Swt. kepada hamba-Nya dengan menyadari bahwa selama
masa menunggu itu orang akan sadar betapa nikmat hidup beristri /
bersuamidan betapa malangnya hidup sendirian.
e) Menghormati almarhum suami yang meninggal, bila iddahnya di tinggal oleh
suami.
H. Rujuk
1. Pengertian Rujuk
Secara bahasa berarti kembali atau menahan. Secara istilah adalah keinginan
kembali suami untuk kembali bersatu dengan istrinya, selama masa iddah dalam
kasus talak raj’i.
Allah berfirman dalam surat Al – Baqarah [2] ayat 228 yang artinya, ”Dan suami
– suaminya yang berhak merujuknya dalam masa menanti itu, jika mereka (para
suami) itu menghendaki ishlah.”
Para ulama sepakat bahwa seorang suami boleh rujuk kembali dengan istrinya
selama kasus cerainya bukan dengan talak tiga (talak bain kubra’).
2. Jenis Rujuk
Rujuk talak raf’i: cukup dengan ucapan atau langsung menggauli istrinya dan
tidak diwajibkan atas suami memberikan mahar, ada wali, dan tidak perlu izin
dari istrinya, selama masa iddahnya belum berakhir.
Rujuk talak ba’in: rujuk yang dilakukan seorang suami kepada istrinya setelah
masa iddahnya habis, wajib baginya melakukan akad, mahar, wali, dan hal
lainnya sebagaimana lazimnya dalam sebuah pernikahan.
A. Mawaris
Kata mawaris berasal dari kata waris (bahasa arab) yang berarti mempusakai harta
orang yang sudah meninggal kepada ahli warisnya. Ahli waris adalah orang- orang yang
mempunyai hak untuk mendapat bagian dari harta peninggalan orang yang telah
meninggal. Ahli waris dapat digolongkan menjadi dua, yaitu ahli waris laki- laki dan
perempuan seperti yang tercantum dalam surah Al- Baqarah: 188.
“dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.” (QS. Al- Baqarah ayat188)
Ahli Waris Laki - Laki ada 15 orang
Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah
ditetapkan. (Q.S. An- Nisa: 7)
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-
isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak,
maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi
wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai
anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan)
sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan
(seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam
harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya
atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli
waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari
Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.” (Q.S An- Nisa’ : 12(
Assabah
Asabah adalah ahli waris yang bagian penerimanya tidak ditentukan, tetapi
menerima dan menghabiskan sisanya. Apabila yang meninggal itu tidak mempunyai
ahli waris yang mendapat bagian tertentu(zawil wurud), maka harta peninggalan itu
semuanya diserahkan kepada asabah. Akan tetapi apabila ada di antara ahli waris
yang mendapat bagian tertentu,maka sisanya menjadi bagian asabah yang dibagi
menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut :
a. Asabah binafsif
Asabah binafsih, yaitu asabah yang berhak mendapat semua harta atau
semua sisa, diatur menurut susunan berikut.
1. Anak laki- laki
2. Cucu laki- laki dari anak laki- laki dan terus ke bawah asal saja
pertaliannya masih terus laki-laki.
3. Bapak
4. Kakkek dari pihak bapak dan terus keatas, asal saja pertaliannya belum
putus dari pihak bapak
5. Saudara laki- laki sekandung
6. Saudara laki- laki sebapak
7. Anak saudara laki- laki kandung
8. Anak saudara laki- laki sebapak
9. Paman yang sekandung dengan bapak
10. Paman yang sebapak dengan bapak
11. Anak laki laki paman yang sekandung dengan bapak
12. Anak laki- laki yang sebapak demgan bapak
13. Laki- laki atau perempuan yang memerdekakan (budak)
b. Asabah bilgair
Perempuan ada juga yang menjadi asabah dengan ketentuan sebagai
berikut :
1. Anak laki- laki dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi asabah
dengan ketentuan bahwa untu laki-laki mendapat bagian dua kali
perempuan.
2. Cucu laki- laki dari anak laki- laki dapat menarik saudaranya yang
perempuan menjadi asabah.
3. Saudara laki- laki sekandung juga dapat menarik saudaranya yang
perempuan menjadi asabah.
4. Saudara laki- laki sebapak juga dapat emnarik saudaranya yang perempuan
menjadi asabah.
Jika ahli waris yang ditinggalkan dua orang saudaranya atau lebih, maka cara
pembagiannya ialah untuk saudara laki-laki dua kali lipat perempuan. Hal ini
terdapat dalam :
Faktor Eksternal
a. Berkembangannya ajaran teologi asy’ari dan tasawuf al-Ghazali yang
mengajarkan tawakal dan fatalisme
b. Dominan pengaruh Turki di dunia Islam
c. Serangan Mongol ke Baghdad
d. Perang Salib
Faktor Eksternal
Daulah Ummayyah yang berada dalam posisi yang lemah karena faktor-faktor
tersebut diatas, muncul serangan dari kristen yang sudah menyatu. Akibatnya
Cordova jatuh di bawah kekuasaan Kristen. Dengan jatuhnya Cordova, mka daerah
kekuasaan Daulah Umayyah yang lainnya dapat pula dikuasai oleh orang Kristen
dengan mudah.
M.M Sharif dalam bukunya Muslim Thought, mengungkapkan gejala
kemunduran pendidikan dan kebudayaan islam tersebut sebagai berikut: “...telah kita
saksikan bahwa pikiran Islam telah melaksanakan satu kemajuan yang hebat dalam
jangka waktu yang terletak diantara abad ke VIII dan abad ke XIII M...sebagai satu
perbekalan yang matang untuk menjadi dasar pokok dalam mengadakan
pembangkitan Eropa(renaissance)”
Selanjutnya diungkapkan oleh M.M Sharif, bahwa pikiran Islam menurun
setelah abad ke XIII M dan terus melemah sampai abad ke XVIII M.
1. Telah berkelebihan filsafat Islam, Al-Ghazali mendapat sukses di Timur dan
Ibnu Rusyd mendapat sukses di Barat.
2. Umat islam terutama para pemerintahannya melalaikan ilmu pengetahuan dan
kebudayaan dan tidak memberi kesempatan untuk berkembang.
3. Terjadinya pemberontakan yang dibarengi dengan serangan dari luar, sehingga
menimbulkan kehancuran yang mengakibatkan berhentinya kegiatan
pengembangan ilmu pengetahuan.
Dengan semakin ditinggalkannya pendidikan intelektual, maka semakin statis
perkembangan kebudayaan islam, karna daya intelektual generasi penerusnya tidak
mampu mengadakan kreasi-kreasi budaya baru. Kehancuran total yang dialami oleh
kota Baghdad dan Granada sebagai pusat-pusat pendidikan dan kebudayaan,menandai
runtuhnya sendi pendidikan dan kebudayaan islam. Kebekuan intelektual dalam
kehidupan kaum muslimin yang diwarnai dengan berkembangnya berbagai macam
aliran sufi yang karena terlalu toleran terhadap ajaran mistik yang berasal dari agama
lain (Hindu, Budha, Neo Platonisme) telah memunculkan berbagai macam tarikat
yang menyimpang jauh dari ajaran islam, telah memunculkan berbagai tariqat yang
menyimpang jauh dari ajaran agama islam.