Anda di halaman 1dari 31

Case Report

SINDROM STEVENS-JOHNSON

Disusun oleh:

Diyah Ratnasari 1410070100026

Regina Yuva 1510070100021

Vinta Utami Amri 1510070100031

Putri Wahyuni Allfazmy 1510070100071

Preseptor:

Dr. Yosse Rizal, Sp.KK, FINSDV

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BAITURRAHMAH


BAGIAN KULIT DAN KELAMIN
RSUD DR. ACHMAD MOCHTAR
BUKITTINGGI
2020

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Alhamdulillah segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah
SWT. Yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kami sehingga
kami dapat menyelesaikan laporan kasus kami yang berjudul “Sindrom Stevens
Johnson”.
Kami ucapkan terimakasih yang sebesar besarnya kepada pembimbing
kepaniteraan kulit dan kelamin dr. Yosse Rizal, Sp.KK, FINSDV atas bimbingan
selama kepaniteraan. Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini
banyak terdapat kekurangan oleh karena itu kritik dan saran yang membangun
diharapkan demi perbaikan penyusunan makalah ini.
Semoga penulisan laporan kasus ini dapat berguna bagi kami sebagai
penulis dan seluruh pihak yang membaca makalah ini.
Wassalamualikum Wr. Wb.

Bukittinggi,17 November 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar belakang 1
1.2 Tujuan 1
1.2.1 Tujuan Umum 1
1.2.2 Tujuan Khusus 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2
2.1 Definisi2
2.2 Epidemiologi 2
2.3 Etiologi 2
2.4 Etiopatogenesis 4
2.5 Patogenesis 4
2.6 Gejala Klinis 5
2.7 Pemeriksaan Penunjang 8
2.5 Diagnosis 9
2.6 Diagnosis Banding 9
2.7 Penatalaksanaan 11
2.5 Komplikasi 16
2.6 Prognosis 16
BAB III. LAPORAN KASUS 18
BAB IV. PENUTUP 24
4.1 Kesimpulan 24
DAFTAR PUSTAKA

3
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Diagnosis Penyakit dalam Kelompok Epidermal Necrolysis


berdasarkan luas permukaan tubuh yang terlibat 7

Gambar 2.2 Gambaran generalized bullous fixed drug eruption (FDE) 10

Gambar 2.3 Gambaran Toxic Epidermal Necrolisis/ TEN 10

Gambar 2.4 Gambaran staphylococcal scalded skin syndrome 11

4
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Skor SCORTEN 17

5
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) merupakan kelainan pada kulit yang
serius, di mana kulit dan selaput lendir bereaksi keras terhadap obat atau infeksi.
Seringkali, Sindrom Stevens-Johnson diawali dengan gejala mirip flu, diikuti
dengan ruam merah atau keunguan yang menyakitkan yang menyebar dan lecet,
akhirnya menyebabkan lapisan atas kulit mati.1
Penyebab pasti dari SSJ saat ini belum diketahui namun ditemukan
beberapa hal yang memicu timbulnya SSJ seperti obat-obatan atau infeksi virus.
Mekanisme terjadinya sindrom pada SSJ adalah reaksi hipersensitif terhadap zat
yang memicunya.2
Sindrom Stevens-Johnson adalah suatu kondisi medis darurat yang
biasanya membutuhkan perawatan di rumah sakit. Perawatan berfokus pada
menghilangkan penyebab yang mendasari, mengontrol gejala dan mengurangi
komplikasi.1

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
a. Melengkapi syarat Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD) Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2020.
b. Untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di bagian kulit
dan kelamin di RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2020.
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Bagi pembaca agar dapat menambah pengetahuan untuk dapat lebih
memahami tentang Sindrom Stevens-Johnson (SJJ).
b. Bagi penulis sebagai sarana untuk menerapkan ilmu yang telah dipelajari
dengan berbagai teori dan sumber yang ada.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan reaksi mukokutan akut yang
mengancam nyawa, ditandai dengan nekrosis epidermis yang luas sehingga
terlepas.1
Steven-Johnson’s Syndrome (SJS) merupakan suatu penyakit akut yang
dapat mengancam jiwa yang ditandai dengan nekrosis dan pelepasan epidermis
yang dikenal dengan trias kelainan pada kulit vesikobulosa, mukosa orifisium dan
mata disertai gejala umum berat.3
Nama ini berasal dari Dr. Albert Mason Stevens dan Dr. Frank Chambliss
Johnson, dokter anak di Amerika pada tahun 1922 bersama-sama
mempublikasikan kumpulan gejala ini dalam American Journal Penyakit Anak.4
Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema poliform
bulosa, sindrom mukokutaneo-okular, dermatostomatitis, eritema eksudativum
multiform mayor, eritema multiformis tipe Herba, dan ektodermosis erosiva
pluriorifisialis.3,5,6

2.2 Epidemiologi
Secara umum insiden SSJ adalah 1-6 kasus/juta penduduk/tahun dan
angka kematian SSJ adalah 5%-12%. Penyakit ini dapat terjadi pada semua usia,
terjadi peningkatan risiko pada usia diatas 40 tahun. Perempuan lebih sering
terkena dibandingkan laki laki dengan perbandingan 1,5:1. Data dari ruang rawat
inap RSCM menunjukkan bahwa selama tahun 2010-2013 terdapat 57 kasus
dengan rinciannya yaitu SSJ 47,7%, overlap SSJ-NET 19,3% dan NET 33,3%.1

