Anda di halaman 1dari 14

TUGAS FARMAKOTERAPI

MATERI PUD dan GERD


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Farmakoterapi

Disusun oleh:
Mailatullia Khariri (16020200050)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN RUMAH SAKIT ANWAR MEDIKA
SIDOARJO
2019

i
Kerjakan soal di bawah ini
No absen ganjil
Kasus PUD
1. Ny. TK 50 th mengalami mual muntah, nyeri perut, dan kepala sakit dari tengkuk menjalar ke
kepala, pasien mengaku sudah 2 hari merasakan gejala tersebut, riwayat penyakit pasien adalah
DM, GDP pasien 190 mg/dl, dan telah menjalani terapi metformin 500 mg 3x1 dan glimepiride 2
mg 1x1 selama 1 tahun, pasien juga mengaku satu bulan mengkonsumsi natrium diklofenak
dikarenakan nyeri pada otot, hasil lab penunjang:
GDP 190 mg/dl
H pylori (-)
TD 120/90 mmHg
Terapi yang diberikan:
Metformin 500 mg 3x1
Glimepiride 2 mg 1x1
Amoxicillin 500 mg 3x1
Lansoprazole 2 mg 1x1
Bagaimana rencana pelayanan kefarmasian yang dilakukan
(buat SOP)
Berikan alasannya, mohon sertakan flowchart penatalaksanaan PUD
JAWABAN
1. Analisa SOP dan Flowchart Penatalaksanaan pada Studi Kasus Peptic Ulcer Diases
a. Analisa SOAP
Subjek  Nama : Ny TK
 Jenis Kelamin : Perempuan
 Umur : 50 Tahun
 Riwayat Kesehatan : Diabetes Melitus,
 Riwayat Pengobatan :
Metformin 500mg
Glimepirid 2 mg
Amoxicillin 500 mg
Lansoprazole 2 mg
Objek  Tanda-tanda : mual muntah, nyeri perut, dan kepala
sakit dari tengkuk menjalar ke kepala
 Data Penunjang Lab :
GDP 190 mg/dl
H pylori (-)
TD 120/90 mmHg
 Hipotesis : Peptic Ulcer
 Obat yang pernah dikonsumsi : OAINS
“Na.Diklofenak” selama satu bulan
Asessment  Pasien menderita DM dikarenakan pasien
mengalami nyeri otot maka pasien mengkonsumsi
OAINS “Na.Dicklofenak” selama satu bulan dan
mengalami tanda gejala mual muntah, nyeri perut,
dan kepala sakit dari tengkuk menjalar ke kepala
Planning  Mengatasi gejala penyakit mual muntah, nyeri
perut, dan sakit kepala
 Mengurangi progresivitas penyakit Diabetes
Melitus dan Peptic Ulser yang disebabkan OAINS
 Meningkatkan keadaan fisik dan psikis pasien
 Mengurangi resiko morbiditas dan mortalitas

b. Flowchart Penatalaksanaan Studi Kasus PUD


Diduga peptic ulcer yang dialami oleh pasien dikarenakan terinduksi OAINS Natrium
Dicklofenak selama 1 bulan

Peptic ulcer diinduksi NSID

NSID tidak dapat berhenti Menghentikan NSID

Melanjutkan NSID pada efektif Lini pertama menggunakan H2RA


dosis paling rendah dan durasi H pylori culture atau PPI atau Sucralfat
pendek dan ditambah PPI

H pylori + H pylori -
Untuk mengurangi resiko NSID
yang menginduksi ulcer,
mengganti dengan golongan
penghambat COX 2 selektif dan Menggunakan
ditambah misoprostol triple terapi atau
4 terapi
kombinasi

