Anda di halaman 1dari 13

PEMERIKSAAN SEL-SEL IMUN GRANULOSIT DAN

AGRANULOSIT

Nama : Restu Amalia


NIM : B1A017029
Rombongan : II
Kelompok :1
Asisten : Ainani Priza Minhalina

LAPORAN PRAKTIKUM IMUNOBIOLOGI

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2019
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sistem kekebalan tubuh adalah semua mekanisme yang digunakan tubuh
untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang ditimbulkan oleh
berbagai antigen yang dari luar maupun dalam tubuh. Sistem kekebalan tubuh ini
terdiri dari dua sistem, yaitu sistem imun alami (non spesifik) dan sistem imun
spesifik. Sistem imun non spesifik merupakan pertahanan terdepan tubuh terhadap
mikroorganisme dan benda-benda asing yang akan masuk dalam tubuh. Sistem imun
non spesifik terdapat sel yang berperan penting, ialah sel makrofag. Makrofag
sebagai efektor pada sistem imun, berperan memusnahkan kuman atau patogen yang
akan merusak tubuh baik melalui mekanisme fagositosis langsung maupun
melalukan peran lainnya sebagai antigen presenting cell (APC) (Ilyas et al., 2019).
Leukosit terdiri dari dua golongan utama, yaitu agranular dan granular.
Leukosit agranular mempunyai sitoplasma yang tampak homogen, dan intinya
berbentuk bulat atau berbentuk ginjal. Leukosit granular mengandung granula
spesifik (yang dalam keadaan hidup berupa tetesan setengah cair) dalam
sitoplasmanya dan mempunyai inti yang memperlihatkan banyak variasi dalam
bentuknya. Terdapat 2 jenis leukosit agranular yaitu limfosit yang terdiri dari sel-sel
kecil dengan sitoplasma sedikit, dan monosit yang terdiri dari sel-sel yang agak besar
dan mengandung sitoplasma lebih banyak. Terdapat 3 jenis leukosit granular yaitu
neutrofil, basofil, dan asidofil (eosinofil) (Effendi, 2003).
Menurut Daniel (1999), proses pembentukan darah disebut hematopoiesis,
terjadi di dalam jaringan hemopoietik. Unsur darah yang terbentuk dapat dibagi
dalam dua golongan menurut tempat berkembang dan berdiferensiasi pada orang
dewasa. Menurut Martini (2002), metode yang digunakan untuk pemeriksaan sel
imun antara lain dengan metode apusan darah, radioimunoassai (RIA), Enzym
Linked Imunosorbent Asai (ELISA), Fluorescence Imunoassai (FIA) dan uji
hemaglutinasi (HA), inhibition hemaglutinasi (HI).

B. Tujuan
Tujuan praktikum kali ini adalah:
1. Praktikan dapat mengetahui sel-sel imun granulosit dan agranulosit beserta
fungsi dan bentuknya.
2. Praktikan dapat mengetahui persentase sel-sel imun pada berbagai hewan.
II. MATERI DAN CARA KERJA

A. Materi
Alat yang digunakan pada praktikum kali ini adalah mikroskop, spuit, lancet,
gelas objek, dan hand counter.
Bahan yang digunakan pada praktikum kali ini adalah darah; mencit (Mus
musculus), ayam (Gallus domesticus), nilem (Osteochillus vittatus), manusia (Homo
sapiens), metanol absolut, giemsa 7%, alkohol 70%, dan EDTA.