2.3 Etiologi
Penyebab yang pasti belum diketahui, dikatakan multifaktorial. Ada yang
beranggapan bahwa sindrom ini merupakan eritema multiforme yang berat dan
disebut eritema multiforme mayor, sehinga dikatakan mempunyai penyebab yang

7
sama. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan timbulnya sindrom ini antara
lain:5
2.1 Infeksi
 Virus
Sindrom Stevens-Johnson dapat terjadi pada stadium permulaan dari
infeksi saluran nafas atas oleh virus Pneumonia. Hal ini dapat terjadi pada
Asian flu, Lympho Granuloma Venerium, Measles, Mumps dan vaksinasi
Smalpox virus. Virus-virus Coxsackie, Echovirus dan Poliomyelits juga
dapat menyebabkan Sindroma Stevens- Johnson.
 Bakteri
Beberapa bakteri yang mungkin dapat menyebabkan Sindroma Stevens-
Johnson ialah Brucelosis, Dyptheria, Erysipeloid, Glanders, Pneumonia,
Psitacosis, Tuberculosis, Tularemia,Lepromatous Leprosy atau Typhoid
Fever.
 Jamur
Cocidiodomycosis dan Histoplasmosis dapat menyebabkan Eritema
Multiforme Bulosa, yang pada keadan berat juga dikatakan sebagai
Sindroma Stevens-Johnson.
 Parasit
Malaria dan Trichomoniasis juga dikatakan sebagai agen penyebab.

2.2 Obat
Berbagai obat yang diduga dapat menyebabkan Sindrom Stevens-Johnson
antara lain adalah penisilin dan derivatnya, streptomysin, sulfonamide, tetrasiklin,
analgesik/antipiretik (misalnya derivat salisilat, pirazolon, metamizol, metampiron
dan paracetamol), digitalis, hidralazin, barbiturat (Fenobarbital), kinin antipirin,
chlorpromazin, karbamazepin dan jamu-jamuan.

2.3 Pasca vaksinasi


BCG, Smalpox dan Poliomyelits.

8
2.4 Etiopatogenesis
Pada lesi SSJ-NET terjadi reaksi sitotoksik terhadap keratinosit, sehingga
mengakibatkan apoptosis luas. Reaksi sitotoksik yang terjadi, melibatkan sel NK
dan sel limfosit T CD8+ yang spesifik terhadap obat penyebab. Berbagai sitokin
terlibat dalam patogenesis penyakit ini, yaitu: IL-6, TNF-y, IL-18, Fas-L,
granulisin, perforin, granzim-B.1
Sebagian besar SSJ-NET disebabkan karena alergi obat. Berbagai obat
dilaporkan merupakan penyebab SSJ-NET adalah sulfonamida, anti-konvulsan
aromatik, alopurinol, anti-inflamasi nonsterioid dan nevirapin. Pada beberapa obat
tertentu, misalnya karbamazepin dan alopurinol, faktor genetik yaitu sistem HLA
berperan pada proses terjadinya SSJ-NET. Infeksi juga dapat menjadi penyebab
SSJ-NET, namun tidak sebanyak pada kasus eritema multiforme; misalnya infeksi
virus, dan mycoplasma.1

2.5 Patogenesis5
Stevens Johnson Syndrome merupakan kelainan hipersensitivitas yang
dimediasi kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus dan
keganasan. Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi
hipersensitif tipe III dan IV.
Reaksi hipersensitif tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen
antibodi yang mikro presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen.
Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan enzim dan
menyebab kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Hal ini terjadi
sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap di
dalam pembuluh darah atau jaringan.
Antibiotik tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap
dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke
jaringan menyebabkan terbentuknya komplek antigen antibodi ditempat tersebut.
Reaksi tipe ini mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga
terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya reaksi tersebut.
Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak
sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel, serta penimbunan sisa sel. Hal ini
menyebabkan siklus peradangan berlanjut.

9
Reaksi hipersensitifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi
berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan
sebagai reaksi radang. Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan
sel T. Penghasil limfokin atau sitotoksik atau suatu antigen sehingga terjadi
penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini
bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk
terbentuknya.
Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan
IgM, IgA, C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi. Antigen
penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat merangsang
respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau
karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau
metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut
(struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi, inflamasi,
atau proses metabolik).
Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa,
serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi
inflamasi yang terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T
serta mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai
kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat
aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya. Adanya reaksi imun sitotoksik
juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang akhirnya menyebabkan kerusakan
epidermis.
Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga
terjadi seperti kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan, stress
hormonal diikuti peningkatan resistensi terhadap insulin, hiperglikemia dan
glukosuria, kegagalan termoregulasi, kegagalan fungsi imun, dan infeksi.5

2.6 Gejala Klinis5


Gejala awal dari toxic epidermal necrolysis (TEN) dan Stevens-Johnson
Syndrome (SJS) mungkin tidak spesifik dan termasuk gejala seperti demam, mata
menyengat dan ketidaknyamanan setelah menelan. Biasanya, gejala-gejala ini
mendahului manifestasi kulit oleh beberapa hari. Lokasi awal keterlibatan kulit

10
adalah wilayah presternal dari batang dan wajah, tetapi juga telapak tangan dan
kaki.
Keterlibatan (eritema dan erosi) dari bukal, alat kelamin dan / atau mukosa
mata terjadi pada lebih dari 90% dari pasien, dan dalam beberapa kasus sistem
pernapasan dan pencernaan juga dipengaruhi. Keterlibatan okular akibat
timbulnya penyakit sering terjadi, dan dapat berkisar dari akut konjungtivitis,
edema kelopak mata, eritema, krusta, dan okular debit, ke membran konjungtiva
atau pseduomembrane pembentukan atau erosi kornea, dan, pada kasus yang
berat, untuk cicatrizing lesi, symblepharon, forniks foreshortening, dan ulserasi
kornea. Pada fase kedua, sebagian besar kawasan pelepasan epidermal
berkembang. Dengan tidak adanya pelepasan epidermal, pemeriksaan kulit yang
lebih rinci harus dilakukan oleh mengerahkan tekanan mekanik tangensial pada
beberapa zona eritematosa (Nikolsky sign).