Penatalaksanaan terapi :
1) Non Farmakologi :
 Istirahat : Secara umum pasien tukak dianjurkan pengobatan rawat jalan, bila kurang
berhasil atau ada komplikasi baru dianjurkan rawat inap. Penyembuhan akan lebih
cepat dengan rawat inap walaupun mekanismenya belum jelas, kemungkinan oleh
bertambahnya jam istirahat, berkurangnya refluks empedu, stress dan penggunaan
analgesik. Stress dan kecemasan memegang peran dalam peningkatan asam lambung
dan penyakit tukak
 Diet : Makanan lunak apalagi bubur saring, makanan yang mengandung susu tidak
lebih baik daripada makanan biasa, karena makanan halus akan merangsang
pengeluaran asam. Cabai, makanan merangsang, makanan mengandung asam dapat
menimbulkan rasa sakit pada beberapa pasien tukak dan dispepsia non tukak,
walaupun belum dapat dibuktikan keterkaitannya
2) Farmakologi
Lini Pertama :
 Berdasarkan evidance base untuk PUD lini pertama dapat digunakan obat
golongan PPI lebih baik dari golongan AH2 blocker dan golongan antasida
dengan peptic ulcer disebabkan oleh induksi NSAID. Mekanisme kerja PPI
adalah memblokir kerja enzim KH ATPase yang akan memecah KH ATP akan
menghasilkan energi yang digunakan untuk mengeluarkan asam dari kanalikuli
serta pariental ke dalam lumen lambung. Panjang dapat menimbulkan kenaikan
gastin darah dan dapat menimbulkan tumor karsinoid pada tikus percobaan. Pada
manusia belum terbukti gangguan keamanannya pada pemakaian jangka panjang
(Tarigan, 2001). Penghambat pompa proton dimetabolisme dihati dan dieliminasi
di ginjal. Dengan pengecualian penderita disfungsi hati berat, tanpa penyesuaian
dosis pada penyakit liver dan penyakit ginjal. Dosis Omeprazol 20-40 mg/hr,
Lansoprazol 15-30 mg/hr, Rabeprazol 20 mg/hr, Pantoprazol 40 mg/hr dan
Esomeprazol 20-40 mg/hr (Lacy dkk, 2008). Inhibitor pompa proton memiliki
efek yang sangat besar terhadap produksi asam. Lansoprazol juga secara selektif
menghambat karbonat anhidrase mukosa lambung, yang kemungkinan turut
berkontribusi terhadap sifat suspensi asamnya (Parischa dan Hoogerwefh, 2008).
Efek samping obat golongan ini jarang, meliputi sakit kepala, diare, konstipasi,
muntah, dan ruam merah pada kulit. Ibu hamil dan menyusui sebaiknya
menghindari penggunaan PPI (Lacy dkk, 2008).
 Berdasarkan terapi yang diberikan sudah benar namun Dosis lansoprazole
seharusnya ialah Lansoprazole 30 mg 1x1 full dose 1 sampai 2 bulan diamati
keberhasilan terapi, jika gejala belum berkurang maka dilanjuykan lini kedua
dengan kombinasi 3 atau 4 obat kombinasi.
Lini Kedua :
Kombinasi terapi :
 Antagonis Reseptor H2 mengurangi sekresi asam lambung dengan cara
berkompetisi dengan histamin untuk berikatan dengan reseptor H2 pada sel
pariental lambung. Bila histamin berikatan dengan H2 maka akan dihasilkan
asam. Dengan diblokirnya tempat ikatan antara histamin dan reseptor digantikan
dengan obat-obat ini, maka asam tidak akan dihasilkan. Efek samping obat
golongan ini yaitu diare, sakit kepala, kantuk, lesu, sakit pada otot dan konstipasi
(Berardy and Lynda, 2005). Obat-obat Antagonis Reseptor H2 Obat Dosis
Frekuensi Simetidin Per oral 300 mg atau 400 mg 800 mg IV 300 mg 4x sehari 2x
sehari 1x sehari 4x sehari Ranitidin Per oral 150 mg atau 300 mg IV 50 mg 2x
sehari 1x sehari 3-4x sehari Famotidin Per oral 20 mg atau 40 mg IV 20 mg 2x
sehari 1x sehari 1x sehari Nizatidin Per oral 150 mg atau 300 mg 2x sehari 1x
sehai. Dapat dikombinasi dengan PPI evaluasi 1 bulan penuh full dosis.
 Pada kondisi adanya kerusakan yang disebabkan oleh asam, hidrolisis protein
mukosa yang diperantarai oleh pepsin turut berkontribusi terhadap terjadinya erosi
dan ulserasi mukosa. Protein ini dapat dihambat oleh polisakarida bersulfat. Selain
menghambat hidrolisis protein mukosa oleh pepsin, sulkrafat juga memiliki efek
sitoprotektif tambahan, yakni stimulasi produksi lokal prostagladin dan faktor
pertumbuhan epidermal (Parischa dan Hoogerwefh, 2008). Dosis sulkrafat 1gram
4x sehari atau 2gram 2x sehari. Efek samping yang sering dilaporkan adalah
konstipasi, mual dan mulut kering
Untuk pasien yang sudah sembuh dan melanjutkan penggunaan NSAID diberitahukan
potensial dari penggunaan obat dan harus review penggunaanya secara teratur (setidaknya
setiap 6 bulan). Dikurangi dosisnya atau diganti dengan parasetamol atau alternatif
analgesik lain atau low dose dengan ibuprofen 1,2 gram sehari. Untuk pasien resiko
tinggi yang melanjutkan NSAID bisa menggunakan gastrik protection atau diganti
selektif COX2
2. Kasus GERD
Tn KL, usia 45 tahun, BB 70 kg, TB 160 cm, datang ke dokter dengan keluhan sering merasakan
cairan berasa asam yang berasal dari saluran cerna saat bersendawa. Gejala sudah dirasakan
sejak 1 minggu ini. Frekuensinya keluarnya cairan asam tersebut cukup sering terjadi dan
biasanya memburuk jika perutnya penuh setelah makan. Selain itu Tn KL juga merasakan
terkadang nyeri ulu hati disertai rasa panas disekitar dada. Tn.KL sudah mengobatinya dengan
menggunakan Antasida 15 mL 4x sehari, namun tidak mengurangi gejala yang dirasakannya. Tn
KL sangat suka makanan bersantan dan pedas,merokok dan sesekali minum alkohol serta
terkadang minum kopi di pagi hari sebelum berangkat ke kantor. Dari hasil pemeriksaan
endoskopi, dokter mendiagnosis Tn KL menderita gastroesofageal refluks (GERD) disertai
adanya peradangan pada esofagus Satu (atau lebih ) ulser mukosa tidak lebih dari 5 mm namun
tidak sampai ke mucosa fold dan memberikan resep berupa Antasida sirup, Sukralfat sirup,
Ranitidin tablet dan Omeprazol kapsul selama 1 bulan
Dari uraian di atas maka didapatkan rumusan masalah sebagai berikut
1. Apa sajakah faktor pemicu terjadinya GERD pada Tn KL?
2. Pada pemeriksaan endoskopi didapatkan bahwa telah terjadi erosif esofagus pada pasien.
Bagaimana rekomendasi dosis obat lengkap dengan dosis dan aturan pakainya serta lama
terapi yang diresepkan untuk pasien Tn KL tersebut? Sertakan flowchart
3. Bagaimana mekanisme kerja obat yang diberikan kepada Tn KL?
4. Apakah saran yang diberikan untuk Tn KL terkait modifikasi gaya hidup supaya
efektivitas pengobatan GERD meningkat?

