JUDUL MAKALAH
EPIDEMIOLOGI PENYAKIT
TIDAK MENULAR
DISUSUN OLEH:
Dodi Kurniawan
(1901012004)
DHARMASRAYA
2020
KONSEP DASAR EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Menurut WHO, penyakit menular yang paling umum adalah HIV / AIDS, TBC, malaria, dan
infeksi saluran pernapasan bawah. Pneumonia adalah penyakit menular lain yang dapat
menyebabkan kematian anak-anak yang sangat muda dan sangat fatal bagi bayi yang memiliki
berat badan lahir rendah atau sistem kekebalan tubuh yang lemah.
Saat ini, tingkat global penyakit menular menurun berkat kemajuan dalam program vaksinasi dan
pengembangan obat; Namun, penyakit menular masih menimbulkan bahaya yang signifikan.
1. kontak fisik dengan orang yang terinfeksi, seperti melalui sentuhan (staphylococcus),
hubungan seksual (gonore, HIV), penularan tinja / oral (hepatitis A), atau tetesan (influenza,
TB).
2. kontak dengan permukaan atau benda yang terkontaminasi (virus Norwalk), makanan
(salmonella, E. coli), darah (HIV, hepatitis B), atau air (kolera).
3. gigitan serangga atau hewan yang mampu menularkan penyakit (nyamuk: malaria dan demam
kuning; kutu: wabah); dan bepergian melalui udara, seperti TBC atau campak.
2. PERBEDAAN PENYAKIT MENULAR DAN TIDAK MENULAR, BEDA
PENCEGAHANNYA
Perbedaan penyakit menular dan tidak menular dapat dilihat dari penyebab dan faktor risikonya.
Ada banyak jenis penyakit menular dan tidak menular yang berisiko diderita seseorang. Penyakit
menular dan tidak menular telah memengaruhi jutaan orang di seluruh dunia setiap tahun.
Namun, setiap jenis penyakit bermanifestasi berbeda.
Memahami perbedaan penyakit menular dan tidak menular juga membuat orang lebih waspada
dan melakukan pencegahan sebelum terlambat. Perbedaan penyakit menular dan tidak menular
juga merupakan pengetahuan dasar dalam dunia kesehatan sehari-hari.
Menurut WHO, penyakit menular yang paling umum adalah HIV / AIDS, TBC, malaria, dan
infeksi saluran pernapasan bawah. Pneumonia adalah penyakit menular lain yang dapat
menyebabkan kematian anak-anak yang sangat muda dan sangat fatal bagi bayi yang memiliki
berat badan lahir rendah atau sistem kekebalan tubuh yang lemah.
Saat ini, tingkat global penyakit menular menurun berkat kemajuan dalam program vaksinasi dan
pengembangan obat; Namun, penyakit menular masih menimbulkan bahaya yang signifikan.
Cara Penularan Penyakit dan Risikonya
1. kontak fisik dengan orang yang terinfeksi, seperti melalui sentuhan (staphylococcus),
hubungan seksual (gonore, HIV), penularan tinja / oral (hepatitis A), atau tetesan (influenza,
TB).
2. kontak dengan permukaan atau benda yang terkontaminasi (virus Norwalk), makanan
(salmonella, E. coli), darah (HIV, hepatitis B), atau air (kolera).
3. gigitan serangga atau hewan yang mampu menularkan penyakit (nyamuk: malaria dan demam
kuning; kutu: wabah); dan bepergian melalui udara, seperti TBC atau campak.
Makanan bisa membawa kuman. Cuci tangan, peralatan, dan permukaan saat menyiapkan
makanan apa pun, terutama daging mentah. Selalu cuci buah dan sayuran. Masak dan simpan
makanan pada suhu yang tepat.
Hindari berbagi barang pribadi yang tidak dapat didesinfeksi, seperti sikat gigi dan pisau cukur,
atau berbagi handuk. Jarum tidak boleh dibagi, hanya boleh digunakan sekali, dan kemudian
dibuang dengan benar.