Adapun 3 kelainan utama yang muncul pada SJS, antara lain:


a. Kelainan pada kulit
Kelainan yang dapat terjadi pada kulit penderita sindrom Stevens-Johnson,
antara lain timbulnya ruam yang berkembang menjadi eritema, papula, vesikel,
dan bula. Sedangkan tanda patognomonik yang muncul adalah adanya lesi target
atau targetoid lesions. Berbeda dengan lesi target pada eritema multiforme, lesi
target pada sindrom Stevens-Johnson merupakan lesi atipikal datar yang hanya
memiliki 2 zona warna dengan batasan yang buruk.
Selain itu, makula purpura yang banyak dan luas juga ditemukan pada
bagian tubuh penderita Sindrom Stevens-Johnson. Lesi yang muncul dapat pecah
dan meninggalkan kulit yang terbuka. Hal tersebut menyebabkan tubuh rentan
terhadap infeksi sekunder. Pengelupasan kulit umum terjadi pada sindrom ini,
ditandai dengan tanda Nikolsky positif. Pengelupasan paling banyak terjadi pada
area tubuh yang tertekan seperti pada bagian punggung dan bokong. Apabila
pengelupasan menyebar kurang dari 10% area tubuh, maka termasuk sindrom
Stevens-Johnson. Jika 10-30% disebut Stevens Johnson Syndrome – Toxic
Epidermal Necrolysis (SJS-TEN). Serta jika lebih dari 30% area tubuh, maka
disebut Toxic Epidermal Necrolysis (TEN).

11
b. Kelainan pada mukosa
Kelainan pada mukosa sebagian besar melibatkan mukosa mulut dan
esofageal, namun dapat pula melibatkan mukosa pada paru-paru dan bagian
genital. Adanya kelainan pada mukosa dapat menyebabkan eritema, edema,
pengelupasan, pelepuhan, ulserasi, dan nekrosis. Pada mukosa mulut, kelainan
dapat berupa stomatitis pada bibir, lidah, dan mukosa bukal mulut. Stomatitis
tersebut diperparah dengan timbulnya bula yang dapat pecah sewaktu-waktu. Bula
yang pecah dapat menimbulkan krusta atau kerak kehitaman terutama pada bibir
penderita. Selain itu lesi juga dapat timbul pada mukosa orofaring, percabangan
bronki trakeal, dan esofagus, sehingga menyebabkan penderita sulit untuk
bernapas dan mencerna makanan. Serta pada saluran genitalurinaria sehingga
menyulitkan proses mikturia atau buang air kecil.

c. Kelainan Pada Mata


Kelainan pada mata yang terjadi dapat berupa hiperemia konjungtiva.
Kelopak mata dapat melekat dan apabila dipaksakan untuk lepas, maka dapat
merobek epidermis. Erosi pseudomembran pada konjungtiva juga dapat
menyebabkan sinekia atau pelekatan antara konjungtiva dan kelopak mata.
Seringkali dapat pula terjadi peradangan atau keratitis pada kornea mata.

Gambar 2.1 Diagnosis Penyakit dalam Kelompok Epidermal Necrolysis


berdasarkan luas permukaan tubuh yang terlibat

12
2.7 Pemeriksaan Penunjang5,6
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik kecuali biopsi yang
dapat menegakkan diagnosis SSJ. Pada pemeriksaan darah lengkap dapat
menunjukkan anemia, limfopenia dan jumlah leukosit yang normal atau
leukositosis nonspesifik, eosinophilia jarang dan neutropenia dapat terjadi pada
1/3 pasien.
Peningkatan leukositosis yang berat mengindikasikan adanya infeksi
bakteri yang lainnya. Kultur darah dan kulit sangat dianjurkan karena adanya
insidensi infeksi bakteri yang serius dan sepsis yang berhubungan dengan
morbiditas dan mortalitas. Evaluasi terhadap frekuensi pernafasan dan oksigenasi
darah adalah langkah pertama untuk dilakukan di Instalasi Gawat Darurat (IGD).
Segala perubahan harus diperiksa secara menyeluruh melalui pengukuran level
gas darah arteri. Tingkat serum bikarbonat dibawah 20 μm mengindikasikan
prognosis yang buruk. Pada umumnya disebabkan oleh alkalosis pernafasan yang
terkait dengan keterlibatan spesifik bronkus serta sedikit pengaruh asidosis
metabolik.
Kelainan hasil pemeriksaan laboratorium yang ditemukan pada SSJ/NET
adalah gangguan keseimbangan elektrolit, hipoalbuminemia, hipoproteinemia,
insufisiensi ginjal, azotemia. prerenal, leukositosis ringan, anemia, neutropenia,
sedikit peningkatan enzim hepar dan amilase, hiperglikemia. Serum urea nitrogen
> 10mmol/L dan glukosa > 14mmol/L dianggap penanda keparahan penyakit.
Seluruh kasus yang disangkakan SSJ dan NET harus dikonfirmasi melalui
pemeriksaan biopsi kulit untuk histopatologi dan pemeriksaan
immunofluoresence. Lesi awal menunjukkan apoptosis keratinosit pada lapisan
suprabasal. Lesi akhirnya akan memperlihatkan nekrosis epidermal yang tebal dan
pelepasan epidermis dari dermis. Infiltrasi sel mononuclear dengan kepadatan
sedang pada papilla dermis dapat terlihat, sebagian besar diwakili oleh limfosit
dan makrofag.
Pada pemeriksaan histopatologi dapat ditemukan gambaran nekrosis di
epidermis sebagian atau menyeluruh, edema intrasel di daerah epidermis,
pembengkakan endotel, serta eritrosit yang keluar dari pembuluh darah dermis

