Anda di halaman 1dari 2

Adat dan Kepercayaan Suku Dayak Kalimantan sebelum datangnya Islam

Pada zaman dahulu, sekitar abad ke 15 Mandomai dan pada umumnya Kalimantan
Tengah masih tergolong tempat yang masih murni yaitu hutan belantara dan belum tersentuh
oleh para pendatang. Penduduk aslinya ialah Suku Dayak Ngaju yaitu suku Dayak yang
mendiami sepanjang bantaran sungai Kapuas, dan kepercayaan yang di anut oleh suku Dayak
pun masih kepercayaan nenek moyang yaitu Kaharingan yang artinya "Kehidupan". Suku Dayak
Ngaju pada zaman dahulu merupakan salah satu suku terkuat yang melakukan budaya "Kayau"
atau budaya berburu kepala.
Rumah tempat tinggal suku Dayak Ngaju pada zaman dahulu ialah Rumah Betang atau
dalam bahasa Dayak Ngaju Kapuas di sebut "Huma hai". Rekonstruksi rumah tersebut seperti
rumah panggung pada umumnya, mempunyai tiang rumah yang tinggi kira-kira 10 meter dan
lebar rumah sekitar 50 meter. Maksud orang Dayak pada zaman dahulu dengan mendirikan
rumah tinggi ialah untuk menghindari dari bahaya seperti binatang buas, banjir dan budaya
kayau. Dan rumah Betang biasanya di huni 20 bahkan sampai 100 kepala keluarga, tergantung
dari ukuran rumah Betang tersebut. Dan masyarakatnya pun pada masa itu masih tergolong
primitif, menggunakan baju dari anyaman rotan, kulit kayu maupun kulit hewan. Kemudian
kegiatan masyarakatnya pun masih tergolong sederhana seperti berburu, nelayan sungai dan
bertani.

Selain itu budaya Dayak yang masih dipegang teguh oleh masyarakat tersebut masih
murni seperti kepercayaan Kaharingan, tiwah (upacara kematian suku Dayak Ngaju), Ciri - ciri
fisik orang Dayak Ngaju zaman dulu ialah berkulit putih, bermata sipit, tubuh tegap,
menggunakan kalung dari taring binatang buas, dan menggunakan hiasan kepala baik ikat kepala
maupaun dari anyaman rotan yang dihiasi dengan bulu burung dan senjata tradisionalnya berupa
Mandau, Tombak, Sumpit, dll.
Seperti penyebaran Islam yang ada di daerah umum lainnya, Suku Dayak mulai memeluk
agama Islam pada awal tahun 1688 melalui penyebar agama Islam dari Demak. Dan Islam masuk
ke daerah suku dayak melewati jalur perniagaan, pedagang dari daerah Kuin, Bandarmasih
(Banjarmasin) KAL- SEL yang sudah terlebih dahulu memeluk Agama Islam, da kemudian
mensyiarkan Islam sambil melakukan aktifitas perdagangannya, diperkirakan Islam masuk ke
daerah suku Dayak sekitar abad ke-18, dan akhirya para penghuni “huma hai” pun tertarik
dengan ajaran Islam yang menurut mereka sangat relevan dengan kehidupan manusia,
penyebaran Islam begitu pesat di daerah suku Dayak, hal ini terbukti dari adanya pembauran
budaya setempat dengan corak budaya Islam, seperti nisan makam yang berbentuk tinggi seperti
sapundu (titian menuju surga menurut ajaran agama Kaharingan) berukirkan kaligrafi arab di
sebuah makam seorang penghuni “huma hai”.
Tradisi Penguburan Suku Dayak
Tradisi penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas
dalam hukum adat. Sistem penguburan tersebut beragam sejalan dengan sejarah panjang
kedatangan manusia di Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di
Kalimantan :
 penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat
 penguburan di dalam peti batu
 penguburan dengan tempat yang terbuat dari kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Dan
tradisi penguburan ini merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.
Dan masyarakat Dayak Ngaju (Kalimantan Tengah) mengenal tiga cara penguburan, yaitu:
 dikubur dalam tanah
 diletakkan di pohon besar
 dikremasi dalam upacara tiwah.

Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang
dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di
buat. Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk
mereka yang sudah meninggal dunia. Dan tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada
penganut Kaharingan, sebagai simbol pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan)
yang dilaksanakan setahun atau beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.
Dan tradisi kematian suku Dayak Ngaju yang ada di Kalimantan Tengah yaitu dengan
cara, mengantarkan orang yang telah meninggal dunia ke alam keabadiaan dengan pelaksanaan
wara. Pelaksanaan wara bisa langsung dilaksanakan setelah penguburan selesai, apabila pihak
dari keluarga mampu melaksanakannya. Tetapi apabila pihak dari keluarga tidak mampu untuk
melaksanakan upacara wara tersebut, maka bisa ditunda sampai pihak keluarga mampu untuk
melaksanakannya.
Upacara wara setelah kematian ini terdiri atas:
         wara 1 hari 1 malam
         wara 3 hari 3 malam
         wara 7 hari 7 malam
         wara 9 hari 9 malam
         dan wara 14 hari 14 malam.
Dalam upacara wara tersebut tergantung kemampuan dari pihak keluarga yang
meninggal. Apabila pihak keluarga telah melaksanakan wara 1 hari 1 malam, maka pihak dari
keluarga telah dianggap selesai melaksanakan tanggung jawabnya kepada arwah yang telah
meinggal, karena menurut kepercayaan suku Dayak roh tersebut telah berkumpul dengan
saudara-saudaranya yang telah terlebih dahulu meninggal mendahuluinya.

Anda mungkin juga menyukai