Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

HEAD INJURI POST TREPANASI

Untuk memenuhi tugas praktik daring departemen kritis

Fasilitator : Ns. Fajri Andi Rahmawan., M.Kep

Disusun Oleh :

Nama : Dias Pungky Retno ND

NIM : 202004025

Program Studi Profesi Ners

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Banyuwangi

2020
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan pendahuluan asuhan keperawatan kritis pada pasien dengan Head


injuri post trepanasi yang disusun oleh:

Nama : Dias Pungky Rnd


NIM : 2020.04.025
Prodi : Profesi Ners

Sebagai salah satu syarat dalam pemenuhan tugas Praktik Daring Sistem kritis
yang dilaksanakan pada 02 november – 14 november 2020.

Laporan pendahuluan ini telah disetuju


Pada tanggal,

Oleh
Pembimbing

Ns.Fajri Andi Rahmawan M.Kep


NIK: 06.088.0414
A.KONSEP PENYAKIT

1. Definisi
Trauma kepala atau trauma kapitis merupakan suatu trauma/ruda paksa yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau
gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009).
Brain Injury Association of America mendefinisikan cedera kepala sebagai suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital atau degeneratif, tetapi disebabkan oleh
serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran
yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Penangan
khususnya pada klien dengan Cidera Kepala Berat (CKB) yang mengalami perdarahan
atau hematom di kepala baik pada bagian epidural (EDH) maupun subdural (SDH)
dilakukan tindakan trepanasi/kraniotomi. Epidural hematoma (EDH) adalah suatu
perdarahan yang terjadi di antara tulang dan lapisan duramater, biasanya sumber
perdarahannya adalah robeknya Arteri meningica media (paling sering), Vena diploica
(oleh karena adanya fraktur kalvaria), Vena emmisaria, Sinus venosus duralis. Subdural
hematoma (SDH)  merupakan suatu perdarahan yang terdapat pada rongga diantara
lapisan duramater dengan araknoidea, sumber perdarahan dapat berasal dari Bridging
vein (paling sering), A/V cortical, Sinus venosus duralis.
Intracranial hematoma (ICH) sendiri merupakan perdarahan yang terjadi pada
jaringan otak biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak.
Menurut Dorland (1998), kraniotomi/trepanasi adalah setiap operasi terhadap cranium.
Kraniotomi adalah operasi membuka tulang tengkorak untuk mengangkat tumor,
mengurangi TIK, mengeluarkan bekuan darah atau menghentikan perdarahan (Hinchliff,
Sue. 1999).
Kraniotomi mencakup pembukaan tengkorak melalui pembedahan untuk
meningkatkan akses pada struktur intrakranial. (Brunner & Suddarth. 2002). Jadi post
kraniotomi adalah setelah dilakukannya operasi pembukaan tulang tengkorak untuk,
untuk mengangkat tumor, mengurangi TIK, mengeluarkan bekuan darah atau
menghentikan perdarahan.
2. Epidemologi
Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat menyebabkan
gangguan fisik dan mental yang kompleks. Cedera kepala adalah salah satu penyebab
kematian utama dikalangan usia produktif antara 15-44 tahun. Secara global insiden
cedera kepala meningkat dengan tajam terutama karena peningkatan penggunaan
kendaraan bermotor. WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2020 kecelakaan lalu
lintas akan menjadi penyebab penyakit dan trauma ketiga terbanyak di dunia.
Di Amerika Serikat kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus dari jumlah di atas 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit
dan lebih dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera
kepala tersebut (Fauzi, 2002). Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahunnya
akibat cedera kepala, dan lebih dari 700.000 mengalami cedera cukup berat yang
memerlukan perawatan di rumah sakit. Dua per tiga dari kasus ini berusia dibawah 30
tahun dengan jumlah laki-laki lebih banyak dari wanita. Lebih dari setengah dari semua
pasien cedera kepala berat mempunyai signifikasi terhadap cedera bagian tubuh lainnya
(Smeltzer and Bare, 2002).

3. Etiologi

Smeltzer (2001) mengemukakan penyebab lain terjadinya trauma kepala antara lain :
a. Trauma tajam
Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana merobek otak, misalnya
tertembak peluru atau benda tajam
b. Trauma tumpul
Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya
c. Cedera akselerasi
Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh pukulan maupun
bukan dari pukulan
d. Kontak benturan (Gonjatan langsung)
Terjadi benturan atau tertabrak sesuatu objek
e. Kecelakaan lalu lintas
f. Jatuh
g. Kecelakaan industri
h. Serangan yang disebabkan karena olah raga
i. Perkelahian

Menurut Tarwoto (2007), penyebab dari Trauma/Cedera Kepala adalah :


a. Kecelakaan lalu lintas.
b. Terjatuh
c. Pukulan atau trauma tumpul pada kepala.
d. Olah raga
e. Benturan langsung pada kepala
f. Kecelakaan industri.

4. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera
primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat
langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan
suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala (Gennarelli,
1996 ; Israr dkk, 2009). Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa
perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa
kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area
benturan disebut lesi kontusio “coup”, di seberang area benturan tidak terdapat gaya
kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan
lesi kontusio “countercoup”.
Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi yang sering
dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya
terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi
faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup,
countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi yang
berada di antara lesi kontusio coup dan countrecoup (Mardjono dan Sidharta, 2008).
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak
(substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih
cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak
membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan
(countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr dkk,2009).
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan
iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak.
Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal.
Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu
yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel.
Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan aliran
kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang berperan
dalam terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak. Neuron atau sel-
sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada suplai nutrien yang
konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera metabolik
bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk
mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa
daerah tertentu dalam otak (Lombardo, 2003).

5. Klasifikasi

Cedera kepala berdasarkan klasifikasinya dapat dibagi menjadi :


a. Cedera Kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pencahnya tengkorak atau luka
penetrasi. Besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh velositas, masa dan
bentuk dari benturan. Kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak menusuk
dan masuk ke dalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak, jaringan sel otak
akibat benda tajam/ tembakan. Cedera kepala terbuka memungkinkan kuman pathogen
memiliki akses langsung ke otak.
b. Cedera Kepala Tertutup
Benturan cranium pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan yang
mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat, kemudian serentak
berhenti dan bila ada cairan dalam otak cairan akan tumpah. Cedera kepala tertutup
meliputi: komusio (gagar otak), kontusio (memar), dan laserasi (Brunner & Suddarth,
2001)
Berdasarkan nilai GCS, cedera kepala dapat dibagi menjadi :
a. Cedera kepala ringan
Nilai GCS: 13-15, kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit. Ditandai dengan nyeri
kepala, muntah, vertigo dan tidak ada penyerta seperti pada fraktur tengkorak,
kontusio/hematoma
b. Cedera kepala sedang
Nilai GCS: 9-12, kehilangan kesadaran antara 30 menit – 24 jam, dapat mengalami
fraktur tengkorak dan disorientasi ringan (bingung)
c. Cedera kepala berat
Nilai GCS: 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, meliputi: kontusio serebral,
laserasi, hematoma dan edema serebral

6. Manifestasi klinis
Gejala klinis trauma kepala sebagai berikut:
a. Battle sign : warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga diatas os mastoid
b. Hemotipanum : perdarahan di daerah membrane timpani telinga
c. Periorbital ecchymosis : mata warna hitam tanpa trauma langsung
d. Rhinorrhe : cairan serebrospinal keluar dari hidung
e. Otorrhe : cairan serebrospinal keluar dari telinga

Gejala Klinis untuk trauma kepala ringan, sebagai berikut:


a. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian sembuh
b. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan
c. Mual atau dan muntah
d. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun
e. Perubahan kepribadian diri
f. Letargik

Gejala Klinis untuk trauma kepala berat, sebagai berikut:


a. Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan perubahan di otak, menurun
atau meningkat
b. Perubahan ukuran pupil (anisokoria)
c. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernapasan)
d. Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi abnormal
ekstrimitas

