Anda di halaman 1dari 13

1

KETERKAITAN MODAL SOSIAL DALAM PENGELOLAAN HUTAN


KEMIRI RAKYAT DI KABUPATEN MAROS SUALWESI SELATAN
Interrelatedness of social capital in the management of community
candlenut forest in Maros Regency, South Sulawesi

Muspida

Abstract

This research aimed to (1) describe a relationship between micro social capital
and macro social capital (2) describe impact of changes in macro social capital
towards micro social capital, and (3) formulate strengthening model for social
capital in the candlenut forest management. This research was carried out in
Timpuseng village, Camba district, Barugae village Mallawa district and Cenrana
Baru Village, Cenrana district, in Maros regency. This research used qualitative
approach as a main approach (Qualitative dominant). Data were collected through
in-depth interview, involved observation, and documentary study. The results of
this research showed that the candlenut forest formed by the interactions between
micro social capital and macro social capital. The capitals were in the forms of
belief and networks built which later on established coordination action. The
changes of macro social capital through a policy regarding the forest land use
(Tata Guna Hutan Kesepakatan - TGHK) have weakened the right of the
community in the management of candlenut forest.
Key word : social capital, community, candlenut forest management

PENDAHULUAN menjual buah kemiri. Faktor ekonomi


yang mendorong masyarakat
Hutan kemiri rakyat di membangun hutan kemiri secara
Kabupaten Maros Sulawesi Selatan swadaya adalah adanya harapan
dibangun secara swadaya oleh terhadap buah kemiri sebagai
warga masyarakat baik secara sumber pendapatan keluarga serta
individu rumah tangga maupun penguasaan lahan sebagai modal
secara kelompok keluarga (appang) keluarga dan untuk diwariskan
masyarakat sejak zaman Belanda. secara turun temurun.
Swadaya masyarakat membangun Masalah muncul setelah
hutan kemiri dapat berlangsung berlaku kebijakan pemerintah
karena didukung oleh faktor-faktor tentang TGHK pada tahun 1984.
sosial seperti kerjasama/gotong Hutan kemiri yang dibangun oleh
royong membuka lahan, aturan- masyarakat secara swadaya
aturan lokal tentang sistem sebagian masuk dalam kawasan
pembukaan lahan, pengakuan antara hutan berdasarkan kriteria-kriteria
anggota masyarakat terhadap TGHK. Akses masyarakat mengelola
kepemilikan lahan hutan kemiri yang hutan kemiri yang berada dalam
dibangun oleh individu atau TGHK dibatasi bahkan dilarang, dan
kelompok keluarga (appang), rasa status kepemilikan hutan kemiri
saling percaya (trust) mengelola menjadi lemah.
hutan kemiri, tersedianya lahan Berdasarkan faktor-faktor
negara yang dapat diakses dengan ekonomi dan sosial yang
mudah untuk membangun hutan melatarbelakangi terbangunnya
kemiri dan akses tersebut diakui oleh hutan kemiri di Kabupaten Maros,
masyarakat, serta adanya jaringan dapat disimpulkan bahwa hutan
untuk memperoleh benih dan kemiri tersebut terbangun oleh
adanya keterkaitan modal sosial pengelolaan lokal, kepercayaan, dan
yang kuat. Aturan-aturan jaringan dalam proses pembangunan
Jurnal Hutan dan Masyarakat,2(3): 290-
302
2

hutan kemiri sesuai dengan konsep pembuat kebijakan, perencanaan


inti modal sosial yang dikemukakan dan penyelenggara program
oleh Putnam (1993, 2000), Coleman pembangunan dalam merumuskan
(1988), dan Fukuyama (1995, 1999, kebijakan yang berhubungan dengan
2001). pembangunan kawasan hutan rakyat
Dalam hal struktur, modal yang berwawasan ekonomi, ekologi
sosial pembangunan hutan kemiri dan sosial, sehingga hutan dapat
rakyat secara swadaya di Kabupaten dilestarikan, masyarakat dapat
Maros sangat kuat pada level mikro mengelola hutan kemiri rakyat secara
(Uphoff, 1999), yaitu adanya jaringan optimal menuju tercapainya
kerjasama horizontal antar individu kesejahteraan masyarakat di sekitar
dan atau antar kelompok keluarga kawasan hutan.
(appang) berdasarkan nilai-nilai dan
norma yang dianut bersama.
Sedangkan modal sosial pada level METODE PENELITIAN
makro (kebijakan dalam pengelolaan
hutan) tidak banyak berperan pada Rancangan Penelitian
awal pembangunan hutan kemiri Pendekatan yang digunakan
rakyat. Kebijakan TGHK sebagai dalam penelitian ini adalah
modal sosial level makro dalam pendekatan kualitatif dengan tujuan
pembangunan hutan kemiri, menguraikan dan memberikan
diharapkan dapat memberi penjelasan (eksplanasi), memberikan
lingkungan normatif dan pemahaman yang bersifat
memperkuat modal sosial pada level menyeluruh (komprehensif) dan
mikro, namun pada kenyataannya, mendalam (in-deph) tentang
justru merusak sistem pengelolaan fenomena-fenomena sosial yang
yang ada. Berdasarkan uraian di menjadi objek studi. Penelitian ini
atas maka yang menjadi masalah dilakukan melalui kasus, dengan unit
dalam penelitian ini adalah ketidak kasus yang digunakan adalah desa
harmonisan pola interaksi dan dengan komunitas petani pengelola
keterkaitan modal sosial dalam hutan kemiri di Kabupaten Maros.
pengelolaan hutan kemiri rakyat di Pengamatan dilakukan melalui
Kabupaten Maros.Tujuan yang akan fenomena empirik yaitu dengan
dicapai dalam penelitian ini untuk mengumpulkan sebanyak mungkin
menggambarkan pola interaksi dan informasi dari masyarakat petani
keterkaitan modal sosial dalam mengenai apa yang dilihat,
pengelolaan hutan kemiri rakyat di dirasakan, dilakukan, didefinisikan
Kabupaten Maros. Hasil penelitian ini dan dipahami oleh masyarakat.
diharapkan dapat berguna (a) bagi Untuk memperdalam
pengembangan Ilmu, berupa pemahaman pada tingkat individu
sumbangan teoritis dalam maka digunakan pula studi riwayat
menambah dan memperkaya kajian hidup (biographical method). Tipe
sosiologi masyarakat kehutanan studi riwayat hidup yang digunakan
khususnya kajian modal sosial dan adalah riwayat hidup topikal, yaitu
pengembangan sumberdaya alam riwayat hidup yang mengemukakan
dan lingkungan, hutan kemiri rakyat, suatu tahapan saja dalam kehidupan
(b) bagi kepentingan operasional individu subyek, yang disesuaikan
pembangunan, sebagai bahan dengan gejala sosial dan konteks
informasi yang berguna bagi yang ingin dipahami.
Lokasi ,Waktu, Populasi dan Timpuseng Kecamatan Camba, Desa
Informan Penelitian Barugae Kecamatan Mallawa dan Desa
Penelitian dilaksanakan di Cenrana Baru Kecamatan Cenrana
kawasan hutan kemiri Kabupaten dengan pertimbangan bahwa ke tiga
Maros Provinsi Sulawesi Selatan desa tersebut berdasarkan kriteria TGHK
pada tiga desa yaitu Desa Desa Barugae sebagian besar masuk

