Anda di halaman 1dari 11

Mata Kuliah (MK) : AGAMA HINDU

Kode MK/SKS : DIMPK 107/2 SKS


Pertemuan : 5
Topik : Pokok-pokok Sradha dalam Agama Hindu

5.1 Panca Sradha


Secara etimologi panca sradha berasal dari kata panca dan sradha. Panca berarti lima dan
sradha berarti keyakinan. Jadi panca sradha adalah lima keyakinan yang dimiliki oleh umat
Hindu.
1. Percaya terhadap adanya Brahman
2. Percaya terhadap adanya atman
3. Percaya terhadap adanya karmaphala
4. Percaya terhadap adanya punarbhawa
5. Percaya terhadap adanya moksa
Çraddhaya satyam apnoti, çradham satye prajapatih.
artinya : dengan sradha orang akan mencapai Tuhan, Beliau menetapkan, dengan sradha menuju
satya. (Yajur Veda XIX.30)
 
1. Tuhan Yang Maha Esa / Sang Hyang Widi Wasa
Tuhan adalah sumber dari segala yang ada dan akhir dari segala yang tercipta.
Ekam eva advityam Brahman yang berarti Tuhan hanya satu tidak ada yang kedua.(CU IV.2.1)
eko narayana na dwityo’sti kascit yang berarti hanya satu Tuhan sama sekali tidak ada duanya.
Dengan melihat kedua sloka diatas dapat disimpilkan bahwa Tuhan itu esa/satu tidak ada duanya.
Kita mengenal adanya Tri Purusa yaitu :
Paramasiwa : Tuhan yang tidak bisa dipikirkan, tak terbayangkan, murni, nirguna Brahman,
trasenden.
Sadasiwa : Tuhan yang imanen, saguna Brahman disinilah Tuhan memiliki sifat seperti Cadhu
sakti,astaiswarya.
Siwatman : Tuhan yang ada didalam makluk hidup.
sifat Tuhan :
Cadhu sakti :
Wibhu sakti artinya Tuhan bersifat maha ada
Prabhu sakti artinya Tuhan bersifat maha kuasa
Jnana sakti artinya Tuhan bersifat maha tahu
Kriya sakti artinya Tuhan bersifat maha karya
Astaiswarya :
Anima berarti kecil sekecil-kecilnya, lebuh kecil dari atom
Laghima berarti ringan seringan ringannya, lebih ringan dari udara
Mahima berarti maha besar, memenuhi ruangan
Prapti berarti serba sukses, dapat mencapai segala sesuatu yang dikehendaki
Prakamya berarti segala keinginan dapat tercapai
Isittwa berarti maharaja atau raja diraja
Wasitwa berarti maha kuasa dan mengatasi segala-galanya
Yatrakamawasayitwa berarti segala kehendaknya tak ada dapat menentang
 
2. Atman
Atman adalah sinar suci / bagian terkecil dari Brahman ( Tuhan Yang Maha Esa ). Atman berasal
dari kata AN yang berarti bernafas. Setiap yang bernafas mempunyai atman, sehingga mereka
dapat hidup. Atman adalah hidupnya semua makluk ( manusia, hewan, tumbuhan dan
sebagainya). Kitab suci Bhagawad gita menyebutkan sebagai berikut :
“aham atma gudakesa, sarwabhutasaya-sthitah, aham adis ca madhyam ca, bhutanam anta eva
ca”
artinya :
O, Arjuna, aku adalah atma, menetap dalam hati semua makluk, aku adalah permulaan,
pertengahan, dan akhir daripada semua makluk.( Bhagawadgita X.20 )
Sifat – sifat atman meliputi :
a) acchedya berarti tak terlukai senjata,
b) adahya berarti tak terbakar oleh api,
c) akledya berarti tak terkeringkan oleh angin,
d) acesya berarti tak terbasahkan oleh air,
e) nitya berarti abadi,
f) sarwagatah berarti ada di mana-mana,
g) sathanu berarti tidak berpindah – pindah,
h) acala berarti tidak bergerak,
i) awyakta berarti tidak dilahirkan,
j) achintya berarti tak terpikirkan,
k) awikara berarti tidak berubah,
l) sanatana berarti selalu sama.
 