JAWABAN
1. Faktor pemicu / faktor resiko terjadinya GERD pada Tn.Kl adalah berkaitan dengan
kebiasaan atau gaya hidupnya seperti berikut : Tn KL sangat suka makanan bersantan dan
pedas,merokok dan sesekali minum alkohol serta terkadang minum kopi di pagi hari
sebelum berangkat ke kantor. Makanan tersebut dapat memicu rusaknya mukosa esofagus,
dan makanan bersantan atau berlemak dapat menurunkan tekanan LES.
2. Pasien diketahui mengalami atau terjadi erosif esofagus sehingga tatalaksana terapinya
sebagai berikut :
Lini Pertama
 Full dose PPI selama 1 atau 2 bulan : Dapat digunakan Omeprazole dengan dosis
Omeprazole 20 mg sekali sehari untuk full dose, jika ada respon maka digunakan low
dose dengan dosis omeprazole 10 mg sekali sehari
Lini Kedua
 Double dose PPI selama 1 bulan : Dalam hal ini digunakan omeprazole dengan
double dose yakni 40 mg sekali sehari, Jika ada respon digunakan low dose
omeprazole dengan dosis 10 mg sekali sehari.
Lini ketiga
 H 2RA atau prokinetik selama 1 bulan: Dalam hal ini digunakan sebagai H2RA
yakni ranitidin dengan dosis 150 mg 2 kali sehari atau depat diberikan prokinetik
Obat-obat prokinetik, dalam hal ini metoclopramide, bekerja dengan meningkatkan
kekuatan sfingter esofagus bagian bawah, peristaltis esofagus, dan mempercepat
pengosongan lambung.