Jurnal Hutan dan Masyarakat,2(3): 290-302


3

dalam kawasan hutan lindung, Desa lokasi hutan kemiri rakyat.


Cenrana Baru masuk dalam Selain informan berdasarkan
kawasan hutan Produksi dan Desa keterlibatan dalam pengelolan hutan
Timpuseng sebagian besar kemiri rakyat di ketiga desa kasus
wilayahnya berada di luar kawasan juga diwawancarai beberapa
hutan informan yang terkait dengan
Populasi dan Penentuan Informan kebijakan pengelolaan hutan kemiri
Penelitian rakyat yaitu Pemerintah Kecamatan,
Populasi dalam penelitian Tokoh masyarakat dalam hal ini
adalah petani sekitar kawasan hutan anggota DPRD kabupaten Maros,
kemiri rakyat di Kabupaten Maros. Penyuluh Pertanian, KRTH ketiga
Pengumpulan data kualitatif Kecamatan, dan Kepala Dinas
dilakukan melalui wawancara Kehutanan dan Perkebunan
dengan informan yang diawali Kabupaten Maros.
dengan penelusuran informasi
pendahuluan tentang warga Teknik Pengumpulan Data
masyarakat yang terlibat dalam Pengumpulan data dilakukan dengan
pembangunan hutan kemiri rakyat, beberapa cara sebagai berikut :
terutama yang berposisi sebagai 1. Observasi atau pengamatan
pengelola hutan serta orang-orang lapangan untuk mengetahui
yang terlibat dalam pembangunan kondisi biofisik lapangan, pola
hutan kemiri rakyat baik secara pembukaan dan pengelolaan
langsung maupun secara tidak hutan kemiri, pemungutan
langsung melalui pendekatan dan pemasaran hasil.
budaya. Informan yang 2. Wawancara mendalam (in-
diwawancarai antara lain meliputi depth-interview) untuk
Kepala Desa, Camat, Kepala mengetahui sejarah
Dusun, Tokoh Agama, Tokoh pengelolaan hutan kemiri,
Masyarakat, Pemilik lahan kemiri, proses-proses peralihan hak
Pengelola lahan kemiri, Pegawai pengelolaan hutan kemiri,
Kehutanan serta pengambil permasalahan yang dihasapai
kebijakan, dan sebagian juga telah dalam pengelolaan hutan
diketahui melalui penelitian kemiri.
sebelumnya. Kepada setiap 3. Rekaman arsip seperti data
informan yang diwawancarai anggota kelompok tani, peta
ditanyakan pula tentang warga lokasi, dll.
masyarakat yang dapat dijadikan 4. Dokumentasi yaitu
informan berikutnya. Selain itu pengambilan gambar seperti
sebagian informan ditentukan sendiri kegiatan penelitian, kondisi
secara sengaja (purposive sampling) hutan kemiri, kegiatan gotong
oleh peneliti setelah berkunjung ke royong, kegiatan pemanenan
hasil hutan dan kegiatan
pemasaran hasil hutan.
Teknik Analisis Data
Data dianalisis dengan
metode analisis kualitatif yang
meliputi tiga tahapan yaitu : Pertama
reduksi data untuk menajamkan,
menggolongkan, mengarahkan,
menyederhanakan, dan
mengorganisasikan data, Kedua,
penyajian data dan informasi yang
diperoleh sebagai dasar
pengambilan kesimpulan berupa (1) pandangan informan, (2) matriks untuk
teks naratif untuk menggambarkan menggambarkan data-data informan
Jurnal Hutan dan Masyarakat,2(3): 290-
302
4