3. Karmaphala
Secara etimologi karmaphala berasal dari kata karma yang berarti perbuatan dan phala yang
berarti hasil. Jadi karmaphala berarti hasil dari perbuatan yang kita lakukan. Hindu mengenal
adanya hukum karmaphala yaitu hukum sebab akibat, setiapperbuatan yang kita lakukan pasti
akan mendapakan hasilnya.
Berdasarkan waktu diterimanya phala dari suatu karma dibedakan menjadi tiga.
a.Sancita Karma Phala: Perbuatan dimas lampau/kehidupan lalu pada kehidupan sekerang kita
terima hasilmnya.
b.Prarabda: Pebuatan sekarang sekarang juga kita terima hasilnya
c.Kryamana: Perbuatan pada kehidupan sekarang belum habis diterima hasilnya maka akan kita
terima dapa kehidupan yang akan datang.
 
4. Punarbhawa
Punarbhawa berasal dari kata punar yang berarti kembali dan bhawa yang berarti menjelma /
lahir. Jadi punarbhawa adalah kelahiran kembali. Punarbhawa juga sering disebut dengan
Reinkarnasi.
“bahuni me vyatitani janmani tava carjuna, tany aham veda sarvani na tvam vettha parantapa”.
arti : Banyak kelahiran-Ku dimasa lalu, demikian pula kelahiranmu,Arjuna;semuanya ini Aku
mengetahuinya, tetapi engkau sendiri tidak, wahai Arjuna.( Bhagawadgita IV.5 )
 
5. Moksa
Moksa berasaldari akar kata “muc” yang berarti bebas. Bebas dari segala ikatan karma, ikatan
duniawi( suka dan duka ) ikatan hidup, ikatan cinta kasih dll.
Tingkatan moksa :
1.SAMIPYA : Moksa dapat dicapai oleh para maha Rsi/yogi dengan kematangan tapa membuka
intuisinya sehingga dapat menerima wahyu dan memahami hakekakat hidup sejati.
2.SARUPYA/ SADARMYA : Moksa yang dicapai oleh kesadaran sejati ketika atman dapat
mengatasi segalanya . Hal ini dapat dicapai oleh Awatara. Beliau bisa mengatasi segalanya dan
dapat menentukan sendiri kapan akan meninggalkian dunia ini.
3.SALOKYA : Adalah tingkatan Moksa yang dicapai oleh atman yang telah mampu mencapai
tingkat Tuhan. Misalnya leluhur yang telah diaben.
4.SAYUJYA : Adalah tingkat kebebasan yang paling tinggi dimana atman telah bersatu dengan
Brahman. Brahman Atman Aikyam. Brahman dan Atman tunggal.

5.2 Tri Kerangka Dasar Agama Hindu


Ajaran agama Hindu dibangun dalam tiga kerangka dasar, yaitu tattwa, susila, dan acara agama.
Ketiganya adalah satu kesatuan integral yang tak terpisahkan serta mendasari tindak keagamaan
umat Hindu. Tattwa adalah aspek pengetahuan agama atau ajaran-ajaran agama yang harus
dimengerti dan dipahami oleh masyarakat terhadap aktivitas keagamaan yang dilaksanakan.
Susila adalah aspek pembentukan sikap keagamaan yang menuju pada sikap dan perilaku yang
baik sehingga manusia memiliki kebajikan dan kebijaksanaan, wiweka jnana.Sementara itu
aspek acara adalah tata cara pelaksanaan ajaran agama yang diwujudkan dalam tradisi upacara
sebagai wujud simbolis komunikasi manusia dengan Tuhannya. Acara agamaadalah wujud
bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widdhi Wasa dan seluruh manifestasi-Nya. Pada dasarnya
acara agama dibagi menjadi dua, yaitu upacara dan upakara. Upacara berkaitan dengan tata cara
ritual, seperti tata cara sembahyang, hari-hari suci keagamaan (wariga), dan rangkaian upacara
(eed). Sebaliknya, upakara adalah sarana yang dipersembahkan dalam upacara keagamaan.