3. Mekanisme Kerja Obat


1. Antasida sirup
Antasida adalah obat yang digunakan untuk menetralkan kadar asam di dalam lambung.
Pada dasarnya lambung membutuhkan asam yang berperan pada proses pencernaan serta
membunuh bakteri berbahaya yang ada di makanan. Namun, ketika lambung terlalu banyak
mengandung asam, kondisi tersebut dapat menimbulkan sakit maag.

Farmakodinamik

Farmakodinamik antasida yang absorbable sedikit berbeda dengan yang non-absorbable.


Antasida absorbable dinetralkan secara langsung oleh asam lambung. Ciri khasnya adalah
onset kerja obat yang cepat guna memberikan efek terapeutik yang diharapkan. Namun, masa
kerja obat ini pendek. Tingkat keasaman lambung, atau pH akan meningkat hingga 7 atau lebih
dalam waktu sekitar 15─20 menit. Keadaan tersebut dapat menstimulasi hipersekresi asam
lambung secara sekunder, yang disebut sebagai sindrom rebound. Hal ini biasanya terjadi pada
jenis obat Antasida yang mengandung natrium hidrogen karbonat.
Farmakodinamik obat-obat Antasida juga tergantung dari komposisi kationnya, seperti:

 Kation Aluminium adalah kandungan jenis Antasida yang terbaik menetralkan asam
hidroklorida, karena jenis Antasida ini memiliki fungsi sitoproteksi yang tinggi dan
mampu mengikat asam empedu secara efektif. Namun, obat ini menjadikan motilitas usus
menurun, sehingga menyebabkan konstipasi
 Kation garam Magnesium, memiliki kerja yang berlawanan dengan kation Aluminium
dalam soal motilitas usus. Obat jenis ini memiliki efek laksatif yang ringan.
 Kombinasi Aluminium dan Magnesium hidroksida memberikan onset kerja obat yang
lebih cepat dalam memberikan efek terapeutik terhadap gangguan lambung. Hal ini
terjadi karena terdapatnya komponen Magnesium hidroksida.

Farmakokinetik
Farmakokinetik antasida bergantung pada kandungan obatnya.
 Absorpsi
Tiap kandungan obat Antasida berbeda daya absorpsi. Untuk kandungan Magnesium
hitungannya adalah secara inversi proporsional terhadap dosis, yaitu 50% dengan diet
yang terkontrol, dibandingkan dengan 15─30% pada pemberian dosis tinggi.
Untuk kandungan Kalsium bioavailabilitas adalah 25─35%. Makanan akan
meningkatkan absorpsi obat 10─30%. Onset kerja obat tergantung pada lamanya
pengosongan lambung. Waktu puncak obat dalam plasma adalah 20─60 menit dalam
keadaan puasa. Apabila obat dikonsumsi satu jam setelah makan, maka kadar puncak
dicapai hingga 3 jam kemudian.
 Distribusi
Tiap kandungan obat Antasida berbeda distribusi obat. Untuk kandungan Magnesium
dapat ditemukan sekitar 50─60% pada tulang. Sekitar 1─2% didistribusikan kedalam
cairan ekstraseluler. Obat berikatan dengan protein, 30% dengan albumin. Untuk
kandungan Kalsium, obat berikatan dengan protein sebanyak 45%.
 Eliminasi
Renal clearance pada obat Antasida yang mengandung kalsium adalah 50─300 mg per
hari. Obat Antasida yang dapat diabsorpsi, akan diekskresikan ke urine. Sedangkan obat
Antasida yang tidak dapat diabsorpsi, akan diekskresikan ke feses.
 Resistensi
Pernah dilaporkan, beberapa kasus pasien dengan ulkus duodenum, yang resisten
terhadap pengobatan Antasida.