13
superfisial. Pemeriksaan imunofluoresen dapat memperlihatkan endapan IgM,
IgA, C3 dan fibrin.6

2.8 Diagnosis6
Ada 3 penyakit yang sangat mirip dengan SSJ, yaitu Toxic Epidermolysis
Necrotikans (TEN), eritema multiform (EM) dan Staphylococcal Scalded Skin
Syndrome (SSSS). TEN dibedakan dengan SSJ berdasarkan luas lesi pada kulit.
TEN apabila luas lesi >30% permukaan tubuh, SSJ bila luas lesi <10% luas
permukaan tubuh dan bila luas lesi 10- 30% luas permukaan tubuh didefinisikan
sebagai SSJ/TEN. EM dan SSJ sering dianggap sama oleh karena pada kedua
penyakit tersebut didapatkan lesi dengan predileksi yang sama, yaitu pada kulit
dan mukosa oral. Perbedaan EM dengan SSJ dapat dilihat mulai dari faktor
penyebab. Infeksi herpes simpleks merupakan penyebab tersering EM, berbeda
dengan SSJ yang lebih sering disebabkan oleh obat.6

2.9 Diagnosis Banding7,8,9


a. Generalized bullous fixed drug eruption
Generalized bullous fixed drug eruption (FDE) merupakan bentuk luas
FDE yang dicirikan sebagai makula hiperpigmentasi yang banyak, besar, sirkuler
dan nyeri dengan bula kendor. Distribusi lesi sering simetris dengan tempat
predileksinya di ekstremitas, genital dan daerah intertrigious. Lesi terjadi cukup
dini (10 jam setelah pemberian obat) dan muncul biasanya pada tempat yang sama
seperti lesi di episode sebelumnya. Kelinan dimukosa biasanya jarang terkena dan
gejala konstitusional biasanya ringan. Pemulihan cepat dan sempurna sering
terjadi tanpa gejala sisa. Pemberian obat yang bisa menimbulkan keadaan ini
adalah obat antibotik golongan sulfonamides, barbiturates, kuinin dan butazon.
Pada hasil pemeriksaan histologi, SSJ dan TEN memperlihatkan gambaran
limphohistiocytik cenderung berada sekitar pleksus superfisialis. Sedangkan FDE,
infiltrat peradangan (neutrofil dan eusinofil) berada di pleksus superfisialis dan
profunda.

14
Gambar 2.2 Gambaran generalized bullous fixed drug eruption (FDE)7

b. TEN ( Toxic Epidermal Necrolisis)


Gejala SSJ hampir mirip sekali dengan TEN ( Toxic Epidermal Necrolisis)
namun pada TEN gejalanya lebih berat ditandai dengan kesadaran meurun
(soporous-comatosa), terjadi epidermolisis dan dijumpai tanda Niklosksy sign
positif.
Pada TEN jumlah lesi target yang berupa :
 Infiltrat sel mononuklear disekitar pembuluh darah dermis superfisial
 Udem dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papiler
 Degenerasi hidropik lamina basalis sampai terbentuk vesikel supepidermal
disertai bula, dan lepasnya epidermis >30% dari luas permukaan Badan
(LPB) sedangkan pada SSJ <10% dari LPB.

15
Gambar 2.3 Gambaran Toxic Epidermal Necrolisis/ TEN8
c. Staphylococcal scalded Skin Syndrome (SSSS)
Disebabkan oleh infeksi bakteri dan lebih sering menyerang anak-anak dan
bayi. Gambaran ruamnya berupa vesikel dan bula dengan ukuran bervariasi dari
numular sampai plakat. Epidermoisis (+) tetapi jarang mengenai selaput lendir.
Dalam penatalaksanaannya diberi terapi antibiotik dan kortikosteroid merupakan
kontraindikasi.

Gambar 2.4 Gambaran staphylococcal scalded skin syndrome9

2.8 Penatalaksanaan
Manajemen pasien harus dikerjakan dengan cepat dan tepat. Hal penting
yang harus dilakukan mendiagnosis dengan cepat, perawatan khusus dan
multidisiplin tim pada intensive care unit (ICU) atau unit luka bakar. Perawatan
suportif termasuk menjaga keseimbangan hemodinamik dan mencegah
komplikasi yang mengancam jiwa. Tujuan pada dasarnya sama dengan tujuan
luka bakar yang luas.11
2.8.1 Penatalaksanaan Umum
Adapun prinsip – prinsip utama perawatan suportif adalah sama seperti
pada luka bakar . Selain menghentikan pemberian obat penyebab, dilakukan
perawatan luka, manajemen cairan dan elektrolit, dukungan nutrisi, perawatan
mata, manajemen suhu, kontrol nyeri dan pemantauan pengobatan infeksi.12