B. Cara Kerja
1. Darah diambil, lalu diteteskan di ujung gelas objek.
2. Darah diapus dengan gelas objek lain dan membentuk sudut 45o.
3. Praparat apusan difiksasi dengan methanol selama 5 menit.
4. Preparat dikering anginkan.
5. Preparat diwarnai dengan pewarna giemsa 7% selama 20 menit.
6. Preparat dicuci kering anginkan.
7. Diamati di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran kecil ke besar.
8. Sel-sel imun granulosit dan agranulosit dihitung dengan 10 lapang pandang dan
hasilnya dinyatakan dengan persentase.
9. Persentase sel darah dihitung menggunkan rumus :

% sel darah =
∑ sel terhitung x 100%
Jumlah total sel
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
Tabel 3.1 Hasil Pengamatan Sel-sel Imun Granulosit dan Agranulosit
%
Kel. Preparat Neutrofil
Limfosit Monosit Eosinofil Basofil
Batang Segmen
1 Ayam 40,80 25,20 6,80 9,52 10,20 7,48
2 Mencit 50,00 10,00 13,33 13,33 8,33 3,33
3 Ikan Nilem 37,04 18,52 22,22 7,41 3,70 11,11
4 Manusia 8,82 28,43 17,65 13,73 11,76 19,61
5 Mencit 86,80 1,63 1,63 1,63 6,50 1,63

Data Perhitungan

Diketahui: Limfosit = 60 sel


Monosit = 37 sel
Basofil = 11 sel
Eosinafil = 15 sel
Neutrofil batang = 10 sel
Neutrofil segmen = 14 sel
Total sel = 147 sel

Rumus : % sel darah =


∑ sel terhitung x 100%
Jumlah total sel

60
Limfosit = x 100 % = 40,80%
147

37
Monosit = x 100% = 25,20%
147

11
Basofil = x 100% = 7,48%
147

15
Eosinofil = x 100% = 10,20%
147

10
Neutrofil batang = x 100% = 6,80%
147

14
Neutrofil segmen = x 100% = 9,52%
147
11
251
622
22525
3
2533
34231
442
4145
453
Gambar 3.1. Lapang Pandang 1 31
64
Keterangan: 6341
4211
35
1. Limfosit 14
56
2. Monosit 3

3. Basofil
4. Neutrofil batang
5. Neutrofil segmen
6. Eusinofil

Gambar 3.2. Lapang Pandang 2


Keterangan:
1. Limfosit
2. Monosit
3. Basofil
4. Neutrofil batang
5. Neutrofil segmen