2. Sukralfat sirup
Farmakologi
sukralfat yang bekerja dengan membentuk sawar untuk melindungi mukosa lambung
sehingga berperan sebagai antiulkus.
Farmakodinamik
Sukralfat bekerja dengan cara membentuk kompleks polimer yang dapat melapisi
jaringan tukak dengan cara mengikat eksudat protein pada lokasi ulkus. Kompleks
polimer yang terbentuk berfungsi sebagai sawar/barrier yang mencegah keluarnya asam,
pepsin dan asam empedu/bile salts, sehingga dapat melindungi mukosa lambung dari
kerusakan lebih lanjut.
Farmakokinetik
Sukralfat hampir tidak diabsorbsi secara sistemik dan diabsorbsi hanya dalam jumlah
sedikit pada saluran gastrointestinal. Melalui rute pemberian oral, sukralfat yang terserap
hanya sekitar 5% dan aluminium yang terserap sekitar 0.005%. Sukralfat yang
terabsorbsi diekskresikan melalui urin (>90%) dalam bentuk tidak termetabolisme
(unchanged drug). Mula kerja obat (onset) sukralfat adalah 1-2 jam setelah dikonsumsi
dan teraktivasi. Waktu paruh (half life) sukralfat adalah 6 jam.

3. Ranitidine tablet
MEKANISME AKSI RANITIDINE (RANITIDIN)
a. Menghambat secara kompetitif histamin pada reseptor H2 sel-sel parietal lambung,
yang menghambat sekresi asam lambung; volume lambung dan konsentrasi ion hidrogen 
berkurang. Tidak mempengaruhi sekresi pepsin, sekresi faktor intrinsik yang distimulasi
oleh penta-gastrin, atau serum gastrin.
b. H2 antagonis adalah inhibitor kompetitif histamin pada reseptor H2 sel parietal.
Mereka menekan sekresi asam normal (alami) oleh sel parietal dan sekresi asam yang
dirangsang makan. Mereka melakukannya dengan dua mekanisme: histamin yang
dilepaskan oleh sel-sel ECL dalam perut diblokir dari pengikatan dengan reseptor H2 sel
parietal yang merangsang sekresi asam, dan zat lain yang meningkatkan sekresi asam
(seperti gastrin dan asetilkolin) efek yang dimiliki pada sel parietal dikurangi ketika
reseptor H2 diblokir.
c. Penghambatan kompetitif histamin pada H2-reseptor sel parietal lambung, yang
menghambat sekresi asam lambung, Volume lambung, dan konsentrasi ion hidrogen
berkurang. Tidak mempengaruhi sekresi pepsin, faktor intrinsik stimulasi sekresi
pentagastrin, atau serum gastrin.

Farmakologi

ranitidin sebagai antagonis reseptor histamin yang mensupresi sekresi asam lambung.

Farmakodinamik

Ranitidin merupakan antagonis kompetitif reversibel reseptor histamin pada sel parietal
mukosa lambung yang berfungsi untuk mensekresi asam lambung. Ranitidin mensupresi
sekresi asam lambung dengan 2 mekanisme:

 Histamin yang diproduksi oleh sel ECL gaster diinhibisi karena ranitidin menduduki
reseptor H2 yang berfungsi menstimulasi sekresi asam lambung

 Substansi lain (gastrin dan asetilkolin) yang menyebabkan sekresi asam lambung,
berkurang efektifitasnya pada sel parietal jika reseptor H2 diinhibisi.
Sekali pemberian ranitidin oral dengan dosis 50,100, 150, dan 200 mg mengurangi
produksi asam lambung dari stimulasi pentagastrin berturut-turut sebanyak 42%, 75%,
85%, dan 95% pada subjek sehat. Pemberian ranitidin 150 mg dosis tunggal produksi
asam lambung basal terinhibisi sebanyak 70% pada 5 jam setelah pemberian dan 38%
setelah 10 jam. Pada pasien ulkus duodenal, pemberian ranitidin 150 mg b.i.d mengurangi
70% tingkat keasaman lambung selama 24 jam, serta mengurangi produksi asam lambung
nokturnal sebanyak 90%.

Farmakokinetik

Farmakokinetik ranitidin terdiri dari aspek absorbs, distribusi, metabolisme, dan


ekskresinya.

Absorbsi

Ranitidin dapat diadministrasi lewat injeksi oral, intramuskular, dan intravena.