Dalam fenomena keberagamaan Hindu di Bali, acara agama tampaknya lebih menonjol
dibandingkan dengan aspek lainnya. Acara agama yang seringkali juga disebut upacara atau
ritual keagamaan merupakan pengejawantahan dan tattwa dan susila agama Hindu. Acaraagama
meliputi keseluruhan dari aspek persembahan dan bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa/Ida
Sang Hyang Widhi Wasa yang disebut yadnya. Pada dasarnya yadnya dalam agama Hindu dapat
dibagi menjadi dua, yakni nitya karma dan naimittika karma. Nitya yadnya adalahyadnya yang
dilaksanakan sehari-hari, misalnya yadnya sesa atau mesaiban. Sebaliknya,naimittika yadnya
adalah yadnya yang dilaksanakan secara berkala atau pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada
saat piodalan, rerahinan, dan hari raya keagamaan Hindu lainnya (Tim, 2005). Akan tetapi sejauh
ini masih banyak pihak yang meragukan bahwa acara agamayang tampak dominan di Bali,
adalah bertentangan dengan isi kitab suci Weda. Oleh karena itu dalam makalah ini akan
diuraikan tentang acara agama Hindu yang pelaksanannya terformulasikan dalam bentuk Panca
Mahayadnya. 

Memahami Kerangka Dasar Agama Hindu

Agama Hindu yang diwarisi di Bali sekarang merupakan kelanjutan dari mashab
Saivasiddhantayang mulanya berkembang di India Selatan. Akan tetapi perkembangannya lebih
lanjut beradaptasi dengan kebudayaan setempat dan membentuk kebudayaan baru. Kearifan
lokal Indonesia menjadi kekuatan filterisasi yang memiliki kemampuan untuk menyeleksi
pengaruh segala jenis kebudayaan dari India. Hal ini menjadikan kebudayaan asli daerah tampak
eksis mendukung pelaksanaan agama Hindu yang datang belakangan. Artinya, agama Hindu
yang datang dari India berinteraksi dengan kebudayaan asli daerah sehingga menjadikan agama
Hindu di Indonesia mempunyai warna yang berbeda dengan induknya, India. Seperti
dikemukakan oleh Bosch (Ayatrohaedi, 1986:72) bahwa unsur kebudayaan India sebaiknya
dianggap sebagai zat penyubur yang menumbuhkan kebudayaan Hindu di Indonesia, yang tetap
memperlihatkan kekhasannya. Kearifan lokal (local genius) inilah yang sesungguhnya
menjadikan agama Hindu Indonesia, khususnya di Bali, tampak berbeda dengan pelaksanaan
Agama Hindu di India.

Mashab Saiwasidhanta mendasarkan filosofinya pada Siwatattwa. Siwatattwa mengajarkan


bahwa Tuhan yang tertinggi adalah Bhatara Siwa. Bhatara Siwa adalah asal dan kembalinya
segala yang ada. Beliau adalah Brahman bagi Upanisad, Mahawisnu bagi Waisnawa, Khrisna
bagiBhagavadgita, dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa bagi umat Hindu di Indonesia.
DalamJnanasidhanta dikatakan bahwa Bhatara Siwa yang esa dipuja dalam yang banyak dan
yang banyak dalam yang esa (ekatva anekatva svalaksana Bhatara). Sejalan dengan ini,
Vedamengatakan “ekam sat viprah bahuda vadanti”, Engkau yang tunggal dipuja dalam banyak
nama. Jadi, secara esensial tattwa yang dianut oleh umat Hindu di Bali tiadalah berbeda dengan
konsepsi ketuhanan dalam Veda. Artinya, Agama Hindu yang selama ini diwarisi di Bali tidak
bertentangan dengan ajaran Veda sebagai sumber tertinggi Agama Hindu.