Gambar 3.3. Lapang Pandang 3


Keterangan:
1. Limfosit
2. Monosit
3. Basofil
4. Neutrofil batang
B. Pembahasan
Hasil dari pengamatan apusan darah ayam (Gallus domesticus) yang
dilakukan oleh kelompok 1 menunjukkan bahwa kadar limfosit sebesar 40,8%;
monosit 25,2%; basofil 7,48%; eosinofil 10,2%; neutrofil batang 6,8%; dan neutrofil
segmen 9,52%. Hal ini kurang sesuai dengan pernyataan Daniel (1999), bahwa kadar
normal leukosit dalam darah masing-masing selnya adalah basofil 0-1%, eosinofil 1-
3%, neutrofil batang 2-6%, neutrofil segmen 50-70%, limfosit 20-40%, dan monosit
2-8%. Ketidaksesuaian ini dapat disebabkan oleh sediaan apus kurang baik, misalnya
tetesan darah terlalu banyak atau sedikit, cara mendorong kaca pengapus tersendat-
sendat, kaca pengapus tidak menempel tepat pada kaca objek, sudut kaca pengapus
terlalu besar atau sebaliknya, kaca objek kotor atau berlemak, pengecatan kurang
baik, dan pembilasan kurang bersih. Menurut Riswanto (2013) rendahnya jumlah
limfosit total (Total Lymphocyte Count atau TLC) sebagai salah satu komponen
pemeriksaan darah lengkap rutin memiliki kaitan dengan malnutrisi sehingga jumlah
limfosit dapat digunakan sebagai parameter status nutrisi dan untuk memprediksi
prognosis.
Pertahanan tubuh terhadap patogen terdiri dari sistem imun alamiah atau
nonspesifik yang sudah ada dalam tubuh, dan dapat bekerja segera bila ada ancaman
dan sistem imun spesifik yang baru bekerja setelah tubuh terpapar dengan
mikroorgansime ke dua kali atau lebih. Sistem imun nonspesifik terdiri dari faktor
fisik seperti kulit, selaput lendir, silia, batuk dan bersin, faktor larut yang terdiri dari
faktor biokimia seperti lisozim (keringat), sekresi sebaseus, asam lambung, laktoferin
dan asam neuraminik, faktor humoral sepeti komplemen, interferon dan CRP. Faktor
seluler seperti sel fagosit (mono dan polimorfonukliar), sel NK, sel mast dan sel
basofil. Sistem imun spesifik terdiri dari faktor humoral seperti berbagai antibodi
yang diproduksi oleh sel B dan faktor seluler sel T. Darah juga memiliki limfosit
untuk mengenal konfigurasi asing. Memori spesifitas dan pengenalan zat asing
merupakan dasar dari respon imun. Faktor lain yang juga mempengaruhi
pembentukan respon imun adalah hormon kortisol. Limfosit dan hormon kortisol
akan meningkat jumlahnya seiring dengan peningkatan jumlah konfigurasi protein
asing dalam darah (Mardihasbullah et al., 2013).
Tahapan respon sistem imun terhadap antigen yaitu deteksi dan mengenali
benda asing, komunikasi dengan sel lain untuk merespon, rekruitmen bantuan dan
koordinasi respon, dan destruksi atau supresi penginvasi. Apabila mikroorganisme
masuk dalam tubuh maka pertahanan pertama adalah pertahanan permukaan tubuh,
terdiri dari kulit dan selaput lendir yang melapisi pencernaan dan saluran pencernaan.
Pertahanan untuk menghilangkan mikroorganisme sebelum menyerang jaringan
tubuh. Apabila mikroorganisme dapat melewati pertahanan nonspesifik, maka tubuh
akan membentuk mekanisme pertahanan yang lebih kompleks. Mekanisme ini
memerlukan pengenalan terhadap antigen terlebih dahulu. Mekanisme ini terdiri dari
imunitas humoral, yaitu produksi antibodi oleh sel B dan mekanisme cell mediated
immunity (CMI). Sel limfosit T berperan melalui mekanisme produksi sitokin serta
jaringan interaksinya dan sel sitotoksik matang di bawah pengaruh interleukin 2 (IL-
2) dan interleukin 6 (IL-6) (Baratawijaja, 2002).
Metode yang digunakan dalam pemeriksaan sel imun adalah dengan
menggunakan metode apus darah. Metode apus darah merupakan metode yang
digunakan untuk menghitung jumlah dan jenis leukosit. Pembuatan apus darah
dilakukan dengan menyiapkan object glass dan dibersihkan kemudian ditetesi
dengan 1 tetes sampel darah, tarik object glass dari ujung dengan arah ke depan
dengan menggunakan object glass yang lain dengan membentuk sudut 450 hingga
terbentuk kapilarisasi, kemudian dorong object glass kearah menjauhi sisi kanan
object glass sehingga terbentuk film tipis yang baik. Preparat yang sudah terbentu
apusan darah difiksasi selama 10 menit setelah itu diwarnai dengan larutan giemsa.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan apus darah, seperti tebal
film atau lapisan harus diperhatikan, fiksasi apusan penting untu menjaga bentuk sel-
sel tetap normal seperti bentuk aslinya, sebaiknya diberi zat warna dan ditutup
dengan cover glass (Sugria, 2011).
Jenis-jenis sel imun diantaranya neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit, dan
monosit. Neutrofil merupakan sel imun dengan jumlah terbanyak di dalam darah
yang membantu melindungi tubuh melawan infeksi bakteri dan jamur. Neutrofil
berkembang di sumsum tulang dari hematopoietic stem cell dan neutrofil yang
mature dicirikan dengan nukleus yang bersegmen dan granula yang berisi lebih dari
700 protein (Kruger et al., 2015). Sel Neutrofil adalah bagian dari leukosit yang
bertindak sebagai garis depan dalam sistem kekebalan tubuh, memfagositosis bakteri
dan mengencerkannya dengan enzim asam amino D oksidase dalam granula
azurofilik. Mielo peroksidase yang terdapat dalam neutrofil berikatan dengan
peroksida dan halida bekerja pada molekultirosin dinding sel bakteri dan
menghancurkannya. Eosinofil adalah bagian dari sel leukosit yang dapat bergerak
amuboid untuk memfagositosis bakteri atau benda asing yang masuk dalam tubuh
meskipun pergerakannya tidak secepat neutrofil. Jumlah eosinofil sedikit hanya 1-4
% leukosit darah, mempunyai garis tengah 9um (sedikit lebih kecil dari neutrofil).
Mempunyai inti biasanya berlobus dua, mempunyai granula ovoid yang dengan eosin
asidofilik sehingga kelihatan berwarna merah, granula adalah lisosom yang
mengandung fosfatase asam, katepsin, ribonuklase, tapi tidak mengandung lisosim
(Bratawijaya, 2002)
Basofil jumlahnya 0-1% dari leukosit darah, ukuran garis tengah 12μm, inti
satu, besar bentuk pilihan ireguler, umumnya bentuk huruf S, sitoplasma basofil terisi
granul yang lebih besar, dan seringkali granul menutupi inti, granul bentuknya
ireguler berwarna biru. Limfosit merupakan sel yang sferis, garis tengah 6-8μm,
jumlah dalam leukosit sekitar 20-30% . Sel yang normal berinti relatif besar, bulat
sedikit cekungan pada satu sisi, kromatin inti padat, sitoplasma sedikit sekali, sedikit
basofilik, mengandung granula-granula azurofilik. Sel limfosit dibentuk didalam
kelenjar limfe dan sumsum tulang. Tidak memiliki gerakan amuboid dan tidak dapat
memfagositosis bakteri tetapi sel limfosit berperan dalam membentuk antibodi untuk
meningkatkan kekebalan tubuh terhadap infeksi. Jumlah limfosit yang meningkat
dalam tubuh disebut limfositosis. Jumlah sel limfosit akan menurun seiring
bertambahnya usia, pada saat lahir jumlahnya sekitar 5% tetapi pada usia lanjut
kemampuan tubuh akan berkurang dalam memproduksi limfosit sehingga kekebalan
tubuh akan berkurang juga. Monosit merupakan sel leukosit yang besar 3-8% dari
jumlah leukosit normal, diameter 9-10 um tapi pada sediaan darah kering diameter
mencapai 20 um, atau lebih. Inti biasanya eksentris, adanya lekukan yang dalam
berbentuk tapal kuda. Kromatin kurang padat, susunan lebih fibriler, Granula
azurofil, merupakan lisosom primer, lebih banyak tapi lebih kecil. Monosit ditemui
dalam darah, jaringan penyambung, dan rongga-rongga tubuh (Baratawijaja, 2002).
Menurut Roberts (1978), sel darah merah pada ikan, reptil, aves dan amfibi
memiliki inti lonjong dan berfungsi untuk mengikat oksigen. Sel darah merah pada
ikan berbeda dengan sel darah merah pada mamalia, pada sel darah mamalia tidak
berinti dan berbentuk bikonkaf. Metode yang digunakan dalam perhitungan sel-sel
imun dapat dilakukan dengan rumus sebagai berikut:

% sel darah =
∑ sel terhitung x 100% (Affandi et al., 1992).
Jumlah total sel
Menurut Suprayudi et al. (2006), faktor-faktor yang mempengaruhi
fluktuasi perhitungan sel-sel imun dalam sampel darah yaitu kondisi kesehatan
hewan atau manusia yang diambil darahnya, teknik pembuatan preparat apus darah
yaitu tebal tidaknya pewarnaan yang diberikan, keadaan alat-alat yang digunakan dan
ketelitian saat pengidentifikasian sel-sel darah. Aktivitas fagositosis dipengaruhi oleh
berbagai faktor, diantaranya adalah umur, nutrisi serta tingkatan stress. Usia atau
stadium perkembangan hewan juga merupakan faktor yang penting. Antigen spesifik
dari kekebalan humoral dan selular merupakan pusat untuk beradaptasi terhadap
respon imun secara keseluruhan pada hewan dewasa. Menurut Mardihasbullah et al.
(2013) hewan neonatal dan anak hewan mengandalkan terutama pada imunitas
bawaan, maternal antibody, mediator yang bersirkulasi pada respon peradangan dan
fagositosis. Faktor lain yang mempengaruhi pembentukan respon imun adalah
hormon cortisol. Limfosit dan hormon cortisol akan meningkat jumlahnya seiring
dengan peningkatan jumlah konfigurasi protein asing dalam darah.
IV. KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil berdasaarkan hasil pengamatan dan