yang berupa angka-angka, dan (3) Dari hasil enumerasi terhadap


Bagan untuk melihat kronologis informan di masing-masing desa
interaksi dan keterkaitan antara diperoleh gambaran bahwa rata-rata
modal sosial makro dan modal sosial usia petani kemiri tidaklah seragam.
mikro dalam pengelolaan hutan Walaupun demikian perbedaan rata-
kemiri rakyat di Kabupaten Maros, rata petani antara desa tidaklah
dan Ketiga penarikan kesimpulan terlalu besar. Secara umum bisa
berdasarkan reduksi dan penyajian dikatakan bahwa petani kemiri di
data baik dalam bentuk narasi ketiga desa kasus tergolong petani
maupun matriks dan tabulasi yang usia tua. Terdapat indikasi golongan
mencakup verifikasi atas semua usia muda mulai enggan bekerja di
kejadian yang ditemukan dilapangan. pertanian (usahatani kemiri). Rata-
Hasil penyajian data kemudian rata usia petani yang paling tua
dihubungkan dengan konsep dan terdapat di Desa Barugae (48,2
teori yang relevan untuk menjawab tahun), dan yang paling muda
pertanyaan penelitian. terdapat di Desa Timpuseng (45,3
tahun). Walaupun bisa dikatakan
HASIL PENELITIAN DAN bahwa semakin tinggi usia petani
PEMBAHASAN kemiri, pengalaman bertaninya
semakin lama, namun tingginya rata-
Usia dan Lama Menjadi Petani rata usia petani diperkirakan tidak
Kemiri mempunyai kaitan langsung dengan
kemajuan usahatani kemiri yang
dilakukan. Gambaran tentang usia
petani, lama menjadi petani, dan
umur awal menjadi petani kemiri
pada masyarakat di ketiga desa
kasus dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Ciri Informan Menurut Umur dan Lama Menjadi Petani di


Ketiga Desa kasus , 2006.
Uraian Desa Kasus
(Rata-rata tahun) Timpuseng Cenrana Baru Barugae
Usia Petani 45,3 48,1 48,2
Lama Menjadi Petani 27,2 31,1 31,6
Umur Awal Menjadi Petani 18,1 17,0 16,6
Sumber : Data Primer Setelah diolah 2006

Tabel 1 secara umum bahwa rata-rata lama informan


menunujukkan bahwa rata-rata usia menjadi petani kemiri adalah antara
petani kemiri di ketiga desa kasus 27 sampai 31 tahun. Data di atas
tidak muda lagi (45 – 48 tahun), menunjukkan pengalaman menjadi
namun masih masuk dalam usia petani kemiri di ketiga desa kasus
produktif (15 – 65 tahun) bahkan tergolong sudah cukup lama.
berada pada usia yang sangat
produktif. Data juga menunujukkan Penguasaan Lahan.
bahwa rata-rata usia petani awal Penguasaan lahan merupakan
mula menjadi petani kemiri di ketiga masalah besar bagi kehidupan petani
desa kasus berumur antara 16 – 18 dan keluarganya. Selain rumah atau
tahun. Jika dilihat dari rata-rata awal tempat tinggal, di muka telah
menjadi petani dan rata-rata lama dikemukakan bahwa lahan
menjadi petani, dapat diperkirakan merupakan aset paling berharga
yang dimiliki petani di ketiga desa
kasus. Ada tiga jenis lahan yang yaitu lahan persawahan, lahan hutan
menjadi indikator kehidupan petani, kemiri dan lahan perladangan. Lahan
Jurnal Hutan dan Masyarakat,2(3): 290-302
5

persawahan pada umumnya berupa kebutuhan makan sehari-hari. Bagi


lahan tadah hujan, dan hanya sedikit umumnya petani di ketiga desa,
yang beirigasi sederhana. Lahan kebutuhan lahan hampir identik
hutan kemiri, menjadi tumpuan dengan kebutuhan sumber
kehidupan masyarakat di sekitar kehidupan yaitu untuk mendapatkan
kawasan hutan yang ditunjang oleh bahan pangan, kayu bakar, rempah-
lahan perladangan untuk pemenuhan rempah dan pakan atau tempat
memelihara ternak. Distribusi rata-
rata penguasaan lahan bagi petani di
ketiga desa kasus dapat dilihat pada
Tabel 2.

Tabel 2. Distribusi Rata-rata Luas Penguasaan Lahan di Ketiga Desa Kasus.

Desa Kasus
NO Jenis Aset Timpuseng Cenrana Baru Barugae
ha % ha % ha %
1 Sawah 0,7 26,94 0,7 23,3 0,7 20,6
2 Hutan kemiri Rakyat 1,2 6,2 1,5 50,0 1,8 52,9
3 Ladang 0,7 26,9 0,8 26,7 0,9 26,5
Jumlah 2,6 100 3,0 100 3,4 100
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2006

Tabel 2 menggambarkan lahan oleh petani melalui


distribusi penguasaan lahan yang kelembagaan sanra dan teseng pada
dimiliki petani di ketiga desa umumnya adalah lahan yang
terhadap jenis usaha tani yang dikuasai oleh orang-orang yang
dilakukan di masing-masing desa. tinggal di kota.
Luas penguasaan lahan petani
kemiri di ketiga desa kasus relatif Perkembangan Pengelolaan
bervariasi, penguasaan lahan kebun Hutan Kemiri Rakyat
kemiri rata-rata mencapai di atas 1,0 a. Sejarah Pengelolaan Hutan
ha/ kk. Penguasaan lahan kebun Kemiri
kemiri oleh petani paling luas Masyarakat yang bermukim di
terdapat di Desa Barugae kompleks hutan Camba pada
Kecamatan Mallawa yaitu seluas 1,8 awalnya adalah masyarakat yang
ha/kk. Sementara pemilikan lahan bermigrasi dari kerajaan Bone yang
kebun kemiri di Desa Timpuseng dipimpin oleh Isossong putra raja
Kecamatan Camba, dan Desa Bone ke 27 sekitar tahun 1826.
Cenrana Baru. Kecamatan Cenrana Dalam memenuhi kebutuhan
masing-masing 1,2 ha/kk dan 1,5 hidupnya Isossong memerintahkan
ha/kk. kepada pengikutnya untuk
Cara petani memperoleh lahan bertebaran membuka lahan dan
yang dikuasai di ketiga desa menanam tanaman semusim,
umumnya melalui pewarisan, Sompa sampai lahan tersebut berkurang
(lahan pemberian sebagai salah kesuburannya dan sebelum
satu syarat pernikahan) dan meninggalkan lahan yang telah
pemindahan hak melalui jual beli, dibuka terlebih dahulu ditanami
serta penguasaan lahan melalui tanaman keras dan yang dipilih oleh
kelembagaan sanra (gadai) dan masyarakat adalah kemiri dan
teseng (bagi hasil). Penguasaan menjadi tanaman indikator
penguasaan lahan. Berawal dari
tanaman indikator berkembang menjadi hamparan hutan kemiri dan
menjadi kebun kemiri dan terakhir menjadi spsipik wilayah hutan rakyat di
Jurnal Hutan dan Masyarakat,2(3): 290-
302
6