7. Pemeriksaan diagnostic

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada klien dengan cedera kepala meliputi
a. CT scan ( dengan/tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler, dan perubahan
jaringan otak
b. MRI
Digunakan sama dengan CT scan dengan/tanpa kontras radio aktif
c. Cerebral angiografi
Menunjukan anomaly sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak skundre
menjadi edema, perdarahan, dan trauma.
d. Serial EEG (Electroencephalography)
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis
e. Sinar X
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema) fragmen tulang
f. BAER (Brainstem Auditory Evoked Response)
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil
g. PET (Positron Emission Tomography)
Mendeteksi perubahan aktifititas metabolism otak
h. CSS
Lumbal fungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid
i. Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan intracranial
j. Screen toxicology
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran
k. Rontgen thorahk 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thorak menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleural.
l. Toraksentesis menyatakan darah/cairan
m. SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography)
Untuk mendeteksi luas dan daerah abnormal dari otak.
n. Mielografi
Untuk mengganbarkan ruang sub arachnoid sepinal dan menunjukkan adanya
penyimpangan medulla spinalis.
8. Komplikasi
Komplikasi meliputi peningkatan TIK, infeksi, dan defisit neurologik.
a. Peningkatan TIK dapat terjadi sebagai akibat edema serebral atau pembengkakan dan
diatasi dengan manitol, diuretik osmotik. Pasien juga memerlukan intubasi dan
penggunaan agens paralisis.
b. Infeksi mungkin karena insisi terbuka. Pasien harus mendapat terapi antibiotik, dan
balutan serta sisi luka harus dipantau untuk tanda infeksi, peningkatan drainase, bau
menyengat, drainase purulen, dan kemerahan serta bengkak sepanjang garis insisi.
c. Defisit neurologik dapat diakibatkan oleh pembedahan. Pada pascaperasi status
neurologik pasien dipantau dengan ketat untuk adanya perubahan.

9. Penatalaksanaan
a. Observasi 24jam
b. Berikan intravena bila ada indikasi
c. Dianjurkan untuk tirahbaring
d. Profilaksis diberikan bila ada indikasi
e. Pemberian obat obatan untuk vaskulasisasi
f. Pemberian bat bat analgesic
g. Pembedahan bila ada indikasi
pembedahan yang dilakukan untuk pasien cedera kepala adalah
p e l a k s a n a a n operasi trepanasi. trepanasi/kraniotomi adalah suatu tindakan
membuka tulang kepala yang bertujuan untuk mencapai otak untuk tindakan
pembedahan definitive (seperti adanya SDH (subdural hematoma) atau
EDH (epidural hematoma) dan kondisi lain  pada kepala yang memerlukan
tindakan kraniotomi). Epidural Hematoa /EDH adalahsuatu pendarahan yang
terjadi diantara tulang dang dan lapisan duram ater, Subdural Hematoa SDH
atau pendarahan yang terjadi pada rongga diantara lapisan duramater dan dengan
araknoidea. Pelaksanaan operasi trepanasi ini diindikasikan pada pasien
1 . penurunan kesadaran tiba+tiba terutama riwayat cedera kep ala
akibat berbagai f a c t o r
2. Adanya tanda herniasi/lateralisasi.
3. Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi
emergensi, dimana CT Scan Kepala tidak bisa dilakukan.
PeraLatan pasca bedah yang penting pada pasien post trepanasi adalah
memonitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya.
Jahitan dibuka pada Hari ke 5-7.Tindakan pemasangan fragmen
t u l a n g a t a u k r a n i o p l a s t i d i a n j u r k a n dilakukan setelah 6-8 minggu
kemudian
A. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
1) Primary survey
a. Keluhan utama
Pada pasien head injuri post trepanasi mengalami keluhan sakit kepala , muntah
pryektil ,kesadaran menurun.
b. Airway
Pastikan kepatenan jalan nafas dan kebersihannya dari partikel dari benda asing
seperti darah muntahan .
c. Breathing
1. Kaji pergerakan dada pasien
2. Kaji irama pernafasan pasien
3. Kaji pola nafas pasien
4. Terdapat retraksi dada atau tidak
5. Adanya sesak nafas atau tidak
Pada pasien head ijury post trepanasi pergerakan dada simetris ,tidak ada suara
nafas tambahan ronchi / wising.
d. Disability
Disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU
Alert : pasien dapat merespon suara dengan tepat
Verbal :pasien dapat mengeluarkan suara
Pain : kaji respon nyheri pasien
Unresponsive : kaji respon pasien
2) Secondary survey
a. Identitas pasien
meliputi nama,usia, pekerjaan, jenis kelamin dll.
b. Riwayat penyakit sekrang
gambaran keadaaan klien mulai terjadinya cidera kepala sampai dilakukan
trepanasi , dan keluhan klien selama mengalami cidera ,
c. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit yang pernah di derita pasien seblum mengalami cidera kepala
d. Riwayat penyakit keluaraga
Gamabaran keadaan kesehatan keluaraga dan penyakit yang berhubungan dengan
pasien,
e. TTV
Kaji tanda tanda vital pasien , tekakan darah menurun , sushu meningkat ,RR lambat
nadi meningkat.
3) Pemeriksaan fisik (head toe toe)
a. Kepala dan leher
Pada pasien dengan penyakit ini biasnya keadaan kepala bengkak , pertumbuhan
rambut tidak ada, terdapat luka , kepala kotor , pasien merasa sakit ketika kepalanya
bergerak, . tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid .
b. Wajah
Bentuk wajah simetris
c. Mata
Mata tidak mengalami gangguan bentuk simetris ,bola mata dapat digerakan,
konjungtiva normal , sclera icterus.
d. Telinga
Bentuk simetris , terdapat jejas dibelakang telinga .
e. Hidung
Simetri , penciuman tajam .
f. Dada
Simetris , pergerakan dada sama .tidak ada nyeri tekan .
g. Kulit
Tidak ada kelainan, warna kulit kuning kecoklatan .
h. Ektermitas
Bentuk simetris antara ektermitas kanan dan kiri,tidak ada defrmitas, tidak ada
fraktur.
i. Genetalia
Genetalia normal , berih tdiak terdpat nyeri tekan
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri berhubungan dengan Agen pencedera fisik (trauma)
2. Risiko infeksi b.d pertahanan tubuh primer tidak adekuat
3. gangguan kerusakan integritas kulit b.d penurunan mobilisasi fisik