16
a. Penghenrian Obat Penyebab
Diagnosis dini dengan pengenalan dini dan penghentian segera dari segala
obat-obatan yang diduga menjadi penyebab sangat menentukan hasil akhir.
Morbiditas dan mortalitas meningkat jika obat-obatan yang menjadi penyebab
terlambat dihentikan. Ignacio Garcia dkk melakukan penelitian, menunujukkan
bahwa angka kematian lebih rendah apabila obat penyebab dengan waktu paruh
eliminasi yang pendek dihentikan tidak lebih dari 1 hari ketika bula atau erosi
muncul. Pasien yang mengkonsumsi obat penyebab dengan waktu paruh yang
panjang, memiliki resiko kematian yang lebih tinggi.11

b. Menjaga Keseimbangan Cairan, Termoregulasi, dan Nutrisi


SSJ/NET dihubungkan dengan hilangnya cairan yang signifikan
dikarenakan erosi, yang menyebabkan hipovolemia dan ketidakseimbangan
elektrolit. Penggantian ulang cairan harus dimulai secepat mungkin dan
disesuaikan setiap harinya. Jumlah infus biasanya kurang dari luka bakar pada
tingkat keparahan yang sama, karena interstisial edema tidak dijumpai. Aliran
vena perifer lebih disukai jika dimungkinkan, karena bagian tempat masuk aliran
sentral sering melibatkan pelepasan epidermis dan mudah terinfeksi. Hal lain yang
perlu dijaga adalah temperatur lingkungan, sebaiknya dinaikkan hingga 28˚C
hingga 30˚C - 32°C untuk mencegah pengeluaran kalori yang berlebihan karena
kehilangan epidermis. Penggunaan pelembab udara saat tidur meningkatan rasa
nyaman pasien.
Pasien SSJ dan NET mengalami status katabolik yang tinggi sehingga
memerlukan tambahan nutrisi. Kebutuhan energi dan protein berhubungan dengan
luas area tubuh yang terlibat. Terapi enteral lebih diutamakan daripada parenteral
karena dapat ditoleransi dengan lebih baik dan dapat memberikan pemasukan
kalori lebih banyak. Sedangkan terapi parenteral membutuhkan akses vena sentral
dan meningkatkan resiko sepsis. Dapat juga digunakan nasogastric tube apabila
terdapat lesi mukosa mulut.13

c. Perawatan Luka

17
Pembersihan luka (debridement) nekrosis epidermis yang ekstensif dan
agresif tidak, karena nekrosis permukaan bukanlah halangan untuk reepitelisasi,
dan justru dapat mempercepat proliferasi sel-sel stem berkenaan dengan sitokin
peradangan.
Pengobatan topikal diberikan untuk mengurangi kehilangan cairan,
elektrolit, dan mencegah terjadinya infeksi. Debridement dilakukan dengan
pemberian analgetik dengan derivat morfin sebelumnya. Kulit dibersihkan dengan
antiseptic yang ringan dan solusio antibiotik seperti sabun povidone iodine,
chlorhexidine, silver nitrate untuk mengurangi pertumbuhan bakteri.13

d. Perawatan Mata dan Mulut


Komplikasi oftalmik adalah satu dari permasalahan tersering terhadap
SSJ/NET. Sekitar 80% pasien yang dihospitalisasi mengalami komplikasi ocular
akut yang sama pada SSJ maupun NET dengan keterlibatan berat sebesar 25%.
Gejala sisa kronis terjadi pada sekitar 35% pasien, biasanya disebabkan oleh skar
konjungtiva. Permasalahan residual pada mata yang paling sering dilaporkan
adalah fotosensitivitas kronis dan mata kering. Namun pada beberapa pasien
penyakit ocular kronis bermanifestasi sebagai kegagalan permukaan mata,
inflamasi episodik rekuren, skleritis, atau sikatriks konjungtiva progresif yang
menyerupai pemfigoid membran mukosa. Perawatan mata meliputi pembersihan
kelopak mata dan memberi pelumas setiap hari dengan obat tetes atau salep
mata.11
Mulut harus dibersihkan beberapa kali dalam sehari untuk menjaga
kebersihan rongga mulut, berulang-ulang kumur-kumur dengan antiseptik dan
mengoleskan topikal anestesi seperti xylocaine, lignocaine sebelum makan
sehingga dapat mengurangi sakit waktu menelan. Tindakan ini hanya
direkomendasikan bila penderita tidak mengalami pharyngealdysphagia. Hindari
makanan yang terlalu panas atau dingin, makanan yang asam dan kasar.
Sebaiknya makanan yang halus dan basah sehingga tidak mengiritasi lesi pada
mulut. Kadang-kadang diberikan obat anti fungal seperti mikostatin, obat kumur-
kumur soda bikarbonat, hydrogen peroksida dengan konsentrasi ringan.
Pemberian topikal pada bibir seperti vaselin, lanolin.12

18
e. Perawatan Vulvovagina
Pencegahan pada vulvovaginal dengan memeriksakan ginekologi dini
harus dilakukan pada semua pasien wanita penderita SJS/NET. Tujuan dari
pengobatan ini untuk mencegah keterlibatan vagina yang membentuk adhesi dan
aglutinasi labial serta mencegah adenosis vagina ( bila dijumpai keterlibatan
metaplastik serviks / endometrium, epitel kelenjar divulva atau vagina ).
Pencegahan dengan memberikan kortikosteroid intravaginal diterapkan dua kali
sehari pada pasien dengan lesi ulseratif sampai resolusi fase akut penyakit.
Pemberian kortikosteroid topical ini disertai dengan krim antijamur topical untuk
mencegah kandidiasis vagina.12