Dapatkan Vaksinasi
Vaksin dapat mencegah banyak penyakit menular. Ada vaksin untuk anak-anak dan orang
dewasa yang dirancang untuk memberikan perlindungan terhadap banyak penyakit menular. Ada
juga vaksin yang direkomendasikan atau diperlukan untuk perjalanan ke bagian dunia tertentu.
Penyakit tidak menular juga dikenal sebagai penyakit kronis, cenderung berlangsung lama dan
merupakan hasil dari kombinasi faktor genetik, fisiologis, lingkungan dan perilaku. Penyakit
tidak menular membunuh 41 juta orang setiap tahun, setara dengan 71% dari semua kematian
secara global.
Menurut WHO, jenis utama penyakit tidak menular adalah penyakit kardiovaskular (seperti
serangan jantung dan stroke), kanker, penyakit pernapasan kronis (seperti penyakit paru
obstruktif kronis dan asma) dan diabetes.
Perilaku yang dapat dimodifikasi, seperti penggunaan tembakau, aktivitas fisik, makanan tidak
sehat, dan penggunaan alkohol yang berbahaya, semuanya meningkatkan risiko penyakit tidak
menular. Tembakau menyumbang lebih dari 7,2 juta kematian setiap tahun (termasuk dari
dampak pajanan terhadap perokok pasif), dan diproyeksikan akan meningkat tajam pada tahun-
tahun mendatang.
4,1 juta kematian tahunan disebabkan oleh kelebihan asupan garam / natrium. Lebih dari
setengah dari 3,3 juta kematian tahunan yang disebabkan oleh penggunaan alkohol berasal dari
penyakit tidak menular, termasuk kanker. 1,6 juta kematian setiap tahun dapat dikaitkan dengan
aktivitas fisik yang tidak mencukupi.
Berhenti merokok
Berhenti merokok (atau tidak pernah mulai) menurunkan risiko masalah kesehatan yang serius,
seperti penyakit jantung, kanker, diabetes tipe 2, dan penyakit paru-paru, serta kematian dini —
bahkan untuk perokok lama.
Makan sehat membantu mencegah, menunda, dan mengelola penyakit jantung, diabetes tipe 2,
dan penyakit kronis lainnya. Pola makan yang seimbang antara buah-buahan, sayuran, biji-bijian,
daging tanpa lemak, dan produk susu rendah lemak adalah penting pada segala usia.
Aktivitas fisik
Aktivitas fisik yang teratur dapat membantu Anda mencegah, menunda, atau mengelola penyakit
kronis. Lakukan aktivitas fisik sedang seperti jalan cepat atau berkebun selama setidaknya 150
menit seminggu.
Telah dijelaskan diatas bahwa penyakit tidak menular terjadi akibat interaksi antara agent (Non
living agent) dengan host dalam hal ini manusia (faktor predisposisi, infeksi dll) dan lingkungan
sekitar (source and vehicle of agent)
1. Agent
1) Kimiawi
2) Fisik
3) Mekanik
4) Psikis
b. Agent penyakit tidak menular sangat bervariasi, mulai dari yang paling sederhana sampai yang
komplek (mulai molekul sampai zat-zat yang komplek ikatannya)
c. Suatu penjelasan tentang penyakit tidak menular tidak akan lengkap tanpa mengetahui
spesifikasi dari agent tersebut
d. Suatu agent tidak menular dapat menimbulkan tingkat keparahan yang berbeda-beda
(dinyatakan dalam skala pathogenitas) Pathogenitas Agent : kemampuan / kapasitas agent
penyakit untuk dapat menyebabkan sakit pada host e. Karakteristik lain dari agent tidak menular
yang perlu diperhatikan antara lain :
2. Reservoir
a. Dapat didefinisikan sebagai organisme hidup, benda mati (tanah, udara, air batu dll) dimana
agent dapat hidup, berkembang biak dan tumbuh dengan baik.
b. Pada umumnya untuk penyakit tidak menular, reservoir dari agent adalah benda mati.
c. Pada penyakit tidak menular, orang yang terekspos/terpapar dengan agent tidak berpotensi
sebagai sumber/reservoir tidak ditularkan.