Kabupaten Maros. Penerapan keyakinan yang hidup di dalam


kebijakan TGHK sejak tahun 1984 masyarakat sipil oleh dorongan
menyebabkan hutan kemiri yang saling percaya (trust), meliputi unsur
dibangun masyarakat berubah status prmbukaan lahan, peralihan hak
penguasaanya karena berdasarkan kelola lahan (teseng, Sanra, jual beli
kriteria TGHK lahan kemiri dan pewarisan), dan dimensi
masyarakat masuk dalam kawasan struktural bersumber dari peranan
hutan, yang berdampak pada dan aturan dalam jaringan
menurunnya semangat masyarakat (networking) meliputi jaringan
mengelola hutan kemiri. pembukaan lahan, pemungutan dan
b. Modal Sosial Mikro Dalam pengolahan hasil serta pemasaran.
Pengelolaan Hutan Kemiri Kedua dimensi tersebut memiliki
elemen-elemen umum yang
Pembangunan hutan kemiri mendorong tingkah laku
di Kabupaten Maros diawali oleh bekerjasama secara menguntungkan
terbangunnya lahan-lahan kemiri melalui tindakan terkordinasi.
secara berkelompok oleh
masyarakat, baik itu kelompok dalam c. Modal Sosial Makro Dalam
batas lingkungan keluarga (appang) Pengelolaan Hutan Kemiri
maupun kelompok yang lebih luas
berdasarkan kedekatan lahan Peran modal sosial makro
sehingga membentuk hamparan pembangunan hutan kemiri di ketiga
hutan kemiri yang lebih luas. desa kasus akan dikaji baik dalam
Terbangunnya hutan kemiri secara dimensi kognitif maupun dalam
berkelompok menunjukkan bahwa dimensi struktural yang terangkum
peran modal sosial sangat kuat yang dalam kebijakan Tata guna hutan
ditunjukkan dengan adanya rasa kesepakatan (TGHK) sebagai
saling percaya (trust) diantara berikut:
masyarakat baik secara individu Berdasarkan surat keputusan
maupun secara berkelompok Menteri Pertanian No
(kelompok keluarga atau appang) 837/kpts/Um/11/1980, tentang
membuka lahan kemiri yang kriteria dan tata cara penetapan
kemudian dikelola secara bersama- hutan lindung menyatakan bahwa
sama. Modal sosial lain dalam, ada tiga faktor penting yang
pembangunan hutan kemiri adalah diperhatikan dan diperhitungkan di
jaringan (networking) di antara dalam penetapan fungsi hutan
masyarakat, yang membuat lindung dan fungsi hutan produksi di
kebersamaan masyarakat secara dalam satu wilayah yaitu kelerengan,
berkelompok membuka lahan secara jenis tanah menurut kepekaannya
efisien dan efektif pada wilayah terhadap erosi dan intensitas hujan
tertentu sehingga dalam pengelolaan pada wilayah yang bersangkutan.
hutan kemiri tidak hanya dikenal Setiap faktor ditetapkan nilai
kelompok appang tetapi juga dikenal timbangan (konstan) masing-masing
kelompok lahan . 20 untuk kelerangan, 15 untuk jenis
Modal sosial mikro dalam tanah dan 10 untuk intensitas curah
pembangunan hutan kemiri di ketiga hujan.
desa kasus dibahas dalam dimensi Hasil pemetaan dan jumlah
kognitif dan dimensi struktural. skoring berdasarkan kriteria TGHK
Dimensi kognitif bersumber dari menunjukkan bahwa kawasan hutan
norma-norma dan nilai-nilai serta di ketiga desa kasus digolongkan
berdasarkan fungsinya yaitu
kawasan hutan produksi di Desa
Timpuseng, kawasan hutan lindung
di Desa Barugae, dan kawasan
produksi terbatas di Desa Cenrana informan di ketiga desa kasus dalam hal
Baru. Hasil wawancara dengan letak kebun kemiri yang dikelola oleh
Jurnal Hutan dan Masyarakat,2(3): 290-302
7

petani menunjukkan bahwa lahan kemiri rakyat yang masuk


dalam kawasan hutan di Desa
Timpuseng sebanyak 16,7 persen,
Desa Cenrana Baru 92,3 persen, dan
Desa Barugae 90,7 persen.