2.8.2 Penatalaksanaan Khusus


a. Kortikosteroid Sistemik
Kortikosteroid berperan sebagai anti inflamasi, imunosupresif dan anti
apoptosis. Kortikosteroid juga mempunyai efek anti-apoptosis pada banyak
jaringan termasuk kulit dengan menghambat aktivitas Fas-FasL.12
Jika keadaan umum pasien baikdan lesi tidak menyeluruh maka cukup
diobati dengan prednison 30-40 mg sehari. Kalau keadaan umum buruk dan lesi
menyeluruh maka harus diobati dengan cepat dan tepat, serta pasien harus dirawat
inap. Penggunaan kortikosteroid merupakan tindakan life-saving, yaitu berupa
dexametason secara intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Sebagai
contoh seorang pasien SSJ yang berat harus dirawat inap dan diberikan
dexametason 6x5 mg IV. Biasanya setelah beberapa hari (2-3 hari)masa krisis
telah terlewati, keadaan membaik dan tidak timbul lesi baru. Dosisnya segera
diturunkan secara tepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg
sehari lalu dapat digantikan dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisolon
dengan dosis 20 mg sehari; sehari kemudian diturunkan menjadi 10 mg kemudian
obat tersebut dihentikan. Jadi lama pengobatan kira-kira 10 hari.
Selain dexametason dapat digunakan metilprednisolon dengan dosis setara
mengingat efek sampingnya yang lebih sedikit karna merupakan kortikosteroid
golongan kerja sedang, akan tetapi harganya lebih mahal. Dengan dosis

19
kortikosteroid setinggi itu, maka imunitas pasien akan berkurang karena itu perlu
diberikan antbiotik untuk mencegah infeksi.

b. Antibiotik
Pasien diberikan antibiotik apabila terdapat tanda-tanda klinis infeksi.
Tanda-tanda tersebut antara lain perubahan status mental, mengigil, hipoterimia,
menurunnya pengeluaran urin dan penurunan kondisi klinis. Selain itu juga
terdapat peningkatan bakteri pada kultur kulit. Kultur rutin dari kulit, darah, urin,
dan kanula intravascular sangat disarankan. Penyebab utama dari sepsis pada
pasien SSJ/NET adalah Staphylococus aureus dan Pseudomonas aeruginosa.
Spesies Staphylococus yang dikultur dari darah biasanya sama dengan yang
dikultur dari kulit.14
Antbiotik yang dipilih hendaknya yang jarang menyebabkan alergi,
bersprektrum luas, dan tidak atau sedikit nefrotoksik. Hendaknya antibiotik yang
diberikan tidak segolongan atau memiliki rumus yang mirip dengan antibiotik
yang dicurigai menyebabkan alergi untuk mencegah sensitisasi silang. Contoh
obat yang dapat diberikan ciprofloksasin 2x400 mg Intravena, klindamisin yang
efektif untuk kuman yang an-aerob dengan dosis 2x600 mg intravena sehari dan
ceftriaxon 2 gr intravena sehari 1x1.
Pada penggunaan kortikosteroid, tappering off hendaknya dilakukan cepat
karena umumnya penyebab SSJ adalah eksogen. Bila tappering off tidak lancar,
perlu dipikirkan mungkin antibiotik yang diberikan sekarang juga menyebabkan
alergi, sehingga masih timbul lesi baru atau kemungkinan penyebabnya adalah
infeksi sehingga kultur darah perlu dikerjakan.

Pada waktu penurunan dosis, mungkin dapat timbul miliaria kristalina. Hal
ini adalah wajar, dosis kortikosteroid tetap harus diturunkan. Hal lain yang perlu
diperhatikan adalah mengatur keseimbangan cairan, elektrolit dan nutrisi terlebih
pada pasien yang sukar menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan dan pada
kesadaran menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya dektrose 5%, Nacl
9%, dan Ringel Laktat berbanding 1:1:1 dalam satu labu yang diberikan 8 jam
sekali. Jika diberi dengan terapi tersebut masih belum terdapat perbaikan, maka
dapat dilakukam transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari. Efek trafusi ini

20
sebagai imunorestorasi karena mengandung sitokin dan leukosit yang
meninggikan daya tahan tubuh.

Pada kasus purpura luas dapat diberikan vitamin C 500 mg atau 1000 mg
sehari intravena. Terapi topikal yang dapat diberikan adalah krim sulfodiazin-
perak yang dapat diberikan pada daerah yang erosi dan ekskoriasi, kenalog in ora
base dan betadine gargle untuk lesi dimulut, emolien seperti krim urea 10% untuk
krusta tebal kehitaman pada bibir.
Sindrom Steven-Johnson adalah reaksi yang gawat. Bila tidak diobati
dengan baik, reaksi ini dapat menyebabkan kematian, umumnya sampai 35%
orang yang mengalami TEN dan 5-15% orang dengan SSJ. Walaupun angka ini
dapat dikurangi dengan pengobatan yang baik sebelum gejala menjadi terlalu
gawat. Reaksi ini juga dapat menyebabkan kebutaan total, kerusakan pada paru,
dan beberapa masalah lain yang tidak dapat disembuhkan.

2.9 Komplikasi9
- Mata : Ulserasi kornea, uveitis anterior, panopthalmitis, kebutaan.
- Gastroenterology : Striktur esophagus
- Genitourinary : Renal tubular nekrosis, gagal ginjal.
- Pulmonary : Pneumonia
- Kulit : Pembentukan skar, infeksi sekonder.
- Infeksi sistemik : Sepsis
- Kehilangan cairan tubuh : Shock.