2). Dosis
3). Patogenitas
b. Fase Akumulasi pada jaringan Apabila terpapar dalam waktu lama dan terus-menerus
c. Fase Subklinis JMJ, Volume 4, Nomor 2, November 2016, Hal: 195 – 202 Armaidi. E Pada
fase subklinis gejala/sympton dan tanda/sign belum muncul Telah terjadi kerusakan pada
jaringan, tergantung pada : 1)Jaringan yang terkena 2) Kerusakan yang diakibatkannya (ringan,
sedang dan berat) 3) Sifat kerusakan (reversiblle dan irreversible/ kronis, mati dan cacat)
d. Fase Klinis Agent penyakit telah menimbulkan reaksi pada host dengan menimbulkan
manifestasi (gejala dan tanda).
a. Tidak ditularkan
d. Sistem vaskuler
Imunisasi sebagai upaya preventif yang harus dilaksanakan secara terus menerus, menyeluruh,
dan dilaksanakan sesuai standar sehingga mampu memutus mata rantai penularan penyakit dan
menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga
bila kelak individu itu terpapar oleh dengan penyakit tersebut tidak menderita sakit.
Imunisasi adalah suatu upaya atau proses untuk menimbulkan/ meningkatkan kekebalan
seseorang terhadap suatu antigen sehingga bila kelak individu itu terpapar oleh antigen serupa
tidak akan terjadi penyakit. Tujuan jangka panjang dari upaya pelayanan imunisasi adalah
eradikasi atau eliminasi suatu penyakit. Tujuan jangka pendek adalah pencegahan penyakit
secara perorangan atau kelompok.
Banyak penyakit yang telah ditemukan vaksin sebagai upaya pencegahannya, tetapi tidak semua
diajadikan program imunisasi nasional. Menurut Depkes RI (2005), beberapa pertimbangan
untuk memasukkannya kedalam program antara lain adalah besarnya masalah yang ditimbulkan
(disease burdens), keganasan penyakit, efektifitas vaksin, dan ketersedian vaksin. Upaya
pencegahan penyakit melalui progran imunisasi lebih populer dengan sebutan Penyakit Yang
Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I).
Difteri
Gejala Difteri antara lain panas lebih kurang 38oC disertai adanya pseudo membran (selaput
tipis) putih keabu-abuan pada tenggorokan (laring, faring, tonsil) yang tak mudah lepas dan
mudah berdarah. Gejala juga dapat disertai nyeri menelan, leher membengkak seperti leher sapi
(bull neck) dan sesak nafas disertai bunyi (stridor) dan pada pemeriksaan apusan tenggorok atau
hidung terdapat kuman difteri.
Difteri disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae; terdiri dari type gravis,
mitis, dan intermedius. Gej ala klinik terjadi sebagai akibat kerja dari eksotoksin; masa inkubasi
2—5 hari. Penularan difteri melalui kontak air borne dari orang ke orang dan pada umumnya
menyerang golongan umur di bawah 15 tahun. Reservoar difteri hanya manusia. Gejala klinis
yang diakibatkannya dapat tidak nyata atau ringan sekali, yaitu berupa sedikit membran dalam
rongga hidung (anterior nasal diphtheriae) sampai sangat berat dan dapat menyebabkan kematian
(Papaevangelou, 1995).
Tanda khas yang membedakan difteri dengan penyakit saluran pernafasan lainnya adalah dengan
terbentuknya pseudomembran dan mengeluarkan eksotoksin. Pseudomembran biasanya timbul
lokal tapi kemudian bisa menjalar dari faring, tonsil, laring dan saluran nafas bagian atas.
Eksotoksin yang dikeluarkan bakteri akan menyebabkan miokarditis bila sampai di otot jantung
dan jika sampai mengenai jaringan saraf perifer akan mengakibatkan paralisis terutama otot-otot
pernafasan, nekrosis fokal pada hati dan ginjal yang menyebabkan nefritis interstitial.