Tattwa 
Tattwa berasal dari kata tat dan twa. Tat berarti ”itu” dan twa juga berarti ”itu”. Jadi secara
leksikal kata tattwa berarti ”ke-itu-an”. Dalam makna yang lebih mendalam kata tattwabermakna
”kebenaranlah itu”. Kerapkali tattwa disamakan dengan filsafat ketuhanan atau teologi. Di satu
sisi, tattwa adalah filsafat tentang Tuhan, tetapi tattwa memiliki dimensi lain yang tidak
didapatkan dalam filsafat, yaitu keyakinan. Filsafat merupakan pergumulan pemikiran yang tidak
pernah final, tetapi tattwa adalah pemikiran filsafat yang akhirnya harus diyakini kebenarannya.
Sebagai contoh, Wisnu disimbolkan dengan warna hitam, berada di utara, dan membawa senjata
cakra. Ini adalah tattwa yang harus diyakini kebenarannya, sebaliknya filsafat boleh
mempertanyakan kebenaran dari pernyataan tersebut. Oleh sebab itu dalam terminologi Hindu,
kata tattwa tidak dapat didefinisikan sebagai filsafat secara an sich,tetapi lebih tepat didefinisikan
sebagai dasar keyakinan Agama Hindu. Sebagai dasar keyakinan Hindu, tattwa mencakup lima
hal yang disebut Panca Sradha (Widhi tattwa, Atma tattwa, Karmaphala tattwa, Punarbhawa
tattwa, dan Moksa tattwa).

Susila 
Sementara itu susila berasal dari kata ”su” dan ”sila”. Su berarti baik, dan sila berarti dasar,
perilaku atau tindakan. Secara umum susila diartikan sama dengan kata ”etika”. Definisi ini
kurang lebih tepat karena susila bukan hanya berbicara mengenai ajaran moral atau cara
berperilaku yang baik, tetapi juga berbicara mengenai landasan filosofis yang mendasari suatu
perbuatan baik harus dilakukan. Bandingkan dengan kata ”etika” yang berarti filsafat moral.
Sebaliknya, kata ”moral” berarti ajaran tentang tingkah laku yang baik. Perbuatan ”membunuh”
misalnya, secara moral tindakan membunuh dilarang untuk dilakukan, tetapi ”etika” memberikan
landasan bahwa tidak semua tindakan membunuh adalah dilarang. Tindakan membunuh yang
dilarang adalah ketika didasari oleh rasa kebencian dan kemarahan, sebaliknya membunuh bagi
seorang tentara dalam sebuah peperangan dibenarkan secara etika.

Sampai di sini jelas bahwa antara ”moral” dan ”etika” dibedakan secara konseptual. Moral selalu
menjadi bagian dari etika, tetapi etika belum tentu masalah moral karena etika berbicara tentang
”perilaku baik” yang harus dilakukan manusia dalam aspek-aspek kehidupan yang lebih luas.
Moral adalah etika-etika khusus yang berlaku dalam skup tertentu. Etika Hindu, etika Islam,
etika Kristen, etika Bali, etika Jawa, etika bisnis dan seterusnya merupakan ajaran moral yang
dianjurkan oleh masing-masing institusi tertentu, baik institusi agama maupun institusi sosial.
Suatu tindakan yang dianggap bermoral di suatu komunitas, belum tentu bermoral di komunitas
yang lain. Merujuk pada perbedaan definisi di atas, terminologi kata ”susila” lebih tepat
diterjemahkan dalam kata etika karena memberikan landasan suatu perbuatan. Perintah Sri
Khrisna kepada Arjuna untuk membunuh Guru-gurunya secara moral tidak dapat dibenarkan
karena tindakan membunuh terlarang dilakukan. Akan tetapi secara etika hal itu dibenarkan
karena melenyapkan kejahatan adalah kewajiban dari seorang ksatrya.