Tabel 3. Letak Kebun Kemiri Rakyat di ketiga Desa Kasus


Desa Kasus
Letak Kebun Cenrana
NO Timpuseng Barugae Jumlah
Kemiri Baru
Org % Org % Org % Org %
1. Dalam Kawasan 4 16,7 24 92,3 21 90,7 49 66,2
2. Luar kawasan 20 83,3 2 7,7 3 9,3 25 33,8
Jumlah 24 100 26 100 24 100 74 100
norma dan kelembagaan masyarakat
Hasil wawancara dengan yang mengarahkan ketertiban sosial
informan kunci Drs. Syamsir (44 dalam pembukaan dan pengolahan
tahun) Kepala Desa Barugae lahan kemiri. Hal ini sejalan dengan
menuturkan bahwa pada awalnya pemikiran Fukuyama (1995) bahwa
pemerintah dalam menetapakan tata Modal sosial adalah kemampuan
batas hutan masih memberi peluang kerja bersama menghadapi seluruh
kepada masyarakat untuk melakukan permasalahan untuk mencapai
kegiatan pengelolaan hutan kemiri tujuan dalam kelompok atau
dalam kawasan hutan. Sejak tahun organisasi. Komunitas petani
1994, Dinas Kehutanan dan pengelola hutan kemiri dibangun oleh
Perkebunan Kabupaten Maros mulai modal sosial melalui pengembangan
mensosialisasikan batas-batas hubungan sosial aktif, partisipasi
kawasan hutan TGHK dan melarang demokrasi dan penekanan dari rasa
masyarakat melakukan kegiatan memiliki komunitas dan
pengelolaan hutan kemiri dalam kepercayaan.
bentuk peremajaan (mallolo). Bentuk keterkaitan antara
Masyarakat hanya diizinkan modal sosial makro dan modal sosial
melakukan pemungutan buah kemiri mikro dianalisis dalam bentuk
dalam kawasan hutan. keterkaitan antara petani dengan
petani dalam bentuk kerjasama dan
4. Interaksi dan Keterkaitan Modal adaptasi, dan keterkaitan antara
Sosial Dalam Pengelolaan petani dengan pemerintah dalam
Hutan Kemiri bentuk adaptasi, kerjasama dan
Hutan kemiri di kabupaten konflik. Pola keterkaitan antara
Maros dalam sejarahnya terbangun modal sosial makro dan modal sosial
melalui kerjasama individu dalam mikro. Analisis keterkaitan modal
kelompok masyarakat satu rumpun sosial mikro, dan modal sosial makro
keluarga (kelompok appang) yang dalam pengelolaan hutan kemiri
berkembang dengan melibatkan pada tiga desa kasus dalam studi ini
kelompok masyarakat yang lebih menggunakan indikator-indikator
luas untuk memenuhi kebutuhan modal sosial yaitu saling percaya
hidupnya. Keterlibatan masyarakat (trust), Jaringan (Network ),,
luas dalam pengelolaan hutan kemiri kelembagaan masyarakat (sosial
melahirkan modal sosial dalam institution), dan Organisasi Sosial
bentuk saling percaya antara sesama (Social Organitation), ( Putnam
petani dalam hal batas penguasaan 1993; 1995; dan World Bank, 2000).
lahan, adanya jaringan dalam hal
a. Saling Percaya
pembukaan lahan, terbangunnya
Saling percaya (trust) adalah kooperatif yang muncul dari dalam
harapan-harapan terhadap sebuah komunitas yang didasarkan pada
keteraturan, kejujuran dan perilaku norma-norma yang dianut
Jurnal Hutan dan Masyarakat,2(3): 290-
302
8

bersama oleh anggota-anggota Keterkaitan rasa saling


komunitas itu (Fukuyama 2002). percaya (trust) yang muncul antara
Selanjutnya Putnam (2002) pemerintah dengan petani di ketiga
mendefinisikan trust (saling percaya) desa kasus dalam bentuk
adalah suatu keadaan dimana orang mekanisme perizinan pembukaan
mau mengambil resiko dalam lahan, yang dikuatkan pengakuan
hubungan-hubungan sosialnya masyarakat membuktikan bahwa
karena adanya keyakinan bahwa saling percaya antara sesama petani
orang lain akan melakukan sesuatu sangat kuat. Hal ini dilakukan karena
yang diharapkan dan akan selalu masyarakat mengakui status lahan
bertindak saling mendukung, dan yang akan dibuka tersebut adalah
paling tidak yang lain tidak tanah negara bebas (ground
merugikan dirinya atau kelompoknya. goverment) yang perlu mendapatkan
Hasil penelitian izin dari pemerintah untuk
memperlihatkan bahwa keterkaitan memanfaatkannya. Luas lahan yang
rasa saling percaya (trust) dalam hal dikelola petani berdasarkan izin
status penguasaan lahan hutan pengelolaannya dibebani kewajiban
kemiri antara petani dengan petani pajak bagi masyarakat.
dijumpai dalam bentuk pengakuan Pola keterkaitan rasa saling
hak atas lahan hutan kemiri, percaya (trust) antara petani dengan
Pengakuan hak penguasaan lahan petani dalam hal status penguasaan
antara sesama petani merupakan lahan masyarakat di ketiga desa
wujud kerjasama yang terkoordinasi kasus didominasi oleh modal sosial
sehingga rasa saling percaya antara mikro yang ditunjukkan oleh
petani dengan petani merupakan kerjasama dan adaptasi secara
modal sosial yang terbangun melalui terkordinasi yang kuat dalam
proses pemilikan lahan. Sedangkan mewujudkan tujuan bersama antara
dalam hal peralihan hak pengelolaan sesama petani. Sedangkan pola
lahan dijumpai dalam bentuk bentuk keterkaitan modal sosial mikro dan
teseng (bagi hasil), sanra (gadai), modal sosial makro dalam hal
jual beli lahan dan pewarisan. Proses peralihan hak kelola lahan
peralihan hak kelola tidak dilakukan didominasi oleh modal sosial mikro,
secara administrasi tertulis akan yang ditunjukkan adanya kerjasama
tetapi berdasarkan rasa sling antara petani dalam merumuskan
percaya dalam pemenuhan hak dan hak dan kewajiban berdasarkan
kewajiban yang merupakan wujud kemufakatan dalam pencapaian
modal sosial yang kuat diantara tujuan bersama yang terkordinasi,
petani. Hal ini sejalan denga hal ini sejalan dengan teori
pendapat Putnam (1993) bahwa pertukaran yang dikemukan oleh
Modal sosial merupakan pondasi Homans (1967) bahwa pertukaran
dasar komunitas yang terdiri dari perilaku manusia di dasari pada
persediaan kepercayaan sosial, keuntungan yang akan didapat
norma dan jaringan kerja dimana (hadiah) dan ongkos (biaya yang
masyarakat dapat menggambarkan harus dikeluarkan dalam interaksi
penyelesaian problem umum, sosial (hukuman) antara individu
sehingga semakin kuat modal sosial, dalam mencapai tujuan bersama.
semakin kecil kemungkinan
terjadinya konflik,.
b. Jaringan