2.10 Prognosis
Sindrom Steven-Johnson adalah penyakit dengan morbiditas yang tinggi,
yang berpotensi mengancam nyawa. Tingkat mortalitas adalah 5%, jika ditangani
dengan cepat dan tepat, maka prognosis cukup memuaskan.4
Lesi biasanya akan sembuh dalam 1-2 minggu, kecuali bila terjadi infeksi
sekunder. Sebagian besar pasien sembuh tanpa gejala sisa.9
Bila terdapat purpura yang luas dan leukopenia prognosisnya lebih buruk.
Pada keadaan umum yang buruk dan terdapat bronkopneumonia, dapat
menyebabkan kematian.10 Pengembangan gejala sisa yang serius, seperti

21
kegagalan pernafasan, gagal ginjal, dan kebutaan, menentukan prognosis. Sampai
dengan 15% dari semua pasien dengan sindrom Stevens-Johnson (SSJ) meninggal
akibat kondisi ini. Bakteremia dan sepsis meningkatkan resiko kematian.9
Nilai SCORTEN merupakan sejumlah variable yang digunakan untuk
meramalkan faktor risiko terjadinya kematian pada SSJ dan dan juga pada TEN.9

Tabel 1. Skor SCORTEN.9


Faktor prognosis Skor mortalitas
 Umur > 40 tahun  SCORTEN 0-1 > 3.2%
 Keganasan  SCORTEN 2 > 12.1%
 Denyut jantung > 120 x/menit  SCORTEN 3 > 35,3%
 Persentase detasemen epidermis >10  SCORTEN 4 > 58.3%
%  SCORTEN 5 atau lebih >
 BUN level >10 mmol/L 90%
 Kadar glukosa serum > 14 mmol / L
 Kadar bikarbonat < 20 mmol / L

22
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. X
Umur : 25 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Bukittinggi

3.2 Anamnesa
3.2.1 Keluhan Utama
Seorang pasien wanita berusia 25 tahun datang ke IGD RSUD Dr.Achmad
Mochtar Bukittinggi dengan keluhan utama berupa lepuh-lepuh kemerahan yang
terasa gatal dan perih pada hampir seluruh bagian tubuh.

3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang


 Bercak-bercak merah gatal disertai lepuh sejak 3 hari yang lalu di wajah.
Keluhan menjadi semakin bertambah banyak.
 Keluhan disertai luka lecet pada bibir dan mulut
 Keluhan juga disertai dengan mata merah berair.
 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien demam dan batuk, kemudian
pasien meminum obat kotrimoksazol dan parasetamol yang dibeli sendiri
oleh pasien.
 Sesak nafas disangkal.
 BAK nyeri disangkal.
 BAB nyeri disangkal

3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


 Belum pernah sakit seperti ini sebelumnya

3.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


 Tidak ada keluarga pasien yang menderita penyakit seperti ini.

23
3.2.5 Riwayat Pengobatan
 Pasien belum mengobati keluhannya
 Pasien tidak ada riwayat alergi obat sebelumnya

3.3 PemeriksaanFisik
 Status Generalisata:
- KeadaanUmum : Tampak sakit sedang
- Kesadaran : Composmentis cooperative
- Status Gizi : Baik
- Pemeriksaan Thorax : Diharapakan dalam batas normal
- Pemeriksaan Abdomen : Diharapkan dalam batas normal

 Status Dermatologikus:
- Lokasi : Hampir di seluruh tubuh
- Distribusi : Generalisata
- Bentuk/susunan : Tidak Khas
- Batas : Tegas
- Ukuran : Lentikuler-Plakat
- Efloresensi :. Makula eritem, erosi dengan dasar makula
eritema, krusta merah kehitaman, ekskoriasi, urtika

24
PemeriksaanAnjuran
 Pemeriksaan darah rutin
 Fungsi ginjal
 Fungsi hepar
 Elektrolit
 Analisis gas darah
 Gula darah sewaktu
 Pemeriksaan rontgen paru
 Albumin dan protein darah
 Pemeriksaan imunofluoresen

Diagnosa
Sindrom Stevens Johnson (SSJ) ec paracetamol

25
Diagnosa Banding
Staphylococcal scalded skin syndrome, Generalized bullous fixed drug
eruption, Graft versus host disease, Eritematosus bullosa

Penatalaksanaan
Umum :
 Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
 Penanganan kulit yang mengalami epidermolisis, seperti kompres
dan mencegah infeksi sekunder
 Berikan nutrisi secara enteral pada fase akut, baik secara oral
maupun nasogastrik ( diet rendah garam tinggi protein )
 Menghentikan obat yang dicurigai sebagai pencetus
 Pasien dirawat (sebaiknya dirawat di ruangan intensif) dan
dimonitor ketat untuk mencegah hospital associated infections
(HAIs)
 Atasi keadaan yang mengancam jiwa

Khusus :
Sistemik
Infus D5 % : NaCl 0,9 % - > 1 : 1 = 21 tpm

Hari ke I :
 Dexametason 4 x 5 mg (IV)
 Gentamicin 2 x 80 mg (IV)
 Ranitidin 2 x 50 mg (IV)

Hari ke II :
Bila ada perbaikan terapi dilanjutkan sesuai terapi hari pertama

Hari ke III:
 Dexametason 3 x 5 mg (IV)
 Gentamicin 2 x 80 mg (IV)
 Ranitidin 2 x 50 mg (IV)

