Muspida
Abstract
This research aimed to (1) describe a relationship between micro social capital
and macro social capital (2) describe impact of changes in macro social capital
towards micro social capital, and (3) formulate strengthening model for social
capital in the candlenut forest management. This research was carried out in
Timpuseng village, Camba district, Barugae village Mallawa district and Cenrana
Baru Village, Cenrana district, in Maros regency. This research used qualitative
approach as a main approach (Qualitative dominant). Data were collected through
in-depth interview, involved observation, and documentary study. The results of
this research showed that the candlenut forest formed by the interactions between
micro social capital and macro social capital. The capitals were in the forms of
belief and networks built which later on established coordination action. The
changes of macro social capital through a policy regarding the forest land use
(Tata Guna Hutan Kesepakatan - TGHK) have weakened the right of the
community in the management of candlenut forest.
Key word : social capital, community, candlenut forest management
Desa Kasus
NO Jenis Aset Timpuseng Cenrana Baru Barugae
ha % ha % ha %
1 Sawah 0,7 26,94 0,7 23,3 0,7 20,6
2 Hutan kemiri Rakyat 1,2 6,2 1,5 50,0 1,8 52,9
3 Ladang 0,7 26,9 0,8 26,7 0,9 26,5
Jumlah 2,6 100 3,0 100 3,4 100
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2006
Hasil penelitian
memperlihatkan keterkaitan modal
sosial jaringan (net work) dalam hal
pembukaan dan pengelolaan lahan
hutan kemiri antar petani di ketiga kelompok pembukaan lahan, dan sewa
desa kasus dijumpai dalam bentuk menyewa lahan. Pembukaan lahan yang
lokal. Pola keterkaitan modal sosial di modal sosial yang terbangun masih
Desa Barugae cenderung berimbang. sangat terikat oleh niai-nilai budaya
Pengelolaan lahan yang dimiliki oleh yang melekat di masyarakat
masyarakat dilakukan secara (bonding social capital), sehingga
berkelompok yang dimobilisasi oleh keinginan untuk maju sangat
kepala Desa Tellumpanua sebagai dipengaruhi oleh kekuatan budaya
desa induk sebelum dilakukan setempat. Nilai dan modal sosial
pemakaran menjadi Desa Barugae. tersebut sejalan dengan pendapat
Hasil penelitian Narayan dan Pritcheatt (1999),
memperlihatkan bahwa bentuk modal Putnam (1993) bahwa interaksi
sosial jaringan dalam hal berfungsi untuk
pemungutan hasil antar petani di menyebarkan informasi ke seluruh
ketiga desa kasus terdapat anggota yang memungkinkan
perbedaan dalam hal pelibatan mereka mampu mengambil tindakan
tenaga kerja pemungut. Petani di untuk mengatasi masalah secara
Desa Timpuseng dalam melakukan bersama-sama.
pemungutan hasil melibatkan tenaga Hasil penelitian yang
kerja pemungut bukan hanya dilakukan Firdaus (2007)
terbatas dalam kelompok keluarga menyimpulkan bahwa meluasnya
akan tetapi juga melibatkan jaringan petani yang berorientasi
masyarakat yang berada di luar pada nilai-nilai kebersamaan dan
desa, sehingga jaringan kerja kepedulian telah mendorong
dilakukan hingga ke luar desa, hal ini terbentuknya modal sosial yang
terjadi karena lahan masyarakat menjembatani (bridging social
sebagian besar berada di luar caital), sehingga kohesifitas sosial
kawasan sehingga pemeliharaan dan petani tidak hanya di tingkat
peremajaan dalam peningkatan kelompok tani. Jaringan kerjasama
produksi dapat berjalan. petani yang masih berorientasi pada
Uraian di atas menunjukkan nilai-nilai kebersamaan dan
bahwa modal sosial antara petani kepedulian sesama anggota
dengan petani dipengaruhi oleh kelompok serta terikat oleh nilai-nilai
adanya nilai-nilai yang terbangun budaya (bonding social capital)
dalam proses interaksi diantara menyebabkan kohesifitas sosial
mereka, seperti nilai kebersamaan petani antara anggotanya masih
(assedingeng), dan kesepakatan sangat kuat.
atas musyawarah dalam tudang Hasil penelitian di ketiga desa
sipulung, pengakuan atas batas- kasus ditemukan bahwa petani di
batas dan hak kepemilikan lahan, Desa Timpuseng yang memiliki
kepedulian dan saling membantu jaringan ke luar sudah mulai
dalam hubungan timbal balik, terbangun sehingga efisiensi
partisipasi dalam aksi kolektif pengembangan masyarakatnya
(gotongroyong) serta luasnya sudah mulai meyesuaikan diri
jaringan hubungan yang dilandasi dengan masyarakat dari luar
rasa saling percaya antara sesama kelompoknya (bridging social
petani. Dalam konteks modal sosial, capital). Petani di Desa Barugae dan
keterkaitan jaringan antara petani Desa Cenrana Baru yang cenderung
dengan petani di ketiga desa kasus tertutup dengan masyarakat diluar
dalam pengelolaan hutan kemiri kelompoknya dan bertahan pada
masih sangat kuat, namun kuatnya nilai-nilai budaya sehingga efisiensi
pengembangan masyarakatnya
sangat terbatas (bonding social
capital).
Muspida
Fakultas Ekonomi
Universitas Pattimura
Ambon Maluku