Toksin difteri dihasilkan oleh Corynebacterium diphtheriae, yaitu eksotoksin yang terdiri dari
protein. Semua galur toksigenik Corynebacterium diphtheriae akan menghasilkan toksin yang
identik. Suatu strain diphtheriae dapat menjadi toksigenik jika terinfeksi terlebih dulu oleh
bakteri khusus (particular bakteri virus) yang disebut bakteriofage. Masuknya galur toksigenik
Corynebacterium diphtheriae ke dalam suatu komunitas akan menyebabkan wabah difteri dengan
cara transfer bakteriofage ke strain nontoksigenik yang berlangsung di saluran nafas.
Pada saat wabah baik strain toksigenik maupun nontoksigenik Corynebacterium diptheriae dapat
diisolasi. Toksin Corynebacterium diphtheriae jika dipaparkan terhadap formaldehid dan panas
akan kehilangan kemampuannya untuk menempel pada sel dan kehilangan aktivitas
enzimatiknya, tetapi tetap mempertahankan sifat imunogenisitasnya. Tindakan inilah yang
mengubah toksin diphtheriae menjadi toksoid yang dapat digunakan untuk tujuan imunisasi
terhadap penyakit difteri. CFR difteri berkisar antara 5-10% dan mencapai > 20% pada
kelompok umur <5 tahun dan >40 tahun. Angka ini hampir tak berubah dalam 50 tahun terakhir.
Difteri ditemukan di seluruh dunia, namun kasus klinis lebih banyak di daerah tropis dan
subtropis. Imunisasi difteri pada bayi di Indonesia dimulai tahun 1977 dan pada anak sekolah
tahun 1984. Sejak imunisasi di mulai insiden difteri jauh berkurang. Manusia dapat menjadi
karier yang asimptomatik. Transmisi secara langsung dari orang ke orang melalui saluran
pernapasan. Penularan dari lesi pada kulit atau materi yang tercemar cairan dari lesi kulit atau
muntahan kasus difteri jarang terjadi. Penularan dapat terjadi sepanjang basil virulent ada pada
lesi, bervariasi antara 2-4 minggu pada kasus yang tidak mendapat pengobatan dengan antibiotik.
Seorang karier kronis dapat menebarkan organisme selama 6 bulan atau lebih.
Imunogenitas dan Vaccine Efficacy difteri Setelah 3 dosis primer toxoid dengan interval minimal
4 minggu, pada > 85% sasaran dicapai level protektif antitoxin dalam darah (>0.1 IU/ml). Reaksi
lokal KIPI setelah pemberian toxoid umumnya adalah kemerahan (erythema) dan bengkak
(indurasi) dengan atau tanpa nyeri, gej ala ini umumnya hilang tanpa memerlukan pengobatan.
Benjolan mungkin masih teraba pada tempat suntikan selama beberapa minggu. Abses di lokasi
suntikan mungkin terjadi. Demam sering terjadi, gejala sistemik lainnya jarang terjadi. Reaksi
hipersensitivitas type arthus, yang ditandai dengan reaksi lokal yang lebih hebat, dapat terjadi,
biasanya pada orang yang menerima terlalu banyak dosis difteri toxoid, sebelumnya. Reaksi ini
disebabkan oleh tingginya kadar antibodi difteri yang bersirkulasi.
Tetanus
Penyebab tetanus adalah Clostridium tetani yang terdiri dari tetanus neonatorum dan tetanus.
Tetanus neonatorum adalah bayi lahir hidup normal dan dapat menangis dan menetek selama 2
hari kemudian timbul gejala sulit menetek disertai kejang rangsang pada umur 3-28 hari. Tetanus
dengan gejala riwayat luka, demam, kejang rangsang, risus sardonicus (muka setan), kadang-
kadang disertai perut papan dan opistotonus (badan melengkung) pada umur di atas 1 bulan.
