0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
9 tayangan4 halaman
Teks tersebut membahas budaya masyarakat pulau Jawa, mulai dari sistem kekerabatan, adat istiadat, dan kepercayaan pra-Hindu Budha seperti animisme dan dinamisme. Kepercayaan animisme meyakini kekuatan roh dan makhluk gaib, sementara dinamisme meyakini kekuatan gaib pada benda-benda tertentu. Kedua kepercayaan tersebut masih memengaruhi budaya Jawa sampai saat ini.
Teks tersebut membahas budaya masyarakat pulau Jawa, mulai dari sistem kekerabatan, adat istiadat, dan kepercayaan pra-Hindu Budha seperti animisme dan dinamisme. Kepercayaan animisme meyakini kekuatan roh dan makhluk gaib, sementara dinamisme meyakini kekuatan gaib pada benda-benda tertentu. Kedua kepercayaan tersebut masih memengaruhi budaya Jawa sampai saat ini.
Teks tersebut membahas budaya masyarakat pulau Jawa, mulai dari sistem kekerabatan, adat istiadat, dan kepercayaan pra-Hindu Budha seperti animisme dan dinamisme. Kepercayaan animisme meyakini kekuatan roh dan makhluk gaib, sementara dinamisme meyakini kekuatan gaib pada benda-benda tertentu. Kedua kepercayaan tersebut masih memengaruhi budaya Jawa sampai saat ini.
Masyarakat Jawa merupakan satu kesatuan masyarakat yang diikat oleh norma- norma, tradisi, maupun agama. Hal ini dapat dilihat pada ciri-ciri masyarakat Jawa secara kekerabatan. Sistem kehidupan kekeluargaan di Jawa tergambar dalam kekerabatan masyarakat di Jawa. Jika kita memperhatikan kosakata kekerabatan, tampaklah istilah yang sama dipakai untuk meyebut moyang, baik pada tingkat ketiga maupun keturunan pada generasi ketiga, dengan aku sebagai acuan. Jadi, buyut dapat berarti ayahnya kakek, maupun anaknya cucu, dan seterusnya (wareng, udeg-udeg, gantung siwur, gropaksente, debog bosok) sampai generasi kesepuluh di mana galih asem dapat menunjukkan, baik nenek moyang maupun keturunan jauh. Dengan demikian, seluruh susunan kerabat secara berurutan tak terhingga dapat terbayang dalam cermin yang berhadapan. Di Jawa, anak-anak sering dibesarkan oleh saudara-saudara, orang tua mereka, bahkan oleh tetangga, dan anak acap kali diangkat. Hukum adat menuntut setiap orang laki-laki bertanggungjawab terhadap keluarganya dan masih dituntut untuk bekerja membantu kerabat lain dalam hal-hal tertentu seperti mengerjakan tanah pertanian, membuat rumah, memperbaiki jalan desa, membersihkan lingkungan perkuburan dan yang lainnya. Semboyan saiyeg saeka praya atau gotong royong merupakan rangkaian hidup tolong menolong sesama warga. Kebudayaan yang mereka bangun adalah hasil adaptasi dari alam sehingga dapat meletakkan pondasi patembayatanyang kuat dan mendasar. Pengelolaan tanah lahan pertanian sampai waktu panen diselenggarakan secara bergotong royong, saling menolong. Hal ini masih berlaku hingga saat ini dalam sistem musyawarah adat desa yang disebut rembug desa.[1]
B. Kepercayaan Animisme Jawa
Animisme berasal dari kata anima, animae, dari bahasa Latin animus, dan bahasa Yunaniavepos, dalam bahasa Sanskerta disebut prana, dalam bahasa Brani disebut ruah yang artinya nafas atau jiwa. Dari pandangan sejarah agama istilah tersebut digunakan dan diterapkan dalam suatu pengertian yang lebih luas untuk menunjukkan kepercayaan terhadap adanya makhluk-makhluk spiritual yang erat sekali hubungannya dengan tubuh atau jasad.[2] Kepercayaan animisme adalah suatu kepercayaan tentang adanya roh atau jiwa pada: 1. Nature worship Umumnya, pemujaan terhadap alam atau bagian-bagian dari alam raya, telah dilakukan oleh semua golongan atau bangsa primitif yakni golongan atau bangsa yang belum sempat menerima wahyu Allah yang dibawa oleh para Rasul sepanjang zaman. Faedah matahari, bulan, api, dan sebagainya telah mereka salah artikan. 2. Fetish worship Pemakaian benda disebabkan adanya kepercayaan bahwa setiap benda memiliki kekuatan gaib. Fetishme berkeyakinan bahwa dengan menggunakan benda-benda tertentu, pemakainya akan terhindar dari malapetaka, umpamanya sembuh dari penyakit, kebal atas tusukan senjata tajam, selamat dari gangguan roh jahat, dan sebagainya. 3. Animal worship Memuja binatang agak ganjil kedengarannya, namun kenyataannya masih banyak dikerjakan umat manusia masa kini. Minimal mereka memuliakan bagian-bagian dari binatang tertentu, seperti taring babi putih, kulit, dan sebagainya. 4. Ancestor worship Memuja roh nenek moyang, hampir dialami oleh berbagai bangsa di muka bumi ini. Di Indonesia sendiri, sampai hari ini masih banyak bekas-bekasnya.