pembahasan yaitu:
1. Sel-sel imun dibedakan menjadi sel agranulosit dan granulosit. Sel agranulosit terdiri
dari sel monosit yang berfungsi menghancurkan sel asing dan makrofag berfungsi
menemukan benda asing dan memakannya. Sedangkan sel granulosit terdiri dari
neutrofil berfungsi fagositik bakteri, eosinofil berfungsi fagositik bakteri atau benda
asing dan basofil berfungsi memberi reaksi antigen.
2. Presentase sel-sel imun pada darah ayam oleh kelompok 1 rombongan II adalah
eosinofil sebesar 10,20%, neutrofil batang sebesar 6,80%, neutrofil segmen sebesar
9,52%, basofil sebesar 7,48%, monosit sebesar 25,20%, dan limfosit sebesar
40,80%.
DAFTAR PUSTAKA

Affandi, R., Safei, D. S., Rahardjo, M. F. & Sulistiono. 1992. Ikhtiologi: Suatu
Pedoman Kerja Laboratorium. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Baratawidjaja, K. G., 2002. Imunologi Dasar Edisi 5. Jakarta: FKUI Press.

Daniel, D. C., 1999. Human Biology Health, Homeostasis, and the Environment.
Canada: Jones and Barltet Toronto.

Effendi, Z., 2003. Peranan Leukosit Sebagai Anti Inflamasi Alergik dalam Tubuh.
Sumatera: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Ilyas, Y. M., Firdayanti & Wahyuni, 2019. Peningkatan Imunitas Non Spesifik (Innate
Immunity) Mencit Balb/C yang Diberi Ekstrak Etanol Daun Tumbuhan Galing
(Cayratia trifolia L. Domin). Medical Sains, 3(2), pp.83-92.

Kruger, P., Mona, S., Alexander, N. R. W., Nikolaus, R., Markus, R., Hors, V. B.,
Charaf, B., Dirk, R., Julia, S., & Dominik, H., 2015. Neutrophils: Between Host
Defence, Immune Modulation, and Tissue Injury. PLoS Pathogens 11(3), pp.1-23.
Mardihasbullah, E., Idris, M. & Sabilu, K., 2013. Akumulasi Nikel (Ni) Dalam Darah
Ikan Bandeng (Chanos chanos forskal) yang Dibudidayakan di Sekitar Area
Tambang. Jurnal Mina Laut Indonesia, 1(1), pp.1-9.
Martini, F. H., 2002. Fundamentals of Anatomy and Physiology. Prentice Hall, Inc,
New Jersey. Mononuclear Cells of Patients With Malignant Melanoma,
Experimental.

Riswanto. 2013. Pemeriksaan Laboratorium Hematologi. Yogyakarta: Alfamedia &


Kanal Medika.

Roberts, R. J., 1978. Fish Pathology. London: Ballier Tindall.

Sugria, A., 2011. Pemeriksaan kadar Leukosit Mencit yang diberi Ekstrak Temulawak,
Jahe dan Kunyit. Makassar : Makassar University.
Suprayudi, M. A., 2006. Pengaruh Penambahan Bahan-Bahan Imunostimulan dalam
Formulasi Pakan Buatan terhadap Respon Imunitas dan Pertumbuhan Ikan
Kerapu, Bebek, Cromileptes altivelis. Jurnal Akuakultur Indonesia. 5(1), pp.77-
86.

Anda mungkin juga menyukai