26
Hari ke IV :
Bila ada perbaikan terapi dilanjutkan sesuai terapi sebelumnya

Hari ke V :
 Dexametason 2 x 5 mg (IV)
 Gentamicin 2 x 80 mg (IV)
 Ranitidin 2 x 50 mg (IV)

Hari ke VI :
Bila perbaikan, gentamicin di stop, dexametason dan ranitidin dilanjutkan

Hari ke VII :
 Dexametason 1 x 5 mg (IV)
 Ranitidin 1 x 50 mg (IV)

Hari ke VIII :
 Dexametason 1 x 5 mg (IV)
 Ranitidin 1 x 150 mg (PO)
 Prednison 2 x 20 mg (PO)

Hari ke IX :
 Infus stop
 Ranitidin stop
 Prednison 2 x 20 mg (PO)

Hari ke X :
Boleh Pulang

Topikal :
 Silver sulfadiazin cream 10 mg
 Kenalog in orabase pasta 0,1 %

27
Prognosis
Quoadvitam : Dubia ad bonam
Quoadfungsionam : Bonam
Quoadsanactionam : Dubia ad bonam
Quo ad kosmetikum : Dubia ad bonam

RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi


Ruangan Poliklinik Kulit dan Kelamin
Dokter: dr. K
SIP: 111/SIP/2020

Bukittinggi, 17 November 2020

R/ Infus Set No I
Abocath no 20 G No I
D5 % Kolf No I
NaCl 0,9 % Kolf No I
Dexametason amp 5mg/cc No IV
Ranitidin amp 50mg/2cc No II
Spuit 3cc No II
Spuit 1 cc No IV
Simm
R/ Kenalog in orabase paste 0,1% tube No I
Sue
R/ Silver sulfadiazin cream 10 mg tube No I
Sue

Pro : Ny. Y
Umur: 25 tahun
Alamat : Bukitinggi
BAB IV
KESIMPULAN

28
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis
erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit, mukosa
orifisium serta mata disertai gejala umum yang bervariasi dari ringan sampai
berat. Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti, pada umumnya sering berkaitan
dengan respon imun terhadap obat. Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas
walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III dan reaksi
hipersensitivitas tipe IV.
Sindrom Steven-Johnson menyebabkan pengelupasan kulit kurang dari 10%
permukaan tubuh, pada selaput lendir dapat menimbulkan krusta kehitaman, dan
pada mata menyebabkan konjungtivitis purulenta. Tidak ada pemeriksaan
laboratorium yang khas untuk mendiagnosis SSJ kecuali pemeriksaan
histopatologis.
Penanganan SSJ dilakukan dengan menghentikan obat penyebab, memberi
terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral pada
penderita dengan keadaan umum berat.
Sindrom Steven-Johnson adalah penyakit dengan morbiditas yang tinggi,
yang berpotensi mengancam nyawa. Jika ditangani dengan cepat dan tepat, maka
prognosis cukup memuaskan.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Halim, Efita. Sindromstevensjohnson. In :Ilmu penyakit Kulit dan Kelamin


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 7thedition. Jakarta.2015.
hal199-201.
2. Siregar, R.S.Sindromastevens Johnson. In: Saripati Penyakit Kulit.
3thedition. EGC. Jakarta. 2014. Hal 143-145.
3. Novita, Hanna, Hasudungan, Hendra dan Asep. Sindrom Steven Johnson
et causa Paracetamol, J Medula Unila. Volume 6, 1:102. Desember 2016.
4. Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2nd
ed. Pharmaceutical Press. 2006. Diunduh dari : http://drug
safety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf.
5. Julia,Fajri.Stevens Johnson Syndrome.SMF Ilmu Kesehatan Anak,
Fakultas Kedokteran, Universitas Malikussaleh, Aceh, Indonesia.Jurnal
Averrous Vol.5 No.1 Mei 2019
6. Ayu komang. Penatalaksanaan SSJ pada anakDepartemenKSM
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas UdayanaRSPTN
Universitas Udayana, Bali, Indonesia. Intisari Sains Medis 2019, Volume
10, 3: 592-596
7. Ariyanto Harsono, Anang Endaryanto: Sindrom stevens Johnson. Diunduh
dari http://ummusalma.wordpress.com/2007/02/17/sindrom-
stevenjohnson/#more- 34.
8. Djuanda, A. Hamzah, M. Sindrom Stevens Johnson. Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. Edisi 5. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta 2007 : 163-166.
9. Peter C. Schalock, MD : Stevens-Johnson Syndrome (SJS) and Necrolysis
Epidermal Toxic . The merck manual. 2006. Diunduh dari:
http://www.merck.com/mmhe/sec18/ch203/ch203e.html
10. Panduan Praktik Klinis. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin
Indonesia (PERDOSKI), 2017
11. Knowles S, Shear NH. Clinical risk management of stevens Johnson
syndrome, toxic epidermal necrolysis. Dalam: Spectrum; 2009;22:441-451

30
12. Whitney A High, MD et all. Steven Johnson Syndrome and Toxic
Epidermal Necrolysis : Management, Prognosis and Long term sequelae.
MD Employee of UpToDate Inc, March 2015
13. Valeyrie Allanore L, Roujeau JC. Epidermal Necrolysis (Steven Johnsosns
Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis). Dalam: Wolff K, Goldsmith
LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, editors. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: Mc
Graw;2008;349-55
14. Mahadi IDR. Sindroma Stevens Johnson. Dalam: Simposium dan
Pelatihan “What’s new in Dermatology”. Banda Aceh, 10 Juli 2010; 1-5

31

Anda mungkin juga menyukai