Hasil penelitian
memperlihatkan keterkaitan modal
sosial jaringan (net work) dalam hal
pembukaan dan pengelolaan lahan
hutan kemiri antar petani di ketiga kelompok pembukaan lahan, dan sewa
desa kasus dijumpai dalam bentuk menyewa lahan. Pembukaan lahan yang

Jurnal Hutan dan Masyarakat,2(3): 290-302


9

dilakukan oleh petani diketiga desa lahan oleh masyarakat didominasi


kasus dilakukan secara berkelompok oleh modal sosial mikro.
baik berdasarkan kedekatan lahan Bentuk lain keterkaitan
maupun jaringan antara petani dengan petani
berdasarkan kelompok keluarga adalah adanya saling memberi
(appang). Pembukaan dan informasi terhadap status lahan
pengolahan lahan bagi masyarakat di yang akan dikelola dalam bentuk
Desa Timpuseng dan Desa Barugae sewa-menyewa dan jual beli lahan
berdasarkan kelompok keluarga seperti teseng, dan sanra. Jaringan
(appang). Hal ini terjadi karena informasi yang terbangun mulai dari
sejarah pembukaan lahan dilakukan kerabat/keluarga terdekat sampai
ketika masyarakat mengungsi ke pada pemerintah desa. Keterbatasan
dalam hutan untuk menghindari informasi oleh petani dan
kekacauan dari gerombolan. Hal lingkungannya adalah bentuk
yang berbeda dari kedua desa interaksi yang terbatas pada
tersebut adalah jaringan kelompok lingkungan tertentu atau hubungan
appang di Desa Timpuseng ke dalam (inward looking) tetapi
digerakkan oleh kelompok keluarga dapat memberi penguatan terhadap
sedangkan di Desa Barugae di status kepemilikan lahan .
gerakkan oleh Kepala Desa. Dalam konteks modal sosial
Jaringan kelompok lahan di Desa Keterkaitan jaringan antara petani
Cenrana Baru digerakkan oleh elit dengan petani dalam hal pembukaan
lokal Isossong dengan pengikut- lahan merupakan bentuk modal
pengikutnya yang sekarang ini sosial yang masih sangat kuat
dikenal sebagai Arung Punagi karena adanya kerjasama dan
Pola keterkaitan antara petani pengakuan batas-batas kepemilikan
dalam hal jaringan pembukaan dan lahan oleh sesama petani, bahkan
pengelolaan lahan diketiga desa dalam perjalanannya hingga
kasus didominasi oleh modal sosial sekarang jarang ditemukan konflik
mikro yang diwujudkan dalam bentuk antara petani dengan petani dalam
kerjasama yang terkoordinasi antar hal tata batas wilayah kepemilikan.
individu dan antar kelompok dalam Hal ini sejalan dengan pemikiran
membangun hutan kemiri. Bourdieu (1986) bahwa modal sosial
Pembukaan lahan bagi masyarakat menunjuk pada kewajiban-kewajiban
Desa Timpuseg dilakukan secara sosial (koneksi) yang dalam kondisi
bersama melalui kegiatan gotong tertentu dapat ditukar dengan modal
royong dalam kelompok keluarga ekonomi dan dapat dilembagakan
(appang), keterlibatan kelompok dalam bentuk titel kebangsawan.
keluarga dalam membuka lahan Pola keterkaitan modal sosial
menunjukkan bahwa jaringan antar dalam hal jaringan pembukaan dan
individu dalam membuka lahan pengelolaan lahan di ketiga desa
secara bersama menjadi lebih efisien kasus berbeda berdasarkan keadaan
dalam penguasaan lahan oleh wilayah. Pola keterkaitan penguasan
masyarakat. Hubungan individu lahan di Desa Timpuseng didominasi
dalam kelompok keluarga yang oleh modal sosial makro, karena
harmonis menjadi cerminan jaringan lahan masyarakat pada umumnya
yang dibangun oleh masyarakat berada di luar kawasan berdasarkan
untuk mewujudkan penguasaan kriteria TGHK sehingga penguasaan
lahan yang dibuka secara bersama lahan masyarakat statusnya jelas
menujukkan bahwa penguasaan dan diperkuat oleh sertifikasi
kepemilikan. Pola keterkaitan
penguasaan lahan di Desa Cenrana
Baru didominasi oleh modal sosial
mikro (ellit lokal). Distribusi
penguasaan lahan oleh masyarakat secara bersama-sama yang dikordinir
di Desa Cenrana Baru dilakukan oleh Isossong dan kerabatnya sebagi elit
Jurnal Hutan dan Masyarakat,2(3): 290-
302
10