Tetanus adalah penyakit infeksi yang disebabkan exotoxin yang diproduksi oleh Clostridium
Tetani. Clostridium Tetani adalah basil batang anaerob, gram positif yang dapat membentuk
spora pada salah satu ujungnya, sehingga bentuknya menyerupai pemukul genderang. Organisme
ini sensitif terhadap panas dan tidak tahan terhadap oksigen. Sebaliknya, dalam bentuk spora,
organisme ini sangat tahan terhadap panas maupun antiseptik biasa. Spora bertahan hidup dalam
autoclav pada suhu 121OC selama 10 – 15 menit. Spora juga tahan terhadap phenol serta bahan
kimia lainnya. Basil tetanus ditemukan di tanah, dalam usus serta tinja kuda, domba, ternak,
anjing, kucing, tikus, kelinci dan ayam. Tanah yang dipupuk mengandung banyak spora. Di
daerah pertanian, banyak orang dewasa terinfeksi tetanus.
Spora ditemukan pada permukaan kulit. Spora tetanus yang masuk ke dalam luka dapat
berkembang biak dalam suasana anaerobik dan membentuk toksin. Reservoarnya adalah usus
manusia dan hewan serta tanah yang terkontaminasi kotoran manusia atau hewan. Pada neonatus
penyakit ini dikenal dengan tetanus neonatorum yang diakibatkan oleh kuman yang masuk
melalui luka pada tali pusat. Gej ala khas berupa kejang rangsang atau kejang spontan; muka
tampak menyerigai (rhesus sardonicus), pada bayi mulut terkancing (trismus). Pada kasus yang
ringan gej ala tersebut hilang setelah 2—3 minggu. Tanpa program imunisasi, attack rate sebesar
20 per 1.000 kelahiran hidup. CFR bervariasi berkisar 30—90%, bergantung pada umur, masa
inkubasi, dan pengobatan.
Tetanus disebabkan oleh suatu neurotoksin yang sangat poten, disebut tetanoplasmin yang
dihasilkan pada saat tumbuhnya bakteri anaerob Clostridium tetani. Toksin tetanus akan
bermigrasi ke susunan syaraf pusat dengan cara transport retrograd melalui syaraf. Toksin
tetanus bersifat neurotropik dan akan berikatan dengan reseptor yang mengandung gangliosid
pada terminal syaraf. Sekali berikatan dengan jaringan neuron, toksin tetanus tidak dapat
dipengaruhi oleh antitoksin tetanus. Toksin ini akan berakumulasi pada susunan syaraf pusat dan
menghadang release dari substansi neurotransmiter inhibitori, seperti glysin dan gamma-
aminogluteric acid pada synaps neuron. Toksin tetanus sangat toksik. Penyakit ini ditandai oleh
kaku seluruh tubuh dan serangan kejang dari otot lurik (otot skeletal). Kaku otot biasanya
dimulai dari rahang (rahang terkunci/trismus), leher dan akhirnya seluruh tubuh.
Masa inkubasi rata-rata 8 hari (3-2 1 hari), pada umumnya semakin jauh lokasi luka dari susunan
syaraf, semakin panjang masa inkubasinya, semakin pendek masa inkubasinya, semakin tinggi
risiko kematiannya. Pada tetanus neonatorum, gej ala umumnya muncul antara 4-14 hari setelah
lahir (rata-rata 7 hari). Berdasarkan gejala klinis, tetanus dibedakan atas : Tetanus lokal, Tetanus
cephalica, Tetanus gereralisata, Tetanus Neonatorum.
Clostridium Tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka. Pada kondisi anaerob ( kadar
oksigen rendah), spora menjelma menjadi bentuk aktif. Toksin, antara lain tetanospasmin
diproduksi dan menyebar melalui darah dan cairan limfe. Toksin bekerja pada beberapa tempat,
seperti susunan syaraf pusat, ujung motorik, medulla spinalis, otak serta system syaraf simpatik.
Manifestasi klinis dari tetanus timbul bila vaksin tetanus mempengaruhi pelepasan
neurotransmitter, menghalangi efek inhibisi. Hal ini berakibat pada kontraksi otot terus menerus
dan kejang.