Penyerapan ranitidin lewat rute oral (bioavailabilitas) 50% diabsorbsi dan mencapai peak
plasma concentration dicapai dalam waktu 1-2 jam. Absorbsi tidak dipengaruhi oleh
makanan atau antasida. Setelah pemberian oral, dosis 150 mg mean plasma
concentration sekitar 400 ng/ml.

Penyerapan ranitidin lewat rute injeksi intramuskular dosis 50 mg sangat cepat dengan
mean plasma concentration 576 ng/ml dalam 15 menit atau kurang. Bioavailabilitas
mencapai 90-100%.

Penyerapan ranitidin lewat rute injeksi intravena mencapai mean plasma concentration
440-545 ng/mL dalam 2-3 jam.

Distribusi

Didistribusikan secara luas, termasuk ASI, menyeberangi sawar darah otak dan  plasenta.
Konsentrasi ranitidin di cairan serebrospinal 1/20 sampai 1/30 konsentrasi di plasma pada
waktu yang sama. Volume distribusi 1,4 L/kg (1,2-1,8 L/kg). Ikatan plasma protein 15%.
Metabolisme

Metabolisme ranitidin terjadi di hepatik, dengan total pembersihan sebanyak 30% dari
total body clearance setelah pemberian IV, dan 73% setelah pemberian oral. Hasil
metabolisme ranitidin adalah N-oksida sebagai metabolit utama sebanyak <4% dari total
dosis yang diadministrasi, S-oksida (1%) dan desmetil ranitidin (1%) yang ditemukan di
urin. Sisa dari dosis yang diberikan ditemukan pada feses. Pada pasien dengan disfungsi
hepar (sirosis) terdapat gangguan metabolisme ranitidin (waktu paruh, distribusi,
pembersihan, dan bioavailabilitas) namun bersifat minor dan insignifikan.

Ekskresi

Ekskresi ranitidin dilakukan via renal dengan rata-rata 530 mL/menit hingga 760
mL/menit yang menandakan ekskresi tubular aktif. Waktu paruh eliminasi berkisar 2
hingga 3 jam. Ekskresi ranitidin (unchanged form) di urin pada pemberian oral 30% dan
70% pada pemberian IV dalam 24 jam, sisanya dieksresikan lewat feses.Pasien dengan
gangguan fungsi renal (pembersihan kreatinin 25-35 ml/menit) pemberian ranitidin IV
dosis 50 mg memiliki waktu paruh 4,8 jam, eksresi ranitidin 29 ml/menit.

4. Omeprazole Tablet

Omeprazole adalah obat untuk mengatasi masalah perut dan kerongkongan yang


diakibatkan oleh asam lambung. Cara kerjanya adalah dengan menurunkan kadar asam yang
diproduksi perut. Omeprazole juga dapat meringankan gejala panas perut, kesulitan
menelan, dan batuk yang tak kunjung hilang. Fungsi lainnya adalah membantu
menyembuhkan kerusakan asam di perut dan kerongkongan, membantu mencegah luka
lambung, dan dapat juga mencegah kanker kerongkongan. Omeprazole tergolong dalam obat
golongan proton pump inhibitors (PPIs).
4. Gaya hidup yang dianjurkan untuk penderita GERD

a. menghindari mengonsumsi makanan dalam jumlah besar/banyak secara langsung

b. berhenti makan sebelum kenyang, tidak makan sebelum lapar

c. menghindari konsumsi makanan yang: asam (produk berbasis tomat, jeruk), alkohol,
minuman berkafein, coklat, bawang putih, bawang merah, dan peppermint.

d. berhenti merokok dan hindari terpapar asap (rokok).

e. turunkan berat badan, bila kegemukan (obesitas).

f. hindari memakai pakaian yang terlalu ketat atau mengikat pinggang

g. tinggikan kepala saat tidur 10-20 cm

h. kurangi asupan lemak

i. hindari langsung tidur, tiduran, atau berbaring selama 3-4 jam setelah makan

j. hindari konsumsi obat yang berpotensi memunculkan gejala-gejala GERD, misalnya:


obat golongan calcium channel blockers, agonis beta, agonis alfa-adrenergik, teofilin,
nitrat, dan beberapa obat dari golongan sedatif.

Anda mungkin juga menyukai