lokal. Pola keterkaitan modal sosial di modal sosial yang terbangun masih
Desa Barugae cenderung berimbang. sangat terikat oleh niai-nilai budaya
Pengelolaan lahan yang dimiliki oleh yang melekat di masyarakat
masyarakat dilakukan secara (bonding social capital), sehingga
berkelompok yang dimobilisasi oleh keinginan untuk maju sangat
kepala Desa Tellumpanua sebagai dipengaruhi oleh kekuatan budaya
desa induk sebelum dilakukan setempat. Nilai dan modal sosial
pemakaran menjadi Desa Barugae. tersebut sejalan dengan pendapat
Hasil penelitian Narayan dan Pritcheatt (1999),
memperlihatkan bahwa bentuk modal Putnam (1993) bahwa interaksi
sosial jaringan dalam hal berfungsi untuk
pemungutan hasil antar petani di menyebarkan informasi ke seluruh
ketiga desa kasus terdapat anggota yang memungkinkan
perbedaan dalam hal pelibatan mereka mampu mengambil tindakan
tenaga kerja pemungut. Petani di untuk mengatasi masalah secara
Desa Timpuseng dalam melakukan bersama-sama.
pemungutan hasil melibatkan tenaga Hasil penelitian yang
kerja pemungut bukan hanya dilakukan Firdaus (2007)
terbatas dalam kelompok keluarga menyimpulkan bahwa meluasnya
akan tetapi juga melibatkan jaringan petani yang berorientasi
masyarakat yang berada di luar pada nilai-nilai kebersamaan dan
desa, sehingga jaringan kerja kepedulian telah mendorong
dilakukan hingga ke luar desa, hal ini terbentuknya modal sosial yang
terjadi karena lahan masyarakat menjembatani (bridging social
sebagian besar berada di luar caital), sehingga kohesifitas sosial
kawasan sehingga pemeliharaan dan petani tidak hanya di tingkat
peremajaan dalam peningkatan kelompok tani. Jaringan kerjasama
produksi dapat berjalan. petani yang masih berorientasi pada
Uraian di atas menunjukkan nilai-nilai kebersamaan dan
bahwa modal sosial antara petani kepedulian sesama anggota
dengan petani dipengaruhi oleh kelompok serta terikat oleh nilai-nilai
adanya nilai-nilai yang terbangun budaya (bonding social capital)
dalam proses interaksi diantara menyebabkan kohesifitas sosial
mereka, seperti nilai kebersamaan petani antara anggotanya masih
(assedingeng), dan kesepakatan sangat kuat.
atas musyawarah dalam tudang Hasil penelitian di ketiga desa
sipulung, pengakuan atas batas- kasus ditemukan bahwa petani di
batas dan hak kepemilikan lahan, Desa Timpuseng yang memiliki
kepedulian dan saling membantu jaringan ke luar sudah mulai
dalam hubungan timbal balik, terbangun sehingga efisiensi
partisipasi dalam aksi kolektif pengembangan masyarakatnya
(gotongroyong) serta luasnya sudah mulai meyesuaikan diri
jaringan hubungan yang dilandasi dengan masyarakat dari luar
rasa saling percaya antara sesama kelompoknya (bridging social
petani. Dalam konteks modal sosial, capital). Petani di Desa Barugae dan
keterkaitan jaringan antara petani Desa Cenrana Baru yang cenderung
dengan petani di ketiga desa kasus tertutup dengan masyarakat diluar
dalam pengelolaan hutan kemiri kelompoknya dan bertahan pada
masih sangat kuat, namun kuatnya nilai-nilai budaya sehingga efisiensi
pengembangan masyarakatnya
sangat terbatas (bonding social
capital).