Pertusis
Pertusis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Bardetella pertusis dengan gejala
batuk beruntun dan pada akhir batuk menarik nafas panjang terdengar suara “hup” (whoop) yang
khas, biasanya disertai muntah. Serangan batuk lebih sering pada malam hari. Akibat batuk yang
berat dapat terjadi pedarahan selaput lendir mata (conjunctiva) atau pembengkakan di sekitar
mata (oedema periorbital). Lamanya batuk bisa mencapai 1-3 bulan dan penyakit ini sering
disebut penyakit 100 hari. Pemeriksaan lab pada apusan lendir tenggorokan dapat ditemukan
kuman pertusis (Bordetella pertussis).
Pada fase awal, infeksi pertusis ditandai dengan melekatnya Bordetella pertusis ke epitel bersilia
saluran nafas. Gejala awal berupa pilek dan batuk. Mulai hari ke-10 batuk bertambah dan
menjadi spasmodik. Komplikasi terbanyak adalah pneumonia yang banyak menimbulkan
kematian dan ensefalopati yang meninggalkan kerusakan otak yang menetap. Kematian sering
dijumpai pada anak berumur kurang dari satu tahun. Reservoarnya adalah manusia (penderita itu
sendiri) dengan penularan melalui percikan ludah (droplet infection). Tanpa program imunisasi,
attact rate mencapai 80 per 1.000 kelahiran hidup; yang tertinggi terdapat pada golongan balita.
CFR sebesar 0,5% (Galazka, 1993). Toksin pertusis dapat diubah menjadi toksoid pertusis yang
nontoksik, tetapi imunogenik (Galazka, 1993).
Tuberkulosis
Merupakan penyakit yang disebabkan Mycobacterium tuberculosa menyebar melalui pernapasan
lewat bersin atau batuk, gejala awal adalah lemah badan, penurunan berat badan, demam dan
keluar keringat pada malam hari. Gejala selanjutnya adalah batuk terus menerus, nyeri dada dan
dapat terjadi batuk darah.
Campak
Adalah penyakit yang disebabkan oleh virus measles, disebarkan melalui droplet bersin atau
batuk dari penderita, gejala awal penyakit adalah demam, bercak kemerahan, batuk, pilek,
conjunctivitis (mata merah), selanjutnya timbul ruam pada muka dan leher, kemudian menyebar
ke tubuh, tangan serta kaki.
Campak memiliki gejala klinis khas yaitu terdiri dari tiga stadium yang masing-masing
mempunyai ciri khusus sebagai berikut :
1. Stadium masa tunas, berlangsung kira-kira 10-12 hari, suhu tubuh dapat meningkat
sedikit 9-10 hari sejak mulai infeksi dan turun dalam 24 jam. Pasien dapat menularkan virus
pada hari ke 9/10 setelah paparan sebelum penyakit dapat didiagnosis.
2. Stadium prodromal, berlangsung 3-5 hari, ditandai dengan demam ringan sampai
sedang, gejala pilek, batuk yang meningkat, serta konjungtivis, kemudian ditemukan ruam
kemerahan pada mukosa pipi (bercak koplik).
3. Stadium akhir, dengan keluarnya ruam dari belakang telinga dan menyebar ke muka,
badan, lengan, dan kaki. Ruam timbul didahului dengan suhu badan yang meningkat,
kemudian normal kembali secara cepat. Selanjutnya ruam menghitam dan mengelupas.
Penularan campak sangat efektif dengan sedikit virus yang infeksius sudah dapat menimbulkan
infeksi pada seseorang. Penularan campak terjadi melalui percikan ludah yang keluar dari batuk,
bersin, atau pilek. Pasien campak tanpa komplikasi/ penyulit dapat berobat jalan, tanpa
perawatan dirumah sakit. Anak harus diberi cukup cairan dan kalori sedangkan pengobatan
bersifat simptomatik dengan pemberian antipiretik untuk menurunkan demam, obat batuk/pilek,
dan penenang jika diperlukan. Sedangkan campak dengan komplikasi perlu dirawat inap dirumah
sakit. Vitamin A 100.000 IU per oral diberikan satu kali apabila terdapat malnutrisi dilanjutkan
1500 IU tiap hari.
Pencegahan campak dilakukan dengan pemberian imunisasi aktif pada bayi berumur 9 bulan atau
lebih. Program imunisasi campak secara luas baru dikembangkan pelaksanaannya pada tahun
1982.
Reaksi KIPI imunisasi campak yang banyak dijumpai terjadi pad aimunisasi ulang pada
seseorang yang telah memiliki imunitas sebagian akibat imunisasi dengan vaksin campak dari
virus yang dimatikan. KIPI imunisasi campak telah menurun dengan digunakannya vaksin
campak yang dilemahkan. Gejala KIPI berupa demam diatas 39,5 derajat celcius yang dimulai
pada hari ke-5 dan 6 setelah imunisasi dan berlangsung selama 2 hari.
Berbeda dengan infeksi alami, demam tidak tinggi, walaupun tetap dapat merangsang terjadinya
kejang demam. Ruam dapat dijumpai pada 5% pasien, timbul pad hari ke 7 hingga 10 sesudah
imunisasi dan berlangsung selama 4 hari. Reaksi KIPI berat jika ditemukan gangguan sistem
syaraf pusat seperti infeksi otak (ensefalitis), diperkirakan resiko terjadinya kedua efek samping
tersebut 30 hari setelah imunisasi.
Poliomielitis
Adalah penyakit pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh satu dari tiga virus yang
berhubungan, yaitu virus polio type 1, 2, atau 3. Secara klinis penyakit polio adalah anak di
bawah umur 15 tahun yang menderita lumpuh layu akut (acute flaccid paralysis/AFP).
Penyebaran penyakit adalah melalui kotoran manusia (tinja) yang terkontaminasi. Kelumpuhan
dimulai dengan gejala demam, nyeri otot dan kelumpuhan terjadi pada minggu pertama sakit.
Kematian bisa terjadi jika otot-otot pernapasan terinfeksi dan tidak segera ditangani
Hepatitis B
Adalah penyakit yang disebabkan oleh virus hepatitis B yang merusak hati. Penyebaran penyakit
terutama melalui suntikan yang tidak aman, dari ibu ke bayi selama proses persalinan, melalui
hubungan seksual. Infeksi pada anak biasanya tidak menimbulkan gejala. Gejala yang ada adalah
lemah, gangguan perut dan gejala lain seperti flu, urine menjadi kuning, kotoran menjadi pucat.
Warna kuning bisa terlihat pula mata ataupun kulit. Penyakit ini bisa menjadi kronis dan
menimbulkan Cirrhosis hepatis, kanker hati dan menimbulkan kematian.
Meningitis Meningokokus
Adalah penyakit akut radang selaput otak yang disebabkan oleh bakteri Neisseria meningitidis.
Meningitis penyebab kematian dan kesakitan diseluruh dunia, CFR melebihi 50%, tetapi dengan
diagnosis dini, terapi modern dan suportif CFR menjadi 5 – 15%. Pencegahan dapat dilakukan
dengan imunisasi dan kemoprofilkasis untuk orang-orang yang kontak dengan meningitis dan
karier.
Berbagai jenis penyakit diatas saat ini dapat dicegah dengan melakukan imunisasi DPT, DT dan
TT. Tujuan jenis imunisasi ini diantaranya untuk memberi kekebalan dasar terhadap difteri,
pertusis dan tetanus dan memberikan kekebalan sampai anak usia prasekolah. Mulai tahun 1984
imunisasi Difteri Tetanus Toxoid dan Tetanus Toxoid diberikan kepada anak SD/MI sebagai
booster untuk mendapatkan perlindungan jangka panjang terhadap penyakit tetanus, termasuk
tetanus neonatorom dan difteri. Menurut Wharton, dkk (2004), setelah mendapatkan tiga dosis
toksoid difteri semua anak-anak rata-rata mendapat memberikan titer lebih besar dari 0,01 IU
dalam 1 ml (nilai batas protektif adalah 0.01 IU)