Upacara 
Sementara itu kata acara berasal dari bahasa Sankerta yang menurut Sanskrit- English Dictionary
karangan Sir Moonier Williems (Sudharma, 2000:1) bahwa kata ”acara” antara lain diartikan
sebagai berikut.

Tingkah laku atau perbuatan yang baik; 


Adat istiadat; 
Tradisi atau kebiasaan yang merupakan tingkah laku manusia baik perseorangan maupun
kelompok masyarakat yang didasarkan atas kaidah-kaidah hukum yang ajeg. 

Dalam bahasa Kawi mempunyai tiga pengertian sesuai dengan sistem penulisannya (ācāra, acāra,
dan acara). Kata ācāra berarti kelakuan, tindak-tanduk, kelakuan baik, adat, praktik, dan
peraturan yang telah mantap. Kata acāra bermakna pergi bersama atau teman. Dapat
dibandingkan dengan kata cāraka yang bermakna teman atau ia yang pergi bersama. Dalam
bahasa Bali diterjemahkan dengan kata parēkan yang bermakna ia yang selalu dekat. Sedangkan
kata acara berarti tidak berjalan. Bandingkan dengan kata carācara yang berarti tumbuh-
tumbuhan, dengan makna yang tidak dapat berjalan. Dari ketiga makna tersebut, makna yang
digunakan dalam pengertian Acara Agama Hindu ialah makna yang pertama (ācāra), yang
memiliki pengertian : (1) Kelakuan, tindak-tanduk, atau kelakuan baik dalam pelaksanaan agama
Hindu; (2) adat atau suatu praktik dalam pelaksanaan agama Hindu; dan (3) peraturan yang telah
mantap dalam pelaksanaan Agama Hindu.

Pengertian dari kata acara juga ditemukan dalam kitab Sarasamuccaya (177), sebagai berikut:

”nihan pajara mami, phala sang hyang weda inaji, kapujan sang hyang siwagni, rapwan wruhing
mantra, yajnangga widdhiwaidhanadi, dening dana hinanaken, bhuktin danakena, yapwan dening
anakbi, dadyaning alingganadi krida mahaputri-santana, kuneng phala sang hyang aji
kinawruhan, haywaning gila ngaraning swabhawa, ācāra ngaraning prawrtti kawaran ring aji”

Artinya:

Inilah yang hendak hamba beritahukan, gunanya kitab suci Weda itu dipelajari, Siwagni patut
dipuja, patut diketahui mantra serta bagian-bagian dari korban kebaktian, widhi-widhana dan
lain-lainnya. Adapun gunanya harta kekayaan disediakan adalah untuk dinikmati dan
disederhanakan, akan gina wanita adalah untuk menjadi istri dan melanjutkan keturunan baik
pria dan wanita, guna sastra suci adalah untuk diketahui dan diamalkan, ācāra adalah tindakan
yang sesuai dengan ajaran agama.

Dari ketiga pengertian Tri Kerangka Agama Hindu di atas semakin jelas bahwa ketiganya
memang tidak dapat dipisahkan. Tattwa menjadi landasan teologis dari semua bentuk
pelaksanaan ajaran agama Hindu. Susila menjadi landasan etis dari semua perilaku umat Hindu
dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia, dan dengan alam lingkungannya.
Sedangkan ācāra menjadi landasan prilaku keagamaan, tradisi, dan kebudayaan religius.
Ācāramengimplementasikan tattwa dan susila dalam wujud tata keberagamaan yang lebih riil
dalam dimensi kebudayaan. Tanpa adanya ācāra, agama hanyalah seperangkat ajaran yang tidak
akan nampak dalam dunia fenomenal. Secara sosio-antropologis, ācāra menjadi identitas suatu
agama karena ia melembaga dalam sebuah sistem tindakan. Sebaliknya, tattwa (ketuhanan)
sangat abstrak sifatnya, demikian halnya dengan susila yang tidak hanya dibentuk oleh agama,
melainkan juga oleh tradisi, adat, kebiasaan, tata nilai dan norma-norma sosial.