No Tujuan Kriteria Hasil (SLKI) Intervensi (SIKI)


1. Setelah Tingkat nyeri (L.08066) Manejemen nyeri ( I.08238)
dilakukan - Keluhan nyeri menurun Observasi
tindakan (skala 5) - Identifikasi lokasi karakteristik,
asuhan - Meringis menurun (skala durasi, frekuensi, kualitas,
keperawatan 5) intervensi nyeri.
selama - Gelisah menurun (skala - Identifikasi nyeri nn verbal
2x24jam 5) - Identifikasi factor yang
diharapkan - Kesulitan tidur menurun memperberat dan memperingan
tingkat nyeri (skala 5) nyeri.
menurun Edukasi
- Jelaskan penyebab nyeri
- Jelaskan strategi meredahkan
nyeri
- Ajarkan tekhnik
nonfarmakologis untuk
mengurangi nyeri.
Kolaborasi
- Kolaborasi untuk pemberian
analgesik
2. Setelah Tingkat infeksi (L.14137) Pencegahan infeksi (I.14538)
dilakukan - Demam menurun (skala 5) Observasi
tindakan - Kemerahan menurun - Monitor tanda tanda infeksi
asuhan (skala 5) - Berikan perawatan kulit pada
keperawatan - Bengkak menghilang area bengkak
selama 1x24 (skala 5) - Pertahankan teknik aseptic pada
jam pasien beris tinggi
diharapkan - Cuci tangan sebelum dan
tidak ada sesudah kontak dengan pasien.
infeksi . Edukasi
- Jelaskan tanda gelaja infeksi
- Ajarkan cara memeriksa kondisi
luka dan luka operasi
- Anjurkan meningkatkan asupan
nutrisi
Kolaborasi
-kolaborasi dengan dokter untuk
pemberian obat lainya.

3. Setelah Intregitas kulit dan jaringan Perawatan intregitas kulit (I.11353)


dilakukan L.14125 Observasi
tindakan - Kemerahan menurun - Identifikasi penyebab gangguan
asuhan (skala 5) intregitas kulit
keperawatan - Pigmentasi menurun Edukasi
1x24 jam (skala 5) -Anjurkan menggunakan pelembab
intregitas kulit - Pigmentasi menurun -Anjurkan minum air yang cukup
membaik (skala 5) -Anjurkan meningkatkan asupan
nutrisi
-Anjurkan menghindari terpapar suhu
ektrim
Terapeutik
- Ubah posisi tiap 2 jam tirah
baring
- Lakukan masase
- Hindari benda yang keras .
- Hi ndari prduk berbahan dasar
kasar untuk kelit kering.
DAFTRA PUSTAKA

Dochterman, Joanne McCloskey et al.2004. Nursing Interventions Classification (NIC). Missouri


:Mosby

Moorhead, Sue et al. 2008. Nursing Outcome Classification (NOC). Missouri : Mosby

Potter&Perry.1999. Fundamental Keperawatan. Jakarta:EGC


Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 1. Jakarta:
EGC
Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 2. Jakarta:
EGC
Smeltzer, S.C dan Bare, B.G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Jilid Satu. Edisi Kedelapan. Jakarta : EGC

Zen Akatsuki. 2011. Trepanasi / KranioktomiI pada EDH dan SDH.


http://akatsuki-ners.blogspot.com/2011/08/trepanasi-kranioktomii-pada-edh-dansdh.html .
Diakses (online) 23 Desember 2013

Anda mungkin juga menyukai