D. KESIMPULAN DAN SARAN

Jurnal Hutan dan Masyarakat,2(3): 290-302


1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian maka


dapat disimpulkan (a) Hutan kemiri di
Kabupaten Maros terbangun sebagai DAFTAR PUSTAKA
wujud dari keterkaitan modal sosial
mikro dan modal sosial makro dalam
bentuk saling percaya (mutual trust)
dan jaringan (networking) secara Alam. S, 2007. Nilai Manfaat dan
bersama-sama melahirkan tindakan Pola Konversi Hutan
terkoordinasi membangun hutan Kemiri Rakyat di
kemiri. Dominasi modal sosial mikro Kabupaten Maros
Sulawesi Selatan,
(pengakuan masyarakat terhadap
hak penguasaan lahan) dalam Disertasi, Program
Pascasarjana Universitas
pengelolaan hutan kemiri sangat
kuat menyebabkan masyarakat Hasanuddin, Makassar.
secara berkelompok membangun
hutan kemiri. (2) Interaksi modal Ancok,J,2003. Modal Sosial dan
Kualitas Masyarakat
sosial mikro dan modal sosial makro
dalam pengelolaan hutan kemiri di (Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Pada
kabupaten Maros sebelum adanya
kebijakan TGHK menunjukkan Fakultas Psikologi UGM,
Yokyakarta).
interaksi positif dimana modal sosial
moakro memmberi ruang yang
Anonim, 1995, Departemen Kehutanan
normatif berkembangynya modal
sosial mikro, namun setelah RI.
penerapan kebijakan TGHK interaksi
berubah menjadi negatif karena Anonim, 2004, BIPHUT Wil. VII
kebijakan TGHK membatassi akses Sulawesi Selatan
masyarakat dalam mengelola hutan
kemiri dalam kawasan hutan. Anonim, 2004, Dinas Kehutanan
Sulawesi Selatan
2. Saran
Pemerintah dan pemerintah Anonim, 2005, Dinas Kehutanan
daerah perlu merumuskan kebijakan Kabupaten Maros
pengelolaan hutan dalam bentuk (a) Sulawesi Selatan
Peraturan Daerah (Perda) untuk
menjabarkan kebijakan-kebijakan Awang.S.A. 2003 Politik Kehutanan
pemerintah tentang pengelolaan Masyarakat, Center for
hutan berbasis masyarakat serta Critical Social Studies
untuk memperkuat modal sosial (CCSS), Kreasi Wacana
mikro pengelolaan hutan kemiri. (b) Yogyakarta.
Pemerintah Kabupaten Maros perlu
menata kawasan hutan secara mikro Burhan.B. 2003. Analisis Data
untuk mengadaptasikan Tata Guna Penelitian Kualitatif,
Hutan Kesepakatan (TGHK) dengan PT.Raja Grafindo Persada
modal sosial mikro masyarakat Jakarta.
mengelola hutan kemiri. (c)
Masyarakat mengelola hutan kemiri Colfer, C.J.P. dan
dalam hutan produksi disarankan Resosudarmo.I.A.P, 2003.
agara membangun kelas perusahaan Kemana harus
kemiri dengan pola pengelolaan Melangkah? Masyarakat,
peremajaan yang bersifat Hutan, dan Perumusan
konservatif. Kebijakan di Indonesia,
Yayasan Obor Indonesia.
Jakarta Coleman, 1988. Socail Capital in
Creation of Human Practioners. The World
Capital, dalam Bank The International
Dasgupta,P. And Ismail Bank for Reconstruction
Seregeldin, 1999. Sosial and Development,.
Capital : A Multifaceted Washington D.C.
Perpective. The World
Bank , The International Hagen, E. 1962. On The Theory of
Bank for Reconstruction Social Change : How
and Development, Economic Growth Begins.
Washington D.C. Chapter The Doorsey, Inc, Illinois.
3. .
Hasbullah, J. 2006. Social Capital
Dasgupta, P dan Serageldin.I, 1999. (Menuju Keunggulan
Social Capital : Budaya Manusia
A Multifaceted Indonesia) . MR-United
Perspective. World Press Jakarta.
Bank. The
International Bank for Lawang, R. 2004, Kapital Sosial
Reconstruction and dalam Perspektif
Development, Sosiologik Suatu
Washington.D.C Pengantar, Fisip UI Press,
Universitas Indonesia,
Djatmiko, 2000 Pengelolaan Hutan jakarta.
Berbasis Masyarakat,
Kerjasama FKKM dan Miles and Huberman, 1992, Analisis
Ford Fundation, Aditya Data Kualitatif,
Media, Yogyakarta. Penerjemah Tjatjep
Edmuns.D dan Wollenberg.E.2003, Rohendi Rohidi. Cet.
Local Forest management I.UI.Press.Jakarta
The Impacts of Devolution
Policies, Earthscan Muspida, 2002, Kelembagaan
Publication Ltd. London. Masyarakat Dalam
Pengelolaan Lingkungan
Esman. M.J and Uphoff. N. 1984. Hidup, Tesis Program
Local Organizational Pascasarjana UNHAS,
Rural Development Makassar.
Kumarian Press. New
York. Narayan, D. And M.F.Cassidy. 2001.
A Dimensional Approach
Fukuyama, F. 2000. Social Capital . to Measuring Social
in Culture Matters : How Capital : Development
Values Shape Human and Validation of Social
Progress (Edited by L.E. Capital Inventory. Current
Harrison and S.P. Sociology, March 2001.
Huntington). Basic Books. Volume 49 (2) Sage
New York Publication. London.

.Gootaeart.C and Bastelaer T.V. Putnam, R. Leonardi, and R.Nanenti.


2002. Understanding and 1993. Making Democracy
Measuring Social Capital, Work : Civic Tradion in
A Multidiciplinary Tool for Modern Italy. Pricantion,
Universty Press, New
Jersey.
Putnam. R. The Prosperous The American Prospect.
Community – Social
capital and Public Live. Sardjono M.A, 1999. Konflik antara
Pengusaha Kehutanan Aditya Media, Yogyakarta.
dengan Masyarakat
Lokal: Identifikasi Sulehaman.M, Pemberdayaan Modal
Penyebab dan Upaya sosial Sebagai Alternatif
Mengatasinya. Fahutan- Antisipasi Konflik Sosial,
CSF Unmul. Samarinda. Makalah Seminar
Nasional Menggalang
Sardjono M.A, 2004. Mosaik Masyarakat Indonesia
Sosiologis Kehutanan : baru, Ikatan Sosiologi
Masyarakat lokal, Politik Indonesia (ISI) Bogor-
dan Kelestarian Jawa Barat, 2002
Sumberdaya, DEBUT
Press, Jogjakarta. Supratman, 2007. Desain Unit
Pengelolaan Kehutanan
Sen.A. 2000. Development as Masyarakat Berdasarkan
Freedom. Anchor Books : Struktur Wilayah
A Division of Random Pedesaan dan Struktur
House, Inc,. New York. Wilayah Pengelolaan
Hutan (Studi Kasus
Soetrisno,L.1993, Problematika Pengelolaan Hutan Kemiri
Sosial Masyarakat Sekitar di Kabupaten Maros).
kawasan Hutan Disertasi, Program
di Indonesia Pascasarjana Universitas
dan Etika Hasanuddin, Makassar
Pemanfaatan
Sumberdaya Hutan. Yin, R.K. 2000. Studi kasus (Desain
Fahutan UGM, dan Metode) eds
Yogyakarta. Terjemahan Raja
Grafindo, Jakarta
Suharjito, D, 2000, Karakteristik
Pengelolaan Hutan Yusuf.Y, 2005, Analisis Performansi
Berbasis Masyarakat, dan Pengembangan
Hutan Kemiri Rakyat di
Kawasan Pegunungan
Bulusaraung Sulawesi
Selatan, Disertasi, Institut
Pertanian Bogor, Bogor

Diterima 20 November 2007

Muspida

Fakultas Ekonomi
Universitas Pattimura
Ambon Maluku

Anda mungkin juga menyukai