5.3 Teologi Hindu


Istilah Teologi berasal dari bahasa Yunani yakni kata Theologia, yang secara etimologi
berasal dari dua suku kata yaitu Theos dan Logos. Theos berarti Tuhan, sedangkan Logos berarti
ilmu pengetahuan. Jadi Teologi adalah Ilmu pengetahuan tentang Tuhan. Dalam sastra Sanskerta
dan berbagai kitab suci Hindu, Ilmu yang mempelajari tenteng Tuhan dinamakan Brahma Vidya
atau Brahma Tattwa Jnana. Kata Brahma merupakan gelar yang diberikan kepada Tuhan
sebagai unsur yang memberi kehidupan kepada semua ciptaan- Nya dan juga unsur Sabda atau
Aksara (Yang Maha Kuasa). Vidya atau Jnana keduanya memiliki arti sama yaitu ilmu,
sedangkan kata Tattwa berarti hakikat tentang Tat (Itu, yaitu Tuhan dalam bentuk Nirguna
Brahman), sehingga kata Tattwa Jnana artinya sama dengan ilmu tentang hakikat, yaitu ilmu
tentang Tuhan (Pudja,1999:3).
Sebagai sebuah ilmu, Teologi dirumuskan sebagai usaha sistematis untuk menampilkan,
menafsirkan dan membenarkan kepercayaan kepada Dewa- Dewa dan atau Tuhan dengan cara
konsisten dan bermakna. Teologi juga dipandang sebagai disiplin yang bertumpu kepada
kebenaran yang diwahyukan dan tidak tergantung kepada filsafat maupun ilmu. Objeknya adalah
Tuhan : eksistensi- Nya, esensi- Nya, dan aktivitas- Nya (Bagus dalam Sukayasa, 2009:9).
Titib dalam buku “Teologi dan Simbol Simbol dalam Agama Hindu” (2003:1)
menjelaskan bahwa Teologi Hindu adalah ajaran ketuhanan dalam Hindu yang tidak akan bisa
dipisahkan serta sangat terkait dengan simbol- simbol dalam agama Hindu, karena simbol-
simbol tersebut merupakan ekspresi untuk mendekatkan diri manusia kepada- Nya, yang mana
simbol tersebut dapat berupa arca atau pratima untuk Dewa- Dewa, bangunan suci sebagai
Sthana memuja- Nya, disamping berupa mantra, mudra, yantra, huruf- huruf suci, dan juga
persembahan suci dalam wujud upacara atau sesajen.
Maulana (dalam Donder, 2006:4) memaparkan bahwa teologi adalah pengetahuan
tentang Tuhan, teologi secara harafiah berarti teori atau studi tentang Tuhan. Dalam praktik,
istilah ini dipakai untuk kumpulan doktrin dari kelompok keagamaan tertentu atau pemikiran
tertentu. Sedangkan dalam agama Hindu teologi lebih dikenal sebagai Brahma Vidya yang sudah
dikenal dan dipergunakan dalam Hinduisme jauh sebelum disiplin Teologi itu ada. Agama Hindu
menggaris bawahi konsep Teologinya dalam dua sistem Teologis yakni Teologi Nirguna
Brahman yaitu Tuhan yang tidak memiliki atribut dan tidak bermanifestasi, serta Teologi
Saguna Brahman yaitu Tuhan yang memiliki atribut dan memiliki manifestasi serta bisa
dibayangkan (Donder, 2006:227).
Dari uraian di atas dapat kita jabarkan bahwa Perspektif Teologi Hindu merupakan suatu sudut
pandang tentang ilmu ilmu keagamaan terutama tentang agama Hindu yang nantinya dipakai
sebagai dasar dalam melihat permasalahan.
Daftar Pustaka

Bagus Sudirga, Ida, dkk.2003.Agama Hindu untuk SMA Kelas 3.Ganeca Exact:Jakarta

Rai, I Gusti Ngurah.2012.Modul Sradha.STAH Dharma Nusantara Jakarta

Pudja, Gede.2003.Bhagawadgita.Paramita:Surabaya

Anda mungkin juga menyukai