[3] Animisme itu adalah kepercayaan pertama mereka, dimana mereka menafsirkan pada semua benda yang bergerak itu dianggap hidup dan memiliki kekuatan roh, baik roh baik maupun roh jahat. Disamping itu mereka juga menganggap semua roh yang ada pasti ada roh yang paling berkuasa dari manusia. Sehingga mereka melakukan upacara sesembahan disertai sesaji untuk terhindar dari gangguan roh itu. Ciri khas animisme adalah menganut kepercayaan roh-roh dan daya-daya gaib yang bersifat aktif. Prinsip roh aktif artinya kepercayaan animisme mengajarkan bahwa roh-roh orang mati tetap hidup dan bahkan menjadi sakti seperti dewa, bisa berbuat aktif mencelakakan atau sebaliknya, membantu menyelamatkan dan menyejahterakan manusia. Di dunia ini juga dihuni oleh berbagai macam roh gaib yang bisa membantu atau mengganggu kehidupan manusia. Dengan demikian, seluruh ritus atau upacara meditasi animisme adalah untuk hubungan dan memengaruhi roh-roh dan kekuatan-kekuatan gaib tersebut. Bahkan, dengan jalan meditasi atau dukun prewangan adalah untuk menjalin hubungan langsung untuk minta bantuan dengan roh-roh dan kekuatan gaib.[4] Adapun hal-hal penting pada masa animisme ialah:[5] 1. Agar keluarga mereka terlindung dari roh jahat, mereka membuat monumen-monumen yang terbuat dari batu-batu besar yang kurang halus pengerjaannya sebagai tempat pemujaan untuk memuja nenek moyang serta menolak perbuatan hantu jahat. Cara yang ditempuh untuk menghadirkan arwah nenek moyang adalah dengan mengundang orang yang sakti dan ahli dalam bidang tersebut yang disebut perewangan, untuk memimpin. Untuk melengkapi upacara tersebut mereka juga menyiapkan sesaji dan membakar kemenyan atau bau-bauan lainnya yang digemari oleh nenek moyang. Tidak hanya itu, mereka juga menyempurnakan upacara tersebut dengan bunyi-bunyian dan tari-tarian. Sisa-sisa upacara keagamaan semacam itu masih dapat dijumpai dalam kehidupan masyarakat Jawa sekarang. Namun upacara tersebut telah berubah fungsinya menjadi kesenian rakyat tradisional, misalnya sintren, nini thowok, barongan, tari topeng, dan pertunjukan wayang. Upacara kematian secara berurutan diadakan sebagai berikut. Slametan surtanah ataugeblak yang diadakan pada saat meninggalnya seseorang, slametan nelung dina, yaitu upacara keselamatan kematian yang diadakan pada hari ke tiga sesudah saat meninggalnya seseorang. Slametan mitung dina, yaitu upacara selamatan saat sesudah meninggalnya seseorang yang jatuh pada hari ke tujuh. Kemudian, slametan matang puluh dina atau empat puluh harinya, slametan nyatus atau seratus hari, slametan mendak sepisan dan mendak kepindo, yaitu setahun dan dua tahunnya, slametan nyewu atau ke seribu harinya, slametan nguwis-uwisiatau peringatan saat kematian seseorang untuk terakhir kalinya. Upacara selametan dan pertunjukan tari-tari tradisional, serta pertunjukan wayang adalah sisa-sisa tindakan keagamaan orang Jawa peninggalan zaman animisme yang terus dianut dan dilaksanakan sebagai tradisi sampai saat ini 2. Tindakan keagamaan lainnya sebagai sisa peninggalan zaman animisme adalah pemberian sesaji atau sesajen kanggo sing mbahureksa, mbahe atau danyang yang berdiam di pohon- pohon beringin atau pohon besar dan telah berumur tua, di sendang-sendang atau belik,tempat mata air, di kuburan-kuburan tua dari tokoh yang terkenal pada masa lampau atau tempat-tampat lainnya yang dianggap keramat dan mengandung kekuatan gaib atau angker danwingit atau berbahaya. Agar dapat menarik simpati roh-roh yang berdiam di tempat angker tersebut, maka pada waktu tertentu dipasang sesaji berupa sekedar makanan kecil dan bunga. Sesaji diselenggarakan untuk mendukung kepercayaan mereka terhadap adanya kekuatan makhluk-makhluk halus seperti lelembut, demit dan jin yang mbahureksa atau diam di tempat-tempat tersebut agar tidak mengganggu keselamatan, ketentraman, dan kebahagiaan keluarga yang bersangkutan. Selain itu juga untuk memohon berkah dan memohon perlindungan dari yang mbahureksa agar terhindar dan terjauhkan dari gangguan makhluk halus lainnya yang diutus oleh seseorang untuk mengganggu keluarganya. Penanggalan Jawa membuat kita terkesan pada keanekaragaman waktu yang dikodifikasikan olehnya. Sistem penanggalan berdasarkan hari yang pada pokoknya berlandaskan pada paduan tiga pekan, masing-Masingnya pancawara atau pasaran, sadwara, dan saptawara. Nama hari-hari pancawara dan sadwara semuanya berasal dari jawa, yaitupahing, pon, wage, kliwon dan legi. Nama hari sadwara adalah tungle, ariang, wurukung,paning rong, uwas, dan mawulu. Di Bali pun masih demikian, dan yang sekarang berasal dari bahasa Arab adalah ahad, senin, selasa, rebo, kemis, jemuwah dan setu, sesajian kepada roh-roh dibuat pada hari-hari tertentu yang dianggap baik walaupun agak rumit, kerumitan hari-hari di Jawa memang telah berkurang jika dibandingkan dengan di Bali, di mana hanya diperhitungkan pertemuan antara hari- hari pancawara dan saptawara. Kombinasi antara hari selasa dan jum’at dengan pasaran kliwon dianggap sangat istimewa.
C. Kepercayaan Dinamisme Jawa
Perkataan dinamisme berasal dari kata yang terdapat dalam bahasa Yunani, yaitu dunamosdan di-Inggriskan menjadi dynamis yang umumnya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kekuatan, kekuasaan atau khasiat dan dapat juga diterjemahkan dengan daya.[6]Dinamisme adalah kepercayaan bahwa pada benda-benda tertentu baik benda hidup atau benda mati bahkan juga benda-benda ciptaan (seperti tombak, keris, cincin dan lain-lain) mempunyai kekuatan gaib dan dianggap bersifat suci. Benda suci itu mempunyai kekuatan yang luar biasa sehingga dapat memancarkan kekuatan baik dan buruk kepada manusia dan alam sekitar. Dengan demikian, di dalam masyarakat terdapat orang, binatang, tumbuh-tumbuhan, benda-benda dianggap mempunyai penngaruh baik dan buruk.[7] Penganut kepercayaan dinamisme sering meminta tolong kepada arwah-arwah nenek moyang untuk urusan mereka, juga terhadap arwah-arwah orang yang mereka anggap besar dan dihormati. Mereka masih mempercayai benda-benda pusaka yang mempunyai kekuatan gaib, seperti keris, batu hitam, batu merah, delima, dan lain-lain. Dinamisme merupakan kepercayaan yang mempunyai kekuatan abstrak yang terdiam pada suatu benda maupun tempat tertentu. Masyarakat Jawa penganut dinamisme percaya bahwa selain kehidupan fana ada kehidupan lain yang tidak terlihat secara kasat mata. Sisi baik dari kepercayaan dinamisme Jawa adalah mereka dapat memahami konsep pluralisme, sikap toleransi dan menghormati kepercayaan lain juga keterbukaan mereka terhadap lingkungan sekitar. Beberapa upacara tradisi para penganut dinamisme Jawa yang masih rutin sampai saat ini adalah larungan, perayaan tahun baru sura, tedhak siten, ruwatan dan lain-lain. Di Kraton Yogyakarta dan Solo masih rutin diadakan upacara kirab pusaka pada tahun baru Jawa Sura, sedangkan upacara larungan yang paling terkenal adalah didaerah pesisir Cilacap.[8] Selanjutnya, sebagai sisa peninggalan masa lalu adalah melakukan tindakan keagamaan dengan berusaha untuk menambah kekuatan batin agar dapat mempengaruhi kekuatan alam semesta atau jagad gede. Hal ini dilaksanakan agar semua kekuatan alam yang akan mempengaruhi kehidupan diri dan keluarganya dapat dikalahkan. Usaha ini ditempuh dengan jalan laku prihatin atau merasakan perih ing batin dengan cara cegah dahar lawan guling (mencegah makan dan mengurangi tidur), mutih (hanya makan makanan yang serba putih seperti nasi putih, minum air atau air tawar), ngasrep (hanya makan makanan dan minum minuman yang rasanya tawar atau tanpa gula dan garam), dan berpuasa pada hari-hari wetonan atau hari kelahiran. Usaha yang berat adalah melakukan pati geni, yaitu tidak makan, tidak minum dan tidak melihat sinar apapun selama empat puluh hari empat puluh malam. Usaha untuk menambah kekuatan batin itu sendiri dilakukan pula dengan cara menggunakan benda-benda bertuah atau berkekuatan gaib yang disebut jimat, yakni berupa keris, tombak, songsong jene, batu akik, akar bahar dan kuku macan.[9] Pada intinya dinamisme adalah kepercayaan kepada suatu daya kekuatan atau kekuasaan yang keramat dan tidak berpribadi, yang dianggap halus atau berjasad, yaitu sejenis fluidum, yang dapat dimiliki maupun tidak dapat dimiliki oleh benda, binatang, atau manusia. Disini perbedaannya dengan animisme tampak jelas. Kedua-duanya berkenaan dengan cara tanggapan manusia terhadap kekuatan. Tetapi dalam animisme kekuatan tersebut dianggap sebagai kekuasaan yang mempribadi, sementara dinamisme berpangkal pada tanggapan terhadap kekuasaan yang tidak